Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit

2.1.1. Pengertian Cronic Kidney Disease (CKD)

Cronic Kidney Disease (CKD) atau Gagal Ginjal Kronik merupakan

gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh

gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan

elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam

darah (Nuari & Widayati, 2017).

Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan

metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur

struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit

(toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin et al, 2011).

2.1.2. Etiologi

Menurut (Wijaya & Putri, 2013), Gagal Ginjal Kronik (CKD) dapat

disebabkan oleh :

a. Gangguan pembuluh darah ginjal

Berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabkan iskemik ginjal dan

kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling sering adalah ateriklerosis pada

arteri renalis yangbesar, dengan konstriksi skleratik progresif pada

pembuluh darah. Hiperplasia fibromuskular pada satu atau lebih arteri


besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh darah. Nefroklerosis

yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak

diobati, dikarakteristikan oleh penebalan, hilangnya elestisitas sistem,

perubahan pembuluh darah ginjal menyebabkan penurunan aliran darah

dan akhirnya gagal ginjal.

b. Gangguan Imunologis

Gangguan imunologis kemungkinan besar disebabkan oleh kadar toksik

zat-zat sisa, peningkatan konsentrasi asam dan kerentanan terhadap

infeksi.

c. Infeksi

Infeksi dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang

berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini

mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara

ascenden dari traktus urinarius bagian bawah lewat ureter ke ginjal

sehingga dapat menimbulkan kerusakan irreversible ginjal yang disebut

plenlonefritis.

d. Gangguan metabolic

Gangguan metabolic seperti Diabetes Militus (DM) yang menyebabkan

mobilisasi lemak meningkat sehingga terjadi penebalan membrane kapiler

dan di ginjal berlanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati

amiloidosis yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal

pada dinding pembuluh darah secara serius merusak membrane

glomerulus.
e. Gangguan tubulus primer

Gangguan tubulus primer akan mengakibatkan terjadinya nefrontoksis

akibat analgesic atau logam berat.

f. Obstruksi traktus urinarius

Obstruksi traktus urinarius dapat disebabkan oleh batu ginjal, hipertrofi

prostat, dan kontriksi uretra.

g. Kelainan kongenital dan herediter

Seperti penyakit polikistik yaitu kondisi keturunan yang dikarakteristik

oleh terjadinya kista atau kantong berisi cairan di dalam ginjal dan organ

lain, serta tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital serta

adanya asidosis.

2.1.3. Patofisiologi

Gagal ginjal kronik dimulai pada fase awal gangguan, keseimbangan

cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan

bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari

25 % normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena

nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron

yang tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya, serta

mengalami hipertrofi. Pada gangguan ketidakseimbangan cairan, mula-mula

ginjal menghilangkan fungsinya sehingga tidak mampu memekatkan urine

(hipothenuria) dan kehilangan cairan yang berlebuhan (polyuria) hiphothenuria

tidak disebabkan atau berhubungan dengan penurunan jumlah nefron, tetapi oleh

peningkatan beban zat dan nefron. Hal ini terjadi karena keutuhan jumlah nefron
yang membawa zat tersebut dan kelebihan air untuk nefron-nefron tersebut tidak

dapat berfungsi lama. Terjadi osmotic diuretik, menyebabkan seseorang menjadi

dehidrasi. Jika jumlah nefron yang tidak berfungsi meningkat, maka ginjal tidak

mampu menyaringe urine (isothenuria). Pada tahap iniglumerolus menjadi kaku

dan plasma tidak dapat di filter dengan mudah melalui tubulus, maka akan terjadi

kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium (Muttaqin & Sari, 2011).

2.1.4 Tanda dan Gejala

Manifestasi klinis menurut (LeMone et al, 2016) yang dapat dilihat dari

fungsi sistem tubuh yaitu :

a. Manifestasi kardiovaskuler

Hipertensi siskemik adalah manifestasi umum CKD . Hipertensi terjadi

akibat kelebihan volume cairan, peningkatan aktivitas renin angiotensin,

peningkatan resistensi vascular, dan penurunan prostaglandin. Peningkatan

volume cairan ekstraselular juga dapat menyebabkan edema dan gagal

jantung. Edema paru dapat terjadi karena gagal jantung dan peningkatan

permeabilitas membrane kapiler alveolus.

