Anda di halaman 1dari 25

PASIEN DENGAN DIALYSIS DAN TRANSPLANTASI GINJAL

Penyakit ginjal meluas dan endemik. Diperkirakan dalam statistik terbaru yang tersedia

27 Juta orang di Amerika menderita gangguan ginjal kronis (United States Renal Data

System, 2012). Bentuk ekstremnya adalah gagal ginjal terminal yang didiagnosis

sebanyak 117.000 orang pertahun.

Terdapat 86.0000 orang di Amerika menunggu untuk transplantasi ginjal dan

355,000 menjalani dialysis. Pembayaran utama pelayanan kesehatan adalah untuk

perawatan gagal ginjal, dimana di Amerika menghabiskan 47,5 miliar dolar pertahun.

Dengan demikian perawatan untuk gagal ginjal adalah bagian utama pengobatan di

Amerika. Dalam hal untuk professional terlatih secara perilaku untuk membuat

pengaruh yang dalam, pada studi atau perawatan dari pasien, ia harus mempunyai

hubungan kerja dengan staf Nefrologi (Levenson and Olbrisch, 1993). Kontak dimulai

pada puncak dari bedah nefrologi/transplan. Jika relasi adalah lebih dari hubungan

spesialisasi, ini adalah penting seseorang menjadi diterima oleh bagian nefrologi atau

bedah transplantasi sebagai bagian dari tim (Cohen et al,2005a). Jika demikian dapat

menjadi kemungkinan untuk hubungan liaison yang sebenarnya dikembangkan. Jika

tidak, kemudian hubungan lebih seperti dipaksakan untuk konsul terbatas. Bahwa

seseorang menjadi sangat optimis tentang memasuki hubungan, seseorang perlu

menjadi pengingat, secara umum resistensi dan permusuhan yang mengarah pada

perilaku yang memandang sekitar penyakit fisik dan perawatannya dapat dan sering

adalah besar diantara dokter (Reichsman and Levy, 1972).

1
Terdapat beberapa penelitian yang bagus dan pengalaman klinis tentang aspek

perilaku dari dialysis dan transplantasi ginjal karena ginjal adalah organ vital pertama

yang telah ditransplantasi dan pertama dimana ada mekanisme substitusi artifisial

dengan dialysis. Namun demikian masih ada kekurangan dari sistematis, studi

multisite. Dengan kekurangan dalam pikiran, penulis dalam bab ini akan menjelaskan

kepada pembaca apa stress utama mereka, berbagai terapinya, masalah psikologis

pasien, bagaimana professional terlatih secara perilaku dapat membantu pasien

tersebut.

Bentuk dialysis dengan stress dan perawatannya

Terdapat dua jenis dialysis, hemodialysis dan peritoneal dialysis. Pada hemodialysis

darah pasien melewati mesin dialysis dan memisahkan dari caiaran dialysis melalui

membrane semipermeable. Proses dialysis adalah secara osmotik dimana senyawa

mengalir melalui membrane semipermeable dari sisi dengan konsentrasi yang lebih

tinggi ke sisi dengan konsentrasi yang lebih rendah dari zat tersebut. Contohnya: jika

konsentrasi ion potassium lebih rendah dari cairan dialisat dibanding dalam darah

pasien, potassium akan mengalir dari darah melalui membrane ke dalam cairan dialisat

(Parker 1992). Dalam dialysis peritoneal, cairan dialysis akan dikirim melalui

membran fistula abdomem langsung ke cavum peritoneal dan peritpneum dianggap

sebagai membrane semipermeable. Pertimbangan yang hati-hati diberikan pada apa

yang merupakan cairan dialysis. Tentu saja air adalah yang utama. Pemilihan zat dalam

2
air mempengaruhi ukuran molekul yang cukup kecil melewati membrane dan zat yang

akan dihilangkan dan diganti dengan yang lainnya.

Dialisis lebih dari bentuk perawatan medis lainnya membutuhkan

ketergantungan pada mesin, prosedur dan kelompok personil professional. Pasien yang

sangat independen mungkin memiliki kesulitan mentoleransi dialysis. Di sisi lain jenis

kepribadian, pasien yang sangat dependen dapat membutuhkan beberapa kenyamanan

pada keadaan menjadi tergantung membuat rehabilitasi untuk kembali bekerja,

sekolah, atau kegiatan rumah lebih sulit. Profesional liaison psikiatri dapat membantu

tim nefrologi lebih awal pada seleksi modalitas perawatan untuk gagal ginjal (Levy and

Wynbrant 1975). Secara umum orang yang independen melakukan dengan lebih baik

pada situasi yang menjadi tergantung seperti pada transplantasi ginjal, continuous

ambulatory peritoneal dialysis (CAPD).

Komplikasi Psikiatri dan Perawatannya

1. Delirium

Seperti yang dijelaskan (DSM-5 2013), delirium adalah gangguan atensi dan kognitif

biasanya berkembang dalam periode waktu yang singkat. Ini adalah salah satu yang

paling banyak dari sindrom underdiagnosis dalam penyakit medis, terutama pada orang

dengan gagal ginjal. Ini mungkin disebabkan termasuk diakibatkan oleh kondisi medis.

Pasien dialysis menghadapi terlalu banyak komplikasi seperti anemia, kelebihan

cairan, hiperparatiroid sekunder dan uremia. Perhatian kemudian dan perawatannya

3
orang dengan gagal ginjal sebelumnya dan sering selama perawatan mengalami

uremia. Kita ketahui bukan karena kelebihan urea penyebab dari masalah ini.

Contohnya injeksi ureum pada binatang percobaan tidak akan mengakibatrkan keadaan

uremikum. Daripada akumulasi berbagai zat toxic yang dibuah oleh ginjal normal yang

meningkat menjadi seperti itu. Tidak seperti orang dengan fungsi ginjal yang normal

24/7, pasien dialysis intermiten mengalami uremia sesuai dengan fungsi ginjalnya yang

inetrmiten. Juga proses dialysis dimana perpindahan elektrolit dan cairan relatif cepat

mungkin meningkatkan kejadian yang kita sebut “disequilibrium sindrom”. Yang mana

tidak biasa kita temukan selama dan setelah dialysis berlangsung.

2. Gangguan Depresi dan bunuh diri

Gangguan depresi dan cemas adalah komplikasi yang sering pada penyakit medis dan

pembedahan (Levy 1989). Sering gangguan depresi dipresipitasi oleh kehilangan yang

nyata, terancam, atau fantasi.

Pasien dengan gagal ginjal, terutama dengan dialysis berkelanjutan banyak

kehilangan. Kebanyakan tidak pernah kembali bisa bekerja, melakukan pekerjaan di

rumah atau sekolah setelah mereka menderita gagal ginjal (Cukor et al, 2013).

Kehilangan pekerjaan adalah kejadian yang paling sering dimana ini tidak hanya

mengakibatkan kehilangan uang, tapi biasanya berhubungan dengan hilangnya

kepercayaan diri seperti halnya kehilangan maskulinitas pada laki-laki, femininitas

pada perempuan. Lebih jauh pasien dengan dialysis kehilangan kebebasan personal,

kehilangan kebebasan, kehilangan harapan hidup dan kehilangan performa kesehatan

4
(Rosenthal et al. 2012). Regimen medis dari pasien ini mempengaruhi kebebasan

memilih makanan yang mereka sukai dan membatasi intake cairan (Grasell et al. 2014).

Pasien dialysis biasanya menjadi berubah pada penampilan tampak seperti kena

matahari tidak berwarna coklat sehat. Karena kesempatan akses pada sistem sirkulasi

dipengaruhi bedah pembuatan fistula arteri venus, skar dari prosedur tampak seperti

ular yang membengkak yang disebabkan oleh arterialisasi dari system vena.

Sejak hari paling awal dialysis, telah dicatat kejadian bunuh diri pada pasien ini

tampak lebih tinggi dibanding populasi umum atau pada penyakit medis kronis lainnya.

Studi sistematik paling dini dari observasi ini telah dilakukan oleh Abram dan kolega

(Abram et al, 2011). Mereka mengirim kwesioner ke sentra dialysis di Amerika pada

waktu itu. Dengan hampir setengah qwesioner kembali dengan statistic yang buruk

sebagai perbandingan dengan demikian disimpulkan bunuh diri pada pasien dialysis

500 kali lebih besar dari populasi umum. Meskipun studi ini bercacat, dalam mana

kesimpulan dramatis ini membawa perhatian pada subjek bunuh diri pada populasi

pasiem tersebut. Untuk pengetahuan terbaik dari penulis pada bab in, telah menjadi

studi yang tidak valid sekarang pada pasien dialysis atau gagal ginjal. Masalah disini

adalah akurasi statistik yang memperhatikan bunuh diri. Untuk ilustrasi, tahun 1961

ketika novelist Nobel Prizze, Ernest Hemmingway meninggalkan perawatan untuk

depresi di klinik Mayo dan pulang ke Ketchum, Indiana dan menembak dirinya pada

mulutnya, coroner di kota itu mencapat kematiannya mengarah pada penyebab natural.

Kurang secara dramatis, apakah secara sukarela putus dari dialysis, kematian oleh diri

5
sendiri?. Ada juga area abu-abu yang besar pada orang yang tidak patuh pada diet dan

restriksi cairan. Hal itu dan metode lain perilaku merusak diri sendiri, apakah disadari

atau tidak atau tidak dibatasi pada metode dari kematian oleh diri sendiri.

Menariknya, ketika seseorang tampak sebagai siapa yang bertindak bunuh diri,

seseorang dikonfrontasi dengan kesimpulan yang menarik. Contohnya, tiap tahun

makin banyak polisi mati bunuh diri daripada dalam melaksanaka tugas. Pada beberapa

tahun lalu lebih banyak pelayan laki-laki dan perempuan mati bunuh diri dari pada

dalam peperangan. Meskipun tadak ada statistik yang kredibel, kebanyakan setuju dari

lebih banyak jumlah dari professional kesehatan bunuh diri daripada populasi umum.

Alasan yang jelas tampaknya adalah jika individu mempunyai arti bunuh diri di tangan,

ada kesempatan lebih besar individu akan menemukan kematiannya dengan cara

demikian. Ini adalah kasus dari pasien dialysis. Pada tahun yang telah lalu ketika

gerbang dari mengantar hemodialysis adalah arteri-venous shunt external, mungkin

pasien mati oleh diskoneksi porsi arteri dari shunt mereka. Sekarang, seperti kemudian,

metode dari bunuh diri adalah terjadi pada diet tinggi potassium dan/ atau tidak

menunjukkan beberapa perjalanan hemodialysis.

Perawatan ideal yang diterima untuk gangguan depresif adalah dengan

penggunaan obat antidepresan dan psikoterapi. Sayangnya, perawatan yang ideal dan

praktis sering tidak didapatkan kelompok pasien ini. Telah diamati dan awalnya

dijelaskan (Reichsman dan Levy 1972) bahwa orang-orang dengan gagal ginjal adalah

salah satu yang paling resistif terhadap pandangan psikologis kehidupan mereka.

6
Sering dirasionalisasi oleh, “Jika Anda punya penyakit saya, Anda akan sama sedihnya

dengan saya”. Namun demikian, pasien yang lebih insight mungkin setuju dengan

terapi bicara. Cukor dan rekannya telah melakukan beberapa terobosan studi tentang

terapi perilaku kognitif yang dimodifikasi (CBT) pada pasien dialisis (Cukor et al.

2013). Mereka telah menunjukkan bahwa ini bentuk terapi mengurangi pengaruh

depresif, meningkatkan kualitas hidup, dan meningkatkan kepatuhan pengobatan

dengan baik dalam statistik signifikansi. Obat, antidepresan biasanya lebih dapat

diterima daripada berbicara karena mereka mematuhi tradisional model medis penyakit

dan dilihat oleh banyak yang kurang menakutkan daripada terapi bicara.

Gangguan cemas

Di mana ada depresi sering ada kecemasan (Cukor et al. 2007). Tetapi mungkin juga

ada oleh sendiri karena kecemasan adalah mekanisme perlindungan tubuh melawan

ancaman terhadap integritasnya, lagi nyata, terancam, dan / atau berkhayal. Pasien

dirawat karena gagal ginjal memiliki banyak alasan potensial menjadi cemas. Untuk

orang yang telah ditransplantasikan, ada ketakutan terus-menerus terhadap penolakan

organ. Dialisis mendatangkan banyak potensi ketakutan. Sejak prosedur ini melibatkan

pengambilan darah secara terus-menerus masuk ke dalam alat dan kemudian kembali,

ada selalu kemungkinan kehilangan darah. Seperti sebelumnya disebutkan

pengambilan elektrolit dan cairan yang relatif cepat sering mengakibatkan

disequilibrium transien sindrom, membuat batas pasien mengigau dan mungkin cemas.

Di pusat unit hemodialisis tidak jarang melihat masalah medis besar di antara sesama

7
pasien termasuk kedaruratan jantung dan kadang-kadang kematian pasien yang sedang

didialisis. Selain itu, perubahan staf dan menunggu prosedur medis biasanya

berhubungan dengan kecemasan. Kualitas hidup terpengaruh secara material oleh

kecemasan (De Sousa 2008).

Pasien Yang Tidak patuh dan Agresif

Ketika psikiater konsultasi-liaison atau profesional perilaku lainnya diminta untuk

berbicara dengan kelompok profesional nefrologi, sering kali, subjeknya adalah

“pasien tidak patuh”. Observasi menggarisbawahi kesamaan masalah ini untuk staf

nefrologi. Mengenai definisi, "ketidakpatuhan" adalah kesimpulan subyektif dan dapat

bervariasi dari satu pengamat ke yang lain. Ini tidak digunakan untuk pasien yang

hanya mengganggu, terus bertanya-tanya kepada staf, atau meminta pendapat kedua,

tetapi pasien yang terus menerus tidak mematuhi regimen medis mereka untuk tingkat

ekstrim.

Dua faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mempelajari Subjek ini.

Pertama, pasien gagal ginjal tidak mewakili crosssection masyarakat. Mereka berbobot

berat ke arah kelas bawah, orang miskin, mereka yang tidak mematuhi regimen medis

mereka misalnya karena hipertensi dan penderita diabetes, dan orang-orang dengan

gangguan adiktif. Orang antisosial terlalu terwakili dalam kelompok pasien ini. Oleh

karena itu, orang dapat melihat mengapa pasien ini, sebagai kelompok yang berbeda

dengan populasi umum atau orang lain dengan penyakit medis kronis dalam kepatuhan

terhadap diet dan aspek lain dari regimen medis gagal ginjal. Faktor kedua adalah

memahami bagaimana tipe kepribadian yang berbeda menyesuaikan atau gagal

8
menyesuaikan untuk penyakit medis kronis. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya

pasien yang sangat mandiri atau sangat tergantung akan merespon secara berbeda

terhadap berbagai bentuk terapi gagal ginjal. Sekali lagi, kami ingin menggarisbawahi

pentingnya perilaku profesional terlatih untuk terlibat dalam memberi nasihat kepada

staf nefrologi dalam pemilihan modalitas pengobatan yang melengkapi tipe

kepribadian dari individu. Sekali lagi, orang yang sangat independen harus diarahkan

ke arah perawatan mandiri atau transplantasi. Faktor-faktor yang sangat membantu

dalam perawatan orang yang tidak patuh termasuk pemahaman bahwa tidak patuh pada

regimen medis akan menghasilkan kemungkinan rawat inap dan, lebih mungkin,

penurunan dalam harapan hidup. Ketika ketidakpatuhan termasuk hilang dalam

perjalanan dialisis atau perilaku agresif, itu penting bagi staf untuk mempertahankan

toleransi minimal untuk itu. Sekali lagi, sejak dini, ini penting bagi unit untuk

memperjelas semua perilaku yang mempengaruhi keselamatan staf dan pasien akan

diperlakukan sebagai masalah polisi. Lebih lanjut, pelanggar kronis termasuk orang-

orang yang berulang kali melewatkan operasi dialisis seharusnya dipindahkan ke unit

lain jika memungkinkan.

Kasus Vignette

Seorang pria berusia 64 tahun sedang dalam perawatan dialisis 3 kali seminggu dan

pasien rawat jalan fasilitas dialisis selama 4 tahun. Suatu hari dia tidak muncul untuk

dialisis. Dia ditelepon di rumah kost tempat dia tinggal, dan dia menyatakan dia tidak

datang untuk dialisis lagi. Dia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Merupakan

tugas unit sosial bertanya kepada konsultan psikiatri untuk bersama-sama melakukan

9
kunjungan rumah untuk mengevaluasi pasien. Pasien secara bertahap mengungkapkan

bahwa dia terluka dan marah karena staf perawat telah memberinya perhatian relatif

sedikit akhir-akhir ini berbeda dengan pasien baru. Dia menyatakan bahwa dia percaya

bahwa perawat tidak ingin dia datang lagi. Dia diyakinkan bahwa dia adalah seorang

anggota penting dari komunitas dialisis. staf perawat ini, yang telah sepenuhnya tidak

menyadari perasaan pasien, dengan senang hati memberikan perhatian yang meningkat

dan sosialisasi dengan pasien. Dalam hal ini kesabaran merupakan sumber utama

rangsangan sosial berada di unit dialisis yang pada dasarnya menjadi keluarga

pengganti baginya.

Farmakologi pada Gagal Ginjal

Farmakokinetik mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan obat-

obatan sejak masuk ke tubuh hingga diekskresikan (Callaghan et al. 1999). Fase-fase

farmakokinetik diberikan di bawah ini dalam cetak tebal. Absorbsi obat adalah

penting karena mencakup berapa banyak obat benar-benar masuk ke tubuh, biasanya

melalui sistem gastro-intestinal. Kecuali dalam kasus yang jarang terjadi gastroparesis

atau GI edema, yang terkait dengan penyerapan yang lebih lambat, pasien dengan gagal

ginjal tidak memiliki perubahan signifikan dibandingkan dengan mereka yang

memiliki fungsi ginjal normal. Distribusi obat mengacu pada konsentrasi obat itu

dalam jaringan tubuh. Distribusi akan meningkat pada pasien cachectic dan menurun

pada edema. Protein binding mengacu pada kemampuan tubuh untuk mengikat obat

pada protein tubuh, khususnya albumin. Bagian obat yang tak terikat adalah yang

terapeutik aktif. Pasien gagal ginjal memiliki kemampuan yang berkurang secara

10
signifikan untuk mengikat obat-obatan pada protein tubuh, sehingga membuat lebih

banyak obat yang tersedia untuk terapi dan toksisitas. Karena hampir semua obat

dengan pengecualian lithium yang digunakan oleh psikiater memiliki pengikatan

protein tingkat tinggi, aturan umumnya adalah seharusnya tidak meresepkan untuk

pasien gagal ginjal lebih dari tiga kali dari dosis maksimum yang diberikan kepada

mereka dengan fungsi ginjal normal.

Karena, organ utama untuk metabolisme obat, adalah hati (sekali lagi, dengan

pengecualian lithium), yang menghilangkan metabolit dalam empedu, membuat

ekskresi obat suatu masalah hanya pada beberapa obat seperti lithium yang

diekskresikan oleh ginjal dalam urin.

Dengan beberapa pengecualian, obat paling aktif secara psikologi larut dalam

lemak, melewati blood brain barrier, dimetabolisme oleh hati, dan diekskresikan oleh

usus. Harus menggunakan yang lebih rendah dari dosis maksimum setiap obat yang

digunakan pada pasien gagal injal dibandingkan dengan ginjal yang berfungsi normal.

Aksioma ini harus diingat deskripsi obat yang disebutkan di bawah ini. Ketika

digunakan secara hukum, antidepresan mungkin bagian penting dari perawatan pasien

ini. Harus diingat bahwa kekurangan dalam penggunaan obat trisiklik adalah potensi

masalah overdosis dalam suatu populasi dengan insiden bunuh diri yang tinggi. Karena

masalah bunuh diri dan karena antidepresan trisiklik sangat anticholergic, SSRI lebih

disukai.

Meskipun ada sedikit data tentang penggunaan antipsikotik pada pasien ini,

namun masih dapat digunakan dengan hati-hati. Harus diingat adanya perpanjangan

11
QT interval seperti yang terjadi pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Ada sejumlah

potensi efek samping dari clozapine termasuk yang lebih banyak diminati baru-baru ini

dalam insiden yang relatif tinggi adalah perikarditis pada mereka yang mendapatkan

obat ini. Data yang dirilis dalam studi CATIE (Lieberman et al. 2005) menunjukkan

beberapa keuntungan dalam penggunaan antipsikotik tipikal yang lebih tua karena

mereka memiliki rekam jejak yang lebih panjang daripada atipikal.

Benzodiaazepin umumnya digunakan untuk pengobatan kecemasan jangka

pendek, tetapi risiko bisa terjadi melebihi manfaat jika digunakan setiap hari dalam

jangka panjang(lihat Bab 20). Lorazepam, yang diekskresi melalui ginjal pada mereka

dengan fungsi ginjal normal, beralih ke metabolisme hati dengan ekskresi empedu pada

gagal ginjal, dan karena itu dapat digunakan pada pasien-pasien ini (Lam et al., 1997).

Di antara mood stabilizer, lithium adalah yang obat unik, terutama dalam

penggunaannya pada pasien dengan gagal ginjal. Ini dialyzable dan dengan demikian

diekskresi sepenuhnya oleh ginjal artificial. Itu mungkin diberikan sebagai dosis

tunggal setelah setiap dialisis dijalankan dan akan dipertahankan pada sekitar

konsentrasi yang sama dalam tubuh karena jalannya ekskresi, ginjal tersumbat pada

gagal ginjal. Ketika pasien didialisis molekul kecil lithium melewati membran

semipermeabel dan dihilangkan. Ada sedikit data tentang penggunaan obat-obatan anti

kejang, terutama valproate. Namun, pengalaman itu menunjukkan bahwa mereka dapat

digunakan pada pasien dengan gagal ginjal (Levy 2000).

12
Transplantasi ginjal

Proses seleksi untuk berpotensi memenuhi syarat pasien dan donor hidup

termasuk penilaian psikososial, sering menggunakan instrumen yang mampu

menyoroti kandidat yang lebih layak pemeriksaan lengkap oleh psikiater tim

transplantasi (DeMartini et al. 2005). Ada di setidaknya beberapa instrumen umum

skrining transplantasi yang tersedia, termasuk Psychosocial Assesment Candidates for

Transplantation (PACT) dan Transplantation Evaluation rating Scale (TERS)

(DeMartini et al. 2005; Olbrisch et al. 1989; Twillman dkk. 1993). Konsultan psikiatri

menilai potensi donor dan resipien berkenaan dengan sejarah kejiwaan mereka,

mekanisme koping, sistem yang tersedia dari dukungan, motivasi untuk pencalonan,

dan putusan kapasitas (Cohen et al. 2006). Psikiaternya diminta untuk meyakinkan tim

bahwa kandidat dan donor mampu membuat informed consent untuk transplantasi

ginjal dan donasi organ itu sendiri bersifat altruistik dan tidak dipaksa. Psikiater

konsultasi juga diharapkan untuk mengidentifikasi perilaku "red fls" mungkin

berdampak pada kelangsungan hidup pasien. Ketika masalah kejiwaan yang

mempengaruhi pencalonan diidentifikasi, konsultan dapat dipanggil untuk membantu

menstabilkan kandidat sehingga menjadi layak.

Kapasitas mungkin dipengaruhi oleh kesalahpahaman prosedur dan hasil yang

mungkin terjadi. Harapan kesehatan yang tidak realistis untuk kembali ke keadaan

sebelum sakit harus ditemukan dalam penilaian, karena pasti ada kesenjangan

signifikan dalam pemahaman pasien tentang beban perawatan posttransplant dan risiko

ketidakpatuhan. Gangguan kognitif dari delirium atau uremik demensia harus dideteksi

13
dan ditentukan efeknya pada kapasitas pengambilan keputusan pasien. Dalam hal ini,

evaluasi kapasitas pretransplant harus mencakup penilaian kognitif yang terstruktur,

dengan atau tanpa pengujian neuropsikologi formal. Sebagai contoh, Structured

Interview for Renal Transplantation (SIRT) telah dikembangkan oleh Mori dan

koleganya merupakan alat dan pedoman klinis komprehensif untuk penilaian pasien

pretransplant ginjal. Ini mengumpulkan informasi relevan dengan penilaian dan

keputusan tim transplantasi, termasuk data pada pemahaman pasien tentang penyakit,

gaya koping, riwayat kesehatan mental, dan kognisi (Mori et al. 2000).

Harus diakui bahwa adanya riwayat kejiwaan itu sendiri tidak menghalangi

pasien dalam memberikan informed consent yang valid untuk transplantasi ginjal,

terutama jika gangguan psikiatri telah responsif terhadap pengobatan (Cohen et al.

2006). Bahkan pasien dengan gangguan psikopatologi, termasuk psikosis dan bunuh

diri, dapat diobati dan dievaluasi untuk kapasitas ketika sudah remisi. Selain masalah

kapasitas, keterbatasan data yang tersedia tidak menunjukkan bahwa gangguan

kejiwaan harus dianggap kontraindikasi otomatis untuk transplantasi ginjal, khususnya

bila ada dukungan sosial yang baik (Carrasco et al. 2009). Pasien transplantasi dapat

menderita kecemasan dan depresi yang meningkatkan secara progresif selama

menunggu organ (Corruble et al. 2010), sementara tidak ada data yang menunjukkan

prevalensi kecemasan dan depresi dapat berkurang setelah transplantasi (Lopes et al.

2011; Szeifert dkk. 2010).

Data yang tersedia menunjukkan kandidat transplantasi ginjal menjadi kurang

jujur daripada populasi C / L umum tentang riwayat pengobatan psikiatri masa lalu

14
(Mori et al. 2000; Rundell dan Hall 1997). Ini adalah masalah karena kelangsungan

hidup resipien transplantasi organ tergantung pada kepatuhan pengobatan yang ketat,

yang bisa dilemahkan oleh gangguan psikiatri, termasuk gangguan cemas, depresi, dan

gangguan penggunaan zat (DeMartini et al. 2005). Dalam satu penelitian longitudinal,

depresi dan usia adalah dua prediktor yang paling penting untuk kelangsungan hidup

pada kandidat ginjal (Mori et al. 2000; Levenson dan Olbrisch 1993). Levy (1994)

mengidentifikasi sebagai risiko yang lebih tinggi pasien yang memiliki gejala psikiatri

dalam konteks ESRD dan dialisis. Dia juga menunjukkan riwayat keluarga penyakit

kejiwaan sebagai faktor yang signifikan, dan menekankan perlunya edukasi

pretransplant tentang kemungkinan komplikasi terapi imunosupresan sebagai keadaan

yang tidak menyenangkan (Levy 1994). Penyalahgunaan zat aktif kontraindikasi

transplantasi, namun pasien dengan abstinen setidaknya 6 bulan dapat dipertimbangkan

kembali (Cohen et al. 2006), terutama jika aktif dalam perawatan. Gangguan

kepribadian cenderung menimbulkan tantangan bagi kemampuan pasien untuk bekerja

dengan tim perawatan dan kemampuan tim untuk mengelola perilaku pasien. Pasien

dengan personality-disordered, ketika ditransplantasikan, cenderung membutuhkan

rencana perawatan perilaku khusus dengan koordinasi yang erat antara anggota tim

psikiatri dan nonpsikiatri. Konsultan berperan pada pasien pretransplant dengan

termasuk membantu tim untuk secara realistis mengukur apakah program akan dapat

berjalan secara efektif. Seperti biasa, riwayat kepatuhan pengobatan sebelumnya

adalah prediktor yang paling langsung dari perilaku kandidat dimasa depan. Sebuah

15
pola yang melewatkan sesi dialisis, kecerobohan diet, dan ketidak patuhan obat-obatan

kontra indikasi untuk transplantasi ginjal (Cohen et al. 2006).

Kapasitas calon donor mengakibatkan serangkaian potensi kegagalannya sendiri.

Mengingat bahwa penawaran prosedur dalam situasi terbaik tidak bermanfaat bagi

kesehatan donor, standar yang tinggi dari kapasitas harus diperlukan dalam hal

mempertahankan dan memahami risiko dan potensi konsekuensi. Leo dkk. (2003)

mengidentifikasi psikosis kronis, gangguan afektif yang parah, bunuh diri, gangguan

perkembangan intelektual, gangguan penggunaan zat yang belum remisi, dan gangguan

kepribadian yang parah sebagai kondisi yang cenderung menghalangi tercapainya

informasi dengan baik keputusan tentang donasi ginjal.

Konsultan juga perlu menilai motivasi individual donor. Tekanan keluarga yang

tidak sesuai atau pengaruh emosional eksternal yang tidak adil seorang calon donor

dapat menghalangi latihan pilihan yang valid. Rasa bersalah, takut akan pembalasan,

dan harapan komitmen emosional timbal balik adalah contoh tambahan dari motivasi

donor yang tidak tepat. Ambivalensi yang belum tereksplorasi pada akhirnya mungkin

sabotase kepatuhan donor dengan protokol pra operasi (Leo et al. 2003), dan Levy

(1994) merasa bahwa “donor potensial dengan hubungan yang ambivalen dengan

penerima tidak boleh didorong untuk menyumbang ”. Sumbangan keuangan dari donor

keduanya tidak etis dan ilegal. Leo dkk. (2003) menawarkan panduan yang berguna

untuk wawancara terstruktur calon donor ginjal. Baskin (2009) menunjukkan tantangan

etika yang melekat dalam mengevaluasi donor organ padat yang tidak terkait dan

16
berusaha memahami dengan lebih jelas motif yang ditampilkan sebagai murni

altruistik.

Terdapat data luaran hasil kejiwaan yang sangat terbatas tentang donor

pascatransplantasi. Baru-baru ini ukuran sederhana, studi prospektif berdasarkan pada

Checklist gejala yang diberikan sebelum dan setelah donasi menunjukkan peningkatan

keseluruhan gejala psikologis dari waktu ke waktu, meskipun tidak secara umum

signifikansi secara klinis, dan sulit untuk bedakan dari fluktuasi yang ditemukan pada

populasi umum(Timmerman et al. 2013). Sebuah studi retrospektif oleh Rowley et al.

(2009) ditemukan donor ginjal itu dengan riwayat penyakit kejiwaan yang menjalani

evaluasi psikologis pra operasi dan ditebus untuk sumbangan ditoleransi prosedur dan

akibatnya tanpa kemerosotan psikologis. Untuk konsultasi psikiater ini sekali lagi

berfungsi untuk menyoroti pentingnya skrining klinis pra operasi dari calon donor.

Masalah kejiwaan pasca operasi tidak umum di antara pasien transplantasi

ginjal. Data dari Fukunishi et al. (2001) menunjukkan prevalensi puncak gangguan

kejiwaan di antara orang dewasa yang hidup terkait penerima transplantasi ginjal 28%,

terjadi 3 bulan setelah operasi dan selanjutnya menurun pada 1 dan 3 tahun. Delirium

adalah gangguan yang paling umum selama periode awal pasca operasi, diikuti oleh

gangguan depresif berat, gangguan depresi persisten, dan gangguan penyesuaian.

Gangguan psikotik singkat, gangguan gejala somatik, gangguan diinduksi zat, dan

gangguan stres pasca trauma adalah juga diwakili. Setidaknya ada satu dokumen kasus

delirium hiperaktif diikuti oleh katatonia setelah transplantasi hati dan ginjal (Kalivas

dan Bourgeois 2008).

17
Delirium pasca operasi pada pasien transplantasi ginjal dapat dipicu oleh

beragam faktor, termasuk narkotika, imunosupresan, dan glukokortikoid yang

diinduksi neurotoksisitas, infeksi, dan sisa uremia (Cohen et al. 2006). Pasien dengan

gangguan neurokognitif utama mengalami peningkatan risiko terjasi delirium. Seperti

di semua manajemen delirium, identifikasi dan koreksi precipitants adalah pendekatan

utama, dengan adjunctive penggunaan obat untuk manajemen simptomatik agitasi,

disorganisasi, disinhibited perilaku, halusinosis, dan delusi. Haloperidol, oral atau

parenteral, tetap menjadi obat lini pertama untuk delirium gelisah (Cohen et al. 2006).

Antipsikotik atipikal seperti risperidone bisa dicoba, meskipun hipotensi dan refleks

takikardia menjadi perhatian. Perlu dicatat bahwa semua antipsikotik yang biasa

digunakan pada delirium membawa risiko perpanjangan interval QT dengan kehadiran

aritmia.

Depresi adalah istilah jangka panjang yang paling umum masalah kejiwaan

yang berhubungan dengan resipien transplantasi ginjal, ditemukan pada anak-anak dan

remaja juga di antara orang dewasa (Ghanizadeh et al. 2009). Nowak dkk. (2010)

mengutip tingkat prevalensi 22% di pusat kelompok transplantasi rawat jalan. Itu harus

diakui oleh konsultan dan oleh tim transplantasi itu selain pembantu penderitaan

psikologis dan risiko bunuh bunuh diri, depresi mungkin memiliki efek mengganggu

kepatuhan pengobatan posttransplant dan kelangsungan hidup pasien. Ditemukan

korelasi yang signifikan antara skor pada Beck Depression Inventarisasi-II dan

kemungkinan penyimpangan dalam kepatuhan dengan obat imunosupresan di populasi

transplantasi ginjal, dengan depresi diperkirakan sebanyak 18% dari varians pada skor

18
kepatuhan. Data dari kohor Belanda menunjukkan bahwa depresi yang sudah ada

sebelumnya bertahan setelah transplantasi dan itu terkait dengan mortalitas

kardiovaskular dan semua sebab (Zelle et al. 2012). Dalam penelitian kohort prospektif

rawat jalan resipien transplantasi ginjal, Nowak et al. (2010) menemukan bahwa secara

prospektif diikuti Kohort penerima depresi, yang diukur dengan Pusat Studi

Epidemiologi— Skala depresi secara signifikan terkait dengan mortalitas 5 tahun dan

prediksi korupsi kerugian.

Etiologi dan faktor yang berkontribusi terhadap depresi pada resipien

transplantasi beragam, mulai dari farmakologis hingga psikodinamik. Depresi

posttransplantasi dapat diakibatkan oleh obat imunosupresan, termasuk steroid (Levy

1994) dan dengan penolakan graft (Iwashige et al. 1990). Tsunoda dan rekannya telah

mengidentifikasi isolasi sosial (hidup sendiri) sebagai prediktor demografis sangat kuat

dari depresi di antara pasien setelah transplantasi ginjal (Tsunoda et al. 2010),

sementara Zelle et al. (2012) juga telah mengidentifikasi asosiasi dari depresi

posttransplant dengan tingkat aktivitas fisik yang lebih rendah, ketidakmampuan untuk

bekerja, proteinuria, dan durasi dialisis lebih lama. Sindrom depresi paradoksal di

hadapan transplantasi yang sukses telah dijelaskan oleh Fukunishi et al. (2001) seperti

yang terjadi pada 5% penerima ginjal. Mereka merasakan rasa bersalah kepada donor.

Studi selanjutnya oleh Sugawara dkk. (2008) telah mengidentifikasi 25 kasus di antara

kohort 1.139 resipien transplantasi ginjal. Mereka tidak mengidentifikasi rasa bersalah

sebagai dinamika yang menonjol, tetapi lebih akibat daripada berkabung dari masa lalu

19
yang dibayangkan, yang tidak bisa disembuhkan menjadi penyakit kronis (Baines dan

Jindal 2002).

Pasien transplantasi juga rentan kecemasan yang disebabkan oleh obat - obatan

serta oleh ancaman penolakan dan kegagalan organ kronis. Ketidaknyamanan

psikologis dengan donasi ginjal bisa menjadi masalah berkelanjutan bagi pasien,

dengan "internalisasi" dari organ asing yang terjadi hanya secara bertahap (Levy 1994;

Muslin 1971). Konsultan psikiatri juga harus menyadari bahwa tacrolimus itu sendiri

dapat memicu kecemasan dan akathisia — dengan kejadian klinis terkait ke tingkat

plasma (DeMartini et al. 1996).

Dengan keprihatinan yang sama untuk pasien transplantasi periode pasca operasi

transisional. Mania, termasuk yang dapat diakibatkan oleh glukokortikoid bisa diterapi

dengan mood stabilisator, yang pertimbangkan dalam catatan manajemen terapi

gangguan ginjal. Gangguan psikotik yang diinduksi oleh steroid harus segera diobati

dengan obat antipsikotik.

Perlu dicatat bahwa perubahan farmakokinetik dalam pengaturan untuk

penanganan gagal ginjal terus mempengaruhi pemilihan dan dosis obat psikotropika

pada periode posttransplant. Konsultan juga harus sadar bahwa kebanyakan obat-

obatan psikotropika dosis pemeliharaan diberikan pada hari operasi. Karena sebagian

besar obat-obatan ini tidak tergantung pada metabolisme ginjal, mereka umumnya

harus direstart pasca operasi. Penghentian obat adalah dari perhatian khusus pada

pasien yang dipertahankan dengan benzodiazepin, dan institusi perioperatif dosis

equipoten dari lorazepam parenteral seharusnya dipertimbangkan.

20
Farmakoterapi setelah transplantasi ginjal rumit oleh adanya imunosupresan

dalam regimen pasien. Konsultan psikiatri harus sadar akan efek psikiatri

imunosupresan yang umum digunakan dalam transplantasi ginjal. Seperti yang

dijelaskan oleh DeMartiniet al. (2005), setiap agen imunosupresan adalah terkait

dengan efek samping yang umum dan mengganggu dan yang kurang umum tetapi lebih

mengkhawatirkan adalah gejala neurotoxic. Siklosporin umumnya menyebabkan sakit

kepala, gelisah dan tremor; sebagian kecil pasien dapat menderita delirium, gangguan

psikotik yang diinduksi obat, kebutaan kortikal, kejang, kehilangan kemampuan bicara,

dan koma. Neurotoksisitas siklosporin dapat memicu posterior reversible

encephalopathy syndrome (PRES), dapat menyebabkan demielinasi, mungkin lebih

mungkin terjadi pada dosis tinggi dan pemberian secara IV, dan mungkin diperkuat

oleh hipokolesterolemia, hipertensi, dan hipomagnesemia (DeMartini et al. 2005; Kim

et al. 2011). Tacrolimus umumnya menyebabkan tremor, gelisah, insomnia, mimpi

yang terasa nyata, hyperesthesias, dan sakit kepala. Juga bisa menyebabkan kecemasan

dan akatisia. Keadaan neurotoksik dapat bermanifestasi dalam agitasi, dysarthria,

delirium, kejang, hemiplegia, kebutaan kortikal, posterior reversible encephalopathy

syndrome (PRES), dan koma. Neurotoksisitas Tacrolimus dapat dimediasi oleh

demielinasi, dikaitkan dengan kadar plasma yang lebih tinggi dan dengan patologi yang

mengganggu blood brain barrier. (DeMartini et al. 2005; Kim et al. 2011). Sindrom

demielinasi atau PRES akan membutuhkan pencitraan, idealnya MRI, untuk diagnosis.

Neurotoksisitas Tacrolimus dapat muncul tertunda jika kadar dalam darah meningkat,

seperti yang terlihat pada laporan yang baru-baru ini dilaporkan kasus mania dan

21
psikosis yang disebabkan oleh obat yang terjadi 17 tahun setelah transplantasi ginjal

(Bersani et al. 2013).

Azathioprine dapat memicu depresi, meskipun laporan dikacaukan oleh

kehadirannya obat-obatan penyebab lainnya yang mungkin (DeMartini et al. 2005).

Mycophenolate mofetil mungkin juga terkait dengan toksisitas neuropsikiatrik,

termasuk kecemasan yang diinduksi oleh obat-obatan, gangguan psikotik dan depresi,

agitasi, delirium, somnolen, parestesia, hipertonia, dan kejang; di sini lagi,

bagaimanapun, pemberian kortikosteroid dan siklosporin dapat menimbulkan masalah

(DeMartini et al. 2005). Sindrom neuropsikiatrik yang diinduksi steroid akrab dengan

konsultasi psikiater.

Obat-obat inhibitor calcineurin seperti tacrolimus dan siklosporin

membutuhkan kadar terapeutikdalam darah untuk mencegah penolakan dan lebih

rentan menyebabkan neurotoksisitas ketika melebihi dosis therapeutic (DeMartini et

al. 2005). Untuk alasan ini, perlu perhatian khusus untuk interaksi farmakokinetik

imunosupresan dengan psikotropika, khususnya yang memblokir atau menginduksi

sitokrom Subsistem P450 IIIA4. Seperti yang dijelaskan oleh Manitpisitkul dan rekan

(2009), CYPIIIA4 inhibitor seperti nefazodone dan fluvoxamine dapat meningkatkan

kadar cyclosporine dan tacrolimus dan nefazodone telah terbukti meningkat kadar obat

ini dengan faktor 10. Data in vitro menunjukkan bahwa sertraline akan paling tidak

bertanggung jawab untuk inhibisi IIIA4 diantara antidepresan SSRI, meskipun ada data

penggabungan pada dampaknya kadar siklosporin. Fluoxetine, citalopram, dan

paroxetine tidak mengubah kadar cyclosporine dan SNRI venlafaxine juga memiliki

22
sedikit efek IIIA4. Nefazodone tentu harus dihindari. Informasi tentang SNRI

desvenlafaxine dan duloxetine masih kurang (Manitpisitkul et al. 2009). Karbamazepin

dapat menginduksi metabolisme hati dan mempercepat penurunan kadar siklosporin,

menghasilkan penolakan organ. Dalam hal ini, valproate mungkin pilihan yang kurang

bermasalah. Penggunaan Psikotropika herbal umum St John's Wort juga dapat

menginduksi CYP450 IIIA4 dan menurunkan baik kadar siklosporin dan tacrolimus

(Cohen et al. 2006). Obat imunosupresan mungkin mempengaruhi kadar psikotropika

darah; contoh dari ini akan menjadi potensi siklosporin tingkatkan quetiapine atau

tacrolimus untuk mengendap hipotensi dengan mirtazapine (Fraile et al. 2009).

Interaksi farmakodinamik psikotropika dengan imunosupresan mungkin juga

terjadi. Contoh dari ini adalah sindrom serotonin dipresipitasi oleh sinergisme antara

siklosporin dan sertraline (Wong et al. 2002). Contoh lainnya akan menjadi potensi

nefrotoksisitas lithium oleh inhibitor kalsineurin, digabungkan efek antipsikotik, dan

inhibitor kalsineurin pada QTc dan mycophenolate-clozaril agranlocytosis

(Manitpisitkul et al. 2009).

Akhirnya, konsultan harus menyadari hal itu ada kasus overdosis yang

disengaja imunosupresan oleh pasien bunuh diri, bersama dengan kasus konsumsi

racun yang tidak disengaja. Overdosis akut tacrolimus telah luar biasa ditoleransi

dengan baik (Curran et al. 1996; Mrvos et al. 1997; Sein dkk. 2005), meskipun

setidaknya ada satu laporan tentang toksisitas yang tidak disengaja yang mengarah

pada penyiksaan diri dan perilaku agresif (Hardoy et al. 2012). Overdosis siklosporin

lebih merugikan, dengan neurotoksisitas efek akut yang paling menonjol (Zylber-Katz

23
et al. 1994; Sketris et al. 1993; Nghiem 2002) dan dengan satu rekaman kematian

karena edema intracerebral karena overdosis intravena secara tidak disengaja (De

Perrot et al. 2000). Pada toksisitas akut tacrolimus CYP450 IIIA4-inducers seperti

phenytoin telah digunakan untuk menurunkan kadar dengan lebih cepat (Jantz et al.

2013).

Sebagian besar literatur berfokus pada depresi


penyakit dalam transplantasi ginjal. Sekitar 25%
pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir menderita depresi
gangguan, tingkat empat kali lipat dari populasi umum
(24). Pasien yang telah menjalani dialisis untuk waktu yang lama
periode waktu cenderung memiliki masalah psikologis yang berbeda
bagi mereka yang dekompensasi ginjalnya baru-baru ini berasal.
Penelitian kecil, satu pusat telah menyoroti tinggi
prevalensi gangguan depresi setelah transplantasi ginjal
meskipun fungsi graft berhasil, dengan tarif mencapai satu
lima untuk gangguan depresi mayor setelah transplantasi
(25, 26). Dalam studi prospektif terbesar hingga saat ini, Novak dkk.
(26) menemukan hubungan independen antara baseline
depresi (didefinisikan sebagai Pusat Studi EpidemiologiDepresi
Skala Q18) dan mortalitas 5 tahun dalam transplantasi ginjal
penerima (HR = 1,66; P = 0,01). Untuk setiap satu poin
peningkatan Pusat Studi Epidemiologi-Depresi
Skala, ada peningkatan 2% terkait risiko kematian
setelah transplantasi. Implementasi tindakan penyaringan yang lebih baik
dan strategi manajemen awal untuk gejala depresi
dapat menghindari risiko kematian tambahan ini tetapi membutuhkan
studi observasional prospektif

24
25

Anda mungkin juga menyukai