Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
I. Tujuan Percobaan
1. Melakukan pemisahan parasetamol dari sediaan obat tradisional (jamu)
dengan etode ekstrasi fase padat.
2. Melakukan analisis kualitatif hasil ekstraksi fase padat dengan metode
kromatografi lapis tipis dan KCKT.
VIII. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan pemisahan parasetamol dari
sediaan tradisional dengan menggunakan metode ekstraksi fase padat serta
melakukan analisis kualitatif hasil ekstraksi fase padat dengan menggunakan metode
kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair kinerja tinggi, dengan prinsip
percobaan untuk mengisolasi atau memurnikan sampel untuk dianalisis serta
membandingkan kromatogram larutan uji dengan larutan standar.
Pemisahan parasetamol dari sediaan tradisional yaitu jamu. Jamu menurut
Permenkes No.007 tahun 2012 adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenika), atau campuran
bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan
dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat. Sebagian besar
masyarakat mengkonumsi jamu karena dipercaya memberikan andil yang cukup
besar dalam hal menjaga kebugaran, kecantikan,dan meningkatkan stamina tubuh.
Dengan banyaknya masyarakat yang mengkonsumsi jamu, harapan
masyarakat perihal jamu semakin tinggi. Bagi masyarakat, jamu yang bagus adalah
jamu yang memberikan efek yang cepat terhadap penyakit yang diderita. Banyak
produsen obat tradisional yang menambahkan bahan kimia obat (BKO) ke dalam
jamu, sehingga efek yang dihasilkan lebih cepat. BKO merupakan senyawa kimia
obat yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam jamu dengan tujuan agar efek yang
diinginkan tercapai lebih cepat. Penambahan BKO ke dalam sediaan tradisional
seperti jamu sangat berbahaya bagi tubuh, karena biasanya BKO yang ditambahkan
ke dalam jamu tidak dilakukan perhitungan dosis yang benar sehingga dapat
membayakan kesehatan. BKO (bahan kimia obat) yang ditambahkan ke dalam obat
tradisional diantaranya yang mempunyai khasiat sebagai antipiretik dan analgetik
seperti parasetamol.
Parasetamol merupakan obat analgetik perifer karena tidak mempengaruhi
susunan saraf pusat. Obat-obat analgetika perifer mampu meringankan atau
menghilangkan rasa nyeri tanpa memepengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran,
juga tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretik dan
atau antiradang, oleh karena itu tidak hanya digunakan sebagai obat anti nyeri,
melainkan juga pada demam (inveksi virus/kuman, selesma, pilek) dan peradangan
seperti encok. Obat-obat ini banyak diberikan untuk nyeri ringan sampai sedang, yang
penyebabnya beranekaragam, misalnya nyeri kepala, gigi, otot atau sendi. Tetapi
penggunaan parasetamol dapat menimbulakn efek samping yaitu tukak lambung, usus,
kerusakan hati (hepatoksin) jika digunakan terus-menerus. Dengan melihat bahaya
dan efek sanping yang ditimbulkan dari parasetamol, maka jika BKO tersebut
ditambahkan ke dalam obat tradisional tanpa perhitungan khusus maka dapat
membahayakan kesehatan tubuh. Adapun pemerian parasetamol yaitu serbuk hablur,
putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit. Kelarutannya larut dalam air mendidih dan
dalam natrium hidroksida 1N , mudah larut dalam etanol (Dirjen POM, 2014).
Dari percobaan kali ini dilakukan ekstraksi fase padat atau dikenal dengan
SPE (Solid Phase Extraction) yang merupakan metode ekstraksi alternatif dari
ekstraksi cair-cair, karena pada SPE ini pelarut pengekstrak yang digunakannya
adalah padatan yang berupa sorben sehingga SPE disebut juga ekstraksi padat-cair.
Sorben yang digunakan pada SPE kali ini adalah C18. C18 ini memiliki senyawa
atom karbon sebanyak 18, semakin Panjang atom karbon yang terbentuk semakin non
polar. Metode yang digunakan pada ekstraksi ini adalah reversed phase, dimana fase
diam nya adalah EFP C-18 yang bersifat non polar. Percobaan kali ini dilakukan
secara analisis kualitatif. Dimana sebelum melakukan analisis tersebut maka
dilakukan ekstraksi terlebih dahulu untuk mengekstraksi parasetamol dari sampel
jamu simulasi.
Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam SPE ini. Sampel jamu simulasi
yang telah mengandung BKO yaitu paracetamol ditimbang sebanyak 1 gram dan
dilarutkan dengan asam format sebanyak 8 mL pada vial. Digunakan asam format
karena asam format ini bisa menurunkan kepolaran paracetamol sehingga pada saat
diekstraksi dapat terjerap di fase diam. Selain itu asam format memiliki daya elusi
yang rendah sehingga dapat menahan analit lebih lama terjerap pada fase diam.
Kemudian dikocok selama 15 menit, dimana pengocokan ini salah satu cara untuk
meningkatkan kontak partikel sampel dengan asam format, sehingga campuran
tersebut akan homogen dan akan banyak sampel yang bereaksi dengan asam format.
Setelah 15 menit kemudian larutan sampel disaring dengan menggunakan kertas
saring agar memisahkan filtrat dari partikel padatnya, sehingga yang tertampung
hanya cairan filtratnya saja. Kemudian, dilakukan tahap awal dalam ekstraksi fase
padat yaitu pengkondisian kolom. Dimana pengkondisian ini pelarut yang digunakan
adalah methanol dan aquadest. Tujuan dari pengkodisian ini adalah untuk membuka
pori-pori fase diam, untuk menyamakan sifat sampel dengan fase diamnya yang
bertujuan agar tidak terjadi reaksi kimia yang tidak diinginkan. Pada pengkondisian
ini digunakan eluen yang memiliki sifat elusi yang kuat, yaitu methanol dan aquadest.
Methanol dan aquadest ini memiliki sifat elusi yang kuat karena bersifat polar dan
dapat melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat polar. Pengkondisian dilakukan
dengan memasukan metanol dan aquadest masing-masing sebanyak 1,5 mL secara
bergantian ke dalam cartridge hingga pelarut dari cartridge tersebut tidak menetes
lagi. Kemudian dimasukkan filtrat sebanyak 800 µL kedalam cartridge. Pada fase ini
merupakan fase retensi atau penjerapan senyawa. Tahap penjerapan ini berfungsi
untuk menjerap analit yaitu paracetamol pada fase diam, sehingga yang keluar dari
cartridge adalah matriks-matriks pada jamu simulasi selain analit yang berada pada
eluen. Eluen yang digunakan pada tahap ini adalah asam format yang dicampurkan
dengan jamu simulasi yang selanjutnya diambil filtratnya. Dipilihnya asam format
sebagai pelarut karena asam format dipilih dari hasil optimasi serta memiliki daya
elusi yang rendah yang dapat membuat parasetamol terjerap atau tertahan lebih lama
pada fase diam dan juga dapat menurunkan kepolaran dari parasetamol. Selanjutnya,
tahap ketiga adalah pencucican atau pembilasan, dimana pencucian atau pembilasan
ini digunakan mengguakan aquadest. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan
pengotor atau sisa matriks yang masih tertinggal pada fase diam. Prinsipnya,
pencucian ini harus menggunakan pelarut yang tidak dapat melarutkan analit.
Sehingga digunakan aquadest untuk pencucian ini, karena parasetamol berdasrkan
Farmakope Indonesia Edisi V memiliki kelarutan yang agak sukar larut dalam air.
Pada pembilasan ini tidak digunakan methanol, karena methanol ini dapat melarutkan
analit dalam jumlah sedikit. Dan sampai di tahap yang keempat yaitu elusi. Dimana
elusi ini adalah fase untuk mengeluarkan analit yang terjerap pada fase diam.
Paracetamol ini memiliki nilai pKa yang tinggi yaitu 9, dimana semakin tingga pKa
semakin bersifat asam lemah. Eluen yang digunakan pada tahap elusi ini adalah
NH4OH 2,5% dalam methanol. NH4OH ini bersifat basa lemah, dimana bereaksi
dengan paracetamol yang bersifat asam lemah maka akan terjadi netralisasi atau
terbentuk garam, dimana ketika sudah terbentuk garam akan dan mudah larut,
sehingga analit akan ikut terelusi.
Setelah melakukan proes ekstraksi fase padat dengan menggunakan kolom
EFP C-18, selanjutnya dilakukan analisis kualitatif menggunakan KLT dan KCKT.
Karena tujuan dari dilakukannya ektraksi fase padat ini untuk mengisolasi
parasetamol dari jamu simulasi. Pertama adalah melakukan analisis kualitiatif
menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Pada proses analisis kualitatif
menggunakan KLT bertujuan untuk memastikan ada atau tidaknya parasetamol dalam
larutan yang di uji. Fase diam yang digunakan adalah silika gel dan fase gerak yang
digunakan adalah kloroform : metanol (9:1). Pada proses analisis kualitiatif
menggunakan KLT ini digunakan 5 sampel yaitu larutan standar 1000 ppm, larutan
filtrat, larutan hasil retensi atau penjerapan, larutan hasil pencucian, dan larutan hasil
elusi. Sebelum dilakukan penotolan sampel pada plat KLT, terlebih dahulu plat KLT
di aktivasi menggunakan metanol dan dimasukan ke dalam oven pada suhu 105oC
selama 15 menit karena air akan menguap pada suhu 100oC sehingga air yang
terdapat pada plat KLT akan menguap semuanya sehingga plat akan kering sehingga
proses elusi dapat bergerak dengan cepat. Setelah semua sampel ditotolkan pada plat
KLT dan dilakukan elusi dalam fase gerak yang telah dijenuhkan. Proses penjenuhan
fase gerak atau eluen dilakukan menggunakan chamber atau wadah yang transparan
terbuat dari kaca atau gelas (pada praktikum ini wadah yang digunakan adalah beaker
glass), kemudian wadah tersebut diisi dengan eluen dan dimasukan kertas saring dan
ditutup. Untuk mengetahui fase gerak tersebut sudah jenuh dilihat dari basahnya
seluruh bagian kertas saring tersebut. Eluen atau fase gerak yang digunakan adalah
kloroform : metanol dengan perbandingan 9:1. Pada saat KLT, fase gerak (eluen)
yang digunakan tidak oleh menggunakan air karena gipsum pada plat KLT akan larut.
Perbandingan eluen yang digunakan 9:1 (9 mL kloroform 1 mL metanol) sehingga
fase gerak bersifat nonpolar. Karena kloroform bersifat nonpolar sedangkan metanol
bersifat polar dan komposisi eluen lebih banyak kloroformnya sehingga fase grak
bersifat nonpolar. Setelah dilakukan elusi sampai mencapai garis atas selanjutnya plat
KLT tersebut diangkat dan dikeringkan untuk selanjutnya di lihat di bawah penampak
bercak lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm. Hasil dari pengamatan yang
diperolah, dari ke-lima sampel yang dianalisis 4 dari 5 sampel tersebut menunjukan
adanya spot atau bercak yaitu pada larutan standar 1000 ppm, filtrat, larutan hasil
penjerapan, dan larutan hasil elusi.
Dari hasil pengamatan yang diperoleh, seharusnya pada sampel larutan retensi
atau penjerapan tidak terdapat spot atau bercak. Karena pada larutan hasil penjerapan,
parasetamol yang terdapat di dalam filtrat terjerap pada sorben C-18. Sehingga hasil
dari penjerapan hanya berisi matriks-maktriks selain analit (parasetamol) yang ada di
jamu simulasi. Adanya bercak pada larutan hasil penjerapan di plat KLT dikarenakan
paracetamol ikut terelusi saat tahap penjerapan atau tidak terjerap pada fase diam. Hal
ini bisa disebabkan pelarut yang digunakan untuk melarutkan jamu simulasi yang
menggandung parasetamol yaitu asam format tidak bekerja menurunkan kepolaran
parasetamol dengan baik sehingga parasetamol tetap bersifat semi polar atau masih
bersifat lebih polar dari fase diamnya sehingga dapat terelusi dari fase diam. Selain
itu, bisa disebabkan karena kurangnya terhomogenisasi kontak paracetamol dengan
asam format saat pengocokan, serta C-18 yang digunakan sebagai fase diam tidak
selektif dalam memisahkan sampel.
Selanjutnya, dari data yang diperoleh dari KLT dilakukan uji lanjutan
menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) yang bertujuan untuk
mengkonfirmasi spot atau bercak yang terbentuk pada KLT benar parasetamol atau
senyawa lain. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan waktu retensi larutan
standar dan lautan uji. Untuk melakukan analisis kualitatif menggunakan KCKT
digunakan 3 sampel yaitu larutan standar 100 ppm, larutan hasil retensi, dan larutan
hasil elusi. Pertama, larutan standar 100 ppm diinjeksikan ke dalam alat KCKT dan
diperoleh data waktu retensi dari larutan standar adalah 3,320. Pada kromatogram
larutan standar puncak yang terbentuk tidak sempurna yang menandakan adanya zat
pengotor di dalam larutan standar parasetamol tersebut. Kemudian, larutan hasil
penjerapan diinjeksikan ke dalam alat KCKT, hasil dari data pengamatan yang
diperoleh larutan hasil penjerapan memiliki banyak waktu retensi yang menandakan
banyaknya matriks-matriks di dalam larutan tersebut, tetapi ada dua yang membentuk
puncak maksimum dengan waktu retensi 1,767 dan 3,403. Sebelumnya pada
pengujian analisis kualitatif menggunakan KLT pada larutan hasil penjerapan
terdapat spot yang menandakan adanya parasetamol pada larutan tersebut. Dengan
diperolehnya data dari KCKT ini menunjukan bahwa di dalam larutan hasil
penjerapan terdapat parsetamol karena terdapat satu puncak dengan waktu retensi
3,403 yang mendekati waktu retensi larutan standar. Terakhir, yaitu pengujian
terhadapan larutan hasil elusi. Data pengamatan yang diperoleh, larutan hasil elusi
memiliki banyak waktu retensi yang menandakan banyaknya matriks-matriks lain
yang terkandung di dalam larutan tersebut. Tetapi terdapat satu buah puncak
maksimum dengan waktu retensi 2,370, namun senyawa pada waktu retensi tersebut
bukan senyawa parasetamol karena memiliki waktu retensi yang berbeda dengan
waktu retensi larutan uji. Dari banyaknya waktu retensi yang terbentuk terdapat satu
waktu retensi yang mendekati waktu retensi larutan standar yaitu 3,707. Pada waktu
retensi 3,707 tidak terbentuk sebuah puncak maksimum, tetapi hal tersebut
menunjukan adanya parasetamol dalam larutan hasil elusi meskipun jumlahnya
sedikit. Hal ini terjadi karena parasetamol yang terdapat pada filtrat jamu simulasi
tidak terjerap secara maksimal di fase diam C-18 pada tahapan penjerapan sehingga
parasetamol banyak yang ikut keluar atau terelusi dan tertampung dalam larutan hasil
penjerapan yang mengakibatkan sedikitnya parasetamol di dalam larutan hasil elusi
dan adanya parasetamol di dalam larutan hasil penjerapan.
KESIMPULAN