b. Efek Hematologi

Anemia bias muncul pada CKD, disebabkan oleh banyak factor, ginjal

memproduksi eritropoetin, hormol yang mengontrol produksi SDM. Pada

gagal ginjal, produksi eritropoietin turun. Toksin metabolic yang tertahan

lebih lanjut menekan produksi SDM dan menyebabkan pemendekan masa

hidup SDM. Kekurangan nutrisi (besi dan folat) dan peningkatan resiko

kehilangan darah dari saluran GI juga menyebabkan anemia.


c. Gangguan Pulmoner

Dyspnea akibat kelebihan cairan, edema paru, pleuritis (pleurisy) uremia,

dan efusi pleura sering ditemukan pada pasien gagal ginjal.

d. Gangguan Muskuloskeletal

Hiperfosfatemia dan hipokalsemia yang terkait dengan uremia

menstimulasi sekresi hormone paratiroid. Hormone paratiroid

menyebabkan peningkatan resorpsi kalsium dari tulang. Selain itu aktivitas

sel osteoblast (pembentuk tulang) dan osteoklas (penghancur tulang)

terkena. Resorpsi dan remodeling tulang ini, bersamaan dengan penurunan

vitamin D dan penurunan absorpsi kalsium dari saluran GI, menyebabkan

osteodistrofi ginjal. Osteodistrofi ditandai dengaan osteomalasia,

pelunakan tulang, dan osteoporosis, penurunan massa tulang.

e. Gangguan Cairan Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa

Peningkatan retensi cairan menyebabkan penurunan ekskresi urine.

Keparahan gejala bergantung pada peningkatan kelebihan cairan. Dapat

terjadi edema dan hipertensi. Kelebihan cairan pada akhirnya dapat

menyebabkan gagal jantung kongestif, edema paru, dan efusi pericardium

serta efusi pleura. Pada keadaan ini dapat pula sejumlah gangguan

keseimbangan elektrolit yang disebabkan oleh disfungsi ginjal. Ekskresi

natrium akan terganggu dan retensi natrium terjadi bersama dengan retensi

air. Retensi natrium turut menyebabkan edema, hipertensi, dan gagal

jantung kongestif. Hyperkalemia merupakan gangguan elektrolit yang


paling serius terkait dengan gagal ginjal kronikkarena penurunan ekskresi

kalium oleh ginjal dan asidosis metabolic.

f. Gangguan endokrin

Gagal ginjal dikaitkan dengan beberapa gangguan metabolic dan endokrin.

Gangguan ini meliputi : hiperglikemia, abnormalitas ujitoleransi glukosa,

dan hyperlipidemia. Gangguan metabolic dan endokrin lain berkaitan

dengan abnormalitas muskuluskiletal.

2.1.5 Klasifikasi

Klasifikasi dari gagal ginjal kronik dapat menurut (Wijaya & Putri, 2013)

dibagi menjadi 3 stadium yaitu sebagai berikut :

a. Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin

serum normal dan penderita asimtomatik.

b. Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan telah

rusak, Blood Urea Nitrogen (BUN) meningkat, dan kreatinin serum

meningkat.

c. Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.

K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari

tingkat penurunan LFG :

d. Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria

persisten dan LFG yang masih normal (>90 ml/menit/1,73 m2

e. Stadium 2 : kelainan ginjal yang albuminaria persisten dengan LFG

antara 60-89 ml/menit/1,73 m2


f. Stadium 3 :kelainan ginjal dengan LFG Antara 30-59 ml/menit/1,73

m2

g. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG Antara 15-29 ml/menit/1,73

m2

h. Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m2 atau

gagal ginjal terminal.

Untuk menilai GFR (Glomelular Fitration Fitration) / CCT

(Clerance Creatinin Test) dapat digubakkan dengan rumus :

Clerance Creatinin (ml/menit)=(140-umur) x berat badan (kg)

72 x creatinine serum

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85.

2.1.6 Komplikasi

Komolikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut (Nurari & Widayanti,

2017) yaitu :

a. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme

dan masukan diet berlebih.

b. Perikarditis, efusi perikardial dan tamponade jantung akibat retensi produk

sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.

c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-

angiostensin-aldosteron.

d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah

merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dsn kehilangan

darah selama hemodialysis.


e. Penyakit tulang serta klasifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar

kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan

peningkatan kadar aluminium.

