Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS KULIT DAN KELAMIN

CUTANEOUS LARVA MIGRANS

Disusun oleh:

Nathania Victoria Stevina

(00000001332)

Pembimbing:

Dr. dr. Muljani Enggalhardjo, SpKK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN

SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE — RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE 8 JANUARI – 10 FEBRUARI 2018

TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i


BAB I: STATUS PASIEN .................................................................................... 1
I. Identitas Pasien ......................................................................................................... 1
II. Anamnesis ................................................................................................................ 1
III. Pemeriksaan Fisik .................................................................................................. 3
IV. Diagnosis Kerja ...................................................................................................... 5
V. Diagnosis Banding ................................................................................................... 5
VI. Resume .................................................................................................................... 6
VII. Prognosis................................................................................................................ 6
BAB II: PEMBAHASAN...................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16

Gambar 1. Siklus hidup Ancylostoma caninum dan braziliense. ............................ 8


Gambar 2. Manifestasi creeping myiasis. ............................................................. 10
Gambar 3. Manifestasi larva currens.................................................................... 11
Gambar 4. Manifestasi larva migrans profundus. ................................................ 12
Gambar 5. Manifestasi dermatitis venenata. ......................................................... 12
Gambar 6. Manifestasi skabies. ............................................................................ 13

i
BAB I
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. HN
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 26 Agustus 1957 (60 tahun)
Alamat : Permata Balaraja blok A65 no. 6, Tangerang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Pernikahan : Sudah menikah
Nomor Rekam Medis : RSUS 52-58-02

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis, pada tanggal 15 Januari 2018
di Rumah Sakit Umum Siloam.

a) Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan bintil berkelok-kelok yang gatal
pada paha kiri sejak 5 hari SMRS.

b) Keluhan Tambahan
Tidak ada keluhan tambahan.

c) Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluhkan adanya bintil yang berkelok-kelok pada paha
kirinya sejak 5 hari SMRS. Pasien awalnya mengeluhkan adanya bintil
merah yang timbul 10 hari SMRS. 2 hari kemudian pasien menemukan
bahwa bintil merah tersebut menjalar dan setiap harinya semakin
menyerupai benang berkelok-kelok yang timbul dan berwarna merah.
Ujung yang dimulai dari bintil pertama menjadi lebih cokelat.

1
Bintil tersebut dirasakan panas dan gatal. Gatal lebih hebat pada
malam hari. Saat bintil merah tersebut menjalar, pasien merasa bagian
kulit tersebut semakin gatal.
Pasien menyangkal adanya gatal di tempat lain, sesak, keluhan
mual, muntah, atau keluhan BAB.
Pasien sudah memberikan minyak tawon saat bintil pertama
muncul, dan sudah berobat ke puskesmas saat bintil memanjang. Dari
puskesmas pasien hanya diberikan antibiotik yang diminum sekali sehari
dan salep, namun pasien tidak merasakan adanya perbedaan. Pasien
kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Qadr. Dari RS Qadr pasien dirujuk ke
RSU Siloam.
Pasien mengaku bahwa kurang lebih 5 hari sebelum munculnya
bintil merah, pasien sedang membersihkan kebunnya, dan tidak memakai
sarung tangan dan sepatu tertutup. Pasien mengaku bahwa di lingkungan
tempat tinggalnya terdapat banyak kucing dan anjing liar.

d) Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien
juga menyangkal adanya riwayat penyakit kulit lainnya. Pasien
menyangkal adanya riwayat atopi maupun alergi obat.

e) Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang mengeluhkan keluhan yang sama.
Riwayat atopi dan asma dalam keluarga disangkal.

f) Riwayat Pengobatan
Pasien tidak dalam pengobatan rutin apapun.

g) Riwayat Sosial dan Kebiasaan


Riwayat sosial dan kebiasaan pasien baik. Pasien mengaku tidak
merokok dan mengonsumsi alkohol.

