LP Peritonitis
LP Peritonitis
Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses Keperawatan. Edisi
4. Salemba Medika : Jakarta
Saryono dan Anggriyana Tri Widianti. 2010. Catatan Kuliah Kebutuhan Dasar Manusia
(KDM). Yogyakarta: Nuha Medika
Hidayat, AAA dan Uliyah. 2011. Keterampilan Dasar Praktik Klinik. Jakarta: Salemba
Medika
Fhatimfhatim (2012), LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT, terdapat
di: http://fhatimfhatim.wordpress.com/2012/07/24/cairan-dan-elektrolit/ diakses pada
Selasa, 4 Juni 2013 pk. 09.00 WITA
Lencana, Putra Satya (2012), Laporan Pendahuluan Kebutuhan Cairan dan
Elektrolit, terdapat di :http://satyaexcel.blogspot.com/2012/07/laporan-pendahuluan-
kebutuhan-eliminasi.html diakses pada Minggu, 2 Juni 2013 pk. 09.57 WITA
Lencana, Putra Satya (2012), Laporan Pendahuluan Kebutuhan Cairan dan Elektrolit,
terdapat di : http://satyaexcel.blogspot.com/2012/07/laporan-pendahuluan-kebutuhan-
eliminasi.html diakses pada Minggu, 2 Juni 2013 pk. 09.57 WITA
LAPORAN PENDAHULUAN
PERITONITIS
A. Pengertian
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa rongga abdomen
dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis atau kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas
pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis
dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan
sistemikengan syok sepsis.(Nuzulul,2012).
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membrane serosa rongga
abdomen) dan organ didalamnya. (Arif Muttaqin,2010)
Peritonitis adalah peradangan peritoneum yang merupakan komplikasi berbahaya
akibat penyebaran infeksi dari organ organ abdomen (apendisitis, pankreatitis, dll) reputra
saluran cerna dan luka tembus abdomen.(Gibson,2002)
B. Anatomi Fisiologi
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan,
mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga
terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi
usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga
mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium. Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu
peritoneum paretal yang melapisi dinding rongga abdomen dan peritoneum visceral yang
melapisi semua organ yang berada dalam rongga abdomen.Ruang yang terdapat diantara
dua lapisan ini disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum.Pada laki-laki berupa
kantong tertutup dan pada perempuan merupakan saluran telur yang terbuka masuk ke
dalam rongga peritoneum, di dalam peritoneum banyak terdapat lipatan atau kantong.
Lipatan besar (omentum mayor) banyak terdapat lemak yang terdapat disebelah depan
lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvaturan minor, dan lambung
berjalan keatas dinding abdomen dan membentuk mesenterium usus halus.
Lapisan peritoneum dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
b. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
c. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Fungsi peritoneum :
a. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis.
b. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga
peritoneum tidak saling bergesekan.
c. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding
posterior abdomen.
d. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap
infeksi.
(Nuzulul.2012).
C. Penyebab
Faktor Predisposisi
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal.
b. Appendisitis yang meradang dan perforasi.
c. Tukak peptik (lambung/dudenum).
d. Tukak thypoid.
e. Tukak disentri amuba/colitis.
f. Tukak pada tumor.
g. Salpingitis.
h. Divertikulitis.
Faktor Presipitasi
Invasi kuman ke peritoneum dapat disebabkan oleh berbagai kelainan pada system
gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ lain didalam abdomen (Rostein,1997)
atau perforasi organ pasca trauma abdomen (Ivanty,1998) Penyebab terjadinya peritonitis
adalah invasi kuman bakteri kedalam rongga peritoneum.kuman yang paling sering
menyebabkan infeksi,meliputi gram negative:Escherichia coli (40%).Klebsiella
pneumonia (7%),Pseudomonas species,Proteus species,dan gram negative
lainnya(20%),dan gram positif seperti Streptococcus pneumonia
(15%),Streptococcuslainnya (15%),dan Staphylococcus (3%). (Arif Muttaqin,2010)
1. Secara langsung dari luar.
a. Operasi yang tidak steril
b. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitis yang
disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut
juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
c. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati.
d. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
2. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama
adalah streptokokus atau pnemokokus. Bentuk peritonitis yang paling sering ialah
Spontaneous bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena
infeksi intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi
hingga kerongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri munuju dinding perut
atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi
bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan
asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses.
Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis
(infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal
terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas.
Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi
SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada
pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula.
Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi
bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses
inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn). (Nuzulul,2012)
D. Manifestasi Klinik
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda
rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans
muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik
usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan
nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan
peritonium.Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas,
batuk, atau mengejan.Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri
tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut
abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral)
yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis
relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi
hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat
biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding
perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk
menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada
wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic
inflammatoru disease. Pemeriksaan- pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada
penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma
cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dengan
paraplegia dan penderita geriatric.(Nuzulul,2012)
E. Patofisiologi
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolik intra-abdomen.produksi
eksudat fibrinosa merupakan pertahanan tubuh.Reaksi awal peritoneum terhadap invasi
oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk
di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya
sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi
usus.
Faktor-faktor virulensi bakteri akan menghambat proses fagositosis sehingga
menyebabkan peningkatan infeksi dan pembentukan abses.Selanjutnya abses yang
terbentuk diantara perlekatan fibrinosa, menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya.Bila bahan yang menginfeksi tersebar kepermukaan peritoneum, maka aktivitas
motilitas usus menurun dan meningkatkan resiko ileus paralitik. Peradangan menimbulkan
akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan
tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan
berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,
sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh
ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah
jantung, tapi kemudian akan segera terjadi bradikardia begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus
serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya
kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan
menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum.Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni
dan meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi,
syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-
lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan
mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai
usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi
usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau
parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga
terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi
perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat
terjadi peritonitis. (Arif Muttaqin,2010)
F. Patways
G. Pemeriksaan Penunjang
Test laboratorium
1. Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari
3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi
peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma
yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat
2. Hematokrit meningkat
3. Asidosis metabolic
dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien peritonitis didapatkan PH =7.31,
PCO2= 40, BE= -4
4. X. Ray
Dari tes X Ray didapat: Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral),
didapatkan:
1. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
2. Usus halus dan usus besar dilatasi.
3. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar dari arah
horizontal proyeksi anteroposterior.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal
proyeksi anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh
abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35x43 cm.
Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus)
obstruktif maka pada foto polos abdomen tiga posisi didapatkan gambaran radiologis
antara lain:
1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran.
Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan
dinding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance).
2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air
fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus
letak tinggi, sedang jika panjang-panjang kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang
diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid
level dan step ladder appearance.
H. Penatalaksaaan
Therapy umum
1. Istirahat
2. Diet
· Cair → nasi
3. Medikamentosa
· Obat pertama Cairan infus cukup dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin.
· Obat alternatif Narkotika untuk mengurangi penderitaan pasien.
Therapy Komplikasi
Intervensi bedah untuk menutup perforasi dan menghilangkan sumber infeksi. Prinsip umum
pengobatan adalah pemberian antibiotik yang sesuai dekompresi saluran cerna dengan
penghisapan nasogastrik atau intestinal penggantian cairan dan elektrolit yang dilakukan secara
intravena, pembuangan fokus septik (appendiks dsb) atau penyebab radang lainnya bila mungkin
dengan mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama jika
meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis
(panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
3. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran cerna
yang tidak teratasi.
4. Pemeriksaan laboratorium.
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan pasien untuk
tindakan bedah :
5. Pemberian antibiotic.
1. Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari
pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
2. Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning, kain kassa, lavase,
irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang
nekrosis.
1. Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
2. Pemberian antibiotic
3. Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan
tidak ada distensi abdomen.
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan
nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya,
bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting.Pengembalian volume intravaskular
memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme
pertahanan.Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai
keadekuatan resusitasi.
Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.Antibiotika
berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada
saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi
yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh
abdomen dan mudah dibuka serta ditutup.Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan
kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal.Pada
umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup,
mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan
kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka
dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan
irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera
akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan
eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal
fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
Pengobatan yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila terdapat
apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis.Pada peradangan
pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan biasanya
tidak dilakukan.
· Kelemahan
Faktor yang
berhubungan
· Kegagalan mekanisme
regulasi
· Hubungan keluarga
yang sangat ambivalen
· Anjurkan pasien
untuk meningkatkan
· Diaforesis · Evaluasi
pengalaman nyeri
· Perilaku distraksi masa lampau
· Kontrol lingkungan
yang dapat
mempengaruhi nyeri
seperti suhu
ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
· Kolaborasi
pemberian cairan IV
· Monitor status
nutrisi
· Berikan cairan IV
pada suhu ruangan
· Dorong masukan
oral
· Berikan
penggantian
nesogatrik sesuai
output
· Dorong keluarga-
untuk menbantu pa-
sien makan
· Tawarkan snack
· Kolaborasi dengan
dokter
· Atur kemungkinan
transfusi
Hypovolemia
management
· Monitor status
cairan termasuk
intake dan output
cairan
· Pelihara IV line
· Monitor tingkat
Hb dan hematokrit
· Monitor tanda
vital
Monitor respon
pasien terhadap
penambahan cairan
DAFTAR PUSTAKA