2.1.7 Penatalaksanaan Keperawatan

Menurut (Nuari & Widayati, 2017), penatalaksanaan pasienn dengan

Gagal Ginjal Kronik (CKD) dibagi menjadi tiga yaitu :

a. Konservatif

1) Dilakukan pemeriksaan lab, darah dan urin

2) Observasi balance cairan

3) Observasi adanya edema

4) Batasi cairan yang masuk

b. Dialysis

1) Peritoneal dialysis

Biasanya dilakukan pada kasus-kasus emergency. Sedangkan

dialysis yang bias dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut

adalah CAPD (Contunies Ambulatori Peritoneal Dialysis)

2) Hemodialysis

Yaitu dialysis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena

dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodialysis

dilakukan melalui daerah femoralis.

3) AV fistule : menggabungkan vena dan arteri

4) Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke

jantung)
c. Operasi

1) Pengambilan batu

2) Transplantasi ginjal

2.2 Konsep Hipervolemia

2.2.1 Definisi Hipervolemia

Hipervolemia adalah peningkatan volume cairan intravaskukal, interstisial,

dan/atau intraseluler (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, 2016). Kelebihan

volume cairan merupakan peningkatan retensi cairan isotonic (Nanda

Internasional, 2015).

2.2.2 Etiologi Hipervolemi

Beberapa penyebab dari Hipervolemia menurut (SDKI, 2016) pada

umumnya yaitu :

a. Gangguan mekanisme regulasi

Apabila ginjal mengalami kerusakan, kemampuan ginjal untuk mengalami

regulasi akan menurun. Karena itu pada saat terjadi gangguan ginjal

individu dapat mengalami oliguria (produksi urine kurang dari 400/24

jam) hingga anuria (produksi urine kurang dari 200ml/24 jam)

b. Kelebihan asupan cairan

Asupan cairan yang berlebih dapat mengakibatkan kenaikan berat badan,

edema, bronchi basah dalam paru-paru, kelopak mata yang bengkak dan

sesak nafas yang diakibatkan oleh volume cairan yang berlebihan.

c. Kelebihan asupan cairan


Pada pasien gagal ginjal natrium perlu dibatasi karena natrium

dipertahankan di dalam tubuh walaupun faal ginjal menurun. Hal ini

penting apabila terjadi hipertensi, edema, dan bendungan paru. Pemberian

natrium harus dilakukan pada tahap yang ditolerir dengan tujuan untuk

mempertahankan volume cairan ekstraseluler.

d. Gangguan aliran balik vena

e. Efek agaen farmakologis (mis. kortikosteroid, chlorpropamide,

tolbutamide, vincristine, tryptilinescrabamazepine)

2.2.3 Tanda dan Gejala Hipervolemi

Menurut SDKI 2016 (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia). Tanda

dan gejala yang mincul pada diagnose keperawatan gangguan Hipervolemi

adalah sebagai berikut :

Gejala dan tanda mayor

a. Ortipnea

b. Dyspnea

c. Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)

d. Edema anasarka dan/atau edema perifer

e. Berat badan meningkat dalam waktu singkat

f. Jugular Venous Pressure (JVP) dan/atau Central Venous Pressure

(CVP)

g. Reflek hepatojugular positif

Gejala dan tanda minor

a. Distensi vena jugularis


b. Terdengar suara napas tambahan

c. Hepatomegali

d. Kadar Hb/Ht turun

e. Oliguria

f. Intake lebih banyak dari output (balans cairan positif)

g. Kongesti paru

2.2.4 Dampak Hipervolemia

Kelebihan volume cairan dapat menyebabkan edema paru, edema perifer,

kelebihan toksik uremik bertanggung jawab terhadap pericarditis dan iritasi

sepanjang saluran gastrointestinal dari mulut sampe anus, gangguan

keseimbangan biokimia (hyperkalemia, hiponatremi, asidosis metabolik),

gangguan keseimbangan kalsium fosfat lama kelamaan mengakibatkan

demineralisasi tulang neuropati perifer, pruritus, pernafasan dangkal, anoreksia,

mual, muntah, kelemahan dan keletihan (Ardiansyah & A, 2014).

2.2.5 Upaya pada Hipervolemia

Menurut Muttaqin et al (2011:173) untuk menjaga keseimbangan cairan

elektrolit dan mencegah komplikasi yaitu :

a. Dialisis

Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang

serius, seperti hiperglikrmia, pericarditis, dan kejang. Dialysis

memperbaiki abnormalitas biokomis; menyebabkan cairan, protein dan

natrium dapat dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan

perdarahan; dan membantu menyembuhkan luka.


b. Koreksi hiperkalemi

Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperglikemi dapat

menimbulkan kematian mendadak. Hal pertama yang harus diingat adalah

jangan menimbulkan hiperglikemia. Selain dengan pemeriksaan darah,

hiperglikemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi

hiperglikemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake

kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.

c. Koreksi anemia

Usaha utama ditunjukkan untuk mengatasi factor defisiensi, kemudian

mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat di atasi. Pengendalian

gagal ginjal keseluruhan akan dapat meningkatkan Hb. Transfusi darah

hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya ada

insufisiensi coroner.

d. Koreksi asidosis

Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari.

Natrium bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada

permulaan 100 mEq natrium bukarbonat diberikan intravena perlahan-

lahan, jika diperlukan dapat diulang. Hemodialysis dan dialysis peritoneal

dapat juga mengatasi asidosis.

e. Pengendalian hipertensi

Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator dilakukan.

Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati

karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.


f. Transplantasi ginjal

Dengan pencakokan ginjal yang sehat ke pasien Gagal Ginjal Kronik,

maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.

2.3 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

2.3.1 Pengkajian

Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016) pengkajian terterfokus pada

pasien kategori diagnose fisiologi dengan sub kategori nutrisi dan cairan.

Pengkajian terfokus pada diagnose Hipervolemia pada pasien Gagal Ginjal

Kronik adalah :

Sistem Perkemihan : gangguan mekanisme regulasi yang ditandai dengan edema

anasarka dan/edema perifer, berat badan meningkat dalam waktu singkat, distensi

vena jugularis, terdengar suaran nafas tambahan, kadar Hb/Ht turun, oliguria,

intake lebih banyak dari output (balans cairan positif), kongesti paru, ortopnea,

dyspnea, Proxismal Nocturnal Dyspnea (PND), hepatomegali, reflek

hepatojugular positif, Jugular Vneous Pressure (JVP) dan/atau Central Veneous

Pressure (CVP) meningkat.

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016), diagnose keperawatan

merupakan suatau penilaian klinis mengenai respon klien terhadap masalah

kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung actual

maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi


respon klien individ, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan

dengan kesehatan.

Diagnose disusun berdasarkan tanda dan gejala yang ditemukan pada klien

dan disesuaikan dengan batasan karakteristik (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).

Adapun diagnose yang muncul dan sekaligus difokuskan adalah :

Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi yang

ditandai dengan edema anasarka dan/edema perifer, berat badan meningkat dalam

waktu singkat, distensi vena jugularis, terdengar suaran nafas tambahan, kadar

Hb/Ht turun, oliguria, intake lebih banyak dari output (balans cairan positif),

kongesti paru, ortopnea, dyspnea, Proxismal Nocturnal Dyspnea (PND),

hepatomegali, reflek hepatojugular positif, Jugular Vneous Pressure (JVP)

dan/atau Central Veneous Pressure (CVP) meningkat.

2.3.3 Perencanaan Keperawatan

Menurut Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018), Intervensi keperawatan

adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada

pengetahuan dan penilaian klinis untuk untuk mencapai luaran (outcome) yang

diharapkan.
Table 2.1 Intervensi Keperawatan

Diagnosa Rencana Keperawatan


Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Hipervolemia NOC SIKI
berhubungan dengan Electrolit and acid base Manajemen
gangguan balance cairan
mekanisme regulasi Fluid balance Observasi
ditandai dengan Hydration 1. Monitor
edema anasarka Kriteria Hasil status hidrasi,
dan/atau edema 1. Terbebas dari edema, (mis, frekuensi
perifer, berat badan efusi, anasarka nadi, kekuatan
meningkat dalam 2. Bunyi nafas bersih, tidak nadi, akral, pe
waktu singkat, ada dyspnea/ortopnea ngisian kapiler
distensi vena 3. Terbebas dari distensi kelembaban
jugularis, terdengar vena jugularis, reflek mukosa, turgor
suara nafas tambahan, hepatojugular (+) kulit, tekanan
kadar Hb/Ht turun, 4. Memelihara tekanan vena darah)
oliguria, intake lebih sentral, tekanan kapiler 2. Monitor berat
banyak dari output paru, output jantung badan harian
(balans cairan positif), dan vital sign dalam 3. Monitor hasil
Kongesti paru, ortopnea, batas normal pemeriksaan
Dyspnea, Paroximal 5. Menjelaskan indicator laboratorium
Nocturnal Dyspnea kelebihan volume cairan (mis, hematok
PND), hepatomegali, rit, Na, K, CI
reflek hepatojugular berat jenis urin
positif, Jugular Venous BUN)
Pressure (JVP) dan/atau 4. Monitor status
Central Pressure hemodinamik
(CVP) meningkat. (mis, MAP,
CVP, PAP,
PCWP
Jika tersedia)
Terapeurik
5. Catat intake-
Output dan
hitung balans
cairan 24 jam
6. Berikan asupan
cairan, sesuai
kebutuhan
Kolaborasi
7. Kolaborasi
Pemberian deur
erik, jika perlu
SIKI
Manajemen
Hipervolemia
Observasi
1. Periksa tanda
dan gejala
hipervolemia
(mis, ortopnea,
dyspnea,
edema,
JVP/CVP
meningkat,
refleks
hepatojugular
positif, suara
napas
tambahan)
2. Identifikasi
penyebab
hipervolemia
3. Monitor intake
dan output
cairan
Edukasi
4. Anjurkan
melapor jika
Haluaran urin
<0,5
mL/kg/jam
dalam 6 jam
5. Ajarkan
mengukur dan
mencatan
asupan dan
haluaran
cairan
Kolaborasi
6. Kolaborasi
pemberian
deuritik
2.3.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan merupakan rencana keperawatan oleh perawat

dan klien. Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan yang

dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan. Jenis implementasi

berdasarkan implementasi keperawatan dapat dibagi sebagai berikut :

a. Independent implementations, adalah implementasi perawat untuk

membantu klien dalam mengatasi masalah sesuai kebutuhan, misalnya

membantu dalam memenuhi Activity Daily Living (ADL) diprakarsai

sendiri oleh perawat

b. Interdependen/collaborative imolementation, adalah aksi keperawatan

dengan kegiatan keperawatan bersama tim kesehatan lainnya, seperti

dokter. Contoh dalam hal pemberian obat oral, kateter urine dan lain-lain.

Di dalam kerjasama ini dapat dilakukan dengan pemberian obat injeksi,

jenis obat, dosis obat, dan efek samping merupakan tanggung jawab tetapi

benar obat, ketetapan jadwal pemberian, ketetapan cara pemberian,

ketetapan dosisi pemberian dan ketetapan klien serta respon klien setelah

pemberian merupakan tanggung jawab dan menjadi perhatian perawat.

c. Dependent implementations, adalah tindakan keperawatan atas dasar

rujukan dari profesi lain, seperti ahli gizi, phisiotherapi, psikolog dan lain-

lain (Dermawan, 2012)

2.3.5 Evaluasi

Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari keefektifan asuhan

keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan
respon perilaku klien yang terampil. Evaluasi keperawatan adalah

membandingkan efek atau hasil suatu tindakan keperawatan dengan standar

tujuan pengambilan kepurusan yang terjadi sejauh mana tujuan sudah tercapai.

Evaluasi di tulis setiap kali setelah semua tindakan dilakukan terhadap

pasien. Pada tahap evaluasi dibagi menjadi empat tahap yaitu SOAPIER atau

SOAP, yaitu :

S (Subjek) : hasil pemeriksaan terakhir yang dikeluhkan oleh pasien

biasanya data ini berhubungan dengan kriteria hasil

O (Objektif) : hasil pemeriksaan terakhir yang dilakukan oleh

perawat biasanya data ini juga berhubungan dengan

kriteria hasil

A (Analisa) : pada tahap ini dijelaskan apakah masalah

kebutuhan pasien telah terpenuhi atau tidak

P (Rencana Asuhan) : dijelaskan rencana tindak lanjut yang akan

dilakukan pada pasien

I (Intervensi) : tindakan perawat dalam mengatasi masalah yang

ada

E (Evaluasi) : evaluasi terhadap tindakan keperawatn

R (Revisi) : untuk menentukan masalah teratasi, teratasi

sebagian atau tidak teratasi adalah dengan cara

membandingkan Antara SOAP dengan tujuan dan

kriteria hasil yang telah ditetapkan. (Dermawan,

2012)

Anda mungkin juga menyukai