Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME


PADA ANAK

Pembimbing:
dr. Hesti Diah Palupi, Sp. THT-KL

Disusun Oleh:
Ganang Wirabhumi Nandiwardhana
030.12.114
Raihana Haifa Sopa
030.13.160
Tarsiah Ningsih
030.13.186

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RSUD K.R.M.T. WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 6 NOVEMBER – 9 DESEMBER 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas Anugerah Keselamatan dan Belas
Kasih-Nya yang telah memampukan penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas
makalah Refferat dengan judul “Obstructive Sleep Apnea Syndrome pada Anak”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik
di Stase Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro
Kota Semarang.
Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah
ini, terutama kepada dr. Hesti Diah Palupi, Sp.THT-KL selaku pembimbing atas
pengarahannya selama penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
THT. Dan kepada para dokter dan staff Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum
Daerah K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang, serta rekan-rekan seperjuangan
dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT.
Penulis sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran karena
penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Semarang, November 2017

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

REFFERAT DENGAN JUDUL


“OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME PADA ANAK”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT di RSUD
K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Periode 6 November 2017 – 9 Desember 2017

Semarang, November 2017

dr. Hesti Diah Palupi, Sp. THT-KL

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................. i


Lembar Pengesahan ......................................................................................... ii
Daftar Isi ........................................................................................................... iii
Bab I Pendahuluan ........................................................................................... 1
Bab II Tinjauan Pustaka ................................................................................... 2
2.1 Definisi .......................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi ................................................................................. 2
2.3 Etiologi .......................................................................................... 3
2.4 Faktor Risiko ................................................................................. 3
2.5 Patogenesis .................................................................................... 4
2.6 Patofisiologi .................................................................................. 5
2.7 Gejala Klinis .................................................................................. 7
2.8 Penegakkan Diagnosis ................................................................... 8
2. 9. 1. Anamnesis ....................................................................... 8
2. 9. 2. Pemeriksaan Fisik ........................................................... 10
2. 9. 3. Pemeriksaan Penunjang .................................................. 11
2.9 Tatalaksana .................................................................................... 13
2.10 Komplikasi .................................................................................... 17
2.11 Prognosis ....................................................................................... 18
BAB III Kesimpulan ........................................................................................ 19
Daftar Pustaka .................................................................................................. 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada anak merupakan


ancaman yang dapat mempengaruhi masa depan. Tanda klinis utama pada sindrom
ini adalah mendengkur saat tidur yang tidak seharusnya diabaikan. Pada saat tidur
terjadi episode apnea atau hipopnea yang dikarenakan sumbatan total ataupun
parsial dari saluran pernapasan atas.1,2
Angka kejadian OSAS di dunia sangat bervariasi, di Amerika Serikat
sendiri prevalensi OSAS pada anak sebesar 1-3 % dimana persentase tertinggi
terdapat pada anak usia pra-sekolah. Di India sebesar 2-5 %, sedangkan di Cina
didapatkan prevalensi sebesar 5,8 % untuk jenis kelamin laki-laki dan 3,8 % pada
perempuan. Di Indonesia sendiri prevalensi mendengkur pada anak sekitar 3,2- 12,1
% sedangkan prevalensi OSAS 0,7-10,3 %.2,3
Faktor risiko OSAS pada anak sangat berbeda dengan orang dewasa. Pada
dewasa, obesitas merupakan faktor risiko utama, sedangkan pada anak meskipun
merupakan faktor risiko, namun bukan merupakan hal yang utama dalam
menyebabkan OSAS.2 Ancaman masa depan pun menjadi taruhannya jika tidak
ditangani dengan baik, sebab OSAS dapat menyebabkan sederet komplikasi yang
dapat berdampak bagi tumbuh kembangnya baik fisik maupun mental, regulasi
hormon, sistem respirasi dan kardiovaskular, bahkan berujung pada kematian.2
Hingga saat ini kebanyakan orang, terutama orang tua memandang sebelah
mata terhadap OSAS, sehingga tingginya angka komplikasi masih sering
ditemukan. Hal ini menandakan pentingnya pemahaman komprehensif dan
mendalam agar dapat holistik dalam pendekatan, penanganan, serta pencegahan
yang tentunya akan membantu menekan risiko berkelanjutan yang tidak diinginkan.
Hal ini menjadi alasan dibuatnya referat ini. Referat yang berjudul “Obstructive
Sleep Apnea Syndrom pada Anak” diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Definisi
Berdasarkan American Thoracic Society (ATS) dan Katz ES dkk4,
Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada anak didefnisikan sebagai suatu kelainan
pernapasan selama tidur yang ditandai dengan obstruksi saluran napas atas parsial
berkepanjangan dan/atau obstruksi total intermiten yang mengganggu ventilasi dan
pola tidur normal, yang memiliki hubungan dengan meningkatnya usaha
pernapasan, gangguan tidur dan atau abnormalitas pertukaran gas.4,5
OSA adalah salah satu bentuk gangguan napas saat tidur yang ditandai
oleh episode henti napas (apnea) minimal 10 detik/episode. Penurunan volume tidal
melebihi 50 % tetapi dibawah 75 % dari nilai dasar dengan terhentinya aliran udara
sedikitinya 10 detik disebut hipoapnea.6
Seringkali, anak dengan OSA berhadapan dengan konsekuensi akhirnya
yaitu kombinasi dari stress oksidatif, inflamasi, otonomik aktivasi, dan atau
gangguan pada homeostasis tidur. Hal ini dapat disebabkan beberapa gangguan
pada saluran napas atas seperti hipertrofi jaringan ikat, abnormalitas kraniofasial,
dan atau defisit neuromuskular.4

2. 2. Epidemiologi
Angka kejadian OSAS pada anak di dunia sangat bervariasi, di Amerika
Serikat prevalensi OSAS pada anak sebesar 1-3 % dimana presentase tertinggi
terdapat pada anak usia pra-sekolah. Di India sebesar 2-5 %, sedangan di Cina
didapatkan prevalensi sebesar 5,8 % untuk jenis kelamin laki-laki dan 3,8 % pada
perempuan. Di Indonesia sendiri prevalensi mendengkur pada anak sekitar 3,2- 12,1
% sedangkan prevalensi OSAS 0,7-10,3 %.2,3
Kejadian OSAS terjadi pada anak semua umur termasuk neonatus. Pada
masa neonatus insiden apnea sebesar 25 % pada bayi dengan berat badan lahir
<2500 gram dan 84 % pada bayi dengan berat badan lahir <1000 gram. Insiden
tertinggi terjadi antara umur 3-6 tahun karena pada usia ini sering terjadi hipertrofi

2
tonsil dan adenoid. Pada anak, kejadian OSAS tidak berhubungan dengan jenis
kelamin namun mengalami sedikit peningkatan pada jenis kelamin laki-laki saat
pre-pubertas dan semakin meningkat setelah pubertas. Sedangkan pada dewasa,
lelaki lebih sering dibandikan wanita yaitu sekitar 8:1 pada seluruh lini umur.
Terdapat kecenderungan familial untuk terjadinya OSAS.2,4
Di Indonesia, penelitian Supriyanto dkk2 mendapatkan kejadian
mendengkur pada 31,6 % pada anak usia 5-13 tahun berupa habitual snorning
sebesar 5,2 % dan occasional snorning sebesar 26,4 %.3

2. 3. Etiologi
Penyebab tersering OSAS pada anak adalah pembesaran adenoid dan
tonsil. Hipertrofi adenoid dan tonsil merupakan keadaan yang paling sering
menyebabkan OSAS pada anak. Ukuran adenoid dan tonsil tidak berbanding lurus
dengan berat ringannya OSAS. Terdapat anak dengan hipertrofi adenoid yang
cukup besar, namun OSAS yang terjadi masih ringan, anak lain dengan pembesaran
adenoid ringan menunjukkan gejala OSAS yang cukup berat.3,4
Hipertrofi adenoid dan tonsil dapat juga menyebabkan penyulit pada anak
dengan kelainan dasar tulang. Walaupun pada sebagian besar anak OSA membaik
setelah dilakukan adenotonsilektomi, namun sebagian kecil akan menetap setelah
dioperasi.3,4

2. 4. Faktor Risiko
OSAS pada anak memiliki sejumlah faktor risiko yang berbeda dengan
dewasa, perbedaan yang signifikan adalah obesitas. Pada obesitas terdapat
penyempitan saluran napas bagian atas akibat penimbunan jaringan lemak di dalam
otot dan jaringan lunak di sekitar saluran napas maupun kompresi eksternal leher
dan rahang. Diduga bahwa penumpukan lemak pada daerah leher dapat membuat
saluran napas atas menjadi lebih sempit. Kemungkinan lain adalah pada pasien
obesitas dengan leher yang besar mempunyai velofarings (palatum mole) yang
lebih mudah mengalami kolaps sehingga dapat mempermudah terjadinya sumbatan
saluran napas atas pada waktu tidur.2,4

3
Terdapat beberpa faktor risiko lainnya yang juga berperan terhadap
kejadian OSAS pada anak yang tercantum pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Faktor risiko OSAS pada anak4


Faktor risiko OSAS pada anak
Hipertrofi adenoid dan tonsil Peningkatan hambatan jalan napas
Penimbunan jaringan lemak di dalam otot dan
Obesitas
jaringan lunak di sekitar saluran napas
Ras (African American) Struktur kraniofasial
Sedikit meningkat pada jenis kelamin laki-
Jenis kelamin (laki-laki) laki saat pre-pubertas dan semakin
meningkat setelah pubertas
Gangguan neurologis, pertumbuhan
Prematuritas kraniofasial yang merugikan, kontrol
ventilasi yang abnormal
Dismorfologi kraniofasial Peningkatan hambatan jalan napas
Gangguan neurologi Kontrol saluran napas atas yang abnormal
Alergi atau infeks sehingga meningkatkan
Inflamasi nasal/faring
hambatan jalan napas
Lingkungan yang merugikan, asap rokok,
Sosioekonomi/lingkungan alergen dalam ruangan, kualitas tidur
(kebisingan, stres)
Struktur kraniofasial yang menguntungkan,
Riwayat keluarga dengan OSAS kompensasi neuromuskular, kontrol

ventilasi

Anak dengan anomali kraniofasial yang mengalami penyempitan struktur


saluran napas nyata (mikrognasi dan midface hypoplasia) akan mengalami OSAS.
Pada anak dengan disporposi kraniofasial dapat menyebabkan sumbatan saluran
napas meskipun tanpa disertai hipertrofi adenoid.2,4

2. 5. Patogenesis
OSAS merupakan hasil akhir interaksi berbagai faktor yang menyebabkan
kolaps saluran napas atas selama tidur, baik respons neuromotor pernapasan
maupun faktor- faktor anatomis seperti retrognatia dan ukuran saluran napas atas.
Patogenesis terpenting OSAS pada anak adalah pembesaran jaringan limfoid
saluran napas atas. Anak dengan OSAS biasanya memiliki adenoid dan

4
tonsil yang lebih besar dari anak seusia tanpa OSAS.3
OSA pada anak sangat berhubungan dengan faktor anatomis. Diperkirakan
anak dengan OSA memiliki struktur wajah yang berbeda dari anak normal,
terutama retrognatia mandibular, tulang hyoid yang rendah, dan perbedaan panjang
dan lebar wajah. Perubahan ini dapat bawaan atau sekunder akibat obstruksi saluran
napas atas kronis.3
OSAS terjadi jika didapatkan gangguan antara faktor yang
mempertahankan patensi saluran napas dan komponen jalan napas bagian atas
sehingga menyebabkan kolapsnya jalan napas. Faktor-faktor yang memelihara
patensi saluran napas adalah a) respon pusat ventilasi terhadap hipoksia,
hiperkapnia, dan sumbatan jalan napas; b) efek pusat rangsangan dalam
meningkatkan tonus neuromuskular jalan napas bagian atas; c) efek dari keadaan
tidur dan terbangun.2

Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya OSA7

2. 6. Patofisiologi
Terdapat dua teori patofisiologi sumbatan jalan napas yaitu, 2
1. Teori balance of forces: ukuran lumen faring tergantung pada keseimbangan
antara tekanan negatif intrafaringeal yang timbul selama inspirasi dan aksi
dilatasi otot-otot jalan napas atas. Tekanan transmural pada saluran napas atas
yang mengalami kolaps disebut closing pressure. Dalam keadaan

5
bangun, aktivasi otot jalan napas atas akan mempertahankan tekanan
transmural di atas closing pressure sehingga jalan napas atas tetap paten. Pada
saat tidur, tonus neuromuskular berkurang, akibat lumen faring mengecil
sehingga menyebabkan aliran udara terbatas atau terjadi obstruksi.
2. Teori starling resistor: jalan napas atas berperan sebagai starling resistor
yaitu perubahan tekanan yang memungkinkan faring untuk mengalami kolaps
yang menentukan aliran udara melalui saluran napas atas.

Gambar 2.2 Saluran Atas Normal Dibandingkan dengan Penderita OSA6

Selama tidur, terdapat penurunan bermakna tonus otot yang


menyebabkan saluran napas menjadi lebih kecil; tonsil dan adenoid menghambat
jalan napas, sehingga membuat aliran udara lebih sempit dan usaha napas
bertambah. Resistensi jalan napas atas selama tidur meningkat, dengan
penyempitan saluran napas karena pengurangan aktivitas tonus M. dilator faringeal.
Tekanan negatif terbentuk selama inspirasi, yang dalam kondisi normal, diimbangi
oleh aktivitas M. dilator faringeal, sehingga tidak menyebabkan kolaps saluran
napas atas. Pada anak dengan OSA, mekanisme ini gagal.3

6
2. 7. Gejala Klinis
Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernapas pada saat
tidur yang biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan bernapas
terjadi, mendengkur merupakan gejala yang mula-mula timbul. Dengkuran pada
anak dapat terjadi secara terus menerus (setiap tidur) ataupun hanya pada posisi
tertentu saja. Pada OSAS, umumnya anak mendengkur setiap tidur dengan
dengkuran yang keras terdengar dari luar kamar dan terlihat episode apnea yang
mungkin diakhiri dengan gerakan badan atau terbangun.2
Sebagian kecil anak tidak memperlihatkan dengkuran yang keras tetapi
berupa suara dengusan atau hembusan napas, noisy breathing (napas berbunyi).
Usaha bernapas dapat terlihat dengan adanya retraksi. Posisi pada saat tidur
biasanya tengkurap, setengah duduk, atau hiperekstensi leher untuk
mempertahankan patensi jalan napas.2

Tabel 2.2 Gejala Klinis OSAS4


Gejala klinis OSAS pada anak
Gejala diurnal
Tidur Kantuk di siang hari yang berlebihan
Tidur siang
Sakit kepala pada pagi hari
Neurokognitif Perilaku agresif
Performa sekolah yang buruk
Depresi
Defisit atensi
Hiperaktivitas
Murung
Saluran napas atas Pernapasan mulut
Kongesti nasal
Sering mengalami otitis media dan sinusitis
Nasal speech

Gejala nokturnal
Mendengkur
Apnea
Gelagapan
Peningkatan usaha bernapas
Respirasi paradoks
Enuresis

7
Tidur gelisah
Diaforesis
Leher hiperekstensi
Sering terbangun
Pernapasan mulut/mulut kering
Parasomnia

2. 8. Penegakkan Diagnosis
2. 9. 1. Anemnesis
Keluhan anak dengan gangguan napas terkait tidur tergantung
usia. Pada anak berusia di bawah lima tahun, mendengkur merupakan
keluhan yang paling sering. Keluhan mendengkur dapat dibagi menjadi
dua kelompok, yakni occasional snoring dan habitual snoring. Anak
disebut mengalami occasional snoring bila episode mendengkur terjadi <3
kali per minggu dan mengalami habitual snoring bila mendengkur ≥3 kali
per minggu.8 Tidak seluruh anak yang mengalami habitual snoring
diklasifikasikan OSA. Hal yang membedakan adalah pada habitual
snoring tidak didapatkan apnea obstruktif, hipopnea, episode terbangun
untuk bernapas ataupun pertukaran gas abnormal.8
Hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis adalah tidur
mendengkur (hampir) setiap tidur (habitual snoring), anak dengan OSAS
mendengkur keras (sering dapat didengar dari luar kamar tidur), retraksi
dan adanya episode peningkatan usaha pernapasan yang berkaitan dengan
kurangnya aliran udara. Episode ini diikuti dengan hembusan napas,
choking noises movement (“gelagapan”), atau seperti akan terbangun
(arousal), kegelisahan saat tidur, sianosis atau pucat, tidur dalam posisi
tidak wajar, dalam usaha untuk mempertahankan patensi jalan napas
misalnya tengkurap, duduk, atau dengan hiperekstensi leher, mungkin
didapatkan gejala pada siang hari yang berkaitan dengan hipertrofi adenoid
dan tonsil seperti pernapasan mulut, rasa mengantuk berlebihan di siang
hari (excessive daytime sleepiness), sering terjadi infeksi saluran napas
atas dan otitis media. Anak dengan tonsil yang

8
sangat besar dapat mengalami disfagia atau kesulitan artikulasi.
Seringkali ada riwayat keluarga dengan OSAS atau mendengkur.9
Terdapat tiga tanda kardinal OSAS yang membedakannya
dengan keluhan mendengkur biasa. Tanda kardinal tersebut adalah adanya
habitual snoring (≥3 malam/minggu), peningkatan usaha bernapas, dan
terganggunya tidur.8
Apnea Hypopnea Index (AHI) adalah indeks yang digunakan
untuk menilai tingkat keparahan dari OSAS berdasarkan jumlah apnea dan
hipopnea yang terjadi per jam atau dapat dirumuskan sebagai jumlah apnea
ditambah hipopnea dibagi dengan waktu total tidur. AHI dikelompokan
menjadi 3 golongan:10
1. Ringan (nilai AHI 5-15)
Biasanya manifestasi yang muncul berupa rasa kantuk selama
kegiatan yang memerlukan sedikit perhatian, seperti menonton TV
atau membaca.
2. Sedang (nilai AHI 15-30)
Biasanya manifestasi yang muncul berupa rasa kantuk selama
kegiatan yang membutuhkan perhatian, seperti pertemuan atau
presentasi.
3. Berat (nilai AHI >30)
Biasanya manifestasi yang muncul berupa rasa kantuk selama
kegiatan yang membutuhkan perhatian lebih aktif, seperti berbicara
atau mengemudi.
Epworth Sleepiness Scale (ESS) dan Standford Sleepiness
Scale (SSS) adalah kuisioner yang mudah dan cepat untuk menilai gejala
rasa mengantuk. Skala ini tidak berhubungan secara langsung dengan
indeks skor AHI. Penyebab daytime hypersomnolence adalah karena
adanya tidur yang terputus-putus, berhubungandengan respons saraf pusat
yang berulang karena adanya gangguan pernapasan saat tidur. Kuisioner
EES dan SSS dapat digunakan untuk menanyakan keluhan yang
berhubungan dengan gejala OSA. ESS digunakan untuk menilai

9
bagaimana kebiasan tidur dan rasa mengantuk pasien dalam kegiatan
sehari-hari, sedangkan SSS untuk mengetahui seberapa mengantuknya
pasien pada kegiatan tersebut.10

Tabel 2.3 Epworth Sleepiness Scale10

2. 9. 2. Pemeriksaan Fisik
Berat dan tinggi badan anak dengan OSAS harus dinilai karena
anak dengan OSAS empat atau lima kali lebih sering memiliki berat badan
berlebih dibandingkan anak tanpa OSAS. Penilaian fisik kepala dan leher
menilai ada tidaknya stigmata kelainan genetik. Selanjutnya menilai
rongga hidung dan mulut; dilihat adanya makroglosia, pembesaran tonsil,
dan kelainan lain. Pemeriksaan fisik anak dengan OSAS terutama untuk
menilai keadaan anatomis yang menyebabkan penyempitan jalan napas
atas, walaupun bukan menjadi baku emas penegakan diagnosis OSAS.
Kombinasi pemeriksaan meliputi penentuan klasifikasi mallampati,
abnormalitas faring, dan indeks massa tubuh, dapat memperkirakan ada
tidaknya dan derajat beratnya OSAS.3,
11

10
Hal-hal yang biasa ditemukan pada pemeriksaan fisik dalam
keadaan bangun secara keseluruhan biasanya normal. Hal ini
menyebabkan keterlambatan diagnosis. Perlu dinilai pertumbuhan anak
yang meliputi berat badan, tinggi badan, Indeks Massa Tubuh (IMT), serta
nilai adanya obesitas atau gagal tumbuh. Tanda alergi yang diperhatikan
yaitu allergic shiners atau lipatan horizontal hidung. Observasi wajah
secara keseluruhan, apakah terdpat pernapasan mulut, adenoidal facies,
midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi atau kelainan kraniofasial lainnya.9
Pemeriksaan daerah hidung, mulut, dan tenggorok. Perhatikan
adanya patensi pasase hidung, septum deviasi atau polip hidung, ukuran
lidah, integritas palatum, daerah orofarings, redudant mukosa palatum,
ukuran tonsil, dan ukuran uvula. Mungkin ditemukan pectus excavatum.
Paru-paru biasanya normal pada pemeriksaan auskultasi. Pemeriksaan
jantung dapat memperlihatkan tanda-tanda hipertensi pulmonal misalnya
peningkatan komponen pulmonal bunyi jantung II dan pulsasi ventrikel
kanan. Kadang-kadang didapatkan gagal jantung kongestif. Pemeriksaan
neurologis harus dilakukan untuk mengevaluasi tonus otot dan status
perkembangan. Distrofi otot berhubungan dengan hipoventilasi obstruktif
kronik akibat kelemahan otot orofaring. Pada observasi tidur dapat
terdengar dengkuran, kesulitan bernapas, takipnea, napas cuping hidung,
retraksi (terutama suprasternal), dan pergerakan dada paradoksal selama
inspirasi. Selama periode obstruksi komplit akan terlihat upaya bernapas
tetapi tidak terdengar dengkuran, tidak terdeteksi adanya aliran udara, dan
suara napas tidak dapat di auskultasi. Episode apnea mungkin diakhiri
dengan gerakan badan atau terbangun.9

2. 9. 3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan perasat Mueller yang dilakukan saat terjaga,
dapat mencerminkan keadaan mendengkur pasien OSA saat tidur dan

11
dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan dari operasi
uvulopalatopharyngealplasty (UPPP). Caranya adalah dalam posisi
duduk, dilakukan nasoendoskopi dan pasien diinstruksikan untuk
melakukan inspirasi kuat sambil menutup hidung dan mulut. Pada
pemeriksaan ini dilakukan penilaian luas saluran napas atas pada ruang
retropalatal dan retroglosal. Penyempitan pada ruang ini dapat terjadi
anteroposterior, laterolateral atau konsentrik.10
Pemeriksaan sleep endoscopy digunakan untuk
memvisualisasikan obstruksi jalan napas saat pasien tidur. Ada lima
daerah yang perlu diperhatikan, yaitu: palatum mole, dinding faring
lateral, tonsil palatina, tonsil lingua/dasar lidah dan epiglotis. Derajat
obstruksi dibagi menjadi empat kategori. Simple palatal snoring, suara
mendengkur berasal dari getaran palatum mole, dinding sfingter velofaring
dan orofaring bagian atas. Lateral wall collapse, penyebab obstruksi
berasal dari area orofaring dan tonsil palatina. Tounge base/epiglotis,
fungsi sfingter velofaring baik, obstruksi terdapat pada dasar lidah atau
karena hipertrofi tonsil lingua. Epiglotis mungkin memiliki kontribusi
terhadap dengkuran. Multi segmental collapse, tampak obstruksi pada
beberapa tingkatan anatomi.10
Pemeriksaan sefalometri dan foto polos saluran napas atas
dapat digunakan untuk mengevaluasi kelainan anatomi kraniofasial.
Komputer tomografi dan magneticresonance imaging (MRI) juga dapat
memfasilitasi untuk memahami hubungan antarakelainan anatomi
kraniofasial dengan gangguan pernapasan.10
Polisomnografi (PSG) adalah pemeriksaan baku emas untuk
menegakkan diagnosis OSA. PSG merupakan uji diagnostik untuk
mengevaluasi gangguan tiduryang dilakukan pada malam hari di
laboratorium tidur, digunakan untuk membantu pemilihan terapi dan
evaluasi hasil terapi. Ada tiga sinyal utama yang dimonitor yaitu pertama,
sinyal untuk mengkonfirmasi keadaan stadium tidur seperti
elektroensefalogram (EEG), elektrookulogram (EOG) dan submental

12
elektromiogram (EMG). Sinyal kedua adalah sinyal yang berhubungan
dengan irama jantung, yaitu elektrokardiogram (ECG) dan sinyal ketiga
yang berhubungan dengan respirasi seperti airflow (nasal thermistor
technique), oksimetri, mendengkur, kapnografi, EMG interkostal, balon
manometri esofageal, thoraco-abdominal effort, nasal pressuretransducer,
pneumotachography face mask, dan kadar PCO2.10
Karakteristik OSA pada saat dilakukan PSG adalah penurunan
saturasi oksigen berulang, sumbatan sebagian atau seluruh jalan napas atas
yang disertai dengan ≥50% penurunan amplitudo pernapasan, peningkatan
usaha pernapasan sehingga terjadi perubahan stadium tidur menjadi lebih
dangkal dan terjadi desaturasi oksigen.10
Pemeriksaan dengan portable monitor (PM) dapat dilakukan
di luar laboratorium sebagai alternatif pemeriksaan PSG pada pasien yang
diduga menderita OSAS sedang hingga berat. Peralatannya bervariasi dari
single channel oxymeter hingga PSG lengkap. Pada umumnya PM
mengukur beberapa parameter seperti saturasi oksigen, sistem respirasi
dan jantung, aktivitas tidur/terjaga, tetapi sebagian besar tidak merekam
EEG. PM memiliki biosensor untuk sedikitnya mengukur aliran udara,
usaha untuk bernafas, dan oksigenasi darah. Penegakan diagnosis dan
tingkatan OSAS ditentukan dengan kriteria yang sama dengan PSG.
Apabila pemeriksaan PM pada pasien yang diduga OSAS gagal atau tidak
adekuat maka harus dilakukan pemeriksaan PSG di laboratorium.10

2. 9. Tatalaksana
Penanganan OSAS pada anak ditujukan terutama pada kondisi terkait yang
mendasari terjadinya OSAS seperti hipertrofi tonsil dan/atau adenoid, obesitas, dan
penyakit kardiovaskuler. Berdasarkan rekomendasi American Academy of
Pediatrics, langkah penting pertama adalah skrining. Saat kunjungan rutin
kesehatan, dokter harus menanyakan apakah anaknya mengorok. Bila ya, harus
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan lebih lanjut.3,9

13
Gambar 2.3 Algoritma diagnosis dan tatalaksana OSAS pada anak9

14
Tatalaksana OSAS dibedakan menjadi terapi non-bedah dan terapi
bedah.
a. Terapi non-bedah
Terapi ini dapat dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, penggunaan Oral
Appliance (OA) dan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP). Modifikasi
gaya hidup dengan menurunkan berat badan karena penderita OSA dengan obesitas
dapat meningkatkan volume dan fungsi saluran napas atas. Menghindari konsumsi
minuman beralkohol, obat penenang, nikotin, dan kafein pada malam hari dapat
memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan mekanisme pernapasan sentral.9,10
Preparat efedrin, walaupun tidak memberikan efek jangka panjang, pasien
dengan OSA ringan hingga sedang yang tidak dapat menggunakan CPAP atau yang
tidak berhasil dengan CPAP dapat menggunakan OA. Alat ini mereposisi anatomi
saluran napas bagian atas guna mencegah obstruksi dengan melebarkan saluran
udara, menstabilkan rahang atas ke depan, serta melebarkan palatum mole dan
lidah. OA terdiri dari Mandibular Advancement Device (MAD) yang mendorong
rahang bawah ke depan bawah untuk menjaga saluran napas tetap terbuka dan
Tongue Retaining Device (TRD) yang menahan lidah pada posisinya agar saluran
napas tetapterbuka.9,10
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah rasa nyeri pada malam
hari, bibir kering, rasa tidak nyaman pada gigi. Pada pemakaian jangka panjang
dapat terjadi perubahan posisi gigi atau rahang yang bersifat permanen.
Kontraindikasi pemakaian OA adalah artritis sendi rahang, keadaan gigi yang
buruk, sumbatan hidung, motivasi pasien yang kurang, stenosis faring. Penggunaan
OA memberikan perbaikan AHI yang signifikan, desaturasi oksigen minimal,
arousal index minimal, sedikit efek samping, penerimaan pasien yang baik dan
kenyamanan setelah pemakaian selama 6 bulan.10
Penggunaan CPAP adalah terapi non-bedah OSA yang dianggap paling
efektif untuk menurunkan gejala mendengkur, apnea-hipopnea dan daytime
hypersomnolence. The American College of Chest Physicians merekomendasikan
CPAP pada pasiendengan AHI >30 dan juga pasien dengan AHI 5–30 yang

15
disertai gejala. KelemahanCPAP adalah adanya rasa tidak nyaman pada saat
penggunaannya, adanya rasa claustrophobia, sakit kepala, rinitis, iritasi wajah dan
hidung serta aerofagia.10
b. Terapi bedah
Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki volume dan bentuk
saluran napas atas. Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik. Indikasi
pembedahan OSA adalah AHI ≥ 20, saturasi O2 <90%, tekanan esofagus di bawah
- 10 cm H2O, adanya gangguan kardiovaskuler (seperti aritmia dan hipertensi), gejal
neuropsikiatri, gagal dengan terapi non-bedah dan adanya kelainan anatomi yang
menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak ada satu teknik yang benar-benar baik
untuk OSA.10
Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP) merupakan salah satu teknik operasi
dengan melakukan eksisi pada margo inferior palatum mole termasuk uvula dan
tonsil. Menurut penelitian metaanalisis yang pernah dilakukan, dinyatakan UPPP
secara signifikan dapat menurunkan AHI dan meningkatkan saturasi oksigen. UPPP
kurang efektif pada pasien usia lanjut dan IMT yang tinggi.10
Genioglosus advancement dapat memperbaiki obstruksi retroglosal. Teknik
ini dilakukan pada pasien dengan AHI >30 yang disebabkan oleh obstruksi pada
dasar lidah. Keberhasilan teknik ini dalam memperbaiki AHI dan saturasi oksigen
mencapai angka 66-85%.10
Teknik maksila-mandibular osteotomi dapat dilakukan pada pasien yang
tidak mengalami kemajuan pasca-UPPP dan genioglosus advancement setelah
dievaluasi selama enam bulan dengan PSG. Teknik inimempunyai angka
keberhasilan 97-100% dalam menurunkan AHI dan meningkatkan saturasi oksigen
darah.10
Muskulus genioglosus, geniohioid dan konstriktor faringeal media
berinsersi pada os hioid. Obstruksi yang terjadi pada hipofaring dapat diperbaiki
dengan teknik operasi miotomi hioid dengan suspensi.10
Laser-assisted uvuloplasty (LAUP) adalah teknik yang mirip seperti UPPP,
namun menggunakan laser (CO2, argon). Teknik ini dapat dilakukan dengan
anastesi lokal dalam 1-3 sesi rawat jalan. LAUP tidak direkomendasikan

16
pada pasien yang memilikiobstruksi pada daerah tonsil, penebalan mukosa faring,
hipertrofi tonsil dan AHI >30. LAUP sudah sekarang jarang dikerjakan.10
Teknik operasi lain adalah radiofrequency ablation (RA) palatum.
Indikasinya untuk pasien dengan obstruksi daerah palatum dan AHI <15. Angka
keberhasilan RA palatum dalam mengeliminasi keluhan mendengkur dan
memperbaiki nilai ESS mencapai 75%, namun tidak mengubah nilai AHI.10

2. 10. Komplikasi
OSAS pada anak dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut:3
a. Dampak neurobehavior
Salah satu dampak OSAS pada anak adalah gangguan perilaku dan
neurokognitif. Selain itu, juga dapat menyebabkan hiperaktivitas, gangguan
perhatian, dan defisit kognitif. Mekanisme pasti hal ini belum dibuktikan. Namun,
kemungkinan besar disebabkan karena fragmentasi tidur dan hipoksia episodik
selama tidur menyebabkan perubahan substrat neurokimiawi korteks prefrontal
yang berujung pada disfungsi dan hilangnya sel neuron.3
b. Mengantuk berlebih pada siang hari
Pada 13-20% anak dengan OSAS didapatkan mengantuk berlebih pada siang
hari atau excessive daytime sleepiness (EDS). Hal ini sangat mengganggu kegiatan
tumbuh kembang anak saat siang hari. Mengantuk berlebih pada siang hari
mengganggu aktivitas belajar dan bermain di sekolah.3
c. Kualitas hidup dan depresi
OSAS, apalagi bila dibarengi dengan obesitas, dapat menurunkan kualitas
hidup anak. Terganggunya tidur akan meningkatkan kelelahan yang menyebabkan
irritability, gangguan konsentrasi, mood depresif, dan penurunan minat pada
aktivitas harian. Penurunan kualitas hidup harian berpengaruh pada hubungan anak
dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya. Beberapa penelitian menyatakan
adanya hubungan antara OSAS dengan kualitas hidup harian pasien.3
d. Dampak kardiovaskuler
Seperti komplikasi pada orang dewasa, OSAS pada anak dapat menyebabkan
kelainan kardiovaskuler. Pada anak dengan OSAS ditemukan

17
perubahan pengaturan tekanan darah, hipertensi sistemik, dan perubahan ukuran
ventrikel kiri. Perubahan ini akibat peningkatan aktivitas dan reaktivitas simpatis
yang terus berkembang seiring OSAS. Pada OSAS, terjadi respons inflamasi yang
ditandai peningkatan nilai CRP. Respons inflamasi pada pembuluh darah kecil
pasien menyebabkan disfungsi endotel yang memperburuk kualitas kardiovaskuler
pasien. Hipoksia yang terjadi saat anak tidur juga meningkatkan tekanan arteri
pulmonal yang menyebabkan disfungsi ventrikel kanan.3
e. Resistensi insulin, diabetes tipe 2, dan sindrom metabolik
OSAS juga dikenali sebagai salah satu faktor risiko sindrom metabolik pada
dewasa. Pada anak, resistensi insulin dan perubahan profil lipid terutama
dipengaruhi oleh obesitas. Bila pasien obesitas juga menderita OSAS, risiko
menderita sindrom metabolik meningkat enam kali lipat dibandingkan pasien
obesitas tanpa OSAS.3
f. Gangguan pertumbuhan somatik
Gangguan pertumbuhan pada anak dengan OSAS terjadi pada 5% pasien,
didasari oleh penurunan kadar insulin-like growth factor I dan hormon
pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan kebanyakan akan menghilang setelah
terapi.3

2. 11. Prognosis
Prognosis OSA pada anak sering lebih baik dibandingkan OSA dewasa.
Setelah ditangani terutama adenotonsilektomi, 87,7 % anak mengalami perbaikan
bermakna kualitas hidup jangka pendek dan 74,5 % mengalami perbaikan besar
kualitas hidup. Hanya 5,1 % anak menyatakan penurunan kualitas hidup setelah
operasi. Selain peningkatan kualitas hidup, setelah terapi, kebanyakan anak juga
mengalami peningkatan tinggi dan berat badan serta perbaikan performa di
sekolah.3

18
BAB III
KESIMPULAN

Tidur merupakan kebutuhan penting dari siklus hidup seseorang pada


seluruh kelompok umur terutama pada masa perkembangan. Hambatan yang dapat
mengganggu kualitas dan kuantitas tidur seseorang dapat mempengaruhi
perkembangan serta kesehatan fisik dan mental anak bahkan dapat berujung
kematian.
Begitu banyak gejala klinis OSAS anak yang berbentuk umum dan seakan
tidak mengkhawatirkan seperti salah satu diantranya mendengkur sering
disepelekan orang tua, sehingga tidak sedikit kasus berujung pada komplikasi dari
OSAS. Peran orang tua terhadap deteksi gejala OSAS anak menjadi sangat penting
dalam penanganan tingkat lanjut. Disamping itu pendekatan yang komprehensif
dari petugas kesehatan terhadap kasus ini pun merupakan kunci keberhasilan dari
tatalaksananya.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunha TCA, Guimaraes TDM, Junior PCS, Cunha TM, Bittencourt LRA.
Pediatric obstructive sleep apnea syndrome – Mini review. J Dent Health Oral
Disorder & Therapy. 2017; 8(4):1-4.
2. Supriyatno B, Deviani R. Obstructive sleep apnea syndrome pada anak. Sari
Pediatri. 2005; 7(2):77-84.
3. Prasetya D, Sindrom OSA pada anak. CDK-237. 2016; 43(2):101-5.
4. Katz ES, Ambrosio C. Pediatric Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Child
Chest Med. 2010:31:221-234. doi:10.1016/j.ccm.2010.02.002.
5. Lumeng JC, Chervin RD. Epidemiology of pediatric obstructive sleep apnea.
Proc Am Thorac Soc. 2008; 5:242-52.
6. Rasjid M, Yogiarto M. Obstructive Sleep Apnea (OSA). Medika Tadulako:
Jurnal Ilmiah Kedokteran. 2015; 2(3):9-24.
7. Antariksa B. Obstructive Sleep Apnea (OSA). Dep Pulmonologi & Ilmu
Kedokteran Respirasi FKUI.
8. American Academy of Pediatrics. Diagnosis and management of childhood
obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics. 2012; 130(3):576-84.
9. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
ED, dkk. Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS). Dalam: Pedoman
Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi 2. 2011. hal. 195-200.
10. Sesarini PM, Astutha AR. Efektivitas Continous Positive Airway Pressure
(CPAP) pada Obstructive Sleep Apnea (OSA). Dalam: Putra IDGAE,
Pradipta IPY. ENT Update. Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK
Udayana. 2017; 1(1).
11. Welch KC, Goldberg AN. Sleep disorders. In: Lalwani AK, editor. Current
diagnosis and treatment otolaryngology head and neck surgery. USA:
McGraw-Hill; 2012. p.567-9.

20

Anda mungkin juga menyukai