Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi
bakteri, parasit, maupun jamur yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang
ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam
parenkim hati.

Abses hati merupakan masalah kesehatan dan sosial pada beberapa negara
yang berkembang seperti di Asia terutama Indonesia. Prevalensi yang tinggi
biasanya berhubungan dengan sanitasi yang buruk, status ekonomi yang rendah
serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi menyebabkan bertambahnya
kasus abses hati di daerah perkotaan. Secara umum abses hati dibagi menjadi 2
yaitu abses hati amebik dan abses hati piogenik di mana kasus abses hati amebik
lebih sering terjadi dibanding abses hati piogenik.

Abses hati amebik biasanya disebabkan oleh infeksi Entamoeba hystolitica


sedangkan abses hati piogenik disebabkan oleh infeksi Enterobacteriaceae,
Streptococci, Klebsiella, Candida, Salmonella, dan golongan lainnya. Abses hati
sering timbul sebagai komplikasi dari peradangan akut saluran empedu.

Abses hati piogenik merupakan kasus yang relatif jarang, pertama kali
ditemukan oleh Hipppocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh
Bright pada tahun 1936.

Hampir 10% penduduk dunia terutama penduduk dunia berkembang


pernah terinfeksi Entamoeba histolytica tetapi 10% saja dari yang terinfeksi
menunjukkan gejala. Insidensi penyakit ini berkisar sekitar 5-15 pasien pertahun.
Individu yang mudah terinfeksi adalah penduduk di daerah endemik ataupun
wisatawan yang ke daerah endemik di mana laki – laki lebih sering terkena
dibanding perempuan dengan rasio 3:1 hingga 22:1 dan umur tersering pada
dekade empat.

1
Gejala tersering yang dikeluhkan oleh pasien dengan amebiasis hati adalah
berupa nyeri perut kanan atas, demam, hepatomegali dengan nyeri tekan atau
nyeri spontan atau disertai dengan gejala komplikasi. Gejala yang menyertai
adalah anoreksia, mual muntah, berat badan menurun, batuk, ikterus ringan
sampai sedang dan berak darah. Pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia
ringan sampai sedang Penatalaksanaan abses hepar dapat dilakukan secara
konvensional dengan pemberian antibiotika spektrum luas ataupun dengan
aspirasi cairan abses, drainase perkutan dan operasi reseksi hati.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. W

Umur : 36 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : PNS

Status Perkawinan : Menikah

Alamat : Sebrang Olak kemang

Agama : Islam

Tanggal MRS : 28 Desember 2018

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak ± 1 bulan lalu
dan memberat ± 3hari SMRS. nyeri terasa tertusuk-tusuk tembus kebelakang dan
menjalar ke daerah ulu hati. Nyeri bertambah saat OS posisi tegak sehingga OS
duduk membungkuk untuk mengurangi nyeri. Mual (+), muntah (-). Demam (+),
dialami sejak ± 1 bulan dan dirasakan hilang timbul, menggigil (-). Mata kuning (-
) Batuk (-), sesak (-), nyeri dada (-). Nafsu makan pasien menurun, badan terasa
lemas serta terjadi penurunan berat badan, BAB dan BAK tidak ada gangguan.
Pandangan kabur (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
 Pasien memiliki riwayat DM (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat penyakit kuning (-)
Riwayat Penyakit Keluarga

3
 Riwayat DM (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat keluarga dengan keluhan yang serupa (-)
Riwayat Kebiasaan
Pasien sering mengkonsumsi makanan cepat saji.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis, GCS: 15 (E4 V5 M6)
Tanda-tanda Vital :
 TD : 110/70 mmHg
 Nadi : 80 x/menit
 RR : 20 x/menit
 Suhu : 36,7 0C
 Status Gizi
BB : 83 Kg
TB : 155 cm
IMT : 34,5 Kg/mm2 (Obesitas)
Status Generalisata
Kepala dan leher
Kulit : Warna sawo matang, hiperpigmentasi (-), jaringan parut (-)
Kepala : Bentuk simetris, tidak ada trauma maupun memar.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+),
pupil isokor
Hidung : Deviasi septum (-), epistaksis (-)
Mulut : Bibir sianosis (-), perdarahan (-)
Tenggorok : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-).
Thoraks
Paru

4
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada pergerakan dinding dada yang
tertinggal, jejas (-)
Palpasi : Pergerakan dada simetris, fremitus taktil dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada thorak dextra dan sinistra
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga V di linea midklavikularis
sinistra selebar 2-3 jari
Perkusi :
Batas jantung kanan : ICS IV, linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V, linea midklavikularis sinistra
Batas atas jantung : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, sikatrik (-), venektasi (-), jaringan parut (-)
Palpasi : Nyeri tekan (+) di regio hipokondrium (D) dan epigastrium, defense
muscular (-)
Hati : Hati teraba 3 jari BAC, tepi tumpul,kenyal,permukaan rata, nyeri
tekan.
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) 4 kali/menit
Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT <2 Detik, edema (-/-)
Inferior : akral hangat, CRT <2 Detik, edema (-/-)

5
2.4 Pemeriksaan Penunjang

USG

Pemeriksaan USG (28 Desember 2018)


Hepar : Bentuk dan ukuran besar permukaan rata, ekhostruktor parenkim
inhomogen tanpak abses lobus kanan ukuran 8,2 x 8,3 cm2 sistem bilier dan
vascular intra hepatic baik, V Cava inferior tak melebar.
Kandung Empedu: Besar dan bentuk baik, Mukosa licin regular, tak tampak
batu CBD tak melebar
Pankreas: Besar dan bentuk baik, ekhostruktur homogeny, lesi/ SOL(-).
Duktus Pnakreaticus ta melebar.
Lien: besar, bentuk baik. Ekhostruktor parenkim homogeny. Lesi / SOL(-)
Ginjal kiri-kanan: besar dan bentuk baik, Ekhostruktor parenkim normal Lesi /
SOL(-) batu(-)
Vesica Urinaria: besar bentuk baik, mukosa regular. Batu/SOL (-).
Aorra: besar, bentuk baik. Trombus (-). KGB para aorta tak melebar
Kesan : Hepatomegaly dengan abses hepar lobus kanan 8,2 x 8,3 cm2

6
2.5 Rencana pemeriksaan
Darah Rutin, SGOT/SGP, ur/cr/ bil.tot/direk, Faal hati, Kultur darah
2.6 Diagnosis
Abses Hepar
2.7 Tatalaksana
Non medikamentosa: Tirah baring, diet tinggi kalori tinggi protein

Medikamentosa
Metronidazole 3 x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari.
Novalgin tab 3x 500 mg

7
Ranitidine tab 2x 150 mg
Efaluasi ulang setelah tidak adanya respon terapi selama 3-5 hari → USG
ulang bila abses berukuran besar (>5 cm), dianjurkan untuk Drainase cairan
abses.
Konsul bedah digestive  Operasi

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Abses Hati

3.1.1 Definisi

Abses hati adalah rongga patologis berisi jaringan nekrotik yang timbul
dalam jaringan hati akibat infeksi amuba, bakteri, parasit, atau jamur. Abses hati
terbagi dua secara umum, yaitu abses hati amebik (AHA) yang dan abses hati
piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk
Indonesia. AHP merupakan kasus yang relatif jarang. 1,2,3

3.1.2 Etiologi
a. Abses Hati Amebik (AHA)
Penyakit AHA masih menjadi masalah kesehatan terutama di daerah dengan strain
virulen Entamoeba histolytica yang tinggi. Hanya sebagian individu yang
terinfeksi E.histolytica yang member gejala invasif, sehingga diduga ada dua
jenis E. histolytica yaitu strain pathogen dan non pathogen. Bervariasinya
virulensi strain ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi di
hepar.1
E. histolytica diperoleh dari ingesti kista yang berasal dari air, makanan, dan
tangan yang terkontaminasi secara fekal. E. histolytica di dalam feces dapat
ditemukan dalam dua bentuk vegetative atau tropozoit dan bentuk kista yang bisa
bertahan hidup di luar tubuh manusia. Kista dewasa berukuran 10-20 mikron,
resisten terhadap suasana kering dan asam. Bentuk tropozoit akan mati dalam
suasana kering dan asam. Meskipun Kedua bentuk E. histolytica ditemukan pada
lumen usus, tetapi hanya bentuk tropozoit yang dapat menginvasi jaringan.
Tropozoit ini berdiameter 20-60 mikron dan terdiri dari vakuola dan nukleus.
Tropozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung

9
protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan
destruksi jaringan.5
Strain Entamoeba histolytica tertentu dapat menginvasi dinding colon. Strain ini
berbentuk tropozoit besar, yang di bawah mikroskop tampak menelan sel darah
merah dan sel PMN. Pertahanan tubuh penderita juga berperan dalam terjadinya
amubiasis invasif.14 Tidak semua amuba yang masuk ke hepar dapat
menimbulkan abses. Untuk terjadinya abses, diperlukan faktor pendukung atau
penghalang berkembangbiaknya amuba tersebut. Faktor tersebut antara lain
adalah pernah terkena infeksi amuba, kadar kolesterol yang meninggi,
pascatrauma hepar dan riwat sering mengkonsumsi alkohol.3
b. Abses hati piogenik (AHP).
Infeksi terutama disebabkan oleh kuman gram negatif dan penyebab yang
terbanyak adalah E. coli. Selain E.coli, penyebab lainnya adalah Microaerophilic
streptococci, Anaerobic streptococci, Klebsiella pneumonia, bacteroides,
fusobacterium, Staphylococcus aureus, Staphylococcus milleri, Candida albicans,
Aspergillus, Actinomyces, Salmonella typhii, dan fungal. Untuk penetapannya
perlu dilakukan biakan darah, pus, empedu, dan swab secara anaerob maupun
aerob. 1,6
Sebagian besar dari AHP merupakan infeksi sekunder yang berasal dari
abdomen. Pada era pre-antibiotik, AHP terjadi akibat komplikasi appendicitis.
Bakteri patogen melalui arteri hepatika atau melalui sirkulasi vena portal masuk
ke dalam hati, sehingga terjadi bakteremia sistemik ataupun menyebabkan
komplikasi infeksi intra abdominal. Pada saat ini, karena pemakaian antibiotik
yang adekuat sehingga AHP karena appendicitis sudah hampir tidak ada lagi. Saat
ini, terdapat peningkatan insidensi AHP akibat komplikasi dari sistem biliaris,
yaitu langsung dari kantung empedu atau melalui saluran-saluran empedu seperti
kolangitis dan kolesistitis. Pileflebitis (thrombosis supuratif vena porta), biasanya
muncul dari adanya infeksi pada pelvis tetapi terkadang juga berasal dari cavitas
peritoneal lainnya, yang menjadi sumber penyebab awal berkembangnya bakteri
di hepar. Juga AHP disebabkan akibat trauma tusuk atau tumpul, dan kriptogenik
pada 15% kasus. 1,2,6,7

10
3.1.3 Patogenesis

Abses Hati Amebik

Ada beberapa mekanisme yang telah dikemukakan


untuk menjelaskan patogenesis AHA, antara lain:
faktor virulensi parasit yang menghasilkan toksin,
ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi parasit,
imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen
permukaan dan penurunan imunitas cell-mediated. 5

Secara genetik, E. histolytica dapat menyebabkan


invasi tetapi tergantung pada interaksi yang
kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran cerna terutama pada flora
bakteri. Mekanisme terjadinya AHA5:
1. Penempelan E. histolytica pada mukus usus
2. Pengerusakan sawar intestinal. Sejumlah faktor virulensi dikaitkan dengan
kemampuan E. histolytica menginvasi epitel interglanduler. Salah satunya
terdiri dari sistein ekstraseluler proteinase yang mendegradasi kolagen, elastin,
IgA, IgG, dan anafilatoksin C3a dan C5a. Enzim lainnya dapat menggangggu
hubungan glikoprotein dengan sel epitel mukosa pada usus.
3. lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun cell-
mediated yang disebabkan enzim atau toksin parasit. Amoeba dapat melisiskan
neutrofil, monosit, limfosit, dan sel epitel intestinal.
4. penyebaran amoeba ke hepar. Penyebaran amoeba dari usus ke hepar sebagian
besar melalui vena porta. Inokulasi dari amoeba ke sistem portal menghasilkan
infiltrate akut seluler yang didominasi oleh neutrofil. Kemudian, neutrofil lisis
dengan adanya kontak terhadap amoeba, dan pengeluaran dari toksin neutrofil
menyebabkan terjadinya nekrosis hepatosit. Terjadi fokus akumulasi neutrofil
periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar,
bersatu dan granuloma diganti dengan jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini
dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa.

11
Gambar. Siklus hidup E. hystolitica pada Amebiasis. 6
AHA lebih sering mengenai lobus kanan hepar superoanterior, dekat dengan
diafragma. Biasanya lesinya soliter, tetapi dapat pula multiple dan terjadi pada
kedua lobus. 4 AHA dapat terjadi berbulan atau tahun setelah terjadinya amebiasis
intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat disentri
amebiasis. 1

b. Abses hati piogenik


Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari6 :
1. Vena porta, yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, dapat menyebabkan
fileplebitis porta atau emboli septik
2. Saluran empedu merupakan sumber infeksi yang tersering. Kolangitis
septik dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga batu
empedu, kanker, striktura saluran empedu ataupun anomali saluran
empedu kongenital.
3. infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti
abses perinefrik, kecelakaan lalu lintas.
4. Septisemia atau bakteremia akibat infeksi di tempat lain.
5. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang
lanjut usia.
Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibandingkan lobus kiri,
hal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari

12
a.mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima
darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. 1

3.1.4 Manifestasi Klinis


a. Abses Hati Amebik
Sebagian besar dari pasien mengalami demam dan nyeri perut
kuadran kanan atas, dengan sifat nyeri yang tumpul seperti ditekan, atau
pleuritik, dan dapat menjalar ke bahu. Nyeri tekan pada daerah hati dan
efusi pleura kanan biasa terjadi. Jarang terjadi ikterus. Meskipun lokasi
infeksi awalnya pada kolon, kurang dari sepertiga pasein AHA mengalami
diare aktif sebelumnya. Pada pasien yang lebih tua dari area endemik
seringkali mengalami gejala subakut selama 6 bulan, dengan penurunan
berat badan dan hepatomegali.5
Cara timbulnya abses hati amebik biasanya tidak akut, menyusup
yaitu terjadi dalam waktu lebih dari 3 minggu. Demam ditemukan hampir
pada seluruh kasus. Terdapat rasa sakit di perut atas yang sifatnya seperti
ditekan atau ditusuk. Rasa sakit akan bertambah bila penderita berubah
posisi atau batuk. Penderita merasa lebih enak bila berbaring sebelah kiri
untuk mengurangi rasa sakit. Selain itu dapat pula terjadi nyeri dada kanan
bawah atau nyeri bahu bila abses terletak dekat diafragma dan nyeri di
epigastrium bila absesnya di lobus kiri. 6
Anoreksia, mual, muntah, perasaan lemah badan, dan penurunan
berat badan merupakan keluhan yang biasa didapatkan. Batuk-batuk dan
gejala iritasi diafragma juga bisa dijumpai walaupun tidak ada ruptur abses
melalui diafragma. Ikterus tidak biasa ada, dan jika ada, ia bersifat ringan.
Nyeri pada area hepar bisa dimulai sebagai pegal, kemudian menjadi tajam
menusuk. Alkohol membuat nyeri memburuk dan juga perubahan sikap.
Pembengkakan bisa terlihat dalam epigastrium atau penonjolan sela iga.
Nyeri tekan hati benar-benar menetap. Limpa tidak membesar. 1,6
b. Abses hati Pyogenik
Manifestasi sistemik AHP biasanya lebih berat dari pada AHA.
Dicurigai adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klasik berupa
nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk
ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasya. Setelah era pemakaian
antibiotik yang adekuat, presentasi klinis AHP seringkali tersembunyi,
terutama pada pasien yang lebih tua, manifestasinya adalah malaise,
demam yang tidak terlalu tinggi dan nyeri tumpul pada abdomen yang
menghebat dengan adanya pergerakan. Apabila abses hati piogenik
letaknya dekat dengan diafragma, maka akan terjadi iritasi diafragma
sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk maupun atelektasis.

13
Gejala lainnya adalah rasa mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan,
terjadi penurunan berat badan yang unintentional kelemahan badan, buang
air besar berwarna seperti kapur dan buang air kecil berwarna lebih gelap.
1,6

Pemeriksaan fisis yang didapatkan febris yang summer-summer


hingga demam tinggi, pada palpasi terdapat hepatomegali serta perkusi
terdapat nyeri tekan hepar, yang diperberat dengan adanya pergerakan
abdomen, splenomegali didapatkan apabila AHP telah menjadi kronik,
selain itu bisa didapatkan asites, ikterus, serta tanda-tanda hipertensi
portal. 1

A. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorim didapatkan lekositosis dengan
pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, peningkatan
alkali fosfatase, peningkatan enzim transaminase, dan serum bilirubin,
berkurangnya konsenterasi albumin serum dan waktu protrombin yang
memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati yang
disebabkan AHP. Tes serologi yang digunakan antara lain indirect
Hemaglutination (IHA), counter immunoelectrophoresis (CIE), dan
ELISA. Yang banyak dilakukan adalah tes IHA. Titer 1:128 bermakna
untuk diagnosis amoebiasis invasif. Kultur darah yang memperlihatkan
bakterial penyebab menjadi gold standard untuk menegakkan diagnosis
secara mikrobiologik.1,2
b. Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan foto toraks, dan foto polos abdomen ditemukan
diafragma kanan meninggi, efusi pleura, atelektasis basiler, empiema atau
abses paru. pada foto toraks PA, sudut kardiofrenikus anterior tertutup,
pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup. Di bawah
diafragma, terlihat bayangan udara atau air fluid level. Abses lobus kiri
akan mendesak kurvatura minor. Secara angiografik, abses merupakan
daerah avaskular. 1,6
Pemeriksaan penunjang yang lain yaitu abdominal CT-scan atau
MRI, USG abdomen dan biopsy hati, kesemuanya saling menunjang
sehingga memiliki diagnostik semakin tinggi. CT-scan abdomen memiliki
sensitivitas 95-100% dan dapat mendeteksi luasnya lesi hingga kurang dari
1 cm. USG Abdomen memiliki sensitivitas 80-90%.1,6

14
Gambar . Gambaran CT-scan menunjukkan abses hepar amoebik
pada lobus kanan hepar. Abses tampak sebagai lesi hipodens berbentuk
bulat atau oval dengan tepi ireguler.5

Perbedaan gambaran USG dan CT-Scan


Abses kista
USG Lesi hipoheohid dan dengan lesi Lesi anheohid (hitam)
kompleks Dinding tipis (regular)
Dinding tebal dengan batas tidak
tegas
CT-Scan Dinding tebal Dinding tipis
dengan
kontras

3.1.5 Diagnosis

a. Abses Hepar Amoebik


Untuk diagnosis AHA dapat digunakan kriteria Sherlock (1969), kriteria
Ramachandran (1973) atau kriteria Lamont dan Pooler.
Kriteria Sherlock:

15
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amoebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
Kriteria Ramachandran (bila didapatkan 3 atau lebih dari):
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respon terhadap terapi amoebisid
Kriteria lamont dan Pooler (bila didapatkan 3 atau lebih dari ):
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amoebik
5. Tes serologic positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respon yang baik dengan terapi amoebisid
b. Abses hepar pyogenik
Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan laboratories serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang
sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Sedangkan
diagnosis dini memberikan arti penting dalam pengelolaan AHP karena penyakit
ini dapat disembuhkan. Sebaliknya diagnosis dan Pengobatan yang terlambat akan
meningkatkan angka kejadian morbiditas dan mortalitas. Diagnosis dapat
ditegakkan bukan hanya dengan CT-scan saja, meskipun pada akhirnya dengan
CT-scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP, demikian
juga dengan tes serologis. Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan

16
menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini
merupakan gold standard untuk diagnosis. 1

3.1.4 Diagnosis Banding


Banyaknya variasi dari manifestasi gejala dan klinis, diagnosis abses
hepar amoebik dapat dibingungkan dengan penyakit paru atau kandung empedu
atau penyakit demam lainnya dengan sedikit tanda yang terlokalisir, seperti
malaria atau demam typhoid. Sejak radiologi telah mampu mendiagnosis adanya
abses hepar, yang paling penting pada diagnosis banding apakah abses heparnya
amoebik atau pyogenik. Abses pyogenik biasanya tejadi pada orang tua dan
memiliki riwayat penyakit pencernaan yang mendasari atau riwayat baru operasi.
Tes serologi amoebik dapat membantu, tetapi aspirasi pus dengan pewarnaan
Gram dan kultur pus, mungkin dibutuhkan untuk membedakan keduanya.7

3.1.5 Penatalaksanaan
o Tirah baring, diet tinggi kalori tinggi protein. 7
o Pada AHA: metronidazole 4 x 500-750 mg/hari selama 5-10 hari.
Metronidazol merupakan pilihan utama pada AHA. Nitroimidazol
kerja lambat ( tinidazol dan ornidazol) efektif sebagai terapi dodis
tunggal pada negara berkembang. Dengan diagnosis dan terapi lebih
dini, angka mortalitas dari AHA yang belum berkomplikasi <1%. 1,3,4,6
o Pada abses pyogenik : antibiotika spectrum luas, dan termasuk
ampicillin dan aminoglikosida (bila dicurigai sumber infeksi dari
bilier) atau golongan sefalosporin generasi ketiga (bila dicurigai
sumber infeksi berasal dari kolon), dan sebagai tambahan
metronidazol, untuk organism anaerob,atau sesuai hasil kultur
kuman.3,6
o Drainase cairan abses terutama pada kasus yang gagal dengan terapi
konservatif atau bila abses berukuran besar (>5 cm) . (papdi) Indikasi
aspirasi pada abses hepar yaitu (1) untuk menyingkirkan adanya abses

17
pyogenik, biasanya pada pasien dengan lesi multiple, (2) tidak adanya
respon terapi selama 3-5 hari, (3) ancaman terjadi ruptur, (4)mencegah
ruptur abses hepar lobus kiri ke perikard. Tidak ada bukti bahwa
dengan aspirasi, sekalipun abses yang besar, >10 cm dapat
mempercepat penyembuhan. Drainase perkutaneus dapat berhasil
meskipun abses hati baru saja ruptur. Pembedahan harus dipersiapkan
jika terjadi perforasi dan ruptur abses ke perikard. 3,6
3.1.6 Komplikasi
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit yang
berat, seperti septikemia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati
disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan
pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia,
empiema, ruptur ke dalam perikard atau retroperitoneum.1
3.1.7 Prognosis

Prognosis penyakit ini ditentukan oleh virulensi parasit, status imunitas


dan keadaan nutrisi penderita, usia penderita (lebih buruk pada usia tua), cara
timbulnya penyakit, tipe akut mempunyai prognosis lebih buruk, letak abses di
lobus kiri dan multiple memiliki prognosis lebih buruk. 1

Mortalitas AHP yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial


penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16%. Prognosis yang buruk
apabila terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobatan. jika hasil kultur darah
yang memperlihatkan bakterial penyebab multiple, tidak dilakukan drainase
terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural, atau adanya
penyakit lain. 1

18
BAB IV

ANALISIS KASUS
Seorang perempuan 36 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut
kanan atas yang dialami sejak ± 1bulan SMRS, nyeri terasa tertusuk-tusuk
tembus kebelakang dan menjalar ke daerah uluhati. Nyeri bertambah saat OS
posisi tegak sehingga OS duduk membungkuk untuk mengurangi nyeri. Ada
demam dialami sejak 1 hari SMRS, ada menggigil. Riwayat penyakit sebelumnya
OS sering mengalami nyeri perut kanan atas yang dialami sejak ± 1 bulan
dirasakan hilang timbul. Riwayat demam juga sudah dirasakan sejak ± 1 bulan
dirasakan hilang timbul.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan sakit ringan, gizi lebih, composmentis.
Tekanan darah : 100/70 mmHg, nadi: 92 x/menit, reguler Pernapasan : 20
x/menit, tipe thoracoabdominal, suhu axilla: 38,60C. nyeri tekan hipokondrium
dextra dan nyeri tekan epigastrium, hepar teraba 3 jari BAC tepi tumpul.

Hasil pemeriksaan USG abdomen kesan Hepatomegaly dengan abses hepar lobus
kanan 8,2 x 8,3 cm2.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang maka


pasien ini kami diagnosis abses hepar.

19
BAB V
KESIMPULAN
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah di dalam parenkim hati. Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati
amuba dan abses hati piogenik.

Tanda lokal yang paling sering adalah nyeri spontan dan nyeri tekan perut
kanan atas, di daerah lengkung iga dengan hepar yang membesar. Kadang nyeri
ditemukan di daerah bahu kanan akibat iritasi diafragma. Hepatomegali dan nyeri
biasanya ditemukan, tetapi jarang sekali disertai ikterus, prekoma atau koma. Bila
lobus kiri yang terkena, akan ditemukan massa di daerah epigastrium. Gejala khas
adalah suhu tubuh yang tidak lebih dari 38,5°C. Penderita tak kelihatan sakit berat
seperti pada abses karena bakteria. Pada pemeriksaan laboratorium Jumlah
leukosit berkisar antara 5.000 dan 30.000, tetapi umumnya antara 10.000-12.000.
Kadar fosfatase alkali serum meningkat pada semua tingkat abses amuba

Pada foto rontgen pasien dengan abses hati amuba dapat terlihat kubah
diafragma kanan meninggi, efusi pleura, abses paru dan atelektasis. Pemeriksaan
ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang penting untuk membantu diagnosis
serta menentukan lokasi abses dan besarnya. Gambaran ultrasonografi pada
amebiasis hati adalah Bentuk bulat atau oval, tidak ada gema dinding yang
berarti, ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal, bersentuhan dengan
kapsul hati, peninggian sonik distal (distal enhancement). 1

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Wenas, Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam : Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. edisi 4 Editor Sudoyo AW, Setiohadi B,
Alwi I, dkk. Internal publishing. Jakarta; 2007: 415- 9, 460-1.

2. Iida H, Aihara T, Ikuta S, Yamanaka N. Risk of abscess formation after


liver tumor radiofrequency ablation: A review of 8 cases with a history of
enterobiliary anastomosis. Hepatogastroenterology 2014;61:1867–1870.

3. Sylvia a. Price.(2006). Gangguan System Gastro Intestinal, dalam buku


Patofiologi.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteranm EGC. Halaman 472-
474.

4. Sherwood, Lauralee. Sistem Pencernaan. Dalam: Fisiologi Manusia dari


Sel ke Sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.

21

Anda mungkin juga menyukai