Anda di halaman 1dari 21

1.

MATERI BAHASAN

BAB 2: HISTORISITAS PANCASILA##


##
Kismiyati

Sejarah mencatat, sebelum abad ke-16, kehidupan masyarakat di wilayah nusantara kita
rukun dan damai. Masyarakat nusantara hidup dalam wilayah kerajaan-kerajaan yang dipimpim
oleh Raja dengan kearifan lokalnya sesuai dengan tempat atau wilayah yang dipimpinnya.
Keutuhan dan kedamaian kehidupan bermasyarakat menjadi retak ketika para penjajah mulai
berdatangan. Para penjajah, khususnya Belanda, pada tahun 1602 datang ke wilayah nusantara
dan menerapkan politik adu domba -yaitu memecah belah, saling menghasut antara kelompok
satu dengan kelompok lainnya- dikenal dengan ‘devide et impera’.

Hubungan antar masyarakat yang ‘retak’ tersebut dimanfaatkan penjajah untuk


menguasai wilayah nusantara. Perang antar saudara tak terelakkan lagi. Akhirnya, setiap daerah
berjuang masing-masing. Pangeran Diponegoro yang berasal dari Jawa Tengah, Tuanku Imam
Bonjol dari Sumatera Barat, adalah contoh tokoh atau pahlawan yang dengan gigih berjuang
melawan penjajah khususnya Belanda. Meski perjuangan mereka gagal karena bersifat
kedaerahan, namun semangat untuk mengusir penjajah tetap menggelora di hati masyarakat
nusantara.

Keinginan untuk menyatukan nusantara sesungguhnya diilhami oleh seorang Patih


bernama Gadjah Mada dari Kerajaan Majapahit pada tahun 1336. Gadjah Mada bersumpah
untuk menyatukan semua kerajaan di wilayah nusantara ini, sumpah tersebut dikenal dengan
‘Sumpah Amukti Palapa’. Semangat untuk menyatukan nusantara dan lepas dari belenggu
penjajahan menggelora setelah Pemerintah Belanda memberi kesempatan kepada beberapa orang
untuk sekolah di Belanda.

Organisasi pertama yang bersifat nasional adalah berdirinya ‘Boedi Oetomo’ tanggal 20
Mei 1908. Momentum berdirinya organisasi ini dikenal sebagai ‘Zaman Perintis’ dan diabadikan
sebagai ‘Hari Kebangkitan Nasional’. Organisasi ini dibentuk untuk menyatukan keinginan
masyarakat nusantara untuk melepaskan diri dari penjajahan dan berjuang untuk mendirikan
negara.

Perjuangan ini kemudian ditegaskan –disebut Zaman Penegas- melaui Sumpah Pemuda
pada tanggal 28 Oktober 1928. Isi Sumpah Pemuda tersebut adalah:

1. Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertanah air yang satu, Tanah Air
Indonesia;
2. Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia;
3. Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.
Isi sumpah tersebut apabila dianalisis, terutama sumpah satu dan dua, erat kaitannya
dengan syarat pokok (unsur konstitutif) adanya negara, yaitu: wilayah, penduduk, dan
pemerintah.

Pecahnya Perang Dunia II menyebabkan pemerintah Belanda sebagai penjajah di


Indonesia terpecah belah dan mendaratlah Pemerintah Jepang pada tanggal 1 Maret 1942 dengan
tujuan menarik simpati masyarakat Indonesia agar mau membantu peperangan yang dilakukan
pemerintah Jepang. Banyak aspek kehidupan yang dipelajari oleh bangsa Indonesia dari
pemerintah Jepang. Salah satunya adalah kesadaran untuk bangkit dan bersatu melawan
penjajah. Dengan restu dari pemerintah Jepang berdirilah ‘Dokuritzu Zumbai Cosakai’ atau
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada bulan Maret 1945.

Ketua BPUPKI adalah Dr. Radjiman Wedyodiningrat dan 63 anggota dari setiap wilayah
Indonesia ditambah 7 anggota tanpa hak suara. Pada sidang pertama tanggal 29 Mei-1 Juni 1945
membahas tentang rumusan dasar negara. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin
mengusulkan Dasar Negara Indonesia Merdeka, yaitu:

1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan.
3. Ke-Tuhanan.
4. Peri Kerakyatan.
5. Kesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial)
Sedangkan Prof. Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori negara , yaitu :

1. Teori negara perseorangan (individualistis).


2. Paham negara kelas (class theory), dan
3. Paham negara integralistik.
Adapun usulan dalam kaitannya denganfalsafah negara Indonesia adalah:

1. Negara nasional yang bersatu.


2. Dianjurkan supaya warga negara tunduk kepada Tuhan.
3. Dalam susunan pemerintahan negara Indonesia harus dibentuk sistem badan
permusyawaratan; serta
4. Ekonomi negara bersifat kekeluargaan, dan mengenai hubungan antarbangsa
dianjurkan upaya-upaya Indonesia bersifar negara Asia Timur Raya.
Barulah pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan dasar negara dalam lima prinsip
dasar, yaitu:

1. Nasionalisme (kebangsaan Indonesia)


2. Internasionalisme (peri-kemanusiaan)
3. Mufakat (demokrasi).
4. Kesejahteraan sosial, dan
5. Ketuhanan yang berkebudayaan

Kelima prinsip dasar tersebut diberi nama Pancasila. Selain itu Ir. Soekarno juga
mengusulkan Trisila dan Ekasila (Prinsip Gotong Royong).

Banyaknya usulan tentang dasar negara Indonesia ini, maka perlu dibentuk panitia kecil yang
disebut ‘Panitia Sembilan’ –karena terdiri dari Sembilan tokoh, diantaranya Ir. Soekarno, Drs.
Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, K.H. Wahid Hasyim- dan berhasil merumuskan dasar
negara pada tanggal 22 Juni 1945, yaitu:

1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan dasar hasil dari Panitia Sembilan tersebut dikenal dengan Jakarta Charter atau
‘Piagam Jakarta’. Sebelumnya sidang BPUPKI kedua dilaksanakan tanggal 10-16 Juni 1945
membahas tentang rancangan undang-undang dasar. Pada tanggal 14 Juli 1945, Ir. Soekarno
melaporkan hasil kerja panitia kecil dan melaporkan tiga hal pokok, yaitu: pernyataan Indonesia
Merdeka, Pembukaan Undang-Undang Dasar, dan Undang-Undang Dasar (dikenal dengan
batang tubuh).

Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan, dan dibentuklah Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) –dikenal dengan Dokuritzu Zumbai Iinkai- beranggotakan 27
orang, diketuai oleh Ir. Soekarno dan wakilnya Drs. Mohammad Hatta. Sedangkan penasihat
PPKI adalah Mr. Achmad Soebardjo.

4.1. Sejarah Lahir Pancasila

A. Lahir secara materialistik, yaitu asal usul bahan untuk dasar negara.

Pda tanggal 29 Mei 1945 : Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia/Dokurittzu Zumbai Coosakai) ketika Mr. Muhamad Yamin menyampaikan pidato
secara lisan.

B. Lahir secara nominalistik, yaitu asal usul nama.


Pada tanggal 1 Juni 1945 ketika Soekarno menyampaikan pidato di depan sidang BPUPKI
dengan menyebut: Pancasila, Trisila, dan Ekasila.

C. Lahir secara formalistik, yaitu kelahiran secara Yuridis konstitusional.

Pada tanggal 18 Agustus 1945 Sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/,
Dokuritzu Zumbai Iinkai), ketika mengesahkan UUD 1945.

Prinsip-prinsip dasar yang telah ditemukan oleh peletak dasar (the founding fathers) negara
Indonesia yang kemudian diabstraksikan menjadi satu prinsip dasar filsafat bernegara yaitu
Pancasila.

Sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia, Pancasila mengalami ancaman dengan munculnya nilai-
nilai baru dari luar dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi dan memunculkan konflik internal.
Padahal Pancasila berbeda dengan prinsip dasar yang dipakai bangsa lain. Setiap bangsa
memiliki local genius (kecerdasan/kreativitas lokal) dan local wisdom (kearifan lokal), yang
berbeda dengan filsafat hidup bangsa lain.

Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat.

Pengertian Filsafat

Berasal dari bahasa Yunani philein yang berarti cinta, dan sophia yang berarti kebijaksanaan,
kearifan (wisdom). Secara umum filsafat diartikan sebagai keinginan yang sungguh-sungguh
untuk mencari kebenaran sejati.

Filsafat adalah upaya manusia untuk mencari hakikat sesuatu dengan mencari sebab-sebabnya
secara mendalam sejauh akal manusia mampu menjangkaunya.

Ruslan Abdulgani:

Filsafat Pancasila merupakan filsafat negara yang lahir sebagai collective ideologie (cita-cita
bersama) dari seluruh bangsa Indonesia.

Notonagoro:

Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah, yaitu tentang hakikat dari
Pancasila.

4.2. Karakteristik Sistem Filsafat Pancasila

Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan yang bulat dan utuh (totalitas), apabila terpisah-
pisah maka bukan Pancasila.

Sistem yang bulat dan utuh dapat digambarkan dengan piramida terbalik dengan sila pertama
ada paling atas.
Sila kesatu meliputi, mendasari, dan menjiwai sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima.

Sila kedua diliputi, didasari, dan dijiwai sila kesatu, meliputi, mendasari, dan menjiwai sila
ketiga, keempat, dan kelima.

Sila ketiga diliputi, didasari, dan dijiwai sila kesatu dan kedua, serta meliputi, mendasari, dan
menjiwai sila keempat dan kelima.

Sila keempat diliputi, didasari, dan dijiwai sila kesatu, kedua, dan ketiga, serta meliputi,
mendasari, dan menjiwai sila kelima.

Sila kelima diliputi, didasari, dan dijiwai sila kesatu, kedua, ketiga, dan keempat.

Prinsip-Prinsip Filsafat Pancasila

Pancasila ditinjau dari Kausal Aristoteles dijelaskan sebagai berikut:

Kausa Materialis, yaitu sebab yang berhubungan dengan bahan. Pancasila digali dari nilai-nilai
sosial budaya bangsa Indonesia.

Kausa Formalis, yaitu sebab yang berhubungan dengan bentuknya. Pancasila yang ada dalam
Pembukaan UUD 1945 memenuhi bentuk formal sesuai kebenaran ilmiah sebagai syarat negara.

Kausa Efisiensi, yaitu kegiatan BPUPKI dan PPKI dalam menyusun dan merumuskan Pancasila
menjadi dasar negara Indonesia.

Kausa Finalis, berhubungan dengan tujuan, yaitu tujuan diusulkannya Pancasila sebagai dasar
negara Indonesia merdeka.

Isi inti atau esensi sila-sila Pancasila meliputi:

1) Tuhan, sebagai kausa prima;

2) Manusia, sebagai mahluk individu dan mahluk sosial;

3) Satu, kesatuan memiliki kepribadian sendiri;

4) Rakyat, unsur mutlak adanya negara, harus bekerja sama dan bergotong royong; serta

5) Adil, yaitu memberi keadilan pada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.

Pengamalan Nilai-Nilai Pancasila

Konsep Pancasila yang dikenal oleh masyarakat dan bangsa Indonesia adalah Pancasila sebagai
Dasar Negara Republik Indonesia dan Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia dalam aplikasinya disebut mengamalkan
Pancasila secara subjektif, sedangkan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
disebut mengamalkan Pancasila secara objektif.

Pengamalan subjektif, yaitu pengamalan secara individual dalam kehidupan sehari-hari dan
bermasyarakat. Dalam hal ini disebut perwujudan dari pengertian Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa Indonesia (way of life). Tiap warga negara dapat berbeda dalam mengamalkan nilai
Pancasila secara subjektif.

Contoh: Orang Indonesia mengamalkan sila kesatu dengan memeluk agama yang berbeda.

Pengamalan objektif, yaitu pengamalan secara individual dan sosial dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diatur melalui undang-undang.

Contoh: Orang Indonesia wajib percaya kepada Tuhan YME.

Setiap sesuatu yang ilmiah apabila didekati secara filosofis hakikatnya mempertanyakan tiga hal
pokok, yaitu:

1. Apakah sesuatu itu? Dikaji secara Ontologis


2. Bagaimana mendapatkan sesuatu? Epistemologis
3. Untuk apa sesuatu itu? Aksiologis

Kajian Ontologis Pancasila

Menurut Notonagoro, hakikat dasar ontologis Pancasila adalah manusia. Mengapa? Karena
manusia adalah subjek hukum pokok dari sila-sila Pancasila.

Kajian Epistemologis Pancasila

Dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.

Menurut Titus (1984:20) terdapat tiga persoalan mendasar dalam epistemologi, yaitu:

1. Sumber pengetahuan manusia.


2. Teori pengetahuan kebenaran manusia.
3. Watak pengetahuan manusia.

Sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia itu sendiri.
Sedangkan susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki
susunan yang bersifat formal logis, baik dalam susunan maupun isi arti dari sila-sila Pancasila.
Susunan kesatuan Pancasila bersifat hierarkis, dan berbentuk piramidal.
Teori pengetahuan dan kebenaran manusia merupakan suatu sintesis yang harmonis di antara
potensi-potensi kejiwaan manusia, yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk mendapatkan
kebenaran yang tertinggi.

Watak pengetahuan yang dianut dalam Pancasila, bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya
tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas
religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia.

Pancasila secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun
perkembangan sains dan teknologi dewas ini.

Kajian Aksiologis Pancasila

Kajian aksiologi pada hakikatnya adalah membahas tentang nilai praksis atau manfaat dari
Pancasila.

Nilai adalah sesuatu yang berharga, dapat diartikan worth yaitu ‘keberhagaan’ atau goodnes
yaitu ‘kebaikan’. Nilai bersifat subjektif dan objektif.

Tujuan Pancasila dijadikan dasar negara Indonesia agar bangsa Indonesia dapat mengaplikasikan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
dalam sikap dan perilakunya secara sistematis, fundamental, dan menyeluruh (tidak terpisah-
pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, tetapi memiliki makna yang utuh).

BAB 2: PEMAHAMAN FILOSOFIS, YURIDIS DAN HISTORIS TENTANG


PANCASILA***

***Nandang Alamsah Deliarnoor

Dalam memahami landasan dan tujuan Pendidikan Pancasila, sebaiknya kita


pergunakan berbagai pendekatan sebagai alat bantu untuk lebih memahami dan
menghayatinya. Pendekatan-pendekatan yang bisa dipergunakan diantaranya adalah
pendekatan historis, pendekatan yuridis dan pendekatan filosofis1 .

1
Bandingkan dengan I.B.S. Wesnawa dan I.B.Kumara Adi Adnyana, Pancasila Dasar dan Falsafah Negara
RI (Denpasar : Upada Sastra, 1994) hal. 2 yang menggunakan istilah pendekatan sejarah, pendekatan
Pendekatan historis dilakukan dengan maksud untuk memahami latar belakang
dan proses dijadikannya Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara Republik
Indonesia.

Pendekatan yuridis dilakukan dengan memahami pengertian kaidah


dasar beserta kaidah-kaidah lainnya secara hirarchis dari yang paling tinggi
hingga yang paling rendah. Sehingga secara yuridis akan tergambar kedudukan
Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara dalam bangunan Negara
Republik Indonesia.

Sedangkan pendekatan filosofis bertujuan untuk memahami hakekat


Pancasila, yaitu “inti sari” sila-sila Pancasila yang merupakan suatu sistem
jalinan nilai yang bulat dan utuh yang dapat dijadikan pandangan hidup dan
dasar negara Republik Indonesia.

A. Pengertian Pancasila Sebagai Pandangan Hidup

Bangsa yang tidak mempunyai pandangan hidup akan merasa terus


terombang ambing dalam menghadapi persoalan-persoalan besar yang pasti
timbul, baik persoalan-persoalan di dalam masyarakatnya sendiri maupun
persoalan-persoalan besar umat manusia dalam pergaulan masyarakat bangsa-
bangsa di dunia ini, apalagi mengingat perkembangan ilmu dan teknologi
demikian pesatnya serta era globalisasi dunia dewasa ini.

Pancasila yang merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia berisikan


konsep-konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan yaitu kehidupan
yang dianggap baik oleh bangsa Indonesia. Pancasila juga merupakan pedoman,
pegangan dalam menghadapi segala persoalan baik di dalam negeri maupun dari
luar negeri. Selain dari pada itu, Pancasila memberikan petunjuk dalam mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin dalam masyarakat kita yang
beraneka ragam sifatnya.

ketatanegaraan dan pendekatan filosofis. Sedangkan P.J.Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia (Yogyakarta
: Penerbit Kanisius, 1993) menggunakan istilah pendekatan historis, filosofis dan sosio-yuridis ketatanegaraan.
B. Pengertian Pancasila sebagai Dasar Negara

Pengertian Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia adalah


Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di negara
kita2. Sedangkan menurut Tim BP-7 Pusat,3 sebutan pancasila sebagai dasar
negara Republik Indonesia mengandung arti bahwa Pancasila digunakan sebagai
dasar untuk mengatur penyelenggaraan ketatanegaraan negara, yang meliputi
bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan4 .

Pancasila sebagai dasar negara oleh The Founding Fathers dituangkan


dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi : “ maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.

C. Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa dilihat dari
tiga pendekatan

Secara historis, Pancasila sebagai dasar negara jelas dikehendaki oleh


seluruh rakyat Indonesia, karena ia sebenarnya telah tertanam dalam kalbu rakyat.
Pancasila juga merupakan dasar negara yang mampu mempersatukan seluruh
rakyat Indonesia.

2
I.B.S. Wesnawa dan I.B. Kumara Adi Adnyana, Ibid., hal. 3.
3
Kini lembaga ini sudah dibubarkan pasca kejatuhan Soharto setelah reformasi menggelinding.
4
BP-7 Pusat, Bahan Penataran P4, UUD 1945, GBHN (Jakarta : BP-7 Pusat, 1993) hal. 15.
Istilah “Pancasila” pertama kali dapat ditemukan dalam buku “ Sutasoma”
karya Mpu Tantular yang ditulis pada zaman Majapahit (abad ke-14). Dalam
buku itu, istilah Pancasila diartikan sebagai perintah kesusilaan yang lima
jumlahnya (Pancasila Krama) dan berisi lima larangan untuk : (1) melakukan
kekerasan, (2) mencuri, (3) berjiwa dengki, (4) berbohong, dan (5) mabuk akibat
minuman keras. Selanjutnya istilah “sila” itu sendiri dapat diartikan sebagai
aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa; kelakuan atau
perbuatan yang menurut adab (sopan santun); dasar; adab; akhlak; moral5 .

Pancasila diusulkan oleh Ir. Soekarno sebagai dasar negara pada sidang
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia6 . Sejak saat
itu pula Pancasila digunakan sebagai nama dari pandangan hidup bangsa
indonesia, meskipun untuk itu terdapat beberapa tata urut dan rumusan yang
berbeda. Sejarah rumusan Pancasila itu tidak dapat kita pisahkan dengan sejarah
perjuangan bangsa Indonesia, dan tidak dapat pula dipisahkan dari sejarah
perumusan Undang-undang Dasar 1945.

Berdasarkan pada pendekatan yuridis-ketatanegaraan, maka Pancasila


itu jika dihubungkan dengan Teori Tangga (Stufen Theori) dari Hans Kelsen
merupakan Kaidah Dasar atau Grundnorm. Istilah lainnya dari Padmo Wahyono
adalah sebagai kaidah pokok fundamental negara7 .Sedangkan Notonegoro dalam
Azhary8 , dengan meminjam pendapat Nawiasky menempatkan Pancasila sebagai
pokok kaidah negara (staatsfundamentalnorm).

Menurut Azhary9 , dengan memperhatikan pertingkatan hukum dari


Nawiasky, yang menempatkan staatsfundamentalnorm pada tempat yang paling
atas, kemudian di bawahnya hukum dasar (Grundgesetz), di bawahnya lagi
undang-undang (Formell Gesetz) dan seterusnya peraturan pelaksanaannya, maka

5
Ibid., hal. 8.
6
Lihat Saafroedin Bahar, et al (Penyunting), Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus
1945 ( Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992).
7
Padmo Wahyono, Membudayakan UUD 1945 ( Jakarta : Ind-Hild Co.,1991) hal. 62.
8
Azhary, Negara Hukum Indonesia ( Jakarta : UI-Press, 1995) hal. 120.
9
Ibid., hal. 120-121.
norma yang paling tinggi merupakan sumber bagi semua norma atau hukum yang
ada di bawahnya. Dan sungguh tepat apabila TAP MPRS No. XX/MPRS/196610
dalam tata urutan perundang-undangan menempatkan Pancasila pada tempat
tertinggi, sebagai sumber dari segala sumber hukum. Inilah yang menjadi ciri atau
unsur utama Negara Hukum Indonesia, yaitu hukum bersumber pada Pancasila.

Di samping itu perlu pula diketahui bahwa Pancasila sebagai pandangan


hidup bangsa Indonesia juga merupakan ideologi negara, artinya telah
menumbuhkan keinginan bangsa Indonesia untuk mewujudkannya. Oleh karena
itu perwujudannya tidak bisa lain harus berpedoman atau bersumber pada
pandangan hidup berkelompok bangsa Indonesia11 .

Bersumber pada Pancasila, berarti hukum yang Berketuhanan Yang Maha


Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia,
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebikajsanaan dalam permusyawaratan
perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia12 .

Selanjutnya akan ditinjau dari pendekatan filosofis. Filosofis atau falsafah


berasal dari bahasa Yunani “philosophia” (philo / philos / philein, yang berarti cinta
/ pencinta / mencintai dan sophia yang berarti kebijaksanaan / wisdom / kearifan /
hikmat / hakikat kebenaran). Jadi falsafah artinya cinta akan kebijaksanaan atau
hakikat kebenaran.

Berfalsafah, berarti berfikir sedalam-dalamnya (merenung) terhadap sesuatu secara


metodik, sistematik, menyeluruh dan universal untuk mencari hakikat sesuatu. Pada umumnya
terdapat dua falsafah, yaitu falsafah dalam arti proses dan falsafah dalam arti produk. Selain
itu ada pengertian lain, yaitu falsafah sebagai ilmu dan falsafah sebagai pandangan hidup.
Demikian pula dikenal ada falsafah dalam arti teoritis dan falsafah dalam arti praktis.
Dalam perbedaan pengertian tersebut, Pancasila dapat digolongkan sebagai falsafah
dalam arti produk, sebagai pandangan hidup dan falsafah dalam arti praktis. Ini berarti falsafah
Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam hal sikap,

10
Kini dengan Tap MPR No. III/MPR/2000 Tap MPRS ini di cabut.
11
Loc. Cit.
12
Loc. Cit.
tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara bagi bangsa indonesia di manapun mereka berada.

Sebelum seseorang bersikap, bertingkah laku, atau berbuat, terlebih dulu ia akan
berfikir tentang sikap tingkah laku dan perbuatan mana yang sebaiknya di lakukan. Hasil
pemikirannya merupakan suatu putusan dan putusan itu disebut nilai. Nilai adalah sifat,
keadaan atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir
maupun batin.

Setiap orang di adalam kehidupannya sadar atau tidak sadar tentu memiliki
falsafah hidup atau pandangan hidup. Pandangan hidup atau falsafah hidup seseorang
adalah kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenaran, ketetapan dan kemanfaatannya.
Itulah yang kemudian menimbulkan tekad untuk mewujudkannya dalam bentuk sikap,
tingkah laku dan perbuatan.

Nilai-nilai sebagi hasil pemikiran yang sedalam-dalamnya tentang kehidupan yang


dianggap paling baik bagi bangsa Indonesia adalah Pancasila, baik sebagai falsafah
maupun sebagai pandangan hidup.

Nilai-nilai Pancasila dijadikan dasar dan motivasi dalam segala sikap, tingkah laku
dan perbuatan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai
tujuan nasionalnya sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan pedoman dan pegangan dalam


pembangunan bangsa dan negara agar dapat berdiri kukuh, serta dapat mengetahui arah
tujuan dalam mengenal dan memecahkan masalah (ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, pertahanan keamanan) yang dihadapi bangsa dan negara. Hal ini sekaligus
menjadi pegangan kita yang mantap agar tidak terombang-ambing oleh keadaan apapun,
termasuk pula dalam era globalisasi dewasa ini.
BAB 4: EKSISTENSI PANCASILA SEBAGAI SUMBER DARI SEGALA
SUMBER HUKUM DI INDONESIA*

*Hernadi Affandi

A. Pendahuluan
Pancasila memiliki fungsi yang bermacam-macam, seperti sudah dijelaskan sebelumnya.
Salah satu fungsi lainnya adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
Fungsi tersebut sangat erat kaitannya dengan Pancasila sebagai dasar negara di mana
semua hukum yang ada di Indonesia harus bersumber dari atau merupakan penjabaran
dari Pancasila itu sendiri. Pancasila adalah sebagai sumber dalam pembentukan hukum di
Indonesia.
Sebagai implementasi dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia, seluruh hukum harus bersumber dari Pancasila. Apabila terdapat hukum yang
tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam
Pancasila, artinya hukum tersebut tidak bersumber dari Pancasila, sehingga harus
dibatalkan atau dicabut. Konsekuensi segala hukum di Indonesia yang bersumber dari
Pancasila tentu tidak boleh bertentangan dengan sumbernya sendiri.
Penempatkan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara serta sekaligus
dasar filosofis negara membawa konsekuensi setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Hal ini sejalan dengan asas di dalam hukum bahwa peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Segala hukum di Indonesia baik yang tertulis maupun tidak tertulis bersumber dari
Pancasila, sehingga tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
Hal itu juga sebagai konsekuensi bahwa peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah merupakan pelaksanaan atau penjabaran dari peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Secara normatif, peraturan perundang-undangan yang ada di bawah
atau lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Keberlakuan peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari hirarki dan
materi muatannya.
Secara hirarkis, peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Indonesia adalah
UUD 1945. Apabila ditelusuri, UUD 1945 juga bersumber dari Pancasila atau dijiwai
oleh Pancasila. Selanjutnya, UUD 1945 dijabarkan ke dalam peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah bahkan sampai ketentuan yang bersifat teknis. Dengan
demikian, seluruh peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia baik langsung
atau tidak langsung merupakan penjabaran dari Pancasila, sehingga tidak boleh
bertentangan dengan Pancasila.

B. Makna Sumber Dari Segala Sumber Hukum


Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah
sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 alinea keempat. yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara, ideologi negara, dan dasar filosofis negara
membawa konsekuensi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Pancasila
akan menempati posisi paling tinggi sebagai sumber hukum yang ada di Indonesia. Oleh
karena itu, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dalam frasa “sumber dari segala sumber hukum” terdapat beberapa pengertian
yang perlu mendapatkan penjelesan, selain dari pengertian “sumber dari segala sumber
hukum” itu sendiri. Sebelum membahas pengertian sumber dari segala sumber hukum,
terlebih dahulu perlu dipahami pengertian sumber hukum. Istilah sumber hukum
mempunyai arti yang bermacam-macam bergantung dari sudut mana orang melihatnya.
Dengan kata lain, sumber hukum bukan hanya dapat dipahami oleh orang yang
berkecimpung dalam bidang hukum.
Pengertian sumber hukum bagi seorang ahli sejarah berbeda dengan pengertian
yang diberikan oleh seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog), ahli ekonomi, atau ahli
hukum. Menurut van Apeldoorn, perkataan sumber hukum dapat dipakai dalam arti
sejarah, kemasyarakatan, filsafat, dan formal. Dengan demikian, pemaknaan sumber
hukum akan berbeda-beda sesuai dengan latar belakang masing-masing.
Perkataan sumber hukum bagi sarjana hukum mempunyai dua arti:
1. 1. Arti pertama adalah sumber sebagai penyebab adanya hukum. Pengertian ini
menunjukkan penyebab adanya hukum adalah tidak lain dari keyakinan hukum dari
orang-orang yang melakukan peranan menentukan tentang apa yang harus jadi hukum
di dalam negara (welbron).
2. 2. Arti kedua yaitu sumber hukum dalam arti bentuk perumusan dari kaidah-kaidah
hukum tata negara yang terdapat di dalam masyarakat dari mana kita dapat mengetahui
apa yang menjadi hukum itu (kenbron).
Secara singkat sumber hukum dibagi ke dalam dua pengertian, yaitu: Sumber
hukum dalam arti formal, yaitu sumber hukum yang dikenal dari bentuknya dan karena
bentuknya itu menyebabkan hukum berlaku umum, diketahui, dan ditaati. Di sini suatu
kaidah memperoleh kualifikasi sebagai kaidah hukum dan oleh yang berwenang ia
merupakan petunjuk hidup yang harus diberi perlindungan. Sementara itu, sumber hukum
dalam arti material, yaitu sumber hukum yang menentukan isi hukum.
Apabila dikaitkan dengan pengertian sumber hukum tersebut, Pancasila sebagai
dasar negara, pandangan hidup bangsa, dan kemudian menjadi falsafah negara merupakan
sumber hukum dalam arti material yang tidak saja menjiwai bahkan harus dilaksanakan
oleh setiap hukum di Indonesia khususnya hukum tertulis dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Pancasila merupakan alat penguji untuk setiap peraturan
perundang-undangan yang berlaku, apakah materi muatannya sesuai atau tidak,
bertentangan atau tidak dengan Pancasila.
Suatu hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis seperti peraturan
perundang-undangan bertentangan dengan Pancasila, hukum tersebut tidak boleh berlaku.
Alasannya, hukum tersebut tidak sesuai dengan sumbernya yang paling tinggi yaitu
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Konsekuensi suatu
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Pancasila akan mengakibatkan
peraturan perundang-undangan tersebut menjadi kehilangan nilai-nilai Pancasila.
Menurut Sunaryati Hartono, sistem hukum nasional harus memenuhi beberapa
syarat sebagai berikut:
a. bahwa kaidah-kaidah hukum nasional kita harus berdasarkan falsafah kenegaraan
Pancasila (yang merupakan Grundnorm kita) dan UUD 1945.
b. bahwa kaidah-kaidah hukum nasional kita itu harus pula mengandung dan memupuk
nilai-nilai baru yang mengubah nilai-nilai sosial yang bersumber pada kehidupan
kesukuan dan kedaerahan menjadi nilai-nilai sosial yang bersumber dan memupuk
kehidupan dalam ikatan kenegaraan secara nasional.
c. bahwa kaidah-kaidah hukum nasional itu harus mencerminkan terjadinya perubahan
dari susunan masyarakat yang agraris-tradisional menuju suatu masyarakat Indonesia
yang lebih industrialistis-modern.
d. bahwa sistem hukum nasional itu mengandung kemungkinan untuk menjamin
dinamika dalam rangka pembaharuan hukum nasional itu sendiri, sehingga secara
kontinu dapat mempersiapkan pembangunan dan pembaharuan masyarakat di masa
yang berikutnya.

C. Makna Pancasila Sebagai Sumber Dari Segala Sumber Hukum


Berbicara implementasi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum tidak
akan terlepas dari pengertian-pengertian teknis hukum seperti kaidah hukum, sumber
hukum, asas hukum, sistem hukum, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebelum memahami
lebih lanjut terkait bentuk penjabaran Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum harus memahami hal-hal tersebut. Setelah itu, kemudian pembicaraan akan terkait
dengan bentuk penjabaran Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Menurut Arief Sidharta, secara teknis kaidah hukum dapat dibedakan ke dalam
beberapa tipe yaitu kaidah perilaku, kaidah kewenangan, dan kaidah sanksi. Kaidah
perilaku adalah yang menetapkan bagaimana orang (subyek hukum) harus berperilaku
dalam hubungan interaksi kemasyarakatan. Kaidah kewenangan (publik) adalah kaidah
yang memberikan kewenangan untuk menetapkan kaidah perilaku. Kaidah sanksi adalah
kaidah yang menetapkan akibat hukum tertentu yang melanggar (atau mematuhi) kaidah
hukum.
Sementara itu, sebuah sistem hukum tersusun atas dua tatanan (tatanan tingkat
keabstrakan) sebagai berikut:
a. Tatanan hukum eksternal yang tampak pada tataran permukaan yang mewujudkan
kebertatanan formal, yang terdiri atas kaidah-kaidah perilaku yang sudah terumuskan
secara tekstual, baik dalam bentuk tertulis (yang berwujud aturan-aturan hukum
tertulis dalam bentuk perundang-undangan) maupun dalam bentuk perulangan
perilaku yang sama tiap kali terjadi situasi kemasyarakatan yang sama;
b. Tatanan hukum internal yang di permukaan tidak tampak yang mewujudkan
kebertatanan materiil, melainkan berada di bawah permukaan yang melandasi dan
menjiwai tatanan hukum eksternal, yang terdiri atas asas-asas hukum dan kaidah-
kaidah hukum yang belum diungkapkan atau terumuskan secara tekstual.
Keberadaan suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia merupakan suatu
keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi karena Indonesia adalah negara hukum.
Sebagai konsekuensi dari negara hukum adalah harus diletakkannya hukum sebagai
landasan utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Segala gerak
kehidupan atau perbuatan baik yang dilakukan oleh individu, masyarakat, atau para
pejabatnya harus selalu berpedoman dan dalam rangka hukum, sehingga tidak ada
seorang pun dalam negara hukum yang kebal hukum apabila melakukan pelanggaran
terhadapnya.
Secara teori, suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi syarat-syarat
atau landasan yaitu landasan filosofis, yuridis, sosiologis, dan teknik perancangan.
Syarat-syarat atau andasan tersebut sangat penting dalam menghasilkan suatu peraturan
perundang-undangan. Dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut diharapkan suatu
produk peraturan perundang-undangan akan baik hasilnya. Suatu peraturan perundang-
undangan yang dibuat sesuai dengan persyaratan tersebut akan berlaku lama dan diterima
dengan baik oleh masyarakat.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam hal ini akan berkaitan
dengan Pancasila sebagai landasan filosofis dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan. Landasan filosofis merupakan landasan yang menggambarkan bahwa suatu
peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk harus mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran, dan cita hukum yang sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila.
Dengan kata lain, Pancasila dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
merupakan sumber dari segala hukum baik hukum yang tertulis maupun hukum yang
tidak tertulis khususnya peraturan perundang-undangan. Suatu produk hukum di
Indonesia harus menjabarkan dan dalam rangka melaksanakan Pancasila, sehingga
Pancasila disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum. Apabila terdapat hukum
yang bertentangan dengan Pancasila artinya hukum tersebut tidak bersumber dari
Pancasila.
Di dalam ilmu hukum, terdapat beberapa penggolongan hukum sebagai berikut:
• 1. Berdasarkan sumbernya: dikenal hukum adat, hukum undang-undang, hukum
traktat, dan hukum yurisprudensi.
• 2. Berdasarkan daerah kekuasaannya: dikenal _hukum nasional dan hukum
internasional.
• 3. Berdasarkan sifat kekuatan berlakunya: dikenal hukum paksa dan hukum
tambahan atau pelengkap.
• 4. Berdasarkan isinya: dibedakan antara hukum publik (hukum pidana, hukum tata
negara, hukum acara pidana dan perdata, hukum administrasi) dan hukum privat
(hukum perdata dan hukum dagang)
• 5. Berdasarkan pemeliharaannya: dikenal hukum materiil dan hukum formal
• 6. Berdasarkan bentuk atau sifatnya: dikenal hukum tertulis dan hukum tidak tertulis:
a. a. Hukum tertulis contohnya adalah peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi, dan traktat.
b. b. Hukum tidak tertulis contohnya adalah hukum adat (adatrecht) dan hukum
kebiasaan (gewoonterechten).
Bagi sebagian orang biasanya terjadi kebingungan dalam membedakan antara
pengertian peraturan perundang-undangan dengan pengertian undang-undang. Adapun
yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. Sementara itu, undang-undang adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan
bersama Presiden.
Dengan melihat pengertian tersebut tampak bahwa peraturan perundang-undangan
lebih luas daripada undang-undang. Peraturan perundang-undangan di dalamnya
mencakup undang-undang, sedangkan undang-undang hanya merupakan salah satu
bentuk peraturan perundang-undangan. Selain undang-undang terdapat jenis atau bentuk
peraturan perundang-undangan lainnya seperti undang-undang dasar, ketetapan MPR,
peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan
daerah.
Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri
atas:
a. a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. d. Peraturan Pemerintah;
a. Peraturan Presiden;
b. Peraturan Daerah Provinsi; dan
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

D. Hubungan Pancasila Sebagai Segala Sumber Hukum Dengan Hukum


Konsekuensi dijadikannya Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
adalah Pancasila memiliki hubungan yang sangat erat dengan hukum. Sebagai sumber
dari segala sumber hukum, Pancasila harus tercermin dalam setiap hukum yang ada dan
berlaku di Indonesia. Segala hukum di Indonesia harus mengandung dan mencerminkan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila baik secara keseluruhan maupun parsial.
Hukum Indonesia harus mencerminkan dan mengandung nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai-nilai tersebut bukan hanya harus
terwujud dalam hukum tertulis tetapi juga dalam hukum tidak tertulis. Dengan demikian,
hukum Indonesia tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila tersebut baik
secara implisit apalagi eksplisit.
Hukum tertulis Indonesia akan berbeda dengan hukum tertulis di negara lain.
Meskipun Indonesia bukan negara agama, pengakuan akan keberadaan Tuhan Yang
Maha Esa adalah yang pertama dan utama. Hukum Indonesia harus mengandung nilai-
nilai ketuhanan karena Indonesia menganut dan mempercayai keberadaan Tuhan Yang
Maha Esa.
Hukum Indonesia tidak boleh menafikan hakikat keberadaan Tuhan dalam segala
bentuknya baik langsung maupun tidak langsung. Meskipun nilai ketuhanan tidak
tercantum secara eksplisit dalam hukum Indonesia, nilai-nilai itu harus tercermin dalam
landasan filosofis maupun materi muatan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Sistem hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum negara lain, seperti
sistem hukum Eropa Kontinental dan sistem hukum Anglo Sakson. Perbedaannya antara
lain adalah sistem hukum Indonesia akan selalu mengaitkan semua hukumnya dengan
nilai-nilai Pancasila. Sistem hukum suatu negara mungkin saja terpengaruh oleh sistem
hukum lain, tetapi secara substantif akan berbeda dengan hukum negara lain karena
hukum Indonesia akan mengandung nilai-nilai ke-Indonesia-an sendiri yang tidak
terdapat dalam sistem hukum mana pun karena Indonesia memiliki Pancasila. Pancasila
adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa bagi Indonesia, termasuk dalam pembentukan
hukumnya.
Berkaitan dengan konsep atau sistem hukum di Indonesia, beberapa pakar hukum
Indonesia menyebutnya dengan konsep negara hukum Pancasila. Penyebutan konsep
negara hukum Pancasila lebih ditekankan kepada pemikiran bahwa hukum Indonesia
harus didasarkan kepada pandangan hidup maupun pandangan bernegara, yaitu Pancasila.
Menurut Padmo Wahjono, segala bentuk peraturan perundang-undangan termasuk
pelaksanaannya, sebagai pencerminan pengaturan kepentingan rakyat, harus didasarkan
ataupun bersumber kepada Pancasila. Pancasila adalah jiwa bangsa yang harus selalu
menjiwai seluruh hukum di Indonesia. Oemar Seno Adji juga menegaskan bahwa negara
hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Ciri khas tersebut adalah Pancasila,
sehingga harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum.
Sistem hukum Indonesia dibentuk dan dibangun di atas nilai-nilai yang dimiliki
Indonesia sendiri, meskipun terdapat pengaruh dari sistem hukum lain. Sistem hukum
Indonesia adalah sistem hukum Pancasila. Dengan demikian, konsep negara hukum
Pancasila merupakan konsep hukum yang bukan rule of law murni maupun rechtsstaat
murni, tetapi sudah disesuaikan dengan jiwa dan pandangan hidup bangsa Indonesia,
yaitu Pancasila.

E. Penutup
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum menunjukkan bahwa semua
hukum yang ada di Indonesia, khususnya hukum tertulis, harus menggunakan Pancasila
sebagai sumbernya. Apabila terdapat hukum tertulis, khususnya peraturan perundang-
undangan, yang tidak sesuai apalagi bertentangan dengan Pancasila akan berakibat dapat
dibatalkan karena tidak memenuhi landasan filosofis maupun dasar negara.
Pancasila harus menjadi tolok ukur dalam membentuk hukum tertulis, khususnya
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, para pembentuk peraturan perundang-
undangan baik di Pusat maupun di Daerah harus menggunakan Pancasila sebagai tolok
ukurnya. Keadilan yang diharapkan adalah keadilan yang sesuai dengan Pancasila bukan
keadilan sebagaimana dimaksud dalam ideologi lain.
Kehadiran Pancasila dalam setiap hukum Indonesia merdeka artinya bahwa
hukum tersebut harus bersumber dan menjabatkan Pancasila. Oleh karena itu, seluruh
hukum itu mulai dari yang paling tinggi harus menjadikan Pancasila sebagai sumbernya
dan kemudian dijabarkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Dengan demikian, segala jenis peraturan perundang-undangan mulai dari yang paling
tinggi sampai dengan yang paling rendah harus bersumber dari Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai