Anda di halaman 1dari 24

Perbandingan Pembuktian dan Putusan dalam Hukum Acara

Pengadilan Pajak dengan Hukum Acara Perdata

Makalah
Untuk melengkapi persyaratan dalam menempuh mata kuliah
Acara Peradilan Khusus Bidang Keperdataan (HKU 2162)

Disusun Oleh :

Nama : Ken Luigi Bagaskara

NIM : 13 / 351885 / HK / 19707

YOGYAKARTA

2016
A. PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Amandemen ke – tiga Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (2)


menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.1

Pada umumnya dikenal pembagian peradilan menjadi peradilan umum dan


peradilan khusus. Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya, baik
yang menyangkut perkara perdata maupun pidana, sedangkan peradilan khusus mengadili
perkara atau golongan tertentu. Demikian pula dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengenal pada asasnya dua pembagian tersebut.
Pasal 10 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama, militer, tata usaha negara, dan tidak menutup kemungkinan
adanya spesialisasi dalam masing – masing lingkungan peradilan.2

Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan


kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap
sengketa pajak yang dapat ditemukan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak. Rumusan tersebut dimaksud untuk memberikan
penegasan bahwa pengadilan pajak memang merupakan lembaga peradilan yang dapat
digunakan sebagai sarana bagi rakyat selaku wajib pajak atau penanggung pajak untuk
mendapatkan keadilan di bidang perpajakan.

Pengadilan Pajak awalnya dibentuk berdasarkan beberapa pertimbangan


sebagaimana tercantum dalam konsideran faktual undang – undang a-quo, yang antara
lain menyebutkan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan

1
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Toko Agung, Jakarta, hlm. 2.

2
Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 21.
peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung oleh karenanya diperlukan suatu
Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.
Pengadilan Pajak merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman di samping
badan-badan lainnya, dengan kompetensi absolut yang khusus atau spesial, yaitu untuk
memeriksa, memutus, dan mengadili sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan
antara Wajib Pajak dan Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada
Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk
gugatan atas pelaksanaan penagihan atau keputusan berdasarkan Undang-undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Di samping terhadap pelaksanaan penagihan pajak,
gugatan dapat diajukan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang berdasarkan peraturan perundang - undangan perpajakan.3

Dalam Undang - Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak


dikenal empat upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa yaitu, keberatan, banding,
gugatan dan peninjauan kembali. Yang dimaksud dengan “Keberatan” dalam pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang - undangan perpajakan kemungkinan terjadi dikarenakan
wajib pajak merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan
kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini wajib
pajak dapat mengajukan keberatan.4

Sedangkan upaya hukum banding merupakan kelanjutan dari upaya hukum


keberatan. Dalam arti, tidak ada banding sebelum melalui keberatan karena yang
diajukan banding adalah surat keputusan keberatan sebagai bentuk penyelesaian sengketa
pajak di tingkat Lembaga Keberatan. Hukum acara peradilan pajak tidak hanya mengenal
keberatan dan banding sebagai upaya hukum biasa, tetapi termasuk pula gugatan untuk
melawan kebijakan fiskus yang terkait dengan penagihan pajak, seperti terbitnya surat

3
Widayatno Sastrohardjono dan TB. Eddy Mangkuprawira, 2002, dalam Makalah Prosedur Beracara Dalam
Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak, Jakarta, hlm. 2.
4
http://repository.unand.ac.id/22505/3/bab%201.pdf Diakses 13 Mei 2016.
tagihan pajak dan penagihan secara paksa. Gugatan dan banding keduanya merupakan
upaya hukum biasa.5

Dalam proses pembuktian berlangsung adanya proses untuk menghubungkan


antara kenyataan (fakta) dan pernyataan, demikian pula antara pernyataan yang satu dan
pernyataan yang lainnya sehingga terwujud penilaian tingkat kebenaran akan hubungan
itu. Berdasarkan tingkat kebenaran tersebut, lalu hakim melaksanakan tugasnya dalam
pemeriksaan itu sehingga berujung pada jatuhnya putusan. Oleh karena itu memang
kiranya benar apabila tahap pembuktian merupakan tahap yang teramat penting dalam
suatu Hukum Acara.

Melihat proses pembuktian di bidang acara perpajakan dengan bidang acara


perdata terdapat perbedaan di dalamnya. Pada pengadilan pajak, adanya suatu sengketa
terjadi apabila pihak Direktur Jenderal Pajak dalam proses penagihan pajak kepada wajib
pajak, dan pihak wajib pajak atau penanggung pajak mendiamkan saja atau dapat
dikatakan menerima perlakuan dan keputusan yang diterapkan kepadanya itu maka tidak
ada perselisihan dan tidak ada persengketaan, dan sekaligus tidak perlu adanya
pembuktian apakah proses penagihan tersebut telah benar sesuai dengan yang seharusnya
atau belum.6

Sementara itu alat-alat bukti, prinsip pembuktian, sifat dan macam putusan,
adanya suatu syarat formil pada putusan dan pelaksanaan putusan pada pengadilan pajak
terdapat suatu perbedaan. Pada pengadilan negeri dalam hal ini acara perdata, pihak -
pihak yang bersengketa yang aktif dalam persidangan, Dalam proses pembuktian itu
hakim menggunakan kekuasaannya untuk melakukan pengujian-pengujian terhadap fakta
yang dapat berupa kenyataan fisik maupun pernyataan dan dalil-dalil yang dikemukakan
terutama oleh pihak yang bersengketa.

5
Muhammad Djafar Saidi, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 183.
6
Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hlm. 171.
Dengan jalan pembuktian, maka akan dapat diketahui siapa sebenarnya yang
salah dan siapa yang sebenarnya yang benar. Selain itu, terjaminnya perlindungan
terhadap hak-hak asasi para pihak yang berperkara secara seimbang. Oleh karenanya
dengan pembuktian dapat memberikan gambaran bahwa pemeriksaan suatu perkara
adalah pemeriksaan yang benar menurut hukum dan dengan adanya alat-alat pembuktian
itu dapat menjamin bahwa hakim dalam melakukan pembuktian tidak mengada-ada
karena telah ditentukan dalam undang-undang.

Mengenai putusan, terdapat perbedaan antara Hukum Acara di bidang perpajakan


dengan Hukum Acara Perdata menyangkut sifat putusan, lama pemeriksaan sampai
dengan putusan, macam putusan, hingga upaya hukum. Maka dari itu penulis tertarik
menulis makalah dengan judul “Perbandingan Pembuktian dan Putusan dalam Hukum
Acara Pengadilan Pajak dengan Hukum Acara Perdata”.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, Penulis menetapkan


rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sistem pembuktian pada hukum acara di bidang perpajakan dan apa
yang membedakan dengan sistem pembuktian pada hukum acara perdata?

2. Bagaimana penerapan putusan pengadilan pada hukum acara di bidang


perpajakan dan apa yang membedakan dengan putusan pengadilan pada hukum acara
perdata?
B. PEMBAHASAN

1. Pembuktian dapat didefinisikan dengan cara yang tepat (menurut prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan pembuktian) yaitu menentukan eksistensi fakta – fakta yang
relevan untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam putusan akhir nanti,
disamping penerapan hukum serta kadang kala menemukan hukum. Sedangkan
membuktikan atau memberikan pembuktian adalah penggunaan alat – alat pembuktian
tertentu untuk memberikan suatu tingkatan kepastian yang sesuai dengan penalaran
tentang eksistensi fakta – fakta hukum yang disengketakan.7

Prinsip pembuktian yang dianut dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak


adalah sistem pembuktian bebas. Prinsip pembuktian bebas tentu bukan berarti para pihak
bebas begitu saja melakukan atau tidak melakukan pembuktian. Tidak menghendaki
adanya ketentuan – ketentuan yang mengikat hakim, sehingga pernilaian pembuktian
seberapa dapat diserahkan kepadanya. Dalam hal ini, prinsip pembuktian bebas adalah
yakni hakim mempunyai kebebasan dalam:

a. menentukan apa yang harus dibuktikan atau yang sering disebut juga sebagai luas
pembuktian;

b. menentukan beban pembuktian atau dalam hal ini menentukan siapa yang seharusnya
melakukan pembuktian;
c. beserta penilaian pembuktian.

Pembuktian hanya diperlukan bila ada sengketa, dan apabila terdapat


persengketaan maka dengan sendirinya ada dua pendirian atau lebih. Dalam hal sengketa
pajak, adanya banding itu menunjukkan bahwa ada persengketaan antara pemohon
banding dan pihak terbanding, demikian halnya dalam gugatan, di situ tentu saja
penggugat yang mengajukan gugatan bersengketa dan tidak sependapat dengan tindakan
atau keputusan dari tergugat. Pendapat atau pendirian yang mana yang benar, tentu
sajahal ini perlu diuji. Pengujian dilakukan dalam tahap pembuktian.

7
Indroharto, 1999, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, hlm. 185.
Untuk pembuktian diperlukan sarana untuk membantu menemukan kebenaran dan
menilai kebenaran itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan alat bukti. Mengenai alat bukti
tersebut Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengaturnya
dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 76 adalah sebagai berikut:
Pasal 69
(1) Alat bukti dapat berupa:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan para saksi;
d. pengakuan para pihak; dan/atau
e. pengetahuan Hakim

(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

Dari ketentuan beberapa Pasal 69 telah menentukan secara limitatif alat – alat
bukti yang dapat digunakan sebagai sarana pembuktian dalam persidangan. Oleh karena
itu, tentu alat – alat bukti tersebut yang dapat digunakan dan diajukan oleh para pihak
untuk membuktikan dalil – dalil dan pendiriannya. Keadaan yang diketahui oleh umum,
misalnya: derajat akte autentik lebih tinggi tingkatnya dari pada akta di bawah tangan,
Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, atau Paspor merupakan salah satu
identitas diri.8

Pasal 70
Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri dari :
a. akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang
menurutperaturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud

8
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/20210-bukti-audit-kompeten-dalam-
pemeriksaan-pajak-dan-pembuktian-dalam-sengketa-pajak Diakses pada 13 Mei 2016.
untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang
tercantum didalamnya;
b. akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa
atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;
c. surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang;
d. surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b, dan huruf c yang ada
kaitannya dengan Banding atau Gugatan.

Dari ketentuan Pasal 70 terlihat bahwa yang termasuk dalam pengertian surat atau
tulisan dalam rangka sebagai alat bukti di Pengadilan Pajak adalah meliputi empat hal di
atas antara lain sebagai berikut:
a. yang termasuk sebagai akta autentik misalnya adalah akta notaris. Akta notaris dapat
digunakan untuk akta pendirian perusahaan, akta pembubaran perusahaan, dan
sebagainya. Sedangkan
b. yang termasuk akta di bawah tangan adalah surat perjanjian yang dilakukan oleh para
pihak dalam hukum perdata yang dibuat tidak dalam bentuk akta autentik, misalnya
adalah perjanjian utang piutang, pinjam pakai, sewa – menyewa, yang dibuat dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi.
c. yang termasuk surat keputusan adalah surat yang dibuat dalam hubungan hukum
publik dan dibuat oleh pejabat yang berwenang. contohnya adalah Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan atas
Permohonan Penundaan Pembayaran yang Diajukan oleh Wajib Pajak, Surat Tagihan,
dan sebagainya.
d. yang termasuk bukti surat atau tulisan yang ada kaitannya dengan banding atau
gugatan yang dikemudian hari dapat di bawa ke muka persidangan adalah surat –
menyurat biasa, catatan – catatan, pembukuan, surat kerumahtanggaan, daftar harga, dan
sebagainya.9

Pasal 71

9
Y. Sri Pudyatmoko, Op. Cit. hlm. 173.
(1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentanghal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
(2) Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
57 ayat (1) tidak boleh memberikan keterangan ahli.

Pasal 72
(1) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya,
Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dapat menunjuk seorang atau beberapa orang ahli.
(2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik tertulis maupun lisan,
yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman
dan pengetahuannya.

Dari ketentuan Pasal 71 dan Pasal 72 dapat ditarik kesimpulan bahwa keterangan
ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang
hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Penunjukan ahli dapat
dilakukan atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena
jabatannya, Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dapat menunjuk seorang atau beberapa
orang ahli. Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik tertulis
maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya
menurut pengalaman dan pengetahuannya. Yang bersangkutan tentunya harus
memberikan keterangan di depan persidangan.

Pasal 73
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan
hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi.

Dari ketentuan Pasal 73, yang menyatakan bahwa keterangan saksi dianggap
sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau
didengar sendiri oleh saksi. Pengajuan saksi dilakukan baik oleh pihak-pihak yang
bersengketa maupun atas permintaan hakim. Jadi, kedudukan saksi ahli dan saksi sama –
sama sebagai pemberi kesaksian/keterangan yang nantinya akan dijadikan sebuah alat
bukti dalam pemeriksaan di muka persidangan.

Pasal 74
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat
dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal.

Dari ketentuan Pasal 74, Pengakuan para pihak adalah salah satu alat bukti dalam
sidang Banding. Majelis Hakim atau hakim tunggal dapat meminta pengakuan dari para
pihak dalam proses persidangan. Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali,
kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim
Tunggal. Sebagai alat bukti di persidangan, pengakuan para pihak menjadi dasar dalam
membuat putusan banding.

Pasal 75
Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.

Dari ketentuan Pasal 75, Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui
dan dinyakini kebenarannya. Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian
dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Persyaratan ini adalah
persyaratan yang bersifat kumulatif yang harus dipenuhi seluruhnya, yaitu bahwa
pengetahuan hakim harus didasarkan pada pembuktian di persidangan serta harus sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 76
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian
pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).
Dari ketentuan Pasal 76, Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan
paling sedikit 2 (dua) alat bukti. Ketentuan ini memuat ketentuan dalam rangka
menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang
perpajakan. Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus
dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari
fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang
diajukan oleh para pihak.

Dalam persidangan para pihak tetap dapat mengemukakan hal baru, yang dalam
Banding atau Gugatan, Surat Uraian Banding, atau bantahan, atau tanggapan, belum
diungkapkan. Pemohon Banding atau penggugat tidak harus hadir dalam sidang, karena
itu fakta atau hal-hal baru yang dikemukakan terbanding atau tergugat harus
diberitahukan kepada pemohon Banding atau penggugat untuk diberikan jawaban.

Dalam Hukum Acara Perdata ada perbedaan dengan Hukum Acara Pengadilan
Pajak, diantaranya pada Alat bukti, yang meliputi:

1. Dalam Hukum Acara Peradilan Pajak tidak adanya alat bukti Persangkaan
seperti yang ada pada Hukum Acara Perdata yang dimuat pada Pasal 164 HIR, Pasal 284
Rbg, Pasal 1866 BW. Persangkaan menurut Undang- Undang, dan Persangkaan
berdasarkan kenyataan yang ada kalanya alat bukti persangkaan itu dianggap sebagai alat
bukti yang berdiri sendiri atau sebagai dasar pembuktian atau suatu pembebasan
pembebanan pembuktian.10

2. Dalam Hukum Acara Peradilan Pajak tidak adanya alat bukti Sumpah
seperti yang ada pada Hukum Acara Perdata yang diatur pada Pasal 155 – 158, 177 HIR,
Pasal 182 – 185, 314 Rbg, dan Pasal 1929 – 1945 BW. Sebagaimana kita ketahui bahwa
fungsi sumpah itu ada 2 yaitu sebagai alat bukti yang termasuk dalam sumpah assertoir,
yaitu sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar
demikian atau tidak dan Sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu

10
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm 179.
yang disebut sumpah promissoir. Selain itu sumpah sebagai alat bukti ada tiga jenis :
Sumpah decisoir (sumpah pemutus), Sumpah supletoir (sumpah pelengkap), Sumpah
aestimatoir (sumpah penaksiran).11

3. Ketentuan alat bukti tersebut bersifat limitatif, maka dalam Hukum Acara
Peradilan Pajak tidak ada pemeriksaan setempat (descente) yang Hukum Acara Perdata
mengatur pemeriksaan setempat mengaturnya di dalam Pasal 153 HIR. Pemeriksaan
setempat ialah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang
dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat
sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa
– peristiwa yang menjadi sengketa yang bertujuan agar hakim memperoleh kepastian
tentang peristiwa yang menjadi sengketa, maka fungsi pemeriksaan setempat pada
hakekatnya adalah sebagai alat bukti.12

Jadi dalam hal ini, pembuktian diserahkan kepada kearifan hakim untuk
menentukan pihak mana yang harus membuktikan. Pembanding atau terbanding,
Penggugat atau tergugat. Sebisa mungkin bukti – bukti tertulis tersedia yang memang
diharapkan dapat memudahkan pembuktian. Ketentuan pemeriksaan yang tidak terlalu
menekankan kehadiran para pihak melainkan lebih menunjukan bahwa pemeriksaan
terutama dilakukan terhadap berkas – berkas. Demikian pula ada yang harus dibuktikan
dan juga mengenai penilaian terhadap apa yang telah dibuktikan tersebut. Hal ini lah
yang menjadi karakteristik dari Hukum Acara Pengadilan Pajak yang tentunya beda
dengan karakteristik Hukum Acara Perdata.13

2. Apabila tahapan – tahapan pembuktian dalam proses pemeriksaan yang dilakukan


dalam persidangan dirasa cukup, yang kemudian dilakukan adalah pelaksanaan rapat
permusyawaratan untuk menyusun putusan. Putusan Pengadilan Pajak memiliki

11
Achmad Ali, dan Wiwie Heryani, 2013, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, PT. Kharisma Putra Utama,
Jakarta, hlm. 96.
12
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm 197.
13
Muhammad Sukri Subki, dan Djumadi, 2007, Menyelesaikan Sengketa Melalui Pengadilan Pajak, PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta, hlm. 58.
perbedaan dan kekhususan yang terletak pada putusannya yang merupakan putusan akhir
sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 77 Undang – Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak.
Pasal 77
(1) Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum
tetap.
(2) Pengadilan Pajak dapat mengeluarkan putusan sela atas Gugatan berkenaan dengan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2).
(3) Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan
Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.

Dari ketentuan Pasal 77 ayat (1) tersebut, dapat menimbulkan konsekuensi


putusan tersebut tidak mungkin diajukan upaya hukum lagi kepada lembaga peradilan
yang lebih tinggi melalui upaya hukum biasa, selain itu putusan tersebut tidak
memerlukan persetujuan atau pengesahan dari lembaga lain, dan putusan tersebut dapat
segera dilaksanakan.14
Dari ketentuan Pasal 77 ayat (2) tersebut, Pengadilan Pajak juga dapat
mengeluarkan putusan sela berkaitan dengan pemohon penggugat untuk melakukan
penundaan terhadap tindak lanjut pelaksanaan penagihan pajak (skorsing terhadap
tindakan penagihan).

Dari ketentuan Pasal 77 ayat (3) tersebut, pihak – pihak yang bersengketa dapat
melakukan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali atas putusan Pengadilan
Pajak kepada Mahkamah Agung setelah tentunya melaui mekanisme pengajuan
keberatan (upaya administratif) ke Direktorat Jenderal Pajak dan banding ke Pengadilan
Pajak.

14
Ibid. hlm. 59.
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta
berdasarkan keyakinan hakim. Undang - Undang Pengadilan Pajak juga mengatur
macam-macam putusan Pengadilan Pajak. sebagaimana diatur dalam Pasal 80.

Pasal 80

(1) Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa:


a. menolak;
b. mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
c. menambah Pajak yang harus dibayar;
d. tidak dapat diterima;
e. membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/ atau
f. membatalkan.
(2) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat lagi diajukan
Gugatan, Banding, atau kasasi

Dari ketentuan Pasal 80 tersebut, sama hal-nya dengan macam – macam putusan
pada Pengadilan Negeri atau Pengadilan lainnya. ada beberapa yang membedakan,
seperti harusnya membayar tambahan suatu pajak untuk wajib pajak yang dibebankan
putusan Pengadilan Pajak, selain itu adanya suatu keharusan membetulkan kesalahan
tulis dan/atau kesalahan hitung untuk penagih pajak.
Sedangkan dalam Putusan akhir pada Hukum Acara Perdata, di antaranya
adalah:15
a. Putusan akhir yang bersifat menghukum (condemnatoir). Putusan ini adalah
putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi,
meliputi: memberi, berbuat, dan atau tidak berbuat. Di dalam putusan, diakuinya hak
penggugat atas prestasi yang dituntutnya. Pada umumnya putusan ini berisi hukuman
untuk membayar sejumlah uang.
b. Putusan akhir yang bersifat menciptakan (constitutive). Putusan ini adalah
putusan yang meniadakan atau menciptakan keadaan hukum. misalnya putusan

15
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm. 231.
perkawinan, pengangkatan wali, pemberi pengampuan, pernyataan pailit, pemutusan
perjanjian, dan sebagainya.
c. Putusan akhir yang bersifat menerangkan (declaratoir). Putusan ini adalah putusan
yang isinya menerangkan atau menyatakan apa yang sah.

Kekhususan suatu putusan Pengadilan Pajak tercantum dalam Pasal 81 dan Pasal
82 yaitu lamanya pemeriksaan sampai dengan putusan. Kapan suatu putusan itu dibuat
untuk kemudian dijatuhkan, telah memberikan beberapa batasan berdasarkan Undang –
Undang yang berlaku khusus.

Pasal 81
(1) Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima.
(2) Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Gugatan diambil dalam jangka waktu 6
(enam) bulan sejak Surat Gugatan diterima.
(3) Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.
(5) Dalam hal Gugatan yang diajukan selain atas keputusan pelaksanaan penagihan
Pajak, tidak diputus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Pengadilan Pajak wajib mengambil putusan melalui pemeriksaan dengan acara cepat
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 6 (enam) bulan dimaksud
dilampaui.

Dari ketentuan Pasal 81 tersebut, terdapat perbedaan jangka waktu pengambilan


putusan untuk sengketa pajak yang disebabkan karena banding maupun karena gugatan.
Untuk penyelesaian sengketa pajak karena banding jangka waktu pengambilan
putusannya relatif lebih panjang. Terdapat kekhususan mengenai keadaan dimana
dimungkinkannya perpanjangan jangka waktu pemeriksaan hingga sampai dijatuhkannya
suatu putusan. Hal – hal khusus itu karena pembuktian sangat rumit, pemanggilan saksi
memerlukan waktu yang cukup lama sehingga menyulitkan berlangsungnya pemeriksaan
seperti biasa.16

Selain dari kekhususan pada acara pemeriksaan biasa yang disebabkan karena
banding dan gugatan, Undang – Undang Pengadilan Pajak mengatur juga tentang
pemeriksaan sengketa dengan acara cepat.

Pasal 82
(1) Putusan pemeriksaan dengan acara cepat terhadap Sengketa Pajak tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), dinyatakan tidak dapat diterima, diambil
dalam jangka waktu sebagai berikut :
a. 30 (tiga puluh) hari sejak batas waktu pengajuan Banding atau Gugatan dilampaui;
b. 30 (tiga puluh) hari sejak Banding atau Gugatan diterima dalam hal diajukan setelah
batas waktu pengajuan dilampaui.
(2) Putusan/penetapan dengan acara cepat terhadap kekeliruan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c berupa membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan
hitung, diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak kekeliruan dimaksud
diketahui atau sejak permohonan salah satu pihak diterima.
(3) Putusan dengan acara cepat terhadap sengketa yang didasarkan pertimbangan hukum
bukan merupakan wewenang Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
ayat (1) huruf d, berupa tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak Surat Banding atau Surat Gugatan diterima.
(4) Dalam hal putusan Pengadilan Pajak diambil terhadap Sengketa Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3), pemohon Banding atau penggugat dapat mengajukan Gugatan
kepada peradilan yang berwenang.

Dari ketentuan Pasal 82 tersebut, terhadap suatu sengketa yang diperiksa dengan
menggunakan acara cepat jauh lebih cepat diperoleh. Hal tersebut tentu diharapkan juga
tidak mengurangi akurasi putusan itu sendiri.

16
Y. Sri Pudyatmoko, Op. Cit. hlm. 183.
Suatu putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan. maka dari itu
demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa
ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. upaya
untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Kekhususan Hukum
Acara di bidang Perpajakan dalam upaya hukum adalah upaya hukum luar biasa yaitu
Peninjauan Kembali. pada dasanya suatu permohonan peninjauan kembali tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Untuk pengajuan
upaya hukum peninjauan kembali, permohonan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada
Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Permohonan peninjauan kembali dapat
dicabut sebelum diputus, dan apabila permohonan tersebut sudah dicabut, maka tidak
dapat diajukan lagi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 89, Pasal 90, dan Pasal 91 Undang –
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Pasal 89

(1) Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3)
hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.
(2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.
(3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah
dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.

Pasal 90

Hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali adalah hukum acara
pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam
Undang-undang ini.

Pasal 91
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut:
a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada
bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang
apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan
yang berbeda;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c;
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya; atau
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku.

Sedangkan pada Hukum Acara Perdata mengatur 6 upaya hukum antara lain adalah:17
1. Perlawanan (verzet), merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan
di luar hadirnya tergugat. Pada asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat
yang dikalahkan. Bagi penggugat yang dengan putusan verstek dikalahkan, tersedia
upaya hukum banding.

2. Banding, apabila salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak menerima
suatu putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak – haknya terserang oleh putusan itu
atau menganggap suatu putusan itu kurang benar atau kurang adil maka akan dilakukan
pemeriksaan kepada Pengadilan Tinggi. Setelah dijatuhkan putusan, dalam 14 (empat
belas) hari terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang
berkepentingan atau diberitahukannya putusan kepada pihak yang bersangkutan.

17
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm. 234.
3. Prorogasi, mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu persetujuan kedua belah
pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak wenang memeriksa sengketa tersebut,
yaitu dalam hakim tingkat peradilan yang lebih tinggi.

4. Kasasi, terhadap putusan-putusan yang diberikan dalam tingkat akhir oleh


pengadilan-pengadilan lain daripada Mahkamah Agung demikian pula terhadap putusan
pengadilan yang dimintakan banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung
oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Apabila pihak bersangkutan belum atau tidak
mempergunakan hak melawan putusan pengadilan, permohonan kasasi tidak dapat
diterima.

5. Peninjauan Kembali, diatur dalam Pasal 66 Undang – Undang Nomor 5 Tahun


2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sama hal-nya dengan Pengadilan Pajak, suatu
permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus
serta hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja.

6. Perlawanan Pihak Ketiga (derdenverzet), apabila pihak ketiga hak-haknya


dirugikan oleh suatu putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap suatu
putusan tersebut.

Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan


lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur
lain, artinya, putusan pengadilan tersebut mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan
(eksekutorial), tanpa ada putusan lain dari lembaga atau jabatan lain yang berwenang.
Para pihak harus mendapatkan salinan putusan pengadilan yang dikirim oleh sekretaris
Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan
Pengadilan Pajak diucapkan.

Kemudian Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang


berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan
diterima jika gugatan atau banding dikabulkan. Dengan demikian pejabat yang
berwenang sebagai pihak tergugat atau terbanding mempunyai kewajiban untuk
mematuhinya dengan melaksanakan putusan itu. Jika tidak mematuhinya, pejabat
tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku (aparatur
pemerintahan).

Sedangkan pada Hukum Acara Perdata hanya putusan condemnatoir yang dapat
dilaksanakan. Para pihak secara sukarela melaksanakan putusan tersebut. Pihak yang
dimenangkan dalam putusan, dapat memohon pelaksanaan putusan (eksekusi) kepada
pengadilan yang akan melaksanakannya secara paksa.

C. PENUTUP

KESIMPULAN

Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan


kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap
sengketa pajak yang dapat ditemukan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak.
Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak tidak dapat
menerima keputusan keberatan atas suatu surat ketetapan pajak. Dengan demikian
ketentuan mengenai banding mengatur tatacara dalam hal terdapat sengketa mengenai
materi atau dasar pengenaan pajak antara Wajib Pajak dan fiskus yang telah melalui
proses keberatan.
Gugatan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang
dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
Prinsip pembuktian yang dianut dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak
adalah sistem pembuktian bebas. Prinsip pembuktian bebas tentu bukan berarti para pihak
bebas begitu saja melakukan atau tidak melakukan pembuktian. Tidak menghendaki
adanya ketentuan – ketentuan yang mengikat hakim, sehingga pernilaian pembuktian
seberapa dapat diserahkan kepadanya. Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan,
beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian
diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti.
Alat bukti dapat berupa:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan para saksi;
d. pengakuan para pihak; dan/atau
e. pengetahuan Hakim
Sedangkan suatu keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

Kekhususan Hukum Acara Pengadilan Pajak denganHukum Acara Perdata ada


perbedaan yang meliputi pembuktian sampai upaya hukum, antara lain sebagai berikut:
1. Kekhususan suatu putusan Pengadilan Pajak tercantum dalam Pasal 81
dan Pasal 82 yaitu lamanya pemeriksaan sampai dengan putusan. Mengenai Acara
Pemeriksaan Biasa dan Acara Pemeriksaan Cepat. Kapan suatu putusan itu dibuat untuk
kemudian dijatuhkan, telah memberikan beberapa batasan berdasarkan Undang – Undang
yang berlaku khusus.
2. Kekhususan Hukum Acara di bidang Perpajakan dalam upaya hukum
adalah upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali. pada dasanya suatu
permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan
putusan pengadilan. Untuk pengajuan upaya hukum peninjauan kembali, permohonan
hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.
Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan apabila permohonan
tersebut sudah dicabut, maka tidak dapat diajukan lagi. Sebagaimana diatur dalam Pasal
89, Pasal 90, dan Pasal 91 Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak.

3. Dalam Hukum Acara Peradilan Pajak tidak adanya alat bukti Persangkaan
seperti yang ada pada Hukum Acara Perdata yang dimuat pada Pasal 164 HIR, Pasal 284
Rbg, Pasal 1866 BW. Persangkaan menurut Undang- Undang, dan Persangkaan
berdasarkan kenyataan yang ada kalanya alat bukti persangkaan itu dianggap sebagai alat
bukti yang berdiri sendiri atau sebagai dasar pembuktian atau suatu pembebasan
pembebanan pembuktian.

4. Dalam Hukum Acara Peradilan Pajak tidak adanya alat bukti Sumpah
seperti yang ada pada Hukum Acara Perdata yang diatur pada Pasal 155 – 158, 177 HIR,
Pasal 182 – 185, 314 Rbg, dan Pasal 1929 – 1945 BW. Sebagaimana kita ketahui bahwa
fungsi sumpah itu ada 2 yaitu sebagai alat bukti yang termasuk dalam sumpah assertoir,
yaitu sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar
demikian atau tidak dan Sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang disebut sumpah promissoir. Selain itu sumpah sebagai alat bukti ada tiga jenis :
Sumpah decisoir (sumpah pemutus), Sumpah supletoir (sumpah pelengkap), Sumpah
aestimatoir (sumpah penaksiran).

5. Ketentuan alat bukti tersebut bersifat limitatif, maka dalam Hukum Acara
Peradilan Pajak tidak ada pemeriksaan setempat (descente) yang Hukum Acara Perdata
mengatur pemeriksaan setempat mengaturnya di dalam Pasal 153 HIR. Pemeriksaan
setempat ialah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang
dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat
sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa
– peristiwa yang menjadi sengketa yang bertujuan agar hakim memperoleh kepastian
tentang peristiwa yang menjadi sengketa, maka fungsi pemeriksaan setempat pada
hakekatnya adalah sebagai alat bukti.

6. Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak


memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-
undangan mengatur lain, artinya, putusan pengadilan tersebut mempunyai kekuatan untuk
dilaksanakan (eksekutorial), tanpa ada putusan lain dari lembaga atau jabatan lain yang
berwenang. Para pihak harus mendapatkan salinan putusan pengadilan yang dikirim oleh
sekretaris Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
putusan Pengadilan Pajak diucapkan. Kemudian Putusan Pengadilan Pajak harus
dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal putusan diterima jika gugatan atau banding dikabulkan. Dengan
demikian pejabat yang berwenang sebagai pihak tergugat atau terbanding mempunyai
kewajiban untuk mematuhinya dengan melaksanakan putusan itu. Jika tidak
mematuhinya, pejabat tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian
yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4189)

Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Toko
Agung, Jakarta

Ali, Achmad, dan Heryani, Wiwie, 2013, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, PT.
Kharisma Putra Utama, Jakarta

Indroharto, 1999, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha


Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Muhammad Sukri Subki, dan Djumadi, 2007, Menyelesaikan Sengketa Melalui


Pengadilan Pajak, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta,

Mertokusumo, Sudikno, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta

Pudyatmoko, Y. Sri, 2009, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak,


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Sastrohardjono, Widayatno, Mangkuprawira, TB Eddy, 2002, dalam Makalah Prosedur


Beracara Dalam Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak, Jakarta
Saidi, Muhammad Djafar, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/20210-bukti-audit-
kompeten-dalam-pemeriksaan-pajak-dan-pembuktian-dalam-sengketa-pajak Diakses
pada 13 Mei 2016.

http://repository.unand.ac.id/22505/3/bab%201.pdf Diakses 13 Mei 2016.

Anda mungkin juga menyukai