Anda di halaman 1dari 10

NASIKH DAN MANSUKH

Oleh
Ustadz Muslim Al-Atsari

Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun


secara istilah, maka ada dua macam:

Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif
yang berbeda-beda.

Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan : “Naskh adalah penjelasan


berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya”. [1]

Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan:
“Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang
datang setelahnya”. [2]

Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari
Al-Kitab dan As-Sunnah”. [3]

Kedua : Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada
mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.

Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga
orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin) yang harus
(berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri”. [4]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan
oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) naasikh
dan mansukh terkadang adalah: menghapuskan hukum sekaligus, dan ini merupakan istilah
muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am, [5] mutlaq, [6] zhahir,
[7] dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau
membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta
tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’ (pengecualian), syarath,
dan sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhahir dan menjelaskan yang
dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah: menjelaskan
yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya. Barangsiapa
memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-apa yang tidak dapat
dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena
membawa perkataan mereka pada istilah baru yang akhir”. [8]
Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan
hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya naasikh (yang menghapuskan) adalah Allah
Azza wa Jalla.

Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.

PENUNJUKKAN ADANYA NASKH DALAM SYARI’AT


Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh
(dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal,
dan ijma’.

Dalil Naql
Firman Allah Azza wa Jalla.

‫سخ َما‬
َ ‫َءايَة ِمن نَن‬

Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)… [Al Baqarah:106]

Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran
Salafush Sholih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat
Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi,
Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir [Lihat Taffsir Ibnu Katsir, surat Al-Baqarah: 106]

Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mu’jizat”, sebagaimana
dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A.Hassan rahimahullah, maka kami khawatir itu
merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’
ahli tafsir sebagaimana di atas. Wallohu a’lam.

Firman Allah Azza wa Jalla.

‫َءايَة َّم َكانَ َءايَة بَدَّلنَآ َوإِذَا‬

Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain. [An Nahl:101]

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan
mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan pengganti adalah naasikh, ayat
yangdigantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun
sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Alloh. Lebih
luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Dalil Akal.
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh boleh terjadi menurut
akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala
perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang
Penguasa) Al-Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hambanya
apa yang dituntut oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik
memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki? Kemudian bahwa
kandungan hikmah Allah dan rahmatNya terhadap hamba-hambaNya adalah Dia mensyari’atkan
untuk mereka apa-apa yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat
agama dan dunia mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan keadaan
dan zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu waktu atau satu
keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan yang lain lebih mashlahat. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [Ushul Fiqih, hal: 45, karya Syeikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin]

Dalil Ijma’.
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah.

Al-Baji rahimahullah berkata: “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh
syari’at menurut akal dan syara’”. [9]

Al-Kamal Ibnul Humam rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas
bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at)”. [10]

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa tiga


bentuk ini (yaitu naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah
Mutawatir; dan naskh Sunnah Ahad dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara
ulama yang dipercaya, sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma’ padanya.
Maka penyelisihan orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan tidak ada dalil
untuknya”. [hal: 148]

Dr. Ali berkata: “Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para sahabat Radhiyallahu
‘anhum dan seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menghapus seluruh syari’at yang telah lalu. Sebagaimana mereka juga telah ijma’ bahwa
naskh telah terjadi pada banyak hukum-hukum syari’at Islam. Dan terjadinya hal itu cukup
sebagai dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya (naskh menurut akal-red)”. [Araul
Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 425, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi]

Syaikh Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah sepakat atas
kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya menurut syara’. Kecuali
apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad bin Bahr Al-Ashfahani seorang Mu’tazilah
yang mati tahun 322 H”. [11]
MACAM-MACAM NASKH
Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian: [12]

1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.


Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan,
namun lafazhnya tetap.

Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat
tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.

Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.

‫ي يَآأَيُّ َها‬
ُّ ‫ض النَّ ِب‬ َ ‫الَّذِينَ ِمنَ أَلفا يَغ ِلبُوا ِمائ َة ِمن ُكم يَّ ُكن َو ِإن ِمائَتَي ِن يَغ ِلبُوا‬
ِ ‫صا ِب ُرونَ ِعش ُرونَ ِمن ُكم يَ ُكن ِإن ال ِقتَا ِل َعلَى ال ُمؤ ِمنِينَ َح ِر‬
َّ َ َ َ
‫يَفق ُهونَ ل قوم بِأن ُهم َكفَ ُروا‬ َ

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang
yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika
ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada
orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Al Anfal :65]

Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-
orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir.

Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.

َ‫ف الئَان‬َ َّ‫ضعفا فِي ُكم أ َ َّن َو َع ِل َم َعن ُكم للاُ َخف‬ َ ‫للاِ بِإِذ ِن أَلفَي ِن يَغ ِلبُوا أَلف ِمن ُكم يَ ُكن َوإِن ِمائَتَي ِن يَغ ِلبُوا‬
َ ‫صابِ َرة ِمائ َة ِمن ُكم يَ ُكن فَإ ِن‬
ُ‫صا ِب ِرينَ َم َع َوللا‬
َّ ‫ال‬

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada
kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. [Al Anfal :66]

Abdullah bin Abbas berkata:

‫صا ِب ُرونَ ِعش ُرونَ ِمن ُكم يَ ُكن ِإن ( نَزَ لَت لَ َّما‬ َ ‫احد يَ ِف َّر َل أَن َع َلي ِهم فُ ِر‬
َ ‫ض ِحينَ ال ُمس ِل ِمينَ َع َلى ذَلِكَ ش ََّق ) ِمائَت َي ِن يَغ ِلبُوا‬ ِ ‫ِمن َو‬
َ
‫يف ف َجا َء َعش ََرة‬ َّ َ َ
ُ ‫ف اْلنَ ( فقا َل التخ ِف‬ َّ ُ َّ َ ُ َ ُ ُ
َّ ‫صابِ َرة ِمائ َة ِمنكم يَكن فإِن ضُعفا فِيكم أن َو َع ِل َم َعنكم‬
َ ‫ّللاُ َخف‬ َ ‫فَلَ َّما قَا َل ) ِمائتَي ِن يَغ ِلبُوا‬
َ
‫ف‬َ َّ‫ّللاُ َخف‬
َّ ‫ص ال ِعدَّةِ ِمنَ َعن ُهم‬ َ َ‫صب ِر ِمنَ نَق‬ َّ ‫ف َما ِبقَد ِر ال‬َ ‫َعن ُهم ُخ ِف‬

Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh” (Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu
ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh).
Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan
kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu
seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (Al-Anfal: 66)
Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi-red),
kesabaranpun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka”. [HR.
Bukhari, no: 4653]

Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam
ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’,
‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya.
[13] Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran
mereka.

2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.


Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh
(penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang
menyendiri dari kalangan Mu’tazilah. [14]

Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di
dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu
sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an.
Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap
anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan
wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam. [15]

Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya
adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan
mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang
Yahudi yang berusaha menutupi nash rajm di dalam Taurat”. [16]

Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm [17] Umar bin Al-Khathab berkata:

‫طو َل أَن َخ ِشيتُ لَقَد‬ ُ ‫اس َي‬ ِ َّ‫الرج َم ن َِجد ُ َل قَا ِئل َيقُو َل َحتَّى زَ َمان ِبالن‬
َّ ‫ب ِفي‬ َّ ‫ضلُّوا‬
ِ ‫ّللاِ ِكتَا‬ َ ‫ّللاُ أَنزَ لَ َها فَ ِري‬
ِ ‫ضة ِبتَر ِك َف َي‬ َّ ‫الرج َم َو ِإ َّن أ َ َل‬
َّ
َ
‫صنَ َوقَد زَ نَى َمن َعلى َحق‬ َ
َ ‫ت إِذَا أح‬ ُ َ َ
ِ ‫اف أ ِو ال َحبَ ُل َكانَ أو البَيِنَة قَا َم‬
ُ ‫سفيَانُ قَا َل ِالعتِ َر‬ َ
ُ ‫سو ُل َر َج َم َوقَد أ َل َح ِفظتُ َكذَا‬ ُ ‫ّللاِ َر‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ
َ ُ‫ّللا‬
‫سلَّ َم َعلَي ِه‬ ‫و‬ ‫َا‬ ‫ن‬‫م‬‫ج‬ ‫ر‬
َ َ َ َ َ ُ َ‫و‬ ‫ه‬َ ‫د‬ ‫ع‬‫ب‬

Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan
berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat
dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah,
sesungguhnya rajm adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah
tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianalh yang aku ingat”.
“Ingatlah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan rajm, dan kita telah
melakukan rajm setelah beliau”. [HR. Bukhari, no: 6829; Muslim, no: 1691; dan lainnya]

Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:

َّ ‫شي َخةُ ال‬


‫شي ُخ‬ َّ ‫َح ِكيم َع ِزيز للاُ َو للاِ ِمنَ نَكَال البَتَّةَ فَار ُج ُمو ُه َما زَ نَيَا إِذَا َوال‬

Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya : yang
sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang
mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. [Lihat Fathul Bari,
12/169, Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th: 1419 H / 1998 M, syarh hadits no: 6829]

3. Nash Yang Mansukh Hukumnya Dan Lafazhnya.


Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:

َ‫آن ِمنَ أُن ِز َل فِي َما َكان‬ َ ‫ي َمعلُو َمات ِبخَمس نُسِخنَ ث ُ َّم يُ َح ِرمنَ َمعلُو َمات َر‬
ِ ‫ض َعات َعش ُر القُر‬ َ ِ‫سو ُل فَت ُ ُوف‬ َّ ‫صلَّى‬
ُ ‫ّللاِ َر‬ َّ ‫سلَّ َم َعلَي ِه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫َو‬
ُ
‫آن ِمنَ يُق َرأ فِي َما َوه َُّن‬ ُ
ِ ‫القر‬

Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan
yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali
penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan itu
termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]

Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau : Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya. [18]

Kedua : Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) –secara ringkas- ada
empat bagian:

1. Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an.


Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang beranggapan tidak ada
ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. [19]

Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal, sebagaimana telah
kami sampaikan di atas. Contoh lain: firman Allah Azza wa Jalla.

‫سو َل نَا َجيت ُ ُم ِإذَا َءا َمنُوا الَّذِينَ يَاأَيُّ َها‬ َ َ‫ورُُ للاَ فَإ ِ َّن ت َِجد ُوا لَّم فَإِن َوأَط َه ُر لَّ ُكم خَي ُرُُ ذَلِك‬
َّ ‫صدَقَة نَج َوا ُكم يَدَي بَينَ فَقَ ِد ُموا‬
ُ ‫الر‬ ُ ُ‫َغف‬
‫َّر ِحيم‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul
hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan
disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al
Mujadilah :12]

Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang
menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla
firmanNya:

‫صدَقَات نَج َوا ُكم َيدَي َبينَ تُقَ ِد ُموا أَن َءأَشفَقتُم‬ َ ‫صالَة َ فَأ َ ِقي ُموا َعلَي ُكم للاُ َوت‬
َ ‫َاب تَف َعلُوا لَم فَإِذ‬ َّ ‫سولَهُ للاَ َوأ َ ِطيعُوا‬
َّ ‫الزكَاة َ َو َءاتُوا ال‬ ُ ‫َو َر‬
ُ
ُ‫تَع َملونَ بِ َما َخبِير َوللا‬

Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi
taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-
Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadilah:13]

2. Al-Qur’an Dimansukh Dengan As-Sunnah.


Pada jenis ini ada dua bagian:

a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir.


Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau
menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang
setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata:
“(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir,
contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-
Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya”. [20]

b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad.


Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan terjadi.
Contohnya:

Firman Allah Azza wa Jalla.

‫ي َمآ فِي أَ ِجدُ ْل قُل‬ ِ ُ‫ي أ‬


َ ‫وح‬ ِ ‫أ ُ ِه َّل فِسقا أَو ِرجس فَإِنَّهُ ِخ‬
َ ُ‫نزير لَح َم أَو َمسفُوحا دَما أَو َميت َة يَّ ُكونَ أَن إِلَّ يَطعَ ُمه‬
َّ َ‫طا ِعم َعلَى ُم َح َّرما إِل‬
‫ِب ِه للاِ ِلغَي ِر‬

Katakanlah:”Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang
disembelih atas nama selain Allah. [Al An’am :145]

Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat ini diturunkan- hanyalah
empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat
ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang
kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-
An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijroh, dengan kesepakatan ulama.
Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khoibar.

‫ضي َما ِلك ب ِن أَن َِس َعن‬ َّ ُ‫سو َل أ َ َّن َعنه‬


ِ ‫ّللاُ َر‬ َّ ‫صلَّى‬
ُ ‫ّللاِ َر‬ َّ ‫سلَّ َم َعلَي ِه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ت فَقَا َل َجاء َجا َءهُ َو‬ ِ َ‫ت فَقَا َل َجاء َجا َءهُ ث ُ َّم ال ُح ُم ُر أ ُ ِكل‬ ِ َ‫أ ُ ِكل‬
‫ت فَقَا َل َجاء َجا َءهُ ث ُ َّم ال ُح ُم ُر‬ ِ ‫اس ِفي فَنَادَى ُمنَادِيا فَأ َ َم َر ال ُح ُم ُر أُف ِن َي‬ َّ ُ‫سولَه‬
ِ َّ‫ّللاَ ِإ َّن الن‬ ُ ‫وم َعن َين َه َيا ِن ُكم َو َر‬ ِ ‫ِرجس فَإِنَّ َها اْلَه ِل َّي ِة ال ُح ُم ِر لُ ُح‬
‫ت‬ ُ
ِ َ‫ُور فَأك ِفئ‬ ُ ‫ور َوإِنَّ َها القُد‬ َّ
ُ ُ‫بِاللح ِم لَتَف‬

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh seseorang
yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada
beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian
datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah
dimakan”. Kemudian beliau memerintahkan seorang penyeru, lalu dia menyeru di kalangan
orang banyak: “Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kamu dari daging keledai jinak,
sesungguhnya ia kotor/najis”. Maka periuk-periuk dibalikkan, sedangkan periuk-periuk itu
mendidih (berisi) daging (keledai jinak). [21]

Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging keledai jinak tidak bertentangan,
karena waktu keduanya berbeda. Di saat ayat di atas turun, daging keledai jinak halal, karena
yang diharamkan hanyalah empat jenis makanan. Kemudian setelah itu datang pengharaman
daging keledai jinak. [Mudzakiroh, hal: 153-155]

3. As-Sunnah Dimansukh Dengan Al-Qur’an.


Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah,
dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.

َ ُّ‫آء فِي َوج ِهكَ تَقَل‬


‫ب ن ََرى قَد‬ َّ ‫ضاهَا قِبلَة فَلَنُ َو ِليَنَّكَ ال‬
ِ ‫س َم‬ ُ ‫ُو ُجو َه ُكم فَ َولُّوا ُكنتُم َما َو َحي‬
َ ‫ث ال َح َر ِام ال َمس ِج ِد شَط َر َوج َهكَ فَ َو ِل ت َر‬
ُ‫شَط َره‬

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.
Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144]

4. As-Sunnah Dimansukh Dengan As-Sunnah.


Contoh: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
‫ارةِ َعن نَ َهيت ُ ُكم‬ ِ ‫وروهَا القُب‬
َ َ‫ُور ِزي‬ ُ ‫فَ ُز‬

Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah
(kubur). [HR. Muslim, no: 977]

Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus
hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau
lafazhnya.

Demikian, semoga bermanfaat

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat: Al-Minhaj Bi Syarhil Ibhaaj 2/247; dinukil dari Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal:
412-413, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[2]. Idem, hal: 413
[3]. Ushulul Fiqh, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
[4]. [I’lamul Muwaqqi’in 1/36, Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 M
[5]. ‘Am adalah: lafazh yang meliputi seluruh apa yang pantas baginya sekaligus dan sesuai
dengan bentuknya dengan tanpa pembatasan”. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 95, Syaikh Hafizh
Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[6]. Muthlaq adalah: lafazh yang mengenai satu yang tidak tertentu dalam kedudukan hakekat
yang mencakup terhadap jenisnya. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 90
[7]. Zhahir adalah: lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, namun lebih nampak pada
salah satunya, mungkin dari sisi syara’ atau bahasa atau ‘urf (kebiasaan). Lihat: Taisirul Ushul,
hal: 32
[8]. Idem
[9]. Ihkamul Fushul, hal: 391, dinukil dari 421
[10]. At-Tahrir bi Syarhit Taisir 3/181, dinukil dari Aroul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 421,
karya Syaikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[11]. Taisirul Ushul, hal: 216
[12]. Lihat: Mudzakirah Ushulul Fiqh ‘Ala Raudhatun Nazhir, hal: 127, karya Syeikh
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, tahqiq: Abu Hafsh Sami Al-‘Arabi, Darul Yaqin,; Ushulul
Fiqh, hal: 47-48, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin; Syarh Al-Waraqat Fii
Ushulil Fiqh, hal: 170-173, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan; Taisirul Ushul, hal:
214-216, Syeikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anfal 65-66
[14]. Al-Ihkaam 3/154, karya Al-Amidi ; dinukil dari Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal:
170, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[15]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 171, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-
Fauzan
[16]. Ushul Fiqh, hal: 48, karya Syeikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin
[17]. Yaitu had (hukuman) bagi pezina yang sudah menikah dengan dilempari batu sampai mati
[18]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-
Fauzan
[19]. Lihat: Mudzakirah ‘Ala Ushul Fiqh, hal: 148, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Syinqithi
[20]. Mudzakiroh Ushul Fiqih, hal: 150
[21]. HR. Bukhari, no: 5528; Muslim, no: 1940 (35)

Anda mungkin juga menyukai