Definisi
—Perdarahan post partum didefinisikan sebagai hilangnya 500 ml atau lebih darah setelah anak lahir. Pritchard
dkk mendapatkan bahwa sekitar 5% wanita yang melahirkan pervaginam kehilangan lebih dari 1000 ml darah.
Epidemiologi
—Perdarahan post partum dini jarang disebabkan oleh retensi potongan plasenta yang kecil, tetapi plasenta yang
tersisa sering menyebabkan perdarahan pada akhir masa nifas.1 Kadang-kadang plasenta tidak segera terlepas.
Bidang obstetri membuat batas-batas durasi kala tiga secara agak ketat sebagai upaya untuk mendefenisikan
retensio plasenta shingga perdarahan akibat terlalu lambatnya pemisahan plasenta dapat dikurangi. Combs dan
Laros meneliti 12.275 persalinan pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi kala III adalah 6 menit dan
3,3% berlangsung lebih dari 30 menit. Beberapa tindakan untuk mengatasi perdarahan, termasuk kuretase atau
transfusi, menigkat pada kala tiga yang mendekati 30 menit atau lebih.1
—Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah pada sebelum hamil dan derajat anemia saat kelahiran.
Gambaran perdarahan post partum yang dapat mengecohkan adalah nadi dan tekanan darah yang masih dalam
batas normal sampai terjadi kehilangan darah yang sangat banyak.1
Klasifikasi
1. Perdarahan post partum primer / dini (early postpartum hemarrhage), yaitu perdarahan yang terjadi
dalam 24 jam pertama. Penyebab utamanya adalah atonia uteri, retention plasenta, sisa plasenta dan
robekan jalan lahir. Banyaknya terjadi pada 2 jam pertama
2. Perdarahan Post Partum Sekunder / lambat (late postpartum hemorrhage), yaitu-perdarahan yang terjadi
setelah 24 jam pertama.
Etiologi
—Etiologi dari perdarahan post partum berdasarkan klasifikasi di atas, adalah :1,9
2. Laserasi Jalan lahir : robekan perineum, vagina serviks, forniks dan rahim. Dapat menimbulkan perdarahan
yang banyak apabila tidak segera di reparasi.
3. Hematoma
—Hematoma yang biasanya terdapat pada daerah-daerah yang mengalami laserasi atau pada daerah jahitan
perineum.
4. Lain-lain
—Sisa plasenta atau selaput janin yang menghalangi kontraksi uterus, sehingga masih ada pembuluh darah yang
tetap terbuka, Ruptura uteri, Inversio uteri
Diagnosis
—Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu diperhatikan ada perdarahan yang menimbulkan
hipotensi dan anemia. apabila hal ini dibiarkan berlangsung terus, pasien akan jatuh dalam keadaan syok.
perdarahan postpartum tidak hanya terjadi pada mereka yang mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap
persalinan kemungkinan untuk terjadinya perdarahan postpartum selalu ada. 9
—Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes. perdarahan yang deras biasanya akan segera menarik
perhatian, sehingga cepat ditangani sedangkan perdarahan yang merembes karena kurang nampak sering kali
tidak mendapat perhatian. Perdarahan yang bersifat merembes bila berlangsung lama akan mengakibatkan
kehilangan darah yang banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan, maka darah yang keluar setelah placenta
lahir harus ditampung dan dicatat. 9
—Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi menumpuk di vagina dan di dalam uterus.
Keadaan ini biasanya diketahui karena adanya kenaikan fundus uteri setelah uri keluar. Untuk menentukan
etiologi dari perdarahan postpartum diperlukan pemeriksaan lengkap yang meliputi anamnesis, pemeriksaan
umum, pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan dalam. 9
—Pada atonia uteri terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada palpasi abdomen uterus didapatkan
membesar dan lembek. Sedangkan pada laserasi jalan lahir uterus berkontraksi dengan baik sehingga pada
palpasi teraba uterus yang keras. Dengan pemeriksaan dalam dilakukan eksplorasi vagina, uterus dan
pemeriksaan inspekulo. Dengan cara ini dapat ditentukan adanya robekan dari serviks, vagina, hematoma dan
adanya sisa-sisa plasenta.9
—Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum adalah memimpin kala II dan kala III
persalinan secara lega artis. Apabila persalinan diawasi oleh seorang dokter spesialis obstetrik dan ginekologi
ada yang menganjurkan untuk memberikan suntikan ergometrin secara IV setelah anak lahir, dengan tujuan
untuk mengurangi jumlah perdarahan yang terjadi.9
—Perdarahan postpartum dini dapat terjadi sebagai akibat tertinggalnya sisa plasenta atau selaput janin. bila hal
tersebut terjadi, harus dikeluarkan secara manual atau di kuretase disusul dengan pemberian obat-obat
uterotonika intravena.9 Perlu dibedakan antara retensio plasenta dengan sisa plasenta (rest placenta). Dimana
retensio plasenta adalah plasenta yang belum lahir seluruhnya dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan
sisa plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam uterus yang dapat menimbulkan perdarahan post
partum primer atau perdarahan post partum sekunder.5
—Sewaktu suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara
efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan
segera, uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.6
—Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan, jika lepas sebagian terjadi perdarahan yang
merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus bisa karena: 5
—Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan tidak adanya usaha untuk
melahirkan, atau salah penanganan kala tiga, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus
yang menghalangi keluarnya plasenta.5
—Tindakan operatif yang dapat dilakukan dalam kala uri persalinan adalah :7,8
A. PERASAT CREDE’7
—Perasat crede’ bermaksud melahirkan plasenta yang belum terlepas dengan ekspresi :
2. Teknik pelaksanaan
• Fundus uterus dipegang oleh tangan kanan sedemikian rupa, sehingga ibu jari terletak pada permukaan
depan uterus sedangkan jari lainnya pada fundus dan permukaan belakang. setelah uterus dengan
rangsangan tangan berkontraksi baik, maka uterus ditekan ke arah jalan lahir. gerakan jari-jari seperti
meremas jeruk. perasat Crede’ tidak boleh dilakukan pada uterus yang tidak berkontraksi karena dapat
menimbulkan inversion uteri
• Perasat Crede’ dapat dicoba sebelum meningkat pada pelepasan plasenta secara manual.—
B. MANUAL PLASENTA
Indikasi
—Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan perdarahan pada kala tiga persalinan kurang
lebih 400 cc yang tidak dapat dihentikan dengan uterotonika dan masase, retensio plasenta setelah 30 menit anak
lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk
eksplorasi jalan lahir dan tali pusat putus.7
—Sebelum dikerjakan, penderita disiapkan pada posisi litotomi. Keadaan umum penderita diperbaiki sebesar
mungkin, atau diinfus NaCl atau Ringer Laktat. Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan
memberikan suntikan diazepam 10 mg intramuskular. Anestesi ini berguna untuk mengatasi rasa nyeri. Operator
berdiri atau duduk dihadapan vulva dengan salah satu tangannya (tangan kiri) meregang tali pusat, tangan yang
lain (tangan kanan) dengan jari-jari dikuncupkan membentuk kerucut.8
—Dengan ujung jari menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika pada waktu melewati serviks dijumpai tahanan
dari lingkaran kekejangan (constrition ring), ini dapat diatasi dengan mengembangkan secara perlahan-lahan jari
tangan yang membentuk kerucut tadi. Sementara itu, tangan kiri diletakkan di atas fundus uteri dari luar dinding
perut ibu sambil menahan atau mendorong fundus itu ke bawah. Setelah tangan yang di dalam sampai ke
plasenta, telusurilah permukaan fetalnya ke arah pinggir plasenta. Pada perdarahan kala tiga, biasanya telah ada
bagian pinggir plasenta yang terlepas.8
Gambar 2. Ujung jari menelusuri tali pusat, tangan kiri diletakkan di atas fundus
—Melalui celah tersebut, selipkan bagian ulnar dari tangan yang berada di dalam antara dinding uterus dengan
bagian plasenta yang telah terlepas itu. Dengan gerakan tangan seperti mengikis air, plasenta dapat dilepaskan
seluruhnya (kalau mungkin), sementara tangan yang di luar tetap menahan fundus uteri supaya jangan ikut
terdorong ke atas. Dengan demikian, kejadian robekan uterus (perforasi) dapat dihindarkan.8
—Setelah plasenta berhasil dikeluarkan, lakukan eksplorasi untuk mengetahui kalau ada bagian dinding uterus
yang sobek atau bagian plasenta yang tersisa. Pada waktu ekplorasi sebaiknya sarung tangan diganti yang baru.
Setelah plasenta keluar, gunakan kedua tangan untuk memeriksanya, segera berikan uterotonik (oksitosin) satu
ampul intramuskular, dan lakukan masase uterus. Lakukan inspeksi dengan spekulum untuk mengetahui ada
tidaknya laserasi pada vagina atau serviks dan apabila ditemukan segera di jahit.8
Indikasi
—Persangkaan tertinggalnya jaringan plasenta (plasenta lahir tidak lengkap), setelah operasi vaginal yang sulit,
dekapitasi, versi dan ekstraksi, perforasi dan lain-lain, untuk menetukan apakah ada rupture uteri. Eksplosi juga
dilakukan pada pasien yang pernah mengalami seksio sesaria dan sekarang melahirkan pervaginam.7
Teknik Pelaksanaan
—Tangan masuk secara obstetric seperti pada pelepasan plasenta secara manual dan mencari sisa plasenta yang
seharusnya dilepaskan atau meraba apakah ada kerusakan dinding uterus. untuk menentukan robekan dinding
rahim eksplorasi dapat dilakukan sebelum plasenta lahir dan sambil melepaskan plasenta secara manual. 7
Ø ATONIA UTERI5
Definisi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu
menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.12
Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-serat myometrium terutama yang
berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi
ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Atonia uteri merupakan penyebab tersering perdarahan post
partum, sekurang-kurangnya 2/3 perdarahan post partum disebabkan oleh atonia uteri (Depkes RI, 2007)
Faktor Predisposisi
• Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramniopn, atau anak yang terlalu besar.
• Kelelahan karena persalinan lama
• Kehamilan grande-multipara.
• Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun.
• Mioma uteri yang menggangu kontraksi rahim.
• Infeksi intrauterine.
• Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi-kondisi beresiko ini, maka penting bagi penolong
untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya atonia uteri. Meskipun demikian, 20% atonia uteri dapat
terjadi pada ibu tanpa faktor-faktor risiko ini, sehingga sangat penting bagi penolong untuk mempersiapkan
diri dalam melakukan penatalaksanaan awal terhadap masalah yang mungkin terjadi selama proses
persalinan.
Etiologi
2. Penatalaksanaan yang salah pd kala placenta, mencoba mempercepat kala III, dorongan dan pemijatan uterus
mengganggu mekanism fisiologis pelepasan placenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian placenta yang
mengakibatkan perdarahan.
3. Anestesi yang dalam & lama menyebabkan terjadinya relaksasi miometrium yang berlebihan, kegagalan
kontraksi dan retraksi menyebabkan atonia uteri dan perdarahan post partum.
4. Kerja uterus sangat kurang efektif selama kala persalinan yang kemungkinan besar akan diikuti oleh
kontraindikasi serta retraksi miometrium jika dalam kala III.
5. Overdistensi uterus : uterus yang mengalami distensi secara berlebihan akibatnya keadaan bayi yang besar,
kehamilan kembar, hidramion, cenderung mempunyai daya kontraksi yang jelek.
6. Kelemahan akibat partus lama : bukan hanya rahim yang lemah, cenderung berkontraksi lemah setelah
melahirkan, tetapi juga ibu yang keletihan kurang bertahan terhadap kehilangan darah.
7. Multi paritas : uterus yang lemah banyak melahirkan anak cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala
persalinan.
8. Mioma uteri : dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu kontraksi dan retraksi mioma uteri.
9. Melahirkan dengan tindakan : keadaan ini mencakup prosedur operatik seperti forsep dan versi estraksi.
Pencegahan
• Melakukan secara rutin Manajemen Aktif Kala III pada semua wanita bersalin, karena hal ini dapat
menurunkan insidensi perdarahan post partum akibat atonia uteri
• Jika ada riwayat pernah atonia uerti sebelumnya, persalina harus berlangsung di rumah sakit
• Dalam kala II uterus jangan di massase dan didorong sebelum plasenta lepas dari dindingnya
• Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600mg) segera setelah bayi lahir
• Mengantisipasi/ mengadakan penyuluhan kepada ibu-ibu yang paritasnya antara 1-3, yaitu dengan
menganjurkan KB.
• Edukasi pemberian tablet besi sewaktu ANC untuk mencegah anemia postpartum
Diagnosis
Diagnosis ditegakan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata pendarahan masih aktif dan banyak,
bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setingi pusat atau lebih dengan konstraksi yang
lembek.
Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri di diagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah
sebanyak 500-100 cc yang sudah keluar dari pembulu darah, tetapi masih terperangkap di dalam uterus dan harus
di perhatikan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
Penatalaksanaan
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam
keadaan sadar, sedikit anemnis, atau sampai syok berat, hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan
bergantung pada keadaan kliniknya . Perdarahan yang lebih dari 1000ml atau bahkan lebih dari 1500ml (20-25%
volume darah) akan menimbulkan gangguan vaskular hingga terjadinya syok hemoragik sehingga transfusi darah
diperlukan.
Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut:
· Sikap trendelenbrug, memasang venous line, dan memberikan oksigen.
· Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara:
1. Masase fundus uteri dan merangsang puting susu
2. Pemberian Uterotonika
• Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara im, iv, atau sc.
• Memberikan derivat prostaglandin F2α (carboprost tromethamine) yang kadang memberikan efek
samping berupa diare, hipertensi, mual muntah, fibris, dan takikardi.
• Pemberian misoprostol 800-100 mg per-rektal
Pemberian tampon ( packing ) uterovagina dengan kassa gulung dapat merugikan karena memerlukan
waktu untuk pemasangannya, dapat menyebabkan perdarahan yang tersembunyi atau bila ada perembesan
berarti banyak darah yang sudah terserab di tampon tersebut sebelumnya dan dapat menyebabkan infeksi.
Tetapi dapat pula menguntungkan bila dengan tampon tersebut perdarahan bisa berhenti sehingga tidak
diperlukan tindakan operatif atau tampon digunakan untuk menurunkan perdarahan sementara sambil
menunggu penanganan operatif. Alternatif dari pemberian tampon selain dengan kassa, juga dipakai
beberapa cara yaitu : dengan menggunakan Sengstaken-Blakemore tube, Rusch urologic hydrostatic balloon
catheter ( Folley catheter ) atau SOS Bakri tamponade balloon catheter.
Pada tahun 2003 Sayeba Akhter dkk mengajukan alternatif baru dengan pemasangan kondom yang diikatkan
pada kateter. Dari penelitiannya disebutkan angka keberhasilannya 100% ( 23 berhasil dari 23 PPH ),
kondom dilepas 24 – 48 jam kemudian dan tidak didapatkan komplikasi yang berat. Indikasi pemasangan
kondom sebagai tampon tersebut adalah untuk PPH dengan penyebab Atonia Uteri. Cara ini kemudian
disebut dengan Metode Sayeba. Metode ini digunakan sebagai alternatif penanganan HPP terutama sambil
menunggu perbaikan keadaan umum, atau rujukan.
Cara pemasangan tampon kondom menurut Metode Sayeba adalah secara aseptik kondom yang telah
diikatkan pada kateter dimasukkan kedalam cavum uteri. Kondom diisi dengan cairan garam fisiologis
sebanyak 250-500 cc sesuai kebutuhan. Dilakukan observasi perdarahan dan pengisian kondom dihentikan
ketika perdarahan sudah berkurang. Untuk menjaga kondom agar tetap di cavum uteri, dipasang tampon
kasa gulung di vagina. Bila perdarahan berlanjut tampon kassa akan basah dan darah keluar dari introitus
vagina. Kontraktilitas uterus dijaga dengan pemberian drip oksitosin paling tidak sampai dengan 6 jam
kemudian. Diberikan antibiotika tripel, Amoksisilin, Metronidazol dan Gentamisin. Kondom kateter dilepas
24 – 48 jam kemudian, pada kasus dengan perdarahan berat kondom dapat dipertahankan lebih lama.
Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif laparatoni dengan
pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi. Alteratifnya berupa:
1. Ligasi arteria uterina atau arteria ovarica
2. Operasi ransel B Lynch
3. Histerektomi suprarvaginal
4. Histerektomi total abdominal.
Ø SYOK HEMORAGIK
Etiologi
—Syok hemoragik pada pasien obstetrik/ginekologik dapat terjadi karena perdarahan akibat abortus, kehamilan
ektopik terganggu, cedera pada pembedahan, perdarahan antepartum, perdarahan postpartum atau koagulopati.
11
Klasifikasi
1. Syok ringan, terjadi kalau perdarahan kurang dari 20% volume darah. timbul, penurunan perfusi
jaringan dan organ non vital. Tidak terjadi perubahan kesadaran, volume urin yang keluar normal atau
sedikit berkurang, dan mungkin (tidak selalu terjadi asidosis metabolik).
2. Syok sedang, sudah terjadi penurunan perfusi pada organ yang tahan terhadap iskemia waktu singkat
(hati, usus, dan ginjal). Sudah timbul oliguri (urin <0,5 ml/kg BB/Jam) dan asidosis metabolik, tetapi
kesadaran masih baik
3. Syok berat, perfusi dalam jaringan otak dan jantung sudah tidak adekuat. mekanisme kompensasi
vasokonstriksi pada organ lainnya sudah tidak dapat mempertahankan perfusi di dalam jaringan otak
dan jantung. sudah terjadi anuria, penurunan kesadaran (delirium, stupor, koma) dan sudah ada gejala
hipoksia jantung. 11
Patofisiologi
—Pada syok ringan terjadi penurunan perfusi darah tepi pada organ yang dapat bertahan lama terhadap iskemia
(kulit, lemak, otot, dan tulang). pH arteri normal. Pada syok sedang terjadi penurunan perfusi sentral pada organ
yang hanya tahan terhadap iskemia waktu singkat (hati, usus, dan ginjal) terjadi asidosis metabolik. Pada syok
berat sudah terjadi penurunan perfusi pada jantung dan otak, asidosis metabolic berat, dan mungkin terjadi pula
asidosis respiratorik. 11
Gejala Klinik
1. Syok ringan, takikardi minimal, hipotensi sedikit, vasokonstriksi darah tepi ringan, kulit dingin, pucat,
basah. urin normal/ sedikit berkurang. keluhan merasa dingin
2. Syok sedang, takikardi 100-120 permenit, hipotensi dengan sistolik 90-100 mmHg, oliguri/ anuria.
keluhan haus
3. Syok berat, takikardi lebih dari 120 permenit, hipotensi dengan sistolik <60 mmHg, pucat, anuri, agitasi,
kesadaran menurun. 11
Ø PROGNOSIS PERDARAHANPOST PARTUM
Seperti dikatakan oleh Tadjuludin (1965) : “perdarahan postpartum masih merupakan ancaman yang
tidak terduga ; walaupun dengan pengawasan dengan sebaik-baiknya, Perdarahan postpartum masih merupakan
salah satu sebab kematian ibu yang penting”. Sebaliknya menurut pendapat para ahli kebidanan modern :
“Perdarahan postpartum tidak perlu membawa kematian pada ibu bersalin”. Pendapat ini memang benar bila
kesadaran masyarakat tentang hal ini sudah tinggi dan dalam klinik tersedia banyak darah dan cairan serta
fasilitas lainnya. Dalam masyarakat kita masih besar anggapan, bahwa darahnya adalah merupakan hidupnya,
karena itu mereka menolak menyumbangkan darahnya, walaupun untuk menolong jiwa isteri dan keluarganya.
Pada perdarahan postpartum, Mochtar R. Dkk, (1969), melaporkan kematian ibu sebesar 7,9 % dan
Wiknjosastro H. (1960) 1,8 – 4,5 %. Tingginya angka kematian ibu karena banyak penderita yang dikirim dari
luar dengan keadaan umum yang sangat jelek dan anemis dimana tindakan apapun kadang-kadang tidak
menolong.
Menurut Sulaiman Sastrwinata (2005), wanita yang perdarahan pasca persalinan seharusnya tidak
meninggal akibat perdarahannya, sekalipun untuk mengatasinya perlu dilakukan histerektomi 4,5,9,10
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom KD. Uterine
Leiomyomas. In : Williams Obstetrics. 22nd edition. Mc Graw-Hill. New York : 2005.
2. Sheris j. Out Look : Kesehatan ibu dan Bayi Baru Lahir. Edisi Khusus. PATH. Seattle : 2002.
3. Winkjosastro H, Hanada . Perdarahan Pasca Persalinan. Diakses tanggal 1 Desember 2013 dari :
http://http://www.geocities.com/Yosemite/Rapids/1744/cklobpt12 .html [update : 1 Februari 2005].
4. Setiawan Y. Perawatan perdarahan post partum. Diakses tanggal 1 Desember 2013
http://http://www.Siaksoft.net [update : Januari 2008].
5. USU. Perdarahan Post Partum. 2010.
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/4s1kedokteran/207311090/BAB%20II.pdf Diakses tanggal 1
Desember 2013
6. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Perdarahan Pasca Persalinan.. Diakses tanggal 1 Desember
2013 dari : http://.www.Fkunsri.wordpress.com [update : Agustus 2008].
7. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Tindakan Operatif Dalam Kala Uri. Dalam : Ilmu Bedah
Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP. 2002.
8. WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth : Manual Removal. of Placenta. Diakses
tanggal 1 Desember 2013 dari :http://www.who.int/reproductivehealth/impac/Procedures/
Manual_removal_P77_P79.html. [update : 2003].
9. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Perdarahan Post Partum. Dalam : Ilmu Bedah
Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP. 2002.
10. Prawirohardjo S. Perdarahan Paca Persalinan. Dalam : Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta : YBP-SP. 2002.
11. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Syok Hemoragika dan Syok Septik. Dalam : Ilmu Bedah
Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP. 2002.
Pengertian Sistem Rujukan
Sistem rujukan adalah suatu sistem jaringan fasilitas pelayanan pelayanan kesehatan yang
memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbal balik atas masalah yang timbul, baik
secara vertical maupun horizontal ke fasilitas pelayanan yang lebih kompeten, terjangkau, rasional, dan
tidak dibatasi oleh wilayah administrasi. Tujuan sistem rujukan adalah unutk meningkatkan mutu, cakupan
dan efisiensi pelayanan kesehatan secara terpadu.
Terdapat dua jenis istilah rujukan, yaitu rujukn medic dan rujukan kesehatan :
1. Rujukan medic, yaitu pelimpahan tanggung jawab secara timbal balik atas
satu kasus yang timbul secara vertical maupun horizontal kepada yang
lebih berwenang dan mampu menanganinya secara rasional, jenis rujukan
medic.
a. Transfer of patient. Konsultasi penderita untuk keperluan diagnostic, pengobatan, tindakan operatif,
dan lain-lain.
b. Transfer of specimen. Pengiriman bahan (specimen) untuk pemeriksaan laboratorium yang lebih
lengkap.
c. Transfer of knowledge / personel. Pengiriman tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk
meningkatkan mutu layanan pengobatan setempat.
2. Rujukan kesehatan, yaitu hubungan dalan pengiriman, pemeriksaan bahan atau specimen ke fasilitas
yang lebih mampu dan lengkap. Ini adalah rujukan yang menyangkut masalah kesehatan yang sifatnya
preventif dan promotif.
Tatalaksana rujukan
1. Internal antar petugas di satu rumah
2. Antara puskesmas pembantu dan puskesmas
3. Antara masyarakat dan puskesmas
4. Antara satu puskesmas dan puskesmas lainnya
5. Antara puskesmas dan rumah sakit, laboratorium, atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
6. Internal antar-bagian/unit pelayanan di dalam satu rumah sakit
7. Antara rumah sakit, laboratorium, atau fasilitas pelayanan lainnya di rumah sakit
Rujukan kebidanan adalah Sistem rujukan dalam mekanisme pelayanan obstetric adalah suatu
pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kebidanan yang timbul baik secara
vertical maupun horizontal. Rujukan vertical maksudnya adalah rujukan komunikasi antara satu unit ke unit
yang telah lengkap. Misalnya, dari rumah sakit kabupaten ke rumah sakit provinsi atau rumah sakit tipe C
ke rumah sakit tipe B yang lebih spesialistik fasilitas dan personalianya. Rujukan horizontal adalah
konsultasi dan komunikasi antar unit-unit yang ada dalam satu rumah sakit, misalnya antara bagian
kebidanan dan bagian ilmu kesehatan anak.
f. Pengiriman Klien
g. Tindak lanjut Klien :
1) Untuk penderita yang telah dikembalikan (rawat jalan pasca penanganan)
2) Penderita yang memerlukan tindakan lanjut tapi tidak melapor harus ada
tenaga kesehatan yang melakukan kunjungan rumah.
Faktor-Faktor Penyebab Rujukan
1. Riwayat bedah sesar
2. Pendarahan pervaginaan
3. Persalinan kurang bulan
4. Ketuban pecah disertai dengan mekonium yang pecah
5. Ketuban pecah lebih dari 24 jam
6. Ketuban pecah pada persalinan kurang bulan
7. Ikterus
8. Anemia berat
9. Tanda / gejala infeksi
10. Preklamsia / hipertensi dalam kehamilan
11. Tinggi fundus 40 cm / lebih
12. Gawat janin
13. Primipara dalam fase aktif kala 1 persalinan
14. Presentasi bukan belakang kepala
15. Presentasi ganda
16. Kehamilan ganda (gemeli)
17. Tali pusat menumbung
18. Syok
Keuntungan Sistem Rujukan
1. Pelayanan yang diberikan sedekat mungkin ke tempat pasien, berarti bahwa
pertolongan dapat diberikan lebih cepat, murah dan secara psikologis
memberi rasa aman pada pasien dan keluarga
2. Dengan adanya penataran yang teratur diharapkan pengetahuan dan
keterampilan petugas daerah makin meningkat sehingga makin banyak kasus
yang dapat dikelola di daerahnya masing – masing
3. Masyarakat desa dapat menikmati tenaga ahli
Alur Rujukan
STRUKTUR SISTEM RUJUKAN DAN POLA RUJUKAN PELAYANAN KEBIDANAN KOMUNITAS
RUMAH SAKIT
KETERANGAN:
PONEK
BIDAN, DOKTER
OBGYN -InformasikanKeluarga
-Tentukantempatrujukan
PUSKESMAS
(beritainformasi)
PONED
-Persiapan (BAKSOKUDA)
BIDAN, DOKTER -PengirimanKlien
UMUM
DAFTAR PUSTAKA