Anda di halaman 1dari 9

HALUSINASI

a. DEFINISI
Halusinasi adalah perubahan persepsi sensori : keadaan dimana indifidu atau
kelompok mengalami atau beresiko mengalami suatu perubahan dalam jumlah, pola atau
interpretasi stimulus yang datang ( Carpenito, 2000).
Halusinasi adalah gangguan persepsi dimana klien mempersiapkan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar,
keyakinan tentang halusinasi adalah sejauh mana pasien itu yakin bahwa halusinasi
merupakan kejadian yang benar, umpamanya mengetahui bahwa hal itu tidak benar, ragu-
ragu/ yakin sekali baha hal itu benar adanya (Maramis, 2004).

b. JENIS-JENIS
Jenis-jenis halusinasi menurut Stuart dan Sundeen (2001) meliputi:
a. Halusinasi pendengaran (akustik)
Karakteristik: mendengar suara-suara/ bisikan-bisikan, paling-paling suara orang,
suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara
tentang klien, bahkan percakapan lengkap antara dua orang atau lebih tentang orang yang
mengalami halusinasi pikiran yang mendengar perkataan bahwa pasien disuruh untuk
melakukan sesuatu kadang-kadang membahayakan.
b. Halusinasi penglihatan (visual)
Karakteristik: stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometri, gambar
kartun, bayangan yang rumit/ kompleks, bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan
seperti melihat monster.
c. Halusinasi penghidu
Karakteristik: membau bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin atau feses,
umumnya bau-buan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke,
tumor, kejang/ dimensi.
d. Halusinasi pengecapan
Karakteristik: merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses
e. Halusinasi perabaan
Karakteristik: mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas rasa
kesetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati, atau orang lain.
f. Halusinasi canesthetic
Karakteristik: merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau di arteri,
pencernaan makanan atau pembentukan urin.
g. Halusinasi klinesthetic
Karakteristik: merasa pergerakan sementara bergerak tanpa berhenti.
c. TANDA DAN GEJALA
Menurut Towsend (1998) karakteristik perilaku yang dapat ditunjukkan klien dan
kondisi halusinasi berupa:
 Data subyektif
Klien mendengar suara atau bunyi tanpa stimulus nyata, melihat gambaran tanpa
stimulus yang nyata, mencium bau tanpa stimulus yang nyata, merasa makan sepatu,
merasa ada sesuatu pada kulitnya, takut terhadap suara atau bunyi yang didengarnya, ingin
memukul dan melempar barang.
 Data obyektif
Klien berbicara, tersenyum dan tertawa sendiri, pembicaraan kacau dan kadang tidak
masuk akal, tidak dapat membedakan hal yang nyata dan yang tidak nyata, menarik diri dan
menghindar dari orang lain, disorientasi, tidak dapat memusatkan perhatian atau konsentrasi
menurun, perasaan curiga, takut, gelisah, bingung, ekspresi muka tegang, muka merah dan
pucat, tidak mampu melakukan aktivitas mandiri dan kurang bisa mengontrol diri,
menunjukkan perilaku, merusak diri dan lingkungan.

d. FASE
Fase pada halusinasi dibagi menjadi:
a. Fase comforting (ansietas sebagai halusinasi menyenangkan)
Klien mengalami ansietas sedang dan halusinasi yang menyenangkan. Klien
mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah, takut, dan
mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan, untuk meredakan ansietas.
Individu mengalami bahwa pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali
sensori.
Perilaku klien: menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam
dan asyik sendiri, respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
b. Fase condemning (ansietas berat halusinasi memberatkan)
Pengalaman sensori yang menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali
dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang
dipersiapkan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan
menarik diri dari orang lain psikotik ringan.
Perilaku klien: meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas
seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah. Rentang perhatian
menyempit, asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realita.
c. Fase controlling (ansietas berat pengalaman sensori menjadi berkuasa)
Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada
halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik, klien mungkin mengalami
pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti psikotik.
Perilaku klien: kemampuan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti
kesukaran berhubungan dengan orang lain. Rentang perhatian hanya beberapa detik
atau menit adanya tanda-tanda fisik. Ansietas berat: berkeringat, tremor, tidak mampu
mematuhi peraturan.
d. Fase conquering panik (umumnya menjadi lebur dalam halusinasi)
Pengalaman sensori jadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi.
Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi terapeutik
psikotik berat.
Perilaku klien: perilaku tremor akibat panik, potensi kuat suicida/ nomicide aktifitas
fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau
katatonia tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks, tidak mampu
berespon lebih dari satu orang (Stuart dan Laraia, 2001).
Berdasarkan tingkat intensitas, halusinasi dibagi ke dalam beberapa fase tahapan (
Stuart dan Sundeen, 1995 : 328 ) :
1. Tahap I : Menyenangkan – Ansietas tingkat sedang.
 Tingkat : Secara umum halusinasi bersifat menyenangkan
 Karakteristik Orang yang berhalusinasi mengalami keadaan emosi seperti ansietas,
kesepian, merasa bersalah, dan takut serta mencoba untuk memusatkan pada
penenangan pikiran untuk mengurangi ansietas, individu mengetahui bahwa pikiran
dan sensori yang dialami tersebut dapat dikendalikan jika ansietasnya bisa diatasi
(Non Psikotik).
 Prilaku klien
o Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai.
o Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara.
o Gerakan mata yang cepat.
o Respon verbal yang lamban.
o Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikkan.
2. Tahap II : Menyalahkan – Ansietas tingkat berat.
 Tingkat
Secara umum halusinasi menjijikkan.
 Karakteristik
Pengalaman sensori bersifat menjijikkan dan menakutkan, orang yang berhalusinasi
mulai merasa kehilangan kendali dan mungkin berusaha untuk menjauhkan dirinya
dari sumber yang dipersepsikan, individu mungkin merasa malu karena pengalaman
sensorinya, dan menarik diri dari orang lain ( Non Psikotik ).
 Perilaku klien
o Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas, misal peningkatan
tanda – tanda vital.
o Penyempitan kemampuan konsentrasi
o Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan untuk
membedakan antara halusinasi dengan reali
3. Tahap III : Mengendalikan – Ansietas tingkat berat
 Tingkat Pengalaman sensori menjadi penguasa
 Karakteristik Orang yang berhalusinasi menyerah untuk melawan pengalaman
halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya, isi halusinasi dapat berupa
permohonan, individu mungkin mengalami kesepian jika pengalaman sensori tersebut
berakhir (Psikotik).
 Perilaku klien
o Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya dari pada
menolaknya.
o Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain.
o Rentang perhatian hanya beberapa menit.
o Gejala fisik ansietas berat (berkeringat, tremor, ketidakmampuan untuk
mengikuti petunjuk).
4. Tahap IV : Menaklukkan – Ansietas tingkat panik
 Tingkat Secara umum halusinasi menjadi lebih rumit dan saling terkait dengan delusi.
 Karakteristik
Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah,
halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau beberapa hari bila tidak ada
intervensi terapeutik (Psikotik).
 Prilaku klien
o Perilaku menyerang seperti panik.
o Potensial melakukan bunuh diri.
o Amuk, agitasi, menarik diri, dan katakonik.
o Tidak mampu berespon terhadap lingkungan

5. PSIKOPATOLOGI
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi. Bentuk
halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang paling
sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna.
Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sendiri atau yang
dialamatkan pada pasien itu, akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara
halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap mendengar atau bicara-bicara
sendiri atau bibirnya bergerak-gerak. Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum
diketahui. Banyak teori yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik,
fisiologik dan lain-lain.
Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir
oleh aliran stimulus yang yang datang dari dalam tubuh ataupun dari luar tubuh. Input ini
akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke alam sadar.Bila input ini
dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan normal atau
patologis, maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau preconscius bisa
dilepaskan dalam bentuk halusinasi. Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai
dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah
retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan
keluar dalam bentuk stimulus eksterna. (Siti Saidah Nasution, 2003).
Resiko tinggi mencederai diri, orang lain, dan

Defisit perawatan diri


Perubahan persepsi sensori: halusinasi

Malas beraktivitas Isolasi sosial

Harga diri rendah kronis

Inefektif koping individu Inefektif koping keluarga

6. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan pada pasien dengan halusinasi adalah:
a. Pemeriksaan gejala klinis
 Data subyektif
Klien mendengar suara atau bunyi tanpa stimulus nyata, melihat gambaran tanpa
stimulus yang nyata, mencium bau tanpa stimulus yang nyata, merasa makan sepatu,
merasa ada sesuatu pada kulitnya, takut terhadap suara atau bunyi yang didengarnya, ingin
memukul dan melempar barang.
 Data obyektif
Klien berbicara, tersenyum dan tertawa sendiri, pembicaraan kacau dan kadang tidak
masuk akal, tidak dapat membedakan hal yang nyata dan yang tidak nyata, menarik diri dan
menghindar dari orang lain, disorientasi, tidak dapat memusatkan perhatian atau konsentrasi
menurun, perasaan curiga, takut, gelisah, bingung, ekspresi muka tegang, muka merah dan
pucat, tidak mampu melakukan aktivitas mandiri dan kurang bisa mengontrol diri,
menunjukkan perilaku, merusak diri dan lingkungan.
b. Pemeriksaan fisik
 Sistem integumen: terdapat gangguan kebersihan kulit, tampak kotor, terdapat bau
badan. Hal tersebut dikarenakan kurangnya perawatan diri.
 Sistem saraf: kemungkinan terdapat gejala ekstra piramidal seperti tremor, kaku dan
lambat. Hal tersebut dikarenakan efek obat anti psikotik.
 Sistem panca indra: ditemukan ada halusinasi dengar, penglihatan, perabaan,
penghidu, dan lain-lain. Karena klien mengalami gangguan afeksi dan kognisi
sehingga tidak mampu membedakan stimulus internal dan eksternal akibat
kecemasan yang meningkat.
 Pemeriksaan TTV umumnya normal.
c. Pemeriksaan penunjang
 Hospitalisasi perawatan rumah sakit
 Pemberian obat-obatan seperti halkoperidol, cpz, diazepam, amitriptylin, dan lain-lain
 Terapi ECT, merupakan kejang listrik dan pengobatan fisik dengan mengunakan arus
listrik antara 70-150 volt
 Psikotrapi (menurut Dadang Hawari,2001)
o Psikoanalisa psikoterapi
Tujuan psikoterapi
- Menurukan rasa takut klien
- Mengembalikan proses pikiran yang luhur
o Psikoterapi Re-edukatif memberikan pendidikan ulang yang maksudnya
memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu dan juga mengubah pola
pendidikan yang lama dengan yang baru sehingga penderita lebih adaftif
dengan dunia luar.
o Psikoterapi rekonstruktif memperbaiki kembali (re-konstruksi) kepribadian yang
telah mengalami keretakan menjadi kepribadian yang utuh seperti semula
sebelum sakit.
o Psikoterapi Kognetif : memulihkan kembali fungsi kognitif ( daya pikir dan daya
ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika,
mana yang baik dan yang buruk, yang boleh dan tidak.
o Psikoterapi Psiko-dinamik : menganalisa dan menguraikan proses dinamika
kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya untuk
mencari jalan keluarnya.
o Psikoterapi Perilaku : memulihkan ganguan perilaku yang terganggu
(maladaptife) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri).
o Psikoterapi keluarga ; memulihkan hubungan penderita dengan keluarganya.
o Terapi psikososial : dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi
dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri
tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga
dan masyarakat.
o Terapi Psikoreligius : dimaksudkan agar keyakinan atau keimanan penderita
dapat di pulihkan kembali.

7. PENGKAJIAN
Pada tahap ini perawat menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :
a. Faktor predisposisi.
Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat
dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien maupun
keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan
genetik yaitu faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat
dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
 Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu
maka individu akan mengalami stress dan kecemasan
 Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh
kesepian terhadap lingkungan tempat klien di besarkan.
 Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang
berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat
bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP)
 Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang
bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan
yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas.
 Faktor genetik
Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
pada penyakit ini.
b. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman/tuntutan
yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering
yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang
ada dilingkungan juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya
halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang
merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
c. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak
aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins
dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakekat
keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-
psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu :
 Dimensi Fisik Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh
beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,
demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang
lama.
 Dimensi Emosional Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah
tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan
tersebut.
 Dimensi Intelektual Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi
merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh
perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
 Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan
untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan
tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang
tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu
tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain
individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan
intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang
menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien
tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi
tidak berlangsung.
 Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia
lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu tersebut cenderung
menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan
keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat
halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya.
d. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat
mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber
koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan
keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang
menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
e. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian
masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri

Anda mungkin juga menyukai