Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Tractus digestivus atau yang biasa dikenal dengan saluran


pencernaan manusia sangatlah luas dan kompleks. Saluran pencernaan pada
dasarnya dalah suatu saluran (tabung) dengan panjang sekitar 30 kaki (9 m)
yang berjalan melalui bagian tengah tubuh dari mulut ke anus. Saluran
pencernaan manusia terbagi menjadi saluran cerna bagian atas dan saluran
cerna bagian bawah yang dipisahkan oleh ligamentum treitz yang merupakan
bagian duodenum pars ascending yang berbatasan dengan jejunum. Saluran
cerna bagian atas terdiri dari rongga mulut, esofagus, gaster, dan duodenum,
pada bagian fleksura duodenojejunal malekat otot yang disebut ligamentum
Treitz yang memisahkan saluran cerna bagian atas dan saluran cerna bagian
bawah. Saluran cerna bagian bawah itu sendiri terdiri dari jejunum, ileum,
colon (usus besar), rektum, dan anus.1
Banyak sekali permasalahan yang terjadi pada saluran pencernaan
bagian bawah, diantaranya permasalahan yang memprihatinkan adalah
Irritable Bowel Syndrome (IBS) serta Inflammatory Bowel Disease (IBD).
Irritable bowel syndrome merupakan penyakit gastrointestinal fungsional,
yaitu merupakan kumpulan gejala nyeri atau tidak nyaman di perut yang
diasosiasikan dengan abnormalitas fungsi dan pergerakan usus besarnamun
tidak ditemukan kelainan struktural, biokimia, maupun sistemik yang
mendasari. Penelitian di suatu populasi memperkirakan prevalensi IBS
mencapai 10-20% dan insidensi IBS berkisar 1-2% per tahun. Dari seluruh
kasus IBS, diperkirakan 10-20% saja yang berkonsultasi pada tenaga medis.
Sekitar 20-50% rujukan ke ahli gastroenterologi mengarah pada gejala gejala
IBS. Prevalensi IBS cenderung meningkat di negara industri dibandingkan di
negara berkembang. Di Indonesia belum ada data nasional, namun untuk
wilayah Jakarta, dari 304 kasus gangguan pencernaan yang tergabung dalam
penelitian Asian Functional Gastrointestinal Disorder Study (AFGID) tahun
2013, dilaporkan angka kejadian konstipasi fungsional 5,3% dan angka
kejadian IBS tipe konstipasi sebesar 10,5%.8 Prevalensi IBS pada wanita

1
sekitar 1,5-2 kali prevalensi pada laki-laki. IBS dapat terjadi pada semua
kelompok umur dengan mayoritas pada usia 20-30 tahun dan cenderung
menurun seiring bertambahnya usia.2,3
Sedangkan inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit
inflammasi yang melibatkan saluran cerna yang dimana penyebab pastinya
belum diketahui secara jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari 3 jenis, yaitu
Kolitis Ulseratif (KU), Penyakit Chron (PC, Chron’s Disease), dan bila sulit
membedakan kedua hal ini maka dapat dikategorikan sebagai Indeterminate
colitis. Sekitar satu hingga dua juta orang di Amerika Serikat diperkirakan
mengalami KU ataupun PC, dengan insindens berkisar 70-150 kasus per
100.000 individu. Sedangkan di Eropa, insidens KU berkisar 7.3 kasus per
100.000 penduduk dan insidens PC sekitar 5.8 kasus per 100.000 penduduk.
Di Indonesia sendiri belum ada studi epidemiologi mengenai IBD, data masih
didasarkan laporan rumah sakit saja (hospital based). Berdasarkan data yang
didapatkan di rumah sakit di Jakarta terdapat kesan bahwa kasus IBD berkisar
12.2% kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3.9% kasus hematoschezia,
25.9% kasus diare kronik, berdarah dan nyeri perut, sedangkan pada kasus
nyeri perut didapatkan sekitar 2.8%. Data ini juga menyebutkan bahwa secara
umum, kejadian KU lebih banyak daripada kasus PC. Secara global dikatakan
bahwa insidens IBD adalah 10 kasus per 100.000 penduduk, KU 2.2–14.3
kasus per 100.000 penduduk dan PC 3.1–14.6 kasus per 100.000 penduduk.4,5
Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai definisi, etiologi,
epidemiologi, klasifikasi, gambaran klinis, perjalanan penyakit atau
patofisiologi, penatalaksanaan, pencegahan, edukasi serta komplikasi yang
dapat timbul dari penyakit irritable bowel syndrome (IBS) dan inflammatory
bowel disease (IBD).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi tractus digestivus

Saluran pencernaan atau tractus digestivus pada manusia dimulai dari


rongga mulut, oesofagus, gaster, duodenum, jejunum, ileum, colon, rectum, dan
anus.
Rongga mulut
Merupakan sebuah rongga yang dibatasi pipi,bibir,palatum,lidah pada
bagian dasar dan bersambung dengan faring pada bagian posterior.Pada mulut
terdapat gigi,lidah dan kelenjar saliva. Faring berbentuk kerucut terdiri dari
muskulo membranosa dan tersambung dengan esofagus dan trakhea,terbagi
menjadi pars nasalis,pars oralis dan pars laringeal,tersusun atas lapisan
mukosa,fibrosa dan otot,dimana otot utamanya adalah otot konstriktor yang
berkontraksi pada saat makanan masuk ke faring dan mendorongnya ke
esofagus.6,7
Oesofagus
Merupakan tabung berotot dengan panjang 20-25 cm,dimulai dari
faring,thoraks,menembus diafragma,dan masuk kedalam abdomen bersambung
dengan lambung,terletak di belakang trakhea di depan vertebra.Esofagus terdiri
atas 4 lapisan yaitu:jaringan ikat yang longgar,2 lapis otot sirkuler dan
longitudinal,lapisan sub mukosa,dan mukosa. Pda esofagus terjadi gerakan
peristaltik, sehingga bolus makanan masuk ke lambung dikarenakan juga oleh
adanya gaya gravitasi.6,7
Gaster (Lambung)
Terletak pada daerah epigastrium dan meluas ke hipokhondrium kiri,
berbentuk melengkung seperti huruf “J” dengan mempunyai paries anterior
(superior) dan paries posterior (inferior). Seluruh organ lambung terdapat di
dalam rongga peritoneum dan ditutupi oleh omentum. Gaster terbagi atas 5
daerah secara anatomik yaitu : pars cardiaca, bagian gaster yang berhubungan
dengan esofagus dimana didalamnya terdapat ostium cardiacum. Fundus gaster,
bagian yang berbentuk seperti kubah yang berlokasi pada bagian kiri dari kardia

3
dan meluas ke superior melebihi tinggi pada bagian gastroesofageal junction.
Korpus gaster, merupakan 2/3 bagian dari lambung dan berada di bawah fundus
sampai ke bagian paling bawah yang melengkung ke kanan membentuk huruf „J‟.
Pars pilori, terdiri dari dua bangunan yaitu anthrum pyloricum dan pylorus.
Didalam antrum pyloricum terdapat canalis pyloricus dan didalam pylorus
terdapat ostium pyloricum yang dikelilingi M. sphincter pyloricus. Dari luar M.
sphincter pylorus ini ditandai adanya V. prepylorica .7

Duodenum
Berbentuk huruf C yang panjangnya 25cm yang menghubungkan lambung
dengan jejenum. Duodenum ini sangat penting karena dalam duodenum terdapat
muara saluran empedu dan saluran pankreas. Duodenum Terletak pada region
epigastrium dan region umbilicalis dan dibagi dalam 4 bagian, bagian pertama
duodenum Panjangnya 5cm, dimulai dari pylorus dan berjalan keatas dan
belakang pada sisi kanan vertebra lumbalis pertama. Jadi bagian ini terletak pada
bidang transpilorica. Bagian ke dua duodenum panjangnya 8cm.Bagian ini
berjalan kebawah didepan hilus ginjal kanan disebelah kanan vertebra lumbalis
kedua dan ketiga. Bagian ke tiga duodenum panjangnya 8cm, bagian ini berjalan
horizontal kekiri pada bidang subcostalis, mengikuti pinggir bawah caput
pancreas. Dan terakhir bagian ke empat duodenum panjangnya 5cm, bagian ini
berjalan keatas dan kiri dan kemudia memutar kedepan pada perbatasan
duodenum-jejunum. Disini terlihat jelas lipatan peritoneum yang dinamakan
ligamentum Treitz, berjalan ke atas disebelah kanan crus diaphragma dan
menahan junctura duodeno-jejunalis pada tempatnya.7

4
Jejunum dan Ileum
Panjangnya sekitar 6m, 2/5 bagian atas merupakan jejunum. Jejenum
mulai dari juncuta duodenojejunalis dan ileum berakhir pada junctura ileocaecalis
Lekukan-lekukan jejunum terletak pada bagian atas rongga peritoneum dibawah
sisi kiri mesocolon transversum; ileum terletak pada bagian bawah rongga
peritoneum dan dalam pelvis. Jejunum lebih besar, berdinding lebih tebal dan
lebih merah daripada ileum. Dinding jejunum terasa lebih tebal karena lipatan
mukosa yang lebih permanen yaitu plica sircularis, lebih besar lebih banyak dan
pada jejunum lebih berdekatan; sedangkan pada bagian atas ileum lebar dan pada
bagian bawah lipatan ini tidak ada. Mesenterium Jejunum melekat pada dinding
posterior abdomen diatas dan kiri aorta, sedangkan mesenterium ileum melekat
dikanan dan bawah aorta.7
Usus besar ( Colon)
Usus Besar dibagi dalam: Caecum, appendix vermiformis, colon ascenden,
colon transversum, colon descenden, colon sigmoideum, rectum dan anus.

5
- Caecum:
Caecum adalah bagian usus besar yang terletak dibawah perbatasan antara
ileum dan usus besar. Caecum Terletak pada fossa iliaca, panjangnya sekitar
6cm, dan seluruhnya diliputi peritoneum. Berbentuk seperti kantung dengan
ujung buntu yang menonjol kebawah, terletak pada regio iliaca dextra.

- Colon ascendens :
panjangnya sekitar 13cm dan terletak pada reegio iliaca kanan. Colon
ascenden berjalan ke atas dari caecum sampai permukaan inferior lobus
kanan hati, dimana kolon ascenden secara tajam ke kiri, membentuk Flexura
coli dextra, dan dilanjutkan sebagai colon Transversum. Peritoneum menutupi
pinggir dan permukaan depan colon ascenden dan menghubungkannya
dengan dinding posterior abdomen.
- Colon Transversum
Panjangnya sekitar 38cm dan berjalan menyilang abdomen, menduduki regio
umbilicalis dan hipogastricum. Colon transversum mulai pada flexura coli
dextra (flexura hepatica) dibawah lobus kanan hati dan tergantung kebawah,
tergantung pada mesocolon transversum. Kemudian colon ini berjalan keatas
sampai flexura coli sinistra (flexura lienalis) tepat inferior terhadap limpa.
Flexura coli sinistra lebih tinggi daripada Flexura coli dextra dan tergantung
pada diphragma oleh ligamentum phrenicocolica. Mesocolon transversum
melekat pada pinggir superior colon transversum, dan lapisan posterior
omentum majus melekat pada pinggir inferior. Karena panjang mesocolon
transversum sangat variabel dan dapat mencapai pelvis.

6
- Colon descendens :
Panjangnya sekitar 25 cm dan terletak pada regio iliaca kiri. Colon descenden
berjalan ke bawah dari flexura coli sinistra sampai pinggir pelvis. Peritoneum
meliputi permukaan depan dan pinggir-pinggir dan menghubungkannya
dengan dinding posterior abdomen
- Colon sigmoideum :
Panjangnya sekitar 25-38 cm dengan batas anterior pada pria yaitu vesica
urinaria dan pada wanita batas nya yaitu bagian posterior uterus dan bagian
atas vagina. Batas anterior colon sigmoideum yaitu rectum dan os. Sacrum. 6,7

Rectum dan Anus


Anus adalah lubang di mana saluran pencernaan berakhir dan keluar dari
tubuh. Anus dimulai di bagian bawah rektum, bagian terakhir colon (usus besar).
Garis anorektal memisahkan anus dari rektum. Jaringan ikat disebut fasia
mengelilingi anus dan menempel ke struktur disekitarnya. Otot yang
melingkarinya disebut sfingter eksternal ani yang membentuk dinding anus dan
menahannya agar tetap tertutup. Kelenjar pada anus melepaskan cairan ke dalam

7
lumen agar permukaannya tetap lembab.otot yang berbentuk seperti piringan ,
disebut m. levator ani, mengelilingi anus dan membentuk lantai panggulyang
didalamnya terdapat Jaringan pembuluh darah yang melapisi kulit anus.7

2.2 Irritable bowel syndrome (IBS)


2.2.1 Definisi 3

IBS adalah kelainan fungsional usus kronis berulang dengan nyeri atau
rasa tidak nyaman abdomen yang berkaitan dengan defekasi atau perubahan
kebiasaan buang air besar setidaknya selama 3 bulan. Rasa kembung, distensi, dan
gangguan defekasi merupakan ciri-ciri umum IBS. Untuk membedakan IBS dari
gejala gastrointestinal lain, digunakan kriteria Rome III. Kriteria diagnosis
terpenuhi dalam 3 bulan terakhir dengan onset gejala setidaknya 6 bulan sebelum
diagnosis. 3

Kriteria Rome III untuk IBS


Nyeri abdomen atau sensasi tidak nyaman
berulang paling tidak selama 3 hari dalam satu
bulan pada 3 bulan terakhir dengan 2 atau lebih
gejala berikut:
• Perbaikan dengan defekasi
• Onset terkait dengan perubahan frekuensi
buang air besar
• Onset terkait dengan perubahan bentuk atau
tampilan feses

2.2.2 Etiologi dan Klasifikasi 8,9

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS antara lain gangguan


motilitas, intoleransi makanan, abnormalitas sensoris, abnormalitas dari interaksi
aksis brain-gut, hipersensitivitas viseral,dan pasca infeksi usus. Adanya IBS
predominan diare atau predominan konstipasi menunjukkan bahwa pada IBS
terjadi sesuatu perubahan motilitas. Pada IBS tipe diare terjadi peningkatan
kontraksi usus dan memendeknya waktu transit kolon dan usus halus. Sedangkan
IBS tipe konstipasi terjadi penurunan kontraksi usus dan memanjangnya waktu
transit kolon dan usus halus. IBS yang terjadi pasca infeksi dilaporkan hampir

8
pada 1/3 kasus IBS. Penyebab IBS paska infeksi antara lain virus, giardia atau
amuba.
Faktor-faktor yang dapat mengganggu kerja dari usus adalah sebagai berikut:
- Faktor psikologis
Stress dan emosi dapat secara kuat mempengaruhi kerja kolon. Kolon
memiliki banyak saraf yang berhubungan dengan otak. Sebagian kolon
dikontol oleh SSP, yang berespon terhadap stress. Sebagai contoh kolon dapat
berkontraksi secara cepat atau sebaliknya.

- Sensitivitas terhadap makanan


Gejala IBS dapat ditimbulkan oleh beberapa jenis makanan seperti kafein,
coklat, produk-produk susu, makanan berlemak, alkohol, sayur-sayuranyang
dapat memproduksi gas (kol dan brokoli) dan minuman bersoda.
- Genetik
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada kemungkinan IBS diturunkan
dalam keluarga dengan perkiraan faktor genetik berperan berkisar antara 0-
57%9.
- Hormon
Gejala IBS sering muncul pada wanita yang sedang menstruasi,
mengemukakan bahwa hormon reproduksi estrogen dan progesteron dapat
meningkatkan gejala dari IBS
- Obat obatan konvensional
Banyak pasien yang menderita IBS melaporkan bertambah beratnya gejala
setelah menggunakan obat-obatan konvensionalseperti antibiotik, steroid dan
obat anti inflamasi.

Menurut Kriteria Rome III berdasarkan konsistensi feses IBS dapat di


klasifikasikan menjadi:
1. IBS predominan diare (IBS-D) :
- Feses lunak >25 % dan feses keras <25% dalam satu waktu
- Terjadi pada 1/3 kasus
- Sering terjadi pada pria
2. IBS predominan konstipasi (IBS-C):
- Feses keras >25% dan feses lunak <25% dalam satu waktu

9
- Terjadi pada 1/3 kasus
- Sering terjadi pada wanita
3. IBS campuran(IBS-M) :
- Defekasi berubah-ubah: diare dan konstipasi
- 1/3 – ½ dari kasus
4. Unsubtyped : Bila abnormalitas feses tidak cukup untuk kriteria diare,
konstipasi, maupun campuran.8

Berdasarkan gejala klinis subklasifikasi lain dapat digunakan:


1. Berdasarkan gejala:
- IBS predominan disfungsi usus:
- IBS predominan nyeri
- IBS predominan kembung
2. Berdasarkan faktor pencetus:
- Post-infectious (PI-IBS)
- Food-induced IBS
- IBS yang berhubungan dengan stress. 9

2.2.3 Epidemiologi 10,11

Irritabel bowel syndrome merupakan penyakit yang sangat sering


ditemukan. Perkiraan yang tepat prevalensi IBS sangat sulit, karena hampir 70%
dari orang dengan gejala IBS tidak mendatangi tempat pelayanan kesehatan.
Prevalensi IBS berdasarkan studi populasi antara 10-26% di negara barat.1
Prevalensi IBS secara pasti sulit ditentukan karena berbedanya definisi dan
kriteria klinis yang digunakan untuk menentukan sindrom ini. Dari hasil
penelitian Hillila dan Farkkila didapatkan prevalensi IBS berdasarkan kriteria
manning 2, manning 3, Rome I, Rome II berturutan adalah 16,2%, 9,7%, 5,6%,
dan 5,1%. Disini tampak bahwa prevalensi IBS menurut kriteria Rome II lebih
rendah dari kriteria manning.10
Penelitian lain oleh Hungin di 8 negara eropa mendapakan prevalensi IBS
sebesar 11,5% (6,2-12%). Sedangkan dari penelitian epidemiologi di Birmingham
pada 8386 pasien, didapatkan prevalensi IBS 10,9% (6,6% laki-laki dan 14%

10
perempuan), dengan profil gejala yang ditandai dengan diare 25,4%, konstipasi
24,1% dan gejala bergantian diare dan konstipasi 46,7%. Irritabel bowel
syndrome pada umumnya dianggap sebagai penyakitnya wanita, berdasarkan
temuan pada sampel dimana wanita 3-4 kali lebih sering dari laki-laki pada seting
klinis, dan diperkirakan 2:1 pada komunitas masyarakat. Alasan kenapa wanita
lebih sering mengalami IBS masih tidak diketahui.11

2.2.4 Patogenesis dan Patofisiologi 12,13,14

Sejumlah penelitian dan publikasi il-miah tentang etiologi dan


patofisiologi IBS telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Sampai saat
ini tidak ada teori yang menyebutkan bahwa IBS disebabkan oleh satu faktor saja.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS, antara lain gangguan motilitas,
hipersensitivitas vise-ral, dan pasca infeksi usus. Sebaiknya IBS dipahami sebagai
suatu integrasi beberapa faktor terkait sebagai berikut
• Motilitas abnormal
Motilitas abnormal terdapat IBS pre-dominan diare dan IBS predominan
kons-tipasi yang menunjukkan bahwa pada IBS terjadi suatu perubahan motilitas.
Pada IBS tipe diare terjadi peningkatan kontraksi usus dan memendeknya waktu
transit kolon dan usus halus. Berbeda halnya pada IBS predominan konstipasi
dimana terjadi penurunan kontraksi usus dan memanjangnya waktu transit kolon
dan usus halus.
Stres fisik atau psikologis dan makan-an tertentu dapat menganggu
motilitas kolon. Makanan tinggi kalori dapat meningkatkan motilitas lambung.
Makanan berlemak dapat menyebabkan aktivitas motorik terlambat, dan dapat
memperburuk keadaan IBS. Pada hari-hari pertama menstruasi dapat terjadi
peningkatan sementara dari prostaglandin E2, yang menyebabkan peningkatan
nyeri dan diare.12
• Hipersensitivitas Visceral
Hipersensitivitas viseral sering dihubungkan dengan IBS. Pasien IBS
meng-alami nyeri dan rasa kembung pada tekanan dan volum usus yang lebih
rendah diban-dingkan kontrol. Hal ini disebabkan sensitivitas reseptor di usus
terganggu melalui nosiseptor sebagai respon terhadap iskemi, distensi, infeksi,
makanan, atau faktor ke-jiwaan. Persepsi rektal terganggu ditemu-kan pada 62%

11
penderita IBS. Gejala nyeri perut dan kembung dikaitkan dengan per-sepsi rektal
terganggu. Gejala sering dihu-bungkan dengan jenis kelamin perempuan dan
kecemasan. Pasien sering mempunyai ambang nyeri viseral rendah. Banyak pa-
sien melaporkan rasa ingin defekasi segera walaupun volum feses sedikit. Dengan
makan makanan berlemak, beberapa pasien mengeluhkan lebih nyeri karena nilai
ambang nyeri menurun. Gejala setelah makan sebagai akibat peningkatan
komponen sensorik dari gastrokolon yang tergantung nutrien. Stimulus nyeri dari
usus dihantar-kan oleh aferen spinal primer dalam gang-lion akar dorsal ke kornu
dorsal medula spinalis. Sinaps di kornu dorsal merupakan pintu masuk ke susunan
saraf pusat.
Sinyal aferen yang berbahaya ke otak melalui dua jalur klasik, yaitu
traktus spinotalamik dan traktus spinoretikular. Traktus spinotalamik atau sistem
nyeri lateral bermanfaat membantu fungsi diskriminatif. Jalur spinotalamik
membawa impuls aferen dari kornu dorsal medula spinalis ke talamus, kemudian
ke korteks sensorik. Bagian korteks sensorik yang mengurusi sensasi somatik
adalah girus presentral sedangkan sensasi viseral ditransmisikan ke insula, bagian
lobus temporal. Korteks insular contohnya untuk mengode indera perasa dan
indera penciuman pada binatang.14 Traktus spino-retikular membawa pesan
aferen yang berbahaya ke sistem nyeri medial, yang mengode nyeri.
• Kelainan Psikososial
Kelainan psikososial dapat memicu gejala IBS Kelainan psikiatrik
ditemukan mencapai 80% pasien IBS, tanpa adanya diagnosis psikiatrik yang
predominan. Beberapa pasien memperlihatkan ansietas, depresi atau somatosisasi,
tetapi stres dan konflik emosional tidak selalu berkaitan dengan onset gejala dan
rekurensi. Kelainan psikologik dapat mempengaruhi cara pasien menerima atau
bereaksi terhadap penyakit dan sensasi viseral. Stres kronik dapat mengubah
motilitas usus atau memodulasi jalur yang mempengaruhi proses spinal dan
sentral dari sensasi aferen viseral.13
• Ketidakseimbangan neurotransmitter
Ketidakseimbangan neurotransmitter, antara lain serotonin. Bahan ini
terdapat dalam sistem saraf pusat sebesar 5%, se-dangkan sisanya 95% terdapat
pada saluran cerna dalam sel enterokromafin, neuron, sel mast, dan sel otot polos.

12
Ketika dilepaskan oleh sel enterokromafin, serotonin menstimulasi serat saraf
aferen vagal ekstrinsik dan serat saraf aferen enterik intrinsik, yang menyebabkan
respon fisiologik seperti re-fleks peristaltik dan sekresi usus. Pasien IBS
mempunyai serotonin dalam plasma dan kolon yang lebih tinggi.13,14
• Infeksi usus
Setelah infeksi usus akut, sebagian besar pasien menunjukkan akselerasi
transit gastrointestinal dan peningkatan sensitivetas usus. Hal ini akan kembali
menjadi normal secara bertahap, tetapi masa pulih bervariasi. Permeabilitas usus
meningkat pada kebanyakan pasien pasca gastro-enteritis, biasanya berlangsung
6-12 minggu, malah pada beberapa pasien sampai 4 tahun. Peningkatan
permeabilitas dipengaruhi oleh aktivasi sel mast. Stres menyebabkan degranulasi
sel mast dan peningkatan permeabilitas usus. Granula sel mast mengandung
mediator-mediator termasuk histamin, prostaglandin, dan serotonin, yang
menyebabkan sensitisasi dan peningkatan fungsi sekreto-motorik. Inflamasi
mukosa mengaktivasi sensitisasi dan hipermotilitas perifer sehingga menyebabkan
terjadinya gejala IBS.
Sepertiga kasus IBS terjadi setelah infeksi, dimana keluhan IBS muncul
satu bulan pasca infeksi. Pada perempuan dan pasien dengan stresor kehidupan
yang tinggi saat onset gastroenteritis berisiko tinggi menjadi IBS pasca-infeksi.
Degradasi karbohidrat oleh bakteri di usus halus dapat menyebabkan peningkatan
gas setelah makan, kembung dan distensi, yang dapat membaik setelah pemberian
antibiotik, tetapi studi lain meragukan penemuan-penemuan ini. Kuman penyakit
IBS pasca infeksi antara lain campylobacter, salmonella, dan shigella.14

2.2.5 Manifestasi Klinis 15

Saat ini ada beberapa manifestasi klinis untuk penegakkan diagnosis IBS
diantaranya criteria Manning, Rome I, Rome II, dan Rome III. Sebuah penelitian
untuk mengevaluasi akurasi dari criteria Rome I, mendapatkan sensitivitas sebesar
65%, spesifisitas 100% dan nilai prediktif positif 98% dalam membedakan IBS
dan peyakit organik.17 Kriteria IBS terbaru adalah menurut criteria Rome III yang
dipublikasikan pada tahun 2006. Menurut Rome III, IBS merupakan kelainan usus
fungsional dimana nyeri perut atau rasa tidak nyaman dihubungkan dengan

13
defekasi atau perubahan pada pola defekasi, dan dengan gambaran kelainan
defekasi. Kriteria Rome III dapat dilihat berdasarkan tabel dibawah.

Kriteria Rome III untuk IBS

Nyeri abdomen atau sensasi tidak nyaman


berulang paling tidak selama 3 hari dalam satu
bulan pada 3 bulan terakhir dengan 2 atau lebih
gejala berikut:
• Perbaikan dengan defekasi
• Onset terkait dengan perubahan frekuensi
buang air besar
• Onset terkait dengan perubahan bentuk atau
tampilan feses

Kriteria terpenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala setidaknya 6 bulan
sebelum diagnosis. Rasa tidak nyaman berarti sensasi yang tidak menyenangkan yang
tidak dijelaskan sebagai nyeri. Dalam patofisiologi penelitian dan uji klinis, frekuensi
nyeri atau rasa tidak nyaman setidaknya 2 hari selama seminggu selama evaluasi skrining
untuk subjek yang dapat diikutsertakan. Gejala penunjang yang tidak masuk dalam
kriteria diagnosis meliputi kelaianan pada frekuensi kotoran (< 3 kali per minggu atau > 3
kali per hari), kelainan bentuk kotoran (kotoran keras atau kotoran encer/berair), defekasi
strining, urgency, juga perasaan tidak tuntas saat buang air besar, mengeluarkan mukus
dan perut kembung. Menurut kriteria Rome III, pengelompokkan subtipe dari IBS
disederhanakan berdasarkan pada bentuk dari feses pasien. Bentuk feses diklasifikasikan
berdasarkan ’The Bristol Stool Form Scale’. Subtipe dari IBS dibedakan menjadi 4
seperti pada table berikut.

Tabel 1. Subtipe IBS berdasarkan pola kotoran yang


Dominan

IBS with constipation (IBS-C) hard or lumpy stools ≥25% and loose (mushy)
or watery stools < 25% of bowel movements.
IBS with diarrhea ( IBS-D) loose (mushy) or watery stools ≥25% and hard or
lumpy stools < 25% of bowel movements.
Mixed IBS (IBS-M) hard or lumpy stools ≥25% and loose (mushy) or watery
stools ≥25% of bowel movements.
Unsubtyped IBS insufficient abnormality of stools consistency to meet criteria
for IBS-C, D or M.

14
Tabel 2. Bristol stool form

Tipe 1: konsistensi keras dan terpisah-pisah, seperti kacang (sulit keluar)


Tipe 2: konsistensi keras, namun lebih lunak dari tipe 1, berbentuk sosis
Tipe 3: bentuk seperti sosis, namun dengan retak-retak pada permukaan tinja
Tipe 4: bentuk seperti sosis atau ular, lembut dan lunak
Tipe 5: konsistensi lunak dengan ujung yang tidak jelas (mudah keluar)
Tipe 6: konsistensi lembut dengan ujung tidak bertepi, hampir encer
Tipe 7: konsistensi berair, tidak ada yang keras sama sekali (seluruhnya encer air)

Eksaserbasi akut gejala sering dirasakan setelah makan atau stress


emosional. Gejala utamanya adalah nyeri abdomen, rasa tidak nyaman atau kram
di perut yang episodik. Nyeri disertai diare atau konstipasi yang dapat terjadi
secara bergantian namun salah satu mendominasi. Tidak adanya nyeri atau rasa
tidak nyaman di perut langsung menyingkirkan diagnosis IBS, seringkali gejala
membaik setelah defekasi.
Pasien dengan gejala konstipasi yang dominan akan mengalami konstipasi
selama berminggu-minggu dan diselingi diare. Konstipasi awalnya episodik
namun semakin lama semakin berat hingga idak bisa diatasi dengan menggunakan
laksatif. Pasien dengan gejala dominan diare memiliki feses encer, sering dalam
volume sedikit-sedikit. Dapat ditemukan mukus,namun tidak ditemukan darah dan
tidak terjadi malabsorbsi. Subtipe yang paling sering di jumpai adalah IBS tipe
diare, namun sebagian besar pasien dapat berganti subtipe nya dan gejala diare-
konstipasi dapat terjadi berganti-gantian sepanjang tahun.dapat pula ditemukan
urgency, tanesmus, perut kembung, sering buang angin, dan bersendawa. Pasien
dengan IBS sering memiliki gejala tractus gastro intestinal seperti frekuensi,
urgensi, dan nokturia atau terjadi bersamaan dengan penyakit dispepsia atau
penyakit refluks gastroesofageal. Pasien perempuan lebih sering mengalami gejala
yang berat dan fase premenstruasi dan menstruasi dapat menyebabkan perburukan
gejala.15

15
Kriteria Manning

Gejala yang dapat di derita pada penderita IBS yaitu:


- Feses cair pada saat nyeri
- Frekuensi BAB bertambah besar pada saat nyeri
- Nyeri berkurang setelah BAB
- Tampak ada distensi abdomen
Dua gejala tambahan yang sering muncul pada pasien IBS:
- Lendir pada saat BAB
- Perasaan tidak lampias pada saat BAB

2.2.6 Diagnosis 16,17


Anamnesis 16
Keluhan :
Deskripsi nyeri
Gejala utama meliputi pola nyeri atau sensasi tidak nyaman yang berasal
dari gangguan fungsi saluran cerna dan perubahan pola defekasi. Nyeri berkurang
setelah defekasi atau berkaitan dengan perubahan konsistensi feses. Nyeri tanpa
kondisi tersebut harus di pertimbangkan sebagai kondoso neoplasma, infeksi
saluran pencernaan, penyakit urogenital.
Nyeri konstan
Nyeri konstan yang tidak membaik dengan defekasi merefleksikan nyeri
neoplastik atau karena sindrom nyeri abdomen fungsional. Hal ini umumnya
berkaitan dengan masalah psikiatri kompleks meliputi kemungkinan gangguan
personal.
Gangguan Defekasi
Klasifikasi tipe diare atau konstipasi me- rupakan hal penting, dan Bristol
Stool Form merupakan cara yang mudah. Pasien yang mengalami diare dan
konstipasi masing- masing pada periode singkat dimasukkan dalam kategori
mixed. Diare pada IBS umumnya terutama pagi hari dan setelah makan. Volume
diare yang massif, berdarah dan nokturnal merupakan gejala yang tidak terkait
IBS, dan lebih mengarah pada gangguan organik. Konstipasi pada IBS di- tandai
dengan feses berbentuk seperti pil, dan pasien sulit defekasi.

16
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik tidak banyak menunjukan abnormalitas. Pemeriksaan
tanda penyakit sistemik harus diikuti dengan pemeriksaan abdomen. Pasien
diminta menunjukkan area nyeri pada abdomen. Nyeri difus akan ditunjukkan
dengan tangan yang melebar,sedangkan nyeri terlokalisir akan ditunjuk dengan
jari. Nyeri visceral jarang terlokalisir. Jika terlokalisir merupakan nyeri atipikal
dan harus dipertimbangkan penyakit selain IBS. Nyeri dinding abdomen bisa
berasal dari hernia, cedera otot, atau penjepitan saraf dapat diidentifikasi dengan
tes Carnett. Tes ini dilakukan dengan menginstruksikan pasien memfleksikan siku
dan meletekakkan di atas dinding dada (posisi sit-up) dan mengangkat kepala.
Apabila nyeri perut berkurang maka hasil tes Carnett negative. Hal ini
mengindikasikan nyeri intra abdominal. Apabila nyeri perut bertambah maka hasil
tes carnet positif, hal ini mengindikasikan nyeri tes berasal dari dinding abdomen,
dan sebagian besar didasari oleh nyeri psikogenik. Pemeriksaan regio perianal dan
rectum dilakukan apabila diare, perdarahan rectal, atau gangguan defekasi.
Pemeriksaan Penunjang 17
IBS merupakan kelainan dengan patofisiologi heterogen, sampai saat ini
belum didapat- kan biomarker yang spesifik. Pemeriksaan darah lengkap dan
pemeriksaan darah samar feses dianjurkan untuk tujuan skrinning. Pemeriksaan
tambahan laju endap darah (LED), serum elektrolit dan pemeriksaan feses untuk
deteksi parasit dapat dilakukan berdasarkan gejala, area geografis, dan temuan
klinis yang relevan seperti pada ibs tipe predominan diare. Pemeriksaan tersebut
bertujuan untuk mengeksklusi kelainan organic seperti keganasan kolorektal, dan
diare infeksius. Beberapa ahli merekomendasi- kan tes pernafasan dan fungsi
tiroid untuk mendeteksi malabsorbsi laktosa dan disfungsi tiroid. Beberapa
pemeriksaan tambahan menurut rekomendasi ACG ( American college of
Gastroenterology) dapat dilihat pada table dibawah :

17
Pemeriksaan Diagnostik Rekomendasi
Tes Darah Rutin (hitung darah Hanya jika ditemukan tanda alarm
lengkap, kimia, fungsi tiroid,
parasit feses)

Serologi penyakit celiac Pada IBS-M dan IBS-D

Radiologi Abdomen Hanya jika ditemukan tanda alarm


(kolonoskopi/barium enema
dengan/tanpa sigmoidoskopi
fleksibel)

Jika ditemukan tanda alarm, untuk mengeksklusi


penyakit organik
Pada pasien berusia ≥50 tahun dengan gejala IBS
Kolonoskopi
tipikal
Tidak direkomendasikan bila tidak ditemukan tanda
alarm pada pasien <50 tahun dengan gejala IBS
tipikal
Biopsi kolonik direkomendasikan saat kolonoskopi
pada IBS-D untuk mengeksklusi colitis
mikroskopik

Tes pernafasan untuk ekslusi Hanya jika kecurigaan klinis tinggi dan eksklusi
intoleransi laktosa diet telah gagal

Tes pernafasan untuk SIBO Tidak direkomendasikan secara rutin karena data
tidak cukup

Diagnosis dari IBS berasarkan atas criteria gejala, mempertimbangan


demografi pasien (umur, jenis kelamian, dan ras) dan menyingkirkan penyakit
organik. Melalui anamnesis riwayat secara spesifik menyingkirkan gejala alarm
(red flag) seperti penurunan berat badan, perdarahan per rektal, gejala nokturnal,
riwayat keluarga dengan kanker, pemakaian antibiotik dan onset gejala setelah
umur 50 tahun. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa red flag dapat berguna
dalam identifikasi pasien yang memerlukan pemeriksaan diagnosis tambahan, tapi
jika red flag dan criteria Rome digabungkan tidak akan memperbaiki sensitivitas
bahkan akan mengakibatkan kehilangan beberapa pasien dengan diagnosis
IBS.16,17

18
Tanda bahaya yang membutuhkan perhatian khusus:

- Usia > 50 tahun


1. Tanda bahaya: Anemia
2. BB turun tanpa penyebab yang jelas
3. Riwayat keganasan pada keluarga
4. Inflammatory bowell disease
5. Celiac sprue

2.2.7 Tatalaksana18,19,20

Terapi non farmakologi 18


Bagian terpenting dari terapi adalah edukasi dan meyakinkan pasien
mengenai perjalanan penyakitnya bersifat fungsional dan tidak berbahaya, serta
melibatkan pasien secara aktif dalam menentukan strategi terapi berdasarkan
berbagai gejala yang mengganggu pasien.
Modifikasi diet
Anamnesis untuk menggali makanan yang mungkin mencetuskan gejala
dan dianjurkan menghindarinya. Contoh, kopi, susu, gandum, pemanis buatan
yang mengandung fruktosa (sorbitol atau manitol), kacang-kacangan, dan kol.
Batasi konsumsi makanan karbohidrat rantai pendek yang sulit di absorbsi di usus.
Setelah gejala membaik makanan yang sebelumnya menimbulkan gejala dapat
coba diberikan secara perlahan-lahan.
Terapi Psikogenik
Bila ditemukan kelainan cemas, depressi, atau somatisasi, berikan terapi
kognitif-perilaku, psikoterapi dinamis, atau hipno terapi, selain itu pasien harus di
edukasi untuk mengurangi hal hal yang dapat menimbulkan stress. Istirahat yang
cukup, dan melatih kebiasaan BAB teratur tiap hari. Terapi kognisi-perilaku,
psikoterapi standar dan hipnoterapi mungkin dapat membantu pasien IBS tertentu.
Terapi kognitif-perilaku mingguan selama 12 minggu lebih baik dari sesi edukasi
mingguan, tapi pada pasien depresi tidak ada respon, kualitas hidup membaik tapi
nyeri tidak. Hipnoterapi merupakan terapi psikologis yang paling banyak
dievaluasi, dapat menormalkan sensasi rektum, dan 12 sesi hipnoterapi
menguntungkan kualitas hidup, kecemasan, dan depresi pada pasien yang
refrakter (kecuali laki-laki dengan IBS dan diare), dan keuntungan dapat
berlangsung >5 tahun.

19
Terapi farmakologi 19
Terapi diarahkan sesuai dengan gejala yang dominan. Kemampuanya
berubah secara alamiah dan adanya interaksi yang kompleks antara system saraf
sentral dan enterik membatasi efektivitas dari terapi spesifik. Loperamid dapat
mencegah diare jika diminum sebelum makan atau aktivitas yang dapat
pencetuskan gejala. Konstipasi mulai ditangani dengan diet serat tambahan. Jika
respon tidak memuaskan, analog serat mungkin dapat membantu.
Pemberian obat lain seperti antibiotik masih kontroversial. Beberapa studi
menunjukkan bahwa antibiotik non-absorbable dalam jangka pendek memiliki
manfaat memperbaiki gejala dan diare. Antibiotik yang dapat digunakan adalah
rifaximin 1100-1200 mg/ hari dalam 2-3 dosis selama 10-14 hari. Penggunaan
antibitoik jangka panjang tidak disarankan karna dapat mengganggu flora normal
usus.
Manajemen IBS dengan gejala predominan nyeri 19
Antispasmodik
Agen antikolinergik terbukti dapat mengurangi kram abdominal yang
terkait spasme intestinal. Agen ini lebih efektif se-bagai profilaksis nyeri perut
akibat spasme. Mekanisme kerjanya adalah menghambat refleks gastrokolik.
Biasanya diberikan 30 menit sebelum makan agar mencapai konsentrasi
optimum sebelum nyeri timbul. Alkaloid belladonna memiliki efek antispasmodik
namun efek sampingnya xerostomia, retensi urine, pandangan kabur, dan sedasi.
Sebagian ahli menyarankan penggunaan anti kolinergik sintetik, seperti disklomin
dan hiosin yang memiliki efek samping lebih minimal. Muscle relaxant (me-
beverin dan pinaverium) dan Calcium channel Blocker (kolpermin dan minyak
peppermint) juga dapat menjadi pilihan.
Antidepresan
Antidepresan trisiklik (tricyclic antidepressant, TCA) dan penghambat
ambilan serotonin selektif (selective serotonin reuptake inhibitor, SSRI) dapat
digunakan sebagai terapi IBS karena efek hiperalgesianya. Pada pasien IBS-D,
penggunaan TCA imipramine memperlambat migrasi di jejunum dan memberikan
efek inhibisi motorik. SSRI paroxetine / fluoxetine mempercepat transit makanan
orocaecal, sehingga sangat berguna pada pasien dengan gejala utama konstipasi.

20
Tujuan sistematik dan metaanalisis efikasi TCA dan SSRI pada terapi IBS
hasilnya efektif mengatasi gejala IBS.20
Probiotik
Mekanisme kerja probiotik pada IBS belum sepenuhnya diketahui. Salah
satu hipotesis menyatakan kerapatan epitel intestinal mencegah bakteri patogen
masuk ke celah kintrasel dan melakukan invasi, produksi substansi antimikroba
dapat mencegah invasi bakteri patogenik; perubahan mikroflora intestinal dapat
berdampak pada fungsi motorik dan sekretorik intestinal; dan menjadi signal
epitel intestinal yang berfungsi memodulasi imunitas luminal dan respons
inflamasi. Bifidobacteria dan spesies Lactobacilli memperbaiki gejala IBS.
Manajemen IBS dengan kembung
Kembung merupakan gejala yang sering dijumpai pada pasien IBS-C.
kemungkinan mekanisme kembung meliputi masalah psikososial, kelemahan otot
abdominal, relaksasi paradoksal otot abdomen dan perubahan sensitivitas visceral.
Pada beberapa kasus dengan pertumbuhan bakteri berlebih, terapi antibotik
sangat efektif mengatasi gejala kembung. Antibiotic jangka pendek
direkomendasikan untuk mengatasi kembung pada IBS. Penggunaan antibotik non
absorben seperti rifaksimin mengatasi sensasi tidak nyaman pada abdomen,
namun penggunaan rifaksimin jangka pendek menunjukan relaps tinggi. Pada
penelitian dengan placebo, SSRI ( seperti fluoxetine) dapat meringankan gejala
kembung. Obat jenis ini memberikan efek antidepresi dan antiansietas.
Coriandrum sativum dan Mentha spicata memperbaiki gejala IBS dibandingkan
placebo karena efek antispasmodiknya.
Manajemen IBS-C (Predominan Konstipasi)
Diet tinggi serat direkomendasikan bagi pasien IBS-C. Konsumsi serat 12
gram per hari efektif mengurangi keluhan. Namun konsumsi serat juga dapat
meningkatkan kejadian kembung. Laksatif osmotic sering digunakan untuk
konstipasi, penggunaan jangka panjang terbukti aman dan efektif. Magnesium,
fosfat, dan emolien mengan- dung polietilen glikol juga efisien. Anti depressan
efektif mengatasi nyeri abdomen. SSRI menstimulasi sekresi endofrin endogen
dan memblokade ambilan neuroepinefrine yang memicu berkurangnya sensasi

21
nyeri. Pada IBS-C SSRI ( missal fluoxetine 20mg/hari) dapat membantu
mengatasi keluhan nyeri perut. 21
Manajemen IBS-D (Predominan Diare)
Agen antidiare secara umum efektif meng- atasi diare. Konsumsi agen
antidiare dosis rendah (misalnya loperamide setiap pagi) terbukti efektif pada
sebagian pasien. Penelitian double blind alosetron (antagonis reseptor 5-HT3) 2
kali 1 mg selama 12 minggu mengurangi frekuensi dan urgensi defekasi, selain itu
juga mengurangi nyeri abdomen, yang meningkatkan kualitas hidup pasien. 20,21

Terapi farmakologis IBS dengan keluhan kembung dan kelebihan produksi gas

Golongan Obat Contoh Fungsi


β- galaktosidase Terapi intoleransi laktosa; efektivitas
bervariasi pada pasien IBS dengan
intoleransi laktosa.
Preparat Enzim
α- galaktosidase Efektif apabila mengkonsumsi makanan
tinggi legume pada individu normal

Enzim Pankreas Efektifitasnya pada pasien IBS masih


belum diketahui pasti
Simetikon Efektif untuk dispepsia fungsional dan
produksi gas berlebih, disertai diare.
Absorben dan agen yang
mengurangi tekanan
permukaan Arang Aktif Efektifitas pada pasien IBS belum
terbukti

Bismuth Subsalisilat Efek mengurangi flatus

Modifikasi flora normal Antibiotik Berfungsi mengurangi pertumbuhan


bakteri akibat penyakit organik;
menguntungkan pasien IBS.
Tegaserod Berfungsi mengurangi kembung
Agen Prokinetik
Neostigmin Berfungsi mengurangi kembung;
mengurangi distensi pasien
pseudoobstruktif kolon akut. Sudah tidak
beredar di pasaran;

22
2.3 Infalmmatory Bowel Disease (IBD)

2.3.1 Definisi 22
Inflammatory bowel disease (IBD) menggambarkan kondisi peradangan
saluran cerna kronik dan idiopatik. Secara umum dibagi atas kolitis ulseratif
(KU), penyakit Crohn (PC) dan IBD type unclassified (IBDU, dulu dikenal
sebagai indeterminate colitis). Seperti namanya KU terbatas pada kolon,
sedangkan PC mencakup semua segmen daripada traktus gastrointestinal dari
mulut sampai anus. Etiopatogenesis IBD belum sepenuhnya dimengerti. Factor
genetic dan lingkungan dalam saluran cerna seperti perubahan bakteri usus dan
peningkatan premeabilitas epitel saluran cerna diduga berperan dalam gangguan
imunitas saluran cerna yang berujung pada kerusakan saluran cerna.

2.3.2 Epidemiologi 23,24

Sebelum tahun 1960, insiden UC lebih tinggi dibandingkan CD, namun


data terakhir dinyatakan bahwa insiden CD sudah hampir menyamai UC, yang
mungkin perubahan data ini disebabkan oleh berkembangnya pengenalan dan
penegakkan diagnosis CD. Diperkirakan sekitar 1-2 juta penduduk di Amerika
Serikat mengidap UC ataupun DC, dengan angka insiden sekitar 70-150 kasus per
100000 individu. Insiden IBD pada ras kulit putih kira-kira lebih tinggi empat kali
lipat dibandingkan ras lainnya. Perbandingan insiden antara laki-laki dan
perempuan hampir sama untuk UC dan CD, namun pada perempuan sedikit lebih
tinggi insidennya.
Kedua tipe IBD ini paling sering didiagnosa pada orang-orang berusia
dewasa muda. Insiden paling tinggi dan mencapai puncaknya pada usia 15-40
tahun, kemudian baru yang berusia 55-65 tahun. Namun, pada anak-anak di
bawah 5 tahun maupun pada orang usia lanjut terkadang dapat ditemukan
kasusnya. Dari semua pasien IBD, 10%-nya berusia kurang dari 18 tahun.
Berdasarkan statistik internasional, insiden IBD sekitar 2,2-14,3 kasus per
100000 orang per tahun untuk UC dan 3,1-14,6 kasus per 100000 orang per tahun
untuk CD. Rata- rata, insiden IBD 10 kasus per 100000 orang tiap tahunnya. 23
Belum ada data prevalensi dan insidensi IBD di Indonesia. Bila bertitik
tolak pada data endoskopi di Sub-bagian Gastroenterologi RSUPN Cipto

23
Mangunkusumo, Jakarta, di 20 kasus KU dan 10 kasus PC dari 700 pemeriksaan
kolonoskopi atas berbagai indikasi. Data di masyarakat mungkin lebih tinggi
daripada data yang ada di rumah sakit, mengingat sarana endoskopi belum
tersedia merata di pusat pelayanan kesehatan di Indonesia. Pada studi prospektif
di beberapa rumah sakit di Jakarta pada kasus yang dilakukan kolonoskopi atas
indikasi diare kronik, hematokezia, dan nyeri perut kronik (total 451 kasus),
didapatkan KU sebanyak 5,5 %, PC 2,0 %, dan 2,4 % indeterminate colitis.24

2.3.3 Etiologi 25,26

Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD maupun penjelasan yang
memadai untuk menerangkan fenomena populasi ataupun data geografis penyakit
ini. Tidak dapat disangkal bahwa faktor genetic memainkan peranan penting
dengan adanya kekerapan yang tinggi pada anak kembar dan adanya keterikatan
familial. Teori adanya peningkatan permiabelitas epitel usus, terdapatnya anti
neutrophil cytoplasmic autoantibodies, peran nitrit oxide dan riwayat infeksi
(terutama Mycobacterium paratuberculosis) banyak dikemukakan. Yang tetap
menjadi masalah adalah hal apa yang mencetuskan keadaan tersebut. Defek
imunologisnya kompleks, antara interaksi antigen eksogen, kemudahan masuk
antigen (termasuk permiabelitas epitel usus), dan kemungkinan disregulasi
mekanisme imun pasien IBD. 25,26
Walaupun etiologi sebenarnya tidak pasti, ada penelitian yang
memperkirakan teori etiologi IBD, yaitu infeksi spesifik yang persisten, disbiosis
(ratio abnormal daripada agen mikroba yang menguntungkan dan komensal yang
merugikan), fungsi barier mukosa yang terganggu, dan clearance mikroba yang
terganggu. Faktor-faktor pencetus yang memungkinkan terjadinya aktivasi respon
imun pada IBD adalah organisme patogenik (yang belum dapat diidentifikasi),
respon imun terhadap antigen intraluminal (contohnya protein dari susu sapi), atau
suatu proses autoimun dimana ada respon imun yang appropriate terhadap antigen
intraluminal, adapula respon yang inappropriate pada antigen yang mirip yang
terjadi pada sel epitel intestinal (contohnya perubahan fungsi barrier). Menurut
studi prospektif E3N, ditemukan bahwa makan makanan dengan protein
hewani yang tinggi (daging atau ikan) berhubungan dengan meningkatnya resiko
terjadi IBD.

24
Resiko berkembangnya KU meningkat pada orang-orang yang tidak
merokok, namun bukan berarti dengan merokok dapat menimbulkan
perbaikan gejala terhadap penyakit KU. Sebaliknya, untuk CD insiden lebih
tinggi ditemukan pada perokok daripada populasi umum, dan pasien-pasien
dengan CD yang tetap melanjutkan merokok akan lebih sedikit responnya
terhadap terapi Secara umum diperkirakan bahwa proses pathogenesis IBD
diawali oleh adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumenal kolon,
yang terjadi pada individu yang rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetic, defek
imun, lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus.26

2.3.4 Patofisiologi dan Patogenesis 27,28,29

Patofisiologi
Jalur akhir umum daripada patofisiologi IBD adalah inflamasi pada
mukosa traktus intestinal menyebabkan ulserasi, edema, perdarahan, kemudian
hilangnya air dan elektrolit. Banyak mediator inflamasi yang telah diidentifikasi
pada IBD, dimana mediator- mediator ini memiliki peranan penting pada patologi
dan karakteristik klinik penyakit ini. Sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag
karena respon daripada berbagai rangsangan antigenik, berikatan dengan reseptor-
reseptor yang berbeda, kemudian menghasilkan efek- efek autokrin, parakrin, dan
endokrin. Sitokin juga akan mendiferensiasikan limfosit menjadi berbagai tipe sel
T. Sel T helper tipe 1 (TH-1) berhubungan dengan CD, sedangkan TH-2
berhubungan dengan UC. Respon imun inilah yang akan merusak mukosa
intestinal dan menyebab proses inflamasi yang kronis.27
Ulcerative Colitis
Pada UC, inflamasi dimulai dari rektum dan meluas sampai kolon bagian
proksimal, dengan cepat melibatkan hampir seluruh bagian dari usus besar.
Rektum selalu terkena pada UC, dan tidak ada “skip area” (area normal pada usus
yang diselang-selingi oleh area yang terkena penyakit), dimana skip area ini
didapatkan pada CD. 25% dari kasus UC perluasannya hanya sampai rektum saja
dan sisanya, biasanya menyebar ke proksimal dan sekitarnya. Pancolitis terjadi
pada 10% dari kasus-kasus yang ada. Usus halus tidak pernah terlibat kecuali jika
bagian akhir distal daripada ileum mengalami inflamasi superfisial, maka dapat
disebut dengan backwash ileitis. Walaupun keterlibatan total dari kolon lebih

25
sedikit, penyakit ini menyerang serentak dan berkesinambungan. Jika UC menjadi
kronik, maka kolon akan menjadi kaku (rigid), memiliki sedikit haustral marking,
yang menyebabkan gambaran pipa yang lebam/hitam pada barium enema.
Crohn Disease
CD dapat melibatkan bagian manapun daripada saluran pencernaan, mulai
dari mulut sampai anus, dan menyebabkan tiga pola penyakit yaitu penyakit
inflamasi, striktur, dan fistula. Penyakit ini melibatkan segmen-segmen oleh
karena proses inflamasi granuloma nonspesifik. Tanda patologi yang paling
penting dari CD adalah transmural, melibatkan seluruh lapisan daripada usus,
tidak hanya mukosa dan submukosa, dimana jika mukosa dan submukosa saja
merupakan cirri daripada UC. Selain itu, CD tidak berkesinambungan, dan
memiliki skip area antara satu atau lebih dari area yang terkena penyakit.
Jika penyakit ini berlanjut, mukosa akan tampak seperti batu bulat
(cobblestone) oleh karena ulserasi yang dalam dan longitudinal pada mukosa yang
normal. Tiga pola mayor dari keterlibatan terhadap CD adalah penyakit pada
ileum dan ceccum (40%), penyakit terbatas pada usus halus (30%) dan terbatas
pada kolon (25%). Rectal sparing khas terjadi pada CD, tetapi tidak selalu terjadi.
Namun, komplikasi anorektal seperti fistula dan abses sering terjadi. Walaupun
jarang terjadi, CD dapat melibatkan bagian saluran pencernaan yang lebih
proksimal, seperti mulut, lidah, esofagus, lambung dan duodenum.28,29
Patogenesis
Secara umum, diperkirakan bahwa proses pathogenesis IBD diawali
adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intra lumen kolon pada individu
rentan dan dipengaruhi oleh factor genetis, defek imun, lingkungan sehinga terjadi
kaskade proses inflamasi pada dinding usus. Banyak mediator inflamasi telah
dikenali dalam pathogenesis IBD. Sitokin yang dilepaskan oleh makrofag sebagai
respons terhadap berbagai stimulus antigenic akan berikatan dengan beragam
reseptor dan menghasilkan efek autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin
mengubah limfosit menjadi sel T dimana sel T helper-1 (Th-1) berperan dalam
pathogenesis PC dan sel T-Helper 2 (Th-2) berperan dalam KU. Respons imun ini
akhirnya akan merusak mukosasaluran cerna dan memicu kaskade terjadinya
proses inflammasi kronik.

26
PC dan KU ditandai oleh meningkatnya rekruitmen dan resistensi
makrofag efektor, neutrofil, dan sel T ke dalam intestinal yang terinflamasi,
dimana mereka akan diaktivasi dan dikeluarkan sitokin-sitokin proinflamasi.
Akumulasi sel efektor ini dikarenakan meningkatnya rekruitmen dan menurunnya
apoptosis seluler. CD dominan melalui proses yang dimediasi TH-1 dan TH-17,
sedangkan UC terlihat sebagai gangguan TH2 atipikal.29

2.3.5 Manifestasi klinis 27,30

Diare kronik disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan
manifestasi klinis IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi
ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodusum
dan kolangitis. Di samping itu tentunya disertai gambaran keadaan sistemik yang
timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada sebagai gangguan nutrisi.
Gambaran klinis KU relative lebih seragam dibandingkan pada PC. Hal ini
disebabkan karena distribusi usus yang terlibat pada KU adalah kolon, sedangkan
pada PC lebih bervariasi yaitu dapat hanya usus halus, ileosaekal, kolon ataupun
dapat melibatkan semua bagian traktus gastrointestinal. Manifestasi IBD
umumnya tergantung pada area mana yang terlibat di saluran pencernaan. Pasien-
pasien dengan IBD dapat pula mengalami Irritable Bowel Syndrome (IBS),
dimana akan terjadi kram perut, kebiasaan buang air besar yang tidak teratur, dan
keluarnya mukus tanpa darah atau pus Adapun gejala dan lesi anatomis yang
terlibat dapat dilihat pada table dibawah.27

27
Gejala dan tanda :
Colitis Ulseratif Penyakit Chorn
Gejala dan
Diare kronik ++ ++
Perdarahan per anum ++ +
Nyeri perut ++
+
Adanya massa intraabdomen ++
0
Terjadinya fistula ++
+/-
Timbul striktur/stenosis usus ++
+
Keterlibatan usus halus ++
+/-
Keterlibatan rectum 50%
95%
Menifestasi ekstraintestinal +
+
Komplikasi megakolon toksik +/-
+
Patologi :
Lesi bersifat segmental 0 ++
Bersifat transmural +/- ++
Didapatkan granuloma 0 50%
Terjadi proses fibrosis + ++
Terjadi fistula +/- ++

Keterangan : (++) Sering, (+) Kadang-Kandang, (+/-) Jarang, (0) Tidak

Gejala sistemik yang dapat terjadi adalah demam, berkercingat, merasa


lemas, dan nyeri sendi. Demam ringan merupakan tanda pertama yang harus
diwaspadai, kemudian pasien dapat merasa kelelahan yang berhubungan dengan
nyeri, inflamasi, dan anemia. Rekurensi dapat terjadi oleh karena faktor stres
emosional, infeksi atau berbagai penyakit akut lainnya, kehamilan, penyimpangan
pola makan, penggunaan cathartic atau antibiotik, ataupun penghentian
penggunaan obat-obatan antiinflamasi atau steroid. Pada anak-anak dapat terjadi
keterlambatan tumbuh dan maturasi seksualnya tertunda atau gagal. Pada 10-
20% kasus terdapat manifestasi ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis, dan
penyakit liver. BAB berdarah, terkadang dengan tenesmus, khas terjadi pada KU,
namun pada CD kadang-kadang juga dapat terjadi. Sebagian besar pasien dengan
CD dapat mengalami penyakit perianal seperti fistula dan abses, kadang-kadang
dapat juga mengalami nyeri perut kanan bawah akut dan demam, mirip
apendisitis dan obstruksi intestinal. Tidak jarang pasien didiagnosa dengan IBS
sebelum terdiagnosa IBD.
Kehilangan berat badan lebih sering terjadi pada CD daripada UC karena
terjadinya malabsorpsi yang berhubungan dengan penyakit pada usus halus.
Pasien bisa tidak mau makan karena ingin mengurangi gejala yang terjadi.

28
Biasanya, diagnosis dapat ditegakkan hanya setelah beberapa tahun mengalami
nyeri perut berulang, demam, dan diare.
Pada PC selain gejala umum di atas, adanya fistula merupakan hal yang
karakteristik (Termasuk di perianal). Nyeri perut relative lebih mencolok. Hal ini
disebabkan oleh sifat lesi yang transmural sehingga dapat menimbulkan fistula
dan obstruksi serta berdampak pada timbulnya bacterial overgrowth. Secara
endoskopik, penilaian aktivitas penyakit KU relative lebih mudah dengan menilai
gradasi berat-ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang terlibat. Tetapi
pada PC hal tersebut lebih sulit, terlebih bila ada keterlibatan usus halus (tidak
terjangkau oleh tehnik pemeriksaan endoskopi), sehingga dipakai criteria yang
lebih spesifik (Chorn’s Disease Activity Index) yang didasari pada penilaian
adanya demam, data laboratorium, manifestasi ekstra-intestinal, frekuensi diare,
nyeri abdomen, fistulasi, penurunan berat badan, terabanya massa intra-abdomen,
dan rasa sehat pasien.

Patologis Kolitis ulseratif (KU) Penyakit Crohn (PC)


Lesi bersifat segmental (-) ++
(skip area)
Lesi bersifat transmural + +/++

Granuloma (-) 50%


Fibrosis + ++
Fistulasi + ++
Predileksi anatomis + +/++
Ileo-saekal + ++
Rektum ++ +
Gambaran patologis Abses kripti, distorsi Granuloma
kripti, infiltrasi sel tuberukoloid, infiltrasi
MN dan PMN di sel makrofag dan
lamina propria limfosit di lamina
propria

Keterangan: ++ = sering; + = kadang; + = jarang; (-) = tidak ada

Pada KU, proses peradangan dimulai di rektum dan meluas ke proksimal


secara kontinu sehingga secara umum dapat melibatkan seluruh bagian kolon.
Lesi biasanya hanya melibatkan lapisan mukosa dan sub mukosa usus. Inflamasi
hamper tidak pernah terjadi di daerah usus halus kecuali jika di ileum terminalis
juga terdapat peradangan. Keterlibatan rectum hamper selalu terjadi pada KU,

29
tidak adanya skip area yakni area normal diantara daerah lesi menjadi penanda
khas KU sehinga dapat dijadikan pembeda dengan PC. 30

2.3.6 Klasifikasi dan Diagnosis 25,31

Klasifikasi 25
CD dapat dibagi berdasarkan beratnya penyakit yang dinilai dengan
Crohn’s Disease Activity Index (CDAI). Sistem penilaian CD berdasarkan CDAI
di atas adalah sebagai berikut:
- CD ringan, jika nilai CDAI antara 150 sampai 220.
- CD sedang, jika nilai CDAI antara 221 sampai 400.
- CD berat, jika nilai CDAI lebih atau sama dengan 400.
- CD remisi, jika nilai CDAI kurang atau sama dengan 150.
KU dibedakan menurut lokasi dan perluasan inflamasi serta beratnya
penyakit:
- Proktitis ulseratif adalah inflamasi yang terbatas pada rektum.
- Proktosigmoiditis adalah inflamasi pada rektum dan kolon sigmoid.
- Kolitis sisi kiri adalah inflamasi yang dimulai dari rektum dan meluas ke
atas mengenai kolon sigmoid dan kolon desendens.
- Pankolitis adalah inflamasi yang mengenai seluruh kolon.
- Kolitis fulminan adalah bentuk berat pankolitis. Jenis ini jarang terjadi.
Berdasarkan gambaran klinis, KU dapat dikelompokkan berdasarkan
ringan beratnya penyakit, yaitu:
- KU ringan; diare kurang dari 4 kali sehari, tidak ada atau sedikit
perdarahan rektal, dan tidak terdapat gejala sistemik seperti demam,
takikardi, peningkatan LED, dan anemia.
- KU sedang; diare 4-6 kali sehari, perdarahan rektal sedang, terdapat
beberapa gejala sistemik, atau penyakit derajat ringan yang tidak berespon
terhadap pengobatan.
- KU berat; diare lebih dari 6 kali sehari (sering pada malam hari),
perdarahan rektal berat, gejala sistemik, malnutrisi dengan
hipoalbuminemia, dan penurunan berat badan lebih dari 10%
dibandingkan sebelum sakit.

30
Diagnosis 25,31

Diagnosis IBD ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,


temuan patologi (hasil darah lengkap), radiologi, dan endoskopi. Anamnesis
dilakukan dengan menjabarkan keluhan pasien (keluhan dijabarkan pada
manifestasi klinis) secara detail, sehingga keluhan pasien dapat dibedakan dengan
Irritable Bowel Syndrome (IBS). Faktor-faktor pencetus juga perlu digali pada
anamnesis. Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan fisik secara general dengan
tanda-tanda vital, pemeriksaan fisik abdomen dan rectal toucher. Pada
pemeriksaan penunjang dapat melihat hasil laboratorium darah lengkap,
pemeriksaan feses, endoskopi, dan radiologi. 25
Pemeriksaan Darah Lengkap
Komponen darah lengkap yang diperiksa berguna sebagai indikator
aktivitas daripada penyakit dan adanya defisiensi vitamin maupun zat besi.
Peningkatan jumlah sel darah putih umum pada pasien dengan penyakit inflamasi
yang aktif, dan bukan selalu mengindikasikan terjadinya infeksi.
Anemia sering terjadi, baik anemia oleh karena penyakit kronis (biasanya
dengan mean corpuscular volume [MCV] yang normal) ataupun anemia defisiensi
besi (dengan MCV yang rendah). Anemia dapat terjadi oleh karena kehilangan
darah yang akut maupun kronik atau karena malabsorpsi (zat besi, folat, vitamin
B12) atau karena penyakit kronis. Umumnya jumlah platelet normal, dapat sedikit
meningkat jika terjadi inflamasi aktif, khususnya jika terjadi perdarahan pada
saluran pencernaan.
Laju endap darah (LED) merupakan penanda terjadinya inflamasi, dimana
jika terdapat inflamasi akan terjadi peningkatan nilai LED di atas normal. LED
dapat digunakan untuk menentukan apakah IBD aktif sedang berlangsung atau
tidak. Pasien dengan striktur cicatrix tidak mengalami peningkatan LED.
Pemeriksaan feses
Sebelum membuat diagnosis definitif IBD idiopatik, lakukan kultur feses
untuk mengevaluasi adanya leukosit, ova, maupun parasit, kemudian kultur
bakteri patogen, dan titer Clostridium difficile. Minimal pemeriksaan untuk toksin
C difficile dilakukan pada pasien dengan colitis yang meluas. Amebiasis biasanya
susah diidentifikasi dengan pemeriksaan feses, lebih baik dengan pemeriksaan

31
serologi. 50-80% kasus ileitis terminal akut disebabkan oleh infeksi
Yersiniaenterocolitis, yang nanti gambarannya adalah pseudoappendicitis.
Yersiniosis juga memiliki frekuensi tinggi terjadinya manifestasi sekunder, seperti
eritema nodosum dan monoarticular arthritis, yang mirip dengan IBD.
Pemeriksaan Endoscopi
Endoskopi mempunyai peran penting dalam diagnosis maupun
penatalaksanaan kasus IBD. Akurasi diagnostic kolonoskopi pada IBD adalah
89% dengan 4% kesalahan dan 7% hasil yang meragukan. Adapun gambaran
endoskopi KU dan PC yang karakteristik dapat dilihat pada table dibawah. Pada
dasarnya KU merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon secara difus
dan kontinyu, dimulai dari rectum dan menyebar ke proksimal. Sedangkan PC
bersifat transmural, segmental dan dapat terjadi di saluran cerna bagian atas, usus
halus, ataupun kolon.
Dari data kolonoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan
bahwa lokasi KU adalah 80% pada rectum dan rektosigmoid, 12% kolonsebelah
kiri dan 8% melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis). Sedangkan PC, 11% terbatas
pada ileum terminal, ileo-kolon 33%, dan kolon 56%. Ileo-saekal merupakan
predileksi beberapa penyakit yaitu TBC, amebiasis, PC, dan keganasan. Data di
Jakarta memperlihatkan bahwa pada temuan lesi per-kolonoskopik yang terbatas
pada ileo-saekal disebabkan oleh 17,6% PC, 23,5% TBC, 17,6% amebiasis, dan
35,4% colitis infektif.
Tabel. Gambaran Lesi IBD secara Endoskopik
Colitis ulseratif Penyakit Crohn

Lesi inflamasi (edema, eritema, erosi, dll) :

Bersifat kontinyu +++ +


Adanya skip area (adanya mukosa normal di 0 +++
antara lesi)
Keterlibatan rectum +++ +
Lesi mudah berdarah +++ +
Mukosa granular +++ +
Cobblestoned appearece/pseudo polip + +++

32
Sifat ulkus :
Terdapat pada mukosa yang inflamasi +++ +
Keterlibatan ileum (ada lesi di ileum)
Lesi ulkus berukuran diskrit 0 ++++
Bentuk ulkus :
Diameter > 1cm + +++
Dalam
Bentuk linier (longitudinal) + +++
aphloid + ++
+ +++
0 ++++

Pemeriksaan Radiologi
Tehnik pemeriksan radiologi kontras merupakan pemeriksaan diagnostic
pada IBD yang saling melengkapi dengan endoskopi. Barium kontras ganda dapat
memperlihatkan striktur, fistula, mukosa yang irregular, gambaran ulkus dan
polip, ataupun perubahan distenbilitas lumen kolon berupa penebalan dinding
usus dan hilangnya haustrae. Interpretasi radiologi merupakan kontraindikasi pada
KU berat karena dapat mencetuskan megakolon toksik. Foto polos abdomen
secara sederhana dapat mendeteksi adanya dilatasi toksik yaitu tampak lumen
usus yang melebar tanpa material feses di dalamnya. Untuk menilai keterlibatan
usus halus dapat dipakai metode enterocolytis yaitu pemasangan kanul
nasogastrik sampai melewati ligamentum Treitz sehingga barium dapat dialirkan
secara kontinyu tanpa terganggu oleh kontraksi pylorus. Peran CT scan dan
ultrasonografi lebih banyak ditujukan pada PC dalam mendeteksi adanya abses
ataupun fistula.31

Radiografi Colitis ulseratif Penyakit Crohn

Abnormalitas usus halus - ++


Abnormalitas ileus terminal - ++
Kolitis segmental - ++
Colitis Asimetri - ++
Struktur +/- +

2.3.7 Tatalaksana 28,31

33
Mengingat bahwa etiologi dan pathogenesis IBD belum jelas, maka
pengobatannya lebih ditekankan pada kaskade penghambatan proses inflamasi
(kalau memang tidak dapat dihilangkan sama sekali). Dengan dugaan adanya
faktor/agen pro-inflamasi dalam bentuk bakteri intraluminal dan komponen diet
sehari-hari yng dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada kelompok orang
yang rentan, diusahakan mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian
antibiotic, lavase usus, mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja usus,
dan perubahan pola diet.
Metroniazol cukup banyak diselidiki dan cukup bermanfaat pada PC
dalam menurunkan derajat aktivitas penyakitnya. Sedangkan pada KU jarang
digunakan antibiotic sebagai terapi terhadap agen pro-inflamasinya. Disamping
beberapa konstituen diet yang harus dihindari karena mencetuskan serangan
(seperti wheat, cereal yeast, dan produk peternakan), terdapat konstituen yang
bersifat anti oksidan yang dalam penelitian terbatas terlihat bermanfaat pada kasus
IBD yaitu glutamine dan asam lemak rantai pendek. Mengingat penyakit ini
bersifat kronik eksaserbasi, edukasi pada pasien dan keluarganya mempunyai
peranan penting. Pada PC, derajat keparahan dijabarkan per definisi, yaitu:

Ringan – Sedang, yaitu pasien masih dapat mentoleransi makanan per oral,
tidak ada manifestasi dehidrasi maupun toksisitas (seperti demam tinggi, kaku,
lemas), tidak ada nyeri perut, massa yang nyeri, obstruksi, atau penurunan berat
badan > 10%.

