PENDAHULUAN
1
Tingginya insidensi dan angka kematian pada gagal jantung kongestif
sesuai dengan data tersebut menunjukkan bahwa kasus gagal jantung
kongestif memerlukan perhatian lebih di kalangan masyarakat. Untuk itu
diperlukan pemahaman lebih lanjut mengenai gagal jantung kongestif ini.
Maka dari itu, laporan kasus kali ini akan membahas lebih lanjut mengenai
penyakit gagal jantung kongestif.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. Identifikasi
Nama lengkap : Ny. Y
Umur : 61 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Lorong Sederhana Bagus Kuning,
Palembang
2
Pendidikan Terakhir : SMP
Pekerjaan : Pedagang
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
No. RM : 12.11.23
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 1 Febuari 2019
3
Riwayat Alergi : tidak ada
Keadaan Spesifik:
1. Kulit
Warna sawo matang, ikterus kulit tidak ada, kulit teraba hangat, sianosis
tidak ada.
4
Kelenjar getah bening submandibular, leher, axilla, dan inguinal tidak ada
pembesaran, nyeri tekan tidak ada.
3. Kepala :
Bentuk bulat, simetris, deformitas tidak ada, nyeri tekan tidak ada.
4. Mata :
Eksoftalmus tidak ada, hiperemis palpebra kedua mata tidak ada,
konjungtiva palpebra kedua mata pucat tidak ada, sklera ikterik kedua
mata ada, pupil isokor, refleks cahaya baik, penglihatan kabur tidak ada,
gerakan bola mata ke segala arah dan simetris, lapangan penglihatan
baik.
5. Telinga
Liang telinga tidak ada kelainan.
6. Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, deviasi septum tidak ada, tidak ditemukan
adanya penyumbatan dan perdarahan, pernapasan cuping hidung tidak
ada.
7. Mulut
Lidah tidak tampak rhagaden, gusi berdarah tidak ada, stomatitis tidak
ada, tonsil tidak ada pembesaran.
8. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada, pembesaran kelenjar tiroid
tidak ada, JVP 5-2 cmH2O
9. Katanemia
5
Menarche: usia 14 tahun
Haid:
- Teratur/tidak : teratur
- Lama : 5-7 hari
- Jumlah : 2x ganti pembalut
- Nyeri/tidak : tidak
Leukorrhea : tidak ada
Gejala klimaterium : tidak ada
Sakit kepala : tidak ada
10. Thorax
a. Paru Depan
- Inspeksi
Simetris : kanan dan kiri sama
Dinamis : tidak ada yang tertinggal, retraksi subcostal (+), sela
iga melebar (-), benjolan (-).
- Palpasi : Stem fremitus sama pada kanan dan kiri, benjolan (-).
- Perkusi : sonor paru kanan dan kiri, nyeri ketok (-), batas paru
hepar bisa dinilai.
- Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+),wheezing (-/-).
b. Paru Belakang
- Inspeksi
Simetris : kanan dan kiri sama
Dinamis : tidak ada yang tertinggal, sel iga melebar (-), benjolan
(-).
- Palpasi : Stem fremitus sama pada kanan dan kiri, benjolan (-).
- Perkusi : sonor paru kanan dan kiri, nyeri ketok (-), batas paru
hepar bisa dinilai.
- Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+),wheezing (-/-).
6
c. Jantung
- Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, Thrill (-).
- Perkusi : Atas : ICS II linea parasternalis dextra et sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Kiri : ICS VI linea axilaris anterior sinistra
- Auskultasi : HR : 102/menit, bunyi jantung I dan II (+) normal,
murmur (-), gallop (-)
11. Abdomen
a. Inspeksi : Datar, simetris, distensi (-), caput medusa (-), spider
naevi (-), benjolan(-)
b. Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-)
c. Perkusi : Tympani (+), undulasi (-), shifting dullness (-)
d. Auskultasi: Bising usus (+) normal.
13. Ekstremitas
- Superior : Kedua ekstremitas atas tampak ikterik, palmar eritem (-),
nyeri otot dan sendi (-), gerakan ke segala arah, kekuatan
5, jari tabuh (-), eutoni, atrofi (-), tremor (-), edema pada
kedua lengan dan tangan (-), teraba hangat.
- Inferior : Kedua ekstremitas bawah tampak ikterik, nyeri otot dan
sendi (-), kekuatan 5, eutoni, atrofi (-) hiperpigmentasi (-),
jari tabuh (-), edema pretibia pada kedua tungkai (-),
teraba hangat.
1. Laboratorium
7
(Tanggal 2 Februari 2019)
Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal
Hematologi
Hemoglobin 13.4 11,7-15,5 g/dl
Leukosit 8300 4000-11000/cmm
Trombosit 154.000 150.000-400.000 /ul
Hematokrit 38.1 35-47%
Hitung jenis
-Basofil 0.0 1.0 – 1.0 %
-Eosinofil 8.5 2.0 – 3.0 %
-Neutrofil 72.4 40.0 – 60.0 %
-Limfosit 12.5 20.0 – 50.0 %
-Monosit 6.6 2.0 – 8.0 %
Kimia darah
GDS 327 < 180
Trigliserida 75 < 160
Kolesterol Total 136 < 200
HDL Kolesterol 53 < 45-100
LDL kolesterol 68 < 100
Ureum 25 < 10 - 50
Kreatine 0.8 < 0.6 – 1.50
Na 136 >135
K 4.4 3.5 – 5.5
CKMB 39 <25
CKP 454 <190
8
BTA 1 Negatif Negatif
BTA 2 Negatif Negatif
BTA 3 Negatif Negatif
Kesan:
- HR Reguler ( 107 x/menit)
- Sinus ryntem
- Axis normal
- Left bundle branch block
- Left Ventrikel Hipertrofi
3. Pemeriksaan Echokardiografi (ECG)
Tanggal 1 Februari 2019
9
10
Kesan: LV Dilatasi
4. Pemeriksaan Radiologi
Tanggal 06 Febuari 2019
11
Hasil Pemeriksaan :
Cor membesar
Pulmo: Infiltrat paracardinal kanan, sefalisasi
Diagfragma kanan kiri licin
Sinus Kostofrenikus kanan dan kiri lancip
Tulang – tulang intak
Soft tissue baik
Kesan :
Kardiomegali
Congestif Pulmonal
KP Aktif
2.5. Resume
Pasien datang ke IGD RSMP dengan keluhan sesak nafas sejak ± 3 hari
SMRS. Sesak nafas dirasakan semakin lama semakin memberat dan dipengaruhi
aktivitas. Sesak nafas juga dirasakan pada saat berbaring, dan akan berkurang bila
pasien duduk, sehingga pasien tidur menggunakan 2 – 3 bantal. Sesak tidak
disertai bunyi mengi dan tidak dipengaruhi oleh cuaca.
Pasien mengaku adanya nyeri dada seperti tertimpa benda berat dan rasa
berdebar - debar. Nyeri dada juga dirasakan menjalar ke punggung pasien. Pasien
juga mengeluh adanya batuk berdahak yang berwarna putih, mual, muntah, nyeri
ulu hati, penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan. Os menyangkal
adanya pembengkakan pada kaki. BAK dan BAB biasa. Keluhan ini baru pertama
kali dirasakan oleh pasien. Riwayat darah tinggi dan kencing manis tak terkontrol
(+).
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 140/80 mmHg 120/80 mmHg.
Nadi : 98 x/menit 88 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan
12
cukup
Pernafasan : 32x/menit 28 x/menit, irama reguler, tipe
thorakoabdominal
Suhu : 36.8oC 36.7oC
Pulmo:
- Inspeksi
Simetris : kanan dan kiri sama
Dinamis : tidak ada yang tertinggal, retraksi subcostal (+), sela iga melebar
(-), benjolan (-).
- Palpasi : Stem fremitus sama pada kanan dan kiri, benjolan (-).
- Perkusi : sonor paru kanan dan kiri, nyeri ketok (-), batas paru hepar bisa
dinilai.
- Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+),wheezing (-/-).
Jantung
- Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, Thrill (-).
- Perkusi : Atas : ICS II linea parasternalis dextra et sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Kiri : ICS VI linea axilaris anterior sinistra
- Auskultasi : HR : 102 x/menit, bunyi jantung I dan II (+) normal, murmur (-),
gallop (-)
13
Ronkhi paru (+)
Kardiomegali (+)
Edema paru akut (-)
Gallop S3 (-)
Peninggian tekanan vena jugularis (-)
Refluks hepatojugular (-)
Kriteria Minor
Edema ekstremitas (-)
Batuk malam hari (+)
Dispneu d’effort (+)
Hepatomegali (-)
Efusi pleura (-)
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal (-)
Takikardi (>120 x/menit) (-)
2.9. Penatalaksanaan
Non Farmakologis
1. Istirahat tirah baring.
14
2. Hindari aktivitas berat
3. Hindari makanan yang tinggi kadar garam
4. Terapi O2 dengan nasocanul 3-5 L/menit
Medikamentosa
1. IVFD RL gtt X x/menit mikro
2. Injeksi Furosemid 2 x 20 mg (iv)
3. Isosorbide dinitrat tab 3 x 5 mg sublingual
4. Simvastatin tab 2 x 20 mg
5. Candesartan tab 1 x 8 mg
6. Digoxin tab 2 x 0.25 mg
7. Aspilet tab 2 x 80 mg
8. Clopidogrel 1 x 75 mg
9. Metformin tab 3 x 500 mg
10. Glucodex tab 1 x 80 mg
11. Injeksi ranitidine 2 x 50 mg (iv)
12. Injeksi cefriakson 2 x 1 gr (iv)
2.10. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : dubia ad malam
2.11. Follow up
4 Februari 2019
O : Keadaan Umum
Sensorium Compos Mentis
Tekanan Darah 120/80 mmHg
Nadi 88 x/m reguler
Frekuensi Pernapasan 28 x/m
Temperatur 36.7 ºC
15
Keadaan Spesifik
Kepala Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)
Thorax Cor :
BJ I/II Normal, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo :
Vesikuler (+) normal, Ronkhi Basah Halus (+) di
kedua paru, Wheezing (-)
Abdomen
Datar, lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien
tidak teraba, tympani, Bising usus (+) normal.
Ekstremitas
Edema pretibial (-)
A : CHF e.c HHD + NSTEMI + DM tipe II +
Pneumonia
P : IVFD RL gtt X x/menit mikro
Injeksi Furosemid 2 x 20 mg (iv)
Isosorbide dinitrat tab 3 x 5 mg
sublingual
Simvastatin tab 2 x 20 mg
Candesartan tab 1 x 8 mg
Digoxin tab 1 x 0.25 mg
Aspilet tab 2 x 80 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
Metformin tab 3 x 500 mg
Glucodex tab 1 x 80 mg
Injeksi ranitidine 2 x 50 mg (iv)
Injeksi cefriakson 2 x 1 gr (iv)
16
5 Februari 2019
S : Sesak napas berkurang, Batuk (+) berdahak, nyeri
dada (+)
O : Keadaan Umum
Sensorium Compos Mentis
Tekanan Darah 130/80 mmHg
Nadi 83 x/m reguler
Frekuensi Pernapasan 24 x/m
Temperatur 36.7 ºC
Keadaan Spesifik
Kepala Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)
Thorax Cor :
BJ I/II Normal, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo :
Vesikuler (+) normal, Ronkhi Basah Halus (+) di
kedua paru, Wheezing (-)
17
Digoxin tab 1 x 0.25 mg
Aspilet tab 2 x 80 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
Metformin tab 3 x 500 mg
Glucodex tab 1 x 80 mg
Injeksi ranitidine 2 x 50 mg (iv)
Injeksi cefriakson 2 x 1 gr (iv)
6 Februari 2019
S : Sesak napas berkurang, Batuk (+) berdahak, nyeri
dada (-)
O : Keadaan Umum
Sensorium Compos Mentis
Tekanan Darah 120/80 mmHg
Nadi 87 x/m reguler
Frekuensi Pernapasan 23 x/m
Temperatur 36.6 ºC
Keadaan Spesifik
Kepala Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)
Thorax Cor :
BJ I/II Normal, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo :
Vesikuler (+) normal, Ronkhi Basah Halus (+) di
kedua paru, Wheezing (-)
18
A : CHF e.c HHD + NSTEMI + DM tipe II +
Pneumonia
P : IVFD RL gtt X x/menit mikro
Injeksi Furosemid 2 x 20 mg (iv)
Isosorbide dinitrat tab 3 x 5 mg
sublingual
Simvastatin tab 2 x 20 mg
Candesartan tab 1 x 8 mg
Digoxin tab 1 x 0.25 mg
Aspilet tab 2 x 80 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
Metformin tab 3 x 500 mg
Glucodex tab 1 x 80 mg
Injeksi ranitidine 2 x 50 mg (iv)
Injeksi cefriakson 2 x 1 gr (iv)
7 Februari 2019
S : Sesak napas (-), Batuk berdahak berkurang, nyeri
dada (-)
O : Keadaan Umum
Sensorium Compos Mentis
Tekanan Darah 130/80 mmHg
Nadi 81 x/m reguler
Frekuensi Pernapasan 23 x/m
Temperatur 36.7 ºC
Keadaan Spesifik
Kepala Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)
Thorax Cor :
BJ I/II Normal, Murmur (-), Gallop (-)
19
Pulmo :
Vesikuler (+) normal, Ronkhi Basah Halus (-) di
kedua paru, Wheezing (-)
8 Februari 2019
S : Sesak napas (-), Batuk berdahak berkurang, nyeri
dada (-)
O : Keadaan Umum
20
Sensorium Compos Mentis
Tekanan Darah 120/70 mmHg
Nadi 78 x/m reguler
Frekuensi Pernapasan 22 x/m
Temperatur 36.7 ºC
Keadaan Spesifik
Kepala Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)
Thorax Cor :
BJ I/II Normal, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo :
Vesikuler (+) normal, Ronkhi Basah Halus (+) di
kedua paru, Wheezing (-)
21
Glucodex tab 1 x 80 mg
Injeksi ranitidine 2 x 50 mg (iv)
OBH syr 3 x 1 cth
R/ pulang hari ini
BAB III
TINJAUAAN PUSTAKA
22
3.1 Jantung
3.1.1 Anatomi Dan Fisiologi Jantung
23
Gambar 2. Sistem Sirkulasi
24
Gambar 3. Preload, Afterload, Kontraktilitas Jantung
3.2.1. Definisi
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang kompleks yang disebabkan
oleh kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi gangguan pada
ejeksi dan pengisian.1 Pada keadaan ini jantung tidak lagi mampu memompa
darah secara cukup ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.2
25
Tabel 3.1.1 Definisi Gagal Jantung
Definisi Gagal Jantung
Gagal Jantung adalah sindroma klinis dimana pasien memiliki ciri-ciri berikut:
1. Simpton yang sering dijumpai pada gagal jantung
(sesak nafas pada saat istirahat atau beraktivitas, fatigue, mudah lelah, edema pretibial)
dan
2. Tanda-tanda yang sering dijumpai pada gagal jantung
(takikardi, takipnoe, ronki basah, effuse pleura, peninggian tekanan vena jugularis, edema
perifer, hepatomegali)
3. Bukti objektif abnormalitas struktural atau fungsional pada saat istirahat
(sumber : ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2008)
3.1.2. Etiologi
Ada beberapa penyebab dimana fungsi jantung dapat terganggu. Yang paling
sering menyebabkan kemunduran dari fungsi jantung adalah kerusakan atau
berkurangnya otot jantung, iskemik akut atau kronik, meningkatnya resistensi
vaskuler dengan hipertensi, atau adanya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF).
Penyakit jantung koroner adalah yang paling sering menyebabkan penyakit
miokard, dan 70% akan berkembang menjadi gagal jantung. Masing -masing 10%
dari penyakit jantung katup dan kardiomiopati akan menjadi gagal jantung juga.
26
(sumber : ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure 2008)
3.2.3. Klasifikasi
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan Mew York Heart Association
(NYHA) 1,3
Klasifikasi Fungsional NYHA
(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari – hari tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas II Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi
aktivitas sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas.
Kelas III Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang
dengan istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari
– hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari tanpa adanya kelelahan.
Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik,
27
keluhan akan semakin meningkat.
Klasifikasi Derajat Gagal Jantung berdasarkan American College of
Cardiology dan American Heart Association 1
3.2.4. Patofisiologi
Gagal jantung dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu (1) gangguan
kontraktilitas ventrikel, (2) meningkatnya afterload, atau (3) gangguan pengisisan
ventrikel. Gagal jantung yang dihasilkan dari abnormalitas pengosongan ventrikel
(karena gangguan kontraktilitas atau kelebihan afterload) disebut disfungsi
sistolik, sedangkan gagal jantung yang dikarenakan oleh abnormalitas relaksasi
diastol atau pengisian ventrikel disebut disfungsi diastolik.5
Pada dasarnya terdapat perbedaan antara gagal jantung sistolik dengan
gagal jantung diastolik). Gagal jantung sistolik disebabkan oleh meningkatnya
volume, gangguan pada miokard, serta meningkatnya tekanan. Sehingga pada
gagal jantung sistolik, stroke volume dan cardiac output tidak mampu memenuhi
kebutuhan tubuh secara adekuat. Sementara itu gagal jantung diastolik
dikarenakan meningkatnya kekakuan pada dinding ventrikel.6
Disfungsi Sistolik
Pada disfungsi sistolik, ventrikel yang terkena mengalami penurunan
kapasitas ejeksi darah karena gangguan kontraktilitas miokard atau tekanan yang
berlebihan (misal, kelebihan afterload). Hilangnya kontraktilitas merupakan hasil
dari destruksi myosit, abnormalitas fungsi myosit, atau fibrosis. Tekanan yang
28
berlebihan mengganggu ejeksi ventrikel dengan adanya peningkatan resistensi
aliran yang signifikan.
Hasil dari disfungsi sistolik adalah menurunnya stroke volume. Jika darah
balik normal dari paru ditambah dengan volume akhir sistolik yang telah
meningkat karena tidak sempurnanya pengosongan ventrikel maka volume bilik
saat diastolik meningkat. Sehingga volume dan tekanan pada akhir diastolik
menjadi lebih tinggi.
Selama diastolik, meningkatnya tekanan ventrikel kiri yang menetap
diteruskan ke atrium kiri (melalui katup mitral yang terbuka) dan juga diteruskan
ke vena dan kapiler pulmonaris. Peninggian tekanan hidrostatik kapiler pulmonal
> 20 mmHg menghasilkan transudasi cairan ke interstisial paru sehingga
menimbulkan gejala kongesti paru.
Disfungsi Diastolik
Sebanyak sepertiga pasien dengan klinis gagal jantung memiliki fungsi
sistolik ventrikel yang normal. Banyak dari mereka menunjukkan abnormalitas
fungsi diastolik ventrikel seperti : gangguan relaksasi awal diastolik,
meningkatnya kekakuan dinding ventrikel, atau keduanya. Iskemik miokard akut
adalah salah satu contoh kondisi yang menghambat pengahntaran energi dan
relaksasi diastolik. Sedangkan hipertrofi ventrikel kiri, fibrosis atau kardiomiopati
restriktif menyebabkan dinding ventrikel kiri menjadi kaku. Pasien dengan
disfungsi diastolik sering menunjukkan tanda kongesti vaskuler karena
paningkatan tekanan diastolik yang diteruskan ke paru dan vena sistemik.5
Disfungsi Diastolik
30
sekuncup menurun dibanding dengan normal dan setiap kenaikan isi sekuncup
pada gagal jantung menuntut kenaikan volume akhir diastolic lebih tinggi
dibandingkan normal. Penurunan isi sekuncup mengakibatkan pengosongan ruang
yang tidak sempurna sewaktu jantung berkontraksi. Sehingga volume darah yang
menumpuk dalam ventrikel semasa diastole lebih tinggi dibanding normal. Ini
sebagai kompensasi karena kenaikan beban awal merangsang isi sekuncup pada
kontraksi berikutnya. 2
Pada gagal jantung, stres pada dinding ventrikel bisa meningkat.
Peninggian stress terhadap dinding ventrikel yang terus menerus merangsang
hipertrofi ventrikel. Kompensasi ini mengurangkan stress didinding. Ini diikuti
tekanan diastolic lebih tinggi dari normal. Dengan demikian tekanan atrium kiri
juga turut meningkat.2
Mekanisme kompensasi mencakup sistem saraf adrenergic, sisitim rennin
angiotensin, peningkatan produksi hormone diuretic untuk penurunan curah
jantung. Mekanisme ini berguna untuk meningkatkan tahanan pembuluh darah
sistemik dan mengurangi setiap penurunan tekanan darah.2
3.2.5. Diagnosa
Kriteria Mayor
1. Paroxysmal nocturnal dyspnoe (PND)
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
31
5. Edema paru akut
6. S3 gallop
7. Peninggian tekana vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dyspnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi
B. Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram (EKG)
Rekaman EKG harus dilakukan pada setiap pasien yang dicurigai dengan
gagal jantung. Perubahan EKG biasanya dijumpai pada pasien yang diduga
mengalami gagal jantung. Abnormalitas dari EKG memiliki nilai prediksi yang
kecil akan adanya gagal jantung. 1
Foto thoraks
Foto thoraks merupakan komponen penting dalam diagnostik gagal
jantung. Pada foto thoraks kita dapat menilai kongesti pulmonal serta dapat
menunjukkan penyebab sesak nafas oleh karena paru atau thoraks.
Foto thoraks digunakan untuk mendeteksi adanya kardiomegali, kongesti
pulmonal dan akumulasi cairan pleura, serta dapat menunjukkan adanya penyakit
paru atau infeksi yang menyebabkan atau yang memperberat sesak nafasnya.
Temuan kongestif bersifat prediktir. Namun kardiomegali bisa tidak dijumpai pada
keadaan akut, tetapi selalu dijumpai pada gagal jantung kronik.1
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan diagnostik yang rutin dilakukan pada pasien gagal jantung
berupa pemeriksaan darah lengkap (hemoglobin, leukosit, dan platelet), elektrolit
32
serum, kreatinin serum, Laju Filtrasi Glomerulus, kadar glukosa, tes fungsi hati,
dan urinalisa. Abnormalitas elektrolit atau hematologis tidak sering dijumpai pada
pasien gagal jantung, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia, dan
penurunan fungsi ginjal umum dijumpai, khususnya pada pasien yang mendapat
terapi dengan diuretik dan ACE-I/ARB/aldosteron antagonis. 1
Troponin
Pemeriksaan Troponin I atau T sebaiknya dilakukan pada pasien yang
diduga gagal jantung dengan tampilan klinis yang mengarah pada sindroma
koroner akut. Peningkatan troponin kardiak mengindikasikan adanya nekrosis
myosit, dan jika ada indikasi sebaiknya revaskularisasi dipertimbangkan dan
dilakukan pemeriksaan diagnostik yang sesuai. Peningkatan troponin juga terjadi
pada akut miokarditis. Peningkatan ringan pada troponin kardiak sering dijumpai
pada gagal jantung berat atau selama episode gagal jantung dekompensasi pada
pasien tanpa bukti adanya iskemik miokard yang disebabkan sindrom koroner akut
dan situasi lain seperti sepsis. 1
Ekokardiografi
Istilah ekokardiografi ditujukan kepada semua teknik pencitraan jantung
yang menggunakan ultra sound, termasuk colour Doppler dan Tissue Doppler
Imaging. Konfirmasi dengan ekokardiografi untuk diagnosa gagal jantung
dianjurkan dan sebaiknya segera dilakukan mengikut dugaan gagal jantung.
Ekokardiografi sudah tersebar luas, cepat, non – invasif dan aman dan
menunjukkan informasi mengenai anatomi jantung (volume, geometri, massa),
gerakan dinding, dan fungsi katup.
Yang paling sering dinilai dari ekokardiografi adalah fungsi ventrikel untuk
membedakan antara pasien dengan disfungsi sistolik dan pasien dengan fungsi
sistolik yang masih baik (normal fraksi ejeksi > 45 – 50%) 1
2.2.6. Penatalaksanaan
Tujuan dari mendiagnosa dan mengobati gagal jantung tidak berbeda dari
kondisi medis lainnya, yaitu untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Namun,
bagi kebanyakan pasien, khusunya yang sudah lanjut usia, kemampuan untuk
33
hidup mandiri, bebas dari gejala – gejala yang menimbulkan ketidaknyamanan,
dan mencegah masuk rumah sakit adalah tujuan yang setara dengan keinginan
untuk memaksimalkan kehidupan.1
34
Diuretik merupakan cara paling efektif meredakan gejala pada pasien-
pasien dengan gagal jantung kongestif sedang sampai berat. Kerja diuretik
untuk mengurangi volume cairan ekstrasel dan tekanan pengisian ventrikel
tetapi biasanya tidak menyebabkan pengurangan curah jantung yang penting
secara klinis, terutama pada pasien gagal jantung lanjut yang mengalami
peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri, kecuali jika terjadi natriuresis
parah dan terus menerus yang menyebabkan turunnya volume intravaskular
yang cepat. Yang digunakan furosemid 40-80 mg. Dosis penunjang rata-rata 20
mg. Efek samping berupa hipokalemia dapat diatasi dengan suplai garam
kalium atau diganti dengan spironolakton. Diuretik lain yang dapat digunakan
antara lain hidroklorotiazid, klortalidon, triamteren, amilorid, dan asam
etakrinat. Dampak diuretik yang mengurangi beban awal tidak mengurangi
curah jantung atau kelangsungan, tapi merupakan pengobatan garis pertama
karena mengurangi gejala dan pengobatan dan perawatan di rumah sakit.
Penggunaan penghambat ACE bersama diuretik hemat kalium harus berhati-
hati karena memungkinkan timbulnya hiperkalemia.
b) Vasodilator
Vasodilator berguna untuk mengatasi preload dan afterload yang
berlebihan. Preload adalah volume darah yang mengisi ventrikel selama
diastole. Peningkatan preload menyebabkan pengisian jantung berlebih.
Afterload adalah tekanan yang harus di atasi jantung ketika memompa darah ke
sistem arterial. Dilatasi vena mengurangi preload jantung dengan
meningkatkan kapasitas vena, dilator arterial menurunkan resistensi arteriol
sistemik dan menurunkan afterload.
Nitrogliserin 0,4-0,6 mg sublingual atau 0,2-2 μg/kg BB/menit iv.
Nitroprusid 0,5-1 μg/kgBB/menit iv
Prazosin per oral 2-5 mg
Penghambat ACE: kaptopril 2 x 6,25 mg.
ACE Inhibitor merupakan obat pilihan untuk gagal jantung kongestif. Obat
ini bekerja dengan menghambat enzim yang berasal dari angiotensin I
membentuk vasokontriktor yang kuat angiotensin II. Penghambatan ACE
35
mengurangi volume dan tekanan pengisian ventrikel kiri, dan meningkatkan
curah jantung.
Konsep dasar pemakaian inhibitor ACE sebagai vasodilator dalam
pengobatan gagal jantung adalah karena kemampuannya untuk :
Menurunkan retensi vaskular perifer yang tinggi akibat tingginya tonus
arteriol dan venul (peripheral vascular resistance)
Menurunkan beban tekanan pengisian ventrikel yang tinggi (ventricular
filling pressure)
Dosis ISDN adalah 10-40 mg atau 5-15 mg sublingual setiap 4-6 jam.
Pemberian nitrogliserin secara intravena pada keadaan akut harus dimonitor
ketat dan dilakukan di ICCU. Kaptopril sebaiknya dimulai dari dosis kecil 6,25
mg. Untuk dosis awal ini perlu diperhatikan efek samping hipotensi yang harus
dimonitor dalam 2 jam pertama setelah pemberian. Jika secara klinis tidak ada
tanda-tanda hipotensi maka dosis dapat ditingkatkan secara bertahap sampai 3x
25-100 mg. Kaptopril dapat menimbulkan hipoglikemia dan gangguan fungsi
ginjal. Dosis awal analapril 2 x 2,5 mg dapat dinaikkan perlahan lahan sampai
2 x 10 mg. Pasien gagal jantung yang lanjut cenderung rentan terhadap
komplikasi infeksi, terutama infeksi saluran napas, infeksi saluran kemih,
septicemia dan infeksi nosokomial sehingga antibiotic yang adekuat harus
segera diberikan bila ada indikasi.
3.2.7. Prognosis
Menentukan prognosis pada gagal jantung sangat kompleks. Beragam
etiologi, usia, komorbiditas, variasi dalam perkembangan individu harus
dipertimbangkan. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan prognosis buruk
pada gagal jantung dapat dilihat pada tabel berikut.
36
depresi
Klinis
Hipertensi, NYHA kelas III – IV, sebelumnya dirawat karena gagal jantung,
takikardi, ronkhi basah basal, stenosis aorta, IMT rendah, gangguan nafas yang
berhubungan dengan tidur
Elektrofisiologi
Takikardi, Q-wave, QRS lebar, hipertrofi ventrikel kiri, aritmia ventrikular
kompleks, heart rate rendah, atrial fibrilasi, T-wave alternans
Fungsional
Aktivitas berkurang, low peak VO2, kelelahan berjalan 6 menit
Laboratorium
Peningkatan natriuretik peptide, hiponatremia, peningkatan troponin, peningkatan
biomarker neurohormonal, peningkatan kreatinin, peningkatan bilirubin, anemia,
peningkatan asam urat
Imaging
LVEF rendah, meningkatnya volume ventrikel kiri, cardiac index rendah,
meningkatnya tekanan pengisian ventrikel kiri, restriktif mitral. Hipertensi
pulmonal, gangguan fungsi ventrikel kanan.
3.3.1. Definisi
3.3.2. Patofisiologi
37
Peningkatan tekanan darah secara sistemik menyebabkan meningkatnya
resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sehingga beban jantung
bertambah. Sebagai akibatnya terjadi hipertofi ventrikel kiri untuk meningkatkan
kontraksi. Hipertrofi ini ditandai dengan ketebalan dinding yang bertambah,
fungsi ruang yang memburuk, dan dilatasi ruang jantung. Akan tetapi kemampuan
ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi kompensasi
akhirnya terlampaui dan terjadi dilatasi dan payah jantung. Jantung semakin
terancam seiring parahnya aterosklerosis koroner. Angina pectoris juga dapat
terjadi karena gabungan penyakit arterial koroner yang cepat dan kebutuhan
oksigen miokard yang bertambah akibat pertambahan massa miokard.
38
Pada foto toraks posisi posteroanterior pasien hipertrofi konsentrik, besar
jantung dalam batas normal. Pembesaran jantung ke kiri terjadi bila sudah ada
dilatasi ventrikel kiri. Terdapat elongasi aorta pada hipertensi yang kronik dan
tanda – tanda bendungan pembuluh paru pada stadium payah jantung hipertensi.
Pemeriksaan laboratorium darah rutin yang diperlukan adalah hematokrit
serta ureum dan kreatinin untuk menilai fungsi ginjal. Selain itu juga elektrolit
untuk melihat kemungkinan adanya kelainan hormonal aldosteron. Pemeriksaan
laboratorium urinalisis juga diperlukan untuk melihat adanya kelainan pada ginjal.
Pada EKG tampak tanda – tanda hipertrofi ventrikel kiri dan strain.
Ekokardiografi dapat mendeteksi hipertrofi ventrikel kiri secara dini mencakup
kelainan anatomik dan fungsional jantung pasien hipertensi asimtomatik yang
belum didapatkan kelaina pada EKG dan radiologi. Perubahan – perubahan yang
dapat terlihat adalah sebagai berikut :
1. Tanda – tanda hipersirkulasi pada stadium dini, seperti hiperkinesis,
hipervolemia
2. Hipertrofi yang difus (konsentrik) atau yang iregular eksentrik.
3. Dilatasi ventrikel yang dapat merupakan tanda – tanda payah jantung, serta
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat.
4. Tanda – tanda iskemia seperti hipokinesis dan pada stadium lanjut adanya
diskinetik.
3.3.5. Penatalaksanaan
Pengobatan ditujukan untuk menurunkan tekanan darah menjadi normal,
mengobati payah jantung karena hipertensi, mengurangi morbiditas dan mortalitas
terhadap penyakit kardiovaskular, dan menurunkan faktor risiko terhadap penyakit
kardiovaskular semaksimal mungkin.
Untuk menurunkan tekanan darah dapat ditinjau 3 faktor fisiologis yaitu,
menurunkan isi cairan intravaskular dan Na darah dengan diuretik, menurunkan
aktivitas susunan saraf simpatis dan respons kardiovaskular terhadap rangsangan
adrenergik dengan obat dari golongan antisimpatis, dan menurunkan tahanan
perifer dengan obat vasodilator.
39
3.4. Infark Miokard Akut
3.4.1. Definisi
Infark miokard akut adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah
ke otot jantung1, kematian sel-sel miokardium ini terjadi akibat kekurangan
oksigen yang berkepanjangan2.
3.4.2. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan Acute Myocardial Infarction adalah
suplai darah oksigen ke miokard berkurang (aterosklerosis, spasme, arteritis,
stenosis aorta, insufisiensi jantung, anemia, hipoksemia), curah jantung yang
meningkat (emosi, aktivitas berlebihan, hipertiroidisme), dan kebutuhan oksigen
miokard meningkat (kerusakan miokard, hipertrofi miokard, hipertensi diastolik).
Penyebab yang paling sering adalah terjadinya sumbatan koroner sehingga terjadi
gangguan aliran darah.3 Sumbatan tersebut terjadi karena ruptur plak yang
menginduksi terjadinya agregasi trombosit, pembentukan trombus, dan spasme
koroner. Penyebab infark miokard yang jarang adalah penyakit vaskuler inflamasi,
emboli (endokarditis, katup buatan), spasme koroner yang berat (misal setelah
menggunakan kokain), peningkatan viskositas darah serta peningkatan
kebutuhan O2 yang bermakna saat istirahat.
40
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat dan responsif terhadap
nitrat.
Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah
makan
Gejala yang menyertai dapat berupa mual, muntah, sulit bernapas,
keringat dingin, cemas dan lemas.5
o Pemeriksaan fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat. Seringkali
ekstremitas pucat dan disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri
dada substernal > 30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat
STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai
manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau
hipotensi). Dan hampir setengah pasien infark inferior
menunjukan manifestasi hiperaktivitas saraf parasimpatis
41
(bradikardi dan/atau hipotensi). Tanda fisik lain pada disfungsi
ventrikular adalah S4 dan S3 galop, penurunan intensitas bunyi
jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolic apikal yang
bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan
pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat
dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.
3.4.5. Pengobatan
STEMI
Oksigen
Oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi
dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
42
Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis
dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada
nitrogliserin juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai
oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner
yang terkena infark atau pembuluh kolateral.
Morfin
Morfin sangat efektif untuk mengurangi nyeri dada dan
merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada
STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin
adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan
simpatis sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi
curah jantung dan tekanan arteri.
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang
dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindrom koroner
akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin
bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
Penyekat beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif.
Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap
2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung
<60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR
<0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma.
43
Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam,
dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
ACE Inhibitor
ACE Inhibitor menurunkan mortalitas pasca STEMI dan
manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan penambahan
aspirin dan penyekat beta. Mekanisme yang melibatkan
penurunan remodelling ventrikel pasca infark dengan
penurunan remodelling ventrikel pasca infark dengan
penurunan risiko gagal jantung. Inhibitor ACE harus diberikan
dalam 24 jam pertama pasien STEMI
NSTEMI
Pasien STEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan
EKG untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen
utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:
Terapi antiiskemia
Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada
berulang dapat diberikan terapi awal mencakup nitrat dan penyekat
beta. Terapi antiiskemi terdiri dari nitrogliserin sublingual dan
dapat dilanjutkan dengan intravena, dan penyekat beta oral (pada
keadaan tertentu dapat diberikan intravena). Antagonis kalsium
nondihidropiridin diberikan pada pasien dengan iskemia refrakter
atau yang tidak toleran dengan obat penyekat beta.
Nitrat
Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atau spray bukal
jika pasien mengalami nyeri dada iskemi. Jika nyeri menetap
setelah diberikan nitrat sublingual 3 kali dengan interval 5 menit,
direkomendasikan pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-
10ug/menit). Laju infus dapat ditingkatkan 10ug/menit tiap 3-5
menit sampai keluhan menghilang atau tekanan darah sistolik <100
44
mmHg. Setelah nyeri dada hilang dapat digantikan dengan nitrat
oral atau dapat menggantikan nitrogliserin intravena jika pasien
sudah bebas nyeri selama 12-24 jam. Kontraindikasi absolut adalah
hipotensi atau penggunaan sidenafil atau obat sekelasnya dalam 24
jam sebelumnya.
Penyekat beta
Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung
50-60 kali/menit. Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi
jantung seperti verapamil atau diltiazem direkomendasikan pada
pasien dengan nyeri dada persisten atau rekuren setelah terapi nitrat
dosis penuh dan penyekat beta dan pada pasien dengan
kontraindikasi penyekat beta. Jika nyeri dada menetap walaupun
dengan pemberian nitrogliserin intravena, morfin sulfat dengan
dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5-30 menit sampai dosis
total 20 mg.
Terapi antitrombotik
Oklusi trombus sub total pada koroner mempunyai peran utama
dalam patogenesis NSTEMI dan keduanya mulai dari agregasi
platelet dan pembentukan thrombin-activated fibrin bertanggung
jawab atas perkembangan klot.
Terapi antiplatelet
1. Aspirin
2. Klopidogrel : berdasarkan hasil penelitian klopidogrel
direkomendasikan sebagai obat lini pertama pada NSTEMI.
3. Antagonis GP IIb/IIIa : guideline ACC/AHA menetapkan
pasien-pasien resiko tinggi terutama pasien dengan troponin
positif yang menjalani angiografi, mungkin sebaiknya
mendapatkan antagonis GP IIb/IIIa.
3.5. Pnuemonia
3.5.1. Definisi
45
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Pada pemeriksaan histologis terdapat pneumonitis, atau reaksi inflamasi berupa
alveolitis dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi.4
3.5.2. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri gram negatif
sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-
akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri
yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah
bakteri gram negatif.3
Pneumonia lainnya disebabkan oleh virus, dimana paling sering terjadi pada
anak-anak.4 Pneumonia lobaris adalah peradangan jaringan paru akut yang berat
yang disebabkan oleh pneumococcus. Nama ini menunjukkan bahwa hanya satu
lobus paru yang terkena. Ada bermacam-macam pneumonia yang disebabkan oleh
bakteri lain, misalnya bronkopneumonia yang penyebab tersering adalah
haemophylus influenza dan pneumococcus.3
3.5.3. Patofisiologi
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas
sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian
tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
46
terbentuknya antibodi. Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan
peradangan yang paling mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari
lobus paru-paru, ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus
paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi
cairan. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai penyebab
pneumonia.3
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas:3
1. Stadium kongesti (4 sampai 12 jam pertama)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin
yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus
yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit
dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga pasien akan
bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium hepatisasi kelabu (konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang
terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera
47
dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah
menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium akhir (resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna
secara enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk. Parenkim
paru kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah sampai pulih mencapai
keadaan normal.
3.5.4. Diagnosis
Penegakan diagnosis pneumonia dapat dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.3
a. Gambaran Klinis
Dari anamnesis dapat ditemukan gejala-gejala yang serupa untuk semua jenis
pneumonia. Adapun gejala-gejalanya meliputi:
1. Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 400C
2. Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah
3. Sesak napas
4. Nyeri dada
b. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronkhi basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
c. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran Radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan air bronchogram, penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kavitas. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
48
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus kanan atas meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.
49
kemungkinan merupakan penyebab infeksi. Kultur kuman merupakan
pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi selanjutnya.
3.5.5. Penatalaksanaan
Pasien pada awalnya diberikan terapi empiric yang ditujukan pada
pathogen yang paling mungkin menjadi penyebab atau antibiotik yang
berspektrum luas. Bila telah ada hasil kultur dilakukan penyesuaian obat. Pada
pasien rawat inap antibiotik harus diberikan dalam 8 jam pertama dirawat di
rumah sakit.11
Dosis
Kondisi Dosis Anak Dewasa
Patogen Terapi
Klinik (mg/kg/hari) (dosis
total/hari)
Sebelumnya Pneumococcus, Eritromisin 30-50 1-2 g
sehat Mycoplasma Klaritromisin 15 0,5-1 g
Pneumoniae Azitromisin 10 pada hari
1, diikuti 5
mg
selama 4 hari
Komorbiditas S. pneumoniae, Cefuroksim 50-75 1-2 g
(manula, Hemophilus Cefotaksim 50-75 1-2 g
DM, gagal influenzae, Ceftriakson 50-75 1-2 g
ginjal, gagal Moraxella
jantung, catarrhalis,
keganasan) Mycoplasma,
Chlamydia
pneumoniae dan
Legionella
Aspirasi Anaerob mulut Ampicilin 100-200 2-6 g
Community Anaerob mulut, Amoxicillin 100-200 2-6 g
Hospital S.aureus, gram(-) Klindamisin 8-20 1,2-1,8 g
enterik Klindamisin 8-20 1,2-1,8 g
+aminoglikosida .
50
Nosokomial
Pneumonia K. pneumoniae, Cefuroksim 50-75 1-2 g.
Ringan, Onset P. aeruginosa, Cefotaksim 50-75 1-2 g.
<5 hari, Enterobacter Ceftriakson 50-75 1-2 g
Risiko spp. Ampicilin-Sulbaktam 100-200 4-8 g
rendah S. aureus, Tikarcilin-klav 200-300 12 g
Gatifloksasin - 0,4 g
Levofloksasin - 0,5-0,75
g
Pneumonia K. pneumoniae, Gentamicin/Tobramici 7,5 4-6
berat**, P. aeruginosa, n - mg/kg
Onset > 5 Enterobacter atau Ciprofloksasin )* 150
hari, Risiko spp. + 100-150 0,5-1,5 g
Tinggi S. aureus, Ceftazidime atau 2-6 g
Cefepime atau 2-4 g
Tikarcilinklav/
Meronem/Aztreonam
Keterangan:
*) Aminoglikosida atau Ciprofloksasin dikombinasi dengan salah satu antibiotika
yang terletak di bawahnya dalam kolom yang sama.
**) Pneumonia berat bila disertai gagal napas, penggunaan ventilasi, sepsis berat,
gagal ginjal.
51
BAB IV
ANALISIS KASUS
52
ketidakmampuan jantung memompa darah secara cukup ke jaringan untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gejala yang timbul pada CHF
biasanya sesak nafas saat istirahat atau selama aktivitas, dan atau kelelahan;
tanda – tanda retensi cairan seperti kongesti paru atau bengkak pada tungkai;
serta bukti objektif dari kelainan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.
Selain itu, pasien mengeluh adanya nyeri dada seperti tertimpa benda berat
dan rasa berdebar - debar. Nyeri dada juga dirasakan menjalar ke punggung
pasien. Berdasarkan keluhan yang dialami pasien, kemungkinan IMA
penyebab nyeri dada yang dirasakan oleh pasien. Berdasarkan teori, IMA
adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah ke otot jantung,
kematian sel-sel miokardium ini terjadi akibat kekurangan oksigen yang
berkepanjangan. IMA terbagi menjadi dua STEMI dan NSTEMI. Keluhan
yang khas pada IMA ialah nyeri dada, nyeri dada tipikal (angina) yang dapat
menjalar ke lengan (umumnya kiri), bahu, leher, rahang bawah gigi,
punggung/interskapula, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
Pasien juga mengeluh adanya batuk berdahak yang berwarna putih, mual,
muntah, nyeri ulu hati, penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan.
Berdasarkan gejala tersebut, kemungkinan pasien mengalami infeksi pada
saluran pernafasan berupa pneumonia atau TB paru.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD 140/80 mmHg, Nadi 98 x/m,
RR 32 x/m. Dari hasil pemeriksaan spesifik didapatkan adanya retraksi
subcostal (+), ronkhi basah halus (+/+), HR 102 x/m, batas jantung kiri ICS VI
linea axilaris anterior. Berdasarkan pemeriksaan diatas menunjukkan adanya
hipertensi, dispneu, suara nafas abnormal, pembesaran batas jantung kiri. Hal
ini semakin memperkuat bahwa sesak nafas yang dialami pasien memang
disebabkan oleh CHF.
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil GDS
meningkat, CKMB dan CPK meningkat, dan hasil pemeriksaan sputum BTA
3x negatif. Dan dari hasil pemeriksaan EKG didapatkan adanya LVH dan
LBBB, tanpa diikuti ST elevasi. Sedangkan hasil pemeriksaan ECG
didapatkan adanya LV dilatasi. Sedangkan dari hasil rontgen thoraks AP
menunjukkan adanya kardiomegali dan infiltrate paracardinal kanan.
53
Pemeriksaan diatas menunjukkan adanya peningkatan enzim jantung tanpa
diikuti ST elevasi. Sehingga diagnosis NSTEMI pada pasien ini dapat
ditegakkan. Selain itu adanya peningkatan GDS pada pasien ini ditambah
adanya riwayat DM, menunjukkan bahwa pasien menderita DM tipe 2.
Dari pemeriksaan sputum BTA dan rontgen thorak AP diatas kemungkinan
TB paru pada pasien ini bisa disingkirkan. Sehingga diagnosis pneumonia bisa
ditegakkan pada pasien ini.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, kemungkinan penyebab keluhan sesak nafas pada pasien ini
mengarah kepada CHF. Namun untuk bisa menegakkan diagnosis CHF, harus
terlebih dahulu memenuhi kriteria framingham yaitu didapatkan 2 kriteria
mayor atau didapatkan 1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor. Yang termasuk
kriteria mayor yakni: dispneu nokturnal paroksismal atau orthopneu,
peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah tidak nyaring, kardiomegali,
edema paru akut, irama derap S3, peningkatan vena > 16 cm H2O dan refluks
hepatojugular. Sedangkan yang termasuk kriteria minor yakni: edema
pergelangan kaki, batuk pada malam hari, dispneu d’effort, hepatomegali,
efusi pleura, kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum dan takikardi
(>120x/menit). Sedangkan pada pemeriksaan penunjang, dari hasil
pemeriksaan foto rontgen toraks dapat mengarah ke kardiomegali dengan
corakan bronkovaskuler yang meningkat.
Berdasarkan kriteria diatas pada pasien ini didapatkan 3 kriteria mayor
yaitu adanya sesak nafas pada malam hari, ronkhi basah dan kardiomegali.
Sedangkan kriteria minor pada pasien ini didapatkan 2 yaitu dispneu d’effort
dan takikardi. Sehingga diagnosis CHF pada pasien ini dapat ditegakkan.
Klasifikasi CHF pada pasien ini bisa ditentukan berdasarkan kriteria
NYHA, yaitu:
1. Kelas 1: Para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan
fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung
2. Kelas 2: Penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik.
Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan
fisik yang biasa menimbulkan gejala-gejala insufiensi jantung
54
3. Kelas 3: Penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam
kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan
tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan
gejala-gejala insufisiensi jantung
4. Kelas 4: Penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat menimbulkan gejala-
gejala insufisiensi jantung.
Pada pasien ini sesak nafas dirasakan saat berbaring, maka dari itu
klasifikasi CHF pada pasien ini yaitu NYHA 4, dimana pasien tidak mampu
melakukan kegiatan fisik dan dalam waktu istirahat juga dapat menimbulkan
gejala-gejala insufisiensi jantung.
Penyebab CHF tersering adalah miokardial seperti penyakit jantung
coroner, hipertensi heart disease, kardiomiopati. Dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan,penyebab terjadinya CHF pada pasien ini adalah HHD.
Berdasarkan teori gejala HHD terdiri dari sesak nafas, riwayat hipertensi,
adanya LVH pada EKG, dan dilatasi ventrikel, yang semua gejala tersebut
ditemukan pada pasien ini.
Terapi yang diberikan adalah furosemid 1 x 20 mg, pemberian diuretika
ini bertujuan untuk mengurangi mengurangi beban awal jantung tanpa
mengurangi curah jantung dan sebagai terapi awal CHF. Selain itu,
Candesartan 8 mg diberikan juga sebagai terapi awal CHF yang bertujuan
sebagai vasodilatasi, peningkatan eksresi Na dan cairan serta menurunkan
hipertrofi vascular. Pada pasien, juga diberikan digoksin 2 x 0,25 mg untuk
memperbaiki kontraktilitas jantung. Aspilet 80 mg diberikan sebagai
antiagregasitrombus, untuk mencegah terjadinya tromboemboli. Isosorbide
dinitrat 5 mg sublingual diberikan untuk terapi antiskemia sebagai penghilang
nyeri dada pada pasien dengan NSTEMI. Clopidogrel 75 mg diberikan
sebagai antiplatelet yang merupakan obat lini pertama pada NSTEMI.
Metformine 500 mg diberikan sebagai terapi lini pertama pada DM yang
bertujuaan mengurangi produksi glukosa hati dan meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Glucodex 80 mg juga diberikan sebagai terapi kombinasi
55
pada pasien DM yang bertujuan meningkatkan sekresi insulin oleh beta
pancreas.
Injeksi cefriaksone 2 x 1 gr pada pasien diberikan sebagai antibiotik
untuk pengobatan pneumonia dengan kormobiditas DM. sedangkan injeksi
ranitidine diberikan sebagai untuk menghilangkan keluahan mual pada pasien
dimana ranitidine merupakan antagonis reseptor H2 yang bekerja dengan
memblok reseptor histamine pada sel parietal sehingga mengurangi produksi
asam lambung.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Telah dilaporkan, pasien perempuan, 61 tahun, datang dengan keluhan
datang dengan keluhan ke IGD RSMP dengan keluhan sesak nafas sejak ± 3
hari SMRS dirasakan semakin memberat dan dipengaruhi aktivitas. Pasien
juga mengeluh adanya nyeri dada seperti tertimpa benda berat yang menjalar
ke punggung dan rasa berdebar - debar. Pasien juga mengeluh adanya batuk
berdahak yang berwarna putih, mual, muntah, nyeri ulu hati, penurunan nafsu
makan dan penurunan berat badan. Riwayat darah tingggi dan kencing manis
tidak terkontrol (+).
56
Telah ditegakkan diagnosis atas pasien ini yaitu CHF ec HHD + NSTEMI
+ DM tipe II + Pneumonia. Pasien telah diberikan terapi sesuai dengan teori
penatalaksaan kasus tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kalim, H., Idham, I., Irmalita., Karo, S.K., Soerianata, S., Tobing, D.P.,
Pedoman Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
2004. Jakarta. PERKI
2. Widiyanti, R., Sindrom Koroner Akut. 2010. Jakarta. Exomed
Indonesia.
3. Bui, L.B., Horwich, T.B & Fonarow, G.C., 2011, Epidemiology and risk
profile of heart failure, Nature Reviews Cardiology, vol 8, 30-41
4. Dahlstrom, 2005, Frequent Noncardiac Comorbidities in Patients with
Chronic Heart Failure, Europe J, 7, 309-316
57
5. Davis, R.C., Hobbs, F.D.R. & Lip, G.Y.H., 2003, ABC of heart failure:
History and epidemiology, British Medical Journal, 320, 39-42
6. Dosh, S.A., 2004, Diagnosis of Heart Failure in Adults, American Family
Physician, 70 (10), 2145-2152
7. Fakultas Kedokteran UI, 2000, Kardiologi; Gagal Jantung, In: Mansjoer,
A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhan, W.I. & Setyowulan, W., edisi
ketiga, Kapita Kedokteran, Yogyakarta
8. Roleder, T., Smolka, G., Pysz, P., Kozyra, A., & Ochala, A. Non-ST
Elevation Myocardial Infarction Related to Total Coronary Artery
Occlusion Prevalence and Patient Characteristics. Journal of Postepy
Kardiol Interwencyjnej. 2015. ( Diunduh 3 September 2018 ). Tersedia
dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC4372625/
9. Price, A., Sylvia, L., & Carty, W. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006.
10. Braunwald, A., & Eugene, B. Unstable Angina and Non ST Elevation
Miocardial Infarction. Journal of Cardiovaskular. 2015. (Diunduh 3
September 2018). Tersedia dari:
https://www.atsjournals.org/doi/pdf/10.1164/rccm.201109-1745CI
11. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
IPD RSCM; 2007
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Pneumonia Komuniti.2003
58