Anda di halaman 1dari 19
BPISKesehatan © @ a Spanner =. PEDOMAN DETEKSI KECELAKAAN KERJA DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA DI FASILITAS KESEHATAN YANG TELAH BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN BABI PENDAHULUAN A LATAR BELAKANG Undang-Undang Republik indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan ‘Sosial Nasional memberikan perindungan sosial untuk menjamin selurun rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak dengan meliputi 5 (ima) program yaltu Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian. Khusus untuk program Jaminan Kesehatan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, Seluruh penduduk Indonesia wajib menjadi peserta Jaminan Kesehatan, Sedangkan program lainnya dilaksanakan oleh badan penyelanggara lain yang mana pesertanya mencakup seluruh penduduk indonesia yang bekerja. baik formal maupun informal Pekerja mempunyai risiko terhadap masalah kesehatan yang disebabkan oleh proses kerja, lingkungan kerja serta perilaku kesehatan pekera. Pekerja tidak hanya bensiko menderta penyakit menular dan tidak menular tetapl pekerja juga dapat menderta penyakit akibat kerja serta kecelakaan kerja, Masalah-masalah kesehatan pada pekeria, baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan pekerjaan memerukan pelayanan kesehatan kerja secara komprehensif melipuil promotif, preventif, diagnosis dan tata lakeana seria rehabilitatif. Amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa selumuh pokerja baik sektor formal dan informal memiliki hak dalam mengakses pelayanan kesenatan kerja termasuk penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat keria Mengacu pada undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pengusaha atau pengurus tempat Kerja walib melaksanakan program Kesehatan dan keselamatan kena (K3) yang fokusnya untuk mencegah kecelakaan kerja (KK) dan penyakit akibat kena (PAK). Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPUS, setiap pekerja waiib diikutsertakan dalam program Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kecelakaan Kerja. Apabila mereka mengalami penyakit umum maka berhak mendapatkan pelayanan kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, dan apabila mengalami KK dan PAK berhak mendapatkan pelayanan Kesehatan melalui program Jaminan Keselakaan Kerja yang dikeloia oleh BPJS Ketenagakerjaan, PT Taspen (Persera) dan PT Asabri (Persero) Periu diketahui batwa pekerja yang belum diikutsertakan dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja, maka konsekuensi pembiayaan kasus KK & PAK wajib ditanggung oleh pengusaha/pemberi kerja Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 menunjukan bahwa terdapat 128,3 juta angkatan kerja di Indonesia yang tersebar di berbagai lapangan pekerjaan, dengan komposisi pekerja formal sebanyak 40,19% dan pekerja informal sebanyak 59,81%. Apabila kita telaah lebih lanjut, pekerja di Indonesia yang mayoritas informal, memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi mengalami KK dan PAK dibandingkan dengan pekerja formal. Berdasarkan data dari ILO tahun 2017, diperkirakan 2,78 juta orang meninggal terkait dengan pekerjaan, terdiri dari 2.430.965 kasus meninggal akibat penyakit dan 380.500 kasus kecelakaan. Trend global mengenai kematian terkait kerja konsisten yaitu jauh lebih banyak yang meninggal akibat sakit dibandingkan dengan yang meninggal akibat kecelakaan (tercatat pada tahun 1998, 2001, 2003, 2008 dan 2011). Data di Indonesia menunjukkan perbandingan yang terbalik, yaitu jauh lebih banyak kematian akibat kecelakaan kerja dibandingkan PAK. Gambaran PAK seperti fenomena “Puncak Gunung Es’, KK dan khususnya PAK yang dilaporkan masih sangat terbatas dan parsial sehingga belum menggambarkan besarnya masalah keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia. Hal ini disebabkan banyak hal, antara lain disebabkan oleh sumber daya manusia yang mampu melakukan diagnosis PAK masih kurang sehingga pelayanan untuk PAK belum optimal; kebijakan yang tidak harmonis dan dikotomi badan penjamin program jaminan sosial, serta diduga adanya keraguan dan keengganan melaporkan kasus PAK. Apabila data ILO di atas diproyeksikan ke Indonesia, maka akan terlihat potensi kasus dan biaya terkait KK dan PAK yang begitu besar. Berdasarkan data internal BPJS kesehatan (2014-2017), utilisasi dari 5 penyakit yang berpotensi kuat sebagai PAK yaitu asma, carpal tunnel syndrome, dermatitis contact, hearing loss dan low back pain cukup tinggi. Data ini walaupun belum menggambarkan PAK yang terbanyak, namun apabila data utilisasi tersebut dikalikan dengan prevalensi PAK masing-masing penyakit maka didapatkan potensi biaya PAK sekitar Rp.1.280.203.626.563,00. Biaya tersebut dapat jauh lebih besar jika PAK yang bersifat kronik progresif seperti penumokoniosis dan kanker akibat kerja juga ikut dihitung, sehingga PAK yang tidak terdiagnosis ini, berpotensi menjadi penyakit ‘katastrofik’ bagi ketahanan dana, padahal PAK umumnya dapat dicegah dengan upaya preventif dan promotif di tempat kerja. Dokter di FKTP dan FKRTL yang menjadi mitra kerja sama dengan BPJS Kesehatan dituntut mampu melakukan deteksi PAK dalam rangka pemenuhan hak perlindungan pekerja selain menjaga ketahanan dana BPJS yang merupakan tanggung jawab profesinya. Berdasarkan laporan tahunan Program BPJS Ketenagakerjaan tahun 2016, peserta BPJS Ketenagakerjaan baru mencapai 22,6 juta pekerja yang merupakan 56,5 % dari 40 juta pekerja penerima upah atau 18,7 % dari 120,65 juta pekerja keseluruhan di Indonesia. Sehingga masih kurang dari 1/5 pekerja yang sudah terlindung oleh program jaminan sosial bidang ketenagakerjaan di antaranya yaitu program Jaminan Kecelakaan Kerja, yang termasuk jaminan PAK di dalamnya. Sebanyak 4/5 pekerja di Indonesia yang tidak terlindung oleh program Jaminan Kecelakaan Kerja akan membebani program lainnya atau “mencari’ sumber perlindungan dan pembiayaan dari cara-cara lain karena ketidaktahuannya. Terdapat kemungkinan para pekerja/pengusaha masuk ke dalam “moral hazard’ dengan cara menutupi kronologis kejadian KK dan riwayat pekerjaan untuk dapat memenuhi kriteria penjaminan program selain program Jaminan Kecelakaan Kerja, seperti program Jaminan Kesehatan. Ketimpangan cakupan peserta antara program jaminan sosial bidang ketenagakerjaan dan bidang kesehatan seperti kondisi saat ini akan menyebabkan pembebanan sumber daya dan dana yang tidak berimbang pada pemanfaatan salah satu program Sebanyak 1/5 pekerja yang sudah terlindung dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja saat ini pun mengalami kesulitan mendapatkan manfaat program Jaminan Kecelakaan Kerja, khususnya yang mengalami kasus PAK. Pekerja yang mengalami PAK sering memiliki kelunan dan gejala penyakit yang menyerupai penyakit pada umumnya sehingga tidak datang dengan “label khusus saya pekerja yang terkena PAK’. Untuk itu maka kompetensi tenaga kesehatan sangat berperan penting dalam mendeteksi PAK. Dalam hal ini, mereka harus memahami bahwa deteksi kasus PAK pada dasarnya melewati dua tahap proses kerja, pertama adalah tahap dugaan PAK dan kedua adalah tahap penegakan diagnosis PAK. Melalui pedoman ini diharapkan para petugas kesehatan akan lebih fokus paling tidak sampai dengan tahap dugaan PAK, karena dalam penegakan PAK memerlukan sumber daya yang besar dan sudah ada mekanisme yang sudah berjalan sesuai perundangan. Upaya penanganan masalah kesehatan bagi pekerja secara komprehensif adalah hal yang penting, baik dalam hal masalah penyakit umum maupun KK dan PAK. Dalam hal penatalaksanaan kasus KK dan PAK tidak cukup hanya penatalaksanaan medis bagi penderitanya, namun juga membutuhkan penatalaksanaan okupasi seperti pengendalian potensi bahaya yang menyebabkan PAK agar pekerja tersebut tidak mengalami keluhan yang berulang dan sering kali berobat ke fasilitas kesehatan tanpa mendapatkan solusi yang sesuai dengan penyebab timbuinya keluhan serta agar pekerja lain yang juga bekerja di tempat yang sama tidak mengalami PAK yang sama. Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha deteksi yang dapat memutus lingkaran setan yang sangat merugikan teman sekerja, Perusahaan dan badan penyelenggara program. Perlu diperhatikan bahwa untuk pembuktian kasus dugaan PAK memerlukan sumber daya yang besar dan tidak mungkin diperoleh melalui pemanfaatan program Jaminan Kesehatan, namun dapat diperoleh melalui pemanfaatan program Jaminan Kecelakaan Kerja. Dalam era jaminan sosial, mekanisme pembiayaan KK dan PAK sudah diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga pekerja yang terdiagnosis KK dan PAK memiliki jaminan pembiayaan kesehatan yaitu oleh program Jaminan Kecelakaan Kerja. Kepesertaan pekerja pada program Jaminan Kecelakaan Kerja adalah suatu kewajiban. Hal ini dmaksudkan untuk memenuhi hak peserta secara komprehensif, bukan hanya sekedar pemenuhan pelayananan kesehatan namun juga berbagai macam manfaat lain seperti promotif-preventif, santunan cacat, tunjangan kematian dan return to work, yang hanya dimiliki oleh program Jaminan Kecelakaan Kerja. Badan penyelenggara program Jaminan Kecelakaan Kerja di Indonesia saat ini adalah BPJS Ketenagakerjaan, PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) sesuai dengan segmen pesertanya masing- masing yang akan dibahas lebih detail pada Bab Il tentang Deteksi Kasus Kecelakaan Kerja Dan Penyakit Akibat Kerja. Terdapat salah satu data yang menarik berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI yaitu penelitian pada 33 dokter yang bekerja di Industri pada tahun 2007-2008 tentang PAK dan didapatkan bahwa 75,75% dokter mengatakan tidak pernah mendiagnosis PAK dalam 3 tahun terakhir dan 66,6% dokter mengalami kesulitan dalam mendiagnosis PAK. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat awareness dokter terhadap PAK cukup rendah. Diduga salah satu yang menyebabkan rendahnya tingkat awareness dokter terhadap PAK adalah mengenai Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tentang PAK. Sebelum tahun 2012, kurikulum pendidikan dokter yang lama belum memasukkan kompetensi tentang PAK yaitu “melakukan langkah-langkah diagnosis PAK dan penanganan pertama di tempat kerja, serta melakukan pelaporan PAK” yang memiliki level kompetensi 4A. Dokter yang memulai pendidikan sejak tahun 2012, sudah sewajarnya

Anda mungkin juga menyukai