2
III. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
a) Keadaan Umum : Pasien tampak sakit ringan.
b) Kesadaran : GCS 15, Compos Mentis
c) Tanda-tanda Vital : Tekanan Darah = 120/80 mmHg
: Denyut Jantung = 68x/menit
: Laju Nafas = 20x/menit
: Suhu tubuh = 36,7 oC

d) Kepala : Normocephal, rambut hitam, ketombe (-),


kebotakan (-)

e) Mata : pupil isokor, diameter 3mm/3mm


: konjungtiva anemis (-)
: sklera ikterik (-)

f) Mulut : bibir kering


: mukosa, lidah, palatum normal

g) Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-), hiperemis (-)


h) Telinga : Bentuk normal di kedua telinga
: serumen (-/-), sekret (-/-)
: pendengaran kedua telinga normal
i) Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-),
pembesaran kelenjar tiroid (-)

j) Thorax
 Paru
Inspeksi : deformitas (-), bekas luka (-)
: perubahan warna kulit (-)
: bentuk dada normal dan simetris
: gerak napas simetris
Palpasi : tactile fremitus simetris pada kedua lapang

3
paru sama kuat
: ekspansi dada normal
Perkusi : bunyi sonor pada semua lapang paru
: batas paru-hati normal
Auskultasi : suara napas vesikuler
: wheezing (-), ronchi (-), rales (-)
 Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
 Mammae : Tidak dilakukan, namun pasien tidak
mengeluhkan adanya kelainan

k) Abdomen
Inspeksi : bentuk abdomen datar dan simetris
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani pada seluruh regio
Palpasi : abdomen terasa supel

l) Ekstremitas : lesi ditemukan di femoral anterior sinistra


: akral hangat

Status Dermatologis
Regio femoral anterior sinistra: papul multipel serpiginosa, sepanjang + 25
cm dari point of entry, dengan ujung menyembuh berhiperpigmentasi dan
ujung aktif eritematosa.

4
IV. Diagnosis Kerja
Cutaneous Larva Migrans

V. Diagnosis Banding
1. Creeping myiasis
2. Larva currens (Strongyloidiasis)
3. Larva migrans profundus (Gnathostomiasis)
4. Dermatitis Venenata
5. Skabies

VI. Terapi
 Non-medikamentosa
o Jangan menggaruk lesi karena dapat menyebabkan infeksi
sekunder.
o Hindari kontak langsung kulit dengan tanah yang terkontaminasi
feses kucing maupun anjing (menggunakan sarung tangan tebal,

5
sepatu tertutup, pakaian pelindung saat berkebun dan
menggunakan penghalang seperti handuk saat duduk di tanah).
o Minum obat teratur sesuai resep.
 Medikamentosa
o Albendazole 400mg x 1 selama 3 hari.

VI. Resume
Pasien datang dengan keluhan bintil berkelok-kelok yang gatal pada paha
kiri sejak 5 hari SMRS. Awalnya berupa bintil merah yang timbul 10 hari SMRS.
2 hari kemudian bintil merah tersebut menjalar menyerupai benang berkelok-
kelok yang timbul dan berwarna merah. Ujung yang dimulai dari bintil pertama
menjadi lebih cokelat. Bintil tersebut dirasakan panas dan gatal yang memberat
pada malam hari. Saat bintil merah tersebut menjalar, kulit dirasakan semakin
gatal. Pasien sudah menggunakan minyak tawon, antibiotik serta salep, namun
tidak ada perubahan bermakna. Pasien memiliki riwayat terpapar tanah
terkontaminasi sekitar 5 hari sebelum munculnya bintil merah.
Pada pemeriksaan dermatologis ditemukan pada regio femoral anterior
sinistra terdapat papul multipel serpiginosa, sepanjang +25 cm dari point of entry,
dengan ujung menyembuh berhiperpigmentasi dan ujung aktif eritematosa.

VII. Prognosis
- Ad vitam: bonam
- Ad fungsionam: bonam
- Ad Sanationam: dubia
- Ad cosmeticam: dubia

6
BAB II
PEMBAHASAN

Cutaneous larva migrans atau creeping eruption adalah penyakit yang


disebabkan oleh infeksi cacing tambang Ancylostoma caninum (anjing) atau
Ancylostoma branziliense (kucing) pada manusia. Larva tersebut tidak dapat
menjadi bentuk dewasa dan bermigrasi di kulit manusia1.
Cutaneous larva migrans paling sering ditemukan di daerah geografis
tropis dan subtropis dan barat daya Amerika Serikat. Penyakit ini telah menjadi
endemik di Karibia, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Asia Tenggara, dan
Afrika. Namun, kemudahan dan meningkatnya perjalanan mancanegara sudah
tidak lagi membatasi cutaneous larva migrans ke daerah ini2.

Host definitif normal untuk spesies ini adalah anjing dan kucing. Siklus di
host definitif sangat mirip dengan siklus spesies manusia.
1. Telur dikeluarkan dari tubuh lewat tinja, dan dalam kondisi yang tepat
(kelembaban, kehangatan, keteduhan), larva menetas dalam 1 sampai 2
hari.
2. Larva rhabditiform yang menetas bertumbuh di tinja atau tanah.
3. Setelah 5 sampai 10 hari, mereka menjadi larva filariform (tahap ketiga)
yang bersifat infektif. Larva infektif ini dapat bertahan 3 sampai 4 minggu
dalam kondisi lingkungan yang menguntungkan.
4. Saat kontak dengan hospes hewan, larva menembus kulit dan dibawa
melalui pembuluh darah ke jantung dan kemudian ke paru-paru. Larva
menembus ke dalam alveoli paru, naik bronkus ke faring, dan tertelan.
Larva mencapai usus halus, di mana mereka bertumbuh menjadi bentuk
dewasa. Cacing dewasa hidup di lumen usus halus dan menempel pada
dinding usus. Beberapa larva ditemukan di jaringan, dan berfungsi sebagai
sumber infeksi untuk anak anjing melalui rute transmamaria (dan
kemungkinan transplasental).
5. Manusia juga dapat terinfeksi saat larva filariform menembus kulit.
Manusia merupakan hospes yang tidak disengaja, dan larva tidak memiliki

7
kolagenase yang dibutuhkan untuk menembus membran basal dan
menyerang dermis. Oleh karena itu, manifestasi cutaneous larva migrans
terbatas pada kulit saat manusia terinfeksi3.

Gambar 1. Siklus hidup Ancylostoma caninum dan braziliense.

Predisposisi untuk terinfeksi cacing tambang meliputi4:


 Hobi dan pekerjaan yang melibatkan kontak dengan tanah yang
hangat, lembab dan berpasir
 Riwayat berpergian ke daerah dengan iklim tropis / subtropis
 Riwayat berjalan kaki bertelanjang kaki / berjemur di pantai
 Anak-anak yang bermain di di bak pasir
 Tukang kayu
 Montir listrik
 Tukang ledeng
 Petani
 Tukang kebun
 Pembasmi hama

8
Pasien ini memiliki predisposisi untuk terinfeksi cacing tambang karena
berkebun tanpa alat pengaman. Lingkungan tempat tinggal pasien juga terdapat
banyak anjing dan kucing sehingga ada kemungkinan tinggi tanah di kebunnya
tercemar dengan tinja berisi telur Ancylostoma branziliense atau caninum.

Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula
akan timbul papul kemudian diikuti bentuk yang khas, yaitu lesi berbentuk linier
atau berkelok-kelok kemerahan, menimbul dengan diameter 2-3 mm dan menjalar
3-4 cm dari point of entry. Larva dapat bergerak sekitar 1-2 cm per harinya, dan
papul tersebut akan semakin menjalar, menyerupai benang berkelok-kelok,
polisiklik, serpiginosa, menimbul, dan membentuk terowongan (burrow). Diatas
terowongan yang dibentuk dapat muncul papul dan vesikel berisi serosa. Rasa
gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. Lesi biasanya terdistribusi pada
ekstremitas bawah yang distal, termasuk bagian dorsal pedis dan ruang interdigital
pada jari kaki, namun juga dapat terjadi di daerah anogenital, bokong, tangan,
lutut, maupun kepala5,6.
Tanda sistemik jarang terlihat tapi mungkin termasuk eosinofilia perifer
(sindrom Löffler), infiltrat paru yang bermigrasi, dan peningkatan imunoglobulin
E (IgE)6.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah infeksi sekunder dan dapat
terjadi selulitis. Dapat juga terjadi reaksi alergi6.

Diagnosis creeping eruption (cutaneous larva migrans) dapat ditegakkan


berdasarkan gambaran klinis yang khas dari lesi kulit dan dari anamnesis. Dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini ditemukan lesi yang khas, yaitu
awalnya terdapat papul eritematosa soliter yang kemudian menjalar dalam bentuk
linier atau berkelok-kelok (serpiginosa), menimbul dan berwarna merah. Lesi
memanjang setiap harinya. Pasien juga mengeluhkan gatal yang lebih berat pada
malam hari. Pasien juga memiliki faktor predisposisi, sehingga dapat didiagnosis
sebagai cutaneous larva migrans.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya larva pada
gambaran histopatologi biopsi kulit. Biopsi harus diambil 1-2 cm dari ujung yang

9
aktif atau larva mungkin tidak ditemukan. Biopsi dapat mengkonfirmasi adanya
larva dalam terowongan, tepat di atas persimpangan dermoepidermal atau di
epidermis superfisial. Epidermis di sekitarnya menunjukkan spongiosis, vesikulasi
intraepidermal, dengan infiltrasi inflamasi dan eosinofil yang beragam.
Dermoskopi adalah alat tambahan lain yang digunakan untuk membantu
memastikan diagnosis dan mengarahkan kemungkinan pilihan terapi lokal.
Dengan penggunaan dermoskopi terpolarisasi, seseorang akan melihat struktur
oval dengan pinggiran kuning dan pusat coklat, yaitu tubuh larva6.

Diagnosis banding dari pasien ini merupakan:


1. Creeping myiasis
Gasterophilus intestinalis adalah penyebab paling sering dari
creeping myiasis, dan biasanya merupakan parasit usus kuda dan
equina lainnya. Manusia adalah hospes yang tidak disengaja dan
menjadi terinfeksi oleh kontak langsung dengan telur di kulit kuda
atau telur mungkin langsung diletakkan di kulit manusia. Sama
seperti pada cutaneous larva migrans, larva awalnya menghasilkan
papul yang mirip dengan myiasis furunkular. Kemudian larva
menggali ke lapisan bawah epidermis, menyebabkan lesi linier
seperti ular, yang sangat gatal dan merah yang timbul di satu ujung
dan memudar diujung lainnya saat larva mencari tempat lain untuk
berkembang. Lesi dapat meluas hingga 30 cm per hari dan dapat
berlanjut selama beberapa bulan7.

Gambar 2. Manifestasi creeping myiasis.

2. Larva currens (Strongyloidiasis)

10
Larva currens (latin untuk larva balap) adalah suatu kondisi kulit
gatal yang disebabkan oleh infeksi Strongyloides stercoralis. Larva
currens dibedakan dari cutaneous larva migrans oleh: 1) kecepatan
migrasi lebih cepat (5-10 cm per jam); 2) keterlibatan perianal
akibat autoinfeksi dari tinja; dan 3) pita urtikaria yang lebih lebar8.
Larva currens muncul sebagai papul eritematosa serpiginosa yang
menyatu menjadi plak linier urtikaria pada kaki (paling umum),
bokong, paha bagian atas, dan perut bagian bawah yang bergerak
cepat, dan kemudian dengan cepat menghilang8.
Larva currens lebih cenderung menyebar hematogen ke sistem
pernapasan, sehingga dada mungkin terasa seolah terbakar, dan
terjadi mengi dan batuk, bersamaan dengan gejala mirip
pneumonia (sindrom Löffler). Dapat juga ditemukan diare kronis9.
Pasien tidak mengalami keluhan-keluhan tersebut.

Gambar 3. Manifestasi larva currens.

3. Larva migrans profundus (Gnathostomiasis)


Infeksi nematoda Gnathostoma spinigerum dan/atau Gnathostoma
hispidum melalui konsumsi hospes intermediate (ikan dan kodok)
yang kurang matang, sehingga akan menyebabkan gangguan
gastrointestinal seperti nyeri epigastrik, demam, muntah, dan
hilangnya nafsu makan akibat migrasi larva melalui dinding usus
ke rongga perut. Larva Gnasthostoma juga bergerak lebih cepat
daripada larva Ancylostoma, sehingga lesi menjalar sekitar 24 cm
per hari, dengan edema yang lebih berat10.

11
Gambar 4. Manifestasi larva migrans profundus.

4. Dermatitis Venenata
Pada dermatitis venenata terdapat juga papul atau vesikel linier
eritematosa yang gatal. Lesi secara khas berbentuk linier karena
penderita tidak sengaja menggaruk racun dari serangga maupun
tanaman yang menempel pada kulit sehinga racun tersebut
menyebar seperti bentuk garukan. Namun, lesi pada dermatitis
venenata tidak akan menjalar lebih panjang dari lesi awalnya.

Gambar 5. Manifestasi dermatitis venenata.

5. Skabies
Pada skabies juga ditemukan adanya terowongan, namun pada
skabies, terowongan tidak sepanjang seperti pada cutaneous larva

12
migrans5. Lesi yang ditemukan pada pasien ini juga bukan di
tempat predileksi skabies umumnya, yaitu pada stratum korneum
yang tipis, seperti sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian
volar, siku bagian luar, lipat ketiak, areola mammae (perempuan),
umbilicus, bokong, genitalia eksterna (laki-laki) dan punggung
bawah5. Keluarga pasien juga tidak mengalami keluhan yang sama.

Gambar 6. Manifestasi skabies.

Creeping eruption merupakan penyakit swasirna. Jika tidak diterapi, larva


akan mati dengan sendirinya dan kelainan kulit akan membaik secara bertahap.
Waktu yang diperlukan untuk resolusi adalah sekitar 4 hingga 8 minggu, namun
dapat lebih lama hingga 6 bulan. Selama lesi belum menyembuh akan masih
terasa gatal dan nyeri11.
Pilihan terapi berdasarkan derajat keparahan gambaran klinis dan keluhan
yang dirasakan. Terapi lini pertama merupakan antihelmintik yaitu albendazol
400mg sekali sehari selama 3 hari. Di luar negeri, terapi dengan ivermectin per
oral 200μg/kg sekali sehari dan diulang setelah 1-2 minggu memberikan
kesembuhan 94-100%. Dapat juga diberikan tiabendazole 25-50mg/kgBB/hari,
sehari 2 kali dan diberikan berturut-turut selama 2-5 hari. Dosis maksimum
tiabendazole 3 gram5.
Selain itu, terdapat beberapa macam terapi yang dapat diberikan, yaitu
bedah beku dengan ethyl chloride spray (disemprotkan sepanjang lesi), liquid
nitrogen, phenol, carbon dioxide snow (CO2 snow dengan penekanan selama 45-
60 detik, dua hari berturut-turut), piperazine citrate, elektrokauterisasi dan radiasi.
Pengobatan tersebut sering tidak berhasil karena tidak dapat diketahui secara tepat
lokasi larva, dan bila dilakukan terlalu lama dapat merusak jaringan disekitarnya5.

13
Proses freeze and thaw yang terjadi juga seringkali tidak cukup adekuat untuk
membunuh larva. Selain itu, efek samping tindakan bedah beku yang berupa
pembentukan bula dapat meninggalkan bekas luka yang mengganggu secara
kosmetik. Pada kasus anak, penggunaan bedah beku bukan merupakan pilihan
utama karena tindakan tersebut merupakan tindakan yang cukup invasif dan
cukup sulit untuk pasien anak yang kurang kooperatif12.
Beberapa sumber juga merekomendasikan untuk pengobatan topikal
dengan ivermectin topikal atau tiabendazol topikal yang dicampur dengan
suspensi 10% atau krim 15%, atau krim metronidazol topikal, digunakan empat
kali sehari. Jika efektif, terapi topikal diharapkan dapat menyembuhkan kondisi
pasien dalam 1 minggu6.

Terapi cutaneous larva migrans ditujukan untuk mempercepat


penyembuhan, karena selama lesi belum menyembuh pasien akan tetap merasa
gatal dan nyeri. Tatalaksana pasien ini sudah sesuai dengan terapi lini pertama
yaitu albendazole 400mg sekali sehari selama 3 hari. Pasien juga diberi edukasi
tentang penyakit, cara pengobatannya dan edukasi cara pencegahan infeksi
berulang. Pencegahan cutaneous larva migrans dapat dilakukan dengan
mengindari kontak langsung kulit dengan tanah yang terkontaminasi feses kucing
maupun anjing, seperti dengan menggunakan sarung tangan tebal, sepatu tertutup,
pakaian pelindung saat berkebun dan menggunakan penghalang seperti handuk
saat duduk di tanah atau pasir. Pasien juga diedukasi untuk tidak menggaruk
lesinya agar tidak terjadi infeksi sekunder.
Setelah seminggu, terlihat bahwa lesi pasien sudah membaik dan tidak lagi
eritematosa. Pasien mengaku sudah tidak merasakan gatal (gambar terlampir).

Prognosis cutaneous larva migrans umumnya baik. Pada pasien ini


prognosis ad vitam dan functionamnya bonam, namun prognosis ad
sanationamnya dubia karena pasien memiliki resiko tinggi untuk terpapar tanah
terkontaminasi lagi. Prognosis ad cosmeticamnya pun dubia karena terdapat sisa
lesi berhiperpigmentasi.

14
Tabel 1. Perjalanan penyakit pada pasien.
15/01/2018 22/01/2018 (7 hari kemudian)

15
DAFTAR PUSTAKA

1
Karthikeyan K, Thappa D. Cutaneous larva migrans. Indian J Dermatol
Venereol Leprol. 2002; 68:252-8.
2
Patel S, Sethi A. Imported tropical diseases. Dermatol Ther. 2009 Nov-Dec.
22(6):538-49.
3
Global Health – Division of Parasitic Diseases. Zoonotic Hookworm - Biology
[Internet]. Centers for Disease Control and Prevention. 2015 [cited 24 January
2018]. Available from:
https://www.cdc.gov/parasites/zoonotichookworm/biology.html
4
Reichert F, Pilger D, Schuster A, Lesshafft H, Guedes de Oliveira S, Ignatius
R, et al. Prevalence and Risk Factors of Hookworm-Related Cutaneous Larva
Migrans (HrCLM) in a Resource-Poor Community in Manaus, Brazil. PLoS
Negl Trop Dis. 2016 Mar. 10 (3):e0004514.
5
Menaldi S, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016.
6
Robies D. Cutaneous Larva Migrans [Internet]. Medscape. 2017 [cited 24
January 2018]. Available from:
https://emedicine.staging.medscape.com/article/1108784-overview
7
McGraw TA, Turiansky GW. Cutaneous myiasis. J Am Acad Dermatol.
2008;58:907-26.
8
Arthur RP, Shelley WB. Larva Currens. AMA Archives of Dermatology.
1958;78(2):186.
9
Thamwiwat A, Mejia R, Nutman T, Bates J. Strongyloidiasis as a Cause of
Chronic Diarrhea, Identified Using Next-Generation Strongyloides stercoralis-
Specific Immunoassays. Current Tropical Medicine Reports. 2014;1(3):145-
147.
10
Borda LJ, Kallis PJ, Grif th RD, Giubellino A, Cho-Vega JH. Hookworm-
related Cutaneous Larva Migrans with Exceptional Multiple Cutaneous
Entries. J Clin Investigat Dermatol. 2017;5(1): 4.
11
Fitzpatrick T, Goldsmith L. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th
ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2012.
12
Sudjari, Mayashita D, Brahmanti H. Laporan Kasus: Creeping Eruption. MDVI.
2014;41(3):103-107.

16

Anda mungkin juga menyukai