Anda di halaman 1dari 18

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

DI PROVINSI SUMATERA SELATAN


E. Eko Ananto dan Effendi Pasandaran

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Gambut didefinisikan sebagai tanah yang jenuh air dan tersusun dari bahan tanah organik
berupa sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50
cm (Noor dan Heyde 2007). Gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dicirikan
oleh adanya akumulasi bahan organik dalam kurun waktu yang lama. Akumulasi ini terjadi
karena lambatnya dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik.
Alih penggunaan lahan gambut menjadi lahan pertanian, perkebunan dan hutan
produksi dapat mengancam kelangsungan hidup hutan rawa gambut alami. Kerusakan
hutan rawa gambut juga dapat diakibatkan oleh sistem drainase yang dibangun secara
kurang terkendali, sehingga mengakibatkan subsidens dan keringnya lahan gambut yang
bersifat tidak dapat kembali seperti kondisi semula (irreversible). Tekanan terhadap lahan
gambut dikhawatirkan sedang berlangsung di Provinsi Sumatera Selatan dengan tingkat
kerusakan yang semakin tinggi.
Sebagian wilayah Provinsi Sumatera Selatan seluas 87.017 km2 merupakan lahan
rawa yang tersebar di daerah bagian timur, mulai dari kabupaten Musirawas, Muba, OKI,
Muaraenim, dan Banyuasin. Menurut Direktorat Jendral Pengairan (1998), lahan rawa
yang berpotensi untuk pertanian di Provinsi Sumatera Selatan adalah 1.602.490 ha, terdiri
atas lahan rawa pasang surut 961.000 ha dan rawa non pasang surut atau lebak 641.490
ha. Sebagian besar lahan rawa tersebut atau sekitar 1,42 juta ha merupakan lahan rawa
gambut (Zulfikar, 2006). Saat ini, hutan rawa gambut merupakan salah satu tipe lahan
basah yang paling terancam dengan tekanan dari berbagai aktivitas manusia di Indonesia
(Lubis, 2006).
Dengan kondisi bahwa sebagian besar lahan rawa adalah lahan gambut, maka
kebijakan pengelolaan lahan rawa di Provinsi Sumatera Selatan didasarkan atas konsep
pembangunan sumber daya alam yang berkelanjutan. Sesuai dengan kaidah konservasi,
maka sumber daya alam dapat dikelola dengan mengombinasikan upaya perlindungan,
pemanfaatan dan pelestariannya secara terpadu. Dalam konteks ini, lahan rawa selain
dipandang sebagai ekosistem yang perlu dilindungi, juga dapat dilihat sebagai potensi
yang bisa dikembangkan dan dimanfaatkan dengan tetap memerhatikan prinsip-prinsip
kelestariannya. Pengelolaan lahan rawa di Provinsi Sumatera Selatan juga ditujukan untuk
mendukung upaya pencapaian pembangunan, yaitu peningkatan produksi pangan padi
yang memberikan kontribusi pada pemenuhan kebutuhan pangan nasional (Munandar
dan Yunardi, 2006).
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Untuk mendukung peningkatan produksi pangan, dari luas lahan rawa pasang surut
yang berpotensi pertanian seluas 961.000 ha, 359.250 ha sudah direklamasi dan sisanya
601.750 ha belum direklamasi. Lahan yang sudah direklamasi tersebut, sebagian besar
diperuntukkan sebagai daerah transmigrasi yang pemanfaatannya untuk tanaman pangan
142.100 ha, kebun 36.899 ha dan sisanya 97.515 ha untuk fasilitas umum (Direktorat
Jendral Pengairan 1998). Oleh karena itu, pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian
dianggap memiliki prospek yang baik.
Hasil pengembangan usaha pertanian yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian
di 11 lokasi lahan rawa pasang surut di Sumatera Selatan yang mencakup areal seluas
30.800 ha menunjukkan bahwa perbaikan jaringan tata air sangat penting dan mutlak
mendapatkan perhatian dalam upaya peningkatan produktivitas lahan pasang surut.
Penataan jaringan tata air di lahan rawa khususnya di lahan rawa pasang surut yang semata-
mata hanya untuk tujuan drainase hanya akan menyebabkan muka airtanah turun dan
menimbulkan overdrain. Kondisi ini sangat berbahaya bagi lahan rawa gambut dan lahan
rawa yang mempunyai lapisan pirit dangkal. Oleh karena itu, konsep tata air harus diubah
menjadi irigasi-drainase yang disesuaikan dengan kebutuhan pertanian. Karena dengan
penataan jaringan tata air yang benar, pencucian senyawa-senyawa beracun yang terjadi
akibat oksidasi pirit dapat berjalan dengan lancar, sehingga produktivitas lahan meningkat
(Ananto et al., 2000). Oksidasi pirit pada umumnya terjadi pada musim kemarau, yang
ditandai dengan turunnya muka air tanah secara drastis melebihi kedalaman lapisan pirit,
dan akibatnya baru terlihat pada pertanaman musim penghujan berikutnya.
Bagi lahan rawa gambut, drainase akan menyebabkan pengeringan/oksidasi gambut
atau dekomposisi aerobik yang menghasilkan emisi gas CO2. Lahan gambut yang sudah
terdegradasi kering mempunyai risiko mudah terbakar dan juga menghasilkan emisi gas
CO2. Saat ini degradasi lahan gambut yang paling cepat terjadi di Asia Tenggara yang
memiliki lahan gambut sekitar 27,1 juta ha dan sebagian besar (83 persennya atau 22,5
juta ha) terdapat di Indonesia. Degradasi terjadi karena mengalami deforestasi, dikeringkan
dan dibakar untuk pembangunan kebun kelapa sawit, hutan tanaman industri, pertanian
dan penebangan liar (Gambar 1). Selain berupa emisi CO2, kegiatan tersebut juga menjadi
ancaman bagi keanekaragaman hayati yang masih tersisa karena lahan gambut merupakan
habitat penting bagi berbagai jenis fauna yang terancam kepunahan (Hooijer et al.,
2006). Lebih jauh lagi, kebakaran gambut telah menimbulkan masalah kabut asap yang
mengancam kesehatan kesehatan dan mengganggu lalu lintas penerbangan.

195
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Gambar 1. Kebakaran Lahan Gambut dan Pohon Kelapa yang Miring/Roboh karena
Subsiden Gambut
Hasil studi PEAT-CO2 oleh Delft Hydraulics (Hooijer et al., 2006) memaparkan
bahwa emisi saat ini untuk Indonesia saja sebesar 516 Mton/tahun, angka ini sama dengan
82 persen dari emisi lahan gambut Asia Tenggara tanpa menyertakan emisi dari kebakaran,
atau 58 persen dari emisi lahan gambut global (tanpa menyertakan emisi kebakaran),
atau hampir dua kali lipat emisi yang ditimbulkan dari pembakaran bahan bakar fosil di
Indonesia. Apabila emisi dari kebakaran hutan lahan gambut disertakan (yang sebenarnya
juga disebabkan oleh deforestasi dan drainase), maka angka emisi CO2 akan meningkat
secara signifikan. Selama tahun 1997-2006 emisi CO2 dari kebakaran hutan di Indonesia
meningkat beberapa kali lipat karena terjadinya dekomposisi di lahan gambut yang
dikeringkan/didrainase: sebesar 1.400 Mton/tahun sampai dengan 4.300 Mton/tahun.
Jika angka yang lebih rendah dari kebakaran tersebut ditambahkan pada angka yang paling
mungkin dari emisi yang berasal dari dekomposisi gambut di atas, maka angka total emisi
CO2 sebesar 2.000 Mton/tahun akan dihasilkan dengan 90 persen diantaranya berasal dari
Indonesia.
Angka emisi kebakaran di atas menunjukkan bahwa emisi kebakaran gambut lebih
besar dari emisi pengeringan gambut yang lebih lambat. Untuk mengatasi masalah
kebakaran gambut ini tidak cukup hanya dengan memadamkannya karena: (i) kebakaran
gambut diawali biasanya oleh kegiatan deforestasi dan degradasi hutan serta pengeringan
gambut yang disebabkan drainase lahan gambut, dan (ii) jika dengan hanya menghentikan
kebakaran tetapi tidak menghentikan drainase, maka semata-mata hanya akan mengulur-
ulur waktu pelepasan emisi karbon ke atmosfer.

196
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Ekologi Lahan Gambut


Beberapa hal yang berhubungan dengan karakteristik dan peran ekologis hutan rawa
gambut yang perlu dipertimbangkan sebelum menentukan strategis pengelolaan hutan
rawa gambut adalah (Zulfikar, 2006):
1. Hutan rawa gambut merupakan formasi hutan hujan tropika basah yang mempunyai
tingkat kelembaban sangat tinggi, merupakan ekosistem yang sangat rentan terhadap
gangguan luar dan susah terpulihkan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang
tinggi. Sistem silvikultur dengan mengandalkan suksesi hutan alam lebih menunjukkan
keberhasilan.
2. Lahan gambut yang kering mempunyai sifat kering tak balik dan sangat mudah
terbakar, kebakaran gambut di bawah permukaan akan sangat sulit dipadamkan dan
dapat merusak struktur gambut, menurunkan tingkat permeabilitas pada lapisan
permukaan dan dapat menyebabkan lahan gambut menjadi memadat dan menurunkan
tinggi permukaan lahan kubah gambut.
3. Gambut mempunyai peran sangat besar dalam menyimpan karbon; pengeringan dan
kebakaran akan melepaskan ikatan karbon ke udara.
4. Ada dua bentukan sistem lahan lahan rawa, yaitu: alluvial marine dengan tekstur
tanah mineral dengan lapisan gambut yang tipis, dan rawa belakang yang membentuk
kubah gambut dengan kedalaman gambut lebih tebal.
5. Kanalisasi dapat menimbulkan risiko kekeringan kalau tidak diimbangi dengan
pengendalian tata air yang baik dan benar.
6. Rehabilitasi pada kawasan hutan rawa gambut sudah terlanjur rusak parah sangat
sulit dan mahal, sehingga dananya tidak mungkin disediakan hanya dari anggaran
pemerintah atau partisipasi/swadaya masyarakat.

Sebaran Lahan Gambut


Hasil inventarisasi dan pemetaan Peta Satuan Lahan dan Tanah Provinsi Sumatera
Selatan skala 1:250.000 tahun 1990 dilaksanakan oleh Puslit Tanah dan Agroklimat
yang telah diperdetail melalui Survei Inventarisasi Lahan Gambut bekerjasama dengan
Wetland International tahun 2002 (Tabel 1). Lahan gambut di Provinsi Sumatera Selatan
mempunyai ketebalan mulai dari Sangat Dangkal (<50 cm) sampai Dalam (200-400 cm),
dan tidak terdapat ketebalan gambut Sangat Dalam lebih dari 400 cm.
Kawasan hutan produksi yang didominasi dengan lahan rawa gambut adalah
Kelompok Hutan Produksi (HP) Simpang Heran Beyeku, HP Mesusi dan HP Pedamaran
di Kabupaten OKI dengan luas kira-kira 617.350 ha, dan Kelompok Hutan Produksi S.
Lalan dan Mangsang-Mendis di Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Banyuasin
dengan luas ± 331.304 ha.

197
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Pada mulanya, kawasan HP Simpang Heran Beyeku, HP Mesuji dan HPT Pedamaran
merupakan formasi hutan rawa gambut dengan jenis dominan; Meranti, Jelutung,
Terenteng, Pulai, Ramin, Kempas dan lain-lain. Pengelolaannya dilaksanakan dengan
penebangan hutan menurut sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) oleh HPH.
Kebakaran hutan yang sangat luas dan berkepanjangan terjadi pada tahun 1993 dan 1997
dan secara periodik tahunan terjadi kebakaran hutan pada lahan gambut. Berdasarkan
penafsiran data Citra Landsat dan Citra SPOT tahun 2002–2005, kawasan hutan produksi
ini telah menjadi rawa semak belukar dengan luas sekitar 567.970 ha (92 persen) dan
menyisakan formasi hutan alam dengan jenis-jenis alami yang sporadis seluas kira-kira
49.380 ha (8,0 persen).
Tabel 1. Sebaran dan Luas Lahan Gambut di Provinsi Sumatera Selatan pada Tahun
1990 dan 2002
Kedalaman/ ketebalan Total Luas (ha)
No Tambahan luas (ha)
(cm) Tahun 1990 Tahun 2002
1 Sangat Dangkal <50 159.036 159.036
2 Dangkal (50-100) 66.200 304.330 238.130
3 Sedang (100-200) 1.308.832 934.045 -374.787
4 Dalam (200-400) 45.009 22.631 -22.378
Jumlah 1.420.042 1.420.042
Sumber:
1. Peta Satuan lahan dan Tanah skala 1:250.000, Pusat penelitian dan Agroklimat, Bogor, 1990
2. Wetland International dengan sumber dana dari Pemerintah Kanada melalui Canadian International
Development (CIDA)
3. Diaposit STAR I SAR Skala 1:250.000, 1989
4. Landsat MSS, 1990.
5. Landsat ETM, 2002.

Kondisi hutan rawa gambut di kelompok Hutan Produksi S. Lahan relatif masih lebih
baik, dari luas kawasan hutan 260.730 ha, seluas 163.940 ha terkonsentrasi di Sungai
Merang, Sungai Kepahiyang yang secara ekologis masih merupakan hutan alam bekas areal
penebangan HPH. Seluas 96.790 ha lainnya telah berubah menjadi semak-belukar dengan
dominasi jenis gelam dan rumput rawa. Sedangkan kelompok HP Mangsang Mendis
seluas 70.570 ha telah berubah menjadi rawa rumput dan semak-belukar.
Dari hasil analisis citra satelit dan data pendukung lainnya yang dilaporkan oleh
Tim Inventarisasi Lahan Gambut tersebut, terlihat adanya peningkatan luas lahan rawa
gambut dengan ketebalan/kedalaman Sangat Dangkal (<50 cm), dari tidak ada (tahun
1990) menjadi seluas 159.036 ha (tahun 2002). Hal ini diterjemahkan sebagai telah terjadi
penyusutan lahan gambut dalam kurun waktu 12 tahun seluas 159.036 ha.

198
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Bentukan lahan gambut Sangat Dangkal (<50 cm) tersebut terkonsentrasi pada daerah
yang telah dibuka untuk lahan pertanian, yaitu di daerah delta Telang, Upang, Sugihan
Kiri, Sugihan Kanan, Karang Agung dan Muara Lakitan. Seluruh areal ini merupakan lahan
pertanian dan pemukiman transmigrasi yang telah digarap secara intensif, diantaranya
merupakan sentra produksi padi.
Tabel 2. Rata-rata Hasil Padi di Setiap Tipologi Lahan dan Tipe Luapan di Lahan Pasang
Surut Sumatera Selatan
Tipologi lahan/ MH 1997/98 MK 1998 MH 1998/99 MK 1999 MH 1999/00
Tipe luapan (t/ha) (t/ha) (t/ha) (t/ha) (t/ha)
Tipologi lahan
2)
1. Potensial 3,54 3,15 4,09 1,33 4,52
2. Sulfat masam 3,02 - 3,22 - 3,57
3. Bergambut 2,92 - - - -
Tipe luapan
1) 2)
1. Luapan A 4,99 - 2,86 1,33 4,12
2. Luapan B 4,46 3,20 4,71 - 3,98
3. Luapan C 2,96 3,10 3,72 - 4,02
4. Luapan D 2,64 - - - -
2)
Rata-2 petani binaan 3,43 3,15 3,84 1,33 3,96
Rata-2 petani non-binaan 2,65 2,40 2,66 bera 2,81
1)
Terjadi serangan tikus sampai 50%
2)
Terjadi serangan tikus sampai 90%
Sumber: Ananto et al. 2000.

Dari sebaran lahan gambut Provinsi Sumatera Selatan tahun 2002 terlihat bahwa
lahan gambut di Kabupaten OKI dengan ketebalan sedang (100 – 200 cm) tercatat seluas
547.112 ha dan tersebar di daerah Pedamaran dan Tulung Selapan (40 persen), sebagian
besar telah dikembangkan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pemukiman di daerah
Mesuji sekitar desa Gajah Mati (15 persen) dan yang di dalam kawasan HP Simpang Heran
Beyuku (45 persen) telah dikonversi dengan pembangunan Hutan Tanaman Industri
(HTI). Sedangkan lahan gambut dengan ketebalan sedang (100–200 cm) di Kabupaten
Muba dan Banyuasin terkonsentrasi di daerah sisi sebelah utara Sungai Lalan, mulai dari
Karang Agung Timur hingga Bayung Lincir dan menyebar ke Utara –Timur hingga
berbatasan dengan hutan mangrove di Taman Nasional Sembilang (Zulfikar, 2006).
Sebaran lahan gambut dengan kedalaman/ketebalan 200 – 400 cm hanya ditemukan
di daerah sisi barat dan timur dari muara Sungai Lematang – Sungai Musi di Kabupaten
Muara Enim dan sebagian kecil di Gelumbang yang masuk kabupaten OKI, yang
diperkirakan sangat berperan sebagai areal retensi ketika terjadi luapan sungai Musi dari
Sungai Lematang. Pada umumnya, areal tersebut masih ditutupi dengan vegetasi hutan
gelam dan semak-belukar dan seluruh areal tersebut sedang dalam proses konversi menjadi
perkebunan sawit.

199
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Pengelolaan Lahan Gambut


Selama dekade terakhir ini banyak areal lahan gambut yang telah dibuka untuk
berbagai keperluan, seperti pertanian dan perkebunan. Dalam skala yang lebih kecil,
kegiatan pertanian dilaksanakan melalui program transmigrasi. Sementara dalam skala
yang lebih besar, pembukaan lahan gambut ditujukan untuk mengambil tegakan kayu
di atasnya serta untuk pengembangan perkebunan terutama kelapa sawit. Tidak sedikit
kegiatan pembukaan lahan gambut tersebut dilatar belakangi oleh kepentingan ekonomi
jangka pendek dengan mengalahkan kepentingan lingkungan jangka panjang (Noor dan
Heyde, 2007).
Dengan kondisi hutan rawa gambut, karakteristik ekologis hutan rawa gambut di
Provinsi Sumatera Selatan, maka diperlukan kebijakan strategis pengelolaan hutan rawa
gambut dengan:
1. Membertahankan formasi hutan rawa gambut yang masih ada melalui restorasi
ekosistem hutan rawa gambut dengan sistem silvikultur hutan alam, kemudian
melakukan upaya permudaan dan pohon inti, tanaman pengayaan dan rehabilitasi,
serta pengamanan dari kerusakan lebih lanjut (illegal logging dan kebakaran).
Kebijakan ini diterapkan di kawasan hutan produksi yang secara ekologis masih dapat
dipertahankan sebagai hutan alam, seperti di Kawasan Hutan Produksi Sungai Lalan,
kelompok hutan Sungai Merang dan Sungai Kepahiyang dengan pertimbangan
(Zulfikar, 2006):
a. Secara ekologis kondisi hutan rawa gambut masih dapat dipulihkan melalui
suksesi alam.
b. Restorasi ekosistem dengan penerapan sistem silvikultur hutan alam untuk
mampu mempertahankan struktur lahan gambut, keanekaragaman hayati dan
menurunkan risiko kebakaran hutan.
c. Mempertahankan enklave perwakilan formasi hutan alam dalam penataan hutan
ke dalam zona konservasi untuk kepentingan sumber daya genetik.
d. Menyelamatkan peran gambut yang sangat besar sebagai penyimpan karbon di
dalam tanah.
e. Mengembangkan kawasan hutan Sungai Merang, Sungai Kepahiyang sebagai
zona cadangan sumber daya hutan alam rawa gambut dan ekosistemnya untuk
kepentingan jangka panjang.
2. Merehabilitasi hutan rawa gambut dengan sistem silvikultur hutan tanaman, dengan
percepatan suksesi hutan melalui investasi pembangunan HTI skala besar. Kebijakan
ini diterapkan di kawasan hutan produksi yang telah berubah menjadi semak belukar
rawa gambut, seperti di Kawasan Hutan Produksi Simpang Heran Beyuku dan Mesuji
di Kabupaten Ogan Komering Ilir, dengan pertimbangan (Zulfikar, 2006):

200
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

a. Kondisi ekologis lahan hutan gambut yang masih ada hanya akan dapat dipulihkan
segera dengan penanaman jenis pionir, daya tumbuh yang cepat, memiliki nilai
ekonomis dan “tidak mungkin lagi” struktur vegetasi hutan dikembalikan melalui
suksesi alami.
b. Pembangunan hutan tanaman akan mampu meningkatkan kelembaban iklim
mikro, yang secara bertahap akan merangsang tumbuhnya berbagai spesies toleran
setempat sehingga akan meningkatkan keanekaragaman hayati dan menurunkan
risiko kebakaran hutan.
c. Mempertahankan enklave-enklave formasi hutan alami yang ada, kedalam zona
konservasi untuk kepentingan sumber daya genetik.
d. Menyelamatkan peran gambut sebagai penyimpan karbon di dalam tanah.
e. Meningkatkan aksesibilitas dan intensitas pengelolaan, pengendalian dan
pengawasan dengan pembuatan kanal terbatas untuk pengelolaan tata air yang
baik.
f. Memberikan hak pengelolaan hutan untuk mendapatkan kepastian tanggung
jawab perlindungan hutan dalam mengatasi masalah tidak tersedianya dana
pemerintah/masyarakat untuk rehabilitasi hutan, serta memberikan manfaat
ekonomis, sosial dan ekologis, meskipun juga ada risiko bertambahnya emisi gas
CO2.
g. Mengembangkan wilayah pantai timur sebagai zona lumbung kayu dan kawasan
industri pulp/kertas.
3. Mempertahankan lahan rawa gambut dan rawa lebak dengan melakukan upaya
pengamanan dari perusakan struktur kubah gambut, perusakan sistem hidrologi lahan
basah, perambahan kawasan hutan dan kebakaran. Kebijakan ini diterapkan terhadap
kawasan yang secara ekologis masih dapat dipertahankan sebagai ekosistem hutan
rawa gambut dan rawa lebak, dengan pertimbangan:
a. Lahan gambut dalam dan rawa lebak merupakan bagian dari sistem hidrologi
alami yang mempunyai fungsi dalam pengaturan pola aliran sungai dan hidrologi
lahan basah dan berfungsi sebagai retensi pengendali banjir kawasan pertanian
dan di wilayah hilirnya.
b. Lahan gambut dan rawa lebak mempunyai peran yang sangat besar sebagai
penyimpan karbon di dalam tanah.
c. Mempertahankan enklave-enklave ekosistem lahan gambut dan lebak sebagai
zona konservasi untuk kepentingan sumber daya genetik.

201
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Pengelolaan Hutan Rawa Gambut Merang Kepahiyang


Kondisi Lahan Gambut Merang Kepahiyang (HRGMK)
Hutan rawa gambut Merang Kepahiyang merupakan bagian dari suatu sistem hutan
rawa gambut yang lebih luas yang terbentang dari Taman Nasional Berbak di Jambi ke
kawasan Taman Nasional Sembilang di Sumatera Selatan. Karena letaknya yang berada di
sekitar sungai Merang dan Sungai Kepahiyang, sistem hutan rawa gambut ini selanjutnya
disebut sebagai Hutan Rawa Gambut Merang Kepahiyang (HRGMK), yang terletak
diantara 01° 45’ - 02° 03’ LS dan 103° 51’ - 104° LU. HRGMK adalah bagian dari Hutan
Produksi Lalan yang secara administratif kawasan ini termasuk dalam wilayah Desa Muara
Merang dan Muara Medak, Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin,
Provinsi Sumatera Selatan.
Dari kajian penyebaran gambut yang dilakukan Wetlands International Indonesia
Programme (WI-IP) bersama South Sumatera Forest Fire Management Project – European
Union (SSFFMP-EU) di kawasan HRGMK dapat diketahui bahwa dari keseluruhan luas
271.000 ha wilayahnya, sekitar 210.000 ha diantaranya adalah lahan gambut dengan
ketebalan antara kurang dari 1 m hingga 7 m, dengan dua kubah gambut, yaitu diantara
sungai Merang dan Kepahiyang dan diantara sungai Kepahiyang dan hulu-hulu sungai
yang bermuara ke Taman Nasional Sembilang (Fitri, 2009). Oleh karena itu, daerah ini
patut dipertimbangkan sebagai salah satu hutan rawa gambut alami penting yang tersisa di
Provinsi Sumatera Selatan. Hutan rawa gambut ini merupakan habitat dan koridor satwa
liar antara Taman Nasional Berbak di Jambi dan Taman Nasional Sembilang di Sumatera
Selatan. Areal tersebut merupakan areal yang memiliki fungsi penting sebagai penyeimbang
fungsi tata air dan merupakan penyangga satu kesatuan ekosistem Hutan Rawa Gambut
yang berada diantara Taman Nasional Berbak dan Taman Nasional Sembilang. S e l a i n
itu, areal tersebut juga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat penting, diantaranya
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang tercatat sebagai jenis yang sangat kritis
terancam punah menurut katerogri IUCN (Critically Endangered, CE 1 +2a), Tapir Asia
(Tapirus in dicus, vulnerable A2c+3c+4c), Beruang Madu (Helarctos malayanus, vulnerable
A2cd+3cd+4cd), Mentok Rimba (Cairina scutulata, EN A2cd+3cd), Bangau Storm
(Ciconia stormi, EN A2c+3c), serta jenis tumbuhan hampir punah dan dilindungi seperti
Ramin (Gonystylus bancanus), Mengris/Kempas (Kompassia malaccensis), Dara-dara (Knema
spp.), Suntai (palaquium leiocarpum) serta Balam (Palaquium burckii) dan spesies lainya.
Pada saat ini, HRGMK sedang mengalami degradasi dan gangguan yang serius, karena
berbagai aktivitas manusia yang tidak memerhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan
pemanfaatannya, seperti: pengambilan kayu oleh pemilik HPH yang tidak melakukan
rehabilitasi (sejak awal tahun 80-an sampai 2001), menjamurnya penebangan liar (pasca
konsesi HPH sampai sekarang), konversi lahan menjadi perkebunan dan HTI yang
mengabaikan aspek ekologis kawasan (beberapa perusahaan telah mengantongi izin untuk

202
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

konversi kawasan), dan pembukaan serta penguasaan kanal/parit liar untuk mengeluarkan
kayu. Bila berbagai gangguan ini terus berlangsung akan menyebabkan hilangnya fungsi
ekologis bahkan nilai ekonomis kawasan, termasuk risiko bahaya kebakaran.

Parit Liar
Salah satu aktivitas yang paling berpotensi meningkatkan laju degradasi hutan rawa
gambut di Indonesia adalah kegiatan pembuatan kanal/parit (kanalisasi), baik yang
dibangun secara legal maupun ilegal di dalam maupun di sekitar hutan lahan gambut.
Sistem pembuatan kanal menyebabkan terganggunya sistem hidrologi kawasan hutan dan
lahan gambut, karena kanal-kanal yang dibangun menyebabkan air yang ada di lahan
gambut secara cepat keluar dan daya dukung air tanah menjadi kecil serta muka air di lahan
gambut mengalami penurunan yang sangat drastis. Kondisi ini menyebabkan hutan dan
lahan gambut pada musim kemarau menjadi kering serta sangat rentan terhadap bahaya
kebakaran. Kajian multidisiplin yang dilakukan oleh WI-IP di lokasi Hutan Rawa Gambut
Merang Kepahiyang menyebutkan bahwa terdapat sekitar 113 kanal di Sungai Merang saja,
belum termasuk anak-anak sungai dan sungai-sungai yang berada di sekitarnya. Kanal-
kanal ini pada umumnya dibuat oleh para penebang liar untuk membantu transportasi/
pengeluaran kayu dari hutan rawa gambut.
Kanalisasi dilakukan dengan penyekatan secara sederhana di parit-parit tersebut untuk
mengendalikan air sesuai dengan keperluannya saja, bukan untuk mencegah kerusakan
gambut dari kekeringan dan kebakaran, tetapi hanya untuk memudahkan pengeluaran
kayu dari hutan rawa gambut ke sungai utama. Konstruksi sekat sangat sederhana, tersusun
atas bahan-bahan yang tersedia di sekitar parit. Selain memengaruhi drainase, ketika kanal/
parit-parit ini dibangun banyak materi galian parit (seperti lumpur tanah mineral, serasah
tanaman yang masih segar, maupun gambut) yang terbuang ke sungai. Unsur hara yang
seharusnya disimpan dalam tanah gambut juga ikut terlarut terbawa aliran air. Kondisi
demikian menyebabkan terjadinya perubahan terhadap lebar dan kedalaman sungai
maupun kualitas air sungai.
Ancaman kebakaran sangat besar, kerugian yang disebabkan oleh kebakaran
gambut antara lain hilangnya sumber plasma nutfah termasuk hasil hutan dan segala
keanekaragaman hayati di dalamnya serta hilang atau berkurangnya fungsi gambut sebagai
penyimpan air dan karbon. Kebakaran juga dapat mengancam keberadaan manusia
disekitarnya termasuk fasilitas-fasilitas umum seperti fasilitas sumur dan jaringan pipa gas
yang dikelola oleh PT Conoco Phillips yang sangat rentan apabila terjadi kebakaran hutan
dan lahan disekitarnya. Upaya mengatasi kebakaran hutan dan lahan gambut sangat sulit
dilakukan. Usaha yang efektif adalah dengan melakukan pencegahan timbulnya kebakaran
dengan cara menjaga agar hutan rawa gambut tetap basah sehingga tidak mudah terbakar,
serta dengan menutup parit-parit yang ada.

203
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Peran Masyarakat
Dari berbagai pengalaman dalam membangun kawasan dan hasil penilaian (assesment)
terhadap kondisi lokal di dalam dan sekitar HRGMK, masyarakat lokal merupakan bagian
dari stakeholders yang sangat penting untuk dilibatkan secara langsung dalam membangun
kawasan. Masyarakat lokal memiliki akses langsung terhadap kawasan sangat tergantung
pada potensi sumber daya alam yang dimiliki kawasan (kayu dan non kayu), memiliki aturan
dan kebijakan lokal yang dapat dikembangkan dalam melindungi kawasan, memiliki nilai
sejarah, kebanggaan serta rasa memiliki (sense of belonging) yang tinggi terhadap kawasan.
Selama ini, masyarakat merasa bahwa mereka tidak terlibat dalam pengelolaan dan
pemanfaatan kawasan secara langsung. Hal ini memicu masyarakat setempat (Desa
Muara Merang dan Desa Medak), serta desa-desa di sekitar HRGMK untuk melakukan
kegiatan penebangan liar di kawasan tersebut. Sebelum tahun 2000 daerah ini dikelola
oleh perusahaan HPH yang setiap kali mengambil puluhan ribu kubik kayu dari HRGMK
tanpa hasil yang dapat dinikmati masyarakat. Banyaknya perusahaan swasta yang beroperasi
di sekitar desa Muara Merang, sampai saat ini juga belum dirasakan manfaatnya oleh
sebagian besar penduduk. Menurut masyarakat desa, hanya orang-orang tertentu saja yang
merasakan manfaat dari keberadaan perusahaan-perusahaan ini. Salah satu perkebunan
kelapa sawit yang berbatasan dengan kawasan tersebut sering disibukkan oleh konflik
dengan masyarakat. Keberadaan PT Conoco Phillips selama ini, menurut masyarakat
belum memberikan kontribusi yang jelas untuk kesejahteraan masyarakat setempat, padahal
pemberdayaan masyarakat sekitar lokasi kegiatan dapat mengurangi potensi konflik.
Ketidaksiapan masyarakat dalam menyikapi perubahaan dan hal-hal yang baru di
dalam membangun kehidupannya, ditunjang oleh tidak adanya kelembagaan yang kuat di
tingkat masyarakat, dan terbatasnya modal, juga menjadi pembatas keterlibatan masyarakat
untuk meningkatkan taraf hidupnya. Rendahnya pengetahuan teknis tentang teknologi
baru yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dalam memanfaatkan sumber daya alam
juga menjadi kendala yang patut diperhatikan.
Dalam mendukung usaha membangun kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan
HRGMK, banyak pihak telah melakukan berbagai kegiatan di dan sekitar kawasan,
seperti: pemberantasan segala bentuk penebangan liar (illegal logging), pembuatan rencana
pengelolaan HRGMK sebagai kawasan perlindungan khusus, melakukan penutupan parit
(kanal) yang ada di dalam kawasan sebagai usaha melindungi kawasan dari kekeringan
dan usaha pencegahan (preventive) kebakaran hutan/lahan pada musim kering. Selain itu,
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat telah dilakukan pula usaha pemberdayaan
masyarakat (community development) di desa-desa sekitarnya. Terwujudnya peranserta
berbagai pihak dalam pengelolaan kawasan tersebut akan memberikan jaminan kelestarian
kawasan.
Sementara itu, status kawasan HRGMK yang sebagian adalah hutan poduksi
sebenarnya tidak tepat dengan ditemukannya kawasan gambut dengan kedalaman lebih

204
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

dari 3 meter. Sesuai dengan Keppres No. 30/1990, kawasan gambut lebih dari 3 meter
wajib digolongkan sebagai kawasan lindung. Untuk itu, dengan Surat Rekomendasi Bupati
Musi Banyuasin No. 522/2235/Kehut/2008 tanggal 21 Oktober 2008, areal HRGMK
telah ditetapkan seluas 24.092 ha dan direkomendasikan sebagai lokasi kegiatan Merang
REDD Pilot Project (MRPP).

Kegiatan di Hutan Rawa Gambut MRPP


Degradasi Rawa Gambut
Atas dasar faktor penyebab dan kondisi kerusakan arealnya, maka tipe kerusakan
atau degradasi areal hutan rawa gambut MRPP digolongkan menjadi 3 klasifikasi, yaitu
(Barkah 2009):
a. Hutan Rawa Gambut Primer yang terdegradasi: Hutan rawa gambut yang
sudah terganggu akibat penebangan, kebakaran dan lain-lain tetapi kondisi serta
komposisi vegetasi hutan rawa gambut asli masih ada, dengan kerapatan vegetasi
tingkat tiang dan pohon di atas 400 pohon/ha.
b. Hutan Sekunder: Hutan rawa gambut yang telah berubah menjadi hutan dengan
dominasi jenis vegetasi sekunder seperti gelam dan tembesu terutama disebabkan
karena kebakaran, dengan kerapatan vegetasi tingkat tiang dan pohon berkisar
antara 300-400 pohon/ha.
c. Lahan gambut yang terdegradasi: Hutan rawa gambut yang tutupannya telah
berubah menjadi areal terbuka, semak belukar dan atau tutupan hutan di bawah
10%, dengan kerapatan vegetasi pohon di bawah 300 pohon/ha.
Sesuai dengan penyebab dan jenis kerusakan/degradasi areal HRG MRPP tersebut,
maka dalam pelaksanaan rehabilitasi, REDD Pilot Project (MRPP) telah menyusun
Panduan Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Berbasis Masyarakat di Areal
MRPP Kabupaten Musi Banyuasin (Barkah, 2009). Berdasarkan panduan tersebut, program
rehabilitasi dilakukan melalui pendekatan berbasis masyarakat dengan mempertimbangkan
beberapa aspek, antara lain:
a. Aspek tataguna lahan, mencakup antara lain rencana tata guna lahan pemerintah
baik dari Departemen Kehutanan maupun RTRW, pencadangan dan peruntukan
areal, serta pola atau rencana penggunaan lahan untuk mata pencaharian
masyarakat.
b. Aspek sosial ekonomi, mencakup bagaimana masyarakat dan stakeholders
dilibatkan dalam kegiatan, serta adanya manfaat baik langsung maupun tidak
langsung bagi masyarakat terutama dalam aspek sosial dan ekonomi serta
peningkatan pendapatan dan mata pencaharian masyarakat.
c. Aspek Fisik Areal, mencakup kondisi biofisik areal baik tipe tutupan, penyebab
degradasi, klasifikasi dan luasan areal degradasl, kondisi hidrologi dan genangan,
205
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

kemampuan regenerasi alam, karakteristik gambut, dan kesesuaian lahan serta


jenis tanaman yang akan digunakan, termasuk juga faktor ancaman terhadap
kelestarian hutan atau yang dapat menyebabkan peningkatan kerusakan hutan.
d. Aspek Pengelolaan areal, mencakup rencana kelembagaan unit pengelolaan
hutan (KPHP Lalan), rencana pengelolaan hutan berkelanjutan, zonasi areal,
Sumber daya pengelolaan, serta dampak pengelolaan terhadap kelestarian hutan
dan pembangunan yang berkelanjutan.
Didasarkan pada beberapa hal tersebut diatas, melalui skema kerjasama pelaksanaan
rehabilitasi HRG dengan Masyarakat (melalui Kelompok Masyarakat Peduli Hutan/
KMPH di dua desa) dan Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin (Dinas Kehutanan Musi
Banyuasin), maka metode rehabilitasi hutan rawa gambut berbasis masyarakat (metode
intervensi) yang digunakan adalah :
a. Untuk hutan rawa gambut primer yang terdegradasi (kerusakan ringan): Blocking
kanal/parit, pemantauan dan perlindungan areal, pengayaan dengan jenis penting,
dan regenerasi alam.
b. Untuk hutan rawa gambut sekunder (kerusakan sedang): Blocking kanal/parit,
Pengelolaan hutan sekunder bersama masyarakat, regenerasi alam, pengayaan
dengan jenis penting, penanaman kembali/reforestasi (MPTS dan NTFS), serta
pemantauan dan perlindungan areal.
c. Untuk hutan rawa gambut yang terdegradasi (kerusakan berat): Perbaikan kondisi
tata air melalui blocking kanaI, penanaman kembali /reforestasi serta pemantauan
dan perlindungan areal.

Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Berbasis Masyarakat


Tahapan proses pelaksanaan rehabilitasi hutan rawa Rambut berbasis masyarakat di
areal MRPP adalah mengikuti tahapan (Barkah, 2009):
1. Tahap Perencanaan
t Jenis dan tingkat kerusakan areal dan tipe intervensi yang diperlukan/metode
rehabilitasi.
t Peta areal terdegradasi.
t Pengecekan rencana lokasi rehabilitasi.
t Jenis tanaman yang sesuai
2. Tahap Persiapan
t Sosialisasi rencana rehabilitasl dan kesepakatan kerjasama pelaksanaan
kegiatan
t Pra kondisi areal (Blocking kanal/parit)
t Rencana pengadaan bibit melalui pengembangan Persemaian Desa
t Persiapan/pembersihan lahan

206
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

3. Tahap Pelaksanaan
t Seleksi bibit untuk penanaman
t Pengangkutan bibit
t Penanaman
t Pengecekan dan pengukuran areal
4. Tahap Tindak Lanjut
t Pemeliharaan (Penyulaman, Penyiangan, Pemupukan, dan lain-lain)
t Pemantuan dan Perlindungan tanaman
Upaya Pemulihan
Tipe intervensi yang diperlukan untuk tiap jenis dan tingkat kerusakan areal hutan
rawa gambut MRPP merupakan metode pelaksanaan rehabilitasi HRG yang digunakan.
Metode pelaksanaan rehabilitasi hutan rawa gambut berbasis masyarakat di areal MRPP
yang terletak di Kawasan Hutan Produksi Lalan (KPHP Lalan) Kecamatan Bayung Lencir.
Kabupaten Musi Banyuasin disusun berdasarkan kondisi biofisik areal seperti tingkat
kerusakan, tipe dan lokasi kerusakan areal, kondisi genangan/hidrologi, dan aspek terkait
lainnya (Tabel 3).
Tabel 3. Jenis dan Tingkat Kerusakan Areal HRGMRPP
No. Jenis Kerusakan Tingkat Kerusakan
1. Hutan Rawa Gambut Primer yang terdegradasi: Kerusakan ringan, dengan ciri-ciri;
Hutan rawa gambut yang sudah terganggu akibat - Kerusakan pada komposisi jenis asli hutan
penebangan, kebakaran, dan lain-lain tetapi kondisi rawa gambut dan hidrologi, menjadi hutan
serta komposisi vegetasi hutan rawa gambut asli campuran, akibat kebakaran dan penebangan serta
masih ada, dengan kerapatan vegetasi tingkat tiang pembukaan kanal,
dan pohon di atas 400 pohon/ha - Tidak tergenang,
- Kerusakan pada aspek hidrologi dan komposisi
serta struktur hutan menjadi bekas tebangan
akibat penebangan dan pembukaan kanal,
sebagian areal dipinggir sungai tergenang pada
musim hujan.
2. Hutan rawa gambut sekunder: Hutan rawa Kerusakan sedang, dengan ciri-ciri;
gambut yang telah berubah menjadi hutan dengan - Kerusakan pada kondisi gambut (gambut dangkal
dominasi jenis vegetasi sekunder seperti gelam dan dan bekas terbakar) dan komposisi jenis tanaman
tembesu terutama disebabkan karena kebakaran, menjadi hutan sekunder,
dengan kerapatan vegetasi tingkat tiang dan pohon - Akibat kebakaran yang berulang,
berkisar antara 300-400 pohon/ha - Kondisi tidak tergenang
3. Hutan Rawa Gambut yang Terdegradasi: Hutan Kerusakan berat, dengan ciri-ciri;
rawa gambut yang tutupannya telah berubah - Kerusakan pada gambut (sedikit pada lapisan atas),
menjadi areal terbuka, semak belukar dan atau hidrologi dan tutupan hutan menjadi areal tidak
tutupan hutan di bawah 10%, dengan kerapatan berhutan (areal terbuka),
vegetasi tingkat tiang dan pohon di bawah 300 - Akibat kebakaran yang berulang serta pembukaan
pohon/ha. kanal,
- Kondisi tidak tergenang
Sumber: Barkah, Baba S. (2009)

207
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Dalam peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut-II/2005 tentang Standar


sistem silvikultur pada hutan alam tanah kering dan atau hutan alam tanah basah/rawa,
pada bagian satu pasal 4, Sistem silvikultur yang dipilih dan diterapkan harus memenuhi
4 (empat) prinsip yang merupakan satu kesatuan utuh, meliputi:
t Kesesuaian dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya;
t Pertimbangan yang lengkap dan menyeluruh terhadap nilai-nilai sumber daya hutan;
t Pertimbangan biaya dan manfaat ekonomi; dan
t Kesesuian dengan tujuan pengelolaan sumber daya hutan.
Berdasarkan kondisi tingkat dan jenis kerusakan areal MRPP tersebut di atas serta
pertimbangan prinsip di atas, maka metode rehabilitasi hutan rawa gambut berbasis
masyarakat di areal MRPP, yang digunakan adalah seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. Jenis Intervensi atau Metode Pelaksanaan Rehabilitasi HRGMRPP
Tingkat Pihak bertanggung
No. Jenis kerusakan Intervensi
kerusakan jawab
1 Hutan rawa gambut Kerusakan • Perbaikan kondisi tata air melalui • Pengembangan
primer yang ringan blocking kanal persemaian Desa
terdegradasi akibat • Pemantauan dan perlindungan • KMPH sebagai
kebakaran dan areal dari bahaya kebakaran dan pelaku kegiatan
penebangan (tutupan illegal loging • Kerjasama
asli atau campuran • Pengayaan untuk peningkatan pelaksanaan dengan
hutan rawa gambut biodiversity dengan jenis penting Dinas Kehutanan
dengan tingkat tutupan pada areal dengan kerapatan (KPHP Lalan)
rata-rata mendekati rendah
50%) • Regenerasi alam
2. Hutan rawa gambut Kerusakan • Perbaikan kondisi tata air melalui • Pengelolaan
sekunder akibat sedang blocking kanal hutan sekunder
kebakaran (tutupan • Pengelolaan hutan gelam untuk oleh masyarakat
hutan dengan jenis pemanfaatan yang lestari bagi melalui program
tanaman sekunder, masyarakat sekitar Hutan Desa/
seperti gelam, • Regenerasi alam HTR atau hutan
tembesu,dan lain-lain.) • Pada kondisi gambut yang masih kemasyarakatan, dll.
bagus atau mendekati normal • KMPH sebagai
dilakukan pengayaan (pada pengelola kegiatan
kondisi kerapatan vegetasi sedang) bekerjasama dengan
dengan jenis penting dan pada Dinas Kehutanan
kondisi vegetasi dengan kerapatan (UPTD KPHP
rendah dilakukan penanaman Lalan)
kembali dengan jenis multifungsi/ • Pengembangan
MPTS dan jenis penghasil non persemaian desa
kayu/NTFS
• Pemantauan dan perlindungan
areal dari bahaya kebakaran dan
illegal loging

208
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Tabel 4. Jenis Intervensi atau Metode Pelaksanaan Rehabilitasi HRGMRPP (lanjutan)


Tingkat Pihak bertanggung
No. Jenis kerusakan Intervensi
kerusakan jawab
3. Hutan rawa gambut Kerusakan • Perbaikan kondisi tata air melalui • Pengembangan
yang terdegradasi Berat blocking kanal persemaian desa
akibat kebakaran • Pengelolaan hutan gelam untuk • KMPH sebagai
(lahan tidak berhutan pemanfaatan yang lestari bagi pelaku kegiatan
berupa semak belukar masyarakat sekitar • Kerjasama pelaksana
atau tutupan pohon di • Penanaman kembali dengan jenis dengan Dinas
bawah 10%) yang sesuai (jenis yang memiliki Kehutanan (UPTD
nilai penting, jenis multifungsi/ KPHP Lalan)
MPTS dan jenis penghasil non
kayu/NTFS
• Pemantauan dan perlindungan
areal dari bahaya kebakaran dan
illegal loging
Sumber: Barkah (2009)

Penutup
Kegiatan pemanfaatan dan alih penggunaan lahan rawa gambut tidak mungkin
dihindarkan, namun dalam pengelolaannya harus didasarkan pada konsep pembangunan
sumber daya alam yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan karakteristik dan
peran ekologisnya serta disesuaikan dengan kaidah konservasi. Oleh karena itu, lahan
gambut harus dikelola dengan menkombinasikan upaya perlindungan, pemanfaatan
dan pelestariannya secara terpadu, sehingga lahan rawa gambut selain dipandang sebagai
ekosistem yang perlu dilindungi, juga dapat dilihat sebagai lahan berpotensi yang bisa
dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan lain, namun tetap memperhatikan
prinsip-prinsip kelestariannya.
Emisi dan pengaruh negatif dari pengelolaan lahan gambut yang tidak berkelanjutan
hanya dapat dikurangi dengan kebijakan pengembangan lahan gambut yang didasarkan
pada prinsip:
a. Konservasi hutan dengan pencegahan pengeringan lahan hutan rawa gambut yang
masih tersisa.
b. Restorasi sistem hidrologi hutan rawa gambut terdegradasi dan tutupan vegetasi
lainnya.
c. Perbaikan pengelolaan air di lahan gambut yang sudah dibuka untuk perkebunan
sebagai rencana induk pengelolaan air di wilayah gambut.
Dalam perencanaan dan implementasi pengelolaan lahan gambut harus berdasarkan
pendekatan:

209
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

a. Kehati-hatian: Pembukaan lahan gambut skala besar hanya diizinkan setelah


melalui penelitian yang menyeluruh dan mendalam, disertai percontohan yang
berhasil.
b. Sistem hidrologi: Pendekatan tata guna lahan harus menggunakan pendekatan
ekosistem, dengan memerhatikan kerentanan hidrologis dan keterkaitan ekologis
dengan habitat dan penggunaan lahan sekitarnya. Pertimbangan khusus perlu
diberikan pada lokasi-lokasi daerah tangkapan air.
c. Terintegrasi: Pengelolaan ekosistem lahan gambut yang bijaksana memerlukan
perubahan pendekatan dari prioritas satu sektor menjadi strategi perencanaan
terpadu dengan melibatkan seluruh pihak untuk memastikan bahwa pertimbangan
telah diberikan pada dampak potensial dari ekosistem secara keseluruhan.

Daftar Pustaka
Adimihardja A., dan E,E. Ananto. 2000. Konsep Pengembangan Pertanian Berkelanjutan
di Lahan Rawa untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis.
Dalam: Ananto et al., (ed). Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan
Pertanian di Lahan Rawa. Buku-1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Badan Litbang Pertanian.p 33-52.
Ananto E.E., Agus Supriyo, Soentoro, Hermanto, Yoyo Sulaeman, I. Wayan S. dan
Bambang Nuryanto. 2000. Pengembangan usaha pertanian lahan pasang surut
Sumatera Selatan: Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis.
Badan Litbang Pertanian. 166p.
Barkah, Baba S. 2009. Panduan Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Berbasis
Masyarakat di Areal MRPP Kabupaten Musi Banyuasin. Report No. 18. TA.FINAL
/ SOP No. 01. PSF Rehabilitation. Rev 0. Merang REDD Pilot Project (MRPP).
Kerjasama teknis (GTZ Project No. 2008.9233.1) yang didanai dari Kementerian
Lingkungan Hidup (BMU) Pemerintah Republik Federal Jerman dan Departemen
Kehutanan Kementerian Kehutanan.
Direktorat Jendral Pengairan. 1998. Profil Proyek Pengembangan Daerah Rawa Sumatera
Selatan. Departemen Pekerjaan Umum.
Fitri, Aidil. 2009. Laporan Akhir: Hutan Rawa Gambut Merang-Kepayang Masa Lalu
– Masa Kini – Masa Depan. Report No. 02. STE.FINAL Merang REDD Pilot
Project (MRPP). Kerjasama teknis (GTZ Project No. 2008.9233.1) yang didanai dari
Kementerian Lingkungan Hidup (BMU) Pemerintah Republik Federal Jerman dan
Departemen Kehutanan Kementerian Kehutanan.
Hooijer A., M. Silvius, H. Wostendan, S. Page. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2
Emissions from Drained Peatland in SE Asia. Delf Hydraulic report Q3943 (2006).

210
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Munandar, Aris dan Syafrul Yunardi. 2006. Kebijakan Pengelolaan Lahan Rawa Secara
Terpadu di Sumatera Selatan. Dalam: Rimbawanto et al. (ed). Prosiding Seminar
Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Litbang Kehutanan.p 1-6.
Najiati S., Lili Muslihat dan I. Nyoman N. Suryadiputra. 2005. Panduan Pengelolaan
Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forest and
Peatland in Indonesia. Wetland International-Indonesia Programme dan Wildlife
Habitat Canada. Bogor.
Noor Y.R., dan Jill Heyde. 2007. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Masyarakat di
Indonesia. Proyek Climate Change, Forest and Peatland in Indonesia. Wetland
International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Lubis, Irwansyah Reza. 2006. Pemanfaatan Lahan Rawa Gambut Dipandang dari Aspek
Konservasi: Pengalaman Kegiatan CCFPI di Sumatera Selatan. Dalam: Rimbawanto
et al. (ed). Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana
dan Terpadu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Litbang
Kehutanan.p 15-24.
Widjaya Adhi, I.P.G. 1995. Pengelolaan Tanah dan Air dalam Pengembangan Sumber
Daya Lahan Rawa untuk Usahatani Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan.
Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian
di Daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan.
Zulfikar. 2006. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan Rawa Gambut dengan Pola KPH
di Provinsi Sumatera Selatan. Dalam: Rimbawanto et al. (ed). Prosiding Seminar
Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Litbang Kehutanan. p 7-13.

211

Anda mungkin juga menyukai