GEOLOGI
2.1 GEOLOGI BATU GAMPING
Dikenal batu gamping non-klastik, merupakan koloni dari binatang laut
antara lain Coelenterata, Molusca, Protozoa, Foraminifera. Batu gamping Koral
merupakan pertumbuhan/perkembangan koloni Koral. Batu gamping
klastik,merupakan hasil rombakan jenis batu gamping non klasik melalui proses
erosi oleh air, transportasi, sortasi, sedimentasi. Oleh karenanya selama proses
tersebut terbawa jenis mineral lain yang merupakan pengotor dan memberi warna
pada batu gamping. Akibat adanya proses sortasi secara alamiah akan terbentuk
pengelompokan ukuran butir sebagai berikut:
1. Jenis kalsidurit apabila batu gamping tersebut fragmental
2. Kalkarenit apabila batu gamping terebut berukuran pasir
3. Kalsilutit apabila batu gamping tersebut berukuran lempung
Tingkat pengotoran/kontaminasi oleh mineral asing berkaitan erat dengan
ukuran butirnya. Pada umumnya jenis batu gamping ini dilapangan menunjukkan
berlapis. Adanya perlapisan dan struktur sedimen yang lain serta adanya
kontaminasi mineral tertentu yang akan memberi warna dalam beberapa hal
memberikan nilai tambah setelah batu gamping tersebut terkena sentuhan
teknologi.
Selain itu mata air mineral dapat pula mengendapkan batu gamping yang
disebut sebagai endapan sinter kapur. Batu gamping jenis ini terjadi karena proses
kimia di alam, peredaran air panas alam maka melarutlah batu gamping di bawah
permukaan yang kemudian diendapkan kembali dipermukaan bumi.
Secara kimia batu gamping terdiri atas kalsium karbonat (CaCO3). Di
alam tidak jarang pula dijumpai batu gamping magnesium. Kadar magnesium
yang tinggi mengubah batu gamping menjadi batu gamping dolomitan dengan
komposisi kimia CaCO3MgCO3.Selain magnesium batu gamping kerapkali
tercampur dengan lempung, pasir, bahkan jenis mineral lain.
Pada umumnya batu gamping yang padat dan keras mempunyai berat jenis
2. Selain yang pejal (masif) dijumpai pula batu gamping yang sarang (porus).
Mengenai warna dapat dikatakan bervariasi dari putih susu, abu -abu tua, coklat,
merah, bahkan hitam. Semuanya disebabkan karena jumlah dan jenis pengotor
yang ada. Warna kemerahan disebabkan oleh mangan, oksida besi sedang
kehitaman karena zat organik. Batu gamping yang mengalami metamorfose rubah
menjadi marmer.
Dibeberapa daerah berbatu gamping yang tebal lapisannya didapatkan gua
atau sungai bawah tanah yang terjadinya berkaitan erat dengan kerjanya air tanah.
Air hujan yang mengandung CO2 dari udara dan CO2 hasil pembusukan zat
organik dipermukaan setelah meresap kedalam tanah dapat melarutkan batu
gamping yang dilaluinya sepanjang rekahan. Reaksi kimia yang berlangsung
adalah:
CaCO3 + 2CO2 + H2O>>>>>>>>Ca(HCO3 )2 + CO2
Ca(HCO3)2 larut dalam air sehingga lambat laun terjadi rongga dalam
bentuk gua atau sungai bawah tanah. Seperti dijelaskan, secara geologi batu
gamping mungkin berubah menjadi dolomitan (MgO 2,2% - 10,9%) atau dolomit
(MgO > 19,9%) karena pengaruh pelindian (leaching) atau peresapan unsur
magnesium dari laut kedalam batu gamping tersebut. Disamping itu dolomit juga
diendapkan secara tersendiri atau bersamaan dengan batu gamping. Ada hubungan
yang erat antara batu gamping dan dolomit seperti yang dikemukan oleh Pettijohn
(1949).
Cekungan ini terdiri dari sedimen Tersier yang terletak tidak selaras
(unconformity) di atas permukaan metamorfik dan batuan beku Pra-Tersier.
Gambar 1. Peta cekungan di daerah Sumatera
2.1.3 Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan
Stratigrafi daerah cekungan Sumatra Selatan secara umum dapat dikenal satu
megacycle (daur besar) yang terdiri dari suatu transgresi dan diikuti regresi.
Formasi yang terbentuk selama fase transgresi dikelompokkan menjadi Kelompok
Telisa (Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai). Kelompok
Palembang diendapkan selama fase regresi (Formasi Air Benakat, Formasi Muara
Enim, dan Formasi Kasai), sedangkan Formasi Lemat dan older Lemat
diendapkan sebelum fase transgresi utama. Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan
menurut (De Coster,1974) adalah sebagai berikut :
Formasi Gumai tersebar secara luas dan terjadi pada zaman Tersier,
formasi ini terendapkan selama fase transgresif laut maksimum, (maximum
marine transgressive) ke dalam 2 cekungan. Batuan yang ada di formasi ini
terdiri dari napal yang mempunyai karakteristik fossiliferous, banyak
mengandung foram plankton. Sisipan batugamping dijumpai pada bagian
bawah. Formasi Gumai beda fasies dengan Formasi Talang Akar dan sebagian
berada di atas Formasi Baturaja. Ketebalan dari formasi ini bervariasi
tergantung pada posisi dari cekungan, namun variasi ketebalan untuk Formasi
Gumai ini berkisar dari 6000–9000 feet (1800-2700 m). Penentuan umur
Formasi Gumai dapat ditentukan dari dating dengan menggunakan
foraminifera planktonik. Pemeriksaan mikropaleontologi terhadap contoh
batuan dari beberapa sumur menunjukkan bahwa fosil foraminifera planktonik
yang dijumpai dapat digolongkan ke dalam zona Globigerinoides sicanus,
Globogerinotella insueta, dan bagian bawah zona Orbulina Satiralis
Globorotalia peripheroranda, umurnya disimpulkan Miosen Awal-Miosen
Tengah. Lingkungan pengendapan Laut Terbuka, Neritik.
Sumber : http://digilib.unila.ac.id/10674/16/BAB%20II.pdf
http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/692/jbptitbpp-gdl-mohammadku-34558-3-
2009ts-2.pdf