Konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam, walaupun tidak sekompleks yang
dihadapi oleh India misalnya, yang menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas,
kasta yang semuanya relatif masih rawan/rentan.
Budaya politik Indonesia yang bersifat Parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik
partisipan di lain pihak, di satu segi masa masih ketinggalan dalam mempergunakan hak
dan dalam memikul tanggung jawab politiknya yang mungkin di sebabkan oleh isolasi dari
kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, dan ikatan primordial.
Sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang di kenal melalui indikatornya berupa
sentimen kedaerahan, kesukaan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan
tertentu; purutanisme dan non puritanisme dan lain-lain.
kecendrungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan sifat
patrimonial; sebagai indikatornya dapat di sebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak
senang.
Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan
pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.
Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat
hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa
(wong gedhe) dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan
hirarkis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan sedemikian
rupa sesuai dengan asal usul kelas masing-masing. Penguasa dapat menggunakan bahasa
'kasar' kepada rakyat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus mengekspresikan diri kepada
penguasa dalam bahasa 'halus'. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam
itu antara lain tercemin pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya.
Kecendrungan Patronage
Pola hubungan Patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia.Pola
hubungan ini bersifat individual. Dalam kehidupan politik, tumbuhnya budaya politik semacam ini
tampak misalnya di kalangan pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari atas
daripada menggali dukungn dari basisnya.
Kecendrungan Neo-patrimonisalistik
Salah satu kecendrungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya
kecendrungan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonisalistik; artinya
meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik zeperti birokrasi,
perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter
patrimonial.
Ciri-ciri birokrasi modern:
Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas
ke bawah dalam organisasi
Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing mempunyai tugas
dan tanggung jawab yang tegas
Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formalyang mengatur
bekerjanya organisasi dan tingkah laku anggotanya
Adanya personel yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar
karier, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan.
Budaya politik dalam kehidupan politik dan negara memerlukan sikap yang menunjukkan
dukungan serta kesetiaan warganya kepada sistem politik dan kepada negara yang ada. Sikap
ini harus dilandasi oleh nilai-nilai yang telah berkembang dalam diri warga masyarakat itu, baik
secara individual maupun kelompok. Berdasarkan sikap, nilai, informasi, dan kecakapan politik
yang dimiliki, Almond dan Verba menyatakan bahwa orientasi masyarakat terhadap budaya
politik dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu budaya politikparokial, kaula, dan
partisipan (1963: 22).
Singkatnya, budaya politik parokial biasanya terdapat pada sistem politik tradisional
dan sederhana dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil. Dengan demikian,
pelaku-pelaku politik belum memiliki pengkhususan tugas. Masyarakat dengan budaya
parokial tidak mengharapkan apa pun dari sistem politik termasuk melakukan
perubahan-perubahan.
Menurut Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrews (2000), budaya politik kaula/subjek
menunjuk pada orang-orang yang secara pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintahan
dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan
suara dalam pemilihan.
Budaya politik kaula/subjek memiliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya.
Namun, perhatian dan intensitas orientasi mereka terhadap aspek masukan dan
partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa telah
adanya otoritas dari pemerintah. Posisi kaula/subjek tidak ikut menentukan apa-apa
terhadap perubahan politik. Masyarakat beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang
tidak berdaya untuk memengaruhi atau mengubah sistem.
Dengan demikian, secara umum mereka menerima segala keputusan dan kebijaksanaan
yang diambil oleh pejabat yang berwenang dalam masyarakat. Bahkan, rakyat memiliki
keyakinan bahwa apa pun keputusan/ kebijakan pejabat adalah mutlak, tidak dapat
diubah-ubah atau dikoreksi, apalagi ditentang. Prinsip yang dipegang adalah mematuhi
perintah, menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta kebijakan
penguasa.
Menurut pendapat Almond dan Verba (1966), budaya politik partisipan adalah suatu
bentuk budaya yang berprinsip bahwa anggota masyarakat diorientasikan secara
eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik
serta administratif.