Anda di halaman 1dari 6

Introduction

Bus adalah kendaraan umum yang paling banyak tersedia sebagai transportasi massa pada
perjalanan dalam kota hingga antara kota. Bus memiliki luas perkapita yang rendah, sehingga sering
dianggap sebagai solusi menyelesaikan permasalahan kemacetan[1]. Selain itu, bila dihitung
konsumsi bahan bakar per penumpang per jarak, bus kota memiliki nilai konsumsi bahan bakar yang
relatif rendah dibandingkan dengan kendaraan pribadi[2]. Konsumsi bahan bakar yang relatif rendah
menjadikan bus salah satu solusi mengurangi permasalahan lingkungan seperti polusi hingga global
warming. Segala manfaat bus sebagai transportasi umum tersebut belum dapat mendorong secara
maksimal pengguna transportasi pribadi berpindah menjadi pengguna bus sebagai angkutan dalam
kegiatan sehari-hari, contohnya di kota seperti jakarta. Hal ini dapat disebabkan oleh ketersediaan
bus yang minim, jalur bus yang tidak meliputi seluruh wilayah, waktu tempuh yang lama, privasi
serta kenyamanan dalam bus. Untuk kenyamanan dalam bus, penyelesaian masalah tidak perlu
melibatkan hal yang sistematis, namun cukup dengan penyelesaian fisis. Kenyamanan bus meliputi
rekayasa iklim internal bus. Indonesia, khususnya Jakarta, merupakan wilayah beriklim tropis. Dan
dengan kepadatan penduduk yang tinggi di wilayah perkotaan serta jumlah angkutan umum yang
terbatas membuat kondisi di angkutan umum sangat padat. Faktor-faktor tersebut meningkatkan
ketidaknyamanan penumpang seiring dengan meningkatnya temperatur dan kelembaban kabin. Hal
yang paling solutif atas permasalahan tersebut adalah penggunaan sistem pendingin udara atau air
conditioner (A/C). A/C adalah mesin pemompa kalor yang mengaplikasikan siklus refrijerasi untuk
mendinginkan atau menghangatkan udara pada suatu ruang[3]. Selain itu, pada fungsi pendingin
udara, A/C dapat berfungsi sebagai pengurang kadar air dalam udara. A/C umumnya digunakan pada
bangunan, namun juga digunakan pada kendaraan. Aplikasi sistem pendingin udara pada kendaraan
lebih rumit dibandingkan pada bangunan[4]. Hal tersebut disebabkan oleh sistem pendingin udara
pada kendaraan yang harus mempertimbangkan dimensi pemasangan, volume, sumber energi,
kontrol dan sirkulasi udara pendingin maupun panas buangan[4]. Dengan meningkatnya penggunaan
kendaraan bertenaga listrik secara global, tentunya berpengaruh pada perkembangan sistem operasi
kendaraan tersebut. Salahsatu perubahan yang terjadi adalah perubahan desain sistem pendingin
udara yang ada pada kendaraan listrik. Sebenarnya, sistem pendingin udara pada kendaraan listrik
khususnya mobil listrik lebih sederhana dan menyerupai sistem pendingin udara konvensional pada
bangunan. Hal ini disebabkan oleh kendaraan listrik yang tidak menggunakan sinkronisasi kopling
kompresor dengan mesin, sehingga pengaturan kecepatan rotasi kompresor langsung pada motor
kompresor[5]. Penggunaan mekanisme sinkronisasi kopling kompresor pada mesin berbahan bakar
mengikuti pertimbangan penghematan konsumsi energi, begitu pula keputusan untuk menggunakan
kompresor bermotor pada kendaraan listrik[6]. Namun, untuk sistem pendingin udara berjenis
modular seperti bus listrik kenyataannya berbeda. Pada A/C modular, konversi bahan bakar ke listrik
akan memperumit desain. Modular akan memiliki komponen-komponen tambahan seperti
kompresor dan instrumentasi kontrol. Penambahan komponen-komponen tersebut akan merubah
pertimbangan penentuan tata letak A/C.

Perbedaan A/C bus listrik dengan bus berbahan bakar

Hal utama yang membedakan A/C bus konvensional dengan A/C bus listrik adalah jenis
kompresornya. Kompresor adalah instrumen mekanik yang berfungsi meningkatkan tekanan suatu
fluida. Perbedaan kompresor pada bus listrik dan bus konvensional terletak pada sumber tenaga
penggeraknya. Pada kompresor bus dan kendaraan konvensional pada umumnya, kompresor
digerakkan dengan meng-kopling putaran mesin dengan putaran kompresor. Sedangkan pada
kompresor bus listrik, kompresor digerakan oleh tenaga motor yang sumber dari listrik DC. Sumber
tenaga kompresor turut mempengaruhi tata letak kompresor pada bus. Kompresor konvensional
diletakkan dekat dengan mesin sehingga transmisi yang menghubungkan keduanya berbentuk
sederhana, namun membuat kompresor tersebut terletak jauh dari komponen lainnya seperti
kondensor dan evaporator sehingga membutuhkan piping dan insulasi yang panjang untuk
menyalurkan refrijeran antara keduanya. Di sisi lain, kompresor listrik fleksibel diletakkan dimana
saja karena hanya dihubungkan oleh kabel ke sumber tenaganya. Dengan begitu, kompresor listrik
dapat diletakkan satu komplek dengan komponen lainnya untuk menghemat ruang dan mengurangi
kebutuhan piping dan insulasi.

Penggunaan kompresor listrik pada sistem pendingin udara kendaraan tidak hanya digunakan pada
kendaraan listrik saja. Beberapa bus menggunakan sistem pendingin udara berupa A/C portabel yang
seluruh komponen A/C-nya, termasuk kompresor terpisah dari sistem bus. Karena itu, hanya jenis
kompresor listrik yang dapat digunakan pada A/C jenis portabel ini. Kompresor termasuk komponen
yang relatif kecil dibanding komponen lainnya, keberadaannya tidak merubah dimensi keseluruhan
A/C secara signifikan. Selain itu, kompresor fleksibel untuk diletakkan dimana saja sehingga dapat
disisihkan di ruang kosong yang tersisa pada badan A/C dengan syarat posisinya selalu “tertidur”.
Contoh-contoh desain modular A/C portable yaitu modular A/C yang ber-kompresor dapat dilihat
pada paten oleh Remainn (2004) di Figure 4, paten oleh Lee (2001) di Figure 5 dan paten oleh Hille
(2005) di Figure 6.

Figure 4. Desain modular A/C oleh Remainn. Figure 5. Desain modular A/C oleh Lee.
Figure 6. Desain modular A/C oleh Hille.

Evaporator

Tata letak komponen A/C modular pada bus dipangaruhi oleh berbagai faktor, yaitu : pertukaran
kalor, kompatibilitas dan instalasi. Prioritas pertama dalam penentuan tata letak A/C modular adalah
kompabilitas dengan bus. A/C harus kompatibel secara dimensional dengan ducting bus dan
geometri atap, terutama pada sisi A/C indoor. outlet blower evaporator yang terletak terlalu jauh
dari ducting supply air bus akan meningkatkan kebutuhan insulasi. Selain itu, luas pertemuan antara
keduanya dapat sangat kecil yang menyebabkan lubang penghubungnya tak cukup besar dan
mengakibatkan head loss pada aliran blower. Dengan ini, A/C bus harus memiliki lebar yang cukup
agar outlet supply air A/C cukup terhubung dengan inlet ducting bus.

Pada paten oleh Erickson (1979) seperti pada Figure 1, digambarkan bahwa umumnya desain sistem
ducting pada bus dua bagian. Kedua bagian tersebut adalah bagian ducting untuk supply air dan
ducting untuk return air. Ducting supply air memiliki posisi di samping (kanan-kiri) sedangkan ducting
return air di posisi tengah. Berdasarkan desain, aliran supply air akan mengalir dari evaporator ke
blower dan ke dalam sistem ducting melalui koneksi antara outlet blower A/C dengan inlet ducting
bus. Sedangkan aliran return air akan masuk melewati lubang diatas dan tertarik kembali ke
evaporator. Secara keseluruhan, aliran udara akan mengalir membentuk putaran pada luas
penampang bus yang berjumlah dua siklus yaitu kanan dan kiri.

Figure 1.
Kerapatan antara A/C dengan atap bus penting, terutama di bagian A/C indoor. Hal tersebut
berkaitan dengan kebocoran dingin supply air. Supply air yang berpindah dari A/C ke ducting
memiliki suhu dan kelembaban udara yang sangat rendah. Sedikit celah akan mengakibatkan
peristiwa difusi yaitu percampuran udara dalam dengan udara luar. Pencampuran tersebut akan
mengakibatkan perpindahan kalor secara konveksi sehingga terjadi losses yang akan merugikan
secara ekonomis. Menurut Hille (2005) pada patennya digambar Figure 2, ducting bus memiliki 3
jenis bentuk penampang. Ducting bus dapat berjenis atap datar dan atap lengkung. Pada atap datar,
ducting bus dapat memiliki outlet supply air yang terpisah dan menyatu, sedangkan pada atap
lengkung hanya ada yang terpisah. Desain casing A/C diharapkan memperhatikan dan menyesuaikan
ketiga jenis bentuk tersebut untuk mencegah potensi kebocoran dingin. Selain itu,
lengkung/tidaknya atap berpengaruh terhadap pendesainan support A/C.

Figure 2. Jenis-jenis outlet dan inlet ducting pada bus

kondensor

Kondensor adalah alat penukar kalor yang bekerja untuk mendinginkan fluida kerja yang ada di
dalamnya. Pada A/C, kondensor mendinginkan refrijeran yang bertekanan dan bertemperatur tinggi.
Kondensor memiliki tugas cooling load yang lebih besar daripada evaporator. Siklus refrijerasi
membuat kondensor harus membuang panas lebih banyak daripada evaporator. Kondensor didesain
untuk bekerja secara isobarik di sekitar wilayah uap jenuh refrijeran.

Figure 3. (a)A/C dalam keadaan terpasang dan (b)Detail komponen-komponen A/C


Beberapa desain bus, seperti pada paten desain oleh krug (1980) di figure 3, tata letak A/C bus
didesain sehingga possisi A/C outdoor (kondensor) dan A/C indoor (evaporator) berposisi depan-
belakang. Pada desain ini, kondensor diletakkan dibagian depan dengan tujuan untuk memanfaatkan
aliran udara dari depan saat bus melaju. Namun, aliran udara tersebut tidak konsisten dikarenakan
laju bus yang inkonsisten, oleh karena itu fan tetap digunakan dan berletak di atas kondensor. Untuk
mengurangi gaya drag udara saat melaju, badan A/C diusahakan agar memiliki luas penampang
terhadap arah laju bus yang sekecil mungkin. Luas penampang adalah kombinasi perkalian antara
lebar dan tinggi A/C. Lebar A/C memiliki ukuran yang sudah tetap mengikuti desain supply air,
sehingga variabel yang diatur untuk mengurangi luas penampang A/C adalah tingginya. Faktor
tersebut membuat desain kondensor diposisikan “tertidur”, yaitu luasannya tegak lurus vertikal
sehingga aliran udaranya juga vertikal. Fan untuk memberikan aliran udara paksa pada kondenser
juga diposisikan demikian dengan alasan yang sama. Pada adaptasi desain tertentu, untuk
mengurangi tumpukan fan-kondensor yang vertikal, kondensor diletakkan di sisi samping dengan
sedikit miring atau berbentuk “sayap”. Desain ini juga dapat bermanfaat memberikan ruang untuk
aliran udara masuk yang mendinginkan kondensor. Desain ini digunakan untuk kondensor yang tidak
memiliki inlet udara pada bagian depannya. Jenis kondenser seperti ini biasanya terletak di bagian
belakang evaporator, sehingga bagian depan kondensor tidak bisa dibuat inlet karna terhalang
evaporator.

Selain itu, sirkulasi udara yang mendinginkan kondensor juga harus diperhatikan. Udara yang
dialirkan oleh fan ini berfungsi mengambil kalor yang terdapat pada kondensor dan membuangnya
keluar sistem. Pendinginan kondenser ini bekerja berdasarkan prinsip pemindahan kalor jenis
konveksi. Berdasarkan prinsip tersebut, ada dua parameter yang dapat diubah untuk meningkatkan
kinerja kondensasi melalui pengaturan tata letak, yaitu laju aliran dan temperatur udara masuk. Laju
aliran udara diusahakan mengalir secepat mungkin melewati celah-celah kondensor. Kondisi itu
didapatkan dengan meningkatkan daya fan kondensor atau meminimalisir pressure drop.
Peningkatan daya fan harus disesuaikan dengan beban daya yang dikonsumsi oleh fan tersebut,
sedangkan pressure drop diminimalisir dengan memperenggang celah-celah tube kondensor dengan
tetap memperhatikan penghematan dimensi ruangnya.

Pada desain kondensor “sayap” di figure 6, udara yang keluar dari fan kondensor dan udara yang
masuk ke kondensor menuju ke dan berasal dari arah yang sama, yaitu bagian atas. Mekanisme ini
rawan karena udara yang keluar dari fan kondensor dapat tercampur dengan udara segar dan
terhisap kembali ke dalam kondensor. Percampuran tersebut meningkatkan suhu udara masuk ke
kondensor dan mengurangi kinerja kondensor. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, udara keluar
dibuang sejauh mungkin dengan gaya dorong fan dan inlet udara masuk sedikit dimiringkan sehingga
pengambilan udara segar tidak tepat dari atas namun sedikit ke samping.
Referensi
[1] Masaaki K. Recent air-conditioning technologies for environment-friendly vehicles.
Denso Tech Rev 2014;19:117–22.

[2] Yeung, Y.P.B. & Cheng, K.W.E. & Chan, W.W. & Lam, C.Y. & Choi, W.F. & Ng, T.W.. (2009).
Automobile hybrid air conditioning technology. 1 - 5.

[3] Kossel, Roland & Strupp, Christian & Tegethoff, Wilhelm & Gmbh, Tlk-Thermo. (2009). Effects of Tool
Coupling on Transient Simulation of a Mobile Air-Conditioning Cycle. 10.3384/ecp09430064.

[4] Carrier, H. W., REALIO E. CHERNE, and Walter A. Grant. Air Conditioning, Heating and Ventilating.
Pitman Publishing Corporation, 1950.

[5] Hamdy, Mohamed & Askalany, Ahmed & Harby, Khaled & Koura, Nader. (2015). An overview on
adsorption cooling systems powered by waste heat.

[6] Chan C, Chau K. An overview of power electronics in electric vehicles. Ind Electron IEEE Trans 1997;44:3–
13.

[7]. Z. Qi, Experimental study on evaporator performance in mobile air conditioning system using HFO- 1234yf
as working °uid, Appl. Therm. Eng. 53 (2013) 124–130.

[8] R. Yan, J.-Y. Shi, H. Qing, J. Chen and J. Song, Experimental study on heat exchangers in heat pump system
for electric vehicles, SAE Technical Paper, No. 2014-01-0696 (2014).

Anda mungkin juga menyukai