Anda di halaman 1dari 29

Bab 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Teori


2.1.1 Pengertian fraktur kruris terbuka
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya (Smeltzetr, 2002)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang memiliki hubungan dengan dunia luar
melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk dari dalam atau dari
luar.
Fraktur kruris terbuka adalah terputusnya hubungan tulang tibia dan fibula
disertai kerusakan pada jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh
darah) sehingga memungkinkan terjadinya hubungan antara fragmen tulang yang
patah dengan udara luar. Hal ini dapat disebabkan oleh suatu cidera dari trauma
langsung yang mengenai kaki (Helmi, 2012)
Kondisi anatomis dari tulang tibia yang terletak yang terletak dibawah
subkutan memberikan dampak terjadinya fraktur terbuka lebih sering
dibandingkan tulang panjang yang lainya saat terjadi trauma. Kondisi ini
memberikan respon kedaruratan yang harus mendapatkan intervensi segera.
Klasifikasi fraktur kruris terbuka menurut Gustilo-Anderson :
1) Tipe I : panjang luka <1cm, tidak ada kontaminasi
2) Tipe II : panjang luka >1 cm, kerusakan jaringan lunak
3) Tipe III A : luka luas, kerusakan jaringan lunak
4) Tipe III B : luka luas , keluarnya fragmen tulang
5) Tipe III C : luka luas ,disertai kerusakan arteri besar
2.1.2 Klasifikasi Fraktur
Chairudin Rasyad (1998) mengklasifikasikan fraktur dalam beberapa keadaan
berikut:
2.1.2.1 Fraktur traumatik. Terjadi karena trauma yang tiba tiba mengenai tulang
dengan kekuatan yang besar dan tulang tidak mampu menahan trauma tersebut
sehingga tterjadi patah.

5
6

2.1.2.2 Fraktur patologis. Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat


kelainan patologis di dalam tulang. Fraktur patologis terjadi pada daerah daerah
pada tulang yang menjadi lemah karena tumor atau proses patologis lainnya.
Tulang sering sekali mengalami penurunan densitas. Penyebab yang paling sering
dari fraktur fraktur semacam ini adalah tumor, baik tumor primer maupun tumor
metastasis.
2.1.2.3 Fraktur stres. Terjadi karena trauma yang terus menerus pada suatu tempat
tertentu.
Klasifikasi jenis sangat umum digunakan dalam kopnsep fraktur pada
beberapa sumber. Jenis jenis fraktur tersebut adalah :
1) Simple fraktur ( fraktur tertutup ) adalah fraktur yang fragmen tulangnya
tidak menembus kulit sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh
lingkungan/ tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.
2) Compound fraktur ( fraktur terbuka ) adalah fraktur yang mempunyai
hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat
berbentuk from within ( dari dalam), atau from without (dari luar)
3) Transverse fraktur ( fraktur transversal/ sepanjang garis tengah tulang )
adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang
tulang. Pada fraktur semacam ini, segmen segmen tulang yang patah
direposisi atau direduksi kembali ke tempatnya semula . segmen segmen itu
akan stabil dan biasanya dikontrol dengan bidai gips.
4) Spiral fraktur ( fraktur yang memuntir seputar batang otak ) adalah fraktur
yang timbul akibat torsi pada ekstremitas. Fraktur fraktur ini khas pada cedera
main ski ketika ujung ski terbenam pada tumpukan salju dan ski terputar
sampai tulang patah. Hal yang menarik adalah jenis fraktur rendah energi ini
hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak. Fraktur semacam ini
cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar.
5) Impacted fraktur ( fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lain ).
6) Greenstick fraktur adalah fraktur tidak sempurna dan sering terjadi pada anak
anak. Korteks tulangnya sebagian masih utuh, demikian juga periosteum.
Fraktur ini akan segera mengalami pengubahan bentuk dan fungsi agar
menjadi normal kembali.
7

7) Comminuted fraktur ( tulang pecah menjadi beberapa fragmen ) adalah


serpihan serpihan atau terputusnya keutuhan jaringan tempat adanya lebih
dari dua fragmen tulang.
2.1.2 Etilogi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak , bahkan kontraksi otot ekstrim (Smeltzetr, 2002). Umumnya fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang.
Fraktur cenderung terjadi pada laki laki, biasanya fraktur terjadi pada umur
dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka
yang disebabkan oleh kecelakaaan kendaraan bermotor.
Menurut Oswari E (1993):
1) Kekerasan langsung: Terkena pada bagian langsung trauma
2) Kekerasan tidak langsung: Terkena bukan pada bagian yang terkena trauma
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Menurut Barbara C Long (1996):
1) Benturan & cedera (jatuh, kecelakaan)
2) Fraktur patofisiologi (oleh karena patogen, kelainan)
3) Patah karena letih

2.1.3 Patofisiologi
Kondisi anatomis dari tulang tibia yang terletak dibawah subkutan memberikan
dampak terjadinya resiko fraktur terbuka lebih sering sering dibandingkan tulang
panjang lainnya apabila mendapat suatu trauma.
Mekanisme cedera dari fraktur cruris dapat terjadi akibat adanya daya putar atau
puntir dapat menyebabkan fraktur spiral pada kedua kaki dalam tingkat yang
berbeda. Daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau oblik pendek,
biasanya pada tingkat yang sama. Pada cedera tak langsung, salah satu dari
fragmen tulang dapat menembus kulit. Cedera langsung akan menembus atau
merobek kulit diatas fraktur. Kecelakaan sepeda motor adalah yang paling sering.
Pada kondisi klinik fraktur cruris terbuka di klasifikasikan menurut Gustillo
(1990) dengan menyesuaikan derajat kerusakan dari jaringan lunak yang terjadi.
8

2.1.3.1 pathway

Trauma putar atau puntir, trauma trauma dengan daya angulasi, cedera tidak
langsung pada kaki

Salah satu fragmen tulang yang patah dapat menembus kulit . cedera langsung
akan menembus atau merobek kulit diatas fraktur

Fraktur kruris terbuka

Terputus nya jaringan Kerusakan


tulang jaringan lunak

Ketidakmampuan
melakukan Kerusakan Kerusakan otot, Kerusakan
pergerakan kaki satraf spasme kulit vaskular
otot

Hamabatn mobilitas
resiko tinggi trauma Nyeri Kerusakan Kerusakan arteri dan
integritas banyak darah yang
jaringan hilang

Terapi imobilisasi, Resiko tinggi Resiko tinggi syok


gips sirkular, terapi infeksi hipovolemik
bedah fiksasi interna
dan eksterna

Pembengkakan lokal
Respon Ketidaktahuan Pasca bedah
psikologis teknik mobilisasi
Resiko syndrom
Port de kompartemen
Ansietas Resiko malunion,
entree
gangguan citra delayed union, non
tubuh union, footdrop
Pemenuhan
Respon lokal : nyeri,
informasi
Terapi parestesia, perfusi distal
fasiotomi menurun,CRT >3 detik,
denyut nadi (-), pucat
9

2.1.4 manifestasi klinis


Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna (smeltzer,
2002). Menurut (Suddart, 2013) tanda dan gejala klinis fraktur mencakup nyeri
akut, kehilangan fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus dan edema
loka serta ekimosis. Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa
sakit, pembengkakan dan kelainan bentuk.
2.1.4.1 Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2.1.4.2 Setelah terjadi fraktur, bagian bagian yang tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya
tetap rigid seperti normal nya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan
atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas
yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstremitas normal.
Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi noremal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
2.1.4.3 Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sam lain sampai 2,5-5 cm (1-2
inchi)
2.1.4.4 Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
2.1.4.5 Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa
terjadi setelah beberapa jam atau hari paska cidera
2.1.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan fraktur secara umum mengikuti prinsip penatalaksanaan
4R yaitu rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. Rekognisi adalah pengenalan
10

terhadap fraktur melalui penegakan diagnosis yang mungkin untuk memperoleh


informasi sebanyak banyaknya tentang fraktur sehingga diharapkan dapat
membantu penanganan fraktur. Reduksi atau reposisi adalah suatu tindakan
mengembalikan posisi fragmen- fragmen tulang yang mengalami fraktur
seoptimal mungkin ke kadaan semula. Retensi adalah mempertahankan kondisi
reduksi selama masa penyrembuhan. Rehabilitasi yang bertujuan untuk
mengembalikan posisi tulang yang patah ke keadaan normal dan tanpa
mengganggu proses fiksasi.
Penatalaksanaan protokol kestabilan jalan nafas dan ventilasi telah dilakukan
seperti pada intedrvensi sekunder yang sudah dilakukan sebelum nya. Apabila
kondisi mengancam jiwa telah stabil atau dikesampingkan, intervensi fraktur
cruris dapat diatasi. Berikut ini intervensi yang dapat dilakukan di bagian gawat
darurat:
1) Pemberian analgesik yang tepat dalam menejemen nyeri harus segera
diberikan
2) Profilaksis antibiotik dan pemberian ATS (antitetatus serum)
3) Intervensi fasiotomi pada menejemen sindrom kompartemen
4) Transfusi darah terutama pada fraktur femur terbuka dengan adanya
penurunan kadar hemoglobin
5) Radiografi harus segdera dilakukan untuk mendeteksi patologi
6) Konsultasi ortopedi untuk intervensi reduksi terbuka
2.1.5.1 Faktor penyembuhan fraktur
Terdapat beberapa faktor penyembuhan fraktur yang menentukan lama
tidaknya penyembuhan fraktur. Setiap faktor akan memberikan pengaruh
penting terhadap proses penyembuhannya. Faktor yang harus dikenali
sebagai parameter dasar untuk pemberian intervensi selanjutnya lebih
komprehensif. Penyembuhan fraktur berkisar antara tiga minggu sampai
empat bulan. Waktu penyembuhan pada anak secara kasar separuh waktu
penyembuhan pada dewasa.
Faktor faktor yang mempenngaruhi penyembuhan tulang diantara nya :
2.1.5.1.1 Umur penderita
11

Waktu penyembuhan luka pada anak anak jauh lebih cepat daripada
orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan karena aktivitas proses
osteogenesis pada periostenum dan endostenum, serta proses
remodeling tulang. Pada bayi proses penyembuhan luka sangat cepat
dan aktif, namun kemampuan ini berkurang apabila umur bertambah
2.1.5.1.2 Lokalisasi dan konfigurasi fraktur
Lokalisasi fraktur merupakan peranan penting. Fraktur metafisis
penyembuhannya lebih cepat daripada diafisis. Disamping itu
konfigurasi fraktur seperti fraktur tranversal lebih lambat
penyembuhannya dibandingkan dengan fraktur oblik karena kontak
yang lebih banyak.
2.1.5.1.3 Pergeseran awal fraktur
Pada fraktur yang tidak bergeser dimana periosteum tidak bergeser,
maka penyembuhan dua kali lebih cepat dari pada fraktur yang
bergeser.
2.1.5.1.4 Vaskularisasi pada kedua fragmen
Apabila kedua fragmen memiliki vaskularisasi yang baik, maka
penyembuhan biasanya tanpa komplikasi. Namun apabila salah satu
sisi vaskularisasinya buruk maka akan menghambat bahkan tidak
terjadi tautan atau yang disebut dengan non-union.
2.1.5.1.5 Reduksi serta imobilisasi
Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk vaskularisasi
yang lebih baik dalam bentuk asalnya. Imobilisasi yang sempurna akan
mencegah pergerakan dan kerusakan pembuluh darah yang akan
mengganggu dalam penyembuhan fraktur.
2.1.5.1.6 Waktu imobilisasi
Jika imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan sebelum
terjadi tautan (union), maka kemungkinan terjadi non-union sangat
besar.
2.1.5.1.7 Ruangan di antara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak
12

Jika ditemukan interposisi jaringan baik berupa periosteum maupun


otot atau jaringan fibrosa lainnya, maka akan menghambat
vaskularisasi kedua ujung fraktur.

2.1.5.1.8 Faktor adanya infeksi dan keganasan lokal


Infeksi dan keganasan akan memperpanjang proses inflamasi lokal
yang akan menghambat proses penyembuhan dari fraktur.
2.1.5.1.9 Cairan sinovia
Pada persendian, dimana terdapat cairan sinovia, merupakan hambatan
dalam penyembuhan fraktur.
2.1.5.1.10 Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak
Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak akan meningkatkan
vaskularisasi daerah fraktur, tetapi gerakan yang dilakukan pada
daerah fraktur tanpa imobilisasi yang baik juga akan mengganggu
vaskularisasi.
2.1.5.1.11 Nutrisi
Asupan nutrisi yang optimal dapat memberikan suplai kebutuhan
protein untuk proses perbaikan. Pertumbuhan tulang menjadi lebih
dinamis bila ditunjang dengan asupan nutrisi yang optimal.
2.1.5.1.12 Vitamin D
Vitamin D memengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Vitamin D
dalam jumlah besar dapat menyebabkan absorpsi tulang seperti yang
terlihat pada kadar hormon paratiroid yang tinggi. Vitamin D dalam
jumlah yang sedikit akan membantu klasifikasi tulang (membantu
kerja hormon paratiroid), antara lain dengan meningkatkan absorpsi
kalsium dan fosfat oleh usus halus.
2.1.5.2 Prose penyembuhan tulang
Ketika mengalami cedera fragmen, tulang tidak hanya ditambal dengan
jaringan parut, tetapi juga mengalami regenerasi secara bertahap. Menurut
Helmi(2014) terdapat beberapa tahapan dalam penyembuhan tulang :
2.1.5.2.1 Inflamasi
13

Respon tubuh pada saat mengalami fraktur sama dengan respon


apabila ada cidera dibagian tubuh lain. Terjadi perdarahan pada
jaringan yang cidera dan pembentukan hematoma pada lokasi fraktur.
Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya
pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag (
sel darah putih besar ) yang akan membersihkan daerah tersebut dari
zat asing. Pada saat ini terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri.
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan
berkurangnya pembengkakan dan nyeri.
2.1.5.2.2 Poliferasi sel
Dalam sekitar lima hari, hematoma akan mengalami organisasi.
Terbentuk benang benang fibrin pada darah dan membentuk jaringan
untuk revaskularisasi, serta invasi fibroblas dan osteoblas.
Fibroblas dan osteoblas ( berkembang dari osteosit, sel endostel, dan
sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai
matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus
dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum tampak pertumbuhan
melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro
minimal pada tempat patah tulang. Namun gerakan yang berlebihan
akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh
menunjukkan potensial elektronegatif.
2.1.5.2.3 Pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
mencapai sisi lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang
digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan serat tulang
imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk
menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah
kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat
minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau
jaringan fibrus. Secara klinis fragmen tulang tidak dapat lagi
digerakkan.
14

Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam dua sampai


tiga minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondrial.
Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar benar telah
bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif.
Pada patah tulang panjang orang dewasa normal, penulangan
memerlukan waktu tiga sampai empat bulan.
2.1.5.2.4 Remodeling
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan
mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya.
Remodeling memerlukan waktu berbulan bulan sampai bertahun tahun
bergantung pada beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi
tulang dan stres fungsional pada tulang (pada kasus yang melibatkan
tulang kompak dan kanselus). Tulang kanselus mengalami
penyembuhan dan remodeling lebih cepat daripada tulang kortikal
kompak, khususnya pada titik kontak langsung. Ketika remodeling
telah sempurna, muatan permukaan patah tulang tidak lagi negatif.
Proses penyembuhan tulang dapat dipantau dengan pemeriksaan sinar X.
Imobilisasi harus memadai sampai tanda tanda adanya kalus tampak pada
gambaran sinar X. Kemajuan program terapi ( dalam hal ini, pemasangan gips
pada pasien yang mengalami patah tulang femur telah ditinggalkan dan
diimobilisasi dengan traksi skelet) ditentukan dengan adanya bukti penyembuhan
patah tulang.
2.1.6 Komplikasi
Komplikasi pada fraktur menurut Helmi (2014) :
2.1.6.1 Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Hal
ini biasanya terjadi pada fraktur. Beberapa kondisi tertentu, syok
neurogenik sering terjadi pada fraktur femur karena rasa sakit yang hebat
pada pasien.
2.1.6.2 Kerusakan arteri
15

Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh : tidak adanya nadi, CRT
menurun atau lebih dari 2 detik, sianosis bagian distal, hematoma yang
lebar, serta dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan
emergen si pembidaian, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi dan pembedahan.

2.1.6.3 Sindrom kompartemen


Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi terjebaknya
otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut akibat suatu
pembengkakan dari edema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluiuh darah. Kondisi sindrom kompartemen akibat komplikasi
fraktur hanya terjadi pada fraktur yang dekat dengan persendian dan jarang
terjadi pada bagian tengah tulang. Tanda khas untuk sindrom
kompartemen adalah :
1) Pain ( nyeri lokal )
2) Pallor ( pucat bagian distal )
3) Pulsesessness ( tidak ada denyut nadi, perubahan nadi, perfusi yang
tidak baik dan CRT>3 detik pada bagian distal kaki )
4) Parestesia ( tidak ada sensasi)
5) Paralysis ( kelumpuhan tungkai )
2.1.6.4 Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
ortopedik infeksi dimulai pada kulit ( supersifisial ) dan masuk ke dalam.
Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tetapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF dan OREF)
atau plat.
2.1.6.5 Avaskular nekrosis
Avaskular nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkman’s Ischemia.
2.1.6.6 Sindrom emboli lemak
16

Sindrom emboli lemak adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel sel lemak yang
diahasilkan sumsum tulang kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi, takipnea dan demam.

Jika tidak segera ditangani maka akan menyebabkan koplikasi yang lama diantara
nya :
(1) Delayed Union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai waktu
yang dibutuhkan tulang untuk sembuh atau tersambung dengan baik. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang. Delayed union adalah
fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan ( tiga bulan untuk
anggota gerak atas dan lima bulan untuk anggota gerak bawah).
(2) Non- Union
Disebut non-union apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu antara 6-8
bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis (sendi
palsu). Pseudoartrosis dapat terjadi tanpa infeksi tetapi dapat juga terjadi
bersama infeksi yang disebut sebagai infected pseudoatrhosis.
(3) Mal- Union
Mal-union adalah keadaan dimana fraktur sembuh pada saatnya, tetapi
terdapat dedformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus, pemendekan atau
menyilang, misalnya pada fraktur radius-ulna.
2.1.7 Imobilisasi
Pada pasien pasien fraktur, untuk mengkaji adanya gangguan otot dapat
menggunakan tehnik ROM. Range Of Motion (ROM) merupakan istilah
baku untuk menyatakan batas/besarnya gerakan sendi baik normal maupun
abnormal.ROM juga digunakan sebagai dasar untuk menetapkan kelainan
atau untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal. Sebgaimana
telah disingggung sebelumnya, dikenal gerakan sendi aktif dan pasif
sehingga penilaian ROM juga terbagi menjadi dua, yakni ROM pada
17

gerakan sendi yang aktif dan ROM pada gerakan sendi yang pasif.
Gerakan ROM aktif ataupun pasif ini dapat diprogramkan tiap 4-6 jam
sekali. Macam macam gerakan ROM sebagai berikut :
2.1.7.1 Abduksi dan Aduksi
Gerakan Abduksi dan aduksi dapat ditemuakn pada sendi, bahu, panggul,
sendi metakarpofalangeal dan metatarsofalangeal. Abduksi adalah gerakan
yang menjauhi garis tengah tubuh. Sementara Aduksi adalah gerkan yang
mendekati garis tengah tubuh. Pada tangan dan kaki, garis tengah terletak
pada jari tengah tangan kaki.
2.1.7.2 Dorsofleksi dan Plantar/ Palmarfleksi
Dorsofleksi adalah gerakan dari jari jari kaki atau ibu jari kaki dengan arah
permukaan ke dorsal, sedangkan gerakan dorsofleksi pada jari jari tangan
dan pergelangan tangan juga terhadap permukaan dorsal. Plantarfleksi
adalah gerakan pada jari kaki dan ibu jari kaki kearah permukaan plantar
kaki. Palmarfleksi adalah gerakan jari jari tangan kearah permukaan
palmar.
2.1.7.3 Inversi dan Eversi
Gerakan inversi dan eversi terjadi secara simultan pada sendi subtalar dan
midtarsal kaki. Eversi adalah gerakan berputar permukaan plantar kaki
kearah luar menghadap tungkai bawah. Inversi adalah gerakan berputar
permukaan plantar kaki ke dalam terhadap tungkai bawah.
2.1.7.4 Rotasi interna dan Rotasi eksterna
Rotasi interna/ rotasi media dan rotasi eksterna/lateral dapat terjadi pada
sendi bahu, panggul, dan sedikit pada lutut. Rotasi interna adalah gerakan
berputar dari permukaan depan anggota gerak kedalam/ kemedial. Rotasi
eksterna adalah gerakan berputar dari permukaan anggota gerak ke arah
luar/ lateral.
2.1.7.5 Pronasi dan Supinasi
Gerakan pronasi dan supinasi terjadi pada anggota gerak lengan bawah
melalui sendi siku dan sendi pergelangan tangan serta pada kaki depan
melalui sendi midtarsal.
2.1.8 Penilaian kekuatan otot
18

Penilaian otot menurut Medical Research Council dimana kekuatan otot


dibagi dalam 5 derajat :
2.1.8.1 Derajat 0: paralisis total/ tidak ditemukan adanya kontraksi pada otot
2.1.8.2 Derajat 1 : kontraksi yangterjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot
yang dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakkkan
sendi.
2.1.8.3 Derajat 2 : otot hanya mampu menggerakkan persendian tapi kekuatannya
tidak dapat melawan pengaruh gravitasi.
2.1.8.4 Derajat 3: Disamping dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan
pengaruh gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan oleh
pengkaji.
2.1.8.5 Derajat 4 : kekuatan otot seperti derajat 3 disertai dengan kemampuan otot
terhadap tahanan yang ringan.
2.1.8.6 Derajat 5 : Kekuatan otot normal.
2.1.9 Penatalaksanaan
Pengkajian penatalaksanaan medis berguna bagi perawat untuk melakukan
peran kolaboratifnya dan mengetahui implikasi keperawatan yang terjadi
pada setiap intervensi medis. Menurut Apley (1995), menatalaksaan klien
fraktur kruris secara umum tanpa melihat daerah patah tulang meliputi :
2.1.9.1 Profilaksis antibiotik
2.1.9.2 Debridemen dan fasiotomi. Pada kondisi akut dengan pembengkakan
hebat, dilakukan fasiotomi untuk menghindari sindroma kompartemen.
2.1.9.3 Penundaan penutupan
2.1.9.4 Penundaan rehabilitasi
2.1.9.5 Antibiotik dimulai dengan segera. Dilakukan debridemen pada luka dan
luka dibersihkan seluruhnya. Cedera tingkat 1 gustilo dapat ditutup dengan
sangat baik dan kemudian diterapi seperti pada cidera tertutup. Luka yang
lebih berat diberikan terbuka dan diperiksa setelah 3 hari jika perlu,
dilakukan debridemen selanjutnya.
2.1.9.6 Penatalaksanaan Pre operasi
Pada tahap ini perawat memainkan peran penting dalam menyiapkan
pasien untuk operasi diantaranya :
19

2.1.9.6.1 Pada hari sebelum pembedahan, jelaskan pada pasien cara menyiapkan
pembedahan seperti : melakukan pemeriksaan rontgen
2.1.9.6.2 Jelaskan bahwa pasien untuk melakukan latihan batuk dan nafas
dalam. Ini diperlukan setelah pembedahan untuk mempercepat
pemulihan dan mencegah komplikasi.
2.1.9.6.3 Jelaskan bahwa pasien tidak makan dan minum selama 8-12 jam
sebelum pembedahan. Karena dibawah pengaruh anastesi pasien dapat
muntah dan tersedak.
2.1.9.7 penatalaksanaan intra operasi
2.1.9.7.1 Sebelum pembedahan dimulai perawat kamar operasi memeriksa
kondisi pasien ( tanda tanda vital dll), menyiapkan pasien untuk
pembedahan dan membantu menyiapkan daerah steril untuk
pembedahan.
2.1.9.7.2 Selama operasi perawat membuka bahan dan mengatur slang atau
drain dan memastikan bahwa pasien aman selama pembedahan.
2.1.9.7.3 Setelah pembedahan pasien masuk keruang pemulihan. Diruang ini
pasien ditidurkan tanpa bantal untuk mempertahankan jalan nafas
terbuka dan memungkinkan drainase mucus atau muntah serta pasien
dipertahankan tetap hangat dengan selimut.
2.1.9.7.4 Perawat tetap memperhatikan dengan cermat jalan nafas pasien,
frekuensi dan kedalaman pernafasan pasien.
2.1.9.7.5 Pasien bangun dari anastesi dan mendapatkan kembali refleknya pada
kecepatan yang berbeda. Untuk membantu mereka bangun perawat
dapat memanggil nama pasien dan mengulangi memberitahu mereka
bahwa pembedahan telah selesai.
2.1.9.8 penatalaksanaan post operasi
pasien biasanya dibawa ke unit kamar rawat, ketika mereka sudah bangun,
dengan reflek telah kembali dan pernafasan, nadi tekanan darah serta suhu
yang telah stabil.
2.1.9.8.1 Lihat jalan nafas dan pernafasan pasien, periksa warna bibir dan CRT
2.1.9.8.2 Periksa tingkat kesadran klien
20

2.1.9.8.3 Ukur tanda tnda vital pasien, jika belum sepenuhnya stabil, ukur tiap
15 menit sampai stabil. Jika anda mencurigai terlalu banyak
perdarahan atau perdarahan internal, pastikan pasien telah terpasang
drip intravena dan oksigen.
2.1.9.8.4 Periksa jumlah cairan yang dikonsumsi pasien dan haluaran.
2.1.9.8.5 Periksa ulang kecepatan aliran dan kerja jalur IV setiap jam.
2.1.9.8.6 Membantu pemulihan pasien post operasi dengan cara:
1. Mengontrol nyeri pasca operasi
2. Pastikan asupan cairan adekuat
3. Memeriksa haluaran urine
4. Memiringkan dan latih pasien
5. Mendorong batuk dan nafas dalam
6. Memberikan diet adekuat
7. Memeriksa fungsi usus
8. Melakukan teknik rawat luka.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan


2.2.1 Definisi hambatan mobilitas fisik
Menurut Wilkinson,Judith (2012) Definisi hambatan mobilitas fisik adalah
Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh atau satu
ekstremitas atau lebih, dengan tingkatan :
2.2.1.1 Tingkat 0 : Mandiri total
2.2.1.2 Tingkat 1 : memerlukan penggunaan peralatan atau alat bantu
2.2.1.3 Tingkat 2 : memerlukan bantuan dari orang lain untuk pertolongan,
pengawasan atau pengajaran
2.2.1.4 Tingkat 3 :membutuhkan bantuan dari orang lain dan peralatan atau alat
bantu
2.2.1.5 Tingkat 4 : ketergantungan, tidak berpartisipasi dalam aktivitas
2.2.2 Batasan karakteristik hambatan mobilitas fisik
Menurut Wilkinson,Judith (2012) Batasan karakteristik pada hambatan mobilitas
fisik adalah :
2.2.2.1 Objektif
21

1) Penurunan waktu reaksi


2) Kesulitan membolak balik posisi tubuh
3) Asyik dengan aktifitas lain sebagai penggantui pergerakan (misalnya
peningkatan perhatian terhadap aktivitas orang lain, perilaku mengendalikan,
berfokus pada kondisi sebelum sakit atau ketunadayaan aktivitas)
4) Dipsnea saat beraktivitas
5) Perubahan cara berjalan (misalnya penurunan aktivitas dan kecepatan berjalan,
kesulitan untuk memulai berjalan, langkah kecil, berjalan dengan menyeret kaki,
pada saat berjalan badan mengayun ke samping )
6) Pergerakan menyentak
7) Keterbatasan kemampuan untuk melakukan ketrampilan motorik halu
8) Keterbatasan kemampuan untuk melakukan ketrampilan motorik kasar
9) Keterbatasan rentang pergerakan sendi
10) Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
11) Ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas aktivitas kehidupan
sehari hari )
12) Melambatnya pergerakan
13) Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi

2.2.3 Faktor yang berhubungan


2.2.3.1 Penurunan kekuatan, kendali dan massa otot
2.2.3.2 Ketidaknyamanan
2.2.3.3 Kaku sendi atau kontraktur
2.2.3.4 Hilanngnya integritas struktur tulang
2.2.3.5 Gangguan muskuloskeletal
2.2.3.6 Nyeri
2.2.3.7 Program pembatasan pergerakan
2.2.3.8 Keengganan untuk untuk memulai pergerakan
2.2.4 Kriteria hasil
2.2.5 Pengkajian
Pengumpulan data yang disesuaikan dengan kasus yang diambil,meliputi:
biodata, riwayat penyakit sekarang, penyakit kesehatan yang lalu, riwayat
22

kesehatan keluarga, riowayat psikososial,pola fungsi, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan penunjang, analisa data dan daftar masalah keperawatan.
Menurut (suratun, 2008) pengkajian yang bisa kita lakukan pada pasien fraktur
yaitu :
2.2.5.1. Anamnesa
2.2.5.1.1 Biodata
2.2.5.1.2 Keluhan utama : keterbatasan aktivitas, gangguan sirkulasi, rasa nyeri
dan gangguan neurosensori
2.2.5.1.3 Riwayat perkembangan
2.2.5.1.4 Riwayat kesehatan masa lalu : kelainan muskuloskeletal (jatuh, infeksi,
trauma dan fraktur), cara penanggulangan, dan penyakit ( diabetes melitus)
2.2.5.1.5 Riwayat kesehatan sekarang : kapan timbul masalah, riwayat trauma,
penyebab, gejala timbul tiba tiba / perlahan, lokasi, obat yang diminum, dan cara
penanggulangan
2.2.5.1.6 Pemeriksaan fisik : keadaan umum dan kesadaran, keadaan itergumen
(kulit dan kuku), kardiovaskular ( hipertensi dan takikardi ), neurologis (spasme
otot dan kebas / kesemutan ), keadaan ekstremitas dan hematologi.
2.2.5.1.7 Riwayat psikososial : reaksi emosional, citra tubuh dan sistem
pendukung.
2.2.5.1.8 Pemeriksaan diagnostik : rontgen untuk mengetahui lokasi, luas cedera,
CT scan, MRI, anteriogram, pemindaian tulang, darah lengkap, kreatinin, dan
pemeriksaan laboratorium lengkap untuk persiapan operasi.
2.2.5.1.9 Pola kebiasaan sehari hari atau hobi.
Pengkajian sebelas pola menurut muttaqin, 2008 adalah :
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada kasus fraktur, klien biasanya merasa takut akan mengalami kecacatan
pada dirinya. Oleh karena itu, klien harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu juga
dilakukan pengkajian yang meliputi kebiasaan hidup klien, seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengosumsian alkohol yang dapat mengganggu keseimbangan klie, dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
23

2) Pola nutrisi dan metabolisme


Klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari harinya,
seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C, dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien dapat
membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat, terutama kalsium
dan protein. Kurangnya sinar matahari yang diperoleh tubuh merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu,
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3) Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus, tidak ada gangguan pada pola eliminasi, namun
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses pada pola
eliminasi alvi. Pada pola eliminasi urine dikaji frekuensi, kepekatan, warna,
bau dan jumlahnya. Pada kedua pola ini dikaji juga apakah mengalami
kesulitan atau tidak.
4) Pola tidur dan istirahat
Semua pasien fraktur biasanya merasa nyeri, geraknya terbatas sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu pengkajian
juga dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur,
kesulitan tidur, dan penggunaan obat tidur.
5) Pola aktivitas
Karena adanya nyeri dan gerak yang terbatas, semua bentuk aktivitas klien
menjadi berkurang dan klien butuh banyak bantuan dari orang lain. Hal ini
yang perlu dikaji adalah bentuk aktifitas klien terutama pekerjaan klien
karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjandi nya fraktur
dibandingkan pekerjaan yang lain.

6) Pola hubungan dan peran


Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan masyarakat karena klien
harus menjalani rawat inap.
7) Pola persepsi dan konsep diri
24

Dampak yang timbul pada klien fraktur adalah timbul ketakutan akan
kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal dan gangguan citra diri.
8) Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur, daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedangkan pada indra yang lain dan kognitif tidak mengalami
gangguan. Selain itu akan menimbulkan nyeri akibat fraktur.
9) Pola reproduksi sesual
Dampak pada klien fraktur yaitu klien tidak dapat melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap, mengalami keterbatasan gerak,
serta merasa nyeri. Selain itu, juga perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak dan lama perkawinan.
10) Pola penanggulangan stres
Pada klien fraktur timbul rasa cemas dan keadaan dirinya, yaitu ketakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien dapat tidakl efektif.
11) Pola tata nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat melaksanakan ibadah dengan baik, terutama
frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah. Hal ini dapat disebabkan oleh
rasa nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2.2.5.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status general )
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokal). Hal ini
diperlukan untuk dapat melaksanakan perawatan total (total care) karena ada
kecenderungan bahwa spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih
sempit, tetapi lebih mendalam.
Hal yang perlu diketahui dalam pemeriksaan fisik klien fraktur adalah sebagai
berikut :
1) Gambaran umum. Perawat perlu memerhatikan pemeriksaan secara umum
yang meliputi hal hal yang sebagai berikut :
(1) Keadaan umum. Keadaan baik atau buruknya klien. Hal yang perlu dicatat
adalah tanda tanda sebagai berikut :
25

1. Kesadaran klien : apatis, sopor, koma, gelisah, kompos mentis yang


bergantung pada keadaan klien.
2. Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang, berat, dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
3. Tanda tanda vital tidak normal karena ada gangguan, baik fungsi maupun
bentuk.

(2) Secara sistemik, dari kepala sampai kelamin


Sistem Integumen : Terdapat erytema, suhu disekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, edema, nyeri tekan.
Kepala : Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
Leher : Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
Muka : Wajah terlihat menahan sakit, lain lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tidak ada lesi, edema simetris.
Mata : Ada gangguan seperti konjungtiva anemis (apabila ada perdarahan)
Telinga : Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
Mulut dan Faring : Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
Thoraks : Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
Paru : Inspeksi : pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penaykit klien yang berhubungan dengan paru paru.
Palpasi : pergerakan sama/ simetris, fremitus raba sama.
Perkusi : Suara ketok sonor, tidak ada redup tidak ada suara tambahan
lainnya.
Auskultasi : suara nafas normal, tidak ada whezzing atau suara nafas
tambahan seperti stridor dan ronchi.
Jantung : Inspeksi : tidak tampak ictus cordis
Palpasi : Nadi meningkat, Ictus tidak teraba
26

Perkusi : suara pekak


Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur mur
Abdomen : Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia
Auskultasi : Bising usus dalam rentang normal 5-35x/menit
Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan
Palpasi : Turgor baik, tidak ada defans muskuler, hepar tidak teraba.
Perawat harus memperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal klien,
terutama mengenai status neurovaskuler. (Rosyidi, 2013).
2) Keadaan lokal. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai
berikut :
(1) Look (inspeksi). Perhatikan apa yang dapat dilihat, antara lain sebagai
berikut:
1. Sikatriks (jaringan parut, baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
2. Fistula
3. Warna kemerahan atau kebiruan (livid) atau hiperpigmentasi.
4. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal hal yang tidak biasa
(abnormal).
5. Posisi dan bentuk ekstremitas (deformitas)
6. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi). Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi klien
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya, hal ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien. Hal hal yang perlu dicatat adalah sebagai berikut :
1. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembapan kulit.
2. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau edema terutama
disekitar persendian.
3. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, letak kelainan (1//3 proksimal, tengah
atau distal)
4. Tonus otot pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu, periksa status neurovaskular.
Apabila ada benjolan, perawat perlu mendeskripsikan permukaannya,
27

konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaan, nyeri atau tidak,


dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama rentang gerak). Setelah melakukan pemeriksaan
feel, perawat perlu meneruskan pemeriksaan dengan menggerakkan
ekstremitas, kemudian mencatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan rentang gerak ini perlu dilakukan agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi
netral), atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah
gerakan aktif dan pasif.
2.2.5.3 Pemeriksaan diagnostik
1) Pemerikasaan radiologi. Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
pencitraan menggunakan sinar rontgen (sinar- X). Untuk mendapatkan gambaran
tiga dimensi dari keadaan tulang yang sulit, kita memerlukan dua proyeksi yaitu
AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) jika ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari karena
adannya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan sinar-X harus atas dasar
indikasi kegunaan. Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
permintaan. Selain foto polos sinar-X (plane X-ray) mungkin diperlukan teknik
khusus, seperti hal hal berikut :
(1) Tomografi, menggambarkan tidak hanya satu struktur saja, tetapi juga struktur
tertutup yang sulit divisualisasikan. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks, tidak hanya pada satu struktur saja, tetapi pada struktur lain yang
juga mengalami kerusakan.
(2) Mielografi, menggambarkan cabang cabang saraf spinal dan pembuluh darah
diruang tulang vertebra yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Artrografi, menggambarkan jaringan ikat yang rusak karena rudapaksa.
(4) Computed tomography-scanning, menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang tempat terdapatnya struktur tulang yang rusak.
28

2) Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang lazim digunakan


untuk mengetahui lebih jauh kelainan yang terjadi meliputi hal hal sebagai
berikut:
(1) Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2) Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH-5), aspartat
amino transferase (ATS) dan aldonase meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
3) Pemeriksaan lain lain. Pada pemeriksaan kultur mikroorganisme dan tes
sensitivitas didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(1) Biopsi tulang dan otot : pada intinya, pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas, tetapi lebih diindikasi bila terjadi infeksi.
(2) Elektromiografi : terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur.
(3) Antroskopi : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan
(4) Indium Imaging : pada pemeriksaan ini dapat didapatkan adanya infeksi pada
tulang
MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

2.2.6 Intervensi keperawatan


Intervensi keperawatan adalah rencana asuhan keperawatan sebagai petunjuk
tertulis yang menggambarkan secara tepat rencana tindakan yang dilakukan
terhadap klien sesuai dengan diagnosa keperawatan.
Rencana disusun bedasarkan kondisi klien yang ditemukan pada saat pengkajian
2.2.6.1 Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan hilangnya integritas
struktur tulang menurut (wilkinson, 2016)
Intervensi Rasional
Kaji derajat imobilitas yang Pasien mungkin dibatasi oleh
dihasilkan oleh cedera dan pandangan diri/persepsi diri tentang
perhatikan persepsi klien terhadap keterbatasan fisik aktual,
imobilisasi memerlukan informasi/intervensi
29

untuk meningkatkan kemajuan


kesehatan
Intruksikan pasien untuk /bantu Meningkatkan aliran darah keotot
dalam rentang gerak pasien/ aktif dan tulang untuk meningkatkan
pada ekstremitas yang sakit dan tonus otot, mempertahankan gerak
tidak sendi, mencegah kontraktur atau
atrofi dan resorpsi kalsium karena
tidak digunakan
Dorong penggunaaan latihan Kontraksi otot isometrik tanpa
isometrik mulai dengan tungkai menekuk sendi atau menggerakkkan
yang sakit tungkai dan membantu
menggerakkkan kekuatan otot
Tempatkan dalam posisi terlentang Menurunkan resiko kontraktur fleksi
secara periodik bila mungkin, bila panggul
traksi digunakan untuk
menstabilkan fraktur tungkai
bawah
Bantu/ dorong perawatan diri Meningkatkan kekuatan otot dan
(mandi, mencukur) sirkulasi, meningkatkan kontrol
pasien dalam situasi dan
meningkatkan kesadran diri
langsung
Berikan/ bantu dalam mobilisasi Mobilisasi dini menurunkan
dengan kursi roda, kruk, tongkat komplikasi tirah baring dan
sesegera mungkin. Intruksikan meningkatkan penyembuhan dan
keamanan dalam penggunaan alat normalisasi fungsi organ. Belajar
mobilitas memperbaiki cara mengguanakn alat
pentinguntuk mempertahankan
mobilisasi optimal dan keamanan
pasien.
Awasi TD dengan melakukan Hipotensi postural adalah masalah
aktivitas. Perhatikan keluhan umum menyertai tirah baring lama
30

pusing dan dapat memrlukan intervensi


khusus
Ubah posisi secara periodik dan Mencegah/ menurunkan insiden
dorong untuk latihan batuk atau komplikasi kulit atau pernafasan
nafas dalam
Auskultasi bising usus. Awasi Tirah baring, penggunaan analgesik
kebiasaan eliminasi dan berikan dan perubahan dalam kebiasaan diet
defekasi secara rutin. Tempatkan dapat memperlambat peristaltik dan
pada pispot bila mungkin, atau menyebabkan komplikasi. bedpan
berikan bedpan fraktur. Berikan fraktur membatasi fleksi panggul
privasi. dan mengurangi tekanan lumbal/
gips ekstremitas bawah
Dorong peningkatan masukan Mempertahankan hidrasi tubuh,
cairan sampai 2000-3000 ml/hari, menurunkan resiko infeksi
termasuk air asam/jus urinariius, pembentukan batu dan
konstipasi
Berikan diet tinggi protein, Pada adanya cidera muskuloskeletal,
karbohidrat, voitamin dan mineral. nutrisi yang diperlukan untuk
Pertahankan penurunan kandungan penyembuhan berkurang dengan
protein sampai setelah defekasi cepat, sering menyebabkan
pertama penurunan berat badan sebanyak 20-
30 pon selama traksi tulang. Ini
dapat mempengaruhi massa otot,
tonus dan kekuatan.
Tingkatkan jumlah diet kasar. Penambhan bulk pada feses
Batasi makanan pembentuk gas. mencegah terjadinya konstipasi.
Makanan pembentuk gas daapt
menyebabkan distensi abdominal,
khususnya pada penurunan
mortilitas usus.
Konsul dengan ahli terapi Berguna dalam membuat aktifitas
fisik/okupasi /rehabilitasi spesialis individual/ program latihan. Pasien
31

akan memerlukan bantuan dalanm


jangka panjang dengan gerakan.
Kekuatan dan aktivitas yang
mengandalkan berat badan juga
penggunaan alat.
Rujuk keperawat spesialis Pasien atau orang terdekat
psikiatrik klinikal/ahli terapi sesuai memerlukan tindakan intensif lebih
indikasi untuk menerima kenyataan
kondisi/prognosis, imobilisasi lama,
mengalami kehilangan kontrol

2.2.7 Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai
tujuan yang spesifik (lyer et al., 1996). Tahap implementasi dimulai setelah
rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing enders untuk membantu
klien mencapai tujuan yang diharapkan,. Oleh karena itu rencana intervensi yang
spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor faktor yang mempengaruhi
masalah kesehatan klien.
Implementasi yang dapat dilakukan pada pasien post operasi open fraktur kruris
diantaranya:
1. Mengkaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera dan perhatikan
persepsi klien terhadap imobilisasi.
2. Intruksikan pasien untuk /bantu dalam rentang gerak pasien/ aktif pada
ekstremitas yang sakit dan tidak
3. Dorong penggunaaan latihan isometrik mulai dengan tungkai yang sakit
4. Tempatkan dalam posisi terlentang secara periodik bila mungkin, bila
traksi digunakan untuk menstabilkan fraktur tungkai bawah
5. Bantu/ dorong perawatan diri (mandi, mencukur)
6. Berikan/ bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tongkat sesegera
mungkin. Intruksikan
7. keamanan dalam penggunaan alat mobilitas
8. Awasi TD dengan melakukan aktivitas. Perhatikan keluhan pusing
32

9. Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk atau nafas
dalam
10. Auskultasi bising usus. Awasi kebiasaan eliminasi dan berikan defekasi
secara rutin. Tempatkan pada pispot bila mungkin, atau berikan bedpan
fraktur. Berikan privasi.
11. Dorong peningkatan masukan cairan sampai 2000-3000 ml/hari, termasuk
air asam/jus
12. Berikan diet tinggi protein, karbohidrat, voitamin dan mineral.
Pertahankan penurunan kandungan protein sampai setelah defekasi
pertama
13. Tingkatkan jumlah diet kasar. Batasi makanan pembentuk gas.
14. Konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi /rehabilitasi spesialis
2.2.8 Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan, rencana intervensi
dan implementasinya. Tahap evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor
kealpaan yang terjadi selama tahap pengkajian, analisis, perencanaan, dan
implementasi intervensi.
Menurut Griffith dan Christensen (1986), evaluasi sebagai sesuatu yang
direncanakan dan perbandingan yang sistemik pada status kesehatan klien.
Dengan mengukur perkembangan klien dalam mencapai suatu tujuan maka
perawat dapat menentukan efektifitas asuhan keperawatan.
Meskipun tahap evaluasi diletakkan pada akhir proses keperawatan tetapi
tahap ini bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan. Pengumpulan data
perlu direvisi untuk menentukan kecakupan data yang telah dikumpulkan dan
kesesuaian perilaku yang diobservasi. Diagnosis juga perlu dievaluasi dalam hal
keakuratan dan kelengkapannya. Evaluasi juga diperlukan pada tahap intervensi
untuk menentukan apakah tujuan intervensi tersebut dapat dilakukan secara
efektif.
2.2.9 Masalah keperawatan lain
Secara umum Doengoes (2002) merumuskan delapan masalah/diagnosis
keperawatan yaitu :
33

1) Resiko tinggi trauma tambahan


2) Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera pada
jaringan lunak, stress, ansietas, alat traksi/imobilisasi
3) Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskular perifer
4) Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas
5) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuskular
6) Kerusakan integritas kulit/jaringan (aktual/resiko tinggi) berhubungan dengan
cedera tusuk, fraktur tebuka, pemasangan pen traksi, perubahan sensasi,
mobilisasi fisik
7) Resiko tinggi terhadap infeksi
8) Kurang pengetahuan tentang kondisi, pronosis dan kebutuhan pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai