Anda di halaman 1dari 7

“Dua Nada”

(Sri Devi Eka N)

Sendiri... Gadis remaja berpakaian celana Jeans hitam dengan Switter putihnya yang
kebesaran berjalan. Rambutnya yang diikat tak rapi itu semakin membuat kesan berantakan bagi
orang-orang yang melihatnya. Jalannya gontai dengan tatapan kosong memandang lurus
kedepan, menerawang jauh. Entah kemana jiwanya pergi. Pikirannya melayang dengan hanya
menyisakan tubuh lemah tanpa akal yang kini memaksanya terus berjalan meninggalkan rumah.

Matanya yang sembab karena terlalu banyak meneteskan air mata mulai kembali
mengeluarkan air bening yang turun menelusuri pipinya. Langkahnya terhenti tepat di depan
garis – garis putih jalanan tempat penyebrangan. Tak lama segera ia mengangkat kedua
tangannya bagaikan seekor burung yang hendak terbang. Menghirup udara dan menikmati
oksigen-oksigen yang dihirupnya, menggantikan karbondioksida dalam paru-parunya. Matanya
mulai terbuka ketika merasakan semilir angin semakin keras meniup wajahnya. Dilihatnya
langit-langit mulai berwarna kelabu menurunkan tetes-tetes air kemakmuran.

Dia tersenyum perlahan sambil menghapus air mata di pipinya.

“Bahkan langitpun pucat ketika kau pergi. Awan menangis ditinggalkanmu. Angin mulai
bergerak tak menentu seakan gelisah menunggu kehadiranmu. Daun – daun beruguran turut
bersedih dengan kenyataan ini. Tak terasa sudah empat tahun aku tumbuh tanpa kehadiranmu”
gumamnya sendirian.

Perlahan kaki kanannya mulai melangkah menyebrangi jalanan besar sudut ibu kota
Jakarta itu. jalannya tetap sama, gontai dengan pandangan kosong kedepan. Tak masalah orang-
orang bicara apa tentangnya. Toh, ia tak peduli dengan penampilannya sendiri, apalagi cibiran
orang asing.

“Ini duniaku, itu dunia kalian. Selama aku tak mengusik dunia kalian, kalian tak berhak
ikut campur dalam duniaku”.

Yaa, hanya kalimat itu yang bisa ia ucapkan setiap kali bertemu dengan orang-orang yang
mencoba masuk kedalam hidupnya. Jangan pernah menyapanya walau kau pernah menjadi
temannya. Jangan pernah menasehatinya walau kau sangat khawatir padanya. Jangan pernah
perduli padanya walau kau merasa iba padanya. Jangan pernah memerhatikannya, jangan
pernah! Karena ia akan berjalan lurus tanpa mendengarmu bagai angin yang berlalu. Ia tak segan
mengacuhkanmu bagai orang asing yang tak pernah bertemu. Ia bahkan takkan berterima kasih
padamu, sebaik apapun kau mencoba membantu.

Ia hidup seorang diri, dengan tinggal bersama kakeknya yang sudah tua. Ibunya dipanggil
sang Tuhan ketika ibunya hendak melahirkan sang adik, adiknya pun tak terselamatkan. Hanya
kakeknya dan sang ayah yang ia miliki dari lahir. Namun sang ayah sosok yang selama ini selalu
menemaninya sudah tidak ada lagi untuk selamanya. Semua penderitaan bermula ketika orang-
orang asing masuk mencampuri hidup dan mimpinya. Membuai indah hingga menawarkan
mimpi semanis buah berry. Pianis? Mimpi sang ayah, yang pernah menjadi kehidupannya. Kini
berubah menjadi masa lalunya, saat-saat dimana mimpi justru membawanya jatuh ke titik
terendah dalam hidupnya.

***

Sebuah bunyi yang beraturan, dan memiliki frekuensi tunggal tertentu atau Nama seorang
perempuan, setidaknya itu yang dipikirkan orang-orang tentang kata “Nada”. Yaa.. Namanya
adalah Nada, cukup satu kata “Nada”. Nama pemberian dari sang ayah, kata satu-satunya yang
jadi identitas perempuan itu. Tidak ada nama kepanjangan, begitu juga nama sang ayah yang
biasa disisipkan di kata kedua sang anak. Namanya cukup satu kata, yaitu Nada.

Beberapa orang bilang, kalau Nada adalah nama yang indah untuk seorang perempuan,
beberapa lagi berkata kalau Nada bisa menyenangkan hati bila didengar secara beraturan.
Sayangnya, ia tak merasakan hal yang sama untuk kedua pendapat itu. Omong kosong baginya
kalau nada-nada dalam lagu bisa menyenangkan hatimu. Suatu kebohongan menurutnya kalau
Nada adalah sebuah nama yang indah untuk seorang perempuan. Sebuah kata yang memiliki dua
arti berbeda, tapi untuknya kata itu hanya memiliki satu arti saja “Rasa sakit”.
(tiga tahun yang lalu)

Saat semua itu dimulai, Nada hanya seorang anak kecil berusia 8 tahun yang senang
bermain piano pemberian ayah untuk ulang tahunnya. Mereka menatap Nada penuh bintang saat
Ia memainkan lagu Cha-Cha Op.23 karya Siegefried di kompetisi piano tingkat regional di salah
satu selasar pusat perbelanjaan, panggung pertamanya. Mereka berlomba mendapatkan Nada
untuk dapat melatihnya menuju “Concour Dream” di Jepang, siapa lagi selain Orang-orang elit
dunia musik yang duduk di bangku juri itu. Concour Dream, kompetisi yang mencari musisi
hebat, seperti Beethoven, Mozart, Bach dan lainnya.

Orang-orang itu berhasil menerbangkan Nada dengan sanjungan-sanjungan menawan


tentang bakat yang Ia miliki, memaksanya untuk masuk pada dunia yang sebelumnya tidak Ia
kenal. Nada mencoba masuk dengan ragu sebelum akhirnya jatuh cinta pada dunia itu. Yaa!
Jatuh terlalu dalam di dunia yang menghanyutkannya dengan berbagai alunan musik, sebagai
pianis. Bergelut dengan nada-nada harmoni yang menciptakan sebuah rasa dalam setiap
permainan pianonya. Dunianya hanya deretan tuts-tuts berwarna putih dan beberapa berwarna
hitam, tapi Nada bisa melihat betapa luasnya dunia saat Ia menekan tuts-tuts itu.

Selama 5 tahun Ia tenggelam dalam indahnya dunia penuh nada yang kemudian
menjatuhkannya tepat diusia Nada yang ke-13. Japan Concour Dream ke-34, Nada berhasil
mencapai puncak tertinggi para musisi dunia. Ketika menjadi satu-satunya musisi dari Indonesia
yang pernah masuk seleksi dan lolos untuk tampil di kompetisi musik klasik terbesar dunia ini.
Eropa! Pemenangnya akan mengiringi opera paling elit di Eropa.

Saat itu 14 Januari, Sabtu malam jam delapan waktu Jepang. Tepat satu jam sebelum
Nada tampil dihadapan 200 musisi dunia, dan orang-orang elit dengan selera tinggi dalam musik.
Sang pelatih, mengatakan kalau ayahnya tewas dalam kecelakaan pesawat yang akan
membawanya kemari untuk menonton penampilannya.

Pelatih dan beberapa sponsornya adalah orang paling gila yang pernah Ia temui. Mereka
memaksa gadis berusia tiga belas tahun untuk tetap tampil dimalam paling suram dalam
hidupnya, saat dimana seharusnya Nada terbang kembali ke Indonesia untuk melihat sang ayah
yang sudah tak mampu tersenyum lagi untuknya. Mereka yang bicara tanpa hati, dan membentak
Nada tanpa tau apa itu empati. Setelah terjadi diskusi serius antara Nada, pelatih dan sponsorku
tak ada jawaban pasti, seakan Nada adalah boneka tanpa hati.

Nada tampil dengan gaun blue black yang dibelikan ayahnya sebelum pergi dari
Indonesia. Memainkan lagu Symphony no.9 in D Minor Op.125 karya Beethoven. Sungguh
beruntung Ia dapat menyelesaikan lagunya. Penampilan Nada begitu sempurna dimata orang-
orang yang duduk di kursi jajaran belakang, orang-orang yang cukup tau apa itu musik klasik.
Tapi bagi mereka, orang-orang elit berselera tinggi dalam musik, dan para musisi dunia itu, Nada
adalah peserta yang bermain dengan kehancuran dalam musiknya. Tampil disanapun Nada
seolah tak layak dimata mereka.

Mereka adalah orang-orang mengerikan yang hidup karena musik, bersama musik,
bahkan hidup untuk musik. Orang-orang asing berwajah bule dan khas oriental yang berjajar di
belakang meja juri, duduk sambil menyilangkan kaki. Seolah hanya mempermalukan dirinya
sendiri dan Negara kebanggaan. Nada memainkan lagu Symphony no.9 in D Minor Op.125
yang bercerita tentang indahnya cinta, tapi ia mainkan dengan perasaan kehilangan seseorang
diatas panggung. Seharusnya sekalian saja Nada mainkan lagu sesuai dengan perasaan yang
tengah Ia rasakan, seperti etude Op.25, No.11 – Le vent d’hiver karya Chopin, atau Liebeslied
(Love sorrow) karya Kreisler yang diaransemen Rachmaninoff.

Semua pianis dari berbagai Negara yang menjadi peserta dalam kompetisi ini sudah tau
apa itu “Concour Dream”. Kompetisi ini bukanlah tempat dimana kau bermain untuk mencoba
peruntunganmu. Ambisi tidaklah cukup untuk mengantarkanmu menjadi seorang pemenang.
Kerja keras bertahun-tahun tak menjaminmu meraih gelar juara. Tempat ini bagaikan mimpi
buruk yang akan menelanmu hidup-hidup ketika kau memang tak layak, tapi akan membuatmu
menjadi legenda dunia saat kau mampu melewatinya.

Orang-orang yang duduk di kursi penonton itu memang mengerikan. Tak ada satupun
nada yang mis ketika Nada memainkan lagu dengan ritme super cepat malam itu. Tapi mereka
menemukannya, kesalahan terbesar yang dilakukan para musisi, yaitu gagal menyampaikan
makna lagu pada pendengarnya. Mereka mampu merasakan apa yang tidak bisa dilihat, mereka
tidak merasakan perasaan bahagia dalam lagu yang Nada mainkan.
Untuk pertama kalinya Nada menipu dirinya sendiri. Juri-juri itu tahu hati Nada sedang
kacau, namun tetap bermain nada bahagia. Mereka tahu perasaan Nada sakit, saat seharusnya
menyampaikan sebuah lagu penuh kegembiraan. Mimpi Nada berakhir saat itu juga, cacian dan
makian yang tersirat begitu terlihat dari mata para Juri.

Tiga belas tahun bukan usia yang wajar untuk menerima sebuah penghakiman seakan
diludahi lewat tatapan tajam para Juri internasional. Nada tahu betapa buruk permainannya dari
cara mereka semua memandang Nada. Lalu apa yang Nada dapat dihari berdukanya? Sang
pelatih dengan gampang memaki permainan Nada tepat didepan wajahnya sesaat ketika baru saja
Ia masuk ke ruang tunggu dan duduk di kursi rias depan cermin.

“Nada? Namamu tidak seindah itu, namamu sama buruknya dengan nada-nada yang kau
mainkan malam ini!” bentak sang pelatih sambil membanting buku lagu yang berisi not-not
kumpulan musik klasik. Semua mata sponsor tertuju pada Nada dengan rasa kecewa. Pandangan
Nada kosong, terarah lurus pada cemin dihadapannya. Menatap seberapa menyedihkannya Ia
saat ini. Wajahnya menghitam dengan lunturnya eyeliner dan maskara hasil riasan 6 jam yang
lalu pada pipi kanan dan kiri. Mata merah, dan tajam penuh amarah yang tertahan sedari tadi.

Ck! Kecewa? Pelatih dan sponsor-sponsor kaya itu yang menyeretnya dalam dunia ini.
Membuat Nada jatuh cinta dengan lagu Beethoven, Mozart, Chopin dan juga Bach. Mereka yang
berkata bahwa nada-nada dari setiap permainannya sama cantiknya dengan nama yang
dimilikinya. Tapi sekarang? Tepat dihari sang ayah meninggal, disaat Nada menampilkan
permainan terburuk yang pernah Ia mainkan, tak mampu lagi menyampaikan perasaannya
melalui nada-nada itu, mereka menendang Nada begitu saja.

Tak perduli seberapa manis pujian-pujian yang mereka lontarkan selama latihan. Berapa
banyak uang yang mereka keluarkan untuk membiayai Nada terbang ke Jepang. Tentu mereka
harus tahu apa itu arti kehilangan, setidaknya bagi orang-orang yang masih punya hati nurani.
Bodohnya Nada, pernah mengangguk riang saat pelatihnya datang setiap minggu mengajarkan
lagu baru. Naifnya Nada saat sponsornya dengan bangga memperlihatkan tiket registrasi
perlombaan pianis tingkat dunia bergengsi itu. Semua tak berguna, sia-sia ketika mereka bahkan
tak mengucapkan sedikitpun rasa penyesalan telah memaksanya tetap tampil saat baru saja
kehilangan seorang ayah.
Saat itu juga Nada melangkah keluar dari dunia impian dimana mimpi-mimpi indahnya
hidup. Tak ada lagi grand piano, piano, organ, pianika atau apalah itu. Takkan ada lagi nada-nada
harmoni, lagu etude Op.25, No.5. atau karya para musisi legenda dunia itu. Siapa Beethoven,
Mozart, Chopin dan juga Bach? Sudah muak hidup ini Ia habiskan hanya untuk tuts-tuts dengan
warna monokrom yang berjajar rapi itu. Dan tak ada lagi seorang Nada, seorang gadis yang jatuh
cinta pada dunia musik. Pianis, bukan lagi impiannya.

***

(Tiga tahun kemudian)

Mimpi? Apa sanggup mimpi membawaku pada yang namanya masa depan? dan
menuntuntunku pada yang namanya masa lalu? Nada tau bahwa ia tak pernah lagi mau
bermimpi, Dan tentunya ia tak pernah berharap untuk kembali percaya apa itu ‘mimpi’. Piano?
Atau Pianis hebat? Ah, itu dulu! Mungkin besok Ia akan beteriak lagi. Semua kerja keras yang
Nada pernah lakukan untuk meraih mimpi, terkadang begitu mencekiknya setiap hari setiap saat
Ia mengingatnya. Tak jarang Nada merasa muak, dan terus khawatir.

Saat ini semua yang berhubungan dengan piano hanyalah masalalu untuknya. Masalalu
yang menyakitkan, terlalu gelap untuk Ia ulangi. Ia bilang orang-orang itu memaksa Nada masuk
ke dunia indah itu, benar! Tapi kemudian mereka pula yang menyeretnya dengan kasar, mereka
melempar Nada keluar dari dunia yang membuatnya jatuh cinta pada nada-nada harmoni itu.

Ck! Beberapa orang awam memandang mantan pelatih dan sponsornya sebagai kaum elit
yang mengerti segalanya, para musisi tingkat dunia yang menciptakan karya hebat dan orang-
orang besar dengan permainan nada yang akurat. Baginya mereka hanya sekumpulan manusia
penuh dengan omong kosong. Manusia bermata malaikat, kau tidak akan bisa memastikan apa
yang ada dalam hatinya saat tak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Cukup satu kali Nada
menginjak kompetisi kejam itu.

Eropa? Tak ada lagi mimpi-mimpi manis dimana Nada harus tampil ditempat Mozart,
Chopin dan legenda lainnya bermain. Itu hanya masalalu, waktu dimana Nada tahu apa itu rasa
sakit.
“Nada adalah nama yang cantik?”.

“Nada adalah sesuatu yang indah bila kau mainkan secara harmoni?”

Setau Nada, Pelatihnya yang mengatakannya dengan mata penuh sinar saat ia memberi
harapan pertama kali pada Nada. Hanyalah kebohongan besar ketika ia mengatakan kalau
namanya begitu buruk, sama buruknya dengan penampilan Nada malam itu. Kebohongan yang
tak pernah Nada lupakan bahkan sampai saat ini.

Kebohongan yang membuat hati sesak saat melihat alat musik dengan deretan tuts-tuts
monokrom, bahkan membuat Nada membenci namanya sendiri sampai saat ini. Hidup Nada
benar-benar hancur diakhir pertemuan mereka. Saat sang pelatih mengatakan sesuatu yang
berlawanan dengan apa yang dikatakan diawal pertemuan Ia dan Nada.

Nada? Nada dalam nama dan nada dalam musik hanyalah sesuatu yang tak terlihat,
namun mampu menyakiti hatinya. Bagi gadis berusia 17 tahun ini, “Nada” hanyalah kumpulan
huruf yang mengandung makna menyakitkan. Sebuah kata yang menghancurkan hidupnya.
Sesuatu yang bahkan tak mampu Ia genggam, namun membuatnya kehilangan seorang ayah.
Entahlah, sakit rasanya ketika apa yang dulu sangat Ia cintai harus Ia benci seperti ini. Baginya,
cukup untuk tahu apa itu arti dari dua nada, yakni “Rasa Sakit”.

BIODATA
Nama saya Sri Devi Eka Nugrahaeni yang lahir di Bandung 21 Maret 1997. Kini saya tinggal di
Kota Cimahi, masih bertetangga dengan kota kelahiran. Menjadi seorang mahasiswa di salah
satu universitas negeri di Bandung dengan hobi menulis. Alamat email saya adalah
devicidev21@gmail.com. Bisa juga mencari saya di media sosial instagram ataupun line dengan
ID: srideviekan.

Anda mungkin juga menyukai