Kaum klasik percaya bahwa perekonomian yang dilandaskan Pada kekuatan mekanisme pasar akan selalu menuju keseimbangan (equlibrium). Dalam posisi keseimbangan, kegiatan produksi secara otomatis akan menciptakan daya beli untuk membeli barang-barang yang dihasilkan. Daya beli tersebut diperoleh sebagai balas jasa atas faktor faktor produksi seperti upah, gaji, suku bunga, sewa, dan balas jasa dari faktor-faktor produksi lainnya. Pendapatan atas faktor-faktor produksi tersebut seluruhnya akan dibelanjakan untuk membeli barang-barang yang dihasilkan perusahaan. Ini yang dimaksudkan Say bahwa penawaran akan selalu berhasil menciptakan permintaannya sendiri. Dalam posisi keseimbangan tidak terjadi kelebihan maupun kekurangan permintaan. Ketidakseimbangan (disequilibrium), seperti pasokan lebih besar dari permintaan; kekurangan konsumsi; atau terjadi pengangguran, keadaan ini dinilai kaum klasik sebagai sesuatu yang sementara sifatnya. Nanti akan ada suatu tangan tak kentara (invisible hands) yang akan membawa perekonomian kembali pada posisi keseimbangan. Kaum klasik juga percaya bahwa dalam keseimbangan semua sumber daya. termasuk tenaga kerja, akan digunakan secara penuh (fully-employed). Dengan demikian, di bawah sistem yang didasarkan pada mekanisme pasar tidak ada pengangguran. Pekerja terpaksa menerima upah rendah, daripada tidak memperoleh pendapatan sama sekali. Kesediaan untuk bekerja dengan tingkat upah lebih rendah ini akan menarik perusahaan untuk mempekerjakan mereka lebih banyak. Jadi, dalam pasar persaingan sempurna mereka yang mau bekerja pasti akan memperoleh pekerjaan. Pengecualian berlaku bagi mereka Yang “pilih-pilih" pekerjaan, atau tidak mau bekerja dengan tingkat upah yang diatur oleh pasar. Pekerja yang tidak bekerja karena kedua alasan di atas, oleh kaum klasik tidak digolongkan pada penganggur. Kaum klasik menyebutnya pengangguran sukarela (voluntary unemployment). Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, analisis klasik bertumpu pada masalah-masalah mikro. Dalam berproduksi, misalnya, masalah yang dihadapi adalah: bagaimana menghasilkan barang-barang dan jasa sebanyak-banyaknya. Itu dilakukan dengan biaya serendah-rendahnya dengan memilih alternatif kombinasi faktor-faktor produksi yang terbaik. Dengan cara memilih alternatif terbaik atau paling efisien, perusahaan akan memperoleh keuntungan yang sebesar- besarnya. Hal itu berdasarkan keyakinan bahwa tiap barang yang diproduksi akan selalu diiringi oleh permintaan. Sesuai dengan teori Say, setiap perusahaan berlomba-lomba menghasilkan barang-barang dan jasa sebanyak-banyaknya. Teori Say yang mengatakan bahwa “penawaran akan menciptakan permintaannya sendiri" di atas dikritik habis-habisan oleh Keynes sebagai sesuatu yang keliru. Dalam kenyataan, demikian Keynes, biasanya permintaan lebih kecil dari penawaran. Alasannya, sebagian dari pendapatan yang diterima masyarakat akan ditabung, dan tidak semuanya dikonsumsi. Dengan demikian, permintaan efektif biasanya lebih kecil dari total produksi. Walaupun kekurangan ini bisa dieliminasi dengan menurunkan harga-harga, pendapatan tentu akan turun. Sebagai akibatnya, tetap saja permintaan lebih kecil dari penawaran. Karena konsumsi lebih kecil dari pendapatan, tidak semua produksi akan diserap masyarakat. Memang inilah yang terjadi pada tahun 30-an, saat perusahaan berlomba-lomba berproduksi tanpa kendali. Di pihak lain, daya beli masyarakat terbatas. Akibatnya banyak stok menumpuk. Sebagian perusahaan terpaksa mengurangi produksi dan sebagian bahkan melakukan rasionalisasi, yaitu mengurangi produksi dengan mengurangi jumlah pekerja. Tindakan rasionalisasi dari pihak perusahaan akan memaksa sebagian pekerja menganggur. Orang yang menganggur jelas tidak memperoleh pendapatan. Sebagai konsekuensinya, pendapatan semakin turun. Turunnya pendapatan masyarakat menyebabkan daya beli semakin rendah, sehingga barang-barang tidak laku sehingga kegiatan produksi menjadi macet. Puncak dari kemerosotan ekonomi terjadi pada tahun 30-an hampir di seluruh negara-negara industri terjadi depresi secara besar-besaran. Sejak terjadinya depresi besar-besaran tersebut, orang curiga bahwa ada sesuatu yang salah dengan teori klasik dan neo-klasik yang dianggap berlaku umum selama ini. Menurut Keynes dalam pandangan klasiknya, produksi akan selalu menciptakan permintaannya sendiri hanya berlaku untuk perekonomian tertutup sederhana. Ini terdiri dari sektor rumah tangga dan perusahaan saja. Pada tingkat perekonomian seperti ini semua pendapatan yang diterima pada suatu periode biasanya langsung dikonsumsi tanpa ada yang ditabung. Dalam keadaan seperti ini memang permintaan akan selalu sama dengan penawaran agregat. Akan tetapi, dalam perekonomian yang lebih maju masyarakatnya sudah mengenal tabungan, sebagian dari pendapatan akan mengalami kebocoran (leakage). Hal itu dapat diketahui kebocoran dalam bentuk tabungan, sehingga arus pengeluaran tidak lagi sama dengan arus pendapatan. Dengan demikian, permintaan agregat akan lebih kecil dari penawaran agregat. Pendapat di atas mula-mula dibantah oleh pendukung klasik. Mereka mengatakan bahwa tabungan tersebut akan dihimpun oleh lembaga-lembaga keuangan dan akan disalurkan pada investor. Menurut keyakinan pendukung-pendukung klasik, pasar akan mengatur sedemikian rupa sehingga jumlah tabungan akan sama dengan jumlah investesi. Dengan demikian, kebocoran yang terjadi dalam tabungan akan diinjeksikan kembali ke dalam perekonomian melalui investasi, sehingga keseimbangan kembali wujud dalam perekonomian. Pendapat klasik bahwa jumlah tabungan akan selalu sama dengan jumlah investasi di atas dibantah Keynes. Alasannya, motif orang untuk menabung tidak sama dengan motif pengusaha untuk menginvestasi. Pengusaha melakukan investasi didorong oleh keinginan untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya. Sementara itu. sektor rumah tangga melakukan penabungan didorong oleh berbagai motif yang sangat berbeda. Termasuk di dalamnya ialah motif untuk berjaga.” (pre-cautionary motives), misalnya untuk menghadapi kecelakaan, penyakit, untuk memenuhi hajat (memperingati kelahiran, perkawinan, kematian), dan sebagainya. Perbedaan dalam motif ini menyebabkan jumlah tabungan tidak akan pernah sama dengan jumlah investasi. Kalaupun jumlahnya sama, menurut Keynes itu hanya merupakan kebetulan belaka, bukan suatu keharusan. Karena Keynes mengamati bahwa umumnya investasi lebih kecil dari jumlah tabungan, ia menyimpulkan bahwa permintaan agregat juga lebih kecil dari penawaran agregat. Kekurangan ini, apabila tidak diantisipasi, akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan dalam perekonomian. Karena sebagian produksi tidak terserap oleh masyarakat, stok akan meningkat, dan pada periode-periode berikutnya terpaksa harus dibatasi. Apa yang menjadi inti pokok dari pendapat Keynes di atas ialah bahwa perekonomian yang berjalan menurut mekanisme pasar biasanya mencapai keseimbangan pada titik di bawah full-employment. Kritikan Keynes yang lain terhadap sistem klasik yang juga sangat perlu diperhatikan ialah pendapatnya yang mengatakan bahwa tidak ada mekanisme penyesuaian (adjustment). Hal ini otomatis menjamin tercapainya keseimbangan perekonomian (equilibrium) pada tingkat penggunaan kerja penuh. Hal ini sangat jelas dalam analisisnya tentang pasar tenaga kerja. Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa kaum klasik percaya bahwa dalam posisi keseimbangan semua sumber daya, termasuk di dalamnya sumber daya tenaga kerja atau labor, akan dimanfaatkan secara penuh (fully-employed). Seandainya terjadi pengangguran, pemerintah tidak perlu melakukan tindakan/kebijaksanaan apa pun. Sesuai pandangan laissez faire klasik, biarkan saja keadaan demikian. Nanti orang-orang yang tidak bekerja tersebut akan bersedia bekerja dengan tingkat upah yang lebih rendah. Hal ini mendorong pengusaha untuk mempekerjakan labor lebih banyak, hingga akhirnya semua yang mau bekerja akan memperoleh pekerjaan. Pandangan klasik di atas tidak diterima Keynes. Menurut pandangan Keynes, dalam kenyataan pasar tenaga kerja tidak bekerja sesuai dengan pandangan klasik tersebut. Di mana pun para pekerja mempunyai semacam serikat kerja (labor union) yang akan berusaha memperjuangkan kepentingan buruh dari penurunan tingkat upah. Dari sini Keynes mengecam analisis kaum klasik yang didasarkan pada pengandaian-pengandaian yang keliru dengan kenyataan hidup sehari-hari. Kalaupun tingkat upah bisa diturunkan (tetapi kemungkinan ini dinilai Keynes kecil sekali), tingkat pendapatan masyarakat tentu akan turun. Turunnya pendapatan sebagian anggota masyarakat akan menyebabkan turunnya daya beli masyarakat. Pada gilirannya hal ini akan menyebabkan konsumsi secara keseluruhan berkurang. Berkurangnya daya beli masyarakat akan mendorong turunnya harga-harga. Kalau harga-harga turun, kurva nilai produktivitas marjinal labor (marginal value of productivity of labor) yang dijadikan patokan oleh pengusaha dalam mempekerjakan labor akan turun. Kalau penurunan dalam harga-harga tidak begitu besar, kurva nilai produktivitas marjinal labor hanya turun sedikit. Walaupun begitu, tetap saja jumlah labor yang tertampung lebih kecil dari jumlah labor yang ditawarkan. Yang lebih parah, kalau harga-harga turun drastis. Ini menyebabkan kurva nilai produktivitas marjinal labor turun drastis pula. Jumlah labor yang tertampung pun jadi semakin kecil dan pengangguran menjadi semakin luas. C. Peran Pemerintah Dalam Perkekonomian Dari hasil pengamatannya tentang kejadian depresi ekonomi pada awal 30-an Keynes merekomendasikan agar perekonomian tidak diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar. Hingga batas tertentu, peran pemerintah justru diperlukan. Misalnya, kalau terjadi pengangguran, pemerintah bisa memperbesar pengeluarannya untuk proyek-proyek padat karya. Dengan demikian, sebagian tenaga kerja yang menganggur bisa bekerja, yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Kalau harga-harga naik cepat, pemerintah bisa menarik jumlah uang beredar dengan mengenakan pajak yang lebih tinggi. Inflasi yang tak terkendali pun tidak sampai terjadi. Dalam situasi terjadi gerak gelombang kegiatan ekonomi, pemerintah dapat menjalankan kebijaksanaan pengelolaan pengeluaran dan pengendalian permintaan efektif dalam bentuk “kontra-siklis" atau “anti-siklis”. Dari berbagai kebijaksanaan yang dapat diambil, Keynes lebih sering mengandalkan kebijaksanaan fiskal. Dengan kebijaksanaan fiskal pemerintah bisa mempengaruhi jalannya perekonomian. Langkah itu dilakukan dengan menyuntikkan dana berupa pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek yang mampu menyerap tenaga kerja. Kebijaksanaan ini sangat ampuh dalam meningkatkan output dan memberantas pengangguran, terutama pada situasi saat sumber-sumber daya belum dimanfaatkan secara penuh. Apakah Keynes tidak percaya pada mekanisme pasar bebas sesuai doktrin Iaissez faire-laissez passer klasik? Apakah ia tidak yakin dengan anggapan klasik bahwa perekonomian akan menemukan jalannya sendiri menuju keseimbangan? Keynes sebetulnya percaya tentang semua hal yang dikemukakan oleh kaum klasik tersebut. Akan tetapi, Keynes menilai bahwa jalan menuju keseimbangan dan full-employment tersebut sangat panjang. Kalau ditunggu mekanisme pasar (lewat tangan tak kentara) yang akan membawa perekonomian kembali pada posisi keseimbangan, dibutuhkan waktu yang sangat lama. Keynes pernah menulis: “dalam jangka panjang kita akan mati!" (In the long run we're all dead!). Jadi, satu-satunya cara untuk membawa perekonomian ke arah yang diinginkan seandainya ia “lari dari posisi keseimbangan", demikian uraian Keynes lebih lanjut, ialah lewat intervensi atau campur tangan pemerintah. Demikianlah, kalau kaum klasik pada umumnya menganggap tabu campur tangan pemerintah. Bagi Keynes, campur tangan pemerintah merupakan keharusan. Campur tangan pemerintah terutama diperlukan kalau perekonomian berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kalau diamati, sepertinya Keynes sependapat dengan Marx yang mengatakan bahwa sistem ekonomi klasik tidak bebas dari fluktuasi, krisis pengangguran, dan sebagainya. Marx berusaha menghancurkan sistem kapitalis dan menggantikannya dengan sistem sosialis. Namun sebaliknya, Keynes justru ingin menyelamatkan sistem liberal tersebut.