Sedang – Berat, yaitu pasien yang gagal merespon terapi atau pasien dengan
gejala-gejala yang lebih menonjol, yaitu demam, penurunan berat badan yang
signifikan, nyeri perut, mual atau muntah intermiten (tanpa tanda-tanda obstruksi),
atau anemia yang signifikan.

Berat – Fulminan, yaitu pasien dengan gejala yang menetap walaupun dengan
terapi steroid, atau pasien dengan gejala demam tinggi, muntah persisten, ada
tanda obstruksi intestinal, nyeri “rebound”, cachexia, atau ditemukannya abses.
Remisi, yaitu pasien yang asimtomatik atau tanpa sequealae inflamasi, juga
pasien yang respon terhadap intervensi medis akut atau telah melakukan
pembedahan dengan reseksi tanpa ditemukannya gejala sisa, dan pasien juga tidak
tergantung terhadap steroid untuk mempertahankan kondisinya yang membaik.

34
Kortikosteroid
Sampai saat ini glukokortikoid merupakan oba pilihan untuk PC (semua
derajat) dan KU derajat sedang berat. Pada umumnya pilihan jatuh pada
prednisone, metilprednisolon (keduanya bentuk oral) atau hidrokortison enema.
Pada keadaan berat dapat diberikan secara parenteral. Dengan tujuan memperoleh
konsentrasi steroid local di usus yang tinggi dengan efek sistemik (dan efek
sampan) yang renda, telah dicoba golongan glukokortikoid non-istemik untuk
pengobatan IBD. Aplikasi rectal/enema diprioritaskan pada KU distal, sedangkan
untuk PC dipakai preparat oral lepas lambat. Termasuk golongan ini antara lain
budesonid oral/enema. Dosis rata-rata yang banyak digunakan adalah setara
prednisone 40-60 mg per hari dan bila remisi telah tercapai dilakukan tapering
dose dalam waktu 8-12 minggu.
Asam Aminosalisilat
Pemakaian aminosalisilat telah lama mapan pada pengobatan IBD.
Preparate Sulfasalazin (ikatan azo dari sulfapiridin dan aminosalisilat) di dalam
usus akan dipecah menjadi sulfapirin dan 5 amino salicylic acid (5-ASA). Telah
diketahui bahwa yang bekerja sebagai anti-inflamasi pada IBD adalah 5-ASA.
Saat ini tersdia preparate 5-ASA murni, baik dalam bentuk lepas lambat pada
ph>5 (di Indonesia Salofalk) maupun ikatan diazo. Baik sulfasalazin maupun 5-
ASA mempunyai efektifitas yang relative sama pada IBD, hanya dilaporkan efek
samping yang terjadi diakibatkan komponen sulfapiridin. Dosis oral rata-rata yang
banyak digunakan adalah 2-4 gram per hari.
Imnosupresif
Bila dengan 5-ASA dan glukokortikoid gagal dicapai remisi, alternative
lain adalah penggunaan obat imunosupresif seperti 6-merkaptopurin (1,5
mg/KgBB/hari/oral), azatioprin, siklosporin, dan metotreksat.
Loperamide (Imodium)
Bekerja pada lapisan otot intestinal untuk menghambat peristaltic usus dan
menurunkan motilitas usus halus. Memperpanjang waktu paruh elektrolit dan
cairan sampai ke usus, meingkatkan viskositas cairan dan menurunkan kehilangan
cairan dan elektrolit.

35
Dewasa :
Dosis Awal : 4 mg PO
Maintenance : 2 mg PO, tidak lebih 16 mg/d
Anak :
<2 tahun : Tidak dianjurkan
2-6 tahun : 1 mg PO
6-8 tahun : 2 mg PO
8-12 tahun : 2 mg PO
>12 tahun : Diberikan dosis dewasa dengan Chronic diarrhea: 0.08-
0.24 mg/kg/hari
Diphenoxylate and Atropine (Lomotil)
Dewasa : 15-20 mg/d PO 2-3 x/ hari, diikuti 5-15 mg/hari
Anak :
<2 tahun : Tidak dianjurkan
>2 tahun : 0.3-0.4 mg/kg/d PO dalam dosis terbagi
2-5 tahun : 2 mg PO
5-8 tahun : 2 mg PO
8-12 tahun : 2 mg PO 5x / hari
>12 tahun : Diberikan dosis dewasa
Cholestyramine (Questran)
Dewasa : 4 g PO qd/bid;tidak lebih dari 24 g/d atau 6 doses/hari
Anak : 240mg/kg/d PO dibagi dalam 3 dosis
Dicyclomine (Bentyl)
Dewasa : 80 mg/d PO
Anak : 10 mg/dose PO
Surgical
Indikasi intervensi surgical biasanya bila terjadi komplikasi atau terapi
konservatif gagal dilakukan.28,31

2.3.8 Komplikasi 31

Dalam perjalanan penyakit IBD dapat terjadi komplikasi-komplikasi


sebagai berikut , perforasi usus, terjadi stenosis usus akibat proses fibrosis,
megakolon toksik (teruama pada KU), perdarahan saluran cerna, degenerasi

36
maligna. Diperkirakan resiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13%
setelah 20 tahun menderita.

2.3.9 Prognosis 31

Pada dasarnya, penyakit IBD merupakan penyakityang bersifat remisi dan


eksaserbasi. Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan dan
dalam jangka waktu yang lama. Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya
komplikasi dan perjalanan klinis yang resisten terhadap penatalaksanaan
konservatif dan membutuhkan intervensi surgical. Dilaporkan antara 60-70%
kasus PC membutuhkan intervensi surgical dalam perjalanan penyakitnya.
Sedangkan pada KU, 30% pasien yang telah 25 tahun menderita penyakit ini,
membutuhkan tindakan kolektomi.
IBD sampai saat ini merupakan penyakit yang belum diketahui penyebab
pastinya bermanifestasi terutama dalam bentuk diare kronik dengan manifestasi
sistemik dan ekstra-intestinalnya, serta bersifat kronik kambuhan. Kekerapannya
tinggi di Negara barat, tapi di Indonesia masih memerlukan data epidemiologi
yang akurat. Pada dasarnya pengobatan berupa pemberian obat anti-inflamasi
yang bekerja local di dinding usus maupun sistemik. 31

37
BAB III
KESIMPULAN
Permasalahan pada saluran cerna bagian bawah seperti IBD dan IBS
merupakan penyakit yang berbhaya dan membutuhkan perhatian lebih. Iritable
bowel syndrome (IBS) adalah kelainan fungsional usus kronis berulang dengan
nyeri atau rasa tidak nyaman abdomen yang berkaitan dengan defekasi atau
perubahan kebiasaan buang air besar setidaknya selama 3 bulan. IBS dapat
diklasifikasikan menjadi IBS tipe konstipase, IBS tipe diare, IBS tipe campuran
(mixed), dan unsubtyped IBS. Dimana gejala utama meliputi pola nyeri atau
sensasi tidak nyaman yang berasal dari gangguan fungsi saluran cerna dan
perubahan pola defekasi. Nyeri berkurang setelah defekasi atau berkaitan dengan
perubahan konsistensi feses.
Pasien dengan gejala konstipasi yang dominan akan mengalami konstipasi
selama berminggu-minggu dan diselingi diare. Konstipasi awalnya episodik
namun semakin lama semakin berat hingga idak bisa diatasi dengan menggunakan
laksatif. Pasien dengan gejala dominan diare memiliki feses encer, sering dalam
volume sedikit-sedikit. Dapat ditemukan mukus,namun tidak ditemukan darah dan
tidak terjadi malabsorbsi. Subtipe yang paling sering di jumpai adalah IBS tipe
diare dengan tiap tiap tipe IBS mempunyai penanganan yang berbeda berdasarkan
tipe nya.
Sedangkan Inflammatory bowel disease (IBD) menggambarkan kondisi
peradangan saluran cerna kronik dan idiopatik. Secara umum dibagi atas kolitis
ulseratif (KU), penyakit Crohn (PC) dan IBD type unclassified. Seperti namanya
KU terbatas pada kolon, sedangkan PC mencakup semua segmen daripada traktus
gastrointestinal dari mulut sampai anus. Diare kronik disertai atau tanpa darah dan
nyeri perut merupakan manifestasi klinis IBD yang paling umum dengan beberapa
manifestasi ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis, pioderma gangrenosum,
eritema nodusum dan kolangitis.
Gambaran klinis KU relative lebih seragam dibandingkan pada PC. Hal ini
disebabkan karena distribusi usus yang terlibat pada KU adalah kolon, sedangkan
pada PC lebih bervariasi yaitu dapat hanya usus halus, ileosaekal, kolon ataupun
dapat melibatkan semua bagian traktus gastrointestinal. Manifestasi IBD

38
umumnya tergantung pada area mana yang terlibat di saluran pencernaan. Pasien-
pasien dengan IBD dapat pula mengalami Irritable Bowel Syndrome (IBS),
dimana akan terjadi kram perut, kebiasaan buang air besar yang tidak teratur, dan
keluarnya mukus tanpa darah atau pus. Pada KU, proses peradangan dimulai di
rektum dan meluas ke proksimal secara kontinu sehingga secara umum dapat
melibatkan seluruh bagian kolon.
Diagnosis IBD ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, temuan
patologi (hasil darah lengkap), radiologi, dan endoskopi. Penatalaksanaan pada
IBD itu sendiri dapat di berikan Aminosalisilat, kortikosteroid, imuno suppresif,
dan loperamid. Dalam perjalanan penyakit IBD dapat terjadi komplikasi-
komplikasi yaitu, perforasi usus, terjadi stenosis usus akibat proses fibrosis,
megakolon toksik (teruama pada KU), perdarahan saluran cerna, degenerasi
maligna dan diperkirakan resiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13%
setelah 20 tahun menderita.

39

Anda mungkin juga menyukai