PENDAHULUAN
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
umur harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan
Development Index(HDI) (Depkes RI, 2000). Selain itu, tiga faktor utama
dan ekonomi erat kaitannya dengan status gizi masyarakat (Sasmito, 2007).
1
2
dkk, 2002). Masalah gizi terjadi di setiap siklus kehidupan dimulai sejak dalam
kandungan (janin), bayi, anak, dewasa dan usia lanjut. Namun, periode dua tahun
pertama kehidupan merupakan masa kritis, karena pada masa ini terjadi
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat sehingga gangguan gizi yang
terjadi pada periode ini bersifat permanen, tidak dapat dipulihkan walaupun
kebutuhan gizi pada masa selanjutnya terpenuhi (Depkes RI, 2007). Oleh karena
itu, setiap penyimpangan sekecil apapun pada usia tersebut apabila tidak
ditangani dengan baik akan mengurangi kualitas sumber daya manusia di kelak
kemudian hari.
Kurang gizi pada usia balita akan berdampak pada penurunan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih lanjut berakibat pada kegagalan
rendah status gizi seseorang, semakin rentan sakit dan meningkatkan morbiditas.
Dalam tingkat yang parah gizi kurang pada anak dapat menyebabkan malaria
7,3%, diare 60,7%, dan pneumonia 52,3% (Lahlan, 2006). Selain itu, kekurangan
gizi dalam tingkat ringan, sedang dan berat memililiki resiko meninggal masing-
masing adalah 2,5 dan 4,6 serta 8,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak
penurunan gizi kurang pada balita adalah mewujudkan keluarga sadar gizi.
gizi (gizi) adalah 80% keluarga di Indonesia bisa melaksanakan perilaku sadar
gizi atau mencapai status kadarzi. Hal ini didasari karena keluarga mempunyai
nilai yang amat strategis dan menjadi inti dalam pembangunan seluruh
kesehatan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya, dan mampu mengambil
eksklusif, dan minum suplemen sesuai yang dianjurkan (Depkes RI, 2007). Pada
kadarzi merupakan bagian dari ke-13 pesan dasar gizi seimbang sehingga valid
Sampai saat ini, permasalahan gizi terutama pada balita di dunia maupun
kurang pada anak usia balita di dunia dalam periode 2000-2006 adalah 25%,
balita pendek 31%, balita kurus 31% (Zahrani, 2009). Sedangkan hasil Riskesdas
balita pendek 36,8% dan balita kurus 13,6%. Prevalensi gizi kurang pada balita
kesehatan masyarakat (prevalensinya > 15%) dan dalam hal balita kurus masih
dalam situasi kritis karena prevalensinya masih berada antara 10-14,9% atau
tepatnya mencapai 13,6% (Depkes, 2007). Adapun prevelensi gizi kurang tahun
2009 di Kota Banjar sebesar 8,63%, gizi buruk 0,97%, balita kurus 1,95%.
Depkes RI (2007) baru sekitar 50% anak balita yang di bawa ke Posyandu untuk
ditimbang sebagai upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan. Bayi dan balita
yang telah mendapat kapsul vitamin A baru mencapai 74% dan ibu hamil yang
mengkonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) baru mencapai 60%. Demikian pula
dengan perilaku gizi lainnya juga masih belum baik yaitu masih rendahnya ibu
yang menyusui bayi 0-6 bulan secara eksklusif yang baru mencapai 39%, sekitar
syarat dan pola makan yang belum beraneka ragam (Depkes RI, 2007).
Yogyakarta (DIY) baru mencapai 66% dan di Nusa Tenggara Timur (NTT) baru
mencapai 12,2%. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat tahun
2009 diketahui bahwa di Jawa Barat jumlah keluarga sadar gizi baru mencapai
63,7%.
tingkat rumah tangga. Hal inilah yang menyebabkan peran ibu sangat dominan
pengambilan keputusan dalam hal penyediaan pangan di rumah tangga dan pola
untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik sehingga
akan dapat mencukupi kebutuhan gizi anggota keluarga (Sayogyo, 1995). Hasil
pendapatan keluarga dengan keluarga sadar gizi. Pengetahuan dan sikap ibu juga
makanan (Purnama dalam Madanijah, 2002). Hal ini dipertegas oleh hasil
antara pengetahuan gizi dan sikap ibu dengan keluarga sadar gizi.
pendidikan ibu yang sering sekali mempunyai manfaat yang positif dengan
studi menunjukkan jika pendidikan ibu meningkat maka pengetahuan nutrisi dan
berhubungan dengan waktu yang dimiliki oleh ibu untuk merawat anak dan
Gabriel (2008) ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan memiliki lebih banyak
Banjar merupakan salah satu kota yang berada di wilayah timur Provinsi
Jawa Barat. Setiap tahun Dinas Kesehatan Kota Banjar melaksanakan pendataan
keluarga sadar gizi di Kota Banjar. Berdasarkan hasil pendataan kadarzi di Kota
Banjar tahun 2009 diketahui bahwa jumlah keluarga sadar gizi di Kota Banjar
mencapai 86,78%, sudah mencapai target nasional untuk kadarzi sebesar 80%.
Kota Banjar yang jumlah keluarga sadar gizinya masih jauh di bawah target
Banjar yang jumlah keluarga dengan status keluarga sadar gizi (kadarzi) paling
rendah yaitu baru mencapai 50,44%, masih jauh di bawah target nasional Depkes
hubungannya dengan status gizi telah dilaksanakan oleh Sutrisno (2000), Gabriel
(2008), Zahrani (2009) menunjukkan bahwa status gizi balita dari keluarga sadar
gizi (kadarzi) cenderung lebih baik daripada keluarga yang tidak sadar gizi.
Keluarga yang tidak kadarzi memiliki resiko 9,25 kali untuk memiliki balita
dengan status gizi kurus dibanding keluarga yang sadar gizi (Fajar, 2009).
yang berhubungan dengan perilaku keluarga sadar gizi pada keluarga balita di
Hasil pendataan kadarzi di Kota Banjar tahun 2009 oleh dinas kesehatan
keseluruhan di Kota Banjar keluarga sadar gizi sudah mencapai target Depkes
jumlah kasus balita gizi kurang dan gizi buruk di suatu wilayah. Oleh karena itu,
2010?
11. Bagaimana hubungan pengetahuan gizi ibu dengan perilaku sadar gizi
12. Bagaimana hubungan sikap ibu dengan perilaku sadar gizi pada
2010?
tahun 2010?
2010?
2010.
2010.
2010.
tahun 2010.
2010.
12. Diketahuinya hubungan sikap ibu dengan perilaku sadar gizi pada
2010.
tahun 2010.
keluarga sadar gizi pada keluarga balita. Penelitian ini dilakukan karena
berdasarkan hasil pendataan kadarzi oleh Dinas Kesehatan tahun 2009 di Kota
masih rendah yaitu baru mencapai 50,44 %. Penelitian akan dilaksanakan pada