Anda di halaman 1dari 262

Dr.

Yusuf Qardhawi

Malamih
Al-Mujtama'
Al-Muslim

MENUJU MASYARAKAT ISLAMI


(Sebuah Pengantar)

Tatkala iklim kebebasan mengekspresikan nilai telah relatif terbuka di era reformasi, banyak
diskursus tentang penegakan syariat Islam di tanah air kita. Ada di antara mereka yang secara
gigih memperjuangkan, baik di gedung parlemen—terlepas apakah itu hanya sekadar komoditas
politik atau benar-benar keluar dari hati yang tulus—, di parlemen jalanan, maupun di forum-
forum kajian. Ada yang menolak dengan dalih kemajemukan masyarakat Indonesia, namun ada
pula yang menyikapinya dengan kepala dingin dan pikiran yang jernih.
Padahal, sebenarnya penegakan syariat Islam ini merupakan bagian yang inheren dengan
keislaman dan keimanan setiap Muslim. Banyak orang telah ber-Islam sekian lama kaget
mendengar isu penegakan syariat agamanya dikumandangkan. Ini mencerminkan betapa
pemahaman agama masyarakat masih jauh dari ideal.
Tentu saja, kondisi masyarakat yang demikian memerlukan proses penyadaran secara
menyeluruh, tidak sekadar aspek-aspek ubudiah, namun juga konsep-konsep islami dalam
berbagai sektor kehidupan masyarakat.
Kami terpanggil menerbitkan buku tulisan Ustadz Yusuf Qardhawi ini, karena beliau secara
indah memaparkan bagaimana masyarakat dapat ditegakkan dengan nilai-nilai syariat Islam yang
agung ini. Buku ini diharapkan memberi gambaran yang benar tentang syariat Islam yang lurus.
Dengan buku ini, masyarakat diharapkan bisa menerima kehadirannya secara total, bahkan lebih
dari itu secara bersama-sama memperjuangkan tegaknya.
Buku ini berjudul asli Malamih Al-Mujtama' Al-Muslim Alladzi Nunsyiduhu. Terbagi menjadi
sebelas bab dan membahas tema mulai dari akidah, ibadah, akhlak, undang-undang, ekonomi,
seni hiburan, dan perempuan.
Kami berharap terbitnya buku ini akan menambah referensi umat tentang prinsip ajaran
agamanya yang indah dan menyejukkan. Saran dan masukan tentu kami tunggu untuk perbaikan.

Penerbit
DAFTAR ISI
MENUJU MASYARAKAT ISLAMI
(SEBUAH PENGANTAR)
DAFTAR ISI
MUKADIMAH

PASAL 1. AKIDAH DAN IMAN


Makna Tegaknya Masyarakat di Atas Akidah Islam
Masyarakat Islam dan Fenomena Kemurtadan
Rahasia Beratnya Sanksi Kemurtadan
Hal-Hal Penting yang Wajib Diperhatikan
Beberapa Komentar yang Tertolak
Kemurtadan Seorang Penguasa
Kemurtadan yang Terselubung

PASAL 2. SYIAR-SYIAR DAN IBADAH DALAM ISLAM


Shalat
Zakat
Amar Makruf Nahi Mungkar

PASAL 3. PEMIKIRAN DAN PEMAHAMAN


Dua Pola Pikiryang Berbahaya bagi Masyarakat

PASAL 4. SELERA DAN PERASAAN


Tugas Masyarakat terhadap Sirnbol-Simbol Keislaman
Bukanlah Masyarakat Islam

PASAL 5. AKHLAK DAN KEUTAMAANNYA


Tugas Masyarakat Islam terhadap Akhlak

PASAL 6. ADAB DAN TRADISI


Gambaran Tradisi Masyarakat Islam
Pengaruh TataCara Hidup Islami
Tugas Masyarakat Islam terhadap Tata Kehidupan Islami

PASAL 7. NILAI-NILAI KEMANUSIAAN


Ilmu
Amal
Kebebasan
Musyawarah (Syura)
Syura dalam Kehidupan Individu
Syura dalam Kehidupan Berkeluarga
Syura dalam Bermasyarakat dan Bernegara
Keadilan
Persaudaraan (Al-Ikha')
Cinta dan Tingkatannya
Derajat Itsar
Menyelaraskan antara Teori dan Praktik
Persatuan adalah Buah Persaudaraan
Kerja Sama, Saling Membantu, dan Saling Menyayangi
Takaful di Bidang Materi dan Moral
Ukhuwah Itu Meliputi Seluruh Golongan

PASAL 8. SYARIAT DAN PERUNDANG-UNDANGAN


Pentingnya Tasyri' Rabbani bagi Masyarakat
Syariat Islam Tidak Hanya Terbatas pada Hukum Pidana
Islam Berusaha Menutupi Sanksi
Menolak Hudud dengan Syubhat
Masyarakat Tidak Ditegakkan dengan Hukum Belaka
Di Antara Kewajiban Masyarakat Islam adalah Berhukum Kepada Syariat Allah
Berhukum Kepada Syariat Itu Membuktikan Ashalah dan Kebebasan Kita
Syariat dalam Arti Luas, Bukan Mazhab Tertentu
Harus Ada Ijtihad Baru yang Tepat
Ijtihad Bukan Asal Tajdid, Bukan Pula Tabdid
Islam Bukan Ajaran yang Kacau-Balau
Keniscayaan Tadarruj
Tidak Mungkin Menerapkan Syariat Selain Mereka yang Mengimaninya
Syariat Berlaku untuk Rakyat dan Penguasa

PASAL 9. PEREKONOMIAN DAN HARTA KEKAYAAN


Harta adalah Kebaikan di Tangan Orang Saleh
Harta Itu Milik Allah
Seruan untuk Bekerja dengan Baik
Haramnya Pendapatan dari Pekerjaan yang Kotor
Mengakui dan Melindungi Hak Kepemilikan Pribadi
Larangan bagi Individu untuk Menguasai Barang yang Dperlukan Masyarakat
Larangan untuk Melakukan Praktik yang Merugikan Orang Lain
Pengembangan Harta dengan Usaha yang Tidak Mencoreng Akhlak dan Merugikan Kepentingan
Umum
Riba
Menimbun di Saat Orang Membutuhkan (Ihtikar)
Penipuan dan Berbuat Curang
Berdagang Barang Haram
Segala Sesuatu yang Bertentangan dengan Akhlak
Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Umat
Menuju Pemenuhan Kebutuhan Dan Kemandirian Umat
Membuat Perencanaan
Mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang
Berkualitas dan Menempatkannya Secara Tepat
Mendayagunakan Aset yang Ada Secara Optimal
Konsolidasi antarcabang produksi
Memberdayakan Kekayaan Harta (Emas dan Perak)
Sederhana dalam Berinfak
Membelanjakan Harta untuk Diri dan Keluarga
Menunaikan Hak yang Harus Ditunaikan
Keseimbangan antara Pemasukan Dan Pengeluaran
Memerangi Kemewahan Dan Para Pelakunya
Kesederhanaan dalam Anggaran Belanja Negara
Kewajiban Takaful Ijtima'i
Memberikan Nafkah Kepada Sanak Kerabat
Kewajiban Zakat
Pemasukan Negara yang Lainnya
Hak-Hak Lain di dalam Harta
Sedekah Sunah
Wakaf Dan Sedekah Jariyah
Takaful Antargenerasi
Mempersempit Perbedaan Antargolongan
Islam dan Sistem Perekonomian Modern
Islam dan Materialisme
Islam dan Sosialisme
Tujuan Ekonomi Islam dan Urgensinya

PASAL 10. PERMAINAN DAN SENI


Humor dan Hiburan dalam Kehidupan Kaum Muslimin
Sikap orang yang Mutasyaddid
Batasan Agama dalam Humor dan Tertawa
Kebutuhan terhadap Hiburan
Macam-Macam Permainan di Masyarakat
Sikap Islam
Permainan yang Diperbolehkan Islam
Permainan-Permainan yang Dilarang oleh Islam
Hilangnya Kebenaran dalam Sikap Ghuluw dan Tafrith
Sikap Islam dalam Berinteraksi
Al-Quran Mengingatkan Unsur Manfaat dan Keindahan pada Semesta
Seorang Mukmin Sangat Sensitif terhadap Keindahan Alam, Kehidupan dan Manusia
Allah Swt. Indah dan Suka Keindahan
Al-Quran Adalah Mukjizat Keindahan
Ungkapan Keindahan
Seni Bahasa dan Sastra
Apa Hukum Islam terhadap Lagu dan Musik?
Asal Mula Hukum Segala Sesuatu Adalah Mubah
Dalil-Dalil yang Digunakan oleh Orang yang Mengharamkan Nyanyian dan Pembahasannya
Dalil-Dalil Orang yang Memperbolehkan Nyanyian
1. Dalil Diperbolehkannya Nyanyian Berdasarkan Nash
2. Dalil Diperbolehkannya Nyanyian Ditinjau dari Sisi Ruh Islam dan Kaidah-Kaidahnya
Orang yang Berpendapat Diperbolehkannya Nyanyian
Batasan dan Syarat yang Harus Dipenuhi
Nyanyian dan Tarian dalam Kehidupan Orang Islam
Mengapa Ulama Kontemporer Memberlakukan Hukum
Secara Ketat dalam Hal Nyanyian?
Fikih Imam Al-Ghazali dalam Masalah Ini
Peringatan agar Jangan Mudah Mengharamkan Sesuatu
Ringkasan Hukum Lukisan dan Pelukis
Penafsiran
Karakter Umum Peradaban Islam
Lukisan dalam Al-Quran
Lukisan dalam Sunnah
Melukis Sesuatu yang Diagungkan dan Disucikan
Melukis Sesuatu yang Dipakai Syiar Agama Lain
Menyamai Ciptaan Allah
Lukisan Masuk dalam Kategori Kemewahan
Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Hadits-Hadits yang Ada
Fotografi

PASAL 11. WANITA DALAM MASYARAKAT ISLAM


Wanita Sebagai Manusia
Beberapa Tuduhan yang Tertolak
Persaksian (Syahadah)
Hukum Waris
Diyat
Kepemimpinan Rumah Tangga
Jabatan Peradilan dan Politik
Wanita Sebagai Ibu
Para Ibu yang Diabadikan
Wanita Sebagai Anak
Wanita Sebagai Istri
Kemandirian Seorang Istri
Talak
Mengapa Islam Memperbolehkan Talak?
Mempersempit Lingkup Perceraian
Kapan dan Bagaimana Perceraian itu Dilakukan?
Hal yang Dilakukan Setelah Talak
Alasan Hak Cerai di Tangan Lelaki
Bagaimana Seorang Istri yang Tertekan dapat Melepaskan Diri dari Suami?
Penerapan Talak yang Keliru
Poligami
Poligami pada Umat Masa Lalu dan pada Masa Islam
Adil Merupakan Syarat Poligami
Hikmah Diperbolehkannya Poligami
Poligami Merupakan Sistem yang Bermoral dan Manusiawi
Poligami Orang-orang Barat Tidak Bermoral dan Tidak Manusiawi
Kesalahan dalam Praktik Poligami
Seruan untuk Menolak Poligami
Satu Argumen dari Kaum Antipoligami dan Jawabannya
Wanita Sebagai Wanita
Ikhtilath yang Diperbolehkan
Syubhat dari Pendukung Kebebasan Ikhtilath
Bantahan terhadap Pendukung Kebebasan Ikhtilath
Pengaruh Pergaulan Bebas di Masyarakat Barat
Wanita Sebagai Anggota Masyarakat
Para Pendukung Pemberdayaan Wanita
Bantahan
Bahaya Wanita ketika Mengerjakan Pekerjaan Laki-Laki
Kapan Wanita Boleh Bekerja

MUKADIMAH

Segala puji bagi Allah Swt., dengan pujian yang banyak, yang baik, dan diberkahi. Selawat dan
salam semoga tercurah kepada rasul-Nya yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, juga
kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Amma ba'du.
Sesungguhnya Islam memperhatikan persoalan masyarakat sebagaimana memperhatikan
persoalan individu, karena keduanya saling mempengaruhi. Bukankah masyarakat itu tidak lain
sekumpulan individu yang diikat dengan suatu ikatan? Oleh karenanya, kebaikan individu
berpengaruh langsung pada kebaikan masyarakat. Individu dalam masyarakat bagaikan batu bata
bagi bangunan. Sebuah bangunan tidak akan baik apabila batu batanya rapuh.
Sebaliknya, seseorang tidak akan menjadi baik kecuali jika berada dalam lingkungan
masyarakat yang kondusif bagi perkembangan kepribadiannya, bagi kemampuannya beradaptasi
secara benar, dan bagi perilakunya yang positif. Masyarakat merupakan lahan tempat tumbuh
dan berkembangnya benih-benih individu. Mereka tumbuh dan berkembang bersama
lingkungannya; bersama langit, bumi, udara, dan mataharinya. Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah
dalam rangka membangun masyarakat mandiri, sebagai pengejawantahan bagi prinsip akidah,
nilai-nilai, syiar-syiar, dan hukum-hukum syariat Islam.
Sungguh, kita merasakan suatu ujian menimpa individu Muslim di zaman ini. Ia hidup di
tengah masyarakat yang tidak menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya, bahkan ada di
antaranya yang justru memusuhi syariat dan memerangi dakwahnya. Individu itu hidup dalam
keresahan, kegelisahan, dan kebingungan. Semua itu akibat dari fenomena paradoks yang
dihadapi, antara nilai-nilai yang diyakini; di satu sisi perintah dan larangan agama dan di sisi lain
realitas yang melingkupi dan— bahkan—menekannya, yang berupa pola pikir, kecenderungan,
tradisi, sistem hidup, dan hukum yang melekat erat di tubuh masyarakat yang bertentangan
dengan akidah, syariat, dan warisan peradaban Islam tempo dulu.
Manusia sebagaimana tabiatnya, seperti dikatakan para pendahulu merupakan makhluk
beradab. Orang-orang modern mengatakan bahwa manusia adalah "binatang sosial", di mana
mereka tidak bisa hidup seorang diri. Sebaliknya, seseorang harus bekerja sama dengan orang
lain agar hidupnya bisa tegak, keinginan dan cita-citanya dapat terwujud, serta eksistensinya
dapat terpelihara.
Seorang penyair berkata,
Manusia itu hidup untuk manusia lainnya,
baik dari pedalaman maupun kota.
Antara sebagian dengan sebagian yang lain saling melayani,
meskipun tak merasakannya.

Islam tidak memahami manusia sebagai individu belaka, tetapi juga sebagai bagian dari
masyarakat. Oleh karena itu, tugas agama disampaikan kepadanya dalam bentuk jamak; ya
ayyuha alladzina amanu, bukan dalam bentuk tunggal; ya ayyuha al-mukmin. Hal ini dikarenakan
penunaian tugas-tugas Islam memerlukan kebersamaan dan saling menopang, baik dalam urusan
ibadah maupun muamalah.
Apabila kita amati suatu kewajiban—shalat misalnya—kita dapatkan bahwa ia tidak mungkin
dilaksanakan sesuai kehendak Islam, kecuali di sebuah masjid yang dibangun secara gotong
royong oleh masyarakat. Muazin mengingatkan orang-orang akan datangnya waktu shalat,
seorang imam memimpin mereka, khatib menyampaikan khotbahnya, dan seorang ustadz tampil
mengajari mereka. Semua itu tidak mungkin ditegakkan oleh individu, tetapi harus didukung oleh
masyarakat secara bersama-sama.
Al-Quran menjadikan shalat sebagai persoalan utama yang harus ditegakkan oleh sebuah
negara Islam, manakala negara tersebut telah tertegak.
(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya
mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf, dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah tempat kembali segala
urusan. (Al-Hajj: 41)

Demikian juga dalam hal kewajiban berpuasa dan keharusan mengatur kehidupan di bulan
Ramadhan dengan segenap pranata yang memudahkan terlaksananya puasa, shalat Lail, sahur,
dan lain-lain.
Terlebih dalam masalah zakat. Pada dasarnya, di dalamnya terkandung tatanan sosial yang
diatur oleh negara melalui para amil yang telah digariskan Al-Quran. Demikian juga dalam seluruh
syiar Islam dan rukun-rukunnya.
Akhlak dan muamalah tidak akan dapat tegak sesuai dengan kehendak Islam, kecuali dalam
naungan masyarakat yang berpegang teguh pada Islam dan mengabdi kepada Allah dengan
membangun kehidupan di atas fondasi Islam.
Islam mengajarkan kepada seorang Muslim—ketika bermunajat kepada tuhannya dalam
shalat—agar membaca, "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in." la berbicara dan menyampaikan
pernyataannya dalam bentuk kata jamak, meskipun seorang diri. Demikian juga saat berdoa
kepada-Nya dengan ucapan, "Ihdina ash-shirat al-mustaqim." Dengan begitu, jiwa kebersamaan
senantiasa hidup dalam perasaannya dan hadir melalui lisannya.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang spesifik. Ia berbeda dengan masyarakat lainnya,
baik eksistensi maupun karakternya. Ia adalah masyarakat yang berorientasi pada ketuhanan
(rabbani), manusiawi (insani), menjunjung tinggi akhlak (akhlaqi), dan proporsional (tawazun).
Umat Islam senantiasa dituntut untuk menegakkan masyarakat yang demikian ini demi
mengukuhkan agamanya, mengaktualisasikan kepribadiannya, dan mewujudkan kehidupan
secara total di bawah naungan Islam. Suatu kehidupan yang dibimbing oleh akidah, disucikan
oleh ibadah, dituntun oleh pemahaman Islam yang sahih, digerakkan oleh semangat, diikat oleh
akhlak, diatur oleh undang-undang, serta dipimpin segenap sistem ekonomi, politik, dan yang
lainnya.
Masyarakat Islam itu bukanlah masyarakat sebagaimana yang dipersepsi banyak orang, yakni
masyarakat yang hanya menerapkan syariat Islam dalam bidang hukum saja, terutama berkaitan
dengan sanksi-sanksi hukum. Gambaran yang demikian adalah gambaran yang cacat dan tidak
adil serta sekadar ingin menggambarkan berbagai aspek nilai yang beraneka ragam itu dengan
satu kata: hukum, yang masih dipersempit dengan menyebut bagiannya: perdata dan pidana.
Untuk itu, sangatlah penting menyajikan penjelasan tentang gambaran pokok atau pilar-pilar
pokok yang menyangga bangunan masyarakat yang diidam-idamkan dan dicita-citakan seluruh
gerakan dan jamaah Islam di berbagai penjuru dunia; Arab maupun Islam. Demi mengganti
masyarakat sekarang, yang di dalamnya bercampur antara nilai Islam dan nilai jahiliah, baik
jahiliah impor sebagai dampak penjajahan (sosialisme dan kapitalisme) maupun jahiliah warisan
yang lahir dari masa-masa kemunduran; masa-masa umat Islam sangat buruk dalam cara
memahami agamanya, juga dalam penerapannya, baik sebagai rakyat maupun pemimpin.
Saya telah menerbitkan sebuah buku berjudul Ghair Al-Muslimin fi Al-Mujtama' Al-Islami
(Non-Muslim dalam Masyarakat Islam), yang sebenarnya merupakan salah satu bagian buku ini.
Saya juga tidak membahas tema yang berkaitan dengan negara dan sistem hukum, karena
khawatir pembahasannya menjadi terlalu panjang. Insya Allah akan saya terbitkan dalam satu
buku tersendiri.
Saya berharap, poin-poin yang saya bahas dalam buku ini bisa membantu pembaca untuk
menyingkap tabir tentang berbagai ciri masyarakat ideal, yang telah lama dinanti-nanti dan
dirindukan kemunculannya.
Semoga kita semakin serius dalam berusaha untuk mencapainya dan bekerja keras untuk
mewujudkannya dalam kehidupan nyata, di negeri mana pun dan sesederhana apa pun. Ia akan
mendengungkan loyalitas yang tuntas kepada Islam; akidah, syariat, maupun sistem hidupnya. Ia
bangun seluruh kehidupannya; materi maupun moral, dan seluruh sistem politiknya; internal
maupun eksternal, di atas fondasi nilai-nilai Islam.
Di sisi lain, kita hendak membandingkan antara masyarakat yang ada kini, yang menisbatkan
dirinya kepada Islam karena mayoritas penduduknya Muslim, atau karena undang-undang
dasarnya menyatakan bahwa agama yang diakui adalah Islam, atau menyatakan bahwa sumber
hukumnya adalah Islam— dengan model masyarakat Islam ideal yang sebenarnya untuk
mengetahui seberapa jauh jaraknya.
Betapa banyak orang yang memiliki semangat ber-Islam, namun di saat yang sama
memusuhinya. Betapa banyak orang yang berpegang teguh kepada beberapa syiar agama,
namun pada saat yang sama berpaling dari nilai moralnya. Betapa banyak orang yang beriman
kepada sebagian isi Al-Quran, tetapi di saat yang sama mengingkari sebagian lainnya. Betapa
banyak orang yang getol berhari besar Islam, namun pada saat yang sama berakrab-akrab dengan
musuhnya, membenci dainya, dan mendepak syariatnya.
... ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, hanya kepada Engkau-lah kami
bertobat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Ampunilah kami, ya Tuhan kami.
Sesungguh-nya, Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Maha bijaksana. (Al-Mumtahanah: 4-5)
Dauhah, Dzulhijah 1413 H/Juni 1993 M.
Yusuf Qardhawi
PASAL 1
AKIDAH DAN IMAN

Sesungguhnya fondasi utama tegaknya masyarakat Islam adalah akidah, yakni akidah
islamiah. Tugas pertama masyarakat Islam adalah memelihara, menjaga, dan mengukuhkan
akidah, serta memancarkan cahayanya ke seluruh penjuru dunia.
Akidah Islam terefleksikan dalam iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
rasul-Nya, dan hari akhir.
Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian
pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), "Kami tidak membeda-bedakan
antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya." Dan mereka mengatakan,
"Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa), "Ampunilah kami wahai Tuhan kami, kepada
Engkaulah tempat kembali." (Al-Baqarah: 285)

Akidah Islam itu berkarakter membangun bukan meruntuhkan, mempersatukan bukan


memecah belah. Hal itu dikarenakan ia tegak di atas warisan seluruh risalah ilahiah dan keimanan
kepada seluruh utusan Allah, La nufarriqu baina ahadin min rusulih.
Akidah ini memiliki slogan, "Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan saya
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah." Akidah inilah yang membingkai cara pandang
kaum Muslimin terhadap alam dan Tuhannya, terhadap alam fisik dan metafisiknya, terhadap
kehidupan dan apa yang terjadi setelahnya, terhadap alam yang kasat mata dan yang gaib.
Dengan kata lain, terhadap makhluk dan Khalik serta dunia dan akhirat.
Alam ini, dengan bumi dan langitnya, dengan benda-benda mati dan tetumbuhannya, dengan
hewan dan manusianya, dengan jin dan malaikatnya, tidaklah mungkin dicipta dari kehampaan
dan tidak pula dicipta oleh dirinya sendiri. Ia pasti ada penciptanya; Yang Maha Mengetahui,
Mahakuasa, Mahamulia, dan Mahabijaksana. Dia menciptakan dan menyempurnakannya,
menentukan kadarnya bagi segala sesuatu, menjadikan timbangannya untuk setiap zarah, dan
ukurannya bagi setiap gerak. Sang Pencipta itulah Allah Swt., yang setiap kata, bahkan setiap
huruf, dalam kitab-Nya menyebut kehendak, kekuasaan, pengetahuan, dan kebijaksanaan-Nya.
Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tiada
sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti
tasbih mereka. Sesungguhnya, Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Al-lsra': 44)

Pencipta Yang Mahaagung itulah Tuhan langit dan bumi, Tuhan alam semesta, Yang Esa, tiada
sekutu bagi-Nya, baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Dia-lah Yang Mahadahulu dan
Mahaabadi. Hanya Dia-lah Sang Pencipta dan Pembentuk, yang bagi-Nya asmaul husna, yang
tiada tandingan bagi-Nya, tiada beranak dan diperanakkan, dan tiada sesuatu pun yang
menyamai-Nya.
Katakanlah, "Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang
setara dengan Dia." (Al-lkhlash: 1-4)

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu. (Al-Hadid: 3)
...tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya (Allah), dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. (Asy- Syura: 11)

Segala sesuatu yang ada di jagat raya ini, baik yang di atas sana maupun yang bawah sini, baik
yang bisu maupun yang berbicara, membuktikan bahwa Akal Yang Satu itulah yang mengatur
segalanya. Juga membuktikan Tangan Yang Satu itulah yang menggerakkan dan mengarahkan
segenap yang ada. Jika tidak demikian, maka rusaklah semesta ini, lepas kendalinya, guncang
standarnya, dan runtuh bangunannya, akibat dari beragamnya akal yang mengatur dan
banyaknya tangan yang menggerakkan. Mahabenar Allah dalam beberapa firman-Nya berikut ini.
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah
rusak binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai Arsy dari apa yang mereka sifatkan.
(Al-Anbiya': 22)

Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-
Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang
diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.
Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (Al-Mu'minun: 91)

Katakanlah, "Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan,


niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai Arsy. Mahasuci dan
Mahatinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya."
(Al-lsra': 42-43)

Sesungguhnya seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah, tiada
seorang pun—yang berakal maupun yang tidak berakal—menjadi sekutu atau menjadi putra-
Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh penyembah berhala dan sebangsanya.
Mereka (orang-orang kafir) berkata, "Allah mempunyai anak." Mahasuci Allah, bahkan apa
yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya. Allah
Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka
(cukuplah) Dia berkata padanya, "Jadilah!" Lalu jadilah ia. (Al-Baqarah: 116-117)

Barangsiapa tersesat dari kebenaran hakikat ini di dunia, niscaya akan tersingkap di akhirat
kelak. Dia akan melihat kenyataan itu secara jelas dan terang, seterang matahari di waktu duha.
Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha
Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya, Allah telah menentukan jumlah mereka dan
menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada
Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri. (Maryam: 93-95)

Tidaklah mengherankan jika Sang Pencipta itu, Yang Mahaagung dan Mahatinggi, adalah
satu-satunya tuhan yang berhak disembah dan ditaati secara mutlak. Dengan kata lain, Dialah
Dzat Yang berhak mendapatkan kepatuhan dan cinta yang paripurna. Seluruh makna yang
terkandung dalam kata kepatuhan, disatukan dengan kandungan makna yang terkandung dalam
kata cinta, itulah yang dinamakan "ibadah".
Inilah makna Ia ilaha illallah, tiada tuhan selain Allah atau tiada sesuatu pun yang berhak
menerima ketundukan dan kecintaan selain Allah. Dialah satu-satunya Dzat Yang
membungkuknya badan hanya patut ditujukan pada-Nya, yang tasbihnya lisan hanya patut
diperuntukkan bagi-Nya, yang sujudnya ke- pala hanya patut diarahkan kepada-Nya, yang
kerendahhatian pikiran dan perasaan hanya patut dipersembahkan bagi hukum dan aturan-Nya.
Hanya Dia Yang pantas dicintai dengan kecintaan yang mencakup segala makna kata cinta.
Dialah Dzat Yang mutlak kesempumaan-Nya. Kesempurnaan itulah, sekaligus dengan pemiliknya,
yang pantas dicintai. Dia-lah sumber segala keindahan yang ada di alam wujud ini. Keindahan itu
pulalah, sekaligus dengan pemiliknya, yang patut dicintai.
Dialah Pemberi anugerah kenikmatan dan sumber segala kebaikan yang paripurna.
Dan segala nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kamu
ditimpa kemudaratan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan. (An-Nahl: 53)

Kebaikan memang selamanya disenangi. Demikian juga dengan nikmat, sekaligus pemiliknya.

Makna la ilaha illallah adalah menolak ketundukan dan penghambaan kepada kekuasaan
selain kekuasaan Allah, menolak hukum selain hukum-Nya, menolak perintah selain perintah-
Nya, menolak segala bentuk loyalitas, kecuali loyalitas kepada-Nya, dan menolak segala cinta,
kecuali cinta kepada dan karena-Nya.
Untuk memperjelas hakikat ini, kami katakan, "Tauhid itu—sebagaimana dijelaskan dalam
surat Al-An’am, surat yang banyak menyebut pokok-pokok tauhid—memiliki tiga unsur berikut.
Pertama, tidak menjadikan selain Allah sebagai Tuhan.
Katakanlah, "Apakah aku akan mencari tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi
segala sesuatu?".... (Al-An'am: 164)

Kedua, tidak menjadikan selain Allah sebagai wali.


Katakanlah, "Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menciptakan langit
dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?".... (Al-An'am: 14)

Ketiga, tidak menjadikan selain Allah sebagai hakim.


Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab
(Al-Quran) kepadamu dengan terperinci?... (Al-An'am: 114)

Unsur yang pertama (tidak menjadikan selain Allah sebagai tuhan) berarti penolakan
terhadap berbagai tuhan palsu yang disembah manusia; dahulu maupun sekarang, di timur
maupun barat, dari batu maupun kayu, dari perak maupun emas, dari matahari maupun bulan,
dari jin maupun manusia. Ia juga berarti pernyataan perang kepada orang-orang yang mengaku
sebagai tuhan dengan kesombongannya yang tanpa dasar, yang ingin memperbudak hamba-
hamba Allah menjadi hamba-hamba mereka.
La ilaha illallah adalah deklarasi pembebasan manusia dari segala bentuk ketundukan dan
penghambaan kepada selain Sang Pencipta, Allah Swt. Mereka tidak boleh sujud, tunduk, dan
takut, kecuali kepada Allah, Pencipta langit dan bumi.
Oleh karena itu, Nabi Saw. mengakhiri surat yang beliau kirimkan kepada para raja, penguasa,
dan kaisar dari kalangan Nasrani dengan ayat berikut.
Katakanlah, "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, tidak
kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling, maka katakanlah
kepada mereka, "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)” (Ali 'Imran: 64)
Kata-kata "tuhan kami adalah Allah" berfungsi sebagai deklarasi pembangkangan dan
penolakan terhadap segala kediktatoran di bumi ini. Dalam rangka membela kata-kata itulah,
Nabi Musa a.s. menghadapi ancaman pembunuhan dan bangkitlah seorang lelaki beriman dari
pengikut Fir'aun yang membelanya.
Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang
menyembunyikan imannya berkata, "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena
dia menyatakan, Tuhanku adalah Allah?" Padahal dia telah datang kepadamu dengan
membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu"... (Al-Mu'min: 28)

Demi kata-kata itu pula Nabi kita Muhammad Saw. dan para sahabatnya menghadapi
tekanan, siksaan, perampasan harta, bahkan pengusiran dari negerinya.
(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang
benar, kecuali karena mereka berkata, "Tuhan kami hanyalah Allah".... (Al-Hajj: 40)

Makna unsur kedua (tidak menjadikan selain Allah sebagai wali) adalah peniadaan loyalitas
kepada selain Allah dan kelompoknya. Bukanlah sikap tauhid jika seseorang mengaku bahwa
tuhannya adalah Allah, tetapi—pada saat yang sama—dia memberikan kesetiaan, kecintaan, dan
dukungannya kepada selain Allah, bahkan kepada musuh-musuh-Nya.
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir sebagai wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah... (Ali 'Imran: 28)

Hakikat tauhid, bagi orang beriman yang mengaku bahwa tuhannya adalah Allah, adalah
memurnikan loyalitas hanya kepada Allah dan kepada orang-orang yang diperintahkan-Nya
untuk diberi loyalitas. Sebagaimana firman Allah Swt.,
Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat seraya tunduk (kepada Allah). Barangsiapa
mengambil Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolong, maka
sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang (Al-Ma'idah: 55-56).

Dari itulah, Al-Quran mengingkari orang-orang musyrik atas klaim bahwa mereka membagi
hatinya untuk Allah Swt. di satu sisi dan sekutu-sekutunya; berhala-berhala, di sisi yang lain.
Mereka memberikan cinta dan kesetiaannya kepada tuhan-tuhan itu sebagaimana mereka
berikan kepada Allah.
Dan sebagian manusia ada yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman
sangat cinta kepada Allah... (Al-Baqarah: 165)

Sesungguhnya Allah Swt. tidak menerima penyekutuan terhadapnya dalam hati hamba-Nya
yang beriman. Ia tidak boleh memberikan sebagian hatinya untuk Allah dan sebagian yang lain
untuk taghut (sesembahan selain Allah). Memberikan sebagian loyalitasnya kepada Sang Khalik
dan sebagian lain kepada makhluk. Loyalitas dan bisikan hati wajib kita berikan hanya kepada
Allah, Pemilik seluruh makhluk. Inilah perbedaan antara mukmin dan musyrik. Orang mukmin
menyerahkan dirinya kepada Allah dan memurnikan penghambaan kepada-Nya, sedangkan
orang musyrik membagi penyerahan diri dan penghambaannya kepada Allah dan selain-Nya.
Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa
orang (berserikat) yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari
seorang laki-laki (saja). Adakah kedua budak itu sama kondisinya? Segala puji bagi Allah,
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Az-Zumar: 29)

Sedangkan makna unsur ketiga—tidak menjadikan selain Allah sebagi hakim—adalah


menolak ketundukan kepada setiap hukum selain hukum Allah, setiap perintah selain dari Allah,
setiap sistem selain sistem yang ditetapkan-Nya, setiap undang-undang selain undang-undang-
Nya, dan setiap aturan, tradisi, adat istiadat, manhaj, pemikiran, dan nilai kehidupan, kecuali yang
diridhai oleh- Nya. Barangsiapa menerimanya—walaupun sedikit darinya, baik sebagai penguasa
maupun rakyat—tanpa seizin Allah, berarti dia telah meruntuhkan salah satu unsur yang
mendasar dari unsur-unsur tauhid, karena ia menjadikan selain Allah sebagai hakim (penguasa).
Padahal pembuatan dan penetapan undang-undang itu adalah hak Allah saja. Allah Swt.
berfirman,
...keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu
tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui (Yusuf: 40).

Unsur yang ketiga ini sebenarnya merupakan aplikasi konkret dari kandungan tauhid kepada
Allah, baik Dia sebagai tuhan (rabb) maupun sebagai tuhan (ilah). Barangsiapa menjadikan
seorang hamba Allah sebagai pembuat dan penentu hukum; memerintah dan melarang
semaunya, menghalalkan dan mengharamkan semaunya, mengharuskan orang lain untuk taat
kepadanya, meskipun ia menghalalkan yang haram seperti zina, riba, khamr, dan judi, juga
mengharamkan yang halal seperti talak dan poligami, juga menggugurkan berbagai kewajiban
seperti khilafah, jihad, zakat, amar makruf nahi mungkar, sebenarnya ia telah menjadikannya
sebagai tuhan.
Inilah yang dijelaskan di dalam Al-Quran dan diuraikan dalam Sunah Nabi. Al-Quran
menggambarkan perilaku ahli kitab sebagai berikut.
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah, dan (menuhankan) Almasih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.
Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutu- kan. (At-Taubah: 31)

Seseorang bertanya kepada Rasulullah, "Bagaimana mungkin mereka menjadikan rahib-rahib


mereka sebagai tuhan, padahal mereka tidak bersujud dan menyembahnya sebagaimana para
penyembah berhala?"
Pertanyaan ini dijawab oleh Rasulullah dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Jarir, dari kisah Adi bin Hatim Ath-Tha'i masuk Islam, yang sebelumnya
beragama Nasrani. Datanglah ia ke Madinah, dan orang-orang memperbincangkan
kedatangannya. Ia pun menghadap Nabi Saw., sedangkan di lehernya tergantung salib dari perak.
Ketika itu Rasulullah Saw. membacakan ayat, Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-
rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah (At-Taubah: 31). Adi bin Hatim berkata, "Mereka
sesungguhnya tidak menyembah rahib-rahib itu." Nabi pun bersabda,
Tentu saja (menyembahnya), karena mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan
yang haram bagi pengikut-pengikutnya. para pengikut itu pun lalu mematuhinya. Itulah
ibadah mereka terhadap para rahib (HR. Tirmidzi).
Ibnu Katsir berkata, "Demikianlah kata Hudzaifah bin Yaman dan Ibnu Abbas ketika menafsiri
ayat tersebut. Mereka telah mematuhi para rahib itu atas setiap perkara yang diharamkan
maupun dihalalkan oleh mereka."
As-Su'di mengatakan, "Mereka meminta fatwa kepada para tokoh sembari mencampakkan
Kitabullah. Untuk itu Allah Swt. berfirman, Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk ber-
ibadah kepada Tuhan Yang Esa, yakni Tuhan yang apabila mengharamkan sesuatu maka
haramlah ia, dan bila menghalalkan sesuatu maka halallah ia. Juga Tuhan yang apabila
menetapkan syariat harus diikuti dan jika memutuskan hukum harus diterapkan. Tiada Tuhan
selain Dia, Mahasuci Dia dari apa-apa yang mereka sekutukan."
Inilah kesimpulan global makna kalimat pertama dari dua kalimat syahadah la ilaha illallah,
yang kandungannya: tidak engkau jadikan selain Allah sebagai tuhan, wali, dan hakim,
sebagaimana telah diungkap oleh Al-Quran secara eksplisit melalui ayat-ayatnya yang gamblang.
Adapun kalimat kedua dari dua syahadat yang menjadi syarat masuknya seseorang dalam
Islam adalah Muhammad Rasulullah. Mengakui keesaan Allah Swt. sebagai ilah dan rabb itu
sesungguhnya tidaklah cukup apabila tidak disempurnakan dengan menyatakan ikrar kalimat
yang kedua, yaitu bahwa "Muhammad adalah utusan Allah".
Kemahabijaksanaan Allah menetapkan bahwa diri-Nya tidak membiarkan kehidupan manusia
sia-sia tanpa makna. Untuk itu, Allah mengutus kepada mereka—pada setiap kurun waktu- (para
penyampai risalah) yang bertugas memberikan petunjuk, bimbingan, dan arahan kepada mereka
untuk menuju ridha-Nya, serta mengingatkan mereka akan murka-Nya.
(Mereka Kami utus) selaku rasul, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan
adalah Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana. (An-Nisa': 165)

Tugas para rasul juga meletakkan dasar-dasar ajaran, nilai-nilai, dan standar-standar yang
mengarahkan kehidupan masyarakat serta menunjukkan jalan hidup yang lurus. Semua itu dapat
dijadikan referensi oleh siapa pun jika berselisih, dan bisa dijadikan tempat kembali bila terjadi
permusuhan. Dengan begitu, mereka mendapatkan kebenaran, keadilan, kebaikan, dan
kehormatannya.
Allah Swt. berfirman,
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
nyatadan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan), agar manusia
dapat melaksanakan keadilan... (Al-Hadid: 25).

Inilah wahyu yang diturunkan Allah Swt. kepada rasul-Nya, yaitu Al-Quran. Itulah teks-teks
wahyu Allah yang bersih dari cacat. Dia menjadi standar nilai dan ketentuan Tuhan yang "dibawa"
melalui mekanisme kenabian dengan keteladanannya yang luhur dan nilai keutamaannya, yang
"hidup" di bawah naungan Al-Quran.
Seandainya bukan karena para rasul itu, niscaya sesatlah manusia dari jalan yang benar, tidak
dapat memahami hakikat Allah dan jalan yang menuju ridha-Nya. Sebaliknya, mereka membuat
cara-cara ibadah sendiri-sendiri dengan metode yang berbeda-beda. Suatu metode yang
memecah belah, merusak, dan menyesatkan.
Rasul terakhir adalah Muhammad Saw. Dialah penyampai perintah, hukum, dan syariat Allah.
Oleh karenanya, kita mengetahui apa-apa yang Allah kehendaki dari kita, apa yang diridhai-Nya,
apa yang diperintahkan dan dilarang-Nya bagi kita. Dengan itulah kita mengenal Tuhan kita,
mengenal asal dan tempat akhir kita, mengenal pula jalan yang harus dilalui, yang membentang
antara tempat asal hingga titik akhir itu, mengenal halal-haram, dan mengenal kewajiban serta
tugas dibebankan. Kalau bukan karena Nabi Saw., tentu kita akan hidup dalam kegelapan, tidak
tahu jalan, dan tak mengenal tujuan.
Allah Swt. berfirman,
Sesungguhnya telah datang kepadamu rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi
Alkitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah
datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkannya. Dengan kitab itulah,
Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan
(dengan kitab itu) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang
terang benderang dengan izin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus (Al-Ma'idah:
15-16).

Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa di balik kehidupan ini masih ada kehidupan lain,
tempat setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya dan akan dibalas
apa yang ia kerjakan. Orang-orang yang berbuat buruk akan dibalas sesuai dengan keburukannya,
dan yang berbuat baik juga akan dibalas sesuai dengan kebaikannya.
Dengan itu, dapat diketahui bahwa di belakang kita ada perhitungan dan timbangan amal,
ada pahala dan siksa, serta ada surga dan neraka.
Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom) pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)-nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan)-nya pula. (Az-Zalzalah: 7-8)

Dari ayat di atas, kita dapat mengetahui prinsip-prinsip kebenaran, kaidah-kaidah keadilan,
serta hakikat nilai kebaikan dalam syariat yang tidak menyesatkan dan tidak melalaikan. Syariat
yang dibuat oleh Dzat Yang mengetahui yang terang dan yang rahasia, yang tiada sesuatu pun
bisa bersembunyi dari pandangan-Nya, juga yang mengetahui siapa yang merusak dan siapa pula
yang membawa maslahat.
Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan);
dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui. (Al-Mulk: 14)

Kalimat Muhammad Rasulullah merupakan penyempurna dari kalimat la ilaha illallah. Yang
terakhir mengandung makna bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, sedangkan
yang awal bermakna bahwa Allah tidak disembah kecuali dengan cara-cara yang disyariatkan dan
diwahyukan melalui lisan rasul-Nya.
Oleh karenanya, tidaklah mengherankan apabila ketaatan kita kepada Rasulullah merupakan
bagian dari ketaatan kepada Allah.
Barangsiapa menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah... (An-Nisa': 80)
Ittiba kita kepada Rasul termasuk salah satu bukti kecintaan kita kepada Allah Swt.
Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)

Lapang dada menerima hukum dan syariat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
keimanan kepada-Nya. Tidaklah termasuk golongan orang yang beriman, orang yang menolak
hukum dan perintah yang telah Rasulullah Saw. tetapkan, sebagai penjelas dari Al-Quran. Allah
Swt. telah mengutusnya untuk menjelaskan kepada manusia tentang kitab yang diturunkan oleh
Allah kepadanya. Hal ini telah demikian jelas tertuang dalam Al-Quran. Tidak dikatakan beriman
orang yang berhukum kepada selain Rasulullah, menolak hukumnya ataupun sekadar
meragukannya.
Dan tidaklah patut bagi laki-laki dan perempuan yang beriman, apabila Allah dan rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat, sesat
yang nyata. (Al-Ahzab: 36)

Allah juga menjelaskan sekaligus menegaskan sikap-Nya terhadap orang-orang munafik,


sebagaimana dalam firman-Nya,
Mereka berkata, "Kami telah beriman kepada Allah dan rasul-Nya, dan kami menaati
(keduanya)." Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu. Sekali-kali mereka itu
bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-
Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka
menolak datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang
kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati
mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau
Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang
yang zalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada
Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan,
"Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (An-
Nur: 47—51).

Allah Swt. juga menjelaskan tentang orang yang ragu-ragu dalam menerima keputusan
Rasulullah Saw. dan rela menerima keputusan manusia lainnya. Dikatakan bahwa mereka adalah
orang-orang Yahudi.
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu? Mereka hendak berhakim kepada taghut, padahal
mereka telah diperintahkan mengingkarinya. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah
kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum rasul," niscaya
kamu Iihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari
(mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik)
ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka
datang kepadamu sambil bersumpah, "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain
penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna." Mereka itu adalah orang-orang
yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari
mereka, berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas
pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan
izin Allah. Sesungguhnya, jika mereka (ketika menganiaya diri) datang kepadamu lalu
memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah
mereka mendapati Allah sebagai Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya. (An-Nisa': 60-65)
Itulah sikap orang-orang mukmin terhadap Rasulullah Saw., hukum, dan syariatnya. Mereka
tidak merasa ragu dan bimbang sedikit pun untuk menerima semua itu, tidak seperti yang dilaku-
kan orang-orang munafik. Prinsip dan semboyan mereka adalah kami mendengar dan kami taat
(sami'na wa atha'na).
Hal ini berbeda dengan sikap orang-orang munafik, mereka rela untuk berhukum kepada
selain hukum Allah dan rasul-Nya. Segala sesuatu—yang ditaati—selain Allah dan rasul-Nya
adalah taghut. Karena itu, Allah Swt. berfirman, Mereka ingin berhukum kepada taghut, sehingga
hanya ada dua hukum, yaitu hukum Allah dan hukum taghut, tidak ada hukum yang ketiga.
Ayat-ayat Quran menggambarkan tentang sifat-sifat orang munafik serta sikapnya terhadap
hukum Allah dan rasul-Nya.
Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah
turunkan dan hukum Rasul," niscaya kamu Iihat orang-orang munafik menghalangi
(manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (An-Nisa': 61)

Al-Quran juga menafikan—secara tegas—keimanan orang yang tidak mau berhukum kepada
Rasulullah Saw. selama hidupnya dan tidak mau mengikuti sunahnya setelah wafatnya. Itu pun
belum cukup, karena masih disyaratkan adanya kerelaan hati dan kepasrahan terhadap hukum
tersebut. Inilah karakter keimanan dan buahnya.
...kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang Kami
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa': 65)

Barangsiapa berpaling dari peringatan ini, atau menutup kedua telinganya dari ayat-ayat
tersebut, atau menerima per- aturan-peraturan, perundang-undangan, sistem, dan tradisi selain
dari Rasulullah Saw., serta ridha diatur oleh para pemikir, baik dari Timur maupun Barat, ulama
atau umara, atau apa pun nama- nya, berarti ia telah menentang Allah, menyatakan permusuhan
terhadap Allah dan rasul-Nya, dan telah keluar dari agama seperti terlepasnya anak panah dari
busurnya.
...barangsiapa tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-
orang yang kafir. (Al-Ma'idah: 44)

...barangsiapa tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-
orang yang zalim. (Al-Ma'idah: 45)

...barangsiapa tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik. (Al-Ma'idah: 47)

Penggunaan kata-kata kafir, zalim, dan fasik dalam Alquranul Karim menunjukkan bahwa
maknanya berdekatan.
Allah Swt. berfirman dalam beberapa ayat berikut ini.
...dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 254)

...dan barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka adalah orang-orang yang
fasik. (An-Nur: 55)

...tidak ada yang menentang ayat-ayat Kami, kecuali orang-orang yang kafir. (Al-'Ankabut: 47)
Oleh karena itu, Al-Quran menjadikan kefasikan itu sebagai lawan keimanan, sebagaimana
dalam beberapa firman Allah berikut ini.
...seburuk-buruk nama (sebutan) adalah kefasikan setelah beriman.... (Al-Hujurat: 11)

Apakah orang mukmin itu sama dengan orang yg fasik? Mereka tidaklah sama. (As-Sajdah: 18)

Al-Quran juga berbicara tentang iblis ketika menolak perintah Allah agar bersujud kepada
Adam. Firman Allah Swt. berikut ini.
...ia membangkang dan sombong, dan ia tergolong orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 34)

...dia (iblis) adalah (berasal) dari jin, kemudian ia fasik terhadap perintah tuhannya.... (Al-
Kahfi: 50)

Orang yang tidak berhukum pada segala yang diturunkan Allah berarti dia kafir, zalim, fasik,
atau kumpulan dari sifat-sifat tersebut. Apalagi jika ia menganggap bahwa segala yang diturun-
kan Allah itu mencerminkan kejumudan, keterbelakangan, dan kemunduran, sedangkan hukum
yang dibuat oleh manusia itulah yang membawa perkembangan, kemajuan, perbaikan sosial, dan
peningkatan taraf hidup.
Suatu penyimpangan terhadap ayat-ayat Allah dan pelecehan terhadap konsep pemikiran
manusia adalah jika ada yang mengatakan, "Sesungguhnya ayat-ayat ini diturunkan kepada ahli
kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani." Orang ini lupa atau pura-pura lupa bahwa ayat-ayat
yang eksplisit ini, meskipun turun dengan konteks tertentu namun ia diungkap dengan pola
umum, yang sasarannya meliputi seluruh manusia yang tidak berhukum kepada hukum Allah Swt.
Kaidah yang ditetapkan oleh para mufasir, "Pelajaran diambil dari umumnya lafal, bukan
khususnya sebab."
Sesuatu yang mustahil jika Allah mencela pendahulu ahli kitab dengan kezaliman, kekufuran,
dan kefasikan, karena mereka telah menolak hukum Allah, sedang pada saat yang sama
memperbolehkan terjadi atas kaum Muslimin.
Apa manfaat penyebutan ayat-ayat yang berkaitan dengan sikap ahli kitab itu, kalau bukan
untuk mengingatkan kaum Muslimin agar tidak berperilaku seperti mereka; berhukum kepada
hukum selain hukum Allah, lalu dicela oleh Allah sebagaimana mereka dicela dan diazab
sebagaimana mereka diazab?
...barangsiapa ditimpa kemurkaan-Ku, maka sungguh binasalah ia. (Thaha: 81)

Mengapa pula Allah menurunkan kitab kepada manusia dan mengutus seorang rasul kepada
mereka, jika mereka diberi toleransi untuk mencampakkan kitab itu dan menentang rasul-Nya?
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Alkitab dengan benar (haq), supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.... (An-Nisa':
105)

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.... (An-
Nisa': 64)

Allah Swt. berbicara kepada rasul-Nya setelah menyebut ayat-ayat di atas.


Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran dan
membenarkan yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu
ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.... (Al-Ma'idah: 48)

Kemudian Allah Swt. berfirman,


Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah,
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka,
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah itu diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hendak menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan oleh sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang yang fasik. Hukum jahiliahkah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Al-Ma'idah: 49-50).

Demikianlah, hukum itu hanya ada dua—tidak ada yang ketiga—yaitu: hukum Islam dan
hukum jahiliah, hukum Allah dan hukum taghut. Seseorang hendaknya memilih untuk dirinya,
hukum Allah dengan syariat Islam atau hukum taghut dengan syariat jahiliah. Tidak ada tengah-
tengah di antara keduanya.
Adapun orang-orang yang beriman, tiada alternatif lain baginya. Mereka senantiasa siap
bersama hukum Allah, rasul-Nya, dan selalu bersama Islam. Mereka harus siap berperang
melawan taghut dan hukum jahiliah. Syiar mereka apabila diseru kepada Allah dan rasul-Nya
adalah sami'na wa athana.
Sedangkan orang-orang kafir, selamanya akan berada di jalan taghut. Mereka selalu bimbang
dalam kubangan jahiliah.
...dan orang-orang yang kafir, penolong-penolong mereka adalah taghut, mengeluarkan
mereka dari cahaya menuju kegelapan, mereka itulah penghuni neraka. Mereka abadi di
dalamnya. (Al-Baqarah: 257)

Ada dua catatan penting di sini.


Pertama, sesungguhnya memberlakukan hukum dengan hukum yang diturunkan Allah
merupakan kewajiban yang pasti, tidak ada seorang Muslim pun yang berbeda pendapat tentang
hal itu. Ia seiring dengan slogan yang kini menjadi tren, "Hukum hanya milik Allah."
Slogan ini bermakna bahwa hukum yang bermuatan perintah, larangan, penghalalan,
pengharaman, yang dapat dipaksakan kepada seluruh makhluk, hanyalah hukum Allah.
Sebagian orang mempersepsi bahwa pola pikir semacam ini hanyalah kreasi pemikiran Al-
Maududi di Pakistan atau Sayyid Quthb di Mesir. Kenyataannya, prinsip ini diambil dari ushul
fiqih. Para ulama ushul fiqih membahas hal ini dalam bab "Hukum" di pengantarnya. Dalam bab
"Al-Hakim", ada diskusi tentang siapakah dia. Mereka sepakat bahwa Al-Hakim (pemilik otoritas
hukum) adalah Allah. Dialah Pemilik kebenaran mutlak untuk menentukan hukum bagi makhluk-
Nya. Hingga Muktazilah pun ternyata tidak mengingkari hal itu, sebagaimana dijelaskan oleh
pensyarah buku Musallam Ats-Tsubut, salah satu kitab induk Muktazilah yang masyhur itu.
Dalil-dalil atas prinsip ini, baik dari Al-Quran maupun Sunah, sudah jelas dan nyata. Sebagian
telah disebutkan ketika menjelaskan tentang "kewajiban memberlakukan hukum dengan apa
yang diturunkan Allah."
Kedua, sesungguhnya memberlakukan hukum dengan hukum yang diturunkan Allah tidak
mengabaikan peran manusia. Manusialah yang memahami teks-teks ajaran yang ditujukan
kepadanya. Ia juga yang menyimpulkan hukum daripadanya dan melengkapi berbagai hal yang
tidak ada teks hukum—yang kami istilahkan dengan wilayah yang dimaafkan—yang sangat luas.
Allah Swt. sengaja membiarkannya, bukan karena lupa, melainkan sebagai rahmat bagi kita. Di
wilayah inilah akal seorang Muslim bisa "mengembara" dan melakukan ijtihad dalam perspektif
teks-teks hukum dan prinsip-prinsipnya.

Makna Tegaknya Masyarakat di Atas Akidah Islam


Masyarakat Muslim berdiri tegak di atas akidah Islam yang bersemboyan "Tidak ada tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah". Makna "masyarakat Muslim berdiri tegak di
atas akidah Islam" adalah bahwa masyarakat Islam benar-benar memuliakan, menghormati, dan
menyakralkan akidah itu, bekerja untuk mengukuhkannya dalam hati dan akal pikiran, mendidik
generasi muda dengannya, melakukan pembelaan terhadap kebatilan yang dilontarkan oleh para
pendengki yang sesat, dan berusaha untuk menampakkan secara nyata berbagai keluhuran dan
dampaknya pada kehidupan pribadi dan sosial kemasyarakatan. Semua dilakukan melalui
berbagai sarana komunikasi yang efektif dan telah mentradisi di tengah masyarakat, seperti
masjid, sekolah, penerbitan, radio, televisi, panggung, bioskop, hingga pertunjukan seni,
misalnya: puisi, prosa, kisah-kisah, dan teater.
Menegakkan masyarakat Muslim di atas akidah Islam bukan berarti memaksa orang-orang
non-Muslim agar melepaskan keyakinan mereka. Bukan demikian. Hal seperti itu tidak pernah
terlintas sedikit pun dalam benak Muslim, dahulu maupun sekarang. Karena Al-Quran sendiri
telah menegaskan persoalan ini semenjak dahulu, ketika mendeklarasikannya dengan vokal,
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar dari jalan sesat... (AI-Baqarah: 256).

Sejarah telah membuktikan, bahwa masyarakat Islam—pada masa-masa keemasannya—


adalah masyarakat yang paling toleran terhadap para penentangnya dalam akidah, dengan
diperkuat persaksiannya sendiri.
Masyarakat yang tegak di atas akidah Islam bukanlah masyarakat yang sporadis, melainkan
masyarakat yang memiliki suatu komitmen pada akidah Islam. Mereka bukan masyarakat
materialis, bukan sekuler, bukan paganis, bukan Yahudi atau Nasrani, bukan liberal atau sosialis,
bukan pula masyarakat komunis maupun marxis.
Ia adalah masyarakat beragama dengan fondasi aqidah at- tauhid, akidah Islam, yang tinggi
dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya. Akidah Islam tidak pernah rela jika ditempatkan pada
posisi marginal dalam dinamika kehidupan masyarakat. Sementara posisi yang sesungguhnya
justru ditempati oleh nilai yang lain, yang menjadi bingkai pengganti bagi cara pandang manusia
terhadap Allah, manusia, alam, dan kehidupan.
Bukanlah disebut masyarakat Muslim yang dalam memberikan pengarahannya menafikan
nama Allah untuk digantikan atas nama alam (tabi'ah); sungai, gunung, dan hutan misalnya, yang
semua itu adalah pemberian alam. Alamlah yang menjadikan semua ini dan ia pula yang
mengembangkannya; bukannya Allah, Sang Pencipta segala sesuatu, Yang Mengatur dan
Memeliharanya.
Pandangan masyarakat Barat terhadap ketuhanan dan kaitannya dengan alam semesta
adalah tuhan telah menciptakan alam lalu membiarkannya, tidak ada pengatur dan tidak pula
ada penguasanya.
Pandangan ini tampaknya diadopsi dari pandangan para filosof Yunani terhadap ketuhanan,
terutama Aristoteles, yang berpandangan bahwa Tuhan—menurutnya—tidak mengenal sesuatu,
kecuali dirinya sendiri. Adapun alam ini, ia tidak memiliki urusan dengannya dan tidak pula
mengetahui kebaikan serta keburukannya. Lebih aneh lagi filosof Plato. Baginya, Tuhan bahkan
tidak mengenal meskipun dirinya sendiri.
Masyarakat Muslim menggambarkan tentang tuhan dalam ayat berikut ini.
Semua yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dan Dialah Yang Mahakuasa
atas segala sesuatu. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan
mematikan. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang
Lahirdan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Dialah Yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Dia mengetahui
apa yang masuk ke bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa
yang naik kepadanya. Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan. Kepunyaan Allahlah kerajaan langitdan bumi. Dan kepada Allahlah
dikembalikan segala sesuatu. Dialah yang memasukkan malam ke siang dan memasukkan
siang ke malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati. (Al-Hadid: 1-6)

Bukanlah disebut masyarakat Muslim bila wawasan imannya sempit, di mana iman kepada
Allah dan hari Akhir akan digantikan posisinya oleh paham eksistensialisme, nasionalisme,
sekularisme, atau paham-paham lain yang diagung-agungkan sebagai tuhan, meskipun tidak
secara tegas dinyatakan demikian.
Bukanlah masyarakat Islam yang di dalamnya tidak disebut nama Muhammad; sang pemandu
yang terpelihara dari kesalahan (ma'shum). Beliau sebagai teladan yang dipatuhi, digantikan
posisinya oleh figur seperti Marx, Lenin, Mao, atau para pemikir lainnya dari Timur maupun Barat.
Bukanlah masyarakat Islam yang meninggalkan Kitabullah Al-Quran sebagai sumber hidayah,
syariat, dan undang-undang, digantikan oleh kitab-kitab lainnya, yang disakralkan dan dijadikan
sebagai sistem pemikiran, perundangan, maupun perilaku, atau sebagai sumber nilai dan tolok
ukurnya.
Bukanlah masyarakat Islam ketika nama Allah, kitab, dan rasul-Nya dilecehkan, anggotanya
membisu terhadap kekufuran yang nyata ini. Mereka tidak mampu memberi "pelajaran" kepada
si kafir dan murtad, mencegah si sesat yang jahat, sehingga ada seorang ateis tulen berkoar-koar
secara terang-terangan di mass media, "Manusia Arab modern itu sesungguhnya adalah mereka
yang meyakini bahwa Allah dan agama-agama adalah sesuatu yang usang, yang harus
dionggokkan di museum sejarah."
Bukanlah disebut masyarakat Islam bila membiarkan ideologi lain seperti komunisme,
sosialisme, dan nasionalisme ekstrem menggeser kedudukan akidah Islam. Sungguh salah besar
jika ada orang mengira bahwa paham sosialis dan sebangsanya itu bukan akidah yang
bertentangan dengan Islam, sekadar aliran dalam bidang ekonomi atau sosial, yang
menggunakan suatu metodologi tertentu untuk mengatur kehidupan manusia dan hubungan
sosial, tidak memiliki karakter sebagaimana lazimnya suatu agama, sehingga dikatakan sebagai
akidah. Kenyataannya, sosialisme—menurut pencetusnya—merupakan falsafah hidup yang
komprehensif dan universal, yang membingkai cara pandang terhadap alam, sejarah, kehidupan,
manusia, dan tuhan, yang berbeda dengan cara pandang Islam. Oleh karenanya, sebagian orang
mengatakannya sebagai "agama" tanpa wahyu.
Bukan pula suatu masyarakat Islam bila menjadikan masalah akidah sebagai persoalan
sampingan dalam kehidupannya, di mana ia tidak dijadikan sebagai fondasi sistem pendidikan,
pengajaran, pemikiran, penerangan, dan pengarahan, tidak pula sebagai perangkat pembinaan
dan faktor pengaruh secara umum, kecuali hanya bagian kecil dan terbatas sekali. Bukan
masyarakat yang menganggap bahwa ia bukan sebagai pembimbing, penggerak, dan variabel
pengaruh utama dalam kehidupan individu, keluarga, maupun masyarakat, tetapi—sebaliknya—
ia hanya didudukkan pada posisi marginal atau bahkan pada posisi buntut; itu pun jika masih
tersisa tempat untuknya.
Dalam kehidupan masyarakat Islam, akidah merupakan hal pertama yang dibina langsung
oleh Rasulullah Saw. dan diwarisi oleh generasi sesudahnya—para sahabat dan tabiin—
merupakan motivator, pengarah, dan variabel pengaruh pertama dalam kehidupan mereka,
kalau tidak dikatakan sebagai satu-satunya.
Akidah—ketika itu—merupakan landasan pemikiran, dasar persatuan dan alat pengikat, juga
fondasi hukum dan perundang-undangan. Ia juga motivator untuk bergerak dan berjuang, mata
air bagi keutamaan budi, pencetak pahlawan di medan jihad dan pencipta tokoh di bidang
pengorbanan dan itsar.
Demikianlah akidah dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Islam yang pertama.
Demikian pula hendaknya ia berpengaruh pada setiap masyarakat yang ingin menjadi sebuah
masyarakat Islam, kini dan di masa mendatang.
Sesungguhnya akidah Islam, dengan segala rukun dan spesifikasinya, merupakan fondasi yang
kukuh untuk setiap bangunan yang kuat. Setiap bangunan masyarakat yang tegak tidak di atas
landasan akidah, hakikatnya sama dengan bangunan yang didirikan di atas pasir hingga mudah
sekali runtuh.
Lebih buruk lagi jika sebuah bangunan yang ingin menisbatkan dirinya kepada Islam namun
tidak dibangun di atas akidah Islam (meskipun di papan namanya tertulis nama Islam),
sesungguhnya hanya merupakan manipulasi materi bangunan, yang hanya akan berujung pada
keruntuhan dan akan menimpa para penghuninya.
Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah
dan keridhaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi
jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama dengan dia ke dalam Neraka
Jahanam? Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (At-Taubah:
109)

Sungguh, kita melihat masyarakat komunis—pada masa-masa kejayaan dan kekuasaannya—


begitu menyakralkan ideologi marxisme dengan filsafat materialismenya. Semua itu terefleksi
dalam undang-undang dasarnya yang tegas menyatakan, "Tidak ada tuhan, dan kehidupan
adalah materi belaka." Hal ini juga dinyatakan ulang dalam undang-undangnya, sistem
pendidikan dan pengajarannya, sistem penerangan dan kebudayaannya, juga di segenap
institusinya, baik politik maupun sosial.
Itulah karakter setiap masyarakat yang berpegang pada suatu ideologi. Tidaklah
mengherankan jika masyarakat Islam seharusnya menjadi cermin yang merefleksikan akidah,
keimanan, dan cara pandang terhadap alam, manusia, kehidupan, dan Sang pencipta atau
Pemberi hidup.

Masyarakat Islam dan Fenomena Kemurtadan


Persoalan paling besar dan berbahaya yang dihadapi seorang Muslim adalah ancaman akidah.
Kemurtadan (riddah) merupakan bahaya yang paling mengancam masyarakat Muslim. Itulah misi
paling utama yang diperjuangkan oleh musuh-musuhnya, baik dengan senjata, tipu daya,
maupun makar lainnya.
Allah, Swt. berfirman,
… nereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan
kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup... (Al-Baqarah: 217).

Mayarakat Muslim tengah menghadapi gempuran musuh yang demikian dahsyat, yang
bertujuan untuk mencerabut nilai-nilai Islam dari akar-akamya. Semua itu terkristalisasi dalam
bentuk praktik zending, yang dimulai dengan imperialisme Barat di negeri-negeri Islam. Salah
satu tujuannya adalah kristenisasi kaum Muslimin, sebagaimana ditegaskan pada Konferensi
Colorado tahun 1978 yang membahas kurang lebih empat puluh agenda seputar persoalan Islam
dan kaum Muslimin, serta strategi untuk menyebarkan agama Nasrani di kalangan mereka
dengan dana satu miliar dolar AS. Selain itu, didirikan pula Lembaga Pendidikan Zwemmer untuk
mencetak tenaga ahli dalam misi kristenisasi ini.
Penjajahan juga dilakukan oleh imperialis komunis, yang telah menjelajah negara-negara
Islam secara keseluruhan, baik di Asia, Afrika, maupun Eropa. Mereka bekerja dengan segenap
kemam- puan untuk memadamkan cahaya Islam dan mengusirnya dari kehidupan ini secara
menyeluruh, juga mendidik generasi Muslim yang tidak lagi memahami—sedikit pun—ajaran
Islam.
Tidak ketinggalan juga kelompok sekuler anti agama, yang sampai saat ini terus memainkan
perannya di tengah kehidupan kaum Muslimin, sekali waktu secara terang-terangan, di waktu
lain secara tersembunyi. Mereka menggusur ajaran Islam yang benar, lalu menggantinya dengan
Islam yang penuh khurafat. Barangkali inilah permusuhan yang paling buruk dan paling
berbahaya.
Masyarakat Muslim berkewajiban—agar dapat terjaga eksistensinya—untuk memerangi
kemurtadan dari sumber mana pun dan dalam bentuk apa pun. Janganlah ia diberi toleransi
hingga menjalar ke mana-mana, sebagaimana menjalarnya api ketika membakar tumpukan
daun-daun kering.
Itulah yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a. dan para sahabat lainnya ketika memerangi orang-
orang yang murtad, para pengikut nabi-nabi palsu semacam Musailamah, Sajjah, Al-Asadi, dan
Al-Anasi, yang hampir saja melepaskan Islam dari ayunannya.
Hal itu merupakan bahaya yang tiada tara, di mana masyarakat Muslim kini diuji dengan
munculnya fenomena kemurtadan, sementara kita tidak mendapati orang yang
memberantasnya. Inilah yang dinyatakan oleh seorang ulama dalam mengomentarai
kemurtadan masa kini dengan ungkapan "Kemurtadan Tanpa Abu Bakar".
Kita harus memberantas kemurtadan personel dan melokalilisasikannya, sehingga tidak
menjalar menjadi kemurtadan kolektif. Kobaran api biasanya berasal dari percikan yang tak
terkendali.
Oleh karena itu, para fuqaha sepakat untuk memberikan sanksi hukum kepada orang murtad,
meskipun mereka berbeda pendapat tentang batasan hukumannya. Jumhur berpendapat,
mereka harus dihukum mati. Inilah pendapat mazhab empat, bahkan mazhab delapan.
Ada beberapa hadits sahih dari sejumlah sahabat, antara lain dari Ibnu Abbas, Abu Musa,
Mu'adz, Ali, Utsman, Ibnu Mas'ud, Aisyah, Anas, Abu Hurairah, dan Mu'awiyah bin Haidah
radhiyallahu 'anhum.
Dalam hadits Ibnu Abbas r.a. dikatakan,
Barangsiapa mengganti agamanya, bunuhlah ia.

Dalam hadits Ibnu Mas'ud dikatakan,


Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku
adalah Rasulullah, kecuali dengan salah satu dari tiga alasan: jiwa dibalas jiwa (membunuh),
duda yang berzina, serta orang yang meninggalkan agamanya dan orang yang berpisah dari
jamaah (HR. Al-Jamaah).
Dalam riwayat Utsman disebutkan dengan redaksi,
Seseorang yang kafir setelah Islam, atau berzina setelah menikah, atau membunuh jiwa yang
tidak bersalah (HR. Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah).

Ibnu Rajab mengatakan, "Hukuman mati untuk keseluruhan— dari tiga golongan—tersebut
telah menjadi konsensus kaum Muslimin.”
Ali r.a. pernah menerapkan sanksi hukum ini kepada sekelompok orang yang mendakwa
dirinya sebagai tuhan. Beliau menghukum mereka dengan membakarnya setelah berulang kali
menyuruhnya bertobat, tetapi menolak. Akhirnya beliau pun melemparkan mereka ke dalam api
sambil berkata,
Tatkala aku melihat perkara itu
kemungkaran adanya
berkobarlah api dalam diri
dan kuperintahkan algojo untuk menghukumnya.

Ibnu Abbas r.a. menolak hukuman tersebut dan berdalih dengan sebuah hadits, "Janganlah
kamu menyiksa (menghukum) dengan siksa Allah (membakar)." Ibnu Abbas berpendapat bahwa
seharusnya mereka dibunuh, bukan dibakar. Namun perbedaan Ibnu Abbas dengan Ali di sini
hanya dalam masalah cara, bukan prinsip hukumannya.
Abu Musa dan Mu'adz pernah pula menerapkan hukuman ini—hukuman mati—kepada
orang Yahudi di Yaman, yang pernah masuk Islam lalu murtad. Mu'adz berkata, "Ini keputusan
Allah dan rasul-Nya" (mutafaq alaih).
Abdurrazaq meriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud r.a. pernah menangkap suatu kaum yang
murtad dari penduduk Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada Umarr.a. yang menceritakan
tentang mereka. Umar membalas surat itu dengan mengatakan, "Tawarkan kepada mereka
agama yang benar ini dan persaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Apabila mereka
menerimanya, lepaskanlah, namun jika mereka menolaknya, bunuhlah." Akhirnya, sebagian dari
mereka menerima lalu dilepaskan, sebagian yang lain menolak lalu dibunuh.
Diriwayatkan dari Abi Amr Asy-Syaibani, bahwa Mustauid Al-'Ajli memeluk agama Nasrani
setelah menjadi Muslim. Utbah bin Firqid pun lalu mengirimnya kepada Ali r.a. Beliau meminta
kepadanya agar bertobat, tetapi ia menolak. Maka Ali r.a. pun membunuhnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menuturkan, bahwa Nabi Saw. pernah menerima tobat
sekelompok orang yang murtad dan memerintahkan hukuman mati atas kelompok lainnya, yakni
kelompok yang kemurtadannya membawa petaka bagi Islam dan kaum Muslimin. Perintah
hukuman mati itu di antaranya dijatuhkan atas Miqyas bin Khababah pada hari Fathu Makkah,
karena kemurtadannya menyebabkan ia membunuh seorang Muslim dan merampas hartanya,
lalu ia tidak mau bertobat. Juga hukuman mati atas orang-orang Urani, lantaran kemurtadan
mereka berdampak sangat buruk. Juga hukuman mati atas Ibnu Khathal, karena ia mencaci maki
dan bahkan membunuh seorang Muslim. Demikian juga Nabi memerintahkan hukuman mati atas
Abi Sarah, sebab kemurtadannya menyebabkan berbalik mencaci maki Nabi dan membuat
kebohongan. Ibnu Taimiyah memisahkan dua jenis kemurtadan: murtad tidak disertai kejahatan
(an sich), ia diterima tobatnya dan murtad yang disertai permusuhan kepada Allah dan rasul-Nya
serta membuat kerusakan di bumi, ia tidak diterima tobat-nya.
Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. membunuh orang murtad. Oleh
karena itu, apa yang dikemukakan Ibnu Taimiyah ini bertentangan. Seandainya pernyataan ini
benar, itu karena fenomena kemurtadan belum pernah muncul di masa Nabi. Sebagaimana juga
Nabi tidak memberikan sanksi hukum kepada seseorang yang melakukan perbuatan kaum Nabi
Luth. Lagi pula memang belum pernah ada di masa beliau Saw.
Meskipun jumhur ulama mengatakan keharusan hukuman mati atas orang murtad, namun
ada riwayat dari Umar bin Khathab yang bertentangan dengan hal itu.
Abdur Razzaq, Al-Baihaqi, dan Ibnu Hazm meriwayatkan bahwa suatu saat Anas kembali dari
Tustar. Ia datang menghadap Umar r.a. dan beliau pun bertanya, "Apa yang diperbuat oleh enam
orang dari kelompok Bikr bin Wa'il, orang-orang yang murtad dari Islam kemudian bergabung
dengan orang-orang musyrik?" Anas menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, mereka itu kaum yang
murtad dari Islam kemudian bergabung dengan orang-orang musyrik, akhirnya terbunuh dalam
peperangan." Umar berkata, "Inna lillah wa inna ilaih raji'un"
Anas bertanya, "Adakah hukuman lain kecuali dibunuh?" Umar berkata, "Benar, tidak ada.
Dahulu saya menawarkan kepada mereka untuk masuk Islam. Karena menolak, mereka saya
penjarakan.”
Makna atsar adalah "Sesungguhnya Umar tidak melihat bahwa hukuman mati itu mutlak
dijatuhkan dalam setiap kondisi. Ia boleh gugur atau ditunda jika ada alasan yang
mengharuskannya demikian. Di antaranya ketika perang, kedekatan mereka kepada orang-orang
musyrik, atau khawatir munculnya fitnah atas mereka.
Boleh jadi, Umar membandingkan hal ini dengan ucapan Rasulullah Saw., "Janganlah engkau
memotong tangan (sebagai hukuman pencurian) dalam suasana perang," karena khawatir
diketahui oleh pencuri lain, kemudian dia takut lalu bergabung dengan musuh.
Ada juga kemungkinan lain, yakni Umar r.a. melihat bahwa Rasulullah Saw., ketika bersabda,
"Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia," dalam kapasitasnya sebagai seorang
pemimpin umat dan kepala negara. Hal itu merupakan salah satu keputusan lembaga eksekutif
atau keputusan yang sifatnya politis, bukan fatwa atau wahyu dari Allah yang harus diterapkan
di setiap tempat dan keadaan. Oleh karenanya, keputusan hukuman mati orang murtad atau
orang yang menggantikan agamanya adalah wewenang pemimpin semata. Jika ia telah
diputuskan maka harus dilaksanakan, namun jika tidak diputuskan maka tidak ada pelaksanaan.
Demikian juga dikatakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki tentang hadits, "Barangsiapa
membunuh seseorang, maka ia berhak disalib." Al-Malikiyah juga berkata tentang hadits,
"Barangsiapa menghidupkan (memanfaatkan) tanah mati (tak terurus), maka tanah itu menjadi
miliknya.”
Ibrahim An-Nakha'i dan Ats-Tsauri juga berpendapat, "Pendapat inilah yang kami ambil." Di
saat lain ia berkata, "Ditangguhkan suatu hukuman atas seseorang yang masih bisa diharapkan
tobatnya.”
Menurut pendapat saya, ulama membagi bid'ah menjadi dua, yaitu berat (mughallazhah) dan
ringan (mukhaffafah), sebagaimana juga membagi pelaku bid'ah menjadi dua, yang berpengaruh
dan yang tidak berpengaruh.
Kita juga harus membedakan persoalan kemurtadan, ada kemurtadan yang berat dan ada
pula yang ringan. Pelakunya juga demikian, ada yang berpengaruh dan ada pula yang tidak
berpengaruh.
Jika ada kemurtadan berat, seperti Salman Rusydi, dan kemurtadannya itu berpengaruh
secara luas, baik melalui ucapan maupun tulisannya, yang lebih utama baginya adalah
pelipatgandaan hukuman sesuai dengan pendapat jumhur ulama dan redaksi hadits. Semua itu
demi lokalisasi kejahatan dan tertutupnya pintu fitnah. Jika tidak demikian, kita bisa mengambil
pendapat Imam An-Nakha'i dan Tsauri yang diriwayatkan dari Umar r.a.
Orang murtad yang berpengaruh terhadap murtadnya orang lain, sebenarnya bukan sekadar
ingkar terhadap Islam, tetapi ia juga musuh Islam dan kaum Muslimin. Ia termasuk golongan
orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya, serta membuat kerusakan di muka bumi. Serangan
itu—sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah—ada dua macam, yaitu serangan menggu-
nakan tangan dan serangan menggunakan lisan. Serangan meng- gunakan lisan—dalam agama—
bisa jadi lebih kejam daripada serangan dengan tangan. Oleh karena itu, Nabi Saw. membunuh
orang yang memeranginya dan memerangi ajarannya dengan lisan, namun membiarkan sebagian
orang yang memeranginya dengan tangan.
Demikian juga perusakan. Perusakan itu ada yang dilakukan dengan tangan dan ada juga
dengan lisan. Perusakan agama dengan lisan itu berlipat ganda akibatnya dibanding perusakan
dengan tangan. Sejarah pun membuktikan bahwa peperangan terhadap Allah dan rasul-Nya—
yang bersenjatakan lisan—itu jauh lebih ganas, demikian juga perusakan bumi dengan lisan, akan
lebih parah akibatnya.
Sebagian ahli hikmah mengatakan, "Pena adalah salah satu dari dua lisan." Bahkan pena—
boleh jadi—lebih tajam dari lisan itu sendiri. Apalagi di zaman sekarang, ia bisa dipakai sebagai
perangkat sosialisasi berbagai ide yang ditulis dan disebarkan ke masyarakat luas.
Demikianlah, selain sanksi hukum di atas, orang murtad juga mendapatkan sanksi sosial yang
berupa pengasingan total dari jamaah Muslimin; ia tidak lagi dilindungi, dicintai, maupun
ditolong.
Allah Swt. berfirman,
...barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka... (Al-Ma'idah: 51).

Bagi orang-orang yang berakal, sanksi moral seperti ini jelas lebih menyakitkan daripada
sanksi fisik.

Rahasia Beratnya Sanksi Kemurtadan


Sikap Islam dalam menghadapi kemurtadan sangat keras, karena masyarakat Muslim itu
landasan utamanya akidah dan iman. Akidah bagi masyarakat Muslim adalah dasar identitasnya,
pusat edar kehidupannya, dan inti eksistensinya. Karenanya, tiada toleransi bagi seorang pun
yang menodai identitas dan mengotori eksistensinya. Atas dasar itulah kemurtadan terbuka
merupakan kejahatan terbesar dalam pandangan Islam, karena sangat berbahaya bagi
kepribadian masyarakat dan keimanannya, di samping berbahaya juga bagi lima kebutuhan
utama (adh-dharuriyah al-khamsah), yaitu agama (sebagai yang utama), jiwa, keturunan, akal,
dan harta. Hal ini dikarenakan seorang mukmin akan mengorbankan jiwa, tanah air, dan hartanya
demi mempertahankan agamanya.
Islam tidak memaksa seorang pun untuk memasukinya, karena iman yang benar adalah iman
yang muncul melalui proses memilih dan kesadarannya sendiri. Allah Swt. berfirman dalam ayat
makiyah,
...maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang
beriman? (Yunus: 99).

Dalam ayat madaniyah Allah Swt. juga berfirman,


Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar dari jalan yang sesat... (Al-Baqarah: 256).

Meskipun demikian, Islam bukan agama permainan; hari ini masuk esok hari keluar,
sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang-orang Yahudi.
Perlihatkan (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang
beriman (sahabat-sahabat Muhammad) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada
akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran) (Ali 'Imran: 72).

Islam tidak menetapkan hukuman mati atas orang murtad yang menyembunyikan
kemurtadannya dan tidak mengajak orang lain untuk mengikutinya. Hukumannya diserahkan
kepada Allah di akhirat, jika ia mati dalam keadaan kufur. Allah Swt. berfirman,
...barangsiapa murtad di antara kamu dari agama-Nya, lalu dia mati dalam keadaan kafir,
maka mereka itulah yang sia-sia amalannya, di dunia dan akhirat. Mereka itulah penghuni
neraka. Mereka abadi di dalamnya (Al-Baqarah: 217).

Dijatuhkannya sanksi hukum atas orang murtad—khususnya yang berpengaruh pada


murtadnya orang lain—adalah dalam rangka melindungi identitas masyarakat dan persatuan
anggotanya. Masyarakat di dunia ini pasti memiliki pilar-pilar yang tidak boleh seorang pun
mengusiknya, seperti identitas, orientasi, dan loyalitas. Tidak ada toleransi atas suatu aktivitas
yang berekses kepada perubahan identitas masyarakat atau pengalihan orientasi dan loyalitas
kepada musuh-musuhnya.
Oleh karena itu, merupakan kejahatan besar serta berkhianat kepada tanah air dan
berkolaborasi dengan musuh, jika seseorang menjalin kasih sayang dengan mereka dan
membuka rahasia (kaum Muslimin) di hadapan mereka. Tidak seorang pun membenarkan
seorang warga negara memberikan loyalitas kebangsaannya kepada orang lain dengan
sekehendak hati.
Murtad bukan hanya persoalan sikap pemikiran, tetapi juga berarti pengalihan loyalitas,
penggantian identitas, dan pengubahan komitmen. Pada hakikatnya, seorang yang murtad akan
memindahkan loyalitas dan komitmennya dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain, dari satu
tanah air ke tanah air yang lain, yakni dari tanah air Islam ke tanah air kafir. Ia melepaskan dirinya
dari umat Islam, yang semula merupakan salah satu "anggota tubuh"-nya, kemudian bergabung
kepada musuhnya dengan segenap hati, akal pikiran, dan keinginannya.
Sabda Rasulullah Saw., "...orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari
jamaahnya," sebagaimana tersebut dalam hadits Ibnu Mas'ud (mutafaq alaih). "Memisahkan diri
dari jamaahnya" ini adalah karakter yang dituturkan secara eksplisit. Setiap orang yang murtad
dari agamanya berarti memisahkan diri dari jamaah.
Betapa pun kejahatan yang dilakukannya, kita tidak perlu membedah hatinya. Kita hanya
menilai berdasarkan apa-apa yang dilahirkan secara eksplisit, baik melalui lisan, pena, atau
dengan tindak-tanduknya yang bisa mengindikasikan adanya kekufuran yang nyata tanpa perlu
interpretasi. Apa pun bentuk keraguannya hanya dipahami sebagai sikap yang membawa
kemaslahatan bagi tertuduh (murtad).
Sikap meremehkan dalam memberi sanksi hukum orang murtad yang berpengaruh, akan
dapat menjerumuskan masyarakat dalam bahaya dan membuka pintu bagi masuknya fitnah
besar, yang tiada seorang pun tahu akibatnya kecuali Allah Swt. Orang- orang murtad itu tidak
henti-hentinya mempengaruhi orang lain— utamanya golongan menengah ke bawah—dengan
membentuk berbagai institusi, yang memungkinkan baginya untuk bekerja sama dengan musuh-
musuh umat. Kemudian terjadilah kekacauan, baik dalam hal pola pikir, sistem sosial, maupun
politiknya, yang ujung-ujungnya bisa menyebabkan berkobarnya pertikaian berdarah, bahkan
perang saudara, yang tidak hanya menghancurkan orang-orang jahat, namun juga orang-orang
baik sekaligus.
Inilah yang benar-benar terjadi di Afghanistan. Sekelompok orang keluar dari agamanya
untuk menjadi pengikut paham komunis setelah beberapa lama belajar di Rusia. Mereka dididik
secara militer dalam barisan partai komunis. Tidak lama kemudian, mereka berhasil menduduki
posisi penguasa di negerinya, lalu mulailah mereka melakukan upaya perubahan identitas
masyarakat secara total dengan sarana dan prasarana yang mereka miliki. Tentu saja putra-putra
Afghan tidak bisa menerimanya, sehingga terjadilah perlawanan yang berkembang menjadi
jaringan jihad, yaitu jihad Afghan melawan orang-orang murtad komunis, di mana mereka—tidak
malu-malu lagi—berkolaborasi dengan kolega-kolega di Rusia untuk menghancurkan tanah
airnya sendiri dengan senjata roket yang dilemparkan pesawat-pesawat tempur dan bom-bom
pemusnah. Berkecamuklah perang saudara yang berlangsung lebih dari sepuluh tahun dengan
menelan jutaan jiwa korban. Ada di antara mereka yang meninggal, cacat, wanita-wanita menjadi
janda, anak-anak menjadi yatim piatu, dan ada pula yang menjadi papa dan sebatang kara.
Sungguh, sebuah keporak-porandaan yang menimpa suatu negeri dengan amat mengenaskan.
Semua ini terjadi semata-mata sebagai dampak dari kelengahan dalam menghadapi orang-
orang murtad, menganggap ringan aktivitas mereka, dan membiarkan kejahatan mereka
berlangsung berkepanjangan. Seandainya para pengkhianat itu ditindak sebelum pengaruhnya
meluas, niscaya rakyat dan tanah air akan terhindar dari kekejaman perang serta keporak-
porandaan negeri dan masyarakat.

Hal-Hal Penting yang Wajib Diperhatikan


Ada sejumlah hal yang harus dikemukakan di sini.
Pertama, menuduh seorang Muslim murtad adalah urusan besar. Hal itu akan berakibat
lepasnya seluruh ikatan yang bersangkutan dengan keluarga maupun masyarakat, bahkan lepas-
nya hubungan antara dirinya dengan istri dan anak-anaknya. Oleh karenanya, seorang Muslim
tidak halal berada di bawah perlindungan orang kafir. Demikian juga anak-anaknya, mereka tidak
bisa lagi dibiarkan di bawah asuhannya, apalagi ada pemberian sanksi fisik kepada mereka.
Demikianlah yang telah disepakati oleh ahli fiqih secara keseluruhan.
Kita harus sangat berhati-hati ketika menuduh kafir kepada seorang Muslim yang
keislamannya masih ada dalam keyakinannya. Kaidah ushul mengatakan bahwa keyakinan tidak
bisa digugurkan dengan keraguan.
Mengafirkan orang yang—sebenarnya—tidak kafir, sangatlah berbahaya. Dalam hal ini Sunah
pun telah mengingatkannya dengan keras.
Saya telah menulis buku dengan judul Zhahirah Al-Ghuluw fi At-Takfir (Fenomena Berlebih-
lebihan dalam Mengafirkan), untuk membendung gelombang paham pengafiran yang pernah
marak, yang hingga kini pengikutnya pun masih ada.
Kedua, orang-orang yang memiliki wewenang memberikan fatwa tentang murtadnya seorang
Muslim adalah para ulama yang mendalam pengetahuannya. Merekalah yang dapat
membedakan antara qath'i dan zhanni, muhkam dan mutasyabih, mana yang bisa di-tawil dan
mana pula yang tidak bisa. Mereka tidak mengafirkan seseorang kecuali karena tidak
mendapatkan alternatif hukum yang lain, seperti ketika seseorang mengingkari ajaran agama
yang telah dimaklumi, atau melecehkan akidah maupun syariah, atau mencaci-maki Allah, rasul-
Nya, dan kitab-Nya secara terang-terangan.
Contoh dalam hal ini adalah fatwa ulama tentang murtadnya Salman Rusydi. Rasyad Khalifah
pun juga mengingkari Sunah dan dua ayat di akhir surat At-Taubah, serta mendakwakan dirinya
sebagai Rasulullah sembari mengatakan, "Muhammad Saw. adalah penutup para nabi, bukan
penutup para rasul." Fatwa tersebut dikeluarkan oleh Majlis Mujtama 'Al-Fiqh di Rabithah Alam
Islami.
Masalah ini tidak boleh diserahkan kepada orang-orang yang karakternya tergesa-gesa, suka
berlebihan, atau dangkal ilmunya, karena dikhawatirkan akan mengatakan sesuatu hal yang tidak
diketahui dengan atas nama Allah.
Ketiga, yang berwenang meratifikasi fatwa mengenai hal ini adalah penguasa, setelah dibuat
fatwanya oleh lembaga fatwa, yang tidak menegakkan hukum kecuali hukum Allah dan tidak
mengambil dalil-dalil hukum dari Kitabullah kecuali dari ayat-ayat yang eksplisit (muhkamat).
Kedua sumber inilah—kitab Allah dan Sunah rasul-Nya—yang menjadi rujukan untuk
menyelesaikan perselisihan antarmanusia.
Allah Swt. berfirman,
...jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Quran) dan Rasul (Sunah)-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemu-
dian... (An-Nisa': 59).

Seorang hakim—dalam Islam—adalah orang yang ahli ijtihad. Apabila ia tidak memenuhi
syarat itu, hendaknya minta bantuan kepada ahli ijtihad, agar dapat memahami suatu kebenaran
dengan jelas. Ia tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan bodoh dan dengan
menyertakan hawa nafsunya, sehingga menjadi hakim ahli neraka.
Keempat, jumhur ulama mengatakan keharusan menyuruh tobat kepada orang murtad
sebelum dijatuhkannya sanksi hukum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahkan mengatakan dalam
kitabnya Ash-Sharim Al-Maslul 'ala Syatimir Rasul, "Ini ijmak para sahabat dan sebagian ahli fiqih.
Ada yang memberi batas waktu hingga tiga hari, ada yang kurang dari itu, dan ada pula yang
lebih, bahkan ada yang memberi kesempatan selamanya. Sebagian ulama mengecualikan orang
munafik (zindiq), karena ia menampakkan sesuatu yang berbeda dengan isi hatinya. Tidak ada
ampunan baginya. Demikian juga orang yang melecehkan kehormatan dan harga diri Rasulullah
Saw., ia pun tidak diterima tobatnya." Ibnu Taimiyah menulis buku tentang ini semua.
"Memberi batas waktu" maksudnya adalah untuk memberi kesempatan berintrospeksi.
Barangkali keraguannya hilang lalu mendapatkan argumentasi yang benar, jika memang
mencarinya dengan ikhlas.
Sekarang sebagian orang berkata, "Penerimaan tobat itu urusan Allah, bukan urusan
manusia." Benar, akan tetapi itu aturan akhirat. Adapun hukum di dunia, kitalah penerima tobat
secara lahir, sebagaimana kita menjadi penerima keislaman seseorang secara lahir. Kita tidak
diperintahkan mengintip isi hati manusia, tetapi hanya diperintahkan untuk menentukan hukum
berdasarkan yang tampak. Sedangkan segala sesuatu yang tersembunyi, itu menjadi urusan
Allah. Sebuah hadits sahih menyebutkan, "Barangsiapa mengatakan la ilaha illalldh, maka ia
terpelihara darah dan hartanya, sedangkan perhitungan—yang sebenarnya—itu urusan Allah."
Yakni menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan isi hati.
Oleh karena itu, kami ingin menegaskan bahwa pemberian wewenang kepada setiap orang
untuk menuduh murtad seseorang, lalu memvonisnya dengan hukuman mati, dan setelah itu
mengeksekusinya tanpa pertimbangan lagi, akan berakibat sangat besar bagi darah, harta, dan
kehormatan manusia.
Hal ini berarti menghimpun di tangan seseorang—yang ia tidak memiliki pengetahuan ahli
fatwa, kearifan seorang hakim, dan tanggung jawab seorang polisi—tiga kekuasaan sekaligus:
jaksa penuntut, hakim pemutus, dan polisi yang mengeksekusi.

Beberapa Komentar yang Tertolak


Sebagian penulis di masa kini—yang bukan ahli syariat—menolak ditegakkannya sanksi
hukum bagi orang yang murtad, karena tidak terdapat dalam Al-Quran dan Hadits, kecuali hadits-
hadits ahad (yang hanya memiliki satu jalur sanad) meskipun sahih, yang tidak bisa dijadikan
landasan dalam menentukan sanksi hukum.
Pendapat ini tidak bisa diterima, karena beberapa alasan berikut.
Pertama, sesungguhnya hadits sahih itu merupakan sumber hukum operasional (bukan
menghukumi keyakinan—penerj.) sesuai dengan kesepakatan seluruh umat Islam. Allah Swt.
berfirman,
Katakan, "Taatilah Allah dan taatilah Rasul"... (An-Nur: 54).

Allah Swt. juga berfirman,


Barangsiapa taat kepada Rasul, maka ia taat kepada Allah... (An-Nisa': 80).

Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukuman mati orang murtad itu sahih dan pernah
diterapkan para sahabat di masa khulafaurasyidin.
Pendapat yang mengatakan bahwa hadits-hadits ahad tidak bisa dijadikan dalil untuk
menetapkan sanksi hukum itu tidak bisa diterima, karena seluruh mazhab telah menjadikan
hadits-hadits ahad sebagai dalil untuk menghukum peminum khamr. Padahal hadits-hadits yang
berkaitan dengan sanksi hukum orang murtad itu lebih sahih, lebih lengkap, dan lebih banyak
daripada hadits yang berkaitan dengan hukuman peminum khamr.
Seandainya yang dikatakan mereka itu benar —bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan dasar
hukum—berarti hilanglah Sunah dari sumber hukum Islam. Paling tidak mereka telah
menghilangkan 95%—jika bukan 99%—sumber hukum Islam. Akhirnya, tidak ada lagi makna
kalimat mengikuti Al-Quran dan Sunah.
Para ulama memaklumi bahwa hadits-hadits ahad itu menempati sebagian besar hadits
tentang hukum. Sedangkan hadits mutawatir (yang memiliki banyak jalur sanad)—sebagai lawan
kata dari ahad—itu sedikit sekali. Bahkan sebagian ulama hadits mengatakan, "Hampir tidak
ada," sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Shalah dalam Muqaddimah-nya yang terkenal
dalam Ulumul Hadits.
Kebanyakan orang yang berpandangan seperti ini tidak memahami makna hadits ahad.
Mereka mengira bahwa hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu rawi
(periwayat hadits). Ini jelas keliru. Hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat
mutawatir, mungkin diriwayatkan oleh dua, tiga, empat, atau bahkan lebih, dari kalangan
sahabat, juga kalangan tabiin.
Hadits mengenai hukuman mati orang murtad diriwayatkan oleh sejumlah besar sahabat,
sebagaimana telah disebutkan beberapa di antaranya. Hadits-hadits itu banyak dan terkenal.
Kedua, di antara sumber hukum yang sah adalah ijmak. Sementara para ulama fiqih dari
seluruh mazhab ahlusunah, bahkan yang bukan ahlusunah pun telah sepakat diterapkannya
sanksi hukum bagi orang murtad—dan hampir semua bersepakat atas hukuman mati—kecuali
pendapat yang diriwayatkan dari Umar, An-Nakha'i, dan Ats-Tsauri. Namun secara keseluruhan
mereka menyepakati adanya sanksi hukum itu.
Ketiga, di antara ulama salaf ada yang mengatakan bahwa ayat tentang perang, yang tersebut
dalam surat Al-Ma'idah, itu ditujukan kepada orang-orang murtad.
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya,
serta membuat kerusakan di muka bumi hanyalah dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh
siksaan yang berat. (Al-Ma'idah: 33)
Di antara ulama yang mengatakan bahwa ayat di atas ditujukan kepada orang-orang murtad
adalah Abu Qilabah.
Kami telah menukil kata-kata Ibnu Taimiyah bahwa memerangi Allah dan rasul-Nya dengan
lisan itu lebih jahat daripada memeranginya dengan senjata, demikian juga perusakan di muka
bumi. Di antara yang memperkuat pendapat ini adalah hadits-hadits yang menetapkan bolehnya
dialirkan darah seorang Muslim, meskipun dengan beberapa alasan. Di antaranya, "...orang yang
keluar dalam rangka memerangi Allah dan rasul-Nya, maka ia dibunuh atau disalib atau
diasingkan dari kampung halamannya." Sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Aisyah r.a.,
sebagai pengganti dari kalimat "murtad dari Islam" atau "meninggalkan agamanya."
Hal itu sebagai bukti bahwa ayat tersebut mencakup orang-orang murtad yang mengajak
pada kemurtadannya.
Allah Swt. juga berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad dari agamanya, maka
kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap
keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela... (Al-Ma'idah: 54).

Itulah bukti bahwa Allah Swt. telah mempersiapkan sebuah generasi untuk menghadapi dan
memberantas orang-orang murtad. Sebuah generasi yang terdiri dari orang-orang yang beriman
dan berjihad, yang ciri-cirinya telah disebutkan Allah Swt. dalam ayat tersebut di atas. Termasuk
Abu Bakar dan orang-orang yang beriman bersamanya. Mereka telah berupaya menyelamatkan
Islam dari fitnah orang-orang yang murtad.
Di samping itu, ada beberapa ayat yang menyinggung sikap dan perilaku orang-orang
munafik. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa mereka telah memelihara dirinya dari
pembunuhan, disebabkan oleh kekufuran mereka dari jalan iman dan sumpah palsunya untuk
menyenangkan orang-orang yang beriman. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam beberapa ayat
di bawah ini.
Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka halangi (manusia)
dari jalan Allah. Karena itu, mereka mendapatazab yang menghinakan. (Al-Mujadilah: 16)

Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Namun jika sekiranya
kamu ridha kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang
fasik itu. (At-Taubah: 96)

Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak
mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan
perkataan kekafiran dan telah menjadi kafir sesudah Islam... (At-Taubah: 74)

Orang-orang munafik itu mengingkari bahwa dirinya telah kafir dan hal itu diyakinkan dengan
sumpah-sumpahnya. Mereka bersumpah bahwa mereka tidak berkata dengan kata-kata
kekufuran. Hal itu justru menjadi bukti bahwa kekufuran telah ada pada diri mereka, maka
perisainya tidak lagi berfungsi dan sumpah-sumpah yang palsu itu tidak akan berguna sedikit pun.

Kemurtadan Seorang Penguasa


Jenis kemurtadan yang paling berbahaya adalah kemurtadan seorang penguasa. Orang yang
seharusnya diharapkan bisa memelihara akidah umat, memberantas kemurtadan, mengusir
orang-orang yang murtad, dan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk tetap tinggal di
lingkungan masyarakat Islam, justru menjadi pelopor kemurtadan, baik secara rahasia maupun
terang-terangan. Dia menyebarkan kefasikan dan melindungi orang-orang yang murtad. Dia
membukakan jendela dan pintu untuk mereka, memberikan simbol dan gelar, sehingga
kondisinya sebagaimana ungkapan Arab berikut ini.
Penggembala kambing mestinya melindungi kambingnya dari serigala
Tetapi bagaimana jika para penggembala adalah serigala itu sendiri?

Kita melihat penguasa seperti ini telah menjadi pendukung dan pelindung musuh-musuh
Allah. Ia memusuhi wali-wali Allah (orang-orang yang beriman), menghina akidah, melecehkan
syariat, tidak menghargai perintah dan larangan Allah serta nabi-Nya, merendahkan seluruh
kesucian dan kemuliaan umat yaitu para sahabat yang abrar dan keluarga Nabi yang suci, khulafa
yang terpilih, para imam yang alim, dan para pahlawan Islam. Mereka menganggap bahwa orang
yang berpegang teguh pada syariat Islam telah melakukan tindakan kriminal dan ekstrem, seperti
shalat di masjid bagi kaum laki-laki dan memakai hijab bagi kaum perempuan.
Mereka tidak hanya berbuat demikian, tetapi juga bekerja sesuai dengan falsafah
pengeringan sumber (tajfifal-manabi') secara terang-terangan, baik dalam pendidikan,
penerangan, maupun kebudayaan, sehingga kecerdasan dan kepribadian seorang Muslim tidak
tumbuh padanya.
Mereka juga mengusir para penyeru kebenaran dan menutup pintu-pintu bagi setiap gerakan
dakwah yang menginginkan pembaharuan dan kebangkitan semangat beragama, serta
memajukan dunia di atas nilai-nilainya.
Anehnya, sebagian dari mereka—selain yang berterus terang dengan kemurtadannya—ada
juga yang menggunakan simbol Islam agar disebut sebagai orang-orang Islam. Padahal mereka
ingin merobohkan bangunan umat dari dalam. Sebagian mereka ada yang berusaha menjadikan
agama sebagai daya tarik saja dengan mendorong masyarakat untuk beragama secara pura-pura
dan merekrut para ulama, yang sering disebut ulama pemerintah (sulthah) atau ulama spionase
(syurthah).
Keadaan menjadi semakin sulit. Siapakah yang akan melaksanakan had atas mereka? Siapa
pula ulama yang berani memberi fatwa atas kekufuran mereka, padahal itu merupakan
kekufuran nyata, yang dalam istilah hadits disebut kufr bawwah? Siapakah yang akan
menghukumi kemurtadan mereka, sementara lembaga fatwa dan peradilan resmi ada di tangan
mereka?
Oleh karenanya, tidak ada lagi yang dapat dilakukan kecuali pembentukan opini umum dan
kesadaran ber-Islam di kalangan umat Islam, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
bebas, seperti para ulama, dai, dan pemikir yang masih teguh. Di saat itu mereka berubah
menjadi gunung api yang akan meletus di hadapan para taghut yang murtad. Bukanlah persoalan
mudah untuk menanggalkan identitas masyarakat Islam atau menjatuhkan akidah dan risalah
yang menjadi sumber kekuatan dan rahasia kekekalannya.
Sejarah penjajahan Barat (Prancis) di Aljazair dan penjajahan Timur (Rusia) di berbagai
wilayah negara Islam di Asia (meskipun pengalaman itu menyakitkan dan dalam waktu cukup
lama) telah teruji, bahwa mereka tidak bisa mencabut akar identitas Islam dan kepribadian islami
dari tubuh umat ini. Akhirnya, para penjajah itu pun pergi dan kaum Muslimin dengan segala
keberadaannya tetap Islam.
Peperangan berikutnya yang disulut untuk menghadapi Islam dan para dainya oleh sebagian
penguasa nasionalis sekuler yang kebarat-baratan di sebuah negara—setelah negara itu
merdeka— justru semakin keras dan lebih berbahaya daripada serangan para penjajah itu
sendiri.

Kemurtadan yang Terselubung


Bentuk kemurtadan terselubung ini lebih sulit diidentifikasikan, karena mereka selalu
menyembunyikan kekufurannya. Penampilannya selalu diselubungi berbagai tabir dan merasuk
dalam akal pikiran, seperti merasuknya penyakit dalam tubuh. Tak seorang pun bisa melihat
penyakit itu ketika menyerang tubuh dan baru terasa setelah tubuh kita sakit. Ibaratnya, kita
hanya dapat membunuhnya dengan racun yang ditaruh dalam madu atau permen dengan reaksi
perlahan, bukan dengan senjata. Seperti yang telah dilakukan orang-orang yang mendalam
ilmunya dan memahami agama, tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan para
pelaku kezaliman yang profesional, karena mereka tidak akan pernah diberi kesempatan
memegang kendali. Mereka itulah orang-orang munafik yang kelak akan ditempatkan di keraknya
neraka.
Inilah kemurtadan dalam bentuk pemikiran, yang pengaruh negatifnya dapat dilihat setiap
hari di surat-surat kabar yang diterbitkan, buku-buku yang disebarluaskan, majalah-majalah yang
diperjualbelikan, serangkaian program televisi yang disiarkan, berbagai budaya yang
dipromosikan, dan undang-undang yang ditegakkan.
Kemurtadan terselubung ini lebih berbahaya daripada kemurtadan yang tampak. Ia bisa
bekerja secara aktif dan kontinu dalam jangkauan yang luas, serta tidak mudah diberantas
sebagaimana kemurtadan yang tampak.
Sesungguhnya kemunafikan itu jauh lebih berbahaya daripada kekufuran yang nyata.
Kemunafikan Abdullah bin Ubay bin Salul bersama pengikutnya di Madinah jauh lebih berbahaya
bagi Islam dan kaum Muslimin daripada kekufuran Abu Jahal dan pengikutnya dari kaum
musyrikin Makkah.
Oleh karena itu, pembahasan tentang orang-orang kafir dalam surat Al-Baqarah hanya dalam
dua ayat, sementara pembahasan tentang orang-orang munafik dalam tiga belas ayat.
Kemurtadan terselubung itulah yang selalu menyertai kita, baik di pagi maupun petang, di
dalam rumah maupun di luar rumah. Kita tidak mendapatkan orang yang memerangi kemurtadan
ini, sebagaimana dikatakan oleh Abul Hasan An-Nadwi dengan istilah "kemurtadan yang tidak
ada Abu Bakar di dalamnya".
Kita dituntut untuk memerangi mereka dengan senjata seperti yang mereka pergunakan,
melawan pemikiran dengan pemikiran, hingga tersingkaplah rahasia mereka, jatuh pamor
mereka, dan hilang keraguan yang mereka sebarkan dengan hujah-hujah pemilik kebenaran (al-
haq).
Mereka memang memiliki kesempatan yang sangat luas di berbagai mimbar dan media
massa (baik cetak maupun elektronik), tetapi kekuatan al-haq dan potensi keimanan dalam hati
kita (dengan dukungan Allah Swt.), cukuplah untuk menumbangkan kebatilan. Allah Swt.
berfirman dalam beberapa ayat berikut ini.
Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil, lalu yang haq itu
menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah
bagimu disebabkan kamu menyifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya). (Al-
Anbiya': 18)

...adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi
manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi... (Ar-Ra'd: 17)
Allah Swt. juga berfirman tentang ahli kitab dengan firman-Nya,
Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, agar mereka menegakkan
shalat dan menunaikan zakat; dan demikian itulah agama yang lurus (Al-Bayyinah: 5).

Melalui ayat-ayat tersebut, zakat disebutkan Allah bersamaan dengan shalat, karena
keduanya merupakan syiar dan ibadah yang diwajibkan. Shalat merupakan ibadah ruhiah,
sedangkan zakat merupakan ibadah maliah dan memiliki dimensi sosial kemasyarakat. Akan
tetapi, tetap saja zakat merupakan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah Swt., sehingga
keikhlasan merupakan syarat yang ditetapkan oleh syariat. Zakat tidaklah diterima kecuali
dengan niat taqarub kepada Allah. Hal inilah yang membedakannya dengan pajak, sebuah
peraturan yang dibuat oleh manusia.
Hanya saja, zakat yang telah diwajibkan oleh Islam—meskipun sama dalam landasan dan
namanya dengan zakat dalam agama-agama dahulu—merupakan sistem baru yang unik, yang
belum pernah ada pada agama samawi dahulu maupun dalam undang- undang dunia sekarang
ini.
Zakat bukanlah sekadar amal kebajikan yang bersandar kepada keimanan seseorang, tetapi
lebih merupakan ibadah yang selalu dijaga dengan keimanan seseorang, dalam pengawasan
jamaah, dan diatur oleh kekuasaan negara.
Pada dasarnya, zakat dalam Islam itu dipungut oleh seorang imam (pemimpin) dan lembaga-
lembaga syariat. Dengan kata lain, melalui negara Islam. Dalam hal ini melalui lembaga resmi
yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dengan sebutan al-'amilina 'alaiha. Al-Quran pun
memberikan bagian dari pembagian zakat itu kepada mereka. Hal itu membuktikan atas
disendirikannya anggaran zakat dari pintu-pintu yang lain dalam masalah anggaran, sehingga
tidak hilang hasil zakat itu untuk pembiayaan negara yang bermacam-macam, dan agar orang-
orang yang berhak menerima zakat tetap mendapatkan haknya.
Allah Swt. berfirman,
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
menyucikan mereka... (At-Taubah: 103).

Dalam hadits disebutkan, "Sesungguhnya zakat itu diambil dari orang-orang kaya di antara
mereka (kaum Muslimin) dan dibagikan kepada fakir miskin di kalangan mereka."
Oleh karenanya, zakat merupakan kewajiban yang dipungut, bukan sumbangan bebas yang
diserahkan atas kemauan pemiliknya.
Data sejarah telah menceritakan kepada kita bahwa khalifah pertama (Abu Bakar Ash-
Shiddiq) telah mengerahkan pasukan, mengirimkan beberapa batalion, dan mengumumkan
perang kepada suatu kaum yang tidak mau membayar zakat.
Ketika itu mereka mengatakan, "Kami akan menegakkan shalat, tetapi tidak membayar
zakat." Maka Abu Bakar menolak berunding dengan mereka sedikit pun terhadap sesuatu yang
telah diwajibkan oleh Allah. Beliau berkata dengan perkataannya yang masyhur,
Demi Allah, sesungguhnya saya memerangi orang yang memisahkan shalat dengan zakat.
Demi Allah, kalau mereka membangkang kepadaku sedikit saja, sesuatu yang semula mereka
berikan kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka.

Dalam memerangi mereka, Abu Bakar tidak membedakan antara orang-orang yang murtad—
yaitu pengikut orang yang mengaku nabi—dengan orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Ketika zakat telah menjadi suatu kewajiban yang pemungutannya dilakukan oleh negara
Islam dari orang-orang yang wajib membayarkannya, kemudian petugas membagikannya kepada
orang-orang yang berhak menerima, maka Islam menetapkan batas minimal (nishab) yang wajib
dikeluarkan dan batas yang akan diberikan, serta siapa saja yang berhak menerimanya. Islam
tidak membiarkan zakat itu terserah pada kemauan hati orang-orang yang beriman, baik dalam
menentukan ukuran, kadar, pemasukan, maupun penerimanya.

PASAL 2
SYIAR-SYIAR DAN IBADAH DALAM ISLAM

Asas kedua sebagai asas tegaknya masyarakat Islam—setelah akidah—adalah berbagai syiar
dan peribadatan yang telah diwajibkan oleh Allah bagi kaum Muslimin. Allah telah membe-
bankan kepada mereka untuk melaksanakannya sebagai sarana taqarrub kepada-Nya, sebagai
realisasi hakikat keimanan, serta keyakinan mereka untuk bertemu dan mendapatkan hisab-Nya.
Di antara syiar yang paling tampak adalah empat kewajiban yang didahului oleh dua kalimat
syahadah, yang disebut rukun-rukun Islam, kemudian dikhususkan oleh para ahli fiqih dengan
nama "ibadah".
Berkenaan dengan rukun Islam tersebut Rasulullah Saw. bersabda dalam sebuah hadits
berikut ini.
Islam ditegakkan di atas lima dasar, yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan,
dan berhaji ke Baitullah bagi orang yang mampu (memenuhinya). (HR. Bukhari-Muslim)

Selain empat kewajiban di atas, masih ditambah dua kewajiban asasi yang sangat ditekankan
oleh Islam dan dijelaskan kedudukannya di sisi Allah. Kedua kewajiban itu pantas dimasukkan
dalam pilar-pilar Islam dan syiarnya yang besar, yaitu amar makruf nahi mungkar dan jihad fi
sabilillah.
Dengan demikian, kewajiban-kewajiban pokok dan syiar-syiar besar yang bersifat amaliah
ada enam, yaitu:
1. menegakkan shalat,
2. mengeluarkan zakat,
3. puasa Ramadhan,
4. haji ke Baitullah,
5. amar makruf nahi mungkar, dan
6. jihad fi sabilillah.

Kewajiban-kewajiban tersebut dinamakan syiar-syiar (sya'air), karena merupakan tanda-


tanda yang tampak untuk membedakan dan memisahkan antara kehidupan seorang Muslim dan
non-Muslim, sebagaimana nanti dapat dibedakan antara kehidupan masyarakat Islam dan non-
Islam.
Menegakkan syiar-syiar tersebut dan mengagungkannya merupakan bukti atas kuatnya
akidah dalam hati dan kekukuhannya di dalam dada. Allah Swt. berfirman,
Demikianlah (perintah Allah). Barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (Al-Hajj: 32).
Pembahasan di sini hanya akan mencakup tiga dari enam kewajiban di atas, yaitu shalat,
zakat, dan amar makruf nahi mungkar, walaupun bukan berarti pembahasan telah menyeluruh.

Shalat
Kewajiban dan syiar yang paling utama adalah shalat, karena merupakan tiang agama (Islam).
Shalat merupakan ibadah harian yang terus berulang dan ibadah yang pertama kali dihisab atas
setiap mukmin di hari Kiamat. Shalat merupakan garis pemisah antara iman dan kufur, antara
mukmin dan kafir, sebagaimana ditegaskan Rasulullah dalam hadits-hadits berikut ini.
Batas antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim)

Ikatan antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa meninggalkan berarti ia
kafir. (HR. Nasa'i, Tirmidzi, dan Ahmad)

Makna hadits di atas sangat jelas di kalangan para sahabat radhiyallahu 'anhum. Abdullah bin
Syaqiq Al-'Uqaili berkata, "Tidaklah para sahabat Nabi Saw. melihat satu di antara amal ibadah
yang barangsiapa meninggalkannya adalah kufur, selain shalat" (Tirmidzi).
Al-Quran menjadikan shalat sebagai awal (sekaligus penutup) sifat-sifat orang mukmin yang
akan memperoleh kebahagiaan. Sebagai sifat awalnya, Allah Swt. berfirman,
Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang- orang yang khusyuk dalam
shalatnya. (Al-Mu'minun: 1-2)

Ayat ini menunjukkan pentingnya kedudukan shalat dalam kehidupan seorang Muslim dan
dalam masyarakat Islam.
Al-Quran juga menegaskan bahwa menelantarkan shalat termasuk sifat-sifat masyarakat
yang tersesat dan menyimpang. Ciri-ciri masyarakat kafir adalah terus-menerus mengabaikan
dan meremehkan keberadaan shalat, sebagaimana firman Allah Swt.,
Maka datanglah sesudah mereka pengganti (generasi) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya. Maka mereka kelak akan menemui kesesatan (Maryam:
59).

Allah Swt. juga berfirman mengenai sikap orang-orang kafir yang mendustakan risalah
sebagai berikut.
Dan jika dikatakan kepada mereka, "Rukuklah!" niscaya mereka tidak mau rukuk. (Al-
Mursalat: 48)

Kemudian dalam ayat lain Allah Swt. berfirman,


Dan apabila kamu menyeru mereka untuk shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan
permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau
mempergunakan akal (Al-Ma'idah: 58).

Sesungguhnya masyarakat Islam adalah masyarakat berketuhanan, baik dalam orientasi,


arahan, maupun sumbernya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang keterikatannya dengan
Allah Swt. sangat kuat. Shalat merupakan ibadah harian yang menjadikan seorang Muslim
senantiasa dalam perjanjian dengan Allah. Ketika mereka tenggelam dalam bahtera kehidupan,
maka datanglah shalat untuk menyelamatkannya. Saat dilalaikan oleh kesibukan dunia,
datanglah shalat untuk mengingatkannya. Manakala diliputi oleh dosa atau hatinya penuh debu
kelalaian, datanglah shalat untuk membersihkannya. Dialah kolam ruhani yang akan
membersihkan jiwa dan menyucikan hati lima kali dalam sehari, sehingga tiada tersisa kotoran
sedikit pun.
Ibnu Mas'ud meriwayatkan dari Nabi, bahwa beliau Saw. bersabda, "Kamu sekalian berbuat
dosa. Jika kamu telah melakukan shalat Subuh, maka shalat itu membersihkannya. Lalu kalian
berbuat dosa. Jika kalian melakukan shalat Zuhur, maka shalat itu membersihkannya. Kemudian
kalian berbuat dosa lagi. Jika kalian melakukan shalat Asar, maka shalat itu membersihkannya.
Kemudian kalian berbuat dosa lagi. Jika kalian melakukan shalat Magrib, maka shalat itu
membersihkannya. Kemudian kalian berbuat dosa lagi. Jika kalian melakukan shalat Isya, maka
shalat itu akan membersihkannya. Kemudian kalian tidur, maka tidak lagi dicatat dosa bagi kalian
hingga kalian bangun" (HR. Thabrani).
Keistimewaan shalat adalah dilaksanakan dengan berjamaah dan dikumandangkannya azan.
Mengenai berjamaah dalam shalat, ada yang menyatakan fardhu kifayah sebagaimana dikatakan
oleh mayoritas para imam dan ada yang mengatakan fardhu ain sebagaimana dikatakan Imam
Ahmad.
Sedemikian pentingnya shalat berjamaah, maka Rasulullah pun bersungguh-sungguh akan
membakar rumah-rumah suatu kaum dengan api bila mereka melalaikan shalat berjamaah dan
shalat di rumah-rumah mereka. Ibnu Mas'ud berkata tentang shalat,
Kamu bisa melihat generasi kami (para sahabat). Mereka tidak ada yang tertinggal dari
shalat berjamaah, kecuali orang yang sakitatau munafik yang diketahui kemunafikannya
(HR. Muslim).

Islam pun menekankan kepada kita agar senantiasa mendirikan shalat secara berjamaah,
walau di tengah-tengah peperangan sekalipun, dengan dianjurkan untuk shalat Khauf. Shalat ini
merupakan shalat berjamaah yang khusus dilakukan saat peperangan, di belakang satu imam
dengan dua tahapan. Pada tahap pertama, sebagian orang yang ikut berperang shalat terlebih
dahulu satu rakaat di belakang imam, kemudian meninggalkan tempat shalat untuk menuju ke
medan perang dan menyempurnakan shalat- nya di sana. Tahap berikutnya, datanglah sebagian
yang semula menghadapi musuh untuk mengikuti shalat di belakang imam.
Mereka melakukannya dengan membawa senjata dan penuh kewaspadaan. Mengapa semua
ini mereka lakukan? Hal ini semata-mata agar tak seorang pun di antara mujahidin yang
kehilangan keutamaan shalat berjamaah, sebagaimana ditekankan dalam Islam. Allah
menjelaskan dalam firman-Nya,
Apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan
shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
bersamamu dengan menyandang senjata. Kemudian, apabila mereka (yang shalat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari
belakangmu (untuk menghadapi musuh). Dan hendaklah datang golongan kedua yang belum
shalat. Lalu shalatlah mereka bersamamu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan
harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu
meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau
karena kamu memang sakit, dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan
azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu (An-Nisa': 102).

Ayat di atas selain menunjukkan pentingnya kedudukan shalat berjamaah, juga menunjukkan
betapa pentingnya kedudukan shalat itu sendiri. Berkecamuknya peperangan, kesiagaan musuh,
dan kesibukan dalam jihad di jalan Allah itu tidak menggugurkan kewajiban shalat. Shalat wajib
dilaksanakan semampunya, walaupun tanpa rukuk, sujud, dan menghadap kiblat, seperti ketika
dalam peperangan yang dahsyat. Cukuplah dengan berniat— ketika dalam kondisi darurat—dan
melakukan apa saja yang mungkin dikerjakan, seperti tilawah, isyarat, berzikir, dan sebagai- nya.
Allah Swt. berfirman,
Peliharalah segala shalat-(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah
(dalam shalatmu) dengan khusyuk. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah
sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah
Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu
ketahui (Al-Baqarah: 238-239).

Firman Allah "berjalan atau berkendaraan" maksudnya adalah agar melakukan shalat sambil
berjalan atau berkendaraan, menghadap kiblat atau tidak, semampu kamu. Hal ini sebagaimana
dilakukan oleh orang yang naik pesawat, mobil, tank, dan lain-lain.
Shalat juga memiliki keistimewaan, yakni dengan azan. Itulah seruan Ilahi yang suaranya
menjulang tinggi, lima kali dalam sehari. Azan berarti mengumumkan masuknya waktu shalat,
memuat tentang akidah asasi dan prinsip-prinsip dasar Islam, yang meliputi Allahu Akbar (empat
kali), Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah (dua kali), Hayya
'ala ash-shalah (dua kali), Hayya 'ala al-falah (dua kali), Allahu Akbar (dua kali), kemudian
membaca La ilaha illallah.
Bagi umat Islam, azan layaknya "lagu kebangsaan" yang digemakan dengan suara lantang
oleh seorang muazin, lalu disahut oleh orang-orang beriman di mana saja berada. Mereka
bersama-sama ikut mengulang secara serempak kalimat-kalimat azan itu untuk menghunjamkan
nilai-nilainya dalam jiwa dan memperkuat nilai-nilai itu dalam akal dan hati.
Shalat, sebagaimana disyariatkan oleh Islam, bukanlah sekadar hubungan ruhani dalam
kehidupan seorang Muslim. Sesungguhnya shalat dengan azan dan iqamahnya, berjamaah
dengan keteraturannya, dilakukan di rumah Allah dengan kebersihan dan kesuciannya, dengan
penampilan yang rapi, menghadap ke kiblat, di waktu tertentu, dan kewajiban-kewajiban lain,
seperti: gerakan, tilawah, bacaan-bacaan, dan perbuatan-perbuatan, yang dimulai dengan takbir
dan diakhiri dengan salam, mempunyai nilai lebih dari sekadar ibadah.
Shalat merupakan sistem hidup, sistem pendidikan dan pengajaran (manhaj tarbiyah wa
ta'lim) yang sempurna, yang meliputi fisik, akal, dan hati. Tubuh menjadi bersih dan
bersemangat, akal lebih terarah untuk mencerna ilmu, dan hati menjadi suci bersih.
Shalat merupakan amal aplikatif dari prinsip-prinsip Islam, baik dalam aspek politik maupun
sosial kemasyarakatan yang ideal, yang membuka atap masjid menjadi terus terbuka sehingga
nilai persaudaraan, persamaan, dan kebebasan itu terwujud nyata. Dalam shalat, terlihat pula
makna keprajuritan orang-orang mukmin, ketaatan yang sempurna, dan keteraturan nan indah.
Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna menjelaskan pengaruh shalat secara sosial setelah beliau
menjelaskan pengaruh shalat secara ruhani, sebagai berikut.
"Pengaruh shalat tidak berhenti pada batas pribadi, tetapi shalat —sebagaimana disebutkan
sifatnya oleh Islam dengan berbagai aktivitas lahir dan hakikat yang bersifat batin—
merupakan manhaj yang sempurna untuk menarbiah umat yang sempurna pula.
Shalat dengan gerakan tubuh dan waktu yang teratur sangat bermanfaat bagi tubuh,
sekaligus merupakan ibadah ruhiah. Zikir, tilawah, dan doa-doanya sangat baik untuk
membersih- kan jiwa dan melunakkan perasaan. Disyaratkan dalam shalat membaca Al-
Fatihah. Sementara Al-Quran yang menjadi kurikulum tsaqafah islamiah nan sempurna telah
memberikan bekal pada akal dan pikiran dengan berbagai hakikat ilmu pengetahuan. Oleh
karenanya, orang yang shalat dengan baik akan sehat tubuhnya, lembut perasaannya,
cerdas, dan akalnya pun mendapat 'gizi'. Kesempurnaan manakah yang ada dalam
pendidikan manusia secara individu setelah ini?
Disyaratkannya shalat lima waktu secara berjamaah, akan mampu mengumpulkan umat
lima kali setiap hari dan sekali dalam satu pekan dalam shalat Jumat di atas nilai-nilai sosial
yang baik, seperti: ketaatan, kedisiplinan, rasa cinta, persauda- raan, dan persamaan derajat
di hadapan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar. Kesempurnaan dalam masyarakat
manakah yang melebihi sempurnanya masyarakat yang tegak di atas fondasi tersebut dan
dikukuhkan di atas nilai-nilai yang mulia?
Dalam Islam, shalat merupakan sarana tarbiah yang sempurna bagi individu dan sarana
pembinaan untuk membangun umat yang kuat. Sungguh telah terlintas dalam benak saya—
ketika sedang menjelaskan prinsip-prinsip kemasyarakatan saat ini— bahwa shalat yang
tegak dan sempurna itu bisa membawa dampak positif bagi pelakunya dan bisa membuang
sifat-sifat buruk. Shalat telah 'mengambil' makna persamaan hak dan persaudaraan dari
komunisme, yaitu dengan mengumpulkan manusia dalam satu tempat yang tiada pemiliknya
kecuali Allah, yaitu masjid.
Shalat telah "mengambil" makna kedisiplinan dan semangat ketaatan kepada pemimpin dari
kediktatoran, yaitu dengan adanya komitmen berjamaah, mengikuti imam dalam setiap
gerak dan diamnya. Barangsiapa menyendiri, maka ia akan menyendiri dalam neraka.
Shalat juga "mengambil" suatu bentuk nasihat, musyawarah, dan wajibnya mengembalikan
imam ke arah kebenaran dari demokrasi apabila ia salah dan dalam kondisi apa pun. Shalat
bisa membuang segala sesuatu yang jelek yang menempel pada semua ideologi tersebut di
atas, seperti kekacauan komunisme, penindasan diktatorisme, dan kebebasan tanpa batas
ala demokrasi, sehingga shalat merupakan 'minuman' yang siap diteguk dari kebaikan yang
tidak pernah keruh dan tiada keruwetan di dalamnya.”

Oleh karena itu, masyarakat Islam pada masa salafusaleh sangat memperhatikan masalah
shalat, hingga mereka menempatkan shalat sebagai neraca yang mampu menimbang kadar
kebaikan seseorang serta mengukur kedudukan dan derajatnya. Jika mereka ingin mengetahui
sejauhmana keistiqamahan seseorang dalam beragama, mereka bertanya tentang shalatnya dan
sejauhmana ia memelihara shalatnya, apakah ia melakukan dengan baik ataukah mengabaikan.
Sebagaimana hadits Rasulullah Saw.,
Apabila kamu melihat seseorang membiasakan diri ke masjid, maka akuilah keimanannya
(HR. Tirmidzi).

Kemudian Nabi membaca firman Allah sebagai berikut.


Yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa
pun) selain Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk orang-orang yang
mendapat petunjuk. (At-Taubah: 18)

Atas dasar ayat di atas, Rasulullah Saw. setelah hijrah ke Madinah membangun masjid Nabawi
yang berfungsi sebagai pusat ibadah, kampus bagi kajian-kajian ilmiah, dan gedung parlemen
sebagai ajang musyawarah.
Kesepakatan umat, bahwa siapa saja yang meninggalkan dan menentang shalat serta
menghinanya, maka ia telah kafir. Mereka berbeda pendapat mengenai orang yang
meninggalkan shalat karena tidak secara terang-terangan menentang tetapi karena malas.
Sebagian mereka menghukumi kafir dan berhak dibunuh, seperti pendapat Imam Ahmad dan
Ishaq. Sebagian lagi menghukumi fasik dan berhak dibunuh, seperti pendapat Imam Syafi'i dan
Imam Malik. Sebagian yang lain mengatakan fasik dan berhak mendapat hukuman yang
ditetapkan penguasa (ta'zir) atau pelajaran dengan dipukul dan dipenjara sampai ia bertobat dan
kembali shalat. Di antara yang berpendapat demikian adalah Imam Abu Hanifah. Tidak seorang
pun di antara mereka mengatakan bahwa shalat itu boleh ditinggalkan oleh seorang Muslim, jika
mau ia kerjakan dan jika tidak mau ia tinggalkan. Adapun perhitungannya terserah Allah. Para
imam pun sepakat, bahwa hakim atau pihak pemerintah berkewajiban ikut mengancam dan
memberi pengajaran bagi setiap orang yang terus-menerus meninggalkan shalat.
Bukanlah dikatakan masyarakat Islam, yang membiarkan orang-orang bergabung dengan
Islam, sementara mereka hidup tanpa rukuk kepada Allah, tanpa memperoleh sanksi ketika ber-
buat salah dengan alasan bahwa manusia itu mempunyai hak kebebasan untuk berbuat.
Bukanlah disebut masyarakat Islam, yang menyamakan antara orang-orang yang shalat
dengan orang-orang yang tidak shalat. Apalagi mengutamakan orang-orang yang tidak shalat dan
menjadikan mereka sebagai pemimpin.
Bukanlah suatu masyarakat Islam, yang membangun perkantoran, lembaga-lembaga, pabrik-
pabrik, dan sekolah-sekolah, sedangkan di dalamnya tidak ada masjid yang dipergunakan untuk
shalat dan tanpa digemakan suara azan di dalamnya.
Bukanlah masyarakat Islam, yang pola kerjanya tidak mengenai waktu shalat, sehingga setiap
karyawan yang tak menepati peraturan itu (tidak mengenal waktu shalat) akan dikenai sanksi
yang setimpal dan dianggap telah berbuat kesalahan.
Bukanlah masyarakat Islam, yang ketika menggelar seminar, resepsi, pertemuan, dan
ceramah-ceramah, sementara ketika masuk saat shalat tiada suara azan dan tidak pula
ditegakkan shalat.
Bukan pula disebut masyarakat Islam jika keluarga dalam masyarakat itu tidak mengajarkan
shalat kepada putra-putrinya di rumah sejak masa kanak-kanak. Ketika berusia tujuh tahun
mereka hams diperintahkan melaksanakannya dan saat berusia sepuluh tahun hendaklah
mereka dipukul apabila meninggalkannya.
Bukanlah masyarakat Islam, yang tidak menjadikan shalat sebagai rangkaian kurikulum
pendidikan, pengajaran, dan penerangan yang penting dipertimbangkan dalam agama Allah dan
dalam kehidupan kaum Muslimin.

Zakat
Zakat merupakan syiar kedua dalam Islam dan merupakan kekuatan pendanaan sosial di
antara kekuatan-kekuatan besar lainnya. Zakat adalah "saudara kandung" shalat di dalam Al-
Quran dan As-Sunah. Al-Quran telah menyebutkan keduanya secara bersamaan sebanyak dua
puluh delapan kali. Sebagian disebutkan dalam bentuk perintah (amar), seperti dalam firman
Allah Swt.,
Dan tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat... (Al-Baqarah: 43).

Kadang-kadang dalam bentuk berita seperti,


Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, menegakkan shalat, dan
menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Al-Baqarah: 277).

Zakat disebutkan secara bersamaan dengan shalat, sebagai bentuk persyaratan untuk masuk
Islam atau masuk ke masyarakat Islam. Firman Allah Swt. ketika menjelaskan keadaan orang-
orang musyrik yang memerangi (kaum Muslimin),
Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka mereka itu adalah
saudara-saudara seagama... (At-Taubah: 11).

Orang yang berbuat syirik tidak dianggap masuk Islam dan tidak sah bergabung dengan
masyarakat Islam serta menjadi saudara mereka kecuali dengan bertobat dari kekufuran,
menegakkan shalat, dan menunaikan zakat.
Zakat merupakan ibadah yang memiliki akar historis yang cukup panjang seperti shalat, yang
dibawa dan diserukan para nabi. Wasiat pertama yang diberikan Allah kepada mereka agar
disampaikan kepada umat-umatnya adalah zakat.
Allah Swt. telah menyanjung bapak Nabi Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub a.s. dengan firman-Nya,
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan,
mendirikan shalat, membayar zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah
(Al-Anbiya': 73).

Allah Swt. juga memuji Ismail a.s. dengan firman-Nya,


Dan ia (Ismail) menyuruh keluarganya agar mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan ia
adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya (Maryam: 55).

Allah Swt. juga berfirman ditujukan kepada Musa a.s.,


Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-
orang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat
Kami (Al-A'raf: 156).

Allah Swt. juga berfirman kepada Bani Israil,


...janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik
kepada manusia, dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat... (Al-Baqarah: 83).

Allah Swt. juga berfirman melalui lisan Isa a.s. ketika di ayunan,
...dan Dia (Allah) memerintahkan kepadaku (menegakkan) shalat dan (menunaikan) zakat
selama hidup (Maryam: 31).

Allah Swt. juga berfirman tentang ahli kitab,


Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, agar mereka menegakkan
shalat dan menunaikan zakat; dan demikian itulah agama yang lurus (Al-Bayyinah: 5).

Melalui ayat-ayat tersebut, zakat disebutkan Allah bersamaan dengan shalat, karena
keduanya merupakan syiar dan ibadah yang diwajibkan. Shalat merupakan ibadah ruhiah,
sedangkan zakat merupakan ibadah maliah dan memiliki dimensi sosial kemasyarakatan. Akan
tetapi, tetap saja zakat merupakan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah Swt., sehingga
keikhlasan merupakan syarat yang ditetapkan oleh syariat. Zakat tidaklah diterima kecuali
dengan niat taqarrub kepada Allah. Hal inilah yang membedakannya dengan pajak, sebuah
peraturan yang dibuat oleh manusia.
Hanya saja, zakat yang telah diwajibkan oleh Islam—meskipun sama dalam landasan dan
namanya dengan zakat dalam agama- agama dahulu—merupakan sistem baru yang unik, yang
belum pernah ada pada agama samawi dahulu maupun dalam undang-undang dunia sekarang
ini.
Zakat bukanlah sekadar amal kebajikan yang bersandar kepada keimanan seseorang, tetapi
lebih merupakan ibadah yang selalu dijaga dengan keimanan seseorang, dalam pengawasan
jamaah, dan diatur oleh kekuasaan negara.
Pada dasarnya, zakat dalam Islam itu dipungut oleh seorang imam (pemimpin) dan lembaga-
lembaga syariat. Dengan kata lain, melalui negara Islam. Dalam hal ini melalui lembaga resmi
yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dengan sebutan al-'amilina 'alaiha. Al-Quran pun
memberikan bagian dari pembagian zakat itu kepada mereka. Hal itu membuktikan atas
disendirikannya anggaran zakat dari pintu-pintu yang lain dalam masalah anggaran, sehingga
tidak hilang hasil zakat itu untuk pembiayaan negara yang bermacam-macam, dan agar orang-
orang yang berhak menerima zakat tetap mendapatkan haknya.
Allah Swt. berfirman,
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
menyucikan mereka... (At-Taubah: 103).

Dalam hadits disebutkan, "Sesungguhnya zakat itu diambil dari orang-orang kaya di antara
mereka (kaum Muslimin) dan dibagikan kepada fakir miskin di kalangan mereka."
Oleh karenanya, zakat merupakan kewajiban yang dipungut, bukan sumbangan bebas yang
diserahkan atas kemauan pemiliknya.
Data sejarah telah menceritakan kepada kita bahwa khalifah pertama (Abu Bakar Ash-
Shiddiq) telah mengerahkan pasukan, mengirimkan beberapa batalion, dan mengumumkan
perang kepada suatu kaum yang tidak mau membayar zakat.
Ketika itu mereka mengatakan, "Kami akan menegakkan shalat, tetapi tidak membayar
zakat." Maka Abu Bakar menolak berunding dengan mereka sedikit pun terhadap sesuatu yang
telah diwajibkan oleh Allah. Beliau berkata dengan perkataannya yang masyhur,
Demi Allah, sesungguhnya saya memerangi orang yang memisahkan shalat dengan zakat.
Demi Allah, kalau mereka membangkang kepadaku sedikit saja, sesuatu yang semula mereka
berikan kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka.

Dalam memerangi mereka, Abu Bakar tidak membedakan antara orang-orang murtad—yaitu
pengikut orang yang mengaku nabi—dengan orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Ketika zakat telah menjadi suatu kewajiban yang pemungutannya dilakukan oleh negara
Islam dari orang-orang yang wajib membayarkannya, kemudian petugas membagikannya kepada
orang-orang yang berhak menerima, maka Islam menetapkan batas minimal (nishab) yang wajib
dikeluarkan dan batas yang akan diberikan, serta siapa saja yang berhak menerimanya. Islam
tidak membiarkan zakat itu terserah pada kemauan hati orang-orang yang beriman, baik dalam
menentukan ukuran, kadar, pemasukan, maupun penerimanya.

Amar Makruf Nahi Mungkar


Amar makruf nahi mungkar merupakan syiar kelima dari syiar-syiar yang ada. Kewajiban ini
merupakan "baju pelindung" bagi syiar-syiar lainnya. Barangkali akan mengejutkan bagi sebagian
orang jika kewajiban amar makruf nahi mungkar ini termasuk kewajiban-kewajiban asasi dalam
Islam, karena selama ini yang terkenal adalah empat yang disebutkan pertama.
Bagi siapa pun yang mau mempelajari Al-Quran dan Sunah, akan menemukan bahwa hal itu
lebih jelas dan terang daripada terangnya sinar fajar.
Al-Quran telah menjadikan amar makruf nahi mungkar sebagai karakter pertama yang
dimiliki oleh umat Islam, karena mampu mengungguli umat-umat lain.
Allah Swt. berfirman,
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah... (Ali 'Imran: 110).

Dalam ayat ini penyebutan amar makruf nahi mungkar lebih didahulukan daripada
penyebutan iman, padahal iman merupakan asas. Hal ini karena iman kepada Allah itu
merupakan ketentuan yang bersifat umum di kalangan umat-umat ahli kitab, tetapi amar makruf
nahi mungkar merupakan kemuliaan umat ini. Layaknya tetumbuhan di padang pasir, Allahlah
yang mengeluarkannya. Dia tidak dikeluarkan agar hidup untuk dirinya saja, tetapi untuk
kemaslahatan umat manusia. Umat ini adalah umat dakwah dan risalah, tugasnya menyebarkan
yang makruf dan memperkuatnya, dan mencegah kemungkaran serta menghancurkannya.
Sebelum ayat di atas disebutkan, dalam beberapa ayat sebelumnya Allah Swt. berfirman,
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang
yang beruntung (Ali 'Imran: 104).

Ayat di atas memiliki dua makna. Pertama, kata "di antara" menunjuk makna "keseluruhan",
sehingga artinya hendaklah kamu menjadi umat yang selalu mengajak kepada kebajikan.
Kemudian yang lebih memperkuat makna ini adalah pembatasan keberuntungan kepada mereka,
bukan kepada yang lain, seperti yang ada pada kalimat "merekalah orang-orang yang beruntung".
Makna tafsirannya adalah hendaklah seluruh umat Islam menjadi penyeru kebaikan,
memerintahkan yang makruf, dan mencegah kemungkaran, masing-masing sesuai dengan
kedudukan dan kemampuannya, sehingga termasuk golongan yang berhak memperoleh
keberuntungan.
Kedua, kata "di antara" berarti menunjuk "sebagian". Artinya, hendaklah di dalam
masyarakat Islam itu ada sekelompok dari kaum Muslimin yang memiliki spesialisasi,
kemampuan, dan persiapan yang memadai untuk mengemban kewajiban dakwah dan beramar
makruf nahi mungkar. "Kelompok" di sini maksudnya adalah mewujudkan jamaah Muslimin
secara umum dan pemimpin secara khusus. Oleh karena itu, mereka wajib mempersiapkan
faktor-faktor yang dapat mewujudkan kelompok tersebut dan mendukungnya, baik secara moril
maupun materiil, agar dapat tertegak risalah-Nya.
Selagi umat atau kelompok yang dicita-citakan ini belum terwujud, maka seluruh kaum
Muslimin menanggung dosanya sebagai fardu kifayah yang ditinggalkan dan diabaikan.
Adanya individu-individu yang berserakan (tidak teratur) yang hanya melakukan ceramah di
sebuah negara yang mengatur (bukan diatur oleh) mereka atau masyarakat yang jauh dari
mereka, tidaklah cukup. Al-Quran tidak menginginkan yang demikian, melainkan menghendaki
adanya umat yang memiliki kebebasan berdakwah ke arah kebaikan, di mana pintu kebaikan
terbesar adalah Islam. Hendaknya umat itu mampu memerintah dan melarang, karena ia adalah
misi yang lebih khusus dan lebih besar daripada sekadar nasihat (mau'izhah) dan peringatan
(tadzkir). Setiap orang yang mempunyai lidah, tentu dapat memberi nasihat dan peringatan,
tetapi belum tentu mampu memerintah dan melarang. Sedangkan yang dituntut oleh ayat
tersebut adalah mewujudkan umat yang mampu berdakwah, memerintah, dan melarang.
Dalam menjelaskan ciri-ciri umum masyarakat mukmin yang berbeda dengan masyarakat
kafir dan munafik, Al-Quran menyebutkan,
Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, melarang
dari yang mungkar, serta taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat
oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijakasana (At-Taubah: 71).

Di antara keindahan ayat ini, bahwa Dia menyertakan mukminah (bersama mukminin),
menjadikan kasih sayang dan saling mendukung antara mereka, memikulkan kepada mereka
(baik laki-laki maupun perempuan) tugas amar makruf nahi mungkar, dan mendahulukan tugas
itu atas shalat dan zakat. Oleh karena itu, amar makruf dan nahi mungkar merupakan ciri utama
masyarakat Islam dan individu anggota masyarakatnya. Islam tidak menghendaki kebaikan hanya
untuk diri sendiri secara individual, sementara mereka tidak berupaya untuk memperbaiki orang
lain. Sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya,
Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasihati supaya menaati
kebenaran dan saling menasihati supaya menaati kesabaran (Al-'Ashr: 1-3).

Oleh karenanya, untuk memperoleh keselamatan dari kehancuran tidak cukup bagi mereka
hanya dengan iman dan amal saleh. Melainkan harus mau melaksanakan saling berwasiat dalam
melakukan kebenaran dan saling mewasiati untuk tetap bersabar. Dengan kata lain, sampai
mereka mau memperbaiki orang lain dan menyebarkan makna saling menasihati dan dakwah di
masyarakat untuk berpegang kepada kebenaran dan tetap dalam kesabaran. Hal itu termasuk
pilar kekuatan masyarakat, setelah iman dan amal saleh.
Allah telah membeli diri dan harta orang-orang mukmin dengan surga, sebagaimana
termaktub dalam firman-Nya,
Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadat, yang memuji (Allah), yang
melawat, yang rukuk, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar dan
yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang- orang yang beriman itu
(At-Taubah: 112).

Dalam surat lain, Al-Quran menjelaskan kewajiban terpenting ketika umat Islam diberi
kesempatan Allah di bumi ini untuk memiliki daulah dan kekuasaan. Allah Swt. berfirman,
...sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya
Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan mungkar; dan kepada Allah-
lah kembali segala urusan (Al-Hajj: 40-41).

Amar makruf dan nahi mungkar (setelah shalat dan zakat) adalah faktor terpenting dalam
tegaknya daulah islamiah, yakni setelah Allah memberikan daulah itu kepada umat Islam dan
memenangkan mereka atas musuhnya. Bahkan mereka tidak berhak mendapat pertolongan
Allah kecuali dengan menunaikan tugas itu, sebagaimana dijelaskan dalam dua ayat di atas.
Itulah kewajiban amar makruf dan nahi mungkar dalam Al-Quran. Sesungguhnya ia
merupakan penegasan bagi wajibnya saling memikul beban (takaful) secara moral di antara kaum
Muslimin, sebagaimana zakat merupakan lambang atas wajibnya takaful materi di antara
mereka.
Rasulullah Saw. telah menggambarkan takaful moral itu dengan ilustrasi yang menarik,
sebagaimana diriwayatkan oleh Nu'man bin Basyir r.a., Rasulullah Saw. bersabda,
Perumpamaan orang yang berpegang pada hukum-hukum Allah dan yang melanggarnya
bagaikan kaum yang sama-sama menaiki kapal. Sebagian ada yang di atas dan sebagian ada
yang di bawah. Orang-orang yang berada di bawah apabila ingin mengambil air mereka
harus melalui orang-orang yang berada di atas, lalu orang-orang yang di bawah itu berkata,
"Seandainya kita lubangi (kapal ini) untuk memenuhi kebutuhan kita, maka kita tidak perlu
mengganggu orang-orang yang ada di atas kita." Jika orang-orang yang di atas itu
membiarkan kemauan mereka yang di bawah (melubangi kapal), maka akan tenggelamlah
semuanya. Namun, jika mereka menahan tangan orang-orang yang di bawah, maka akan
selamat, dan selamatlah mereka semua (HR. Bukhari).
;
Seburuk-buruk perkara yang menimpa masyarakat adalah zalimnya para penguasa atau
takutnya rakyat terhadap mereka, sehingga tidak ada suara kebenaran, dakwah, nasihat, amar
makruf, dan nahi mungkar. Dengan demikian hancurlah mimbar-mimbar perbaikan, surutlah
nilai-nilai kekuatan, dan layu pula pohon-pohon kebaikan, sementara kejahatan dan para
penyerunya semakin berani bermunculan dan menyebarluaskan ajarannya. Mereka berhasil
membuka "pasar-pasar" kerusakan, memasarkan dagangan iblis dan tentaranya, tanpa ada yang
melawan dan menghentikan.
Saat itulah masyarakat tersebut akan menuai ancaman Allah dan siksa-Nya, bala' dan
bencana akan menimpa orang-orang yang berbuat kemungkaran dan yang mendiamkannya.
Allah Swt. berfirman,
Dan peliharalah dirimu dari siksa yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zaiim saja di
antara kalian. Dan ketahuilah bahwa siksaan Allah amat berat (Al-Anfal: 25).

Rasulullah Saw. bersabda,


Sesungguhnya apabila manusia melihat orang yang zalim dan mereka tidak memegang
kedua tangannya (mencegah), maka Allah akan meratakan siksa dari sisi-Nya (HR. Abu Daud,
Tirmidzi, dan Nasa’i).

Sesungguhnya Allah telah melaknat Bani Israil melalui lisan para nabi-Nya, memukul hati
sebagian mereka dengan sebagian yang lain, dan mengangkat pemimpin dari orang yang tiada
memiliki belas kasihan kepada mereka. Hal itu karena tersebarnya kemungkaran di antara
mereka tanpa ada orang yang mengubah atau melarangnya.
Allah Swt. berfirman,
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa, putra Maryam.
Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain
senantiasa membiarkan tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat
buruklah apa yang senantiasa mereka perbuat itu (Al-Ma'idah: 78-79).

Hal yang lebih buruk lagi adalah ketika hati masyarakat itu telah mati atau paling tidak sakit
parah, setelah sekian lama berkubang dalam kemungkaran dan mendiamkannya, sehingga
hilanglah rasa keberagamaan dan akhlaknya. Padahal dengan perasaan itu, akan diketahui yang
makruf dari yang mungkar.
Mereka telah kehilangan kecerdasan yang (seharusnya) mampu untuk membedakan antara
yang baik dengan yang buruk, yang halal dan yang haram, yang lurus dan yang menyimpang.
Ketika itu, rusaklah standar masyarakat, sehingga mereka melihat perkara sunah menjadi bid'ah
dan yang bid'ah menjadi sunah. Gejala lain adalah yang terjadi pada putra-putra kaum Muslimin,
yakni anggapan bahwa beragama itu suatu kemunduran, istiqamah itu kuno, dan teguh pada
pendirian justru dianggap jumud. Sementara kemaksiatan dikatakan sebagai seni, kekufuran
menjadi simbol kebebasan, dekadensi moral dianggap suatu kemajuan, sedangkan
memanfaatkan warisan salaf dianggap sebagai keterbelakangan dan kepicikan dalam berpikir,
hingga pada hal-hal yang tidak kita ketahui. Ringkasnya, dalam pandangan mereka yang makruf
telah menjadi mungkar dan yang mungkar telah menjadi makruf.
Lebih buruk dari itu semua adalah ketika suara kebenaran mulai redup, sementara teriakan
kebatilan makin menggema memenuhi penjuru dunia untuk mengajak pada kerusakan,
memerintahkan kemungkaran, dan melarang yang makruf. Itulah teriakan orang-orang yang ciri-
cirinya telah disebutkan dalam hadits Rasulullah sebagai, "Para penyeru di pintu-pintu jahanam,
barangsiapa menyambut ajakan mereka, maka mereka akan melemparkannya ke Neraka
Jahanam."
Inilah keadaan orang-orang munafik, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran bahwa
mereka adalah penghuni dasar neraka. Sebuah masyarakat yang ciri-cirinya telah disebutkan
dalam ayat berikut.
Orang-orang munafik, laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah
sama. Mereka memerintahkan berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang makruf
dan menggenggam tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan
mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik. (At-Taubah: 67)

Sifat-sifat tersebut sangat bertolak belakang dengan karakter masyarakat Islam, sebagaimana
dijelaskan dalam ayat berikut.
Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong
bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari
yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta mereka taat kepada Allah dan
rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana. (At-Taubah: 71)

Orang-orang munafik itu merupakan sekelompok manusia yang "kepalanya terbalik",


memerintahkan berbuat kemungkaran dan mencegah yang makruf.
Apabila suara kebenaran bergema untuk menyeru mereka ke jalan Allah, memerintahkan
berbuat adil, serta melarang kerusakan dan kezaliman, maka pembalasan yang diterima para dai
adalah pemberangusan terang-terangan, kematian di atas tiang gantungan pada siang bolong,
atau penangkapan secara rahasia lalu dibunuh dengan senjata atau disiksa dengan cemeti di
tengah malam. Hal itu sebagaimana dilakukan Bani Israil terhadap para nabi-Nya.
Mereka membunuh tanpa alasan yang benar. Sebagian mereka membuat rencana buruk
untuk membunuh dan menyalib nabinya, sehingga Allah mengangkat dan menyelamatkannya
(Nabi Isa a.s.).
Mereka benar-benar telah membunuh para nabi dan para dai, sebagaimana dinyatakan
dalam firman Allah Swt.,
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah, membunuh para nabi yang
memang tidak dibenarkan, dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat
adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Mereka
itulah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka
sekali-kali tidak memperoleh penolong (Ali 'Imran: 21-22).

Sesungguhnya berbagai tahapan kemerosotan dan kerusakan itu saling terkait antara satu
dengan yang lain. Perkara yang syubhat membawa pada terjadinya dosa-dosa kecil, dosa-dosa
kecil menjerumuskan pada dosa-dosa besar, sedangkan dosa-dosa besar mengarahkan pada
kekufuran. Naudzu billah min dzalik.
Di antara hadits masyhur yang menjelaskan tentang arus kemerosotan, kejahatan, dan
kemaksiatan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah secara marfu' berikut ini.
Rasulullah Saw. bersabda, "Bagaimanakah kalian jika istri-istri kalian telah berbuat zina,
pemuda-pemudanya telah fasik, dan kalian meninggalkan jihad?" Sahabat bertanya,
"Apakah itu akan terjadi, wahai Rasulullah?" Nabi menjawab, "Ya, demi Dzat Yang diriku ada
di tangan-Nya, yang lebih dari itu pun akan terjadi." Sahabat bertanya, "Apa yang lebih berat
dari itu, wahai Rasulullah?" Nabi menjawab, "Bagaimanakah jika kalian tidak melaksanakan
amar makruf nahi mungkar?" Mereka bertanya, "Apakah itu akan terjadi, wahai Rasulullah?"
Nabi menjawab, "Ya, demi Dzat Yang diriku ada di tangan-Nya, yang lebih dari itu pun akan
terjadi." Mereka bertanya, "Apakah yang lebih dari itu, wahai Rasulullah?" Nabi menjawab,
"Bagaimana jika kalian melihat yang makruf menjadi mungkar dan yang mungkar menjadi
makruf?" Mereka bertanya, "Apakah itu akan terjadi, wahai Rasulullah?" Nabi menjawab,
"Ya, demi Dzat Yang diriku beradadi tangan-Nya, yang lebih dari itu pun akan terjadi."
Mereka bertanya, "Apa yang lebih dari itu, wahai Rasulullah?" Nabi menjawab,
"Bagaimanakah pendapat kalian jika memerintahkan yang mungkar dan melarang yang
makruf?" Mereka bertanya, "Apakah itu akan terjadi, wahai Rasulullah?" Nabi menjawab,
"Ya, demi Dzat Yang diriku ada di tangan-Nya, yang lebih dari itu pun akan terjadi. Allah Swt.
berfirman, Aku bersumpah demi Aku, akan Aku buka untuk mereka fitnah, di mana orang
yang sabar atas fitnah itu menjadi kebingungan" (HR. Abid Dunya, dhaif).

Sebagian besar persoalan yang diperingatkan oleh hadits ini telah terjadi, yang makruf
menjadi mungkar dan yang mungkar menjadi makruf. Menyeru kepada Islam dan syariatnya itu
seakan-akan suatu kesalahan atau dosa. Para dai pun dituduh sebagai fundamentalis dan
ekstremis, yang posisinya selalu tertuduh.
Akan tetapi, para dai Allah yang menegakkan amar makruf nahi mungkar dan para pelindung
serta pembangkit agama Allah, suara mereka tetap lantang bersama kebenaran yang dibawanya
meski suara kebatilan di kanan-kirinya terus menggema.
Hal terpenting adalah memperkuat pelaksanaan kewajiban agung ini dan menghidupkannya
kembali, serta menghidupkan aktivitas dakwah, sehingga dengannya akan sanggup melaksana-
kan syiar ini dalam kehidupan nyata. Dalam hal ini, para dai berperan sangat penting dalam
masyarakat Islam.
Jika sebagian manusia dewasa ini berbicara tentang pentingnya membentuk opini umum dan
pengaruhnya dalam mengawasi dan memelihara prinsip-prinsip umat, akhlak, moral dan
kepentingannya, serta meluruskan apa-apa yang dianggap bengkokdi antara masalah-masalah
kehidupan, maka kewajiban amar makruf nahi mungkar adalah sarana terbaik yang menjamin
tercapainya tujuan tersebut. Yakni untuk membentuk opini umum yang bersandar pada standar
akhlak islami, tata susila yang paling benar, paling adil, paling kekal, dan paling kuat, karena
standar itu digali dari Dzat Yang Mahabenar yang tak bermula (azaliy) dan tak berakhir (abadiy),
yaitu Allah Azza wa Jalla.
PASAL 3
PEMIKIRAN DAN PEMAHAMAN

Selain spesifik pada akidah dan ibadahnya, masyarakat Islam juga memiliki keistimewaan
pada pemikiran dan sistem nilainya.
Masyarakat Islam diwarnai oleh pemikiran dan pemahaman yang menentukan
pandangannya terhadap segala persoalan, peristiwa, tingkah laku seseorang, nilai, dan hal-hal
terkait dengannya. Masyarakat Islam menentukan semuanya dari sudut pandang Islam, tidak
mengambil hukum kecuali dari referensi Islam yang bersih dan jernih dari kotoran dan
penambahan akibat rusaknya zaman.
Sumber yang bersih itulah yang mampu menangkal pemikiran ekstrem dan pemikiran yang
cenderung liar, penyimpangan para pembuat kebatilan, dan interpretasi orang-orang yang
bodoh.
Islam sangat memperhatikan kelurusan pemahaman pengikutnya, sehingga pandangan dan
sikap mereka terhadap masalah kehidupan menjadi lurus, dan persepsi terhadap sesuatu dan
nilai tertentu menjadi jelas. Islam tidak membiarkan mereka memandang sesuatu dengan
pemikiran dangkal, sehingga menyimpang dari orientasi yang benar dan tersesat dari jalan yang
lurus.
Oleh karena itulah, Al-Quran dan Sunah senantiasa meluruskan berbagai pemahaman yang
menyimpang dan ragam pemikiran keliru yang tersebar di masyarakat.
Sebagian orang badui memahami keimanan itu sekadar pernyataan identitas dan
penampakan perbuatan. Oleh karenanya, turunlah Al-Quran untuk meluruskan pemahaman
seperti itu.
Allah Swt. Berfirman,
Orang-orang Arab badui itu berkata, "Kami telah beriman." Katakanlah (kepada mereka),
"Kamu belum beriman", tetapi katakanlah, "Kami telah tunduk (Islam)," karena keimanan itu
belum masuk ke hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan rasul-Nya, Dia tiada akan
mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, serta berjihad dengan harta
dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar (Al-Hujurat: 14-15).
Kalangan ahli kitab dari bangsa Yahudi menyatakan bahwa kebajikan dan ketakwaan itu
tergantung pada perhatian seseorang terhadap simbol tertentu. Oleh karenanya, mereka merasa
heran ketika menyaksikan Rasulullah mengubah arah kiblat dari Baitulmaqdis ke Kakbah.
Turunlah Al-Quran untuk menjelaskan hakikat kebajikan, ketakwaan, dan agama yang benar.
Allah Swt. berfirman,
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya bila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar
dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa (Al-Baqarah: 177).
Sebagian orang mengira bahwa jalan keimanan menuju surga itu bertabur bunga mawar dan
melati, tiada fitnah di dalamnya, tiada ujian, dan tiada cobaan. Al-Quran pun turun untuk
meluruskan pemahaman salah ini dalam beberapa firman-Nya.
Alif lam mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan,
"Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang sebelum mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
orang-orang yang dusta. (Al-'Ankabut: 1-3)

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah
orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar? (Ali
‘Imran: 142)

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh
malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan berbagai macam cobaan)
sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, "Bilakah datangnya
pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (Al-Baqarah:
214)

Sebagian orang mengira bahwa orang yang dibunuh di jalan Allah itu telah mati, seperti
matinya orang-orang biasa. Al-Quran menolak persepsi itu dan memberikan pemahaman baru
dalam beberapa ay at berikut ini.
Janganlah kamu mengatakan kepada orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka
itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (Al-Baqarah:
154)

Janganlah kamu mengira bahwa orang-oang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan
mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. (Ali 'Imran: 169)

Sebagian orang mengira bahwa perubahan di bidang materi itu merupakan sebab perubahan
jiwa manusia, maka Al-Quran menegaskan bahwa perubahan ruh dan moral merupakan asas
perubahan yang sebenarnya. Allah Swt. berfirman,
...sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri... (Ar-Ra'du: 11).

Al-Quran juga meluruskan pemikiran manusia tentang konsep kebahagiaan dan penderitaan,
serta mengalihkan perhatian dari pemikiran yang sempit—yang berkisar pada masalah materi
duniawi yang fana—menuju ruang lingkup yang lebih luas dan abadi. Hal itu termaktub dalam
beberapa firman Allah berikut ini.
...barangsiapa dijauhkan dari nerakadan dimasukkan ke surga, maka sungguh ia telah
beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (Ali
'Imran: 185)

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk


dalam shalatnya. (Al-Mu'minun: 1-2)
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia
ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat. (Al-A'la: 14-15).

...katakanlah, "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri
mereka sendiri dan keluarganya pada hari Kiamat." Ingatlah, yang demikian itu adalah
kerugian yang nyata. (Az-Zumar: 15)

Sebagian manusia mengira bahwa perempuan adalah setan-setan yang diciptakan untuk
menyesatkan laki-laki dan keberadaannya merupakan laknat yang nyata dan fitnah yang berjalan
di atas bumi. Al-Quran pun menyangkal prasangka tersebut.
Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan di antaramu
rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir. (Ar-Rum: 21)

Sebagian manusia juga mengira bahwa sesungguhnya gelap dan terang itu dampak dari dua
tuhan yang berbeda dan selalu bertengkar, sehingga yang menang mendominasi yang lain. Al-
Quran pun menjelaskan bahwa gelap terang itu pengaruh dari Pencipta Yang satu dan Tuhan
Yang satu pula, yakni Allah Swt.
Dialah (Allah) Yang menciptakan langit dan bumi, serta menjadikan gelap dan cahaya... (Al-
An'am: 1)

Kami telah menjadikan malam sebagai pakaian dan Kami jadikan siang untuk mencari
penghidupan. (An-Naba': 10-11).

Katakanlah, "Terangkan kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus-menerus
sampai hari Kiamat, siapakah Tuhan selain Allah Yang akan mendatangkan malam kepada-
mu yang kamu beristirahat pada-Nya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?" (Al-
Qashash: 72)

Demikianlah, Al-Quran terus diturunkan selama 23 tahun untuk menjelaskan yang haq dan
yang batil, serta meluruskan berbagai persepsi dan pemahaman yang keliru.
Sunah Nabi juga datang untuk menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat tersebut, baik secara
teoretis maupun praktis. Rasulullah terus-menerus membetulkan dan menjelaskan, membangun
dan merobohkan, hingga masyarakat Islam itu memiliki persepsi yang benar, pemahaman yang
jelas (wadhih) dan pandangan hati (bashirah) dari Tuhannya. Sebagaimana firman Allah Swt.
kepada rasul-Nya.
Katakanlah, "Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah dengan hujah yang nyata, Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang
musyrik." (Yusuf: 108)

Katakanlah, "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu)
agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-
orang yang musyrik." (Al-An'am: 161)
Rasulullah Saw. telah meluruskan berbagai pemahaman, di antaranya adalah masalah iman.
Keimanan itu bukanlah sekadar angan-angan, melainkan sesuatu yang meresap ke dalam hati
dan dibuktikan dengan perbuatan. Rasulullah Saw. bersabda dalam hadits-hadits berikut.
Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya. (HR. Bukhari-Muslim)

Tidak sempurna iman di antara kalian, sehingga hawa nafsunya mengikuti sesuatu yang aku
bawa.

Bukanlah disebut orang beriman, orang yang semalam suntuk dalam keadaan kenyang,
sedangkan tetangganya kelaparan. (HR. Thabrani dan Abu Ya’la)

Iman itu ada tujuh puluh cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari iman. (Mutafaq
alaih)

Masih banyak hadits yang lain, sebagaimana dihimpun Imam Baihaqi dalam satu kitab besar
yang berjudul Syu'ab Al-Iman.
Islam telah meletakkan pemahaman baru dalam hal diterimanya amal. Amal itu terkait
dengan maksud dan niat yang memotivasinya. Islam memusatkan pandangan pada hati, bukan
pada bentuk lahiriahnya semata. Sabda Rasulullah Saw. dalam beberapa riwayat berikut ini.
"Sesungguhnya nilai amal tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya segala sesuatu itu
tergantung pada yang diniatkannya." (HR. Bukhari Muslim)

"Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk dan tubuh kamu, tetapi Dia melihat pada hati dan
amal kamu." (HR. Muslim)

"Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Apabila ia baik maka
baiklah seluruh tubuh, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa
ia adalah hati." (HR. Bukhari Muslim)

Rasulullah Saw. juga menjelaskan hakikat orang kaya sebagai berikut.


Bukanlah kekayaan itu dilihat dari banyaknya harta, melainkan dari kekayaan hati. (HR.
Bukhari Muslim)
Beliau pun juga menjelaskan hakikat kekuatan yang dikembalikan pada kekuatan mental,
bukan kekuatan fisik. Sebagaimana sabdanya,
Bukanlah orang yang kuat itu dengan kekuatan berkelahi, tetapi orang yang kuat adalah
orang yang mampu menahan nafsunya ketika marah (HR. Bukhari-Muslim).

Rasulullah juga menjelaskan hakikat orang miskin dengan penjelasan yang berbeda dengan
pemahaman manusia pada umumnya.
Beliau bersabda,
Bukanlah orang yang miskin itu orang yang hanya sampai padanya satu atau dua biji kurma,
tidak pula satu atau dua suapan. Akan tetapi, orang yang miskin adalah orang yang tidak
mendapatkan dari sisa dan ia tidak dilihat sehingga ia diberi sedekah, dan tidak bekerja
sehingga meminta kepada manusia (HR. Bukhari-Muslim).
Rasulullah juga menjelaskan standar keutamaan pada manusia, baik secara individu maupun
masyarakat. Nabi Saw. membatasi keutamaan pada keimanan, ketakwaan, dan amal saleh, serta
menolak pemahaman umum (yang mengukur keutamaan dengan perhiasan, pangkat, harta,
kekayaan, kebangsaan, keturunan, atau semacamnya di antara standar materi duniawi).
Sabda Nabi Saw. dalam beberapa riwayat berikut ini.

Betapa banyak orang yang penampilannya acak-acakan dan tertolak di depan pintu, namun
seandainya ia bersumpah atas nama Allah, maka Allah akan memenuhinya. (HR. Muslim)

Betapa banyak orang fakir yang lebih baik daripada kekayaan sepenuh bumi atau orang kaya
yang terkenal. (HR. Mutafaq alaih, secara makna)

Dan tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam, dan tidak ada keutamaan bagi
orang berkulit merah atas orang yang berkulit hitam, kecuali dengan ketakwaan. (HR. Al-
Bazzar)

Barangsiapa amalnya lambat, maka tidak bisa dipercepat oleh nasabnya. (HR. Muslim)

Akan datang seorang lelaki besar dan gemuk di sisiku di hari Kiamat, tetapi beratnya di sisi
Allah tidak melebihi berat sayap nyamuk. (HR. Bukhari)

Rasulullah pernah menjelaskan standar kerusakan pada akhir zaman dengan sabdanya,
Akan datang pada manusia suatu zaman, di mana pada masa itu dikatakan kepada seseorang,
"Alangkah wibawanya, alangkah cerdasnya, dan alangkah kuatnya, tetapi dalam hatinya
tidak ada seberat biji sawi pun keimanan" (HR. Bukhari).

Pola pikir islami, pemahaman, dan persepsinya yang bersih, itulah satu-satunya yang bisa
mewarnai masyarakat Islam dan menguasai pikiran orang-orangnya, mengarahkan moral dan
seninya, ilmu dan media massanya, serta pendidikan dan pengajarannya.
Itulah konsep dan pandangan Islam yang jelas tentang manusia, kehidupan dan dunia, harta
kekayaan dan kemiskinan, kebajikan dan ketakwaan, keadilan dan kebaikan, kemajuan dan
kemunduran, kemodernan dan ketertinggalan, zuhud dan qanaah, serta sabar dan ridha.
Hal itu karena konsep pola pikir Islam telah digali dari sumber Ilahi yang terjaga—Itulah kitab
yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari
Allah Yang Mahabijaksana lagi Mahatahu (Hud: 1)—dan Sunah Rasul Saw. yang beliau tidak
pernah berbicara dari hawa nafsunya—Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan kepadanya (An-Najm: 4).
Pola pikir (Islam) yang mencakup semua bidang kehidupan, mendalam, serta seimbang dalam
menentukan ukuran segala sesuatu dan keterkaitan hubungan antara satu dengan yang lain,
hanyalah pola pikir yang pertengahan (tawazun), yang menganggap dunia sebagai ladang akhirat
dan jalan menuju kampung nan kekal. Jalan itu haruslah nyaman dan indah dengan pepohonan
rindang, sehingga memudahkan orang untuk melintasinya.
Pandangan Islam tentang kehidupan dunia bukanlah pandangan pesimis yang mengatakan
bahwa kehidupan itu laknat, alam itu jahat dan harus segera hancur, mengisolasikan diri, tidak
mau menikah selamanya, dan tidak mau segala yang baik-baik. Seperti dalam pandangan aliran
Al-Manawi di Paris dan yang biasa dilakukan para pendeta Nasrani atau orang-orang miskin
dalam agama Hindu.
Pola pikir Islam itu bukanlah pola pikir materialises (zhahiriyah) yang kafir, sebagaimana
disebutkan dalam Al-Quran,
Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia ini saja, kita mati
dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa"... (Al-Jatsiyah: 24).

Pandangan Islam tentang manusia adalah pandangan yang seimbang dan lurus, yang
memandang manusia sebagai makhluk yang dimuliakan dan memiliki tabiat yang berbeda-beda.
Ia terdiri dari unsur jasmani dan ruhani, atau ruh yang bertempat dalam tubuh.
Sebagaimana Allah Swt. berfirman,
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah, maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan-Ku); maka hendaklah
kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shad: 71-72).

Oleh karena itu, dalam syariat Islam tubuh itu wajib dipenuhi haknya sebagaimana jiwa.
Pemikiran Islam bukanlah pemikiran materialis yang mengatakan bahwa manusia hanyalah
jasmani (susunan tubuh, daging, saraf, dan tulang belakangnya). Selain tubuh, tidak ada yang lain.
Dalam pemikiran materialis memandang manusia layaknya melihat alam. Menurut mereka alam
itu sekadar benda, tiada tuhan yang mengaturnya.
Pola pikir Islam juga bukan pola pikir kebatinan yang berlebihan, seperti yang mereka katakan
bahwa manusia itu secara fisik jahat dan kotor, sedangkan yang suci dan mulia adalah ruhnya
saja. Tiada keselamatan bagi manusia kecuali dengan menyiksa tubuh dan menyakitinya, agar
ruhnya bisa bahagia, menjadi bersih, meningkat, dan suci.
Masyarakat yang pemahaman hidupnya seperti pemahaman orang-orang Barat dan orang-
orang Budha, bukanlah masyarakat Islam yang benar keislamannya.
Masyarakat Islam bukanlah masyarakat yang memahami manusia dengan pemahaman ahli
kebatinan yang pesimis, bukan pula seperti paham materialis yang berlebihan.
Bukan pula suatu masyarakat Islam yang masyarakatnya dalam memahami ketakwaan
sekadar berpakaian yang banyak tambalan, jenggot yang dipanjangkan, tasbih yang diputar-putar
di tangan, sementara di balik itu tidak memiliki dasar ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyuk,
dan amal yang saleh.
Masyarakat Islam bukanlah masyarakat yang memahami agama sekadar melaksanakan syiar
ibadah tertentu, seperti: shalat, puasa, haji, dan umrah. Akan tetapi, ia juga masyarakat yang
memberantas sistem riba dari bisnisnya, tidak membiarkan kaum perempuan terbuka auratnya,
tidak membiarkan anak-anak kaum Muslimin berada di sekolah-sekolah Kristen, juga tidak
membiarkan mereka dididik oleh guru yang kafir dan fasik.
Bukanlah masyarakat Islam itu bila menyaksikan kemungkaran dan kerusakan merebak di
segala penjuru, sementara manusia yang ada di dalamnya hanya mengatakan nafsi-nafsi (lu-lu,
gue-gue) dengan melalaikan kewajiban amar makruf nahi mungkar dan jihad untuk melawan
kebatilan.
Bukan pula masyarakat Islam, yang memahami keadilan sosial dengan merampas harta yang
bertumpuk-tumpuk kemudian disedekahkan hanya beberapa dirham kepada sebagian fakir
miskin dan orang-orang yang membutuhkan.
Keadilan itu bukanlah merampas harta yang dimiliki dengan sah dari pemiliknya yang kaya
dengan alasan akan dibagikan kepada fakir miskin, tetapi tidak disampaikan kepada mereka
sedikitpun. Pemahaman seperti ini adalah keliru jika dinisbatkan kepada ajaran Islam.
Bukanlah masyarakat Islam yang memandang kemiskinan dan kekayaan seperti pandangan
orang sufi yang mengatakan, "Apabila kamu melihat kemiskinan itu tiba, maka katakanlah,
'Selamat datang wahai syiar orang-orang saleh,' dan jika melihat kekayaan tiba mereka
mengatakan, ‘Inilah dosa yang cepat mendatangkan siksa.'"
Bukanlah masyarakat Islam yang memandang posisi perempuan sebagai perangkap iblis,
yang telah mengeluarkan Adam dari surga, sebagaimana dipahami dari Taurat yang ada sekarang
(yang diyakini oleh kaum Yahudi dan Nasrani, atau oleh sebagian kaum Muslimin, sebagai
pengetahuan keliru yang mereka peroleh dari sekolah-sekolah atau media massa).
Bukan pula masyarakat Islam yang di dalamnya berkembang pemahaman yang keliru dalam
masalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Padahal Allah telah membedakan
antara keduanya serta menjadikan kepemimpinan dan tanggung jawab itu berada di tangan laki-
laki. Allah Swt. berfirman,
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka... (An-Nisa': 34).
Saat ini berbagai pemikiran dan pemahaman yang berkembang dalam masyarakat yang
mengaku Muslim sangat banyak dan beragam, di antaranya sebagai berikut.
 Pemikiran yang berasal dari nilai-nilai dan ajaran Islam yang benar, yang sampai saat ini
masih mempunyai pengaruh dalam jiwa dan akal, terutama setelah maraknya para dai yang
paham tentang hakikat Islam di berbagai negara. Mereka berupaya menjelaskan risalahnya
sesuai dengan fitrah dan keuniversalannya, serta menolak berbagai tuduhan terhadap risalah ini.
 Pemikiran yang berasal dari sisa-sisa peninggalan masa-masa terakhir, saat pemikiran
Islam mengalami kemunduran di segala bidang, sehingga kehilangan kemurniannya. Di saat kaum
Muslimin sedang dilanda kesalahpahaman terhadap agamanya sendiri, sebagaimana mereka
juga salah dalam mengamalkan Islam.
 Pemikiran yang berasal dari pemikiran asing. Ia masuk ke negara-negara Islam bersama
kaum imperialis yang sasarannya adalah mengubah pemikiran, persepsi, dan selera kaum
Muslimin, agar mudah dikendalikan ke arah yang diinginkan.
Kewajiban masyarakat Islam adalah menolak seluruh pemahaman yang tidak bersumber dari
Islam yang sahih, baik dari sisa peninggalan masa lalu, penyimpangan berbagai aliran dalam Islam
itu sendiri, maupun pemikiran-pemikiran yang ditransfer dari penjajah Barat.
Di antara contoh pemikiran yang keliru dari kaum Muslimin di berbagai negara adalah
mengenai kedudukan perempuan dan hubungannya dengan kaum laki-laki. Mereka memandang
bahwa perempuan itu makhluk yang kurang sempurna dan berbahaya. Ia harus tetap tinggal di
rumah sampai masuk ke kubur. Ia tidak boleh melihat laki-laki dan tidak boleh dilihat oleh laki-
laki. Ia tidak boleh keluar untuk beribadah, beramal saleh, atau memperoleh ilmu yang
bermanfaat.
Contoh kedua, yaitu pemikiran kaum Muslimin dari kalangan post modernis yang telah
terdidik dengan pendidikan Barat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka
menganggap keluarnya perempuan dari fitrah dan tugasnya itu termasuk hak-hak yang disahkan,
menganggap percampuran antara perempuan dengan laki-laki yang tanpa batas dan tanpa ikatan
itu termasuk kebebasan yang dituntut. Sementara mereka mengatakan bahwa pendapat yang
tidak sesuai dengan pendapat mereka itu dianggap primitif dan ekstrem. Pemikiran asing yang
masuk itulah yang kini dominan dan berkembang di kalangan mayoritas mahasiswa Muslim.
Di antara pemahaman yang paling berbahaya yang diajarkan kepada mereka akibat perang
intelektual (al-ghazw ats-tsaqafi) adalah pemahaman yang salah kaprah tentang agama,
sebagaimana dipahami orang-orang Barat. Menurut mereka, agama sekadar hubungan batin
antara tuhan dengan manusia, tidak terkait dengan urusan negara dan sistem kemasyarakatan.
Memang, kehidupan masyarakat Barat sejak lama telah berpijak pada asas pemisahan antara
negara dan agama (sekularisme) ini.
Sedangkan agama (Islam) menurut pandangan kaum Muslimin adalah sistem hidup universal
yang mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari buang hajat (qadha al-hajah) sampai
penegakan negara (iqamah ad-daulah), dari tata cara makan- minum sampai penegakan sistem
politik dan ekonomi, dari shalat dan puasa sampai masalah perang, damai, dan hubungan
internasional.
Syariat Islamlah yang menentukan seluruh perilaku orang-orang mukalaf. Tiada satu pun
ucapan atau perbuatan yang terlewatkan dari jangkauan syariat. Setiap aktivitas yang muncul
dari seorang mukalaf harus ditentukan hukumnya oleh syariat, apakah itu wajib, sunah, haram,
makruh, atau mubah. Tugas syariat adalah mengeluarkan seorang mukalaf dari mengikuti
kemauan hawa nafsunya, untuk terikat dengan hukum-hukum Allah.
Sumber ajaran Islam telah menjamin kesempurnaannya untuk mengatasi segala kasus yang
terjadi pada manusia, sesuai dengan kaidah-kaidah dan nash-nash. Allah Swt. berfirman,
...dan Kami turunkan kepadamu Alkitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu,
petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (An-Nahl: 89).

Praktik pelaksanaan ajaran Islam di masa Rasulullah telah membuktikan kebenaran teori di
atas. Rasulullah menyampaikan wahyu dari Allah dan memberikan contoh pelaksanaannya dari
segenap ajaran agama ini. Beliau juga imam kaum Muslimin dan pemimpin negara, hakim yang
memutuskan setiap perselisihan mereka, tanpa disertai seorang raja atau hakim yang mengatur
urusan politik, sebagaimana terjadi pada Bani Israil yang pernah mengatakan kepada nabinya.
...angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan
Allah.... (Al-Baqarah: 246)

Nabi mereka mengatakan kepada mereka, "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut
menjadi rajamu."... (Al-Baqarah: 247)

Para khalifah setelah Rasulullah juga menjadi imam bagi kaum Muslimin, baik dalam shalat,
manajemen, maupun politik. Demikian juga para khalifah setelah mereka, dari Bani Umayah dan
Abbasiyah.
Oleh karena itu, para ulama mendefinisikan khalifah sebagai pengganti Rasulullah Saw. dalam
hal memelihara agama dan mengatur dunia dengan manhajnya.
Inilah pemahaman sahih tentang agama yang harus berlaku dan berkembang di dalam
masyarakat Islam, sehingga dapat mengembalikan setiap Muslim kepada agama yang dicintai,
diyakini, dan diridhai Allah Swt. untuknya. Kemudian mengukur setiap pemahaman, perkataan,
dan perbuatan dengan standar agama yang tidak pernah salah ini, apalagi menyesatkan.

Dua Pola Pikir yang Berbahaya bagi Masyarakat


Masyarakat Islam saat ini harus dibebaskan dari dua bentuk pola pikir yang ditransfer dari
tatanan masyarakat lain dan telah merasuk ke seluruh lapisan masyarakat, baik masyarakat
awam maupun cendekiawan dan ulamanya. Dua pola pikir tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, berbagai pemahaman yang merasuk ke tubuh kaum Muslimin pada masa-masa
penjajahan, berupa kesalahpahaman mereka terhadap Islam, seperti: memahami zuhud dengan
meninggalkan kehidupan secara total, sehingga dikuasai oleh orang-orang kafir; memahami
keimanan terhadap takdir sebagaimana dipahami oleh kaum Jabariyah; memahami bahwa fiqih
adalah kutipan pendapat ulama dahulu; memahami bahwa pintu ijtihad telah ditutup; akal
berseberangan dengan wahyu; menganggap perempuan sebagai perangkap setan; memahami
bahwa ayat-ayat Al-Quran bisa digantung untuk menjaga diri dari jin; atau bahwa berkah sunah
itu terletak pada pembacaan Sahih-Bukhari saat terjadi musibah; memahami masalah wali dan
karamah dengan pemahaman yang bertentangan dengan sunatullah, dan sebagainya. Masih
banyak lagi pemahaman lain yang berkembang pada masa kebekuan ilmu dan pemikiran, taklid
di bidang fiqih, perdebatan ilmu kalam, penyimpangan di bidang peribadatan, kediktatoran
politik, dan dekadensi moral.
Kedua, berbagai pemahaman yang menyerang masyarakat kita bersamaan dengan serangan
penjajah. Mereka masuk dari pintunya, berjalan bersama rombongannya, berlindung di bela-
kangnya dan menjadikan mereka (penjajah) sebagai kiblat dan imamnya. Padahal belum pernah
ada perjanjian antara mereka dengan kita, bahkan belum pernah terlintas di benak kita.
Itulah berbagai pemikiran menyimpang yang berkaitan dengan agama dan dunia, laki-laki dan
perempuan, keutamaan dan kerendahan, kebebasan dan kejumudan, kemajuan dan ke-
munduran, halal dan haram, dan lain-lain. Berbagai pemahaman yang membuat rancu batas-
batas pemisah antara kebebasan berpikir dengan kekufuran, kebebasan hak dengan kefasikan,
ilmiah dan sekuler, antara agama dan negara.
Itulah berbagai pemahaman sesat yang menganggap iman kepada yang gaib sebagai
keterbelakangan, berpegang teguh pada syariat Allah sebagai sikap ekstrem, amar makruf dan
nahi mungkar dianggap ikut campur dalam urusan orang lain, percampuran laki-laki dan
perempuan tanpa batas dianggap sebagai wujud kebebasan, kembalinya perempuan Muslimah
untuk mengenakan pakaian yang menutup aurat dianggap sebagai kemunduran, memanfaatkan
khazanah Islam dianggap fanatik, menjadikan ulama sebagai panutan dianggap kuno, sementara
para "dai" (missionaris) Barat dianggap sebagai cendekiawan yang menerangi peradaban umat.
Oleh karena itu, para dai, ulama, dan pemikir Islam wajib mendahulukan pemikiran-
pemikiran Islam yang sahih dan orisinil guna menggusur dan menggeser pemikiran dan
pemahaman Barat yang sempat merasuk, baik yang lama maupun yang bam, yang keduanya
sama saja dalam hal menggambarkan Islam dengan penggambaran yang tidak sesuai aslinya.
Semua pemikiran itu beracun, merusak, dan sudah basi. Atau—sebagaimana dikatakan oleh
Ustadz Malik bin Nabi—sebagai pemikiran yang mati dan mematikan.
Dari sisi lain, jika kita lihat permasalahan ini dalam kerangka keadilan—agar terhindar dari
ekstremitas—harus mengambil pemahaman pertengahan. Kita menolak segala bentuk sikap
berlebihan dan pengabaian, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sekuler dan
gerakan pembaratan.
Dalam kitab Al-Islam wa Al-'Ilmaniyyah telah disebutkan delapan belas pemahaman pokok
tentang Islam. Dengannya saya ingin membatasi gambaran Islam yang saya dakwahkan, sehingga
tidak ada yang mengira bahwa saya berdakwah kepada Islam yang sulit, tidak jelas, atau khayalan
dan bisa diinterpretasikan oleh siapa pun sesuai tingkat pemahamannya.
Di sini saya kemukakan sekumpulan pemikiran Islam yang cemerlang, sederhana, dan lurus,
yang dibuat oleh Ustadz Ahmad Kamal Abu Majd. Saya sependapat dengan pemikiran beliau
secara umum, meski saya juga berbeda dalam sebagian uraiannya.
Kitab ini sendiri mengemukakan gambaran tentang masyarakat Islam yang dicita-citakan
dalam kerangka pemahaman aliran tengah (madrasah wusthal, yang memadukan antara akal
dan wahyu, antara agama dan dunia, dan mengompromikan antara kekuatan syariat dengan
tuntutan zaman. Ia menyeimbangkan antara hal-hal yang konstan (tsawabit) dan yang mengenal
perubahan, memadukan antara salaf dan tajdid, serta meyakini keterbukaan tanpa harus larut
dan toleran dengan kebatilan.
PASAL 4
SELERA DAN PERASAAN

Selain memiliki kekhasan dalam pemikiran dan pemahamannya, masyarakat Islam juga
memiliki kekhasan dalam kesatuan perasaan dan kasih sayang.
Ada masyarakat yang senantiasa diliputi perasaan dengki atau sentimen rasial. Ada pula
masyarakat yang diliputi fanatisme kebangsaan dan ada juga yang senantiasa diliputi rasa cinta
tanah air yang membabi buta.
Setiap masyarakat selalu berbeda-beda dalam menyatakan sikap mendukung atau
memusuhi, mencintai atau membenci, perasaan marah atau senang.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memberikan loyalitas sepenuhnya kepada Islam
dan kaum Muslimin. Sebagaimana mereka telah memberikan permusuhan kepada musuh-
musuh Islam dan orang-orang yang memeranginya. Hal itu semata-mata tegak di atas prinsip
loyalitas (wala') kepada Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa mengambil Allah sebagai walinya,
berarti dia telah menjadikan musuh Allah sebagai musuhnya.
Masyarakat Islam memiliki keistimewaan dalam hidupnya, yaitu selalu diliputi persaudaraan
yang kuat dan perasaan cinta yang dalam sesama mereka, meskipun tempat tinggalnya
berjauhan, tanah airnya berpencaran, jenis dan warna kulitnya bermacam-macam, atau posisi
dan status sosialnya berbeda-beda.
Sesungguhnya Allah Swt. telah memberikan kemuliaan kepada umat Islam dengan nikmat
persaudaraan, sebagaimana Dia telah memberi karunia keimanan kepada mereka. Allah Swt.
berfirman,
...Dialah (Allah) yang memperkuatmu (Muhammad) dengan pertolongan-Nya dan dengan
para mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Jikalau
kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat
mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.
Sesungguhnya Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (Al-Anfal: 62-63).

Sesungguhnya tiada peluang (dalam masyarakat Islam) bagi tumbuhnya perasaan benci dan
pertikaian sosial. Tiada tempat bagi berkembangnya perasaan sombong dan sentimen antarjenis
dan warna, sikap fanatis terhadap asal daerah atau suku di kalangan umat Islam. Tanah air
seorang Muslim adalah darul Islam dan keluarga seorang Muslim adalah keluarga Islam.
Masjid Nabawi di Madinah, di bawah atapnya telah terhimpun beragam suku bangsa, warna
kulit, dan tingkatan sosial manusia, tetapi mereka tidak memiliki perasaan apa pun kecuali
perasaan bersaudara secara menyeluruh. Mereka tidak merasakan adanya perbedaan satu sama
lain. Ada yang dari Persia seperti Salman, ada yang dari Romawi seperti Shuhaib, dan ada pula
yang dari Habasyah (Etiopia) yaitu Bilal. Di antara mereka ada yang kaya, seperti Utsman bin
Affan, Abdurrahman bin Auf, dan ada yang fakir, seperti Abu Dzar Al-Ghifari dan Ammar bin Yasir.
Ada yang dari pedalaman dan ada yang dari kota, ada yang berpendidikan dan ada yang buta
huruf, ada yang berkulit putih dan ada yang berkulit hitam, ada laki-laki dan perempuan, ada
yang lemah dan ada yang kuat, ada yang budak dan yang merdeka, semuanya bersaudara di
bawah naungan Islam dan di bawah panji Al-Quran.
Sesungguhnya persaudaraan Islam itulah perekat yang mengikat antar-"batu bata" individu
Muslim dalam sebuah bangunan yang kukuh dan tidak mudah roboh. Sebagaimana dijelaskan
dalam hadits Rasulullah Saw.,
Mukmin yang satu terhadap mukmin yang lain itu bagaikan bangunan yang mengikat antara
sebagian dengan yang lainnya (HR. mutafaq alaih).
Ukhuwah islamiah bukanlah perkara sampingan dalam Islam, tetapi merupakan salah satu
prinsip dasar yang menyertai per- saksian terhadap keesaan Allah dan kerasulan Muhammad
Saw., karena ukhuwah merupakan buah dan konsekuensi iman. Allah Swt. berfirman,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara... (Al-Hujurat: 10).
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud bahwa Nabi Saw. pernah berdoa setelah shalat
dengan doa yang menarik.
Ya Allah, ya Tuhan kami, Tuhan dan Pemilik segala sesuatu. Sesungguhnya saya bersaksi
bahwa Engkau adalah Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Mu. Ya Allah, ya Tuhan kami, Tuhan
dan Pemilik segala sesuatu. Saya bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba
dan utusan-Mu. Ya Allah, ya Tuhan kami, Tuhan dan Pemilik segala sesuatu, saya bersaksi
bahwa seluruh hamba-Mu itu bersaudara.

Muhammad Rasulullah yang bersaksi dan berikrar bahwa Allah adalah Tuhan segala sesuatu
dan bahwa sesungguhnya seluruh hamba Allah itu bersaudara. Inilah persaudaraan Islam,
mereka bersaudara dengan seluruh manusia secara umum dan bersaudara dengan kaum
Muslimin secara khusus.
Nabi Saw. menjadikan persaudaraan dan cinta sebagai syarat keimanan, di mana keimanan
itu sendiri merupakan persyaratan seseorang untuk dapat masuk surga. Beliau bersabda dalam
beberapa hadits riwayat berikut ini.
Demi Dzat Yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian tidak akan masuk surga hingga
kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling mencintai. (HR. Muslim)

Belum sempurna iman salah seorang di antara kamu hingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya. (HR. mutafaq alaih)

Rasulullah Saw. juga menjelaskan hubungan seorang Muslim dengan Muslim yang lain
dengan sabdanya,
Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya, ia tidak menzaliminya, tidak menyerahkan
(kepada musuh), tidak menghinanya, dan tidak merendahkannya. Cukuplah seseorang
dikatakan buruk jika ia menghina saudaranya sesama Muslim (HR. Muslim).

Satu-satunya ikatan yang diakui Islam adalah ikatan persaudaraan antarkaum Muslimin,
tanpa menyertakan ikatan yang lainnya. Sungguh, Islam telah memerangi fanatisme dengan
segala macamnya, kebanggaan terhadap kabilah, kebangsaan, warna kulit, tanah air, tingkatan
atau golongan, atau selain itu yang pada umumnya dibanggakan oleh manusia, kecuali
kebanggaan terhadap kebenaran yang ditegaskan oleh wahyu dan tegak di atasnya langit dan
bumi.
Rasulullah Saw. bersabda,
Bukan termasuk golongan kami orang yang menyeru pada kebanggaan golongan
(ashabiyah) dan bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah,
serta bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah (HR. Abu Daud).

Rasulullah telah menggambarkan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang penuh cinta
(mawaddah) dan kasih (rahmah), sebagaimana dalam sabdanya,
Kamu melihat orang-orang yang beriman itu dalam mencintai, lemah lembut, dan saling
mengasihi (di antara mereka) seperti tubuh yang satu. Apabila ada anggota tubuh yang sakit,
maka seluruh tubuh ikut sakit, demam, dan tidak bisa tidur (HR. Muslim)

Bukanlah suatu masyarakat Islam, yang di dalamnya terdapat orang-orang yang hidup sendiri-
sendiri, tidak mau membantu atau merasakan sakitnya orang lain, dan tidak ikut merasakan
kesusahan orang lain, serta tidak bergembira dengan kegembiraan orang lain.
Bukan pula suatu masyarakat Islam, jika yang kuat menekan yang lemah, yang kaya bersikap
keras terhadap yang fakir, yang punya bersikap pelit terhadap yang tidak punya.

Tugas Masyarakat terhadap Simbol-Simbol Keislaman


Peranan masyarakat Islam terhadap simbol-simbol keislaman itu tergambar dalam beberapa
hal berikut.
Pertama, memperkuat simbol-simbol itu, meluruskan, serta menyebarkannya dengan
berbagai sarana penerangan dan pendidikan, seperti: masjid, sekolah, buku, surat kabar, radio,
televisi, teater, dan seluruh sarana yang dapat merealisasikan tujuan tersebut.
Sebagaimana Rasulullah memperkuat rasa persaudaraan di antara kaum Muslimin itu dengan
berdoa setiap selesai shalat, "Ya Allah, Tuhan kami, Rabb dan Pemilik segala sesuatu, saya
bersaksi bahwa sesungguhnya seluruh hamba-Mu itu bersaudara."
Doa ini untuk memperkuat nilai yang agung. Di antara nikmat yang dimiliki kaum Muslimin
adalah pemikiran dan perasaan yang dibawa oleh agama mereka tidak sekadar ide yang
cemerlang, tetapi juga disertai simbol-simbol ibadah dan tata cara kehidupan sehari-hari. Ketika
kita melihat shalat dalam Islam, maka kita akan mendapatkan bahwa shalat itu menegaskan
secara kontinu terhadap sesuatu yang didakwahkan Islam, berupa perkenalan, persaudaraan,
cinta kasih, dan persamaan hak. Demikian juga puasa dan haji, mendoakan yang bersin,
menjenguk yang sakit, dan sebagainya, menyangkut tata cara bermasyarakat yang ditekankan
oleh Islam.
Kedua, mewujudkan simbol-simbol keislaman dalam realita yang dapat dirasakan dan
mewujudkan suasana ukhuwah yang kondusif.
Perasaan kasih sayang dan cinta di antara kerabat harus diwujudkan dalam bentuk
silaturahmi, saling mengunjungi, dan saling menanggung beban. Hal itu tergambar pada aturan
nafkah dalam Islam, yang mewajibkan kerabat yang kaya agar berinfak kepada kerabat yang
membutuhkan, sebagaimana firman Allah Swt. berikut ini.
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya… (Al-lsra': 26)

...dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-
mewarisi) di dalam Kitabullah.... (Al-Ahzab: 6)

Sebagaimana juga aturan waris dalam firman Allah Swt.,


Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi
perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan (An-Nisa': 7).

Rasa persaudaraan dan cinta kasih antarkaum Muslimin wajib diwujudkan dalam bentuk
saling memikul beban penghidupan, saling mendukung dari segi militer, bersatu dalam politik,
dan bekerja sama dalam perekonomian. Dengan kata lain, hendaklah persaudaraan ini terwujud
dalam bentuk, seperti: zakat yang diambil dari orang-orang kaya untuk diberikan kepada fakir
miskin, jihad yang wajib bagi kaum Muslimin dengan saling menghimpun kekuatan untuk
membela setiap jengkal bumi Islam yang diinjak-injak oleh telapak kaki musuh yang kafir, atau
masalah khilafah yang wajib bagi kaum Muslimin untuk menyatukan kepemimpinan yang
terpancar dari kesatuan akidah, kesatuan fikrah, kesatuan akhlak, dan kesatuan tanah air.
Oleh karena itu, yang pertama kali dilakukan Rasulullah Saw. setelah berhijrah ke Madinah
adalah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan persaudaraan yang penuh
rasa kasih sayang. Itulah yang menjadikan mereka saling berbagi rasa dalam suasana suka
maupun duka, sehingga diriwayatkan bahwa mereka saling mewarisi dengan persaudaraan itu.
Ketika persaudaraan khusus ini telah tertunaikan, tinggallah persaudaraan umum yang ada
pada masyarakat Islam sebagai gambaran tentang sistem saling menanggung yang unik dengan
ragam dan bentuknya. Sistem kerja sama yang menyeluruh antar-individu dan jamaahnya, yaitu
kerja sama yang digambarkan Rasulullah dengan sebaik-baik ilustrasi, layaknya bangunan yang
saling memperkukuh antara bagian satu dengan yang lain.
Ketiga, hendaknya masyarakat Islam tidak memberi kesempatan kepada segala sikap yang
bertentangan dengan Islam, yang muncul dan mempengaruhi masyarakat. Bahkan akarnya harus
dicabut, sehingga tidak akan muncul lagi.
Kita melihat Rasulullah membebaskan dirinya dari fanatisme yang melunturkan ukhuwah
islamiah. Nabi memeranginya dengan terus terang dan tegas, karena khawatir jika masyarakat
Islam yang baru itu dikotori dan dirusak ikatan kesukuan ala jahiliah (yang terjadi dalam kurun
waktu cukup lama dan mengakibatkan seseorang itu marah karena anaknya, baik dalam keadaan
benar maupun keliru, zalim maupun dizalimi). Oleh karena itu, datang suatu hadits mulia yang
antipati terhadap setiap orang yang mengajak pada fanatisme, berperang karena fanatisme, atau
mati karena membela fanatisme.
Beliau Saw. bersabda,
Barangsiapa berperang di bawah bendera fanatik buta, mengajak pada fanatisme, dan
mendukung fanatisme, lalu ia terbunuh, maka matinya mati jahiliah.

Ketika ada seorang Yahudi jahat berhasil membakar kebanggaan jahiliah antara suku Aus dan
Khazraj pada suatu hari, Rasulullah pun segera memadamkan api fitnah itu dengan cahaya iman
dan mengembalikan mereka pada persaudaraan Islam.
Para ulama tafsir menyebutkan suatu riwayat dari Muhammad bin Ishaq dan lainnya, bahwa
ada seorang laki-laki Yahudi sedang berpapasan dengan kaum Aus dan Khazraj. Orang itu
merusak perjanjian dan kerukunan yang ada pada mereka. Orang itu kemudian mengutus
seseorang yang bersamanya untuk menyertai mereka dan mengingatkan mereka saat berperang
pada hari Bu'ats di masa-masa Jahiliah. Orang yang diutus itu pun melak- sanakan perintah
tersebut dan terus-menerus melakukannya, hingga memanaslah hubungan antara Aus dan
Khazraj. Mereka kemudian saling membenci, mendengki, dan saling memanggil dengan simbol
masing-masing, "Wahai Aus!", "Wahai Khazraj!" Masing-masing mempersiapkan senjata dan
saling berjanji untuk bertemu di suatu tempat. Hal itu sampai terdengar oleh Rasulullah. Akhirnya
beliau besertapara sahabat dari Muhajirin mendatangi mereka, lalu bersabda, "Wahai kaum
Muslimin, Allah! Allah! Takutlah kalian kepada Allah! Apakah kalian menyeru dengan seruan
jahiliah, sedang aku masih berada di tengah-tengah kalian? Setelah Allah menunjuki kalian
kepada Islam, memuliakan kalian dengan Islam, memutuskan perkara jahiliah dari kalian,
menyelamatkan kalian dari kekufuran dengan Islam dan menautkan hati kalian, lalu kalian mau
kembali kepada kekufuran yang dahulu pernah kalian rengkuh." Akhimya, umat menyadari
bahwa semua itu adalah godaan setan dan tipu daya musuh mereka. Akhimya, mereka pun
meletakkan senjata, menangis penuh penyesalan, dan saling berpelukan, kemudian tetap
bersama Rasulullah dalam keadaan setia dan taat.
Masyarakat Islam wajib selalu ingat akan pintu-pintu masuk setan yang ingin merusak hati
umat dan membangkitkan seruan-seruan jahiliah.
Oleh karena itu, masyarakat Islam wajib diselamatkan dari kerasnya fanatisme kebangsaan
dan nasionalisme yang menyerang kehidupan kaum Muslimin untuk menggeser ukhuwah
islamiah.
Seorang Muslim wajib mengarahkan perhatian yang lebih besar terhadap kaum (yang dekat)
dan tanah airnya (secara khusus), karena merupakan fitrah. Namun, lingkup ketaatannya secara
menyeluruh adalah kepada Islam dan umatnya.
Keempat, hendaknya masyarakat Islam menutup jendela yang berembus darinya angin
permusuhan dan perpecahan, serta berupaya memberantas berbagai faktor perusak nilai-nilai
persaudaraan Islam dan faktor peruntuh solidaritas Islam.
Oleh karenanya, Islam mengharamkan menggunjing (ghibah), mengadu domba, dan
menghina orang lain, serta mengategorikan semua itu sebagai kerusakan moral yang memutus
tali ukhuwah dan membunuh ruh mahabbah di antara manusia.
Rasulullah Saw. bersabda,
Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kamu dan yang paling dekat denganku
di Akhirat adalah yang paling baik akhlaknya; dan sesungguhnya orang yang paling aku benci
dan paling jauh dariku di Akhirat adalah orang yang paling buruk akhlaknya; mereka itulah
orang-orang yang suka membual, orang-orang yang suka bicara tidak sopan, dan orang-
orang yang bicaranya sombong (HR. Ahmad dan Thabrani).

Islam berupaya mempersempit jurang pemisah antara individu dan kelompok, yang di
dalamnya terdapat kemiskinan yang menonjol di antara kekayaan yang luas dan kepapaan yang
menyedihkan di antara kemewahan yang berlebihan. Si kaya tenggelam dalam gelimang harta,
sementara si miskin selalu merintih karena kelaparan dan kehausan.

Bukanlah Masyarakat Islam


Bukanlah disebut masyarakat Islam apabila selalu diliputi perasaan dendam, yang muncul
akibat kezaliman sosial dan perlakuan buruk sebagian orang terhadap sebagian yang lain. Cara
seperti ini tidak diakui keberadaannya dalam Islam. Dendam juga bisa dipicu oleh faktor luar yang
berupaya memecah-belah masyarakat menjadi beberapa tingkatan dan menyulut api pertikaian
antarkelas sosial. Buruh dan petani dimanja secara lahir, meski sebenarnya mereka hanya alat
yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan setan yang jahat. Adapun kelompok yang lain, seperti
para pedagang, cendekiawan, mahasiswa, dan para karyawan yang beraneka ragam adalah
kelompok borjuis yang dilaknat dan dianggap hidup dalam tingkatan kedua.
Islam tidak mengakui semua itu, karena Islam mengajarkan bahwa hasad dan permusuhan
adalah penyakit umat. Rasulullah Saw. bersabda tentang permusuhan itu,
Sesungguhnya (permusuhan) itulah yang mencukur. Bukan (mencukur) rambut, melainkan
mencukur agama (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Bukanlah disebut masyarakat Islam bila lebih mengutamakan fanatisme kebangsaan daripada
ukhuwah islamiah, sehingga seorang Muslim mengatakan, "Tanah airku sebelum agamaku," atau
seorang Muslim Arab berkata, "Kearabanku sebelum keislamanku," atau seorang Muslim India,
Persia, Nigeria, atau Somalia berkata, "Kebangsaanku sebelum akidahku."
Bahkan sebagian manusia ada yang menjadikan puisi Al-Qurawy sebagai kebanggaan mereka.
negerimu, kedepankan dia melebihi semua agama
demi itu engkau berbuka dan demi itu pula engkau berpuasa
datangkan padaku agama untuk menyatukan negeri Arab
pergilah dengan bangkai agama Ibrahim
selamat atas kekufuran yang menyatukan kami
selamat berjumpa setelah ini, meskipun di Neraka Jahanam!

Hendaknya ukhuwah islamiah berada di atas berbagai fanatisme, ikatan akidah di atas segala
ikatan, dan darul Islam berada di atas tanah air yang mana pun.
Bukanlah suatu masyarakat bila menjadikan tanah air dan kebangsaan sebagai berhala yang
disembah selain Allah, yang diagung-agungkan oleh pena, lisan, serta seluruh alat komunikasi
dan penerangan, berbagai perasaan dan cinta, serta didukung oleh rasa cinta dan loyalitas sampai
pada tingkat peribadatan secara nyata, meskipun ucapan mereka tidak menganggapnya sebagai
ibadah. Sungguh hal itu telah menjadi salah satu berhala yang muncul di berbagai negara, lalu
berpindah ke negeri-negeri Islam, yang membuat para analis dan pengamat non-Muslim bangkit
dari bumi tauhid menuju penyembahan berhala dalam bentuk baru.
Bukanlah disebut masyarakat bila mereka memusuhi kaum Muslimin dan mencintai musuh-
musuh Islam. Atau masyarakat yang menyamakan antara kaum Muslimin dengan orang-orang
musyrik dan orang-orang kafir dalam muamalah. Sikap setia terhadap Islam serta perasaan benci
terhadap musuh-musuh Islam yang membuat tipu daya terhadap pengikutnya dan yang meng-
hambat dari jalannya, itulah yang mengarahkan masyarakat Islam sehingga dapat memperkukuh
tali iman, cinta karena Allah, benci karena Allah, berpihak karena Allah, dan memusuhi karena
Allah.
Alquranul Karim berulang kali menyeru.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang- orang beriman. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata
bagi Allah (untuk menyiksamu). (An-Nisa': 144)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu
menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita
Muhammad), karena rasa kasih sayang.... (Al-Mumtahanah: 1)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai
Allah... (Al-Mumtahanah: 13)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin-(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk pada orang-orang yang zalim. (Al-Ma'idah: 51)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu
sebagai pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan;
dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpin, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim. (At-Taubah: 23)
Al-Quran menegaskan bahwa orang-orang yang menjadikan musuh-musuh Allah sebagai
pendukung dan kekasih mereka termasuk golongan mereka, zalim, dan tersesat dari jalan yang
benar. Allah berkuasa penuh atas mereka dengan kekuasaan yang nyata. Allah mengidentifikasi
mereka yang demikian itu dengan sifat orang munafik.
Allah Swt. berfirman,
Kabarkan kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih,
(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang
kafir itu? Sesungguhnya semua kekuatan adalah milik Allah (An-Nisa’: 138-139).

Allah Swt. telah menafikan keimanan mereka, sebagaimana diterangkan dalam ayat berikut.
Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekalipun orang-
orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka... (Al-
Mujadilah: 22)

Dalam ayat yang ketiga, Allah menjadikan mereka tidak mendapatkan sesuatu pun dari Allah.
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali-(mu). (Ali 'Imran: 28)

Manusia tidak dilihat dari asal daerah, warna, unsur, atau tingkatannya, melainkan dari sisi
akidahnya (menurut kaum Muslimin) dan dari sisi ikatan kemanusiaannya (menurut orang-orang
non-Muslim).
Dengan demikian, loyalitas itu hanyalah milik Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman. Adapun kebajikan dan keadilan itu untuk seluruh manusia, selama mereka tidak
memerangi atau memusuhi kaum Muslimin.
Allah Swt. berfirman,
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (Al-Mumtahanah: 8).

Sikap kasih sayang itu diberikan kepada seluruh makhluk Allah, tidak terkecuali binatang.
Namun demikian, kita tidak boleh mencampuradukkan antara loyalitas dengan berbuat baik dan
merasa kasihan. Oleh karenanya, pengkhususan loyalitas bagi kaum Muslimin tidak lantas
meninggalkan berbuat baik, bersikap adil, dan lemah lembut terhadap orang lain.
Bernard Louis berkata,
"Asas pengelompokan manusia menurut kaum Muslimin, yang membedakan antara manusia
dengan yang lain atau saudara dengan orang lain adalah keimanan dan bergabung atau
tidaknya seseorang dengan umat Islam. Iman menurut kaum Muslimin adalah agama dan
kekuatan sosial dalam umat, yang merupakan satu-satunya standar identitas umat atau
pusat loyalitas. Dalam konsepsi masyarakat Islam internasional, sesungguhnya setiap Muslim
adalah saudara bagi Muslim lainnya; apa pun bahasa, asal usul, atau keturunannya.
Sebaliknya, walaupun satu tanah air, satu bahasa, dan satu keturunan, jika tidak seakidah
maka mereka bukan saudara. Seorang Muslim sampai menolak keterikatan dengan nenek
moyangnya—di masa Jahiliah—karena merasa tidak ada ikatan akidah antara dirinya
dengan mereka. Dengan demikian, ketika kaum Muslimin kurang memperhatikan ilmu
sejarah kunoatau peninggalan-peninggalan masa lalu, bukan berarti mereka bodoh atau
tidak mampu memahami pentingnya ilmu ini. Tidak! Bahkan sebaliknya, mereka adalah kaum
yang memiliki peradaban tinggi, perasaan yang kuat, dan peran yang luar biasa besar dalam
sejarah itu. Sejarah kaum Muslimin itu dimulai sejak munculnya Islam dan orang- orang salaf
yangsaleh. Mereka itulah pemula kaum Muslimin di sisi kiblat umat Islam, di jantung Jazirah
Arab. Sementara orang-orang Mesir terdahulu yang musyrik, orang-orang Babilonia, dan
umat masa lalu selain mereka adalah orang asing dan dianggap jauh dari mereka, meskipun
mempunyai hubungan darah.”

PASAL 5
AKHLAK DAN KEUTAMAANNYA

Selain memiliki keistimewaan di bidang akidah, ibadah, dan pola pikir, masyarakat Islam juga
memiliki keistimewaan dalam masalah akhlak dan perilaku.
Akhlak dan perilaku utama merupakan bagian penting dari eksistensi masyarakat Islam.
Mereka adalah masyarakat yang mengenal persamaan dan keadilan, kebajikan dan kasih sayang,
kejujuran dan kepercayaan, sabar dan kesetiaan, rasa malu dan harga diri, kewibawaan dan
kerendahatian, kedermawanan dan keberanian, perjuangan dan pengorbanan, kebersihan dan
keindahan, kesederhanaan dan keseimbangan, kepemaafan dan kepenyantunan, serta saling
menasihati dan bekerja sama.
Mereka melakukan amar makruf dan nahi mungkar, segala bentuk kebaikan dan kemuliaan,
keutamaan akhlak, keikhlasan niat karena Allah, bertobat dan bertawakal kepada-Nya, serta
takut menghadapi ancaman-Nya dan mengharap rahmat-Nya. Mereka memuliakan syiar-syiar-
Nya, senang untuk meraih ridha-Nya, menghindari murka-Nya, dan berbagai nilai rabbani lain
yang telah banyak dilupakan manusia.
Akhlak di sini maksudnya bukan hanya menyangkut hubungan antarmanusia, melainkan juga
mencakup hubungan manusia dengan Penciptanya.
Masyarakat Islam mengharamkan segala bentuk kerusakan dan moralitas yang buruk. Dalam
beberapa masalah mereka bersikap keras, sampai memasukkannya dalam kategori dosa-dosa
besar, seperti pengharaman khamr dan judi. Keduanya dianggap sebagai perbuatan kotor dari
amal-amal setan. Selain itu, juga mengharamkan zina dan setiap perbuatan yang mendekatkan
atau membantu terlaksananya perzinaan, misalnya kelainan seksual, ikhtilat, dan sebagainya.
Masyarakat Islam juga mengharamkan praktik riba dan memakan harta orang lain dengan
jalan batil, terutama jika orang itu lemah, seperti anak-anak yatim. Selain itu, juga mengharam-
kan sikap durhaka kepada kedua orang tua, memutuskan hubungan kerabat, mengganggu
tetangga, menyakiti orang lain (baik dengan lisan maupun tangan), dan melakukan sebagian di
antara tanda-tanda kemunafikan, seperti dusta, berkhianat, tidak menepati janji, serta
penyelewengan yang lain.
Islam datang untuk mengingkari setiap kerusakan yang menyimpang dari fitrah yang bersih
dan akal yang sehat. Islam juga membenarkan, menganjurkan, dan memerintahkan untuk
berakhlak mulia yang sesuai dengan fitrah yang sehat dan akal yang waras, yang akan memberi
kebahagiaan bagi individu dan masyarakat.
Siapa pun yang membaca Al-Quran dan hadits-hadits Rasul Saw., pasti akan melihat bahwa
sesungguhnya akhlak dan keutamaan itu merupakan salah satu pilar utama masyarakat Islam dan
bukan suatu hai sampingan dalam kehidupan. Al-Quran menyebut akhlak termasuk sifat-sifat
utama orang yang beriman dan bertakwa, di mana tiada yang masuk surga selain mereka, tiada
yang bisa selamat dari api neraka selain mereka, dan tiada yang dapat meraih kebahagiaan dunia-
akhirat selain mereka. Akhlak merupakan bagian dari keimanan. Belumlah sempurna keimanan
seseorang kecuali dengan menghiasi keimanan tersebut dengan akhlak. Barangsiapa berpaling
dari akhlak Islam, maka ia telah menjauhi sifat-sifat orang yang beriman dan berhadapan dengan
murka Allah serta laknat-Nya.
Berikut ini sebagian ayat-ayat Al-Quran mengenai akhlak islamiah yang sesuai dengan urutan
dalam mushaf.
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu satu kebajikan, tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, nabi-nabi-Nya, dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)
dan orang- orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, menegakkan
shalat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka
itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
(Al-Baqarah: 177)

Ayat yang mulia ini mengumpulkan antara akidah (iman kepada Allah, hari Akhir, malaikat,
kitab-kitab, dan nabi-nabi), ibadah (shalat dan zakat), dan akhlak, yaitu memberikan harta yang
dicintai kepada kerabatnya dan orang lain yang membutuhkan. Kemudian menjadikan
keterkaitan nan rapi tersebut sebagai hakikat kebajikan, beragama, dan hakikat ketakwaan,
sebagaimana hal itu dikehendaki Allah Swt
...sesungguhnya hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran,
(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-
orang yang menunaikan apa-apa yang Allah perintahkan supaya ditunaikan, dan mereka
takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar
karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki
yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan, serta menolak
kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang
baik). (Ar-Ra'd: 19-22)

Gambaran akhlak dalam ayat ini memiliki keistimewaan, yakni dengan mengumpulkan antara
akhlak rabbaniyyah (misal-nya: takut kepada Allah dan hari pembalasan) dengan akhlak
insaniyyah (misalnya: menepati janji, sabar, silaturahim, berinfak, dan menolak kejahatan
dengan kebaikan). Orang yang merenungkan ayat tersebut akan mendapatkan kesimpulan
bahwa pada dasarnya akhlak itu seluruhnya bersifat rabbaniah, karena pada hakikatnya
kesetiaan itu adalah setia terhadap janji Allah, sabar semata-mata untuk meraup ridha Allah, dan
berinfak juga membelanjakan rezeki Allah, sehingga seluruhnya menjadi akhlak rabbaniah yang
sampai kepada Allah.
Apalagi disertai dengan menegakkan shalat, karena shalat itu seluruhnya termasuk ibadah
yang mendekatkan diri kepada Allah dan menerima sesuatu yang ada di sisi Allah.
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyuk
dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang
tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-
amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka
itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal
di dalamnya. (Al-Mu'minun: 1-11)

Ayat di atas menyatakan bahwa khusyuk dalam shalat, menunaikan zakat, dan memelihara
shalat itu termasuk dalam lingkup ibadah, di samping berpaling dari hal-hal yang tidak berguna,
memelihara kemaluan dari yang haram, serta menjaga amanat dan janji.
Dan hamba-hamba (Allah) Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di
atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata yang baik. Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan
bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami,
jauhkan azab jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.
Sesungguhnya jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman." Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka dengan tidak berlebihan, tidak
(pula) kikir, dan (pembelanjaan itu) di antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak
menyembah Tuhan yang lain selain Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina. Barangsiapa
melakukan hal itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa-(nya), yakni akan
dilipatgandakan azab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam
keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh;
kejahatan mereka diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka
sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya. Dan orang-
orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-
orang) yang mengerjakan perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga
kehormatan dirinya. Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat
Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.
Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah dari istri-istri kami dan dari
keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang
yang bertakwa." Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi
(dalam surga) karena kesabaran mereka, mereka disambut dengan penghormatan dan
ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal selama-lamanya. Surga itu sebaik-baik tempat
menetap dan tempat kediaman. (Al-Furqan: 63-76)

Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan
yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya
kepada Rabb-nya mereka bertawakal. Dan (bagi) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan
sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila
mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membeladiri. Balasan suatu kejahatan adalah
kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya
atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (Asy-
Syura: 36-40)
Ada dua hal dalam ayat di atas yang sangat penting diperhatikan oleh masyarakat Islam.
Pertama, menetapkan prinsip musyawarah (syura) sebagai unsur terpenting bagi
terbentuknya kepribadian masyarakat Islam. Oleh karena itu, syura diletakkan di antara
mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. Dalam ayat ini diungkapkan dengan berinfak dengan
sebagian dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Telah jelas bagi seseorang tentang kedudukan
shalat dan zakat dalam Islam, maka sesuatu yang diletakkan di antara keduanya bukanlah hai
yang remeh dalam agama Allah.
Kedua, terus berjuang ketika mereka ditimpa kejahatan. Bukanlah sikap seorang Muslim jika
menyerah pada kezaliman dan permusuhan. Akan tetapi, kita harus membalas kejahatan
tersebut dengan perbuatan serupa agar kejahatan tersebut tidak berlanjut dan tidak berani lagi.
Jika kita memberi maaf, maka pahalanya ada di sisi Allah.
Dari ayat-ayat pilihan di atas, jelaslah tentang kedudukan akhlak Islam dalam pembentukan
masyarakat Islam. Ini baru sebagian kecil dari ayat-ayat yang terdapat dalam Alquranul Karim
yang membahas tentang akhlak dan keutamaan. Hal ini dikarenakan Al-Quran—baik yang
diturunkan di Makkah maupun di Madinah—penuh dengan ayat-ayat yang mengemukakan
kepada kita berbagai contoh akhlak mulia, yang memadukan antara idealisme dan realisme,
antara spiritual dan material, atau antara agama dengan dunia secara seimbang dan serasi, di
mana belum pernah dikenal yang semacam itu dalam aturan mana pun (selain Islam).
Hal itu dapat dirujuk pada surat Al-An'am, sehingga bisa membaca sepuluh wasiat pada
bagian akhir ayat-ayat berikut.
Katakanlah, "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua
orang ibu-bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.
Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yangtersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar." Demikian itulah yang diperintahkan Tuhan kepadamu supaya kamu
memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar
kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendati dia
adalah kerabatmu, dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat. Dan (yang Kami perintah- kan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah dia; dan janganlah kau mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu
agar kamu bertakwa. (Al-An'am: 151-153)

Selain itu, juga dapat merujuk surat Luqman dan membaca tentang wasiat Luqman kepada
anaknya, atau merujuk pada surat Al-Insan tentang sifat-sifat orang baik.
Mereka menunaikan nadar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan
orang-orang yang ditawan. (Al-Insan: 7-8)

Pembaca bisa kembali pada akhir surat Al-Baqarah dan membaca ayat-ayat Allah mengenai
diharamkannya riba dan diharamkannya nadar seseorang untuk makan riba. Allah dan rasul-Nya
akan memerangi mereka jika mereka tidak mau bertobat dan mencukupkan diri dengan
mengambil modal mereka. Atau kembali pada surat An-Nisa tentang cara memberi wasiat yang
baik kepada kaum perempuan.
Hai orang-orang yang beriman, tidaklah halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan
jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka... (An-Nisa': 19)

Pembaca bisa juga membaca surat yang sama yaitu tentang hak-hak kerabat keluarga.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan
berbuat baiklah kepada kedua orang ibu bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya...
(An-Nisa': 36)

Pembaca bisa juga membaca surat Al-Ma’idah.


Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Al-Ma'idah:
90)

Kata "jauhilah" sebagaimana terdapat pada ayat tersebut tidak dipergunakan dalam Al-
Quran, kecuali bersamanya kesyirikan dan dosa-dosa besar.
Pembicaraan akan panjang jika kita bahas secara detail masalah akhlak dalam ayat-ayat Al-
Quran yang mulia, karena sebagian besar perintah dan larangan Al-Quran berkaitan erat dengan
sisi terpenting dari kehidupan manusia, yaitu sisi moral.
Barangkali ada sebagian orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam memberi nama
masalah tersebut dengan akhlak, tetapi ia mengistilahkannya dengan perintah dan larangan. Ini
hanya perbedaan istilah dan penamaan, bukan hal yang esensial, baik secara penetapan maupun
pengingkaran. Para ulama salaf mengatakan, "Tidak ada masalah dalam istilah dan tidak
berbahaya perselisihan nama selama yang diberi nama itu telah jelas."
Kita memilih istilah untuk masalah-masalah yang dibawa Al-Quran dan Sunah tersebut
dengan akhlak, karena definisi akhlak memang sangat sesuai dengannya.

Tugas Masyarakat Islam terhadap Akhlak


Tugas masyarakat Islam terhadap akhlak adalah sebagaimana tugasnya terhadap akidah,
pemikiran, dan ibadah, yakni membimbing (taujih), mengukuhkan (tatsbit), dan memelihara
(himayah).
Pembimbingan itu bisa dilakukan dengan penyebaran pamflet, propaganda di berbagai media
massa, pembekalan, dan tablig untuk membimbing manusia ke jalan yang lurus.
Pengukuhan dilakukan dengan pendidikan yang panjang waktunya, juga dengan tarbiah yang
mengakar dan mendalam dalam rumah tangga, sekolah, dan kampus.
Sedangkan pemeliharaan bisa dilakukan dengan dua hai berikut.
Pertama, dengan pengendalian opini umum secara aktif, selalu beramar makruf dan nahi
mungkar, serta membenci kerusakan dan menolak penyimpangan.
Kedua, dengan hukum atau undang-undang yang melarang kerusakan (sebelum terjadinya)
dan pemberian sanksi (setelah terjadinya). Hal itu untuk menakut-nakuti orang yang hendak
menyeleweng, mendidik orang yang merusak, dan membersihkan jamaah dari polusi moral.
Dengan tiga hai ini (pembimbingan, pengukuhan, dan pemeliharaan), akhlak Islam akan
tumbuh, berkembang, dan berjalan dalam kehidupan sosial seperti berjalannya air yang
mengandung zat makanan dalam batang pohon sampai ke dedaunan.
Bukanlah masyarakat Islam bila di sana akhlak orang-orang mukminnya tersembunyi,
sementara akhlak orang-orang yang rusak tampil di permukaan.
Bukanlah masyarakat Islam bila orang-orang kuat dengan kekerasannya mendominasi yang
lemah dan yang lemah semata-mata tunduk kepada yang kuat.
Bukanlah disebut masyarakat Islam bila menyembunyikan ketakwaan dan rasa takutnya
kepada Allah, sehingga kita melihat manusia melakukan sesuatu seakan mereka adalah tuhan
atas dirinya sendiri, dan mereka terus berbuat demikian seolah tiada hisab yang menunggu.
Mereka terus dalam keadaan lalai, berpaling, dan merasa cukup dengan apa yang sudah
diraihnya di dunia.
Bukanlah masyarakat Islam bila selalu diliputi sikap bermalas-malasan dan menyerah pada
keadaan, bersikap lemah, berpikir negatif dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup, dan
melemparkan kesalahan kepada ketentuan takdir.
Bukanlah masyarakat Islam, bila di dalamnya orang-orang saleh direndahkan, tetapi justru
memuliakan orang-orang fasik, mendahulukan orang-orang yang berbuat, dosa dan
mengakhirkan orang yang bertakwa.
Bukanlah masyarakat Islam bila orang yang benar dizalimi, namun justru mendukung para
ahli kebatilan. Mereka mengatakan kepada yang dipukul, "Diamlah kamu, jangan berteriak!"
Bukan mengatakan kepada yang memukul, "Tahanlah tanganmu!"
Bukanlah masyarakat Islam bila merusak segala peraturan, menuruti setiap hawa nafsu, dan
menyelesaikan segala sesuatu dengan suap-menyuap (risywah).
Bukanlah suatu masyarakat Islam bila para orang tua tidak dimuliakan, orang mudanya tidak
dikasihi, dan orang yang punya keutamaan tidak dihargai.
Bukanlah masyarakat Islam bila akhlaknya luntur dan luluh, yang laki-lakinya menyerupai
perempuan, dan perempuannya menyerupai laki-laki.
Bukanlah masyarakat Islam bila di dalamnya tersebar perbuatan keji (fahisyah), kaum laki-
lakinya tidak memiliki kecemburuan, dan kaum perempuannya kehilangan rasa malu.
Bukanlah masyarakat Islam bila orientasi amalnya adalah riya, munafik, atau untuk mencari
pujian dan popularitas. Hampir tiada lagi pejuang dari kalangan orang-orang yang ikhlas dan baik,
yang bertakwa dan tersembunyi; yaitu orang-orang yang apabila hadir maka tidak dikenal dan
apabila pergi maka tidak ada yang kehilangan.
Bukanlah masyarakat Islam bila di dalamnya diwarnai oleh akhlak orang-orang munafik;
apabila berbicara maka ia dusta, apabila berjanji maka tidak menepati, apabila dipercaya maka
berkhianat, dan apabila bertengkar maka ia curang.
Bukanlah masyarakat Islam bila di dalamnya para bapak menelantarkan anak-anaknya,
sehingga anak menjadi durhaka terhadap orang tua, hubungan sesama saudara menjadi kering,
saling memutuskan silaturahim, para tetangga saling bertengkar, ghibah membudaya, mengadu
domba, perusakan hubungan baik merajalela, dan sikap egois menjadi identitas anggota
masyarakat.
Bukanlah suatu masyarakat Islam bila di dalamnya tidak diatur oleh perilaku utama dan nilai-
nilai moralitas yang luhur. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang senantiasa berusaha komit
dan terikat dengan ketentuan tersebut, meskipun hal itu sulit dan penuh pengorbanan. Tidak
mengherankan, karena misi diutusnya Rasulullah adalah untuk menyempurnakan akhlak
manusia.
Nabi Saw. bersabda,
Sesungguhnya aku diutus tiada lain kecuali untuk menyempurnakan akhlak (HR. Bukhari,
Hakim, dan Baihaqi).
Dalam masyarakat Islam, antara ilmu dan akhlak, seni dan akhlak, ekonomi dan akhlak, politik
dan akhlak, bahkan antara perang dan akhlak tidak dapat dipisahkan. Hal ini dikarenakan
akhlak merupakan unsur yang mewarnai setiap persoalan hidup dan sikap seseorang, mulai
dari yang kecil sampai urusan yang besar, baik yang berdimensi individu maupun sosial.

PASAL 6
ADAB DAN TRADISI

Selain memiliki ciri khas dalam akidah dan ibadah, pemikiran dan perasaan, akhlak dan
keutamaan, masyarakat Islam juga memiliki kekhasan dalam tata kehidupan dan tradisi yang
diwarnai oleh akidah, aspek-aspek yang mengikutinya, dan yang bersumber darinya.
Masyarakat Islam memiliki tatanan hidup tersendiri dalam hal makan dan minum, berdandan
dan berpakaian, tidur dan bangun, bepergian dan bermukim, bersahabat dan berkeluarga,
bekerja dan beristirahat, berteman dan bersahabat, pernikahan dan perceraian, hubungan
antara laki-laki dan perempuan, hubungan antara anak dan orang tua, hubungan antara
seseorang dengan kerabatnya, antara tetangga dengan tetangga yang lain, antara yang tua
dengan yang muda, antara yang kaya dengan yang miskin, antara penjual dan pembeli, antara
pemimpin dengan yang dipimpin, antara buruh dengan majikan, dan sebagainya.

Gambaran Tradisi Masyarakat Islam


Tradisi, tata kehidupan, dan kebiasaan masyarakat Islam ditetapkan oleh Islam untuk
berkhidmah kepada akidah dan ibadahnya, pemikiran dan simbol-simbolnya, kemudian akhlak
dan perilaku utamanya.
Di antara tata kehidupan masyarakat Islam adalah tidur di awal waktu dan bangun di awal
waktu juga, sehingga orang-orangnya menikmati tidur dengan tenang dan nyenyak di malam
hari. Hal ini dikarenakan Allah menjadikan malam sebagai pakaian untuk memulihkan kesehatan
dan kekuatan mereka, yang tidak bisa diperoleh dengan begadang semalaman. Setelah itu,
manusia bisa merasakan nikmatnya bangun pagi yang penuh berkah dan menghirup udara pagi
yang bersih. Perubahan yang indah dan terasa memiliki nilai khusus ini sangat terkait dengan
ibadah shalat Fajar (Subuh). Mereka bangun di waktu fajar dan melaksanakan shalat sebelum
matahari terbit.
Jelaslah bahwa sesungguhnya tata cara kehidupan masyarakat Islam itu tidak terpisah dari
faktor-faktor yang lain.
Sisi lain dari tata cara kehidupan masyarakat Islam adalah tidak diperbolehkannya seorang
laki-laki menyendiri dengan perempuan lain tanpa ada suaminya atau muhrimnya. Sesungguhnya
perempuan Muslimah itu wajib menutup aurat dan memelihara kehormatannya. Tidak boleh
baginya menampakkan perhiasan, kecuali yang tampak dari padanya, seperti wajah dan kedua
telapak tangan. Diharamkan pula baginya berdandan seperti dandanan jahiliah. Mereka dilarang
menampakkan kedua lengannya, betisnya, lehernya, rambutnya, atau yang lain, sebagaimana
dilakukan oleh perempuan modern yang mengekor peradaban Barat yang jahil.
Tata cara berpakaian yang islami ini bukan sekadar formalitas tanpa makna, tetapi
berdasarkan pertimbangan terkait dengan kondisi masing-masing (laki-laki dan perempuan).
Semua ini guna menjaga keluhuran akhlak dalam masyarakat, nilai pemeliharaan diri ('iffah) dan
rasa malu, yang merupakan keutamaan manusia yang tinggi nilainya. Islam menganggap zina
sebagai perbuatan keji dan bentuk tindak kriminal yang sangat berbahaya bagi pribadi pelaku,
keluarga, dan masyarakat pada umumnya apabila sampai merajalela. Akibat yang ditimbulkannya
adalah manusia dikendalikan oleh syahwat, rusaknya moralitas pemuda, menyebarnya
pengkhianatan dan perselingkuhan suami-istri, tersebarnya penyakit kelamin, banyak anak
temuan dan anak-anak "haram", bercampuraduknya keturunan, dan terlepasnya ikatan-ikatan
keluarga.
Benarlah firman Allah Swt.,
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji dan suatu jalan yang buruk (Al-lsra': 32).

Apabila zina merupakan perbuatan keji dan jalan yang buruk, maka segala jalan yang menuju
ke arahnya harus ditutup. Islam datang memberi upaya preventif dengan melarang dandanan
yang dapat merangsang perhatian lawan jenis guna mencegah terjadinya fitnah, baik yang lahir
maupun yang batin.
Allah Swt. berfirman,
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan
(menundukkan) pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
Katakanlah kepada perempuan yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampak- kan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain jilbab ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau
ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami
mereka, atau saudara laki-laki mereka"... (An-Nur: 30-31).

Tata cara kehidupan masyarakat Islam lainnya adalah adanya ikatan yang abadi dan suci
antara orang tua dengan anak. Ikatan itu tidak terputus dengan sampainya anak pada usia balig,
dengan kemandiriannya di bidang ekonomi, atau dengan pernikahannya. Tidak sebagaimana
yang terjadi di kalangan orang-orang Barat. Apabila anak-anak mereka telah dewasa dan telah
menikah, seolah-olah menjadi asing dari kedua orang tuanya. Hampir-hampir mereka tidak lagi
saling mengenal, kecuali dalam acara-acara tertentu, jika sang anak menyapanya. Bahkan Islam
telah memperluas wilayah keluarga hingga hubungan kerabat dari pokok (ushul) sampai cabang
(furu') dan ashabah, serta setiap yang termasuk muhrim dari laki-laki dan perempuan. Oleh
karenanya, kakek, nenek, cucu, paman, bibi, dan anak- anak mereka adalah sanak famili yang
wajib disambung dan kerabat yang wajib diperhatikan, serta memiliki hak-hak yang wajib
dipenuhi. Caranya adalah dengan berziarah, kasih sayang, dan berbuat baik sampai pada
kewajiban nafkah dan memelihara hubungan dengan baik.
Allah Swt. berfirman dalam beberapa ayat berikut ini.
...dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu. (An-Nisa': 1)

...orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya berhak terhadap


sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. (Al-Anfal: 75)

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan
orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu
secara boros. (Al-lsra': 26)
Di antara tata cara kehidupan masyarakat Islam dan kebiasaannya adalah tidak makan
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang dikorbankan kepada selain Allah. Mereka juga
tidak minum khamr dan minuman-minuman keras dari jenis yang lain serta tidak menyuguhkan
sedikit pun dari minuman itu pada jamuan-jamuannya. Mereka makan dan minum dengan
tangan kanan, memulai makan dengan membaca basmalah, mengakhirinya dengan hamdalah,
serta tidak makan atau minum dengan bejana dari emas atau perak.
Termasuk juga dalam adab tata cara kehidupan masyarakat Islam adalah menyebarkan
ucapan salam. Ucapan itu merupakan bentuk penghormatan kaum Muslimin terhadap sesama
mereka. Mengucapkannya adalah sunah, tetapi menjawabnya adalah fardhu kifayah, dan Allah
telah mencukupkan kaum Muslimin dengan penghormatan itu. Tidak seperti penghormatan
jahiliah dengan cara sujud, membungkuk, atau perkataan "selamat pagi" dan "selamat sore".
Rasulullah telah menjelaskan kaidah-kaidah penghormatan salam ini, sehingga manusia tidak
saling bermalas- an untuk memulainya ketika mereka bertemu, yakni yang muda menyalami yang
tua, yang sedikit menyalami yang banyak, dan yang lewat menyalami yang duduk.
Sebagaimana firman Allah Swt. berikut ini.
Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu
dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan balasan yang serupa) ... (An-Nisa': 86)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik
bagimu, agar kamu selalu ingat. Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka
janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu,
"Kembali sajalah!", maka hendaklah kamu kembali, itu lebih suci bagimu dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (An-Nur: 27-28)

Di antara adab masyarakat Islam yang lain adalah berbuat baik kepada tetangga, memuliakan
tamu, mendoakan orang bersin yang membaca hamdalah, menjenguk orang sakit, mengiring
jenazah, menghibur dan menolong orang yang terkena musibah, dan lain-lain di antara akhlak
islami yang kadar hukumnya berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain; ada yang wajib,
sunah, dan ada pula yang mandub.

Pengaruh Tata Cara Hidup Islami


Sesungguhnya tatanan hidup yang islami itu dapat menjadikan masyarakat memiliki sejumlah
keistimewaan.
1. Memiliki ciri khas (tamayyuz)
Maksudnya adalah tatanan hidup dan kebiasaan itu bisa menjadikan setiap anggota
masyarakat sebagai pribadi yang memiliki identitas yang spesifik, yakni identitas islami. Ia
memiliki pendirian yang jelas dan selalu menjaga diri, agar tidak larut oleh nilai-nilai dari luar
hingga hilang kepribadiannya. Apalagi sampai mengadopsi seluruh tradisinya, tanpa dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang bermanfaat dan yang tidak.
Kondisi inilah yang banyak terjadi di sebagain kalangan masyarakat Islam saat sekarang. Setelah
terlepas dari identitasnya, mereka akan mengikuti budaya dan tatanan hidup masyarakat Barat
secara keseluruhan tanpa menyaring atau menyeleksinya.
Hal ini pernah diperingatkan oleh Rasulullah dalam sabdanya,
Sungguh, kamu akan mengikuti umat suatu kaum sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta, sehingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kamu juga ikut
masuk ke dalamnya. Sahabat bertanya, "Apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani, wahai
Rasulullah?" Nabi bersabda, "Siapa lagi?" (mutafaq alaih)

2. Kesatuan amal (al-wihdah al-'amaliyah)


Tata cara kehidupan yang seragam akan mampu membentuk kehidupan kaum Muslimin
bersatu, meskipun tempatnya berjauhan, bahasanya berbeda-beda, dan keturunannya juga
berlainan. Mereka memiliki kesatuan amal yang realistis, di samping kesatuan problem, kesatuan
prinsip, dan pemikiran, yang berpangkal pada kesatuan akidah dan ibadahnya kepada Allah.
Oleh karenanya, di mana saja berada setiap kaum Muslimin akan memberikan ucapan salam
kepada sesamanya dengan kata-kata assalamu 'alaikum serta menyambutmu dengan
penghormatan dan jamuan. Itulah adab Islam dalam menghormati tamu, sebagaimana
diperintahkan oleh Nabi Saw. Apabila makan bersamanya, tentu mereka akan memulai membaca
basmalah, makan dengan tangan kanan, lalu mengakhirinya dengan bacaan hamdalah. Mereka
tidak akan menyuguhkan kepadamu daging babi maupun khamr.
Dalam tata kehidupan dan tradisi Islam, ke mana saja seorang Muslim pergi, akan merasakan
seolah-olah bertemu dengan keluarga dan saudara-saudaranya. Tiada perbedaan di antara
mereka, kecuali dalam hal-hal tertentu yang berkenaan dengan kondisi lingkungan.

3. Mudah dan sederhana


Tradisi Islam dan tata cara kehidupannya ditegakkan berdasarkan fitrah manusia dan
berorientasi pada kemudahan dengan menjauhi sesuatu yang memberatkan, menyulitkan, serta
sikap berlebihan.
Di antara bukti kemudahan dan kesederhanaan itu adalah dimudahkannya segala urusan,
disedikitkannya beban kewajiban, dan diringankannya kerja, waktu, dan harta, yang tanpa semua
itu masyarakat akan dirugikan.
Sesungguhnya tata kehidupan masyarakat Islam dalam berpakaian dan berhias bagi seorang
Muslimah bisa menghindarkan kerusakan yang mengancam pada setiap masa dan bisa menolak
adanya persaingan mode pakaian yang merangsang, seperti menyambung rambut, mencukur
dan mengecilkan alis mata, meratakan gigi, operasi plastik, dan lain-lain yang dilaknat oleh
Rasulullah, karena termasuk perbuatan mengubah ciptaan Allah.
Tugas Masyarakat Islam terhadap Tata Kehidupan Islami
Sesungguhnya tugas masyarakat Islam adalah memasyarakatkan adab-adab islami dan
mendidik putra-putrinya agar memiliki adab-adab tersebut. Tugas mereka yang lain adalah
mendidik murid-muridnya agar berakhlak islami di seluruh jenjang pendidikan, sejak dari kanak-
kanak hingga perguruan tinggi, serta menyerukannya kepada umat dengan segala pendekatan,
metode, dan sarana yang mampu berpengaruh luas. Misalnya melalui makalah dan artikel,
cerpen dan puisi, teater dan film, buletin dan buku, majalah dan surat kabar, kata-kata mutiara,
karikatur, dan masih banyak lagi. Hendaknya mereka bekerja sama dengan yayasan atau lembaga
yang ada, seperti: masjid, gedung teater, sekolah, stasiun televisi, penerbit, dan sebagainya. Kita
tidak boleh membangun sarana-sarana di satu sisi, kemudian menghancurkannya pada saat yang
bersamaan. Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair,
Mana bisa bangunan bisa sempurna
Bila kamu membangun, sedangkan selainmu merobohkan?
Jika ada seribu pembangun satu merobohkan, cukuplah sudah
Bagaimana jadinya jika satu membangun seribu yang merobohkan?
Sekarang ini berbagai perusakan banyak dilakukan dengan menggunakan ranjau dan mesiu,
bukan lagi dengan kapak, yang hal ini benar-benar dilakukan terhadap materi sekaligus moral
secara keseluruhan.
Masyarakat Islam berkewajiban membersihkan tata kehidupan masyarakat dan tradisinya
dari hal-hal asing yang mempengaruhi tabiatnya yang seimbang dan adil, baik dipengaruhi oleh
masa-masa jatuhnya pemikiran dan kemunduran peradaban Islam maupun akibat serangan
musuh. Yakni dengan munculnya peradaban Barat modern dan berbagai bid'ah serta
kemungkaran, baik dalam bidang mode pakaian, perkakas rumah tangga, makanan, minuman,
resepsi pernikahan, maupun berbagai acara lain, serta dalam pola hubungan lelaki perempuan,
dan sebagainya.
Oleh karena itu, masyarakat Islam sekarang ini terdiri dari dua golongan yang hidup dalam
saling bertentangan. Misalnya masalah kerumahtanggaan, di sana ada orang yang tidak
memperbolehkan pelamar anaknya untuk sekadar melihat, padahal ini bertentangan dengan
hadits-hadits sahih. Bahkan di sebagian negara, si pelamar tidak diperbolehkan melihat istrinya
setelah akad secara sah, tetapi hanya pada saat malam resepsi saja.
Hal yang kontradiksi dari kejadian di atas adalah adanya orang yang membiarkan anak gadis
yang dilamar menjalin hubungan dengan laki-laki lain, keluar dengan orang yang melamarnya
berduaan dengan bergandeng tangan, pergi ke tempat-tempat rekreasi atau gedung-gedung
bioskop di waktu siang atau malam hari, sehingga terjadilah perzinaan dan kumpul kebo.
Selain itu, ada juga suami yang memperlakukan istrinya seakan-akan perkakas yang ada di
rumah. Ia tidak mau mengajaknya bermusyawarah dalam suatu hal, tidak mengakui
keberadaannya dengan benar, dan tidak menjaga perasaannya.
Kebalikan dari keadaan itu, ada orang yang menyerahkan kepemimpinan rumah tangga
kepada istrinya, sehingga dia tidak memiliki harga diri dan kewibawaan. Bahkan istrinyalah yang
memerintah, melarang, mengatur keuangan, mengarahkan pendidikan anak-anak, bahkan yang
menentukan hubungan sang suami dengan ibu-bapak dan kerabatnya sendiri.
Dalam masalah warisan ada orang yang mengharamkan anak perempuannya mewarisi secara
sah, padahal masalah waris itu merupakan ketentuan Allah. Mereka memberikan warisan hanya
kepada anak laki-lakinya. Hal ini berarti dia telah mengubah hukum dan ketetapan Allah Swt.
Sebaliknya, ada orang yang ingin menyamakan pembagian waris antara anak laki-laki dan
perempuan, sehingga bertentangan dengan ketentuan Allah dalam kitab-Nya. Mereka lupa
bahwa sesungguhnya syariat Islam telah membedakan antara keduanya dalam pembagian,
karena Islam juga membedakan antara keduanya dalam beban dan kewajiban terhadap masalah
harta.
Contoh-contoh lain sebenarnya masih banyak, namun sementara kita cukupkan dengan yang
telah tersebut di atas.
Masyarakat Islam berkewajiban menjaga adab dan tradisi Islam dengan segenap undang-
undang dan peraturannya. Mereka tidak boieh membiarkan anak gadisnya di perantauan
bersama orang-orang yang merusak tata susila umat dan ingin menghapus identitas
kepribadiannya, serta menghancurkan tradisinya.
Apabila masyarakat ini telah cenderung kepada sikap main-main dalam tata kehidupannya
dan menyerahkan kendali kehidupan kepada orang-orang yang merusak dan berbuat semaunya,
sungguh mereka akan segera terlepas dari risalah masyarakat Islam yang benar dan lurus.
Masyarakat Islam yang benar tidak akan terlepas dari tradisi dan tatanan hidupnya yang
orisinil, kemudian menerima tradisi dan tatanan hidup asing, sehingga luntur kepribadiannya,
lenyap identitasnya, dan menjadi pengekor musuh-musuh Allah. Padahal Allah telah menjadikan
mereka sebagai pemimpin dunia, akan tetapi anak-anaknya makan dan minum dengan tangan
kiri, orang laki-lakinya memakai cincin emas dan perempuan-perempuannya menyerupai
perempuan-perempuan kafir, membuka dada, menampakkan perut dan punggungnya, dan
bahkan seluruh auratnya.
Bukanlah suatu masyarakat Islam bila di masyarakatnya membiarkan laki-laki dan perempuan
berduaan tanpa ikatan pernikahan atau tanpa disertai muhrim maupun kerabatnya.
Bukanlah disebut masyarakat Islam bila masyarakatnya membiarkan bercampur aduk
(ikhtilat) antara pemuda dan pemudinya dengan alasan menjalin persahabatan dan hubungan
yang erat, seperti yang terjadi di sekolah-sekolah dan kampus-kampus, di tempat-tempat
rekreasi dan bumi perkemahan, atau di dalam kendaraan umum.
Bukanlah masyarakat Islam bila membiarkan keberadaan lembaga-lembaga yang penuh
syubhat, seperti gedung-gedung bioskop dan pusat-pusat hiburan yang penuh maksiat.
Keberadaannya hanya akan merusak eksistensi umat dan meniupkan hawa beracun, yang di
dalamnya terdapat azab nan pedih, yang menghancurkan segala sesuatu atas instruksi tuannya
yaitu kaum zionis, para penjajah, dan kaum komunis dengan makalah-makalah yang
menyesatkan, berita-berita palsu, kisah-kisah porno, foto-foto telanjang, lagu-lagu cabul,
sandiwara-sandiwara kotor, film-film yang merusak, dan sinetron-sinetron yang diisi dengan
kebatilan.
Masyarakat Islam yang sebenarnya adalah masyarakat yang menjaga adab, tatanan hidupnya
yang murni, dan tradisinya yang kukuh, sebagaimana mereka membela tanah airnya dari
penjajahan, memelihara kehormatannya agar tidak dirusak, menjaga kekayaannya agar tidak
dirampas, dan menjaga kemuliaannya agar tidak direndahkan.

PASAL 7
NILAI-NILAI KEMANUSIAAN

Masyarakat Islam tegak di atas akidah, sehingga dapat menentukan falsafah hidupnya secara
menyeluruh, baik dalam prinsip, perjalanan, maupun tujuan akhirnya. Dia merupakan jawaban
atas tiga pertanyaan mendasar, yaitu: dari mana, mau ke mana, dan untuk apa manusia
diciptakan? Dari jawaban itu akan tergambar secara jelas tentang masyarakat yang bertauhid,
yang tidak me- nyekutukan Allah dengan suatu pun.
Masyarakat Islam tegak di atas nilai-nilai ibadah yang memperkuat hubungannya dengan
Allah Swt., baik lahir maupun batin. Dengan itulah masyarakat Islam terlihat sebagai masyarakat
yang ahli ibadah, bahkan seluruh aktivitasnya dalam rangka beribadah kepada Allah Swt.
Masyarakat Islam tegak di atas prinsip dan pemahaman yang jelas, yang membuatnya
mampu meluruskan amal, berkepribadian, dan beramal sesuai dengan standarnya yang unik,
yang tidak bersandar pada aliran kanan atau kiri. Ia adalah masyarakat pemikir yang ilmiah dan
memiliki prinsip yang kuat, sehingga berbeda dengan masyarakat lainnya.
Masyarakat Islam tegak di atas akhlak dan keutamaan sebagai wujud dari keyakinan mereka
terhadap agama dan syariatnya. Akhlak adalah bagian dari agama yang berwujud perintah dan
larangan yang berasal dari Allah Swt. Mereka adalah masyarakat yang bermoral tinggi.
Masyarakat Islam juga tegak di atas tata kehidupan dan tradisi yang islami, sehingga memiliki
ciri khas tersendiri. Mereka tidak taklid kepada orang lain—dari kalangan umat terdahulu
maupun yang datang kemudian—kecuali berdasar pada pijakan ilmu yang jelas.
Selain tegak di atas seluruh nilai dan ajaran di atas, masyarakat Islam juga tegak di atas nilai-
nilai kemanusiaan yang mulia, yang selalu diidam-idamkan oleh seluruh umat.
Nilai-nilai kemanusiaan (al-qiyam al-insaniyyah) adalah nilai- nilai yang tegak di atas
penghormatan terhadap hak-hak asasi dan kemuliaan manusia, baik berupa kebebasan dan
kemerdekaannya, nama baik dan eksistensinya, kehormatan dan hak-haknya, juga pemeliharaan
darah, harta, serta kerabat dan keturunannya, dalam kedudukannya sebagai anggota
masyarakat.
Pembahasan ini akan difokuskan pada beberapa bagian dari nilai-nilai kemanusiaan, yaitu:
ilmu, amal, kebebasan, musyawarah, keadilan, dan persaudaraan.

Ilmu
Ilmu merupakan salah satu nilai luhur yang dibawa Islam dan tegak di atas kehidupan
manusia, baik secara moril maupun materiil, duniawi maupun ukhrawi. Islam menjadikannya
jalan menuju keimanan yang memotivasi untuk beramal, sekaligus sebagai karunia yang
membuat manusia diberi amanah sebagai khalifah di muka bumi ini. Dengan ilmu tersebut, Adam
sebagai bapak manusia diberi kelebihan atas malaikat (dan makhluk yang lain) yang sempat
penasaran, sehingga mempermasalahkan pemberian amanah ini. Dengan alasan bahwa mereka
(para malaikat) lebih aktif beribadah kepada Allah daripada manusia yang suka membuat
kerusakan di bumi dan menumpahkan darah. Allah Swt. pun menjawab,
...sesungguhnya Aku mengetahui apa-apa yang kamu tidak mengetahui(nya). Dan Allah
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya... (Al-Baqarah: 30-31).

Sesungguhnya Islam adalah agama ilmu dan Al-Quran adalah kitab ilmu. Ayat-ayat Al-Quran
yang pertama kali turun kepada Rasulullah adalah "Bacalah dengan nama tuhanmu yang
menciptakan" (iqra bismi rabbika al-ladzi khalaq). Membaca adalah kunci untuk memahami ilmu
dan Al-Quran merupakan, Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab
untuk kaum yang berilmu (Fushshilat: 3).

Al-Quran telah menjadikan ilmu sebagai asas dan standar kemuliaan manusia. Allah Swt.
berfirman,
...apakah sama orang-orang yg berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu?... (Az-Zumar: 9)

Demikian juga Al-Quran telah menjadikan ahli ilmu sebagai para saksi (syuhada') terhadap
keesaan Allah bersama para malaikat. Allah Swt. menjelaskan dalam firman-Nya,
Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
demikian). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana (Ali'Imran: 18).

Ahli ilmu adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah Swt. dan bertakwa kepada-Nya.
Allah Swt. berfirman,
...sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-
orang yang berilmu (ulama)... (Fathir: 28).

Tiada yang takut kepada Allah kecuali orang-orang yang bermakrifat kepada-Nya.
Keberadaan Allah bisa dikenali melalui tanda-tanda kekuasaan dan rahmat-Nya kepada makhluk-
Nya. Oleh karena itu, secara umum masalah ini dimasukkan ke pembahasan tentang alam
semesta, sebagaimana firman Allah Swt.,
Tidakkah kamu melihat bahwa Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan
hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Di antara gunung-gunung itu ada
garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam
pekat. Demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata, dan binatang-binatang
ternak ada yang bermacam-macam warna (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi
Maha Pengampun (Fathir: 27-28).

Al-Quran merupakan kitab paling agung yang merangsang manusia untuk berpikir ilmiah dan
menolak segala bentuk khurafat. Al-Quran tidak membenarkan adanya sikap taklid buta kepada
nenek moyang, pemimpin atau pembesar, apalagi kepada orang-orang awam dan bodoh. Dia
juga menolak dominasi prasangka dan hawa nafsu dalam konteks pembahasan tentang akidah
dan kebenaran syariat Allah. Dia tidak pula menerima suatu teori kecuali berdasarkan dalil yang
pasti dan bukti yang meyakinkan dalam hal-hal yang bisa diindra, dari logika yang benar dalam
masalah pemikiran dan penukilan yang tepercaya dalam masalah periwayatan.
Al-Quran memandang penelitian itu sesuatu yang wajib, berpikir itu suatu ibadah, mencari
kebenaran itu suatu pendekatan diri kepada Allah, dan mempergunakan alat-alat pengetahuan
itu sebagai pernyataan syukur terhadap nikmat-Nya. Mengabaikan semuanya merupakan jalan
menuju Neraka Jahanam.
Berikut ini beberapa contoh ayat-ayat yang berkaitan dengannya.
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka
menjawab, "Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan)
nenek moyang kami." (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? (Al-Baqarah:
170)

Dan mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-
pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang
benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka
dengan kutukan yang besar." (Al-Ahzib: 67-68)

...setiap suatu umat masuk (ke neraka), dia mengutuk kawannya (yang menyesatkannya),
sehingga apabila mereka masuk semuanya berkatalah orang-orang yang masuk kemudian di
antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu, "Ya Tuhan kami, mereka telah
menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari
neraka." Allah Swt. berfirman, "Masing-masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda,
akan tetapi kamu tidak menge- tahuinya." (Al-A'raf: 38)

Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan, sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berguna
sedikit pun terhadap kebenaran. (An-Najm: 28)

...mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa-apa yang diingini oleh
hawa nafsu mereka. Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan
mereka. (An-Najm: 23)

...janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah.... (Shad: 26)

Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (An-Nahl:
78)

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesunggguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai
pertanggungjawabannya. (Al-lsra': 36)

...terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang


yang benar. (Al-An'am: 143)

...katakanlah, "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu


mengemukakannya kepada kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan
kamu tidak lain hanya berdusta. (Al-An'am: 148)

...katakanlah, "Tunjukkanlah (kepadaku) bukti kebenaranmu, jika kamu adalah orang-orang


yang benar." (Al-Baqarah: 111)

Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit, bumi, dan segala sesuatu yang
diciptakan Allah... (Al-A'raf: 185)

Katakanlah, "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda
kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak
beriman." (Yunus: 101)

Katakanlah, "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu
supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu
pikirkan (tentang Muhammad), tidak ada penyakit gila sedikit pun pada kawanmu itu"....
(Saba': 46)

Al-Quran dalam banyak ayatnya menggunakan kata-kata ulu al-albab, ulu an-nuha, dan ulu
al-abshar. Bashar maksudnya adalah akal, bukan mata yang ada di kepala.
Al-Quran juga menjelaskan bahwa kitab-Nya yang tertulis (qauliyah) adalah Al-Quran dan
kitab-Nya yang terlihat (kauniyah) adalah alam semesta. Pada keduanya terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah untuk kaum yang berpikir, kaum yang berakal, dan kaum yang berilmu.
Banyak sekali bagian akhir ayat yang mengingatkan akal yang sedang lalai, seperti tidakkah
kalian berakal (afala taqilun) atau tidakkah kalian berpikir (afala tatafakkarun).
Para ulama bersepakat bahwa mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah, ada
yang fardhu ain dan ada pula yang fardhu kifayah. Fardhu ain adalah ilmu yang menjadi
keharusan untuk memahami agamanya, baik akidah, ibadah, akhlak, maupun amal duniawi,
sehingga cukup untuk dirinya, keluarganya, bahkan ikut andil dalam mencukupi kebutuhan
umatnya. Adapun fardhu kifayah adalah ilmu yang mendukung tegaknya agama dan dunia bagi
jamaah Muslimah, yaitu sebagian dari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia.
Oleh karena itu, para ulama menegaskan bahwa mempelajari ilmu kedokteran, teknik, dan
sebagainya dari cabang-cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu ekonomi—yang dapat
menopang kehidupan manusia itu—merupakan fardhu kifayah bagi umat. Apabila dari umat
tersebut ada sejumlah pakar, tenaga ahli, dan teknisi dalam setiap bidang yang telah mencukupi
kebutuhan dan mengisi tempat-tempat kosong, maka umat itu telah melaksanakan
kewajibannya dan gugurlah dosanya. Akan tetapi, apabila mereka tidak memenuhi satu bidang
dari bidang duniawi dan masih bergantung kepada umat yang lain, baik secara keseluruhan
maupun sebagian, maka seluruh umat itu berdosa, terutama para pemimpinnya.
Atas dasar nilai-nilai inilah, peradaban Islam bisa tegak menjulang tinggi, kukuh fondasinya,
dan berpadulah ilmu pengetahuan dengan keimanan.
Peradaban ini tidak mengenal apa yang pernah terjadi di kalangan umat-umat yang lain,
berupa pertentangan antara sains dan agama, antara hikmah dan syariat, atau antara akal dan
wahyu. Bahkan banyak ulama di bidang agama sekaligus dokter, ahli matematika, ahli kimia, ahli
falak, dan lain-lain, seperti Ibnu Rusyd, Fakhrurazi, Al-Khawarizmi, Ibnu An-Nafis, Ibnu Khaldun,
dan sebagainya.
Imam Muhammad Abduh menjelaskan bahwa dasar-dasar Islam itu sesuai dengan ilmu
pengetahuan dan kemajuan. Beliau menegaskan dengan dalil-dalil nash agama dan sejarah kaum
Muslimin, sebagaimana dimuat dalam buku Al-Islam wa Al-Nashraniyyah ma'a Al-'Ilm wa Al-
Madaniyyah.

Amal
Amal adalah buah ilmu. Pepatah mengatakan, "Ilmu tanpa amal, ibarat pohon tanpa buah
atau awan tanpa hujan."
Amal juga merupakan buah dari iman yang benar, karena tidak ada iman tanpa amal.
Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang dimasukkannya amal sebagai bagian dari
hakikat iman, syarat sahnya iman, atau buah dari iman, namun keimanan yang benar itu harus
membuahkan amal. Oleh karenanya, Al-Quran mengumpulkan iman dan amal dalam berpuluh-
puluh ayatnya, sebagaimana dikatakan ulama salaf, "Iman adalah sesuatu yang meresap dalam
hati dan dibuktikan dengan amal."
Amal yang dituntut di sini adalah mencurahkan segala upaya yang positif untuk
merealisasikan tujuan-tujuan syariat di atas bumi ini.
Tujuan-tujuan itu—sebagaimana diisyaratkan Al-Quran—dikumpulkan dalam tiga hal—
sebagaimana disebutkan Imam Ar- Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Adz-Dzari’ah ila Makarim
Asy-Syari'ah— sebagai berikut.
Pertama, ibadah.
Allah Swt. berfirman,
Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku (Adz-Dzariyat:
56).

Kedua, khilafah.
Allah Swt. berfirman,
Sesungguhnya Aku akan menciptakan di bumi seseorang khalifah... (Al-Baqarah: 30).

Ketiga, pemakmuran ('imarah).


Allah Swt. berfirman,
...Dia-lah (Allah) Yang menciptakan kamu dari tanah dan menjadikan kamu pemakmurnya...
(Hud: 61).

Tiga hal tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Ketika pemakmuran ('imarah)
dilaksanakan dengan niat ikhlas, akan bernilai ibadah sekaligus melaksanakan tugas khilafah.
Sedangkan ibadah dalam arti yang luas meliputi khilafah dan 'imarah serta tidak mungkin akan
terwujud khilafah kecuali dengan ibadah dan 'imarah.
Amal yang diinginkan Islam adalah amal yang saleh. Kata "saleh" dalam Al-Quran memiliki
makna yang luas, meliputi segala sesuatu yang membawa maslahat kepada agama dan dunia
serta individu dan masyarakat. Ia juga meliputi ibadah dan muamalah atau aktivitas hidup dunia
dan akhirat, sebagaimana diajarkan para ulama kita rahimahumullah.
Al-Quran menjelaskan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi, menghidupkan dan
mematikan, serta menjadikan apa yang ada di atas bumi ini sebagai hiasan. Tujuannya sangat
banyak, sebagaimana ditentukan Allah dalam firman-Nya berikut ini.
...supaya Dia menguji kamu, siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya.... (Al-Mulk: 2)

...supaya Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yg paling baik amalnya. (Al-Kahfi: 7)

Dari ayat tersebut berarti Allah tidak menginginkan sembarang amal atau sekadar amal yang
baik, tetapi menginginkan amal yang paling baik.
Oleh karenanya, perlombaan di antara mereka bukan lagi antara amal yang buruk dan baik,
tetapi antara amal yang baik dan yang lebih baik.
Tidak mengherankan jika kita dapatkan dari ungkapan ayat-ayat Al-Quran yang
menggembirakan, yaitu kata-kata "yang paling baik amalnya". Sebagai contoh, hendaknya
seorang Muslim berdebat dengan cara yang lebih baik (An-Nahl: 125), menolak dengan cara yang
lebih baik (Al-Mu'minun: 96), dan menginvestasikan harta anak yatim dengan cara yang paling
baik (Al-Isra': 34), serta mengikuti sebaik-baik apa yang diturunkan dari Allah, Dan ikutilah sebaik-
baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu... (Az-Zumar: 55).
Al-Quran selalu mengajak kepada sesuatu yang lebih atau paling baik, bukan sekadar baik.
Kinerja perekonomian dengan segala cabang dan ragamnya termasuk ibadah yang paling
utama apabila disertai dengan niat yang benar, dilakukan dengan cermat (itqan), dan terikat oleh
ketentuan hukum Allah. Terutama kerja yang produktif dalam pertanian, industri, besi, dan
pertambangan.
Sejak dulu bangsa Arab—secara turun-temurun—meremehkan masalah keterampilan kerja
tangan dan lebih mengutamakan pergi ke amir atau kepala suku untuk minta bantuan daripada
bekerja untuk mencari penghidupan. Akhirnya Rasul Saw. pun menjelaskan bahwa sesungguhnya
bekerja untuk mencari penghidupan—apa pun bentuknya dan betapa pun sedikit
pemasukannya—itu lebih baik daripada meminta-minta.
Rasulullah Saw bersabda,
Sungguh seorang di antara kalian mengikatkan tali di atas punggungnya, kemudian datang
dengan membawa seikat kayu bakar lalu menjualnya, sehingga dengan itu Allah menutupi
wajahnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, apakah mereka
memberi atau menolak (HR. Bukhari).

Rasulullah juga mendorong umatnya untuk berwiraswasta dan bekerja dengan tangannya
sendiri.
Beliau bersabda,
Tidaklah seseorang menyantap makanan lebih baik daripada menyantap makanan yang
merupakan hasil pekerjaan tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Daud a.s. makan
dari hasil pekerjaan tangannya (HR. Bukhari).

Tidaklah seorang Muslim bercocok tanam, kemudian ada burung, manusia, atau binatang
yang memakannya, kecuali itu menjadi sedekah baginya (HR. Bukhari).

Di antara pengarahan Nabi yang paling menarik dalam menjelaskan nilai kerja adalah hadits
yang mengatakan,
Apabila kiamat terjadi, sementara di tanganmu ada tunas kurma maka tanamlah (HR.
Ahmad).

Mengapa dia harus menanamnya, sementara kiamat sudah hampir terjadi? Bukankah nanti
tidak akan ada yang memanfaatkannya, baik yang menanam maupun orang-orang setelahnya?
Hal ini membuktikan bahwa bekerja itu pada dasarnya sangat ditekankan. Setiap Muslim
berkewajiban untuk tetap bekerja dan senantiasa produktif, bahkan sampai tetes terakhir minyak
dalam pelita kehidupan ini.
Bekerja merupakan ibadah dan sarana pendekatan diri kepada Allah, baik hasilnya bisa
dimakan manusia maupun tidak. Seandainya kaum Muslimin memahami hal ini, niscaya Allah
akan membukakan berkah dari langit dan bumi untuk mereka, dan mereka bisa memakan
hasilnya dari atas dan dari bawah. Mereka akan menjadi masyarakat yang paling produktif dan
paling kaya di antara masyarakat dunia yang lain. Mereka tidak akan bergantung hidupnya
kepada umat lainnya. Mereka tidak akan kekurangan makanan pokok sehari-hari, karena
negerinya berlimpah hasil bumi. Mereka pun tidak membutuhkan senjata untuk memelihara
tanah air, kehormatan, dan harga diri. Cukuplah seandainya umat lain itu tidak disuplai oleh umat
Islam, mereka akan mati kelaparan dan mengalami kekalahan mental karena hinanya.

Kebebasan
Di antara nilai-nilai kemanusiaan yang juga sangat diperhatikan oleh Islam adalah kebebasan.
Dengannya kita dapat menyelamatkan manusia dari segala bentuk tekanan, paksaan,
kediktatoran, dan penjajahan. Namun juga bisa menjadikan manusia sebagai pemimpin dalam
kehidupan ini, tetapi pada saat yang sama ia juga sebagai hamba Allah.
Kebebasan di sini meliputi kebebasan beragama, berpikir, berpolitik, bertempat tinggal, dan
segala bentuk kebebasan dalam kebenaran.
Kebebasan beragama maksudnya adalah kebebasan dalam berakidah dan kebebasan
melakukan ibadah. Oleh karena itu, tidak diterima keislaman seseorang ketika dipaksa untuk me-
ninggalkan agama yang dicintai dan dipeluknya atau dipaksa untuk memeluk agama yang tidak
disukainya. Nash-nash Al-Quran secara terang-terangan melarang tindakan seperti itu,
sebagaimana tersebut dalam ayat makiyah,
...maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semua? (Yunus: 99).

Atau sebagaimana disebutkan di dalam ayat-ayat madaniyah,


Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar dari jalan yang sesat... (Al-Baqarah: 256).
Orang-orang di luar Islam yang berada dalam tanggung jawab kaum Muslimin berhak
mendapat hak seperti kaum Muslimin secara umum, dengan beberapa pengecualian yang
ditentukan agama. Baginya tidak diwajibkan melaksanakan segala sesuatu sebagaimana yang
diwajibkan kepada kaum Muslimin dan tidak terlarang baginya mengerjakan sesuatu yang
diharamkan kepada kaum Muslimin, dengan beberapa pembatasan sesuai dengan syariat Islam.
Ada sementara manusia pada zaman ini yang mengatakan bahwa sesungguhnya warisan
khazanah Arab dan Islam tidak mengenal adanya kebebasan, sebagaimana yang kita dapatkan
dari Barat, tepatnya setelah Revolusi Prancis. Islam hanya mengenal makna kebebasan itu dalam
arti sekadar tidak memperbudak saja, sehingga orang yang merdeka adalah orang yang bukan
budak. Kemerdekaan adalah kebalikan dari perbudakan dan penghambaan.
Alangkah memprihatinkan, ketika kita mempercayai adanya kebebasan atau menyerukan
kebebasan dengan mengacu pada Prancis, padahal sebelumnya tidak mengenalnya. Saya
sungguh heran ketika mereka mengatakan seperti itu, padahal mereka mengaku atau diakui
sebagai intelektual.
Melihat fenomena seperti ini, kita wajib menjelaskan beberapa hakikat kebebasan agar
menjadi peringatan bagi semua pihak, antara lain sebagai berikut.
Pertama, kita tidak mengingkari bahwa asal mula dan secara bahasa hakikat kemerdekaan
adalah lawan dari perbudakan, yang berarti menguasai dan mendominasi seseorang.
Kemerdekaan berarti membebaskan dari kekuasaan tersebut dan melepaskan dari
perbudakannya. Namun ini bukan satu-satunya arti secara bahasa.
Kemerdekaan atau kebebasan memiliki arti luas. Salah satunya adalah membebaskan
manusia dari segala cengkeraman kekuasaan batil, dari penindasan penguasa zalim, atau dari
kekuatan diktator.
Makna seperti ini sebagaimana dikatakan Umar bin Khathab kepada Gubernur Mesir, Amr
bin Ash, yang kemudian kata-kata itu sempat dilupakan orang dan terselip di antara timbunan
sejarah.
Umar berkata,
Mengapa engkau memperbudak manusia padahal mereka
dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?

Kata-kata tersebut sekarang telah menjadi undang-undang dan deklarasi hak-hak asasi
manusia (HAM). Ali bin Abi Thalib juga pernah berpesan kepada putranya,
Janganlah kamu menjadi budak orang lain, karena Allah telah menjadikan kamu merdeka.

Para penyair banyak mempergunakan kata "kemerdekaan" dengan pengertian manusia


terhormat, seperti kata seorang penyair sebagai berikut.
Seorang hamba sahaya dipukul dengan tongkat,
sedangkan orang yang mulia cukup dengan celaan.

Sedangkan dalam pepatah dikatakan,


Sabar itu pahit dan tidak ada yang sanggup meneguknya kecuali orang yang mulia.

Tidak adanya kata-kata atau istilah tertentu yang menunjukkan satu pengertian atau
kandungan makna yang kita ketahui sekarang itu, bukan berarti tiadanya arti atau kandungan
tersebut. Karena kadang-kadang arti itu kita dapatkan pada kata-kata atau istilah lain, juga
banyak digunakan dalam kata-kata atau istilah-istilah tertentu. Misalnya, seorang peneliti tidak
mendapatkan dalam khazanah pengetahuan Islam kita kata kesetaraan (al-musawah),
sebagaimana yang kita pergunakan sekarang ini. Namun dengan pembahasan yang sederhana ia
akan kita dapatkan maknanya di banyak ayat Alquranul Karim dan hadits-hadits Rasulullah atau
tersirat dalam berbagai ibadah yang ada dalam Islam. Seperti dalam shalat, puasa, haji dan
umrah, dan di dalam hukum-hukum Islam dan sanksi-sanksinya yang tidak membedakan antara
bangsawan dan kaum rendahan, serta dalam prinsip-prinsip Islam yang menghilangkan
perbedaan antarjenis kelamin, warna kulit, status sosial dan ekonomi, dan menjadikan manusia
sama rata seperti samanya gigi sisir, kecuali oleh takwanya.
Contoh lain adalah kata kemerdekaan (al-hurriyyah). Secara tekstual kata-kata ini tidak kita
dapatkan dalam warisan terdahulu, namun substansinya terdapat dalam banyak istilah.
Kemerdekaan kadang diungkapkan dengan kata kemuliaan (karamah), sebagaimana dalam
firman Allah Swt.,
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam... (Al-lsra': 70).

Atau kadang dengan kata kekuatan (‘Izzah), seperti dalam firman Allah Swt.,
Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin (Al-
Munafiqun: 8).

Kadang juga dengan pengharaman memaksa dan menghardik, seperti dalam firman Allah
Swt.,
Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Terhadap
orang yang meminta-minta, janganlah kamu menghardiknya (Adh-Dhuha: 9-10).

Di saat lain dengan larangan meneror dan menakut-nakuti, seperti sabda Rasul Saw.,
Tidak halal bagi seorang Muslim menakut-nakuti Muslim lainnya (HR. Abu Daud dan
Tirmidzi)

Di saat lain lagi dengan pelarangan memukul dan menyiksa, seperti sabda Rasulullah,
Barangsiapa mencambuk punggung seorang Muslim tanpa haq, maka iaakan bertemu
dengan Allah, sedang Allah murka kepadanya (HR. Thabrani)

Lebih dari itu, Islam menyeru kepada kita untuk berperang dan mengumumkan peperangan
dalam rangka membebaskan orang-orang tertindas di bumi ini dari cengkeraman para penindas,
penjajah, dan orang-orang diktator.
Allah Swt. berfirman,
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah,
baik kaum laki-laki, perempuan-perempuan, maupun anak-anak yang semuanya berdoa, "Ya
Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah
kami pelindung dari sisi Engkau dan berilah kami penolong dari sisi Engkau" (An-Nisa': 75).

Apabila manusia tidak mampu memberantas tekanan dan penindasan, maka tidak ada alasan
bagi mereka untuk tidak hijrah dari kampung halaman mereka, dan tidak alasan atas diri mereka
untuk menerima kehinaan, serta tetap di bawah cengkeraman kezaliman dan penindasan. Al-
Quran telah memberi ancaman yang keras bagi orang yang rela untuk hidup terhina dan
menyerah, di mana ia tidak termasuk orang yang memerangi, dan tidak pula termasuk orang yang
berhijrah bersama orang-orang yang berhijrah.
Allah Swt. berfirman,
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri
sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" Mereka
menjawab, "Kami adalah orang-orang yang tertindasdi negeri (Makkah)." Para malaikat
berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-
orang itu tempatnya di Neraka Jahanam. Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali
mereka yang tertindas baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang tidak mampu
berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu mudah-mudahan Allah
memaafkannya. Dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (An-Nisa: 97-99).
Sesungguhnya orang yang mau memahami Islam dan merenungkannya, akan mendapatkan
bahwa sesungguhnya inti dari itu semuanya adalah tauhid. Tauhid adalah "ruh keberadaan
Islam". Tauhid merupakan asas pemikiran dan falsafah dasar yang kemudian diterjemahkan
dalam prinsip kebebasan, persaudaraan, dan persamaan secara keseluruhan.
Kalimat tauhid (la ilaha illallah) menggugurkan orang-orang yang mengaku dirinya tuhan dan
diktator di muka bumi, serta menurunkan mereka dari singgasana "ketuhanan" yang palsu, dari
kesombongan menuju persamaan hak antara manusia seluruhnya dalam beribadah kepada Allah.
Oleh karena itu, surat-surat Nabi Saw. yang dikirimkan kepada kaisar dan para pemimpin
kaum Nasrani serta raja-raja mereka di Mesir, Habasyah (Ethiopia), dan lainnya ditutup dengan
seruan firman Allah Swt.,
Katakanlah, "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lainnya sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah
kepada mereka, 'Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)'" (Ali 'Imran: 64).

Sesungguhnya sesuatu yang paling besar perannya dalam menghancurkan kebebasan


manusia dan merusak bangunannya adalah penghambaan manusia atas manusia yang lainnya
(bukan kepada Allah). Kita dituntut agar dapat mengembalikan kemerdekaan dan kehormatan
mereka. Oleh karenanya, kita harus menghancurkan tuhan-tuhan palsu yang mereka yakini,
terutama di dalam jiwa orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai tuhan. Padahal
mereka adalah makhluk sebagaimana yang lain, yang tidak bisa mendatangkan bahaya atau
manfaat, tidak bisa mematikan dan menghidupkan, serta tidak bisa membangkitkan.
Orang-orang musyrik Arab memahami hakikat tersebut sejak Rasulullah mendakwahkan
tauhid dengan persaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Mereka mengetahui bahwa di balik
kalimat syahadat itu terdapat revolusi dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat.
Sesungguhnya kalimat itu menginginkan kelahiran baru bagi anak manusia, terutama orang-
orang miskin dan kaum yang tertindas. Tidaklah mengherankan jika orang-orang musyrik itu
berdiri di hadapan kalimat ini dan memobilisasi segala kekuatan mereka untuk memerangi setiap
orang yang beriman terhadap kalimat ini dan memenuhi seruannya.

Musyawarah (Syura)
Di antara nilai-nilai kemanusiaan dan sosial yang dibawa Islam adalah musyawarah (syura).
Pengertiannya adalah bahwa hendaknya seseorang hendaknya tidak menyendiri dalam pendapat
dan dalam persoalan-persoalan yang memerlukan kebersamaan pikiran dengan orang lain. Hal
ini dikarenakan pendapat dua orang atau lebih dalam jamaah itu dianggap lebih mendekati
kebenaran daripada pendapat seorang saja.
Musyawarah dalam suatu urusan dapat membuka pintu kesulitan dan memberi kesempatan
untuk melihat urusan itu dari berbagai sudut, sesuai dengan perbedaan perhatian setiap individu,
perbedaan tingkat pemikiran, dan tingkat pengetahuan mereka. Keputusan yang diperoleh pun
berdasarkan persepsi yang sempurna dan studi yang komprehensif.
Dengan aktivitas syura, manusia akan mempunyai nilai tambah, yakni—selain pemikirannya
sendiri—berupa pemikiran orang lain. Selain itu, ilmunya juga bertambah dengan ilmu orang lain.
Seorang penyair mengatakan,
Apabila suatu ide telah sampai kepada musyawarah,
maka ambillah ide yang tulus atau pendapat yang mantap
dan jangan kamu mengira bahwa musyawarah itu
akan merugikan kamu,
karena ide yang akan datang itu menjadi penguat
bagi yang muncul lebih dahulu.

Islam telah menyuruh kita untuk bermusyawarah dalam kehidupan individu, keluarga,
masyarakat, dan bernegara.

Syura dalam Kehidupan Individu


Dalam kehidupan individu, Islam mendidik seorang Muslim— jika akan melakukan suatu
urusan penting yang di dalamnya masih terdapat banyak perbedaan pandangan, pendapat, dan
kecenderungan yang membuatnya ragu antara melaksanakan dan tidak—hendaknya ia
menempuh dua jalan berikut guna memperoleh keputusan yang benar.
Pertama, jalan rabbani, yaitu istikharah kepada Allah dengan melakukan shalat dua rakaat,
setelah itu berdoa meminta petunjuk kepada Allah Swt. agar dipilihkan yang terbaik bagi dunia
dan akhiratnya maupun agama dan dunianya.
Kedua, jalan insani, yaitu musyawarah dengan orang yang dapat dipercaya pendapat,
pengalaman, nasihat, dan keikhlasannya.
Dengan demikian, ia telah menggabung antara istikharah kepada Allah dan bermusyawarah
dengan sesama. Kaum Muslimin masih hafal dengan warisan kata-kata Umar berikut ini.
Tidaklah merugi orang yang beristikharah dan tidaklah
menyesal orang yang bermusyawarah.

Para sahabat radhiyallah 'anhum dahulu sering bermusyawarah dengan Nabi Saw. dalam
berbagai masalah khusus, maka Nabi pun memberikan pendapat yang benar dan baik. Seperti
kita ketahui, Fatimah binti Qais pernah bermusyawarah kepada beliau tentang pernikahannya,
karena ada dua laki-laki yang mencintainya, yaitu Mu'awiyah dan Abu Jahm. Nabi bersabda,
"Adapun Mu'awiyah, dia adalah seorang yang pelit dan tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu
Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari lehernya (sering memukul perempuan)."
Kemudian Nabi Saw. menawarkan untuk menikah dengan Usamah bin Zaid.

Syura dalam Kehidupan Berkeluarga


Dalam kehidupan berkeluarga, Islam mengajak kita untuk membina mahligai rumah tangga
atas dasar musyawarah dan saling ridha. Hal ini memang harus sudah ada sejak awal
pembentukan rumah tangga.
Oleh karena itu, nash-nash syariat menolak adanya paksaan seorang ayah untuk menikahkan
putrinya tanpa meminta pen- dapatnya, walaupun putrinya itu masih gadis. Sebaliknya, Islam
mewajibkan—sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits Nabi—agar anak gadis itu dimintai
izin. Jika ia merasa malu, maka keizinannya adalah diamnya. Karena diam ketika ditawari sesuatu
itu menunjukkan ridha dan menerima.
Nabi Saw. pernah menolak sebagian akad nikah yang telah terjadi, di samping karena bukan
keinginan anak perempuan, syariat tidak memperbolehkan siapa pun untuk mempergunakan
harta miliknya tanpa seizin dia. Apalagi masalah pernikahan, yang menyangkut masa depan
kehidupannya.
Bahkan disunahkan mendorong para suami agar bermusyawarah dengan istrinya ketika ingin
menikahkan anak gadisnya. Dalam hal ini ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
"Bermusyawarahlah dengan kaum perempuan (istri-istrimu) dalam urusan anak-anak" (HR.
Ahmad).
Memang demikianlah mestinya, karena ibu kadang lebih tahu tentang anak gadisnya
daripada ayahnya. Karena ibu dan anaknya tersebut sama-sama perempuan, sehingga lebih
paham keinginan dan perasaannya. Sementara anak perempuan pun lebih sering berterus terang
kepada ibunya untuk mengungkapkan rahasianya, tidak pada ayahnya.
Setelah terbina rumah tangga, wajib bagi suami istri untuk saling memahami dan
bermusyawarah dalam hal yang membawa kepentingan bersama, demikian juga untuk
kepentingan anak-anaknya di masa depan.
Kita tidak boleh meremehkan pendapat perempuan, sebagaimana masyarakat pada
umumnya. Karena tidak sedikit perempuan yang pendapatnya lebih baik dan membawa berkah
bagi keluarga dan masyarakatnya.
Alangkah cemerlang pendapat Khadijah dan sikapnya yang bijak pada awal turunnya wahyu.
Betapa besar perannya dalam memperkuat mental Nabi, sampai ia membawa pergi Rasulullah
Saw. kepada anak pamannya, yaitu Waraqah bin Naufal. Semuanya demi menenangkan dan
menggembirakan Nabi. Demikian juga pendapat Ummu Salamah dalam peristiwa Perjanjian
Hudaibiyah.
Di antara ayat-ayat Al-Quran yang menarik adalah penyebutan pentingnya bermusyawarah
dan saling ridha antara suami istri, yaitu yang berkaitan dengan menyusui anak dan
menyapihnya, meskipun keduanya (suami istri) telah bercerai. Allah Swt. berfirman,
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan,
maka tidak ada dosa atas keduanya... (Al-Baqarah: 233).

Syura dalam Bermasyarakat dan Bernegara


Syura dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (oleh Al-Quran) dimasukkan sebagai
unsur terpenting dalam beijamaah. Hal itu disebutkan dalam Al-Quran ayat makiyah yang telah
membangun kaidah-kaidah asasi dan meletakkan dasar-dasar kehidupan Islam. Oleh karena itu,
syura juga dimasukkan dalam salah satu sifat orang yang beriman, disertai dengan sifat-sifat asasi
yang lain—di mana keislaman dan keimanan seseorang tidak sempurna kecuali dengan sifat-sifat
itu—di antaranya menyambut seruan Allah, mendirikan shalat, dan menginfakkan apa yang
diberikan Allah kepadanya. Hal ini disebutkan dalam surat yang membawa nama Asy-Syura.
Allah Swt. berfirman,
Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan
apa yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan
hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal, dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-
dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji. Dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka (Asy-Syura: 36-38).

Maksud firman Allah "sedang urusan mereka " di sini adalah urusan yang bersifat umum dan
sebagai kepentingan bersama. Itulah yang diperintahkan oleh Allah kepada rasul-Nya agar
bermusyawarah.
Allah Swt. berfirman dalam ayat yang turun di Madinah,
...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu... (Ali 'Imran: 159).

Perintah dalam ayat ini diturunkan setelah Perang Uhud, saat Rasulullah bermusyawarah
dengan para sahabatnya, tetapi beliau mengikuti pendapat mayoritas sahabat. Hasilnya adalah
kekalahan yang menimpa umat Islam sehingga gugur tujuh puluh syuhada dari para sahabat
pilihan, termasuk di antaranya Hamzah bin Abdul Mutalib, Mush'ab bin Umair, Sa'd bin Rabi, dan
lain-lain.
Meskipun demikian, Allah Swt. tetap memerintahkan kepada rasul-Nya agar bermusyawarah
dengan mereka. Kita harus terus bermusyawarah, karena di dalamnya ada kebaikan dan berkah,
meskipun sesekali hasilnya tidak menyenangkan, karena yang lebih penting adalah akibatnya.
Rasulullah Saw. adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya.
Beliau pernah bermusyawarah dengan mereka pada Perang Badar; menjelang dimulainya
peperangan, di tengah-tengah peperangan, maupun setelahnya. Beliau tidak memasuki medan
perang, kecuali setelah merasa tenang dengan keinginan dan aspirasi para sahabatnya.
Rasulullah Saw. juga pernah bermusyawarah dengan mereka dalam Perang Uhud, sehingga
beliau mengikuti pendapat mayoritas yang menginginkan keluar dari Madinah untuk menemui
musuh daripada tetap tinggal di dalam kota Madinah.
Selain itu, Rasulullah Saw. juga pernah bermusyawarah dengan mereka ketika Perang
Khandaq dan beliau sempat berkeinginan untuk berdamai dengan suku Ghathafan dengan
memberikan sebagian dari hasil kurma Madinah untuk membatalkan perjanjian mereka dengan
Quraisy. Namun wakil orang-orang Anshar menolak hal itu, sehingga Nabi pun mengikuti
pendapat mereka karena dipandang lebih baik.
Ketika Peristiwa Hudaibiyah, Rasulullah Saw. bermusyawarah dengan Ummu Salamah agar
para sahabatnya melakukan tahalul setelah berdamai. Padahal para sahabat telah serius berniat
untuk umrah. Maka Ummu Salamah mengusulkan agar Rasulullah keluar dan bertahalul di
hadapan mereka tanpa berbicara. Benarlah ketika para sahabat melihat Rasulullah berbuat
demikian, mereka pun segera melakukan hal serupa secara serentak.
Islam juga memerintahkan seorang penguasa agar bermusyawarah (di satu sisi) dan
memerintahkan umat agar memberikan nasihat kepadanya (di sisi lain). Seperti diterangkan
dalam hadits sahih, "Agama adalah nasihat..., untuk Allah, rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin
kaum Muslimin dan rakyatnya" (HR. Muslim).
Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban yang bersifat umum, mencakup para pemimpin
dan seluruh rakyat. Demikian juga kewajiban memberikan wasiat tentang kebenaran dan wasiat
agar berlaku sabar, yang mana tidak ada keselamatan bagi manusia—dari kerugian dunia dan
akhirat—kecuali dengan melaksanakan semua itu. Tidak ada (di kalangan kaum Muslimin)
seseorang yang lebih tua kecuali dia harus menerima wasiat dan nasihat, diperintah dan dilarang,
dan tidak ada di kalangan mereka yang lebih muda kecuali harus menerima wasiat dan nasihat,
diperintah dan dicegah. Tidak jarang Rasulullah mendapati para sahabat yang berbeda pendapat
dengan beliau, maka beliau mengambil pendapat yang ditawarkan tersebut dan meninggalkan
pendapatnya sendiri.
Rasul Saw. pernah mengutus Abu Hurairah agar memberikan kabar gembira kepada
masyarakat bahwa barangsiapa mengatakan la ilaha illallah, maka ia akan masuk surga. Umar
khawatir kalau masyarakat memahaminya dengan pemahaman yang salah dan memisahkan
antara kata-kata dengan pelaksanaan. Beliau sempat menyuruh Abu Hurairah berhenti sejenak
dan menjelaskan kepada Rasulullah akan kekhawatirannya kalau-kalau manusia itu berpegang
pada ucapannya saja seraya berkata, "Biarkan mereka beramal." Rasulullah pun bersabda,
"Biarkan mereka beramal" (HR. Muslim).
Abu Bakar berkata dalam pidato kenegaraannya yang pertama setelah beliau diangkat
sebagai khalifah. Beliau menjelaskan prinsip yang dipegangnya dalam memimpin,
Jika kalian melihat saya berada dalam kebenaran, maka bantulah. Jika kalian melihat saya
berada dalam kebatilan, maka luruskanlah. Taatilah saya selama saya taat kepada Allah. Jika
saya bermaksiat kepada-Nya, maka tidak ada lagi kewajiban atas kalian untuk taat kepada
saya.

Umar bin Khathab berkata, "Wahai manusia, barangsiapa di antara kalian melihat saya dalam
kesalahan, maka luruskanlah." Kemudian ada seseorang yang berkata kepadanya, "Kalau kami
melihat Anda berbuat kesalahan, maka kami akan meluruskan Anda dengan pedang kami." Umar
berkata, "Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan rakyat Umar sebagai orang yang mau
meluruskan Umar dengan ketajaman pedangnya."
Pada suatu hari ada seseorang yang berkata kepada Umar, "Bertakwalah kepada Allah, wahai
Umar!" Beberapa orang di samping Umar tidak menyukai kata-kata itu diucapkan kepada seorang
khalifah. Namun Umar justru berkata, "Biarkan dia! Tidak ada kebaikan pada kalian jika tidak ada
yang mengatakannya dan tidak ada kebaikan pada kami jika tidak mendengarkannya."
Bahkan Rasulullah memperbolehkan menentang pemimpin yang zalim dengan dua syarat.
Pertama, terdapat penyimpangan yang nyata dari manhaj Islam, baik dalam masalah akidah
maupun ibadah. Inilah yang diistilahkan hadits nabi sebagai Kufr bawwah. Nabi Saw. pernah
berwasiat kepada orang-orang yang berbaiat kepadanya, yaitu di antara para sahabat untuk
bersabar terhadap pemimpin mereka, meskipun pemimpin itu mengutamakan sebagian
pekerjaan dunia.
Nabi Saw. bersabda,
Kecuali apabila kamu melihat kekufuran yang nyata dan kalian memiliki dalil dari sisi Allah
(mutafaq alaih).

Kedua, kita memiliki kemampuan untuk menghilangkan kemungkaran, tanpa berakibat


menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Jika tidak mungkin, maka wajib menanggung
kemungkaran yang lebih ringan karena khawatir terjadinya kemungkaran yang lebih besar. Ini
berdasarkan kaidah "boleh memilih yang paling ringan di antara dua bahaya".
Ketika dikhawatirkan akan terjadi kemungkaran yang lebih besar, maka perlawanan beralih
dari memerangi dengan tangan kepada siasat dengan lisan dan pena, kemudian pengingkaran
hati. Itulah selemah-lemahnya iman.
Ibnu Mas'ud meriwayatkan suatu hadits dari Rasulullah Saw. Beliau bersabda,
Tiada seorang nabi pun yang diutus Allah pada umat sebelum-ku, kecuali ada dari kalangan
umatnya para pendukung dan sahabat yang mengikuti sunahnya dan meneladani
perilakunya. Kemudian akan ada generasi setelahnya, yang mengatakan sesuatu yang tidak
mereka perbuat dan melaksanakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa
memerangi mereka dengan tangannya maka ia mukmin, barangsiapa memerangi mereka
dengan lisannya maka ia mukmin, dan barangsiapa memerangi mereka dengan hatinya
maka ia mukmin. Setelah itu, tidak ada keimanan walaupun sebesar biji sawi (HR. Muslim).

Alquranul Karim mengisahkan kepada kita contoh yang baik tentang suatu keputusan
berdasarkan musyawarah, yaitu kisah Ratu Saba yang dikejutkan dengan datangnya surat Nabi
Sulaiman a.s. yang dibawa oleh burung Hud-hud. Akhirnya Ratu tersebut mengumpulkan
kaumnya dan berkata, sebagaimana termaktub dalam Al-Quran
Berkata dia (Bilqis), "Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini). Aku
tidak pernah memutuskan suatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)."
Mereka menjawab, "Kita adalah orang-orang yang memiliki keberanian yang sangat (dalam
peperangan) dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan
engkau perintahkan." Dia berkata, "Sesungguhnya raja-raja, apabila memasuki suatu negeri,
niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina;
dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. Dan sesungguhnya aku akan mengirim
utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan
dibawa kembali oleh utusan-utusan itu" (An-Naml: 32-35).

Akhirnya, sampailah perilaku syura yang bijak ini saat Ratu Bilqis masuk Islam di hadapan Nabi
Sulaiman a.s., sehingga selamatlah dia dan kaumnya dari peperangan yang merugikan. Dengan
demikian, dia memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Al-Quran juga mengisahkan bentuk lain dari suatu hukum yang tegak di atas dasar penisbatan
diri sebagai tuhan dan kediktatoran, seperti Fir'aun yang berkata kepada manusia.
Aku adalah tuhanmu yang mulia. (An-Nazi'at: 24)
...aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku.... (Al-Qashash: 38)
Fir'aun tidak mau bermusyawarah kecuali dengan para menterinya, sebagaimana kisah
Fir'aun dengan Musa a.s. Ketika Musa berdialog dengannya, maka Fir'aun mengancamnya
dengan penjara. Musa berkata,
"Apakah (kamu akan melakukan itu) walaupun aku tunjukkan kepadamu sesuatu
(keterangan) yang nyata?" Fir'aun berkata, "Datangkanlah sesuatu (keterangan) yang nyata
itu, jika kamu termasuk orang-orang yang benar." Maka Musa melemparkan tongkatnya,
yangtiba-tibatongkat itu menjadi ular yang nyata. Dan ia menarik tangannya (dari dalam
bajunya), maka tiba-tiba tangan itu jadi putih (bersinar) bagi orang-orang yang melihatnya.
Fir'aun berkata kepada pembesar-pembesarnya yang berada di sekelilingnya, "Sesungguhnya
Musa ini benar-benar seorang ahli sihir yang pandai, ia hendak mengusir kamu dari negerimu
sendiri dengan sihirnya. Oleh karena itu, apa yang kamu anjurkan?" (Asy-Syu'ara': 30-35)

Sesungguhnya musyawarah ini bukanlah musyawarah yang benar, karena hanya dikhususkan
bagi para pembesar yang ada di sekelilingnya saja. Selain itu, musyawarah ini sudah disesuaikan
dengan keinginannya. Fir'aun tidak mau mengambil pendapat mereka dalam masalah Musa dan
sikap mereka terhadap risalah yang dibawanya. Namun secara semena-mena dia telah
memutuskan sesuatu sebelum bertanya kepada mereka, yaitu dengan kata-katanya yang dimuat
oleh Al-Quran,
...sesungguhnya Musa ini benar-benar ahli sihir yang pandai, ia hendak mengusirmu dari
negerimu sendiri dengan sihirnya... (Asy-Syu'ara': 34-35).

Al-Quran telah menjelaskan hakikat hukum Fir'aun dan sikapnya terhadap rakyatnya,
sebagaimana firman Allah Swt.,
Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan
penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak
laki-laki mereka, dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya
Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan (Al-Qashash: 4).

Kesombongan di bumi diistilahkan dalam bahasa politik modern dengan kediktatoran. Al-
Quran juga sering mengulang-ulang dalam menyifati Fir'aun, sebagaimana dalam firman Allah
Swt.,
...sesungguhnya dia (Fir'aun) adalah orang yang sombong, salah seorang dari orang-orang
yang melampaui batas (Ad-Dukhan: 31).

Kesombongan Fir'aun bukan hanya ditujukan kepada Bani Israil, melainkan juga kepada
orang-orang Mesir, jika ternyata ada di antara mereka atau sekelompok dari mereka keluar dari
kehendaknya dan menolak pengakuan bahwa dirinya adalah tuhan.
Itulah sikap yang tampak jelas dari Fir'aun terhadap tukang-tukang sihirnya yang diminta
setiap saat untuk menolong dirinya dalam melawan Nabi Musa. Akhirnya Allah menjatuhkan
Fir'aun melalui mereka juga, yaitu ketika mereka beriman kepada tuhan Musa dan Harun, setelah
jelas di hadapan mereka kebenaran atas kebatilan.
Allah Swt. berfirman,
Berkata Fir'aun, "Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin
kepadamu sekalian? Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepada
kamu sekalian. Sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan
bersilang secara timbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada
pangkal pohon kurma. Sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih
pedih dan lebih kekal siksaannya" (Thaha: 71).

Ungkapan Fir'aun, "Mengapa kamu beriman kepadanya sebelum aku mengizinkan kamu?",
ini membuktikan bahwa ia ingin memaksa pikiran dan hati orang untuk mengikuti dirinya,
sehingga tidak boleh akal dan hati percaya kepada sesuatu kecuali atas izinnya dan mendapat
keputusan darinya.
Al-Quran mencela Fir'aun dan segala kekuatan kotor yang bersekongkol dengannya. Seperti
Qarun yang menampilkan paham materialis yang kejam dan kotor, yang tidak memberikan
kesempatan kepada orang lain untuk memiliki harta. Sikap ini tergambar dalam perkataan Qarun,
Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada pada- ku... (Al-Qashash: 78).

Seperti juga Haman. Ia merupakan sosok politikus yang menjilat karena materi. Ia
persembahkan kemampuan akal dan kreasinya untuk melayani taghut yang sombong. Hamanlah
otak sekaligus pelaksananya.
Al-Quran mencela secara keseluruhannya, yaitu Fir'aun dan para tentaranya yang dijadikan
sebagai alat kekuasaan yang dipergunakan untuk menyiksa rakyat dan menindas mereka. Allah
Swt. berfirman,
Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta bala tentaranya adalah orang-orang yang
bersalah (Al-Qashash: 8).

Allah juga berfirman,


Maka Kami binasakan Fir'aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam
laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim (Al-Qashash: 40).

Kata "bala tentara" di atas meliputi seluruh pendukung orang yang zalim, baik dari kalangan
militer maupun sipil.
Al-Quran memerangi kezaliman dan penindasan dari berbagai segi sebagai berikut.
Pertama, kelompok penguasa yang zalim dan diktator di bumi ini. Sebagaimana firman Allah
Swt. berikut ini.
...demikianlah Allah mengunci mata hati orang yang sombong dan sewenang-wenang. (Al-
Mu'min: 35)

Dan mereka memohon kemenangan (atas musuh-musuh mereka) dan binasalah semua
orang yang berlaku sewenang-wenang, lagi keras kepala. (Ibrahim: 15)

Kedua, kelompok para pendukung kekuasaan, seperti Haman, Qarun, atau dari kalangan
militer dan sipil, seperti tentara Fir'aun.
Ketiga, kelompok rakyat yang menyerahkan ketaatannya kepada pemimpin yang zalim, tanpa
pernah bertanya kepada mereka suatu hal apa pun, seperti mengapa atau bagaimana, apalagi
sampai berani mengatakan tidak!
Al-Quran juga telah mencela kaum Nabi Nuh a.s., sebagaimana dalam firman Allah,
Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang
yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka (Nuh:
21).
Al-Quran pun mencela kaum Hud a.s., dengan firman-Nya,
...mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang
(kebenaran). Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari
Kiamat... (Hud: 59-60).

Al-Quran juga pernah mencela kaum Fir'aun, sebagaimana dalam firman-Nya,


Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu), lalu mereka patuh
kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik (Az-Zukhruf: 54).

Al-Quran telah memaparkan kepada kita berbagai gambaran dari pemandangan kiamat. Pada
saat itu terjadilah saling mencela antara para pemimpin dan pembesar yang menyesatkan
dengan para pengikut yang disesatkan. Masing-masing saling berlepas tangan, saling melaknat,
dan berusaha melemparkan tanggung jawab kepada yang lain. Namun, Allah memutuskan bahwa
mereka adalah ahli neraka. Firman Allah Swt. berikut ini.
Dan mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-
pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang
benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka
dengan kutukan yang besar." (Al-Ahzab: 67-68)

(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya,
dan mereka melihat siksa; dan ketika segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.
Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia),
pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami."
Demikianlah Allah memperlihatkan kepada amal perbuatannya menjadi sesalan bagi
mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluardari api neraka. (Al-Baqarah: 166-167)

Sesungguhnya diterimanya kepemimpinan politik bagi umat Islam adalah kerelaan dan baiat
atas kesadaran sendiri. Barangsiapa diterima kaum Muslimin untuk menjadi imam, amir, atau
pemimpin mereka dan mereka telah membaiatnya, berarti dia telah menjadi wali yang sah secara
syar'i yang wajib ditaati dalam hal makruf, wajib menasihatinya dengan benar serta
membantunya atas setiap kebaikan.
Islam tidak menghendaki seseorang menjadi imam shalat berjamaah, sementara para jamaah
tidak menyukainya. Bagaimana Islam bisa menerima seseorang yang memimpin seluruh umat
dalam mengatur urusannya secara umum, sedangkan umat itu tidak suka, yang dengannya umat
menjadi tersiksa dan marah?
Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam haditsnya,
Tiga orang yang shalatnya tidak diangkat di atas kepala mereka sejengkal pun, yaitu
seseorang yang mengimami kaum sedangkan kaum itu benci padanya, perempuan yang
bermalam sedang suaminya dalam keadaan marah kepadanya, dan dua bersaudara yang
saling bertengkar (HR. Ibnu Majah).

Keadilan
Di antara nilai-nilai asasi kemanusiaan yang dibawa Islam dan dijadikan sebagai pilar
kehidupan pribadi, rumah tangga, dan masyarakat adalah keadilan. Sampai-sampai Al-Quran
menjadikan keadilan di antara manusia itu sebagai tujuan risalah samawi, sebagaimana firman
Allah Swt.,
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan... (Al-Hadid: 25).

Tiada penekanari akan nilai keadilan yang lebih besar daripada perkara ini, yaitu bahwa Allah
mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya untuk mewujudkan keadilan.
Atas nama keadilan, kitab-kitab diturunkan dan para rasul diutus. Dengan keadilan ini pula
tegaklah kehidupan langit dan bumi. Keadilan maksudnya adalah memberikan hak kepada
pemiliknya, baik dalam skala pribadi atau beijamaah, juga menyangkut materi atau nilai tanpa
melebihi atau mengurangi, sehingga tidak sampai mengurangi haknya dan tidak pula
menyelewengkan hak orang lain. Allah Swt. berfirman,
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu
jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan
janganlah kamu mengurangi neraca itu (Ar-Rahman: 7-9).

Islam memerintahkan seorang Muslim agar berlaku adil terhadap diri sendiri, yaitu dengan
menyeimbangkan antara haknya, hak tuhannya, dan hak orang lain. Sebagaimana sabda Rasul
Saw. kepada Abdullah bin Amr ketika mengurangi haknya sendiri, yaitu dengan terus-menerus
puasa di siang hari dan shalat di malam hari.
Sesungguhnya tubuhmu memili hak yang harus engkau tunaikan, dan sesungguhnya kedua
matamu memiliki hak yang harus kau tunaikan, dan sesungguhnya keluargamu memiliki hak
yang harus kau penuhi, dan sesungguhnya para pengunjungmu memiliki hak yang harus kau
tunaikan (mutafaq alaih).

Islam juga memerintahkan bersikap adil terhadap keluarga, istri, anak-anak laki-laki, dan
anak-anak perempuan.
Allah Swt. berfirman,
...maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat.
Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja... (An-Nisa': 3).

Rasulullah Saw. bersabda, "Bertakwalah kamu kepada Allah dan bersikap adillah terhadap
anak-anakmu" (mutafaq alaih).
Ketika Basyir bin Sa'd Al-Anshari menginginkan agar Nabi menyaksikannya atas pemberian
tertentu, ia mengutamakan pemberian itu untuk sebagian anak-anaknya. Nabi bertanya
kepadanya, "Apakah semua anakmu kamu beri seperti ini?" Basyir menjawab, "Tidak!" Nabi
bersabda, "Mintalah saksi selain aku untuk hal itu, sesungguhnya aku tidak memberikan
kesaksian terhadap suatu penyelewengan" (HR. Muslim).
Islam memerintahkan kepada kita agar berlaku adil kepada semua manusia, baik yang dicintai
maupun yang dibenci. Janganlah perasaan cinta bersekongkol dengan kebatilan dan perasaan
benci tidak mencegah kita untuk berbuat adil dan memberikan hak kepada pemiliknya.
Allah Swt. berfirman,
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan
keadilan dan menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri, ibu bapak, dan
kaum kerabatmu... (An-Nisa': 135).
Allah Swt. memerintahkan kepada kita agar berlaku adil, sekalipun terhadap kaum yang kita
musuhi, sebagaimana firman-Nya,
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah dan menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Al-Ma'idah: 8).

Betapa banyak sejarah politik dan hukum dalam Islam yang menggambarkan keadilan kaum
Muslimin terhadap orang-orang non-Muslim dan keadilan para pemimpin terhadap rakyat.
Islam memerintahkan berlaku adil dalam perkataan, sehingga tidak akan keluar kata-kata
yang kotor saat marah dan di saat senang tidak boleh mendorong untuk berbicara yang batil.
Allah Swt. berfirman,
...apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendati dia adalah
kerabat(mu)... (Al-An'am: 152).

Islam juga memerintahkan agar bersikap adil dalam memberikan kesaksian. Seseorang tidak
boleh memberi kesaksian kecuali dengan sesuatu yang diketahui, tidak boleh menambah dan
tidak boleh mengurangi, tidak boleh mengubah dan tidak boleh mengganti. Allah Swt. berfirman
dalam beberapa ayat berikut ini.
...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu
tegakkan kesaksian itu karena Allah... (Ath-Thalaq: 2).

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah... (Al-Ma'idah: 8).

Islam juga memerintahkan agar bersikap adil dalam hukum, sebagaimana firman Allah Swt.,
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh) kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil... (An-Nisa': 58).

Banyak hadits yang menjelaskan keutamaan imam yang adil. Dia termasuk salah satu dari
tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari tidak ada lagi naungan selain
naungan-Nya. Dia juga termasuk tiga orang yang doanya tidak ditolak.
Di samping memerintahkan untuk berlaku adil dan mendorong ke arah sana, Islam juga
secara tegas mengharamkan kezaliman dan memberantasnya, baik kezaliman terhadap diri
sendiri maupun terhadap orang lain. Terutama kezaliman orang-orang kuat terhadap orang
lemah, kezaliman orang-orang kaya terhadap yang miskin, dan kezaliman pemerintah terhadap
rakyatnya. Semakin manusia itu lemah, maka semakin besar pula dosanya ketika kita
menzaliminya.
Rasulullah pernah memberikan wasiat kepada Mu'adz bin Jabal, "Hati-hatilah terhadap doa
orang yang teraniaya, karena tidak ada tabir antara doa itu dengan Allah" (mutafaq alaih)
Rasulullah juga bersabda,
Doa orang yang teraniaya itu akan diangkat Allah ke awan dan dibuka untuknya pintu-pintu
langit, kemudian Allah Swt. berfirman,"Demi kemuliaan-Ku. Sungguh, Aku akan menolong
kamu walaupun beberapa saat kemudian" (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Bentuk keadilan sebagaimana ditegaskan Islam—istilah sekarang disebut "keadilan sosial"—


berarti keadilan dalam membagi kekayaan (negara), membuka berbagai kesempatan yang
memadai untuk umat—umat yang satu—dan memberi kepada orang-orang yangbekerja
upahnya, tanpa dicuri oleh orang-orang yang mampu dan orang-orang yang mempunyai
pengaruh.
Keadilan juga berarti mendekatkan sisi-sisi perbedaan yang tampak antara individu dan
golongan, antara golongan yang satu dengan yang lain, dengan membatasi monopoli orang-
orang kaya di satu sisi dan berupaya meningkatkan pendapatan orang-orang miskin di sisi lain.
Sejak lama Islam telah memperhatikan keadilan, sehingga saat Al-Quran diturunkan di
Makkah pun tidak melupakan permasalahan ini, bahkan sangat memberikan perhatian.
Barangsiapa tidak memberi makan kepada orang-orang miskin, ia termasuk ahli Neraka
Saqar. Allah Swt. berfirman,
"Apakah yang memasukkan kamu ke Saqar (Neraka)?" Mereka menjawab, "Kami dahulu
tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat dan tidak (pula) memberi makan orang
miskin." (Al-Muddattsir: 42-44).

Kita tidak hanya berkewajiban memberi makan orang miskin, tetapi juga harus mengajak
orang lain agar memberi makan kepada orang miskin dan menyerukannya agar memperhatikan
kepentingan dan keperluan mereka. Allah Swt. berfirman,
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (Al-Ma'un: 1-3).

Al-Quran mengumpulkan orang yang menelantarkan kaum miskin bersama orang yang kufur
kepada Allah, dan memberinya azab yang pedih, serta memasukkan mereka ke Neraka Jahim.
Firman Allah Swt.,
Peganglah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya, kemudian masukkanlah dia ke api
neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh
puluh hasta. Sesungguhnya dahulu dia tidak beriman kepada Allah Yang Mahabesar. Dan
juga dia tidak mendorong untuk memberi makan orang miskin (Al-Haqqah: 30-34).

Masyarakat jahiliah itu tercela dan dimurkai Allah, karena menelantarkan orang-orang lemah
dan hanya mementingkan orang-orang yang kuat untuk memakan harta waris dan mencintai
harta mereka.
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim dan kamu tidak
saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta warisan dengan
cara mencampuradukkan (yang halal dan yang batil), dan kamu mencintai harta benda
dengan kecintaan yang berlebihan. (Al-Fajr: 17-20)

Islam telah memberi perhatian masyarakat yang lemah. Realisasinya, Islam menentukan
hukum dan sarana untuk menyediakan pekerjaan yang sesuai bagi setiap orang yang belum
mendapatkan pekerjaan, gaji yang layak bagi setiap pekerja, makanan yang cukup bagi yang
kelaparan, pengobatan yang cukup bagi orang sakit, pakaian yang pantas bagi orang yang
kekurangan sandang, dan mencukupi kebutuhan secara penuh bagi yang membutuhkan sesuai
dengan kondisinya, tanpa berlebihan dan tanpa mengurangi. Islam memperhatikan orang-orang
yang berada di bawah tanggung jawabnya. Inilah penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Al-
Majmu.
Untuk memenuhi kebutuhan di atas, Islam mewajibkan orang-orang kaya di kalangan umat
Islam agar memenuhi hak- hak (dalam harta mereka), berupa zakat—sebagai rukun Islam
ketiga—yang harus dilaksanakan dengan penuh ketaatan dan keikhlasan. Jika ia menolak, maka
harus diambil secara paksa. Kalau ada suatu kelompok kuat yang membelanya, maka harus
diperangi dengan senjata.
Zakat diambil dari orang-orang kaya untuk diberikan kepada orang-orang fakir, yang berarti
dari umat untuk umat.
Menurut pendapat yang lebih kuat, orang miskin diberi zakat untuk mencukupi kebutuhan
selama hidup, dalam batas-batas umum selama hasil zakat itu memungkinkan. Dengan demikian,
pada tahun mendatang ia akan menjadi pemberi bukan lagi pemungut, ia berada di atas bukan
lagi di bawah.
Telah disusun beberapa buku tentang masalah ini yang pantas untuk ditelaah. Dalam buku
kami yang berjudul Ash-Shahwah Al-Islamiyyah wa Humum Al-Wathan AI-'Arabii) wa Al-Islamiy
terdapat garis-garis besar yang ditekankan pada pembahasan pilar-pilar keadilan sosial dalam
Islam.

Persaudaraan (Al-Ikha')
Di antara nilai-nilai sosial kemanusiaan yang ditekankan oleh Islam adalah ukhuwah
(persaudaraan). Hendaknya manusia hidup di masyarakat itu saling mencintai dan saling
menolong, dengan diikat oleh perasaan layaknya anak-anak dalam satu keluarga. Mereka saling
mencintai dan saling memperkuat, sehingga benar-benar terasa bahwa kekuatan saudara adalah
kekuatannya dan kelemahan saudaranya adalah kelemahannya juga. Ia akan merasa kecil (tidak
berarti) jika sendirian dan dia akan merasa banyak manakala bersama saudara-saudaranya.
Mengingat urgennya permasalahan ini dalam pembinaan masyarakat Islam, maka kami akan
menjelaskan hal tersebut secara terperinci.
Al-Quran telah menjadikan bahwa hidup bersaudara itu suatu kenikmatan yang terbesar.
Allah Swt. berfirman,
...dan ingatlah akan kenikmatan Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) saling
bermusuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah
orang-orang yang bersau-dara... (Ali 'Imran: 103).

Al-Quran juga menjadikan persaudaraan dalam bermasyarakat di antara orang-orang


mukmin sebagai konsekuensi keimanan yang tidak dapat terpisah satu sama lain di antara
keduanya. Allah Swt. berfirman,
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara... (Al-Hujurat: 10).

Di ayat yang lain Allah Swt. berfirman,


... Dia-lah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan para mukmin, dan yang
mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan
semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapatmempersatukan hati mereka.
Namun Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana (Al-Anfal: 62-63).
Rasulullah Saw. bersabda,
janganlah saling menghasut, saling bermusuhan, dan saling bertengkar, dan jadilah kamu
hamba-hamba Allah yang bersaudara.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari haditsnya Zaid bin Arqam, bahwa
Rasulullah Saw. berdoa pada setiap selesai shalat dengan doa, "Ya Allah, ya Tuhan kami, Tuhan
dan Pemilik segala sesuatu. Saya bersaksi bahwa Engkau-lah Allah Yang Esa, dan tidak ada sekutu
bagi-Mu. Ya Allah, ya Tuhan kami, Tuhan dan Pemilik segala sesuatu. Aku bersaksi bahwa
sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu. Ya Allah, ya Tuhan kami, Tuhan dan
Pemilik segala sesuatu. Sesungguhnya kami bersaksi bahwa sesungguhnya seluruh hamba-(Mu)
adalah bersaudara."
Dalam doa tersebut, pengakuan tentang prinsip ukhuwah (persaudaraan) diletakkan setelah
bersyahadah kepada Allah dengan mengesakan Dia dan bersaksi bahwa Muhammad Saw. adalah
hamba dan rasul-Nya. Dalam ungkapan "seluruh hamba-(Mu) adalah saudara" ada dua makna
yang keduanya sama-sama benar.
Pertama, sesungguhnya para hamba yang dimaksud di sini adalah seluruh manusia. Mereka
bersaudara antara satu dengan yang lain, dengan alasan bahwa mereka adalah keturunan Adam
dan hamba Allah. Ini adalah ukhuwah insaniyah ‘ammah (persaudaraan antarmanusia secara
umum).
Allah Swt. telah mengidentifikasi sejumlah rasul dalam Al-Quran bahwa mereka itu
bersaudara dengan kaumnya, meskipun kaumnya kafir terhadap risalahnya, karena adanya sisi
persamaan dengan mereka di dalam jenis dan asal mula. Allah Swt. berfirman dalam beberapa
ayat berikut.
Kami telah mengutus kepada kaum Aad saudara mereka, Hud... (Al-A'raf: 65).

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shaleh...(Al-A'raf: 73).

Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu'aib... (Al-A'raf:
85).

Kedua, sesungguhnya yang dimaksud "hamba" di sini adalah khusus kaum Muslimin, karena
kesamaan mereka dalam satu agama (millah). Mereka bersatu dalam akidah (yaitu menauhidkan
Allah) dan bersatu dalam kiblat (yaitu Kakbah di Baitulharam). Mereka pun diikat oleh kitab yang
satu (Al-Quran), rasul yang satu (Muhammad Saw.), dan manhaj yang satu pula (syariat Islam).
Inilah yang disebut dengan ukhuwah diniah (agama) atau ukhuwah islamiah secara khusus.
Hal ini tidak bertentangan dengan yang pertama, karena tidak saling menafikan antara yang
khusus dan yang umum. Hanya saja, ukhuwah diniah memiliki hak-hak yang lebih banyak, sesuai
dengan ikatan akidah dan syariat, pemikiran, dan tingkah laku.

Cinta dan Tingkatannya


Di antara unsur-unsur pokok dalam ukhuwah adalah cinta. Tingkatan cinta yang paling rendah
adalah bersihnya hati dari perasaan hasad, benci, dengki, dan bersih dari sebab-sebab
permusuhan.
Al-Quran menganggap permusuhan dan saling membenci itu sebagai siksaan yang dijatuhkan
Allah atas orang-orang yang kufur terhadap risalah-Nya dan menyimpang dari ayat-ayat-Nya.
Firman Allah Swt.,
Dan di antara orang-orang yang mengatakan, "Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani.
Telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa
yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka
permusuhan dan kebencian sampai hari Kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada
mereka apa yang selalu mereka kerjakan" (Al-Ma'idah: 14).

Dalam pandangan Islam, Al-Quran menyatakan bahwa khamr dan judi termasuk dosa besar
yang mencelakakan. Alasan pertama diharamkannya adalah karena menimbulkan permusuhan
dan kebencian dalam masyarakat, betapa pun keduanya berbahaya dari sisi lainnya yang juga
tidak bisa disembunyikan. Firman Allah:
Sesungguhnya setan itu hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamr dan berjudi, serta menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjan itu) (Al-Ma'idah: 91).

Dalam hadits, penyakit-penyakit itu disebut sebagai penyakit umat (da' al-umam). Rada
kesempatan lain, Rasulullah juga menamakannya sebagai pencukur (al-haliqah), yaitu yang
mencukur agama, bukan mencukur rambut, disebabkan bahayanya bagi kesatuan jamaah dan
keterkaitannya dengan sisi materi dan moral.
Rasulullah Saw. bersabda dalam beberapa hadits berikut.
Maukah kalian saya tunjukkan amal yang lebih utama derajatnya daripada shalat, puasa,
dan sedekah? Yaitu memperbaiki hubungan antara dua orang (yang berselisih).
Sesungguhnya rusaknya hubungan itulah pencukur. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Telah merata kepadamu penyakit umatterdahulu, itulah hasad dan kebencian, sementara
kebencian itulah yang mencukur. Saya tidak mengatakan mencukur rambut, tetapi mencukur
agama. (HR. Al-Bazzar)

"Pintu-pintu surga itu dibuka pada hari Senin dan Kamis, maka diampuni pada tiap hamba
yang tidak syirik kepada Allah, kecuali seseorang yang antara dirinya dengan saudaranya
terjadi permusuhan, maka dikatakan, 'Lihatlah kedua orang itu hingga mereka berdamai,
lihatlah kedua orang itu hingga mereka berdamai, lihatlah kedua orang itu hingga mereka
berdamai," (HR. Muslim)
Dalam hadits lain Rasulullah Saw. juga bersabda, "Tidak halal seorang Muslim mendiamkan
saudaranya selama tiga hari, apabila keduanya bertemu maka yang satu berpaling dan yang lain
juga berpaling. Yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai dengan ucapan salam" (HR.
Bukhari-Muslim)
Sabdanya yang lain, "Ada tiga orang yang shalatnya tidak diangkat di atas kepala sejengkal
pun, yaitu seseorang yang mengimami suatu kaum sedangkan kaum itu membencinya,
perempuan yang bermalam sedang suaminya dalam keadaan marah kepadanya, dan dua saudara
yang bermusuhan." (HR. Ibnu Majah)
Sesungguhnya suasana benci dan permusuhan adalah suasana yang busuk dan tidak
menyenangkan. Saat itulah setan bisa menjual dagangannya dengan laris, seperti berburuk
sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, membicarakan aib orang lain (ghibah), mengadu
domba, berkata bohong, melaknat, sampai pada tingkatan saling membunuh sesama saudara.
Bahaya ini diperingatkan oleh Rasulullah Saw. dan dianggap sebagai sisa kejahiliahan.
Nabi Saw. bersabda, "Janganlah kalian kembali menjadi kafir setelahku, (yaitu) sebagian di
antara kalian membunuh sebagian yang lain" (HR. Bukhari dan Muslim).
Nabi Saw. juga bersabda, "Mencaci maki seorang Muslim adalah kefasikan dan
membunuhnya adalah kekufuran" (HR. Bukhari-Muslim).
Oleh karena itu, memperbaiki hubungan saudara termasuk amal ibadah yang paling mulia.
Allah Swt. berfirman dalam ayat berikut.
Sesungguhnya orang-orang mukmin bersaudara. Karena itu, damaikanlah antara dua
saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (Al-Hujurat: 10)

...bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah
kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman. (Al-Anfal: 1)

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa berbuat demikian karena mencari
keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (An-Nisa': 114)

Syariat Islam bahkan telah memberikan bagian tersendiri dari hasil zakat untuk orang-orang
yang memiliki utang dalam upaya memperbaiki hubungan di antara mereka. Hal itu guna
membantu mereka agar dapat melakukan kemuliaan ini yang semula dilakukan oleh orang-orang
yang berjiwa besar dan memiliki cita-cita yang luhur (tinggi). Mereka itulah yang menanggung
denda dan hutang para kabilah yang sedang bertengkar, meskipun mereka sendiri tidak memiliki
harta secara cukup.
Mengingat begitu pentingnya memperbaiki hubungan antara dua pihak, maka Rasulullah
Saw. memberikan keringanan terhadap orang yang melakukan perbaikan hubungan untuk tidak
selalu dalam kejujuran yang sempurna dalam menentukan sikap masing-masing. Oleh karena itu,
ia dibolehkan memindahkan sebagian kata sebagaimana dikatakan, yang telah menyalakan api
permusuhan dan tidak memadamkannya, dengan sedikit berdiplomasi.
Rasulullah Saw. bersabda,
Bukanlah pembohong orang yang mendamaikan antara dua orang, lalu ia mengatakan suatu
kebaikan atau menyampaikan suatu kebaikan (HR. Ahmad).

Yang lebih tinggi dari tingkatan bersihnya hati dari rasa dengki dan permusuhan adalah
tingkatan yang diungkapkan dalam hadits sahih, "Tidak sempurna iman seseorang di antara
kalian, sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri" (mutafaq alaih).
Dengan demikian, berarti ia juga membenci segala sesuatu yang menimpa saudaranya
sebagaimana ia membenci sesuatu itu menimpa dirinya. Jika ia senang dirinya memperoleh
kemakmuran hidup, maka ia juga menginginkan demikian itu bagi orang lain. Jika ia
menginginkan mendapat kemudahan dalam kehidupan berkeluarga, maka ia juga menginginkan
hal itu diperoleh orang lain. Begitu juga jika ia ingin anak-anaknya menjadi cerdas, maka ia juga
menginginkan hal yang sama untuk orang lain. Jika ia menginginkan agar tidak disakiti, baik ketika
berada di rumah maupun sedang bepergian, maka ia juga menginginkan hal yang sama atas
seluruh manusia. Dengan demikian, ia menempatkan saudaranya seperti dirinya dalam segala
sesuatu yang dicintai dan dibenci.
Derajat Itsar
Ada lagi derajat (tingkatan) yang lebih tinggi dari lapang dada dan cinta, yaitu itsar. Itsar
adalah mendahulukan kepentingan saudaranya atas kepentingan diri sendiri dalam segala
sesuatu yang dicintai. Ia rela lapar demi kenyangnya orang lain. Ia rela haus demi puasnya orang
lain. Ia rela beijaga demi tidurnya orang lain. Ia rela bersusah payah demi istirahatnya orang lain.
Ia pun rela ditembus peluru dadanya demi selamatnya orang lain.
Al-Quran telah mengemukakan kepada kita gambaran yang terang tentang masyarakat Islam
di Madinah yang tampak di dalamnya makna itsar, pengorbanan, dan kemurahan. Allah Swt.
berfirman,
Orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum
(kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka.
Mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yangdiberikan
kepada mereka (orang Muhajirin) dan mereka merigutamakan (orang-orang Muhajirin) atas
diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (Al-Hasyr: 9).

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Sa'd bin Rabi telah menawarkan
kepada Abdurrahman bin Auf —setelah keduanya dipersaudarakan Nabi Saw—agar bersedia
diberi separo dari hartanya, salah satu dari rumahnya, dan salah satu dari istrinya untuk dicerai
lalu disuruh menikahinya. Abdurahman bin Auf berkata kepada Sa'd bin Rabi, "Semoga Allah
memberkahi keluargamu, semoga Allah memberkahi rumahmu, dan semoga Allah memberkahi
hartamu. Sesungguhnya aku adalah seorang pedagang. Oleh karena itu, tunjukkan saja padaku
jalan menuju pasar!"
Inilah gambaran itsar yang langka—yang hampir-hampir tidak akan kita dapatkan di masa
kini—yang kemudian dibalas dengan sikap menjaga kehormatan diri ('iffah) yang mulia dan arif.
Keduanya menampilkan contoh ideal sikap masyarakat Islam yang dibangun oleh Rasulullah Saw.
di Madinah, yang senantiasa diidam-idamkan sebagai bentuk ideal sebuah masyarakat.
Islam menginginkan dengan sangat agar cinta dan persaudaraan antara sesama manusia bisa
merata di semua bangsa, antara sebagian dengan sebagian yang lain. Islam tidak bisa di- pecah-
belah dengan perbedaan unsur, warna kulit, bahasa, iklim, dan atau batas negara, sehingga tidak
ada kesempatan untuk bertikai atau saling dengki, meskipun berbeda-beda dalam harta dan
kedudukan.
Rezeki itu ketentuan Allah Swt. atas semua hamba-Nya, sehingga tidak ada tempat bagi
kesombongan pemerintah terhadap rakyat, karena sesungguhnya pemerintah adalah wakil atau
pelayan bagi rakyat. Begitu pula tidak ada tempat bagi kebencian rakyat kepada pemerintah,
selama ia berbuat kebenaran dan melaksanakan kewajibannya.
Rasulullah Saw. bersabda,
Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka
juga mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian (HR.
Muslim).

Menyelaraskan antara Teori dan Praktik


Islam tidak suka jika dakwahnya hanya konsep di kepala atau impian di benak para dai saja.
Akan tetapi, Islam menyelaraskan antara teori dan praktik maupun antara konsep dan
penerapan. Oleh karena itu, Islam mengajak kita untuk melaksanakan sejumlah syiar, etika, dan
kebiasaan yang dapat memperkuat ikatan cinta di antara sesama manusia.
Di antara etika itu adalah menyebarkan ucapan salam setiap bertemu dengan yang lain.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah Saw.,
Demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, kalian tidak masuk surga hingga kalian
beriman, dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian saya
tunjukkan sesuatu yang apabila kalian melakukannya pasti kalian saling mencintai? Sebarkan
salam di antara kalian! (HR. Muslim)

Adab yang lain adalah berbasa basi (mujamalah) dengan orang lain. Misalnya memberi
ucapan atas nikmat yang didapatkan orang lain, takziyah ketika ada musibah, menjenguk orang
sakit, dan mendoakan orang yang bersin.
Kita juga dianjurkan agar saling memberi hadiah satu sama lain dalam acara dan peristiwa
yang baik, sebagaimana tersebut dalam hadits,
Saling memberi hadiahlah, maka kalian akan saling mencintai (HR. Abu Ya'la)

Untuk memupuk rasa cinta dan kasih bisa juga dilakukan melalui adanya pertemuan-
pertemuan, di mana kita bisa saling berkenalan dan berjabat tangan. Inilah yang disyariatkan oleh
Islam melalui kewajiban shalat berjamaah, shalat Jumat, dan shalat dua Hari Raya.
Islam berupaya menghindarkan umatnya dari kerusakan akhlak yang dapat memutuskan
ikatan cinta dan kasih sayang di antara manusia.
Alquranul Karim menetapkan bahwa orang-orang yang beriman itu bersaudara. Kemudian
dilanjutkan dengan larangan terhadap sejumlah kebiasaan buruk yang dapat meretakkan
keutuhan ukhuwah dan merobohkan sendi-sendinya, seperti: menghina, mencela, memanggil
dengan sebutan yang tidak menyenangkan, mencari-cari kesalahan dan aib orang lain, berburuk
sangka, dan menggunjing. Allah Swt. berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum lain karena boleh
jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Jangan pula
perempuan-perempuan mengolok-olok perempuan-perempuan lain, (karena) boleh jadi
perempuan- perempuan (yang diperolok-olokkan) itu lebih baikdaripada perempuan yang
mengolok-olok. Janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang
buruk sesudah iman dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara
kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha
Penyayang (Al-Hujurat: 11-12).

Persatuan adalah Buah Persaudaraan


Di antara buah persaudaraan adalah persatuan (wihdah), sebagai lawan dari firqah yang
artinya perpecahan.
Masyarakat Islam yang bersaudara adalah masyarakat yang satu dalam akidah, ibadah,
akhlak, arah pemikiran, perasaan, perilaku dan tata kehidupan, nilai-nilai kemanusiaan, dan
dasar-dasar hukumnya.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang satu dalam misi hidupnya, yaitu menghubungkan
antara bumi dengan langit, dunia dengan akhirat, makhluk dengan Khalik. Mereka adalah
masyarakat yang sama dalam prinsipnya, yaitu menggabungkan antara idealisme dan realisme,
antara yang pokok dengan yang cabang, dan antara berpegang pada warisan lama dengan daya
kreasi modern.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang satu dalam sumber hukum (sekaligus sebagai
sumber hidayah), itulah Alquranul Karim dan Sunah Rasul yang suci. Mereka memiliki satu idola,
yaitu Rasulullah Saw. sebagai uswah hasanah. Mereka adalah masyarakat yang beriman kepada
tuhan yang satu, kitab yang satu, rasul yang satu, menghadap kiblat yang satu, dengan ibadah
yang satu, dan berhakim dalam memutuskan segala persoalan pada syariat yang satu.
Loyalitasnya pun hanya tertuju kepada Allah yang satu, rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Ia
mencintai, membenci, serta mengikat hubungan dan memutuskannya hanya karena Allah Swt.
Allah Swt. berfirman,
Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhir saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekalipun orang-
orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, maupun keluarga mereka... (Al-
Mujadilah: 22).

Masyarakat Islam tidak pantas bila berpecah belah seperti masyarakat lainnya yang dipicu
oleh fanatisme golongan, ras, warna kulit, tanah air (asal daerah), bahasa, kelas sosial, mazhab,
atau yang lainnya, sehingga dapat merongrong persatuan.
Ukhuwah islamiah berada di atas segala macam fanatisme, apa pun nama dan bentuknya.
Rasulullah Saw. sangat anti terhadap segala fanatisme seperti ini, sebagaimana tertulis dalam
sabdanya,
Bukan termasuk umatku orang yang mengajak pada fanatisme, bukan termasuk umatku
orang yang berperang atas dasar fanatisme, dan bukan termasuk umatku orang yang mati
atas dasar fanatisme (HR. Abu Daud).

Al-Quran memperingatkan bahaya rekayasa yang diembuskan oleh orang-orang non-Muslim


yang ingin memecah belah umat Islam dan memorak-porandakan persatuan mereka. Hal seperti
ini pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap kaum Muslimin dari suku Aus dan
Khazraj, setelah mereka dipersatukan Allah dalam Islam. Allah Swt. berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian orang yang diberi Alkitab,
niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.
Bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu,
dan rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu. Barangsiapa berpegang teguh kepada
(agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-
Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan (memegang teguh) Islam. Dan
berpegangteguhlah kamusemua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-
berai. Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masajahiliah) bermusuh-
musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah
orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu
agar kamu mendapat petunjuk (Ali 'Imran: 100-103).
Allah Swt. kemudian memperingatkan kepada kita agar tidak bercerai-berai dan berselisih,
sebagaimana firman-Nya,
Janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang
berat (Ali 'Imran: 105).

Selain ayat yang memerintahkan agar berpegang teguh pada tali Allah dan melarang bercerai-
berai atau berselisih, juga disebutkan ayat yang mewajibkan berdakwah, beramar makruf, dan
nahi mungkar sebagai berikut.
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-
orang yang beruntung (Ali 'Imran: 104).

Hal ini menunjukkan bahwa yang mempersatukan umat dan yang merajut keping-keping
ukhuwah di antara mereka adalah adanya manhaj yang menjadi pegangan dan rujukan umat.
Itulah tali Allah (Islam dan Al-Quran) dan risalah yang satu, yang diperjuangkan dan menjadi pusat
perhatian. Itulah dakwah ke arah kebajikan, amar makruf, dan nahi mungkar.
Namun apabila umat itu malas memperjuangkan risalah atau kehilangan manhajnya, maka
jalan menuju persatuan akan tertutup dan mereka tercerai-berai. Mereka ada yang ke kanan dan
ada yang ke kiri. Setan pun akan menyeretnya ke timur dan ke barat.
Inilah yang diperingatkan oleh Al-Quran,
Sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu (dapat) mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.
Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa (Al-An'am: 153).

Persatuan umat yang diwajibkan Islam bukan berarti mengingkari adanya keberagaman yang
disebabkan oleh perbedaan lingkungan, adat istiadat, latar belakang budaya, serta pengaruh
tingkat ilmu pengetahuan dan intelektualitasnya. Kesemuanya justru akan memperkaya
khazanah budaya dalam kerangka persatuan. Sebagaimana beragamnya bakat, selera, pemikiran,
dan spesialisasi di antara orang-orang dalam satu keluarga, atau beragamnya bunga-bunga dan
buah-buahan di dalam sebuah kebun.
...yang disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas
sebagian yang lain tentang rasanya"... (Ar-Ra'd: 4).

Islam sangat memperhatikan sahnya ijtihad yang beragam, sepanjang masih dalam kerangka
kaidah-kaidah pokok dan nash-nash yang qath'i dan disepakati. Seorang mujtahid tidak boleh
mengingkari mujtahid lainnya, meski ada perbedaan dalam hasilnya, karena setiap mujtahid
memiliki kondisi yang berbeda. Masing-masing mendapat pahala, baik benar maupun salah,
selama ia termasuk ahli berijtihad dengan memenuhi segala syarat dan kriterianya.
Perbedaan pendapat tidak boleh menjadi penyebab perpecahan atau permusuhan, karena
para sahabat dan tabiin juga berselisih dalam berbagai persoalan. Akan tetapi, hal itu tidak
membuat mereka berpecah-belah, bahkan mereka toleran dan saling mendoakan.
Di antara yang bisa meringankan khilaf (perselisihan pendapat) adalah adanya keputusan
imam atau hakim. Dialah penentu keputusan akhir dalam masalah khilafiyah, sehingga bisa
menghilangkan perselisihan dan pertengkaran dalam pelaksanaan.
Kerja Sama, Saling Membantu, dan Saling Menyayangi
Kerja sama, saling membantu, dan saling berkasih sayang merupakan buah ukhuwah. Apalah
artinya berukhuwah jika tidak membantu sesamanya saat memerlukan, tidak menolongnya
ketika tertimpa musibah, serta tidak belas kasihan kepada saat ia lemah.
Rasulullah Saw. telah menggambarkan tujuan saling menolong dan keterikatan antarkaum
Muslimin dalam bermasyarakat dengan gambaran yang mantap.
Beliau bersabda,
Mukmin yang satu dengan yang lain bagaikan sebuah bangunan yang saling memperkuat
antara sebagian dengan sebagian yang lain (Beliau memasukkan jari-jari tangan ke sela-sela
jari lainnya) (mutafaq alaih).

Satu batu merah tentu saja lemah, meskipun terlihat kuat. Bahkan seribu bata sekalipun,
kalau ia masih berserakan tentu tidak akan memiliki kekuatan. Setelah terbentuk bangunan yang
kuat yang disusun dengan teratur dalam susunan yang rapi, baru akan memiliki kekuatan yang
besar. Saat itulah akan terbentuk dinding yang kukuh dan dari dinding-dinding itu akan terbentuk
rumah yang kuat, yang tidak mudah dirobohkan oleh tangan-tangan perusak.
Rasulullah Saw. dalam hadits lainnya juga menggambarkan keterikatan masyarakat Islam
antara yang satu dengan yang lain dalam bentuk cinta dan kasih sayang, "Orang-orang mukmin
dalam (menjalin) cinta dan kasih sayang di antara mereka bagaikan tubuh yang satu. Apabila
ada anggota (tubuh) yang merasa sakit, maka anggota yang lain akan merasa demam dan tidak
bisa tidur" (HR. Muslim).
Anggota tubuh yang satu dengan yang lain saling membutuhkan, tidak bisa terpisah, dan tidak
bisa hidup sendiri-sendiri. Oleh karenanya, tidaklah bisa dipisahkan antara alat pernapasan
dengan alat pencernaan, atau kedua-duanya dengan pembuluh darah. Masing-masing saling
menyempurnakan. Dengan keija sama dan saling membantu antar bagian tubuh, mereka akan
hidup, terus berkembang, dan berperan aktif.
Rasulullah Saw. juga bersabda,
Orang-orang Muslim itu kehormatannya setara, yang lemah di antara mereka hidup dengan
tanggungan yang kuat, sementara yang kuat di antara mereka melindungi yang lemah.
Mereka satu tangan menghadapi musuh-musuh mereka, yang kuat menopang yang lemah
dan yang cepat menolong yang lambat (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Rasulullah Saw. juga memasukkan pemahaman baru dalam menolong Muslim lainnya dengan
sabdanya,
Tolonglah saudaramu, baik yang berbuat zalim maupun yang dizalimi. Nabi ditanya, "Kalau
yang dizalimi kami bisa menolong, bagaimana dengan orang yang menzalimi, wahai
Rasulullah?" Nabi menjawab, "Kamu tahan kedua tangannya atau kamu cegah dia dari
berbuat zal im. Itulah cara menolongnya" (HR. Bukhari).

Alquranul Karim menganjurkan untuk saling menolong, bahkan mewajibkannya selama ia


dilakukan dalam kerangka kebaikan dan ketakwaan. Sebaliknya Islam mengharamkan tolong-
menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Allah Swt. berfirman,
...tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran... (Al-Ma'idah: 2).

Al-Quran juga memerintahkan agar orang-orang yang beriman saling memberi loyalitas.
Itulah salah satu konsekuensi keimanan, sebagaimana firman Allah Swt.,
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong
bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah yang
mungkar... (At-Taubah: 71).

Ayat tersebut merupakan kebalikan dari sifat-sifat orang munafik yang juga berbuat
demikian, sebagaimana firman Allah,
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah
sama. Mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang makruf... (At-
Taubah: 67).

Sebagaimana dilakukan juga oleh para sahabat, Allah Swt. berfirman tentang mereka sebagai
berikut.
Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah tegas
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.... (Al-Fath: 29)

Ayat di atas maksudnya adalah agar yang kuat membantu yang lemah dan yang kaya
mengulurkan tangan kepada yang miskin. Hendaknya seorang yang alim mengajari yang bodoh,
yang tua mengasihi yang muda, yang muda menghormati yang tua, dan yang bodoh pun
mengetahui kewajibannya terhadap yang alim. Hendaknya pula seluruh kaum Muslimin berada
dalan satu barisan untuk menghadapi tantangan dan konspirasi (persekongkolan) musuh, baik
dalam keadaan perang maupun damai. Allah Swt. berfirman,
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam keadaan
berbaris (bershaf-shaf), seakan-akan mereka itu bangunan yang tersusun kukuh (Ash-Shaff:
4).

Dalam Al-Quran kita mendapati kisah-kisah yang hidup dalam hal kerja sama yang konstruktif.
Salah satu di antaranya adalah keija sama antara Musa dengan saudaranya, Harun. Kisah itu
bermula ketika Musa memohon kepada Allah agar Harun membantunya dalam menyampaikan
risalah.
Allah Swt. berfirman,
Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku.
Teguhkanlah kekuatanku dengan dia, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya
kami banyak bertasbih kepada Engkau dan mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha
Melihat (keadaan) kami (Thaha: 29-35).

Jawaban Allah atas permohonan Musa tersebut dimuat dalam Al-Quran sebagai berikut.
Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua
kekuasaan yang besar.... (Al-Qashash: 35)

Demikianlah, Harun membantu saudaranya (Musa) ketika sedang di rumah dan


menggantikan kedudukannya ketika Musa sedang pergi.
Contoh kerja sama yang lain adalah sebagaimana dikisahkan Al-Quran tentang pembuatan
bendungan raksasa Zulqarnain untuk menghindari serangan Ya'juj dan Ma'juj yang merusak di
bumi. Contoh lain adalah tolong-menolongnya pemimpin yang saleh dengan rakyatnya yang
ketakutan menghadapi amukan makhluk yang merusak.
Allah Swt. berfirman,
Mereka berkata, "Hai Zulqarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang
membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran
kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" Zulqarnain berkata,
"Apa yang telah dikuasakan Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka
tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding
antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi." Hingga saat besi itu telah
sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Zulqarnain, "Tiuplah (api itu)!"
Apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, "Berilah aku tembaga
yang (mendidih) agar kutuangkan di atas besi panas itu." Maka mereka tidak bisa
mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya (Al-Kahfi: 94—97).

Takaful di Bidang Materi dan Moral


Di antara bentuk kerja sama dan saling menolong adalah saling menanggung (takaful) dalam
masyarakat Islam, baik takaful di bidang materi, moral, ekonomi, politik, militer, sipil, maupun
sosial dan budaya.
Takaful dimulai dari kerabat, antara sebagian dengan sebagian yang lainnya, sebagaimana
dijelaskan secara terperinci dalam aturan nafkah menurut syariat Islam. Keluarga yang kaya
hendaknya memberikan infak kepada keluarga yang miskin sesuai dengan syarat-syarat dan
hukum-hukum yang dijelaskan di dalam fiqih Islam.
Allah Swt. berfirman,
...orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu (Al-Anfal: 75).

Selanjutnya lingkup takaful ini melebar ke tetangga, sesuai dengan hak tetangga yang telah
ditekankan oleh Islam. Dalam hadits disebutkan,
Bukanlah termasuk orang beriman orang yang semalaman kekenyangan sedang tetangga di
sebelahnya kelaparan (HR. Thabrani).
Dalam hadits lainnya disebutkan,
Siapa pun penghuni suatu rumah, jika di antara mereka malam-malam ada yang kelaparan,
maka tanggungan Allah dan rasul-Nya akan terlepas dari mereka (HR. Ahmad).

Wilayah takaful itu kemudian semakin lebar dan meluas sampai satu desa atau lebih luas dari
itu, yakni melalui zakat yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya agar diambil dari orang-
orang kaya untuk diberikan kepada fakir miskin. Dengan demikian, bisa dilakukan sesuai dengan
pembagian wilayah masing-masing. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh peradaban masa
lalu sebelum Islam, di mana pajak itu diambil dari para petani dan pengusaha daerah atau
perkampungan yang cukup jauh untuk dibagi dikota-kota besar, terutama ibu kota tempat tinggal
seorang raja. Wilayah takaful itu kemudian semakin meluas hingga merata ke seluruh lapisan
masyarakat.
Sejak munculnya fajar dakwah Islam di Makkah—ketika umat Islam masih sedikit jumlahnya
dan mereka tertindas, tidak memiliki kekuatan, dan kekuasaan—Al-Quran sudah menyeru
mereka untuk bertakaful. Yakni dengan menjadikan anggota masyarakat seperti satu keluarga
(yang kaya menanggung yang miskin).
Al-Quran tidak memandang hal itu sebagai sunah yang hanya dilakukan oleh orang-orang
tertentu—yang memiliki derajat iman dan ihsan yang tinggi, sedangkan selain mereka tidak
dituntut—melainkan menjadikan hal itu sebagai suatu permasalahan yang asasi dari pilar-pilar
agama. Orang yang tidak melakukannya tidaklah akan memperoleh ridha Allah dan orang yang
meninggalkannya tidaklah akan selamat dari azab Allah.
Sebagaimana firman Allah dalam surat makiyah berikut ini.
Maka tidakkah sebaiknya (dengan harta itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari
perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan (kepada) anak yatim yang ada
hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang-orang yang
beriman dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (Al-Balad: 11-17)

Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya, kecuali golongan kanan,
berada di dalam surga. Mereka saling bertanya tentang (keadaan) orang-orang yang
berdosa, "Apakah yang memasukkan kamu ke Saqar (neraka)?" Mereka menjawab, "Kami
dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi
makan orang miskin." (Al-Muddattsir: 38-44)

Mereka telah menyia-nyiakan hal Allah dengan melalaikan shalat dan tidak memberi makan
orang-orang miskin, maka sepantasnyalah bertempat tinggal di neraka.
Memberi makan orang miskin adalah suatu gambaran tentang kepentingan kita dan
kebutuhan mereka secara keseluruhan. Tidak berarti bahwa kita memberi makan orang miskin
sementara dia kita biarkan terkatung-katung tanpa tempat tinggal atau telanjang tanpa pakaian
atau sakit tanpa ada yang mengobati.
Al-Quran tidak hanya mewajibkan memberi makan kepada orang miskin, tetapi juga
mewajibkan menyeru manusia untuk memberi makan kepada mereka, mengimbau agar
memperhatikannya, dan menganggap bahwa mengabaikan hal itu termasuk tanda kesombongan
dan dusta terhadap agama. Firman Allah,
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim
dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin (Al-Ma'un: 1-3).

Al-Quran menganggap sikap di atas sebagai kufur kepada Allah, sehingga menjadi sebab
datangnya azab yang pedih dan menghuni Neraka Jahanam. Allah Swt. berfirman tentang
orang-orang golongan kiri, yaitu orang-orang yang dihinakan oleh harta dan kekuasaannya.
Allah Swt. berfirman,
Peganglah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke api
neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh
puluh hasta (Al-Haqqah: 30-32).

Al-Quran juga menyebutkan sebab-sebab ditimpakannya hukuman yang berat, sebagaimana


firman Allah Swt.,
Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Mahabesar. Dia juga tidak
mendorong (orang lain) agar memberi makan kepada orang miskin (Al-Haqqah: 33-34).

Lebih dari itu, Al-Quran mewajibkan bahwa di dalam harta itu ada hak yang telah ditentukan,
bukan sedekah sunah, bukan pula kebajikan secara sukarela (yang mau mengeluarkan dan yang
tidak mau tidak mengeluarkan). Bahkan ia merupakan hak atau hutang di pundak orang-orang
yang mukalaf sebagai kewajiban yang pasti dan bukan tidak pasti, sebagaimana firman Allah Swt.
berikut ini.
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
tidak mendapat bagian. (Adz-Dzariyat: 19)

Hai orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang
meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). (Al-Ma'arij:
24-25)

Berbicara tentang tanam-tanaman, buah-buahan, dan kebun-kebun yang beruas-ruas


maupun yang tidak, Allah Swt. berfirman,
...makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah
haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya) ... (Al-An'am: 141).

Maksudnya "hak" adalah zakat yang telah diwajibkan di Makkah, yang belum ada ketentuan
batas nishab dan perinciannya. Semua ini ada di dalam Al-Quran ayat-ayat makiyah.
Ketika kaum Muslimin memiliki daulah dan pemerintahan, maka nishab zakat dan ukurannya
ditentukan dengan jelas dan dikirimlah para utusan untuk mengumpulkannya—dari orang yang
berkewajiban mengeluarkannya—kemudian diberikan orang yang berhak menerimanya. Al-
Quran menyebutnya para amil (al-'amilin 'alaiha). Mereka diberi bagian tersendiri dari hasil zakat
untuk menjamin penarikan dan pembagiannya. Islam telah meletakkan kewajiban harta ini ke
posisi kewajiban moral dan hukum, sehingga zakat dimasukkan sebagai rukun Islam yang ketiga.
Zakat wajib dipungut, bahkan kalau perlu secara paksa jika tidak diberikan dengan kesadaran.
Islam tidak tanggung-tanggung memerangi orang-orang yang tidak mau mengeluarkannya,
padahal mereka mampu (mengeluarkan zakat).
Saling menanggung dalam bidang materi ini bukan merupakan segala-galanya yang dituntut
oleh Islam dalam bidang ini. Namun masih ada di sana bentuk-bentuk lain dari takaful,
sebagaimana disebutkan oleh seorang dai, Dr. Musthafa As-Siba'i (semoga Allah merahmatinya).
Beliau membagi takaful menjadi sepuluh macam, yaitu takaful dalam moral, keilmuan, politik,
pertahanan, kasus perdata, akhlak, ekonomi, peribadatan, peradaban, dan dalam penghidupan
atau dikenal dengan istilah takaful sosial.

Ukhuwah Itu Meliputi Seluruh Golongan


Ukhuwah dalam Islam meliputi seluruh golongan masyarakat. Oleh karenanya, tidak ada
golongan manusia yang lebih tinggi daripada golongan yang lain. Harta, kedudukan, keturunan,
status sosial, atau apa pun tidak boleh menjadi penyebab sombongnya manusia atas manusia
yang lain.
Pemerintah adalah saudara rakyat, sebagaimana termaktub dalam hadits Rasulullah Saw.,
"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian sukai dan mereka menyukai kalian,
kalian selalu mendoakan mereka dan mereka pun selalu mendoakan kalian. Seburuk-buruk
pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan mereka juga membenci kalian, kalian
mencela mereka dan mereka pun mencela kalian" (HR. Muslim).
"Tuan" adalah saudara bagi hamba sahaya, meskipun kondisi khusus kadang-kadang
memaksa sahayanya untuk berada di bawah kekuasaannya.
Dalam hadits sahih, Nabi Saw. bersabda,
Saudara-saudara kalian adalah para pembantu kalian, Allah telah menjadikan mereka
berada di bawah kekuasaan kalian. Barangsiapa saudaranya beradadi bawah kekuasaannya,
maka hendaklah memberi makan kepadanya sebagaimana ia makan, memberi pakaian
kepadanya sebagaimana ia berpakaian, dan janganlah kalian memaksa mereka mengerjakan
suatu pekerjaan yang mereka tidak mampu. Jika kalian memaksa mereka juga, maka
bantulah mereka itu (mutafaq alaih).

Orang-orang kaya, orang-orang miskin, para buruh, karyawan, dan orang-orang yang disewa
adalah bersaudara. Oleh karena itu, tidak ada peluang bagi mereka —dalam naungan ajaran
Islam— untuk terjadinya konflik sosial atau dendam golongan.
Dalam masyarakat Islam tidak terdapat kasta-kasta, sebagaimana dikenal dalam masyarakat
Barat pada abad pertengahan. Di sana golongan cendekiawan, para penunggang kuda, para
uskup, dan orang-orang tertentu lainnya itulah yang berhak menentukan nilai, tradisi, dan hukum
yang berlaku.
Sampai hari ini masih ada sebagian bangsa yang sekelompok tertentu berhak menentukan
dan mengendalikan garis ideologi bangsa tersebut, hukum-hukumnya, serta sistem sosial dalam
kehidupan masyarakatnya, misalnya negara India.
Memang, dalam masyarakat Islam terdapat orang-orang kaya. Akan tetapi, mereka tidak
membentuk kelompok tersendiri yang mewariskan kekayaannya. Mereka adalah individu-
individu biasa seperti lainnya. Si kaya pun, suatu saat bisa saja menjadi miskin, dan si miskin bisa
juga tiba-tiba menjadi kaya. Allah Swt. berfirman,
Sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan (Al-Insyirah: 5).

Dalam Islam memang ada ulama. Namun mereka tidak membentuk golongan yang mewarisi
tugas tersebut. Tugas itu terbuka bagi siapa saja yang berhasil memperoleh keahlian di bidang
keilmuan dan studi. Dia bukan merupakan tugas kependetaan, seperti yang dilakukan para
pendeta dan uskup dalam agama lain, tetapi merupakan tugas mengajar, dakwah, dan memberi
fatwa. Mereka adalah ulama, bukan pendeta.
Allah Swt. berfirman kepada rasul-Nya Saw. sebagai berikut.
Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang
berkuasa atas mereka. (Al-Ghasyiyah: 21-22)

Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan dan kamu sekali-kali bukanlah
seorang pemaksa terhadap mereka. Maka berilah peringatan dengan Al-Quran orang yang
takut kepada ancaman-Ku. (Qaf: 45)

Bagaimana dengan pewarisnya para ulama? Sesungguhnya mereka itu bukanlah yang
menguasai atau memaksa manusia, tetapi mereka adalah pengajar dan pemberi peringatan.

PASAL 8
SYARIAT DAN PERIINDANG-UNDANGAN

Di antara pilar kekuatan masyarakat Islam adalah adanya hukum dan perundang-undangan
yang bersumber dari syariat Islam sebagai standar dalam memutuskan semua perkara.
Syariat adalah minhaj (pedoman) yang dibuat oleh Allah Swt. untuk mengatur kehidupan yang
Islami sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Sebuah masyarakat tidak bisa dikatakan sebagai
masyarakat yang Islami kecuali apabila menerapkan syariat Allah dan merujuk kepadanya dalam
seluruh aspek kehidupannya, baik yang bersifat ibadah ataupun muamalah. Maka tidak masuk
akal, bila seorang Muslim mengambil perintah Allah untuk berpuasa dengan ayat “Kutiba
'alaikumush-shiyam", sementara dia tidak mengambil perintah Allah untuk melaksanakan hukum
qishash sebagaimana diperintahkan, “Kutiba 'alaikumul qishash". Dan tidak logis pula jika ia menerima
ayat-ayat yang mewajibkan shalat, sementara itu menolak ayat-ayat haramnya riba.
Tema ini akan kita bahas dalam beberapa poin sebagai berikut:
Pentingnya Tasyri' Rabbani bagi Masyarakat
Hukum merupakan salah satu kekuatan utama bagi masyarakat. Maka masyarakat mana pun
selalu memerlukan hukum atau undang undang yang mengatur hubungan sesama mereka.
Hukum memberikan sanksi kepada orang yang menyimpang dari kaidah-kaidahnya, baik hukum
tersebut berasal dari langit (wahyu) atau buatan manusia. Karena hati nurani dan motivasi saja
tidak cukup untuk makhluk secara umum dalam memelihara keselamatan berjamaah, menjaga
eksistensinya baik yang bersifat materi atau moral dan menegakkan keadilan di tengah-tengah
masyarakat. Oleh karena itu, Allah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya untuk
menentukan dan mengatur perjalanan hidup dengan benar. Allah Swt. berfirman,
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. (Al-Hadid: 25)

Demikian juga Allah Swt. telah menurunkan kitab-Nya yang abadi untuk menghukumi
manusia, bukan sekadar untuk dibacakan kepada orang-orang yang sudah mati dan bukan pula
untuk hiasan dinding. Allah Swt. Berfirman,
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu...
(An-Nisa': 105)

Ayat-ayat Al-Quran jelas sekali dalam mewajibkan kita untuk berhukum pada kitab Allah Swt.,
sebagaimana dalam firman-Nya,
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap ummat di antara kamu, Kami
berikan syari'at (aturan) dan minhaj (jalan yang terang). Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu, dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-
hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa
yangtelah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yangtelah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki dan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliyah
yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang- orang yang yakin?" (AI-Ma'idah: 48-50)

Dalam ayat ini ada beberapa catatan penting sebagai berikut.


Pertama, ayat ini datang setelah ayat-ayat yang berbicara tentang Ahli kitab yang dua, yaitu
Taurat dan injil, yang di dalam- nya terdapat beberapa firman Allah Swt. sebagai berikut.
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan sesuatu yang diturunkan Allah maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir. (Al-Ma'idah: 44)

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan sesuatu yang diturunkan Allah maka mereka
itu adalah orang-orang yang zhalim. (Al-Ma'idah: 45)
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan sesuatu yang diturunkan Allah maka mereka
itu adalah orang-orang yang fasik. (Al-Ma'idah: 47)

Oleh karena itu, tidak sepantasnya bagi Allah Swt. yang telah menghukumi Ahlul Kitab dengan
kekufuran, kezhaliman dan kefasikan atau dengan ketiganya, apabila mereka tidak berhukum
dengan apa yang diturunkan Allah, kemudian memaafkan kaum Muslimin yang melakukan
kesalahan serupa. Karena sesungguhnya keadilan Allah itu tetap dan berlaku sampai kapan pun
atas semua makhluk-Nya. Telah datang hukum Al-Quran dengan kata-kata yang bersifat umum,
maka tidak ada alasan bagi orang yang tidak mau melaksanakan untuk mengatakan bahwa ayat-
ayat di atas hanya untuk Ahlul Kitab bukan untuk kaum Muslimin.
Kedua, sesungguhnya kita tidak diperkenankan meninggalkan satu bagian dari kitab yang
diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Allah memperingatkan hal itu dengan ungkapan yang
keras
Dan hendaklah kamu memutuskan perkaradi antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka. supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah),
maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah
kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik." (Al-Ma'idah: 49)

Ketiga, sesungguhnya manusia itu berada di antara dua hukum, tidak ada yang ketiganya.
Yakni hukum Allah atau hukum jahiliyah. Maka barangsiapa tidak rela untuk menerima yang
pertama, berarti ia terjerumus pada yang kedua, tidak mungkin tidak dan begitu pun sebaliknya.
itu Allah Swt. berfirman,
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang- orang yang yakin? (Al-Ma'idah: 50)

Sesungguhnya tasyri' (hukum Allah) itulah yang mentransfer taujihat (arahan-arahan) agama
dan akhlak pada undang-undang yang berlaku dan memberikan sanksi apabila ditinggalkan.
Hajat manusia akan tasyri' rabbani demi menjamin kesela- matan manusia dari kekurangan
dan jerat hawa nafsu merupakan hajat mendasar yang tidak bisa diwujudkan kecuali oleh tasyri'
Islami. Hukum inilah yang akan membawa kepada hidayah Allah dan tidak ada di bumi ini tasyri'
rabbani selainnya. Seluruh agama langit selain Islam yang dibawa oleh Muhammad telah terkena
penyimpangan dan perubahan. Hal itu ditegaskan oleh para peneliti lama maupun modern,
ketika meneliti Taurat dan Injil. Sumber langit satu-satunya yang masih terpelihara tanpa ada
yang menambahi atau mengurangi dan tanpa adanya penyimpangan atau perubahan, adalah Al-
Quran.
Sesungguhnya manusia memerlukan taujih ilahi yang dapat menjauhkan mereka dari
kesesatan dalam berpikir dan penyimpangan dalam berbuat, karena kebanyakan yang membuat
akal manusia tertutup adalah dosa-dosa besar dan penyelewengan yang dahsyat. Sehingga kita
dapatkan bangsa Isbarita dahulu pernah membunuh anak-anak mereka yang lemah fisiknya,
bangsa Arab di zaman jahiliyah juga pernah mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan atau
bahkan anak perempuannya, kemudian bangsa India, Romawi, Persia serta bangsa lainnya telah
membagi manusia dalam kasta-kasta. Mereka memperbolehkan suatu perlakuan bagi manusia
di kasta tertentu yang tidak boleh bagi kasta yang lain. Bahkan sebagian mereka membunuh
sebagian yang lain secara sengaja tanpa alasan yang benar dan tanpa ada sanksi bagi pelakunya.
Pada zaman sekarang ini banyak orang yang memperbolehkan homoseks dan bahkan
dikeluarkan undang-undang resmi dengan disetujui oleh sebagian pendeta di masyarakat Barat.
Betapapun dangkalnya akal manusia jika dibanding dengan ilmu Allah, kita dapatkan bahwa
sesungguhnya manusia telah diberi bekal untuk bisa membedakan antara petunjuk dengan
kesesatan, antara yang bermanfaat dengan yang berbahaya, antara yang hitam dengan yang
putih. Namun demikian, seringkali mereka dikalahkan oleh hawa nafsu dan syahwat mereka atau
mengikuti kemauan orang-orang yang mempunyai pengaruh dan kepentingan khusus dari
mereka. Akhirnya, mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Barangkali contoh yang paling jelas untuk itu adalah sikap pemerintah Amerika Serikat yang
sempat mengharamkan khamr dan kemudian mencabut kembali pengharaman tersebut,
meskipun sudah jelas terbukti bahayanya terhadap individu, rumah tangga dan masyarakat, baik
secara moral maupun material.

Syariat Islam Tidak Hanya Terbatas pada Hukum Pidana


Syariat Islam tidak hanya terbatas pada hudud (hukum pidana), sebagaimana dipahami oleh
kebanyakan orang atau dilakukan oleh sebagian orang. Sesungguhnya hukum Islam berfungsi
untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan-Nya dan manusia dengan sesamanya,
antara keluarga dan masyarakatnya, antara pemerintah dengan rakyatnya, antara orang-orang
kaya dan para fakir, antara pemilik modal dengan pelaku usaha, dan sebagainya, baik dalam
keadaan damai ataupun perang. Ia merupakan seperangkat aturan yang tersusun secara
sistematis dan terus aktual sepanjang zaman. Ia merupakan dustur daulah selain juga merupakan
hukum agama. Dia adalah hukum yang menjangkau seluruh aspek dan segi kehidupan
masyarakat.
Oleh karena itu, fiqih Islam meliputi ibadah dan muamalah, hukum nikah dan waris, peradilan
dan dakwaan, had, qisas, dan tazir, jihad dan perjanjian damai, halal dan haram, serta sunah dan
adab. Ia mengatur kehidupan manusia dari mulai tata cara buang hajat bagi seseorang, hingga
bagaimana menegakkan khilafah dan imamah 'uzhma bagi umat.
Sesungguhnya hudud itu seumpama hiasan yang memperindah masyarakat. Keberadaannya
menandakan bahwa masyarakat Islam menolak perbuatan kriminal, kapan pun dan dalam
keadaan apa pun.
Hudud, sebagaimana disyariatkan oleh Islam bukanlah perbuatan kejam dan sadis
sebagaimana dipahami atau dipersepsi oleh orang-orang di luar Islam, terutama kaum Orentalis.
Mereka menganggap hukuman itu suatu kekejaman dari dua sebab. Sebagaimana yang
disebutkan oleh Al Maududi dalam pembahasannya tentang hukuman bagi pezina dalam
bukunya, Al-Hijab. Ia mengatakan,
Sesungguhnya hati nurani orang Barat itu merasa ngeri terhadap hukuman
seratuscambukan. Hal ini tidak disebabkan mereka tidak suka untuk menyakiti fisik manusia.
Tetapi sebab yang sebenarnya adalah lebih karena kekurangsempurnaan pertumbuhan
akhlak mereka, yang semula zina itu dianggap suatu kehinaan yang kotor sekarang telah
dianggap permainan yang menyenangkan. Bila dua insan mengumbar syahwatnya pada
suatu waktu, perbuatan itu dimanfaatkan dan tidak dianggap pelanggaran kecuali jika
melanggar kebebasan orang lain. Bahkan ketika terjadi demikian pun, perzinaan itu tidak
mendapat hukuman kecuali dikategorikan sebagai kesalahan kecil yang tidak mempengaruhi
hak-hak seseorang, sehingga cukup diberikan sanksi ringan atau denda.
Wajar bahwa kalau orang memahami zina dengan cara seperti itu merasa jika hukuman
seratus jilid dianggap suatu kezaliman dan kekejaman. Padahal Kalau saja syu'ur akhlaqi
(kepekaan akhlaq) dan rasa sosial mereka meningkat dan mengetahui bahwa sesungguhnya
zina—baik dilakukan dengan suka rela atau terpaksa, baik dengan wanita yang sudah
menikah atau yang masih gadis—merupakan kriminalitas sosial yang bahayanya akan
kembali pada masyarakat dengan seluruh keluarganya, niscaya pandangan mereka tentang
hukuman itu akan berubah dan mengakui wajibnya melindungi masyarakat dari bahaya
tersebut. Karena faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat zina itu kuat sekali, bahkan
mengakar dalam tabiat hewani mereka, sehingga tidak mungkin karakter itu dihilangkan
hanya dengan hukuman tahanan dan denda. Tidak akan ada hasilnya memberantas zina
dengan menggunakan berbagai aturan itu semua. Adalah sesuatu yang tidak diragukan
bahwa melindungi berjuta-juta manusia dari berbagai bahaya penyakit moral dengan
menyakiti satu orang atau dua orang dengan keras itu lebih baikdaripada memanjakan para
pelaku kriminal dengan menjerumuskan seluruh umat pada bahaya yang tak terhingga
besarnya, bahkan diwarisi oleh generasi yang akan datang yang mereka tidak turut berbuat
dosa.
Ada lagi sebab yang membuat mereka menganggap bahwa hukuman seratus cambukan itu
sebagai hukuman yang kejam dan zalim. Yakni bahwa peradaban Barat, sebagaimana telah
kami terangkan, lebih mementingkan individu daripada masyarakat, dan unsur-unsur yang
ada padanya terangkai dengan persepsi yang berlebihan terhadap hak-hak individu.
Meskipun kezaliman individu terhadap kelompok dan masyarakat telah demikian terasadan
Barat sendiri tidak mengingkari semua fakta ini, tetapi setiap ada sanksi yang ditetapkan atas
individu yang berbuat salah demi untuk memelihara hak-hak masyarakat, maka mereka
justru merasa khawatir dan tidak rela. Sehingga seluruh nasihat dan semangat mereka
adalah atas nama individu, bukan masyarakat.
Kemudian yang menjadi ciri khas orang-orang jahiliyah Barat sebagaimana pada setiap
zaman adalah bahwa mereka itu lebih memperhatikan hal-hal yang bisa dilihat, daripada
terhadap hal-hal yang logis meski tidak terlihat. Oleh karena itu, mereka menganggap kejam
bahaya yang menimpa individu karena terlihat di depan mata dengan gambaran yang nyata,
tetapi mereka tidak mampu memahami bahaya besar yang akan menimpa masyarakat dan
generasi mendatang secara merata, dalam ruang lingkup yang luas.

Sesungguhnya Islam bersikap tegas dalam menghukumi kriminalitas dengan kekerasan yang
luar biasa, terutama dalam masalah zina. Namun itu pun di zaman Nabi Saw., dan Khulafaur
Rasyidin tidak langsung ditetapkan kecuali dengan adanya iqrar (pengakuan) dari pelakunya.
Sebagaimana dibuka kesempatan untuk bertobat, maka barangsiapa yang tobatnya sungguh-
sungguh maka gugurlah hukuman untuknya, menurut pendapat yang rajih. Gugurnya hukuman
bukan berarti menggugurkan hukuman secara keseluruhan, karena bisa jadi berpindah menjadi
ta'zir (hukuman yang mendidik) yang sesuai.

Islam Berusaha Menutupi Sanksi


Ini merupakan sebuah hakikat penting dalam masalah pelaksanaan hukuman. Islam tidak
antusias dalam mengeksekusi sanksi hukum, namun pada saat bersamaan juga tidak menunggu-
nunggu pelaksanaan hukuman itu pada orang yang benar-benar melakukan pelanggaran dan
berhak dihukum. Islam juga tidak memasang peralatan untuk mengintai orang-orang yang
berbuat maksiat atau memasang kamera tersembunyi yang dapat merekam mereka ketika
berbuat demikian. Tidak juga memerintahkan polisi kriminal atau mata-mata untuk mencari-cari
aurat (aib) manusia yang melanggar syariat, sehingga mereka tertangkap ketika
melaksanakannya dan dijatuhi hukuman.
Taujihat Islam sangat jelas dalam hal menjaga kehormatan manusia secara khusus dan
haramnya tajassus atau mencari-cari aib mereka, baik sebagai individu maupun pemerintah yang
berkuasa.
Imam Hakim meriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf bahwa pada suatu malam ia berjaga
bersama Umar di Madinah. Ketika mereka sedang berjalan ada yang menyalakan api di rumah,
maka keduanya bergegas menuju ke sana. Begitu mendekati rumah tersebut, ternyata pintunya
terkunci. Di dalamnya terdengar ada suara keras, maka Umar berkata sambil memegang tangan
Abdurrahman, "Tahukah kamu rumah siapakah ini?" Abdurrahman menjawab, "Tidak" Umar
berkata, "Ini rumah Rabi'ah bin Umayah bin Khalaf, mereka sekarang minum khamr, bagaimana
pendapatmu?" Abdurrahman berkata, "Saya berpen- dapat bahwa kita telah mendatangi sesuatu
yang dilarang oleh Allah Swt. Allah telah melarang kita dengan firman-Nya, wala tajassasu,
sementara kita telah ber-tajassus," kemudian Umar pergi meninggalkan mereka." (HR. Hakim)
Dari Zaid bin Wahb, ia berkata, 'Ada seorang laki-laki datang kepada Ibnu Mas'ud, kemudian
bertanya, "Maukah engkau melihat Walid bin 'Uqbah yang jenggotnya meneteskan khamr?" Ibnu
Abbas berkata, "Sesungguhnya Rasulullah Saw., melarang kita untuk ber-tajassus, tetapi jika
tampak di hadapan kita maka kita bertindak (untuk menghukumnya) (HR. Abu Dawud dan
Hakim)
Dari empat sahabat; Jubair bin Nafir, Katsir bin Murrah, Miqdam bin Ma'di Karib, dan Abi
Umamah Al Bahili r.a., dari Nabi Saw, beliau bersabda, "Sesungguhnya amir (seorang pemimpin)
itu apabila mencari keraguan pada manusia maka akan merusak mereka." (HR. Abu Dawud)
Bahkan ajaran Rasulullah Saw. sangat mendorong agar setiap Muslim menutupi aurat dirinya
dan aurat orang lain. Dalam suatu riwayat disebutkan sebagai berikut,
Dari Ibnu Umar r.a., sesungguhnya Rasulullah Saw., setelah melaksanakan hukuman (had)
pada Ma'iz bin Malik Al-Aslami, beliau berdiri, kemudian bersabda, "Jauhilah kotoran ini yang
telah Allah larang. Barangsiapa terjerumus dalam perbuatan semacam ini hendaklah
menutupi dengan tutup Allah, dan hendaklah bertobat kepada Allah, karena barangsiapa
membuka kepada kami lembaran (kesalahan)-nya maka kami berlakukan kepadanya Kitab
(hukum) Allah." (HR. Hakim)

Rasulullah Saw., telah melaksanakan had untuk Ma'iz, setelah dia datang sebanyak empat kali
dengan mengakui kesalahannya dan setelah Nabi Saw., berupaya untuk menjauhkan diri dari
pengakuannya serta mengajarinya agar tidak memenuhi unsur-unsur pidana. Tetapi Maiz tetap
bersikeras ingin dihukum. Peristiwa itu kemudian disusul dengan kasus serupa oleh wanita
Ghamidiyah.
Diriwayatkan dari Abi Burdah, dari ayahnya, ia berkata, "Kami adalah sahabat Nabi Saw.,
kami berbincang-bincang bahwa seandainya Ma'iz dan orang wanita itu tidak datang yang
keempat kalinya maka Rasulullah tidak akan menuntut kepadanya." (HR. Hakim)

Nabi Saw. pernah bersabda kepada Hazal, yaitu orang yang mendorong Ma'iz untuk mengaku
di hadapan Nabi Saw., "Jika seandainya kamu menutupinya dengan bajumu niscaya akan
menjadi kebaikan untukmu." (HR. Hakim)
Dari Abi Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda, "Barangsiapa yang menutupi
saudaranya Muslim di dunia maka Allah akan menutupinya di dunia dan di akhirat." (HR. Abu
Dawud)

Dari Abi Hurairah ra, dari Nabi Saw., beliau bersabda, "Tidaklah seorang hamba menutupi
hamba yang lain di dunia kecuali Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat." (HR. Hakim)

Jika hadits-hadits tersebut menjelaskan pahala orang yang menutupi saudaranya Muslim,
maka hadits berikut ini bersifat umum.
Dari Katsir (pembantu 'Uqbah bin 'Amir), sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda,
Barangsiapa melihat aurat (aib) seseorang lalu menutupinya, maka ia seperti orang yang
menghidupkan kembali anak perempuan yang dikubur secara hidup-hidup dari kuburnya."
(HR. Abu Dawud dan Hakim)

Demikian juga kita dapatkan berbagai taujihat Islami yang jelas dalam menekankan sikap
untuk memaafkan dan berlapang dada dalam kaitannya dengan hukuman-hukuman yang
berkaitan dengan hak-hak manusia sebagai hamba Allah, seperti mencuri, dengan syarat
kasusnya tidak diangkat sampai penguasa hukum. Jika di sana tidak ada kesempatan untuk
dimaafkan atau ditolong.
Dalam hal ini ada hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw. bersabda,
"Saling memaafkanlah di antara kamu dalam kaitannya dengan hukuman, karena apa-apa
(keputusan) yang telah sampai kepadaku dari hukuman berarti wajib (dilaksanakan)." (HR. Abu
Dawud dan Nasa'i)
Ibnu Mas'ud berkata, "Saya akan menyebutkan orang yang pertama kali dipotong
(tangannya) oleh Rasulullah Saw. Seseorang yang mencuri didatangkan, maka diperintahkanlah
untuk dipotong tangannya. Tetapi seakan wajah Rasulullah Saw. nampak menyesal, maka
sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, seakan-akan engkau tidak suka memotongnya," Nabi
bersabda, "Apa yang menghalangiku? Janganlah engkau menolong setan untuk mencelakakan
saudara kalian, karena tidak pantas bagi seorang imam apabila telah sampai padanya hukuman
kecuali harus menegakkannya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan suka mengampuni.
Allah Swt. berfirman, "Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu
tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (An-Nur: 22)" (HR. Hakim).
Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah Saw., kemudian mengaku bahwa ia telah
melakukan sesuatu yang mengharuskannya dijatuhi hukuman. Maka Nabi tidak bertanya
kepadanya tentang perbuatan itu, misalnya: apa kasusnya atau bagaimana melakukannya,
melainkan beliau menganggap pengakuannya itu sebagai tobat dari dosanya dan penyesalan atas
kekeliruannya. Pengakuan ini bahkan cukup menjadi kaffarah baginya, apalagi jika ikut shalat
bersama Rasulullah Saw.
Abu Dawud telah meriwayatkan dalam bab "Seseorang yang mengaku dengan hukuman dan
tidak menyebutkan namanya." Dari Abi Umamah, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang
datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berbuat
sesuatu yang harus dihukum, maka hukumlah aku." Nabi bertanya, "Apakah kamu berwudhu
ketika kamu datang kemari?" Laki-laki itu menjawab, "Ya." Nabi bersabda, "Apakah kamu shalat
bersama kami ketika kami shalat?" Orang itu berkata, "Ya." Nabi bersabda, "Pergilah, se-
sungguhnya Allah telah memaafkanmu." (HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa'i)
Oleh karena itu, ada di antara ulama salaf yang berpendapat bahwa di antara hak imam dan
hakim adalah menggugurkan had (hukuman) dengan tobat apabila kelihatan tanda-tandanya.
Inilah pendapat yang ditarjih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Dan ini pula
yang saya pilih ketika menerapkan hukum had pada zaman kita ini.

Menolak Hudud dengan Syubhat


Hal lain yang membuktikan kecintaan Islam dalam menutupi sanksi atas hukum had adalah
kaedah yang populer dalam fiqih Islam dengan berbagai mazhabnya, yang berbunyi dar'ul hudud
bisy-syubuhat (menolak hukuman dengan adanya syubuhat (kemungkinan-kemungkinan untuk
membatalkan).
Ada hadits yang menerangkan hal itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim dan dianggap
shahih. Nabi bersabda, "Tolaklah hudud itu dari kaum Muslimin semampu kalian. Jika kalian
mendapatkan jalan keluar untuk seorang Muslim maka berikanlah jalannya. Sesungguhnya
apabila seorang imam salah dalam memaafkan, itu lebih baik daripada salah dalam menghukum
" (HR. Hakim)
Benar bahwa Al Hafidz Adz-Dzahabi telah menolak pentashihan Hakim terhadap hadits ini,
tetapi hadits-hadits yang kami kemukakan memperkuat riwayat ini.
Demikian juga riwayat shahih dari Al Faruq Umar bin Khattab r.a., yaitu sabda Rasulullah Saw.,
"Tolaklah hudud itu dengan syubuhat."
Begitu juga berdasar keputusan Umar r.a. ketika tidak memberlakukan hukuman potong
tangan pada tahun kelaparan (‘am al-maja'ah) karena adanya syubuhat berupa kebutuhan akan
makan, di samping persetujuan para sahabat termasuk para fuqaha' dan ahlul ilmu terhadap
keputusan tersebut yang mana hai ini dapat dianggap sebagai salah satu bentuk dari ijmak ulama,
karena sesungguhnya mereka tidak mungkin diam terhadap kebathilan dan bersepakat di atas
kesesatan.
Hal yang perlu diketahui di sini bahwa kebijakan yang diambil oleh Khalifah Umar di atas
tidaklah dalam rangka menggugurkan hukuman, sebagaimana disebutkan oleh sebagian orang,
tetapi pada dasarnya had memang belum wajib karena belum memenuhi seluruh rukun dan
syaratnya.
Contoh lain yang mirip adalah satu riwayat yang menjelaskan bahwa Umar tidak menghukum
dua pembantu yang mengambil harta juragannya, karena Umar berpendapat bahwa kedua
pembantu itu tidak mencuri kecuali karena kezaliman sayyid-nya dan karena kebutuhan
pokoknya tidak dicukupi. oleh karena itu, tidak heran jika Umar memaafkan keduanya sesuai
dengan kondisinya, kemudian Umar memperingatkan kepada juragannya bahwa tangan
juragannya akan dipotong jika sampai kedua pembantu itu terpaksa mencuri lagi.
Siapa yang membaca kitab-kitab fiqih akan mendapatkan banyak hai yang bisa dikategorikan
sebagai syubhat (alasan-alasan) yang dapat menolak eksekusi hukuman, meskipun sebagiannya
bisa direkayasa dengan pengakuan palsu. bagaimanapun, para fuqaha sepakat bahwa keraguan
yang paling ringan dapat dijadikan alasan untuk kemaslahatan orang yang tertuduh.
Masyarakat Tidak Ditegakkan dengan Hukum Belaka
Islam bukanlah hukum dan perundang-undangan belaka, tetapi Islam adalah akidah yang
menafsirkan kehidupan, ibadah yang mendidik jiwa, akhlak yang membersihkan jiwa,
pemahaman yang menjernihkan persepsi, nilai-nilai yang mengangkat martabat manusia dan
adab yang memperindah kehidupan.
Ayat-ayat hukum tidak sampai sepersepuluh dari Al-Quran, itu pun dikumpulkan dengan
ayat-ayat tentang akidah dan hati yang disertai juga dengan janji dan ancaman berkaitan erat
dengan seluruh arahan-arahan Al-Quran. Misalnya hukum kerumahtanggaan dalam firman Allah
Swt. berikut ini.
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229)

Ini bukan hukum yang kering seperti kandungan hukum yang ada, tetapi ini merupakan
tasyridakwah, taujih, tarbiyah, targhib dan tarhib. Bacalah firman Allah Swt.dalam menjelaskan
hukum-hukum had.
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu)
sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima
tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. Tidakkah kamu
tahu, sesungguhnya Allahlah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, disiksa-Nya siapa
yang dikehendaki-Nya dan diampuni-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu." (Al Maidah: 38-40)

Di dalam ayat ini kita dapatkan tasyri' yang menakutkan, disertai dengan janji dan ancaman,
memuat gaya ungkapan yang menakut-nakuti dan menggetarkan, memuat taujih dan tarbiyah,
terkandung dorongan untuk bertobat dan memperbaiki diri, mengigatkan asma-asma Allah, Dzat
yang Mahakuasa untuk melarang dan memerintah, Yang Bijaksana dalam menentukan hukum,
Maha Pengampun dan Penyayang bagi orang yang bertobat dan mau memperbaiki diri, Yang
Merajai alam semesta, Yang menciptakan dan Memerintah serta Yang Mahakuasa atas segala
sesuatu.
Inilah susunan hukum dalam Al-Quran, sebagaimana juga dalam hadits-hadits Rasulullah Saw.
Dengan demikian, yang membangun masyarakat Islam bukan semata-mata tasyri', melainkan
juga berbagai sarana lain yang tidak kalah penting, yaitu dakwah dan pemberian pemahaman
(tau'iyah), kemudian taklim dan tarbiyah, di samping perundang-undangan dan hukum, bahkan
semua itu diletakkan sebelum perundang-undangan dan hukum.
Karena itulah Islam memulai dengan marhalah Makkiyah, yaitu marhalah dakwah dan
tarbiyah sebelum marhalah madaniyah yang merupakan marhalah tasyri’ dan tanzhim
(perundang-undangan dan strukturisasi). Dalam marhalah kedua inilah kita melihat tasyri’
disertai dengan tarbiyah, sebagaimana bergabungnya jasad dengan ruh.
Dengan sekadar mengubah hukum saja sesungguhnya tidak cukup untuk mewujudkan
sebuah masyarakat Islam. Mengubah apa-apa yang ada di dalam jiwa seseorang itulah
sebenarnya yang paling asasi, dan yang paling vital dalam hal ini adalah terdapatnya iman. Iman
itulah yang mampu mencetak manusia menjadi makhluk baru yang lain, yang memberinya
tujuan, menganugerahinya dorongan dan rambu-rambu, serta memberinya balasan atas seluruh
amalnya, baik pembalasan di dunia maupun di akhirat.
Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah. Jika kita ingin memerangi
kriminalitas yang mengharuskan dihukumnya pelaku kriminal, tidaklah hanya dengan
melaksanakan hukuman saja, tidak pula dengan tasyri' saja. Melainkan bahwa had itu merupakan
langkah terakhir dalam mengupayakan suatu perbaikan.
Sesungguhnya sanksi itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang melanggar. Orang-
orang ini bukanlah mayoritas dari umat ini, bukan pula basis utama masyarakat, tetapi mereka
adalah orang-orang yang tidak termasuk dalam basis, karena telah keluar dari basis tersebut.
Islam datang bukan untuk mengobati orang-orang yang menyimpang, tetapi Islam datang
untuk memberi pengarahan kepada orang-orang yang baik dan memelihara mereka untuk tidak
menyimpang.
Dalam pandangan Islam, hukuman bukanlah variabel terbesar dalam memberantas
kriminalitas. Tetapi memelihara dari itu semua dengan mengeliminir sebab-sebabnya, itulah
variabel terbesar. Pencegahan itu lebih baik daripada pengobatan.
Jika kita melihat suatu tindak kriminalitas seperti zina, maka kita akan mendapatkan bahwa
sesungguhnya Al-Quran telah menyebutkan tentang hukumannya dalam satu ayat pada awal
surah An-Nur, yaitu firman Allah Swt.:
Perempuan yang berzina dengan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu dari (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari kiamat...
(An Nur: 2)

Tetapi di dalam surah An-Nur itu sendiri memuat berpuluh-puluh ayat lain yang mengarahkan
untuk memelihara dari dosa itu sebagai berikut.
Pertama, ancaman Allah bagi orang-orang yang menyebarkan perbuatan keji itu dengan azab
di dunia dan akhirat. Allah Swt. berfirman,
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di
kalangan orang-orang yang beriman bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat...
(An-Nur: 19)

Kedua, aturan berziarah dan adabnya serta memelihara kehormatan rumah tangga,
sebagaimana firman Allah Swt.,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik
bagimu agar kamu (selalu) ingat. (An-Nur: 27)
Ketiga, adab meminta izin bagi para pembantu dan anak-anak yang belum mencapai usia
balig. Allah Swt. berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki,
dan anak-anak yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam
satu hari) yaitu sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di
tengah hari dan sesudah shalat isya' (Itulah) tiga aurat... (An-Nur: 58)

Keempat, mendidik laki-laki dan perempuan mukmin untuk memelihara dan menjaga diri
dengan selalu menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Allah Swt. berfirman:
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat." Katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (jilbab) kedadanya... (An-Nur: 30-31)

Kelima, melarang wanita tampil memikat dengan bersolek (tabarruj) di hadapan kaum laki-
laki, sehingga membangkitkan keinginan dan khayalan mereka, sebagaimana dijelaskan dalam
firman Allah Swt.,
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan, dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung. (An-Nur: 31)

Kandungan ayat tersebut menunjukkan wajibnya membersihkan masyarakat dari sebab-


sebab fitnah dan rayuan, serta menutup segala celah yang menuju terjadinya kerusakan.
Keenam, yang lebih penting dari itu semua adalah menikahkan orang-orang yang belum
bersuami atau beristri dan menyerukan yang demikian kepada seluruh masyarakat, karena
mereka ikut bertanggung jawab. Allah Swt. berfirman,
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak
(kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui. (An-Nur: 32)

Tanggung jawab masyarakat, terutama pemerintah, adalah memudahkan segala sarana


komunikasi yang halal, selain menutup pintu-pintu haram. Demikian itu dilaksanakan dengan
menghilangkan kendala-kendala materi atau sosial di hadapan orang-orang yang ingin menikah.
Seperti mahalnya maskawin, berlebihan dalam memberikan hadiah-hadiah, undangan, walimah,
serta perabot rumah dan lain-lain. Selain itu membantu mereka baik secara materi maupun moril
untuk membentuk rumah tangga yang Islami.
Dengan demikian, bukanlah menegakkan sanksi hukum (had) itu yang memecahkan problem,
karena kenyataannya had tidak mungkin ditegakkan dengan syarat-syaratnya yang syar'i kecuali
dalam keadaan iqrar di majelis pengadilan sebanyak empat kali sebagaimana pendapat sejumlah
imam. Atau dengan persaksian empat saksi yang adil bahwa mereka melihat perbuatan dosa itu
secara langsung saat kejadian. Bukankah hal itu sangat sulit, maka seakan-akan tujuannya di sini
adalah dilarang berterus terang dalam masalah dosa. Adapun orang yang diuji dengan perbuatan
itu kemudian tidak ketahuan maka tidak termasuk kena hukuman dunia maka ini kembali kepada
Allah di akhirat nanti.

Di Antara Kewajiban Masyarakat Islam adalah Berhukum Kepada Syariat Allah


Setiap masyarakat berhak untuk berhukum dengan syariat yang diyakini akan keadilan,
keunggulan, dan ketinggian nilainya atas syariat-syariat yang lain. Hal itu bagi masyarakat Islam
merupakan kewajiban, bukan sekadar hak.
Oleh karena itu, tidak layak bagi seseorang untuk mengingkari sebagian masyarakat Islam
saat ini yang menyeru untuk berhukum kepada syariat Islam. Karena dialah satu-satunya syariat
yang terang dan dapat dipertanggungjawabkan konsep akidah, nilai-nilai, dan adab-adabnya,
juga satu-satunya yang memiliki pandangan jelas tentang alam dan penciptanya, manusia dan
akhir kehidupannya, serta kehidupan dan risalahnya. Berbeda dengan aturan-aturan buatan
manusia yang cenderung menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah, seperti khamr, zina,
dan riba. Atau sebaliknya, mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah, seperti talak dan
poligami, serta mengabaikan apa yang diwajibkan oleh Islam seperti menunaikan zakat,
melaksanakan had (hukuman) dan beramar makruf nahi mungkar. Mereka mengganti hukum-
hukum Allah dan Rasul-Nya dengan hukum-hukum lainnya yang diadopsi dari Barat atau Timur.
Memang bahwa hukum positif yang saat ini diterapkan di berbagai negara Islam itu tidak
semuanya bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan sebagian besar di antaranya diambil dari
fiqih Islam, terutama Fiqih Maliki, tetapi di sini saya hendak mengingatkan beberapa masalah
pokok sebagai berikut.
Pertama, hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam dalam undang-undang positif
buatan manusia, meskipun tidak terlalu banyak, namun sangat vital jika dilihat dari jenis dan
fungsinya. Misalnya dalam hai pengharaman riba, di mana Al-Quran dan Sunnah bersikap keras
dalam memberikan ancaman bagi orang yang melakukan. Atau dalam hai pelaksanaan had atas
kesalahan-kesalahan tertentu yang telah ditentukan hukumannya oleh Islam. Kedua hai ini dan
sejenisnya sangatlah vital karena memang itulah yang membedakan peradaban ini dengan
peradaban lainnya, dan yang membedakan umat ini dengan umat yang lainnya.
Pengharaman riba itu, sebagaimana mengeluarkan zakat, merupakan ciri khas dari sistem
ekonomi Islam yang membedakannya dengan sistem lainnya. Keduanya (pengharaman riba dan
kewajiban zakat) merupakan salah satu ciri khas ekonomi Islam.
Seperti juga pengharaman zina dan perbuatan keji, baik yang zahir maupun yang batin dan
segala sesuatu yang mengarah pada perbuatan itu, serta ketetapan had atasnya. Atau dalam
pengharaman minuman keras, baik sebagai konsumen, distributor maupun produsen dan
kewajiban sanksi had atasnya. Juga hal-hal lain yang sanksi had-nya telah ditetapkan oleh Islam,
di mana hai itu yang membedakannya dengan peradaban lain yang tidak menganggap masalah
dalam memperbolehkan zina, selama sama-sama suka. Atau juga dalam memperbolehkan
kelainan seksual, meskipun bertentangan dengan fithrah yang sehat dan sifat kejantanan yang
mulia, serta penyelewengan-penyelewengan yang lain.
Kedua, sekadar sama dan sesuai dengan syariat Islam belumlah dianggap cukup, karena
hukum positif yang secara kebetulan sesuai dengan syariat Islam tidak akan memberinya shibgah
Islami dan tidak akan menambah nilai syariat Islam. Tetapi yang seharusnya adalah
mengembalikan semuanya kepada syariat Islam, bertolak darinya, terikat dengan falsafahnya,
terkait dengan maqasid-maqasidnya, disandarkan pada dalil-dalil syar'i yang bersifat spesifik dari
berbagai bahan hukum, dan sesuai dengan ushul-ushul yang dijadikan pijakan para fuqaha.
Kalau sudah demikian, baru hukum-hukum tersebut benar-benar memiliki legalitas dan
kesakralannya bagi individu serta masyarakat Islam, di mana mereka akan tunduk terhadap
hukum itu secara sadar dan dengan penuh ketaatan karena menerimanya berarti ibadah kepada
Allah.
Jadi, ketundukan masyarakat Muslim terhadap aturan hukum seperti itu bukan berarti
tunduk kepada perlemen yang mereka buat, bukan pula kepada pemerintahan yang mereka
tetapkan. Tetapi semata-mata karena taat kepada Allah yang telah membuat aturan itu untuk
kebaikan hamba-hamba-Nya. Ketundukan kepada aturan itu merupakan bukti keimanan dan
keridhaannya kepada hukum Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt. berfirman,
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya
agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, "Kami mendengar, dan
kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (An-Nur: 51)

Ada perbedaan yang sangat besar antara komitmen seorang Muslim terhadap akad
perjanjian karena berdasarkan pemikiran atau filosofi yang berbunyi, "Akad perjianjian adalah
aturan yang mengikat dua pihak," dengan komitmen seorang Muslim terhadap akad perjanjian
karena berdasar firman Allah Swt., "Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji
(mu)." (Al-Ma'idah: 1); "Penuhilah janji(mu), sesungguhnya janji itu akan dimintai
pertanggungjawabannya." (Al-Isra': 34).
Pada suatu hari Mursyid kedua Al-Ikhwan Al-Muslimun, Ustadz Hasan Al Hudhaibi pernah
ditanya, "Mengapa kalian sangat mengingkari hukum-hukum wadh'iyah (buatan manusia),
padahal sebagian besar mirip-mirip dengan hukum syar'iyah (hukum Allah)? Maka beliau
menjawab, "Karena kita dituntut untuk melaksanakan syariat, bukan yang mirip dengan syariat."
Allah Swt. berfirman:
Hendaklah kamu memutuskan perkaradi antara mereka menurut apa-apa yang diturunkan
Allah... (Al-Ma'idah: 49).

Ketiga, sesungguhnya syariat Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah, maka
tidak boleh mengambil sebagian, dan meninggalkan sebagian yang lain. Walaupun yang ditinggal
itu hanya satu persen atau sepersepuluh persen atau bahkan seperseribu sekalipun. Karena Allah
Swt. berfirman,
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu... (Al-Ma'idah: 49)

Oleh karena itulah Al-Quran sangat mengingkari bani Israil dalam pengambilan mereka
terhadap agama secara parsial, mengambil sebagian hukum dari kitab mereka dan menolak
sebagian yang lainnya. Allah Swt. berfirman mengingatkan mereka:
Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang
lain?" Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan
dalam kehidupan dunia dan di hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat
berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (Al-Baqarah: 85)
Seorang Muslim juga tidak boleh untuk menolak sesuatu—meskipun sedikit—dari Al-Quran.
Orang yang melakukan ini dianggap telah kafir. Seorang Muslim juga tidak boleh menolak hukum
qath'i dari hukum syariat yang telah diketahui secara pasti dari agama. Penolakannya terhadap
hal ini juga termasuk kafir terhadap Islam dan mengeluarkan dirinya dari agama ini serta terisolir
dari umat. Dia berhak untuk dihukumi murtad karena dia telah bersikap lancang dan sok tahu di
hadapan Allah Swt. dan menuduh Allah kekurangan ilmu. Mahasuci dan Mahatinggi Allah
terhadap apa yang mereka katakan.
Keempat, terdapat perbedaan yang mencolok di negara-negara Islam dalam menyikapi
hukum Islam. Ada di antara mereka yang komitmen untuk berhukum pada syariat Islam dari segi
mabda (prinsip hukum), meskipun dari sisi tathbiq (aplikasi) kadarnya berbeda-beda, ada yang
sedikit dan ada pula yang banyak. Ada juga yang hukum perdatanya bersumber dari syariat Islam
dan fiqihnya yang luas, tetapi hukum pidananya masih kebarat- baratan. Ada lagi yang berani
melawan hukum-hukum keluarga atau al-ahwal asy-syakhshiyah, sampai-sampai ada negara
Arab yang memperbolehkan zina dan tidak diberi sanksi selama saling suka sama suka, dan di
saat yang sama menganggap pemikahan kedua sebagai suatu perbuatan dosa yang harus diberi
sanksi.
Inilah yang melahirkan kisah unik dari seorang cerdik di salah satu negara Arab di Afrika Utara.
Ia telah menikah dengan istri kedua dengan pernikahan yang sah secara syar'i, tetapi tidak legal
secara undang-undang. Ketika dilacak di rumah istri keduanya itu, untuk menghindari sanksi
hukum, dia berkata, "Sesungguhnya ia pacarku." Demi mendengar pengakuan itu, si pemeriksa
menyesal karena telah salah duga karena mereka mengira itu istrinya!"
Negara itu menyerahkan hak perceraian kepada perempuan dan mengubah sanksi hukum
bagi seorang suami yang membunuh istrinya karena cemburu melihat sang istri selingkuh di ru-
mah, di mana hukuman awalnya lima tahun penjara, diubah menjadi hukuman mati. (Ini yang
terjadi di Tunis, Radio London, bulan Juli 1993)

Berhukum Kepada Syariat Itu Membuktikan Ashalah dan Kebebasan Kita


Syariat menurut kaum Muslimin merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari agama
Islam, sehingga tidaklah sempurna keimanan kaum Muslimin kecuali berhukum dengannya dan
menegakkannya. Tidak ada alternatif selain itu bagi kita. Apalagi setelah kaum Muslimin
beriltizam kepada Islam dan rela menjadikan Islam sebagai dien, syariat, dan pedoman hidup.
Allah Swt. berfirman,
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al-Ahzab: 36)

Berhukum dengan syariat itu terkait erat dengan ashalah identitas dan kebangsaan kita.
Sedangkan hukum positif yang sekarang kita pakai di negara-negara Arab dan Islam adalah
hukum asing yang diadopsi ke tengah-tengah kita. Dia tidak akan pernah bisa tumbuh di bumi
kita, karena bukan diambil dari akidah dan nilai-nilai dasar kehidupan kita. Dia bukan tradisi yang
benar-benar bisa diterima oleh masyarakat kita. Oleh karena hukum tersebut telah menghalalkan
apa yang kita yakini sebagai sesuatu yang haram dan telah menggugurkan apa yang kita anggap
wajib.
Kembali pada hukum syariat berarti membebaskan diri dari sisa penjajahan di dalam bidang
perundang-undangan dan kembali pada sumber kita yang asli yang kita jadikan sebagai sumber
rujukan. Di dalamnya kita dapatkan hidayah Allah dan keaslian warisan pendahulu kita yang
sesuai dengan kepribadian dan aspirasi kita; yang menampilkan hakikat arah tujuan kita serta
yang merealisasikan tujuan dan hajat kita.
Masuknya hukum positif ke negeri kita hampir sama dengan masuknya bangsa Yahudi ke
tanah Palestina. Semula mereka masuk secara pelan-pelan dan rahasia, lalu merampas secara
pelan-pelan dan rahasia, tetapi kemudian berakhir dengan merampas secara terang-terangan.
Siapa pun yang membaca bagaimana hukum positif itu masuk ke negara seperti Mesir, akan
mendapatkan contoh keanehan yang nyata. Bagaimana mungkin hai itu bisa terjadi dengan
mudah sehingga menimbulkan murka Allah yang Mahakasih? Undang-undang itu dibuat hanya
oleh seorang yang wawasan ilmiahnya atau profesinya tidak sampai tingkatan menengah, dia
adalah seorang pengacara dari Armenia. Dia selesaikan undang-undang tersebut dalam waktu
yang sangat singkat, sesingkat cukup untuk membuat buku saku.
Bahkan sebenarnya ia tidak membuat hukum, sebab seluruhnya dikutip secara harfiyah dari
sana-sini. Sebagaimana di katakan oleh Masina, salah seorang penasihat hukum dari Italia di
berbagai Mahkamah di Mesir. Dikatakannya bahwa apa yang disebut sebagai hukum itu hanyalah
rangkuman dari sana sini tanpa memperhatikan prinsip-prinsip hukum sesuai dengan keperluan
masyarakat dan kemaslahatannya.
Masina juga mengatakan, "Syabah, kepala pendidikan sejarah di Savini, sungguh bergetar
tubuhnya karena memba- yangkan bagaimana umat ini dipaksakan untuk memberlakukan
undang-undang yang datang dari luar."
Undang-undang ini benar-benar didatangkan dan diadopsi dari orang lain yang sebenarnya
sama sekali tidak dibutuhkan umat dan tidak juga pernah diminta untuk didatangkan. Umat tidak
pernah diajak bermusyawarah dalam masalah ini. Seakan-akan ini semua tidak ada kaitannya
dengan kehidupan mereka sehingga tidak dipandang perlu mendengarkan aspirasi mereka.
Undang-undang ini tidak akan pernah masuk atau tidak akan pernah diberlakukan seandainya
penjajah tidak memasukkannya dan menyosialisasikannya secara paksa dengan ketajaman
tombaknya.
Saat ini bangsa Arab dan umat Islam menuntut kebebasan dan kemerdekaan untuk kembali
kepada hukum syariatnya sendiri. Hal ini juga diserukan oleh para pakar atau ahli hukum positif
itu sendiri yang berkesempatan mempelajari fiqih syariah dan menelaah sebagian sumber
khasanah Islam. Di antara mereka adalah ahli hukum dari Arab, Dr. Abdurrazzaq As-Sanhuri yang
telah mengumumkan kesempurnaan nilai fiqih Islam dan orisinalitasnya serta kemampuannya
dalam mengatur kehidupan, di dalam buku dan ceramah-ceramahnya. Terutama pada masa-
masa terakhir dari usianya, yaitu setelah beliau mendalami berbagai sumber referensi fiqih,
kemudian menulis sebuah kitab yang populer, yaitu, Mashadirul haq fil fiqhil Islami.
Dalam sebuah ceramah yang dimuat harian Al-Ahram pada 1/1/1937, beliau berkata,
"Sesungguhnya saya jamin kalian, bahwa kalian akan mendapatkan dalam kekayaan syariat Islam
prinsip-prinsip dan teori-teori yang dalam pola dan hukumnya tidak kalah dengan prinsip dan
teori yang terbaru sekalipun, bahkan lebih maju dari undang-undang internasional."

Syariat dalam Arti Luas, Bukan Mazhab Tertentu


Sesungguhnya hukum Islam yang dicita-citakan itu bukan fiqih salah satu mazhab pada masa
tertentu, tetapi yang di maksud di sini adalah kaidah-kaidah dan hukum-hukum pokok yang telah
ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah, yang melahirkan kajian fiqih yang subur sejak masa
sahabat, kemudian generasi setelahnya dan dicatat oleh kitab-kitab mazahib yang beraneka
ragam dan kitab-kitab hadits serta fiqih perbandingan mazhab.
Kekayaan khasanah yang besar ini merupakan fondasi yang kuat, yang tidak boleh
direndahkan dan tidak boleh dilupakan dalam ijtihad modern. Anggapan bahwa kita harus
berijtihad lagi mulai dari nol tidak bisa diterima, tanpa menyandarkan yang baru kepada yang
lama. Tapi kita memang hanya terikat dengan detail-detail permasalahan fiqih yang berdasarkan
dalil-dalil syar'i yang kuat, baik secara nash maupun kaidah.
Di antara kaidah yang ditetapkan yang tidak ada khilaf—minimal dari segi teori—adalah,
sesungguhnya fatwa itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, keadaan dan
kebiasaan. Sebagaimana hal ini ditegaskan oleh sejumlah tokoh dari ulama berbagai mazhab yang
diikuti, seperti Al Qarafi, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Abidin. Kaidah ini disarikan dari Al-Quran,
Sunnah, atsar sahabat dan amalan ulama salaf. Contoh kasusnya sudah banyak diterapkan pada
masa kita sekarang ini, seperti masalah batas maksimal masa hamil yang dulu ramai
diperselisihkan para ulama, di mana sebagian mereka ada yang mengatakan sampai empat
tahun, bahkan lima tahun, bahkan ada yang tujuh tahun. Demikian itu karena para ulama zaman
dulu belum mengenal apa yang sekarang dikenal di dunia medis sebagai hamil palsu atau hamil
anggur, di mana seorang perempuan mengidap gejala-gejala yang biasanya dimiliki oleh seorang
perempuan hamil, padahal ia tidak hamil.
Oleh karena itu, kita tidak boleh membatasi diri untuk hanya berpegang pada satu mazhab
dalam setiap permasalahan. Karena boleh jadi mazhab tersebut lemah hujahnya dalam sebagian
permasalahan atau tidak bisa mewujudkan tujuan syariat dan kemaslahatan manusia. Kita tidak
berdosa meninggalkan mazhab seperti itu untuk beralih pada mazhab yang lain. Hal itu karena
syariat Islam sangat luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan. Misalnya dalam masalah
wajibnya memenuhi janji, jual beli murabahah, zakat hasil bumi, zakatnya harta yang
dimanfaatkan, bersumpah cerai, talaknya orang mabuk dan marah, talak tiga kali dengan satu
kata, batas maksimal orang hamil, dan sebagainya.

Harus Ada Ijtihad Baru yang Tepat


Hukum Islam yang dicita-citakan adalah yang tegak berdasarkan ijtihad kontemporer yang
benar, baik itu ijtihad yang bersifat menyeleksi atau bersifat baru sama sekali. Saya telah
berbicara tentang standar ijtihad ini di buku yang lain.
Tetapi di sini saya perlu mengingatkan supaya kita berhati-hati terhadap dua kelompok
manusia. Kelompok pertama adalah kelompok yang ingin agar Islam mengikuti zaman dan
menjadikan Islam itu seperti adonan roti lunak yang siap dibentuk menjadi apa saja dan tidak
mau memakai dasar Al-Quran, hadits, ijmak dan kiyas. Kelompok ini contohnya adalah mereka
yang sekarang berupaya menghalalkan bunga bank padahal seluruh lembaga dan muktamar
ilmiyah kelslaman telah mengharamkannya. Kelompok kedua adalah kelompok yang
menginginkan Islam itu beku seperti batu, yang hanya sesuai dengan zaman mereka, tetapi tidak
sesuai dengan zaman kita. Mereka itu sendiri ada dua macam.
Pertama, orang-orang yang taklid dan fanatik terhadap mazhabnya. Mereka tidak ingin keluar
sehelai rambut pun, terutama dari kalangan muta'akhkhirin.
Kedua, orang-orang yang tidak terikat oleh mazhab, yang saya istilahkan sebagai zahiriyah
versi baru.
Mereka itulah yang 'menghunus pedang' kepada setiap ulama yang mempunyai pendapat
baru atau bertentangan dengan orang sebelumnya, meskipun dari kalangan ulama besar dan
guru besar yang telah menghabiskan usianya berenang dan mengarungi bahtera ilmu kelslaman
dan memiliki karya yang terkenal di seluruh penjuru dunia.
Seorang ulama faqih yang mulia, seperti Syaikh Imam Muhammad Abu Zahrah rahimahullah
pernah berada dalam salah satu acara seminar. Waktu itu ia menyampaikan pandangan fiqihnya
yang baru. Beliau mengatakan, "Sesungguhnya saya menyimpan pendapat ini sejak dua puluh
tahun atau lebih, sekarang saya merasa lega dan terlepas sudah tanggungan saya."
Bukan sesuatu yang penting apakah pendapat itu benar atau salah, tetapi yang penting di sini
dan yang benar-benar menyakitkan hati adalah, seorang ulama besar sampai harus
menyembunyikan pendapatnya dan merahasiakan ijtihadnya selama dua puluh tahun atau lebih
dengan alasan tidak mendapat kesempatan atau keberanian untuk menulis dengan tulisan atau
menyampaikan secara lisan, karena takut diserang oleh orang-orang keras yang memiliki pisau
yang tajam dan anak panah yang melukai. Mereka menyalahkan dengan secepat kilat pada setiap
pendapat yang berbeda dengan pendapat mereka, sehingga matilah berbagai pendapat itu dari
pemiliknya dan tidak ada jalan keluar lagi untuk mengutarakan.

Ijtihad Bukan Asal Tajdid, Bukan Pula Tabdid


Seruan untuk berijtihad dewasa ini bukan sekadar asal-asalan dan membuka pintunya kepada
setiap orang yang mengaku dengan lantang, padahal belum terpenuhi syarat-syarat utama dalam
ijtihad. Hal ini perlu ditegaskan karena sebagian da'i atau aktivis tajdid Islami ada yang
menghendaki untuk mengembangkan Islam sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka.
Padahal, Allah Swt. berfirman,
Andaikan kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini,
dan semua yang ada di dalam-nya... (Al-Mu'minun: 71)

Hawa nafsu mereka itu dipengaruhi oleh pengetahuan yang mereka peroleh dari
pengetahuan Barat dengan pemahaman yang dangkal atau sudah dikaburkan dari ashalah Islam.
Mereka tidak mampu memisahkan antara tsawabit, yaitu sisi kelslaman yang memiliki sifat
konstan dan tetap selamanya dalam hukum Islam dan ajarannya atau dengan mutaghayyirat,
yaitu sisi fleksibel yang berkembang dan yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman,
tempat dan kondisi.
Mereka mengkritik fiqih dan menganggapnya sebagai sekadar sudut pandang yang
menggambarkan pendapat orang tertentu dalam lingkungan tertentu dan pada masa tertentu.
Sehingga apabila terjadi perbedaan masa, perbedaan lingkungan dan perbedaan orangnya maka
dibolehkan untuk membuat fiqih baru yang menggambarkan perubahan masa, tempat dan
orangnya.
Ini memang benar jika dilihat dari rincian pendapat, sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha'
dalam berbagai ijtihad, tetapi tidak benar jika dilihat dari fiqih secara keseluruhan sebagai
khasanah kekayaan hukum yang besar yang telah dibangun oleh orang-orang yang berakal
cerdas, dimulai dari para sahabat, kemudian generasi setelahnya sepanjang masa dengan
berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah.
Saya tidak tahu dan saya kira tidak ada orang yang tahu bahwa ada sebuah masyarakat yang
serta-merta membuang warisan hukum mereka, lalu memulai lagi dari nol membuat undang-
undang baru untuk hari ini dan esok, tanpa memanfaatkan dan mengambil faedah dari sejarah
masa lalu. Apalagi terhadap warisan fiqih yang memancar dari sumber rabbani.
Jika hal-hal yang berkaitan dengan fiqih dan fuqaha' ini kita serahkan kepada orang semacam
itu maka mereka akan semakin melonjak, sampai menolak Sunnah Nabawiyah yang berfungsi
sebagai penjelas Al-Quran baik secara teori ataupun secara aplikatif, padahal Allah telah
mewajibkan kepada kita untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Sebagaimana dalam
firman-Nya, Katakanlah, "Taatilah Allah dan taatilah Rasul..." (An-Nur: 54). Allah menjadikan
taat kepada Rasul-Nya itu sebagai taat kepada-Nya, Barangsiapa taat kepada Rasul maka ia taat
kepada Allah. (An-Nisa': 80)
Tidak heran jika kita menemukan di antara mereka ada yang mengajak untuk mencukupkan
diri dengan Al-Quran saja dan menolak seluruh Sunnah atau hanya mengambil Sunnah hadits
mutawatir saja sementara meniadakan hadits-hadits ahad, padahal sebagian besar hadits adalah
hadits ahad. Atau ada yang mengajak untuk mengambil hadits-hadits fi'liyah saja, sementara
menolak hadits-hadits qauliyah, padahal perputaran Sunnah itu banyak berkisar pada hadits-
hadits qauliyah.
Tidakkah mereka tahu bahwa dengan sikap itu sebenarnya mereka telah bertentangan
dengan Al-Quran itu sendiri dan keluar dari ijmak umat, serta mengingkari sesuatu yang sudah
menjadi maklum dari agama. Jika kita biarkan mereka dan kita terima kata-kata mereka yang
mardud tentang Sunnah, maka mereka akan segera melangkah dengan langkah yang lebih
berani, yaitu menolak Al-Quran itu sendiri dan menolak hukum-hukum Al-Quran yang permanen
dan pasti.
Tidak heran jika kita dapatkan di antara mereka ada yang menulis tanpa mempunyai perasaan
malu dengan maksud ingin menghilangkan ketentuan-ketentuan Allah, baik berupa perintah atau
larangan, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal dengan dalih mengikuti
perkembangan zaman dan memelihara kontekstualisasi Islam, bukan tekstualnya.
Ada salah seorang di antara mereka yang memiliki kesempatan untuk menulis di surat-surat
kabar dan majalah-majalah, lantas dengan semaunya ia mengatakan dalam tulisannya,
"Sesungguhnya Al-Quran itu tidak diturunkan untuk mengatur era ruang angkasa, tetapi untuk
mengatur masyarakat primitif jahiliyah." Ini merupakan tuduhan kepada Allah yang Mahaagung
akan dangkalnya ilmu Allah, seakan Allah tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh makhluk-
Nya setelah satu masa ini.
Ada juga yang mengatakan bahwa ayat tentang hukum potong tangan itu diturunkan sekadar
untuk menakut-nakuti orang yang mencuri onta orang Arab di padang pasir jazirah Arab, karena
di atas unta itu terdapat benda-benda berharga dan kehidupannya.
Seandainya orang yang menuduh seperti itu memiliki sedikit pengetahuan tentang sejarah
bangsa Arab pada masa kenabian pasti akan mengetahui bahwa tidak ada pencurian terhadap
unta pada saat itu. Bahkan dibiarkan bebas di daratan pun tidak ada yang mau mengambil.
Padahal bersamanya ada terumpah dan minumannya. Adapun kasus pencurian pada saat itu
tidak ada kaitannya dengan unta.
Kita mengajak untuk berijtihad dan bukan chaos; untuk tajdid dan bukan tabdid (perusakan),
untuk fiqih yang terjaga orisinalitasnya dan bukan saling tuduh yang tanpa dasar.

Islam Bukan Ajaran yang Kacau-Balau


Prinsip-prinsip umum terkait dengan seruan untuk me- negakkan syariat Islam yang kita
dakwahkan ini sangat jelas. Rambu-rambunya juga sudah saya jelaskan di dalam pembahasan
dan buku-buku yang lain. Hanya saja, Sebagian orang yang meragukan atau menentang dakwah
untuk menegakkan syariat Islam ini menulis dengan salah paham. Mereka mengira bahwa syariat
Islam yang didakwahkan merupakan sesuatu yang kacau, tidak memiliki kriteria dan batasan yang
pasti, sehingga setiap penguasa atau setiap kelompok memberikan penafsiran sendiri-sendiri,
semaunya.
Oleh karena itu, kita dapatkan ada yang mengatakan, "Islam yang manakah yang kalian
dakwahkan kepada kami dan yang kalian tuntut agar kami melaksanakannya? Saat ini kita telah
melihat Islam yang sebagian penguasa mengaku menerapkannya berbeda-beda antara satu
negara dengan negara lainnya. Di sana ada Islam Sudan, Islam Iran, Islam Pakistan dan Islam
Libya! Atau sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang dengan istilah; Islam Numairi, Islam
Khumaini, Islam Dhiya'ul Haq dan Islam Qadafi. Islam yang manakah yang kalian maksud?"
Kita katakan kepada mereka, "Sesungguhnya Islam adalah Islam, tanpa disandarkan kepada
seseorang atau suatu golongan, kecuali kepada pembuatnya atau yang menyampaikannya. Itulah
Islam versi Al-Quran dan Sunnah. Tidak dikaitkan dengan nama seseorang, kecuali nama
Muhammad Saw. yang telah diutus oleh Allah sebagai pembawa kabar gembira, memberi
peringatan kepada manusia, serta mengajak mereka ke jalan Allah. Ia hadir ibarat pelita yang
terang.
Meskipun terdapat banyak interpretasi dan praktik pengamalan syariat Islam yang berbeda-
beda satu sama lain, namun di sana tetap ada suatu substansi dan esensi yang sama dalam
masalah-masalah yang pokok (ushuliyah). Hal ini menunjukkan adanya kesatuan dalam hal
akidah, prinsip, perasaan dan perilaku dasar umat. Itulah lingkup hal-hal yang bersifat aksiomatis
(qath'iyat) di mana umat bersepakat, baik secara teori maupun praktik, dan telah meresap kuat
dalam pikiran, hati, dan kehidupan mereka selama beberapa kurun (14 abad) lamanya.
Banyak hal yang bersifat aksiomatis dalam masalah akidah dan pemikiran, dalam ibadah dan
syiar, dalam hukum dan perundang-undangan, dalam akhlak dan tata kehidupan, semua itu
termasuk sesuatu yang tidak diperselisihkan dan tidak berbenturan di antara kaum Muslimin.
Hal-hal aksiomatis inilah yang menjadi fondasi syariat dan asasnya. Hal itu menjadi penentu arah
dan tujuan, yang menggariskan sistem dan jalan, sekaligus menjelaskan keistimewaan fenomena
dan klasifikasinya.
Adapun masalah-masalah yang tidak qath'i, baik berupa hukum maupun aturan lainnya, tidak
dibiarkan untuk dijadikan permainan hawa nafsu, pemikiran yang rancu, atau penguasa yang
sewenang-wenang, yang memahami semaunya dan menafsirkan seenaknya, tanpa landasan
yang benar dan bukti yang kuat.
Tidak bisa seperti itu, karena ada ushul dan kaidah yang dibuat oleh para imam untuk
memverifikasi adanya nash syar'i terlebih dahulu, kemudian memahami maknanya, selanjutnya
beristinbat terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya. Untuk itu, disusunlah ilmu ushul
fiqih, kaidah fiqih, ushulul hadits, ushulut tafsir dan yang lainnya dari berbagai bidang ilmu yang
menjadi perangkat untuk memahami dan melakukan istinbat hukum. Bersamaan dengan itu,
terdapat banyak lembaga studi atau mazhab dalam memahami dan menyimpulkan
permasalahan. Hal itu tidak menjadi masalah selama masih berdasarkan prinsip dan kaidah
keilmuan yang mapan, serta berdasarkan dalil dan bukan atas dasar hawa nafsu atau taklid buta.
Perbedaan pendapat di sini sekaligus berfungsi sebagai sumber pengayaan khazanah
pemikiran Islam dan amal Islami apabila diletakkan dalam kerangka yang benar.

Keniscayaan Tadarruj
Tadarruj merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Sungguh Allah telah menciptakan manusia dalam beberapa fase, yaitu dari segumpal darah,
kemudian segumpal daging, lalu diberi tulang dan seterusnya. Allah juga menciptakan dunia
selama enam hari, dan Allahlah yang Mahatahu berapa lamanya hari-hari yang enam itu.
Selain itu, Allah memerintahkan yang wajib dan melarang yang haram juga lewat proses dan
tahapan, karena mempertimbangkan kelemahan manusia dan karena kasih sayang-Nya kepada
mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa syariat Islam itu telah sempurna. Akan tetapi, penerapannya pada
saat ini memerlukan pengondisian dan persiapan. Demikian itu untuk dapat mengarahkan
masyarakat menuju komitmen pada kelslaman yang sahih, setelah lama tenggelam dalam
kehidupan yang kebarat-baratan.
Beberapa negara telah mulai melaksanakan sebagian dari hal tersebut, sementara sebagian
yang lain masih tetap konsisten dengan atribut kejahiliyahannya. Ini semua memerlukan usaha
dan kesungguhan yang maksimal, sehingga kita mampu menghilangkan berbagai kendala dan
meredam berbagai guncangan, untuk kemudian berupaya mewujudkan alternatif pengganti dan
mendidik kader-kader pelaksana yang tepercaya, yang memiliki kekuatan dan amanah. Semua ini
harus berproses, karena untuk menemukan kedua-duanya pada diri seseorang itu sungguh sulit
dan langka, sebagaimana dirasakan sendiri oleh para pendahulu kita, sampai Umar r.a. pernah
berkata dalam aduannya,
Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu akan lemahnya orang yang bisa dipercaya
dan kuatnya orang yang fajir (tidak bisa dipercaya dan banyak dosa).

Jadi, tidak terlarang menggunakan tahapan dalam menerapkan suatu hukum, karena demi
menjaga kondisi manusia dan dalam rangka mengikuti taujih Rasulullah Saw. sebagai berikut:
Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala sesuatu.

Hal seperti ini juga dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ahli sejarah menceritakan
dari Umar bin Abdul Aziz bahwa anaknya yang bernama Abdul Malik pernah berkata kepadanya,
"Wahai bapakku, mengapa engkau tidak melaksanakan hukuman (untuk mereka)? Demi Allah
saya tidak peduli meskipun periuk mendidih merebusku dan engkau, selama dalam kebenaran."
Ini adalah ungkapan seorang pemuda yang bertakwa dan penuh semangat. Dia berpikir,
bapaknya telah dikaruniai Allah kekuasaan atas orang-orang beriman, sehingga dapat
menghukum dan memberantas segala kezaliman dan kerusakan secara spontan tanpa
mempertimbangkan tahapan apa pun. Untuk itu, sang anak siap menerima segala risiko yang
akan menimpa.
Bagaimana jawaban sang ayah sebagai seorang khalifah yang bijaksana sekaligus seorang
mujtahid yang faqih?
Ia menjawab, "Wahai anakku, janganlah tergesa-gesa, sesungguhnya Allah pernah mencela
khamr dalam Al-Quran dua kali dan mengharamkannya pada kali yang ketiga. Aku khawatir jika
membawa kebenaran ini kepada manusia secara spontan, maka mereka pun menolaknya secara
spontan pula, sehingga dari sinilah akan muncul fitnah."
Tampak di sini bahwa khalifah ingin menyelesaikan sesuatu dengan bijaksana dan bertahap,
dengan mengambil petunjuk dari manhaj Allah Ta'ala yang telah mengharamkan khamr kepada
hamba-hamba-Nya dengan cara bertahap. Alasan tepat yang disampaikan telah membuktikan
betapa mendalam kepahamannya ihwal fiqih siyasah syar'iyah, "Aku khawatir jika membawa
kebenaran ini kepada manusia secara spontan, maka mereka pun menolaknya secara spontan
pula, sehingga dari sinilah akan muncul fitnah." Maksudnya beliau ingin memberi minum kepada
mereka seteguk demi seteguk dan membawa mereka untuk menuju kebenaran itu selangkah
demi selangkah.
Pada kesempatan yang lain sang anak pernah masuk kerumahnya dengan semangat
keimanan yang membara, ia berkata sambil emosi, "Wahai Amirul Mukminin! Apa yang akan
engkau katakan kepada Tuhanmu besok jika Dia bertanya kepadamu, "Kamu melihat bid'ah tapi
kamu tidak membunuhnya, atau mengetahui sunnah, tetapi kamu tidak menghidupkannya?"
Sang ayah menjawab, "Semoga Allah merahmatimu dan membalasmu dengan kebaikan, wahai
anakku! Sesungguhnya kaummu telah mengikat hal itu satu ikat satu ikat, dan ketika aku ingin
memaksa mereka untuk melepaskan sesuatu yang ada di tangan mereka, saya tidak aman jika
merebutnya dengan keras, karena akan semakin banyak mengeluarkan darah. Demi Allah,
lenyapnya dunia lebih ringan bagiku daripada penumpahan darah, yang disebabkan karena aku.
Apakah kamu tidak merasa cukup dan ridha bila setiap hari ayahmu dapat mematikan satu bid'ah
dan menghidupkan sunnah?"
Bertahap dengan arti seperti ini bisa diterima dan dia termasuk sunnah kauniyah sekaligus
sunnah syar'iyah. Namun demikian, hendaknya segala uraian di atas tidak dijadikan alasan untuk
menunda-nunda amal dalam rangka menegakkan syariat, apalagi sampai mematikannya atas
nama tadarruj. Kita harus mengikuti prinsip Umar bin Abdul Aziz, yaitu hendaklah jangan
melewatkan satu hari kecuali sebuah bid'ah akan mati dan sebuah sunnah hiduppada hari itu.
Dengan demikian, terwujudlah sebuah tahapan yang baik.
Dari sinilah kita mengetahui bahwa esensi tadarruj sesungguhnya adalah menentukan tujuan,
menggariskan perencanaan, menentukan fase dan tahapannya, serta memperkuat kemampuan
untuk mewujudkan tujuan yang telah dicita-citakan.
Oleh karena itu, kita dituntut untuk membuat perencanaan dan persiapan agar dapat
menciptakan perubahan. Baik dalam aspek pendidikan, penerangan, keilmuan, maupun sosial
kemasyarakatan. Kita mulai dari sesuatu yang tidak memerlukan tahapan atau persiapan, yang
hanya memerlukan kesahihan orientasi dan kebenaran tekad, di mana ketika tekad sudah bulat
maka jalan pun menjadi terang.

Tidak Mungkin Menerapkan Syariat Selain Mereka yang Mengimaninya


Syariat Islam tidak mungkin diterapkan secara benar kecuali oleh orang-orang yang percaya
terhadap kesuciannya, sumbernya yang berasal dari Tuhan, hukumnya yang adil, ketinggian
tujuannya, dan oleh mereka yang beribadah serta taat kepada Allah dengan ikhlas. Inilah yang
membuat mereka bersemangat untuk memahami hukum dan tujuannya secara mendalam.
Setelah itu, mereka berjuang untuk menghilangkan berbagai hambatan di hadapannya, juga
berjuang untuk menjadi contoh yang baik dalam hal melaksanakan prinsip-prinsipnya dan
teladan yang baik bagi orang-orang yang belum puas terhadapnya, sehingga orang lain bisa
melihat mereka dalam keimanan, akhlak dan perilakunya. Dengan begitu, orang-orang yang
melihat mereka akan mencintai syariat, karena telah melihat sendiri pengaruhnya yang nyata
dalam kehidupan.
Demikianlah para sahabat dan kaum Muslimin generasi awal. Orang-orang pun mencintai
Islam setelah mereka merasakan kecintaan Islam pada dirinya. Akhirnya mereka berbondong-
bondong masuk Islam karena tertarik dengan keindahan akhlak dan keikhlasan para pemeluknya.
Sungguh, para sahabat itu ibarat Al-Quran yang hidup dan berjalan di tengah-tengah mereka.
Kendala umum yang timbul ketika penerapan syariat Islam diperjuangkan dewasa—yang
menjadi sasaran kritik dari para pemerhati dan kritikus—adalah karena syariat itu dinisbatkan,
diserukan dan dipraktekkan oleh orang-orang yang bukan ahlinya. Yang saya maksud 'bukan
ahlinya' di sini adalah mereka yang tidak memahami hakikat dari syariat Islam itu atau minimal
melalaikannya, tidak memiliki kebanggaan menjalankannya, dan tidak memiliki komitmen untuk
menegakkannya.
Risalah yang besar memerlukan pemelihara dan pendukung yang kuat pula, mereka itulah
yang pertama kali bertanggung jawab terhadap penyebaran dan pelaksanaan nilai-nilai dan
ajarannya di tengah kehidupan masyarakat. Tanpa mereka, penerapan syariat hanyalah sekadar
lahirnya saja, dan tidak akan sampai bisa mengubah pola hidup masyarakat dari akarnya serta an
tidak bisa menerobos kebaikan itu dari dasarnya.

Syariat Berlaku untuk Rakyat dan Penguasa


Penerapan syariat bukan hanya menjadi tanggung jawab penguasa saja, meskipun mereka
adalah orang yang pertama kali dituntut karena kekuasaan ada di tangannya, sehingga mampu
melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Dahulu ulama salaf mengatakan,
"Seandainya kita memiliki doa yang dikabulkan maka kita akan berikan doa itu untuk penguasa,
karena sesungguhnya Allah memperbaiki banyak makhluk lantaran kebaikannya."
Hal ini terjadi pada masa lalu, di saat kendali pendidikan, penerangan, dan sarana hiburan
tidak berada di tangan penguasa seperti sekarang ini.
Selain itu, sesungguhnya rakyat memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan syariat dalam
banyak hai yang tidak memerlukan campur tangan pemerintah.
Kini, hukum halal dan haram, hukum-hukum yang mengatur hubungan antarindividu,
seseorang dengan rumah tangganya, dan seseorang dengan masyarakatnya telah diabaikan oleh
kaum Muslimin. Bahkan mereka sampai pada tingkat menentang perintah Allah dan melanggar
ketentuan-Nya, padahal mereka tidak akan memperoleh kebaikan kecuali jika mau melaksana-
kan hukum Allah dan beriltizam terhadap perintah dan larangan-Nya, dengan kesadarannya
sendiri untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah.
Hendaknya para dai cendekiawan, dan pendidik mencurahkan segenap usaha mereka agar
umat sadar dan mau melaksanakan kewajibannya dalam menjalankan syariat Allah, bukan
sekadar menuntut pemerintah untuk menerapkan syariat Islam, dan dengan tuntutan seperti itu
mereka seakan-akan telah melaksanakan seluruh kewajiban.
PASAL 9
PEREKONOMIAN DAN HARTA KEKAYAAN

Setiap masyarakat mempunyai sistem ekonominya sendiri, yang tergambar di dalamnya


falsafah, akidah, sistem niiai dan pandangannya terhadap individu dan masyarakat, terhadap
harta dan fungsinya, terhadap agama dan dunia, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu
mempengaruhi produktivitas, kekayaan dan berkaitan dengan cara untuk memperoleh,
pendistribusian dan penyimpanannya. Dari sinilah muncul sistem perekonomian.
Tema tentang ekonomi Islam adalah tema mendasar yang memerlukan pembicaraan
panjang. Telah disusun berbagai teori tentang perekonomian Islam dalam bentuk buku yang
banyak dan beraneka ragam. Telah pula diajukan berpuluh-puluh tesis dan disertasi ilmiah untuk
memperoleh gelar magister dan doktor dalam bidang ini. Untuk itu, di sini kita cukup
mengemukakan kaidah-kaidah pokok yang membentuk sistem perekonomian dalam masyarakat
Islam. Di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut.
1. Harta dinilai sebagai suatu kebaikan dan kenikmatan jika berada di tangan orang-orang saleh.
2. Harta adalah milik Allah, sedangkan manusia hanyalah dipinjami dengan harta itu.
3. Dakwah untuk menumbuhkan etos kerja yang baik adalah merupakan ibadah dan jihad.
4. Cara kerja yang kotor diharamkan.
5. Hak milik pribadi diakui dan dilindungi.
6. Seseorang dilarang menguasai benda-benda yang sangat diperlukan oleh masyarakat.
7. Larangan kepemilikan harta yang membahayakan orang lain.
8. Pengembangan harta tidak boleh membahayakan akhlak dan mengorbankan kepentingan
umum.
9. Kemandirian (eksistensi) umat harus diwujudkan.
10. Adil dalam berinfak.
11. Takaful di antara anggota masyarakat harus ditegakkan.
12. Memperdekat jarak perbedaan antarstrata sosial di tengah masyarakat.

Harta adalah Kebaikan di Tangan Orang Saleh


Kaidah pertama dalam membangun ekonomi Islam adalah menghargai nilai harta benda dan
kedudukannya dalam kehidupan. Sebelum datangnya Islam, banyak orang menganggap harta
sebagai keburukan, sedang kemiskinan sebagai kebaikan. Bahkan, segala sesuatu yang berkaitan
dengan kenikmatan materi dianggap sebagai kotoran ruhani dan penghambat bagi peningkatan
kemuliaan jiwa manusia.
Demikian itu sebagaimana dikenal dalam falsafah Brahma di India dan Manawi di Paris,
sebagaimana juga dikenal dalam agama Kristen. Kecenderungan ini semakin jelas dalam sistem
kerahiban (kependetaan).
Para pemilik Injil (Matius, Marcus, dan Lukas) menceritakan dari Al Masih, bahwa ada seorang
pemuda kaya yang ingin mengikuti Al Masih dan ingin masuk ke agamanya, maka Al Masih
berkata kepadanya, "Juallah harta milikmu kemudian berikanlah dari hasil penjualan itu kepada
kaum fakir, setelah itu kemarilah mengikutiku."
Ketika dirasa berat bagi pemuda itu maka Al Masih pun berkata, "Sulit bagi orang kaya untuk
memasuki kerajaan langit! Saya katakan juga kepadamu, sesungguhnya masuknya unta ke lubang
jarum itu lebih mudah dari masuknya orang kaya ke kerajaan Allah."
Kebalikan dari pandangan-pandangan tersebut, berbagai paham baru, seperti paham
materialis dan sosialis menjadikan perekonomian itu sebagai tujuan hidup dan menjadikan harta
sebagai tuhan bagi individu dan masyarakat.
Berbeda dengan dua pandangan di atas, Islam tidak memandang harta kekayaan seperti
pandangan mereka yang pesimis dan antipati, bukan pula memandang seperti pandangan kaum
materialist yang berlebihan, tetapi Islam memandang harta itu sebagai berikut.
Pertama, harta sebagai pilar penegak kehidupan. Allah Swt. berfirman.
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yangdijadikan Allah sebagai pokok (penegak)
kehidupan. (An-Nisa': 5)

Kedua, Di dalam beberapa ayat Al-Quran harta disebut dengan kata, khairan yang berarti
suatu kebaikan.
Dan sesungguhnya manusia itu sangat bakhil karena cintanya kepada kebaikan (harta) (AI-
'Adiyat: 8)

Katakanlah, "Apa saja kebaikan (harta) yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada
ibu bapak dan kaum kerabatmu... (Al-Baqarah: 215)

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapa dan kari kerabatnya secara
ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 180)

Ketiga, Kekayaan merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada para Rasul-Nya dan orang-
orang yang beriman serta bertakwa dari hamba-hamba-Nya. Allah Swt. berfirman:
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
(Adh-Dhuha: 8)

Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah akan memberikan kekayaan kepadamu
dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. (At-Taubah:28)

Jikalau sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi... (Al-A'raf: 96)

(Allah) memberikan bantuan kepadamu dengan hartaanak laki- laki... (Nuh: 12)

Keempat, Kemiskinan adalah ujian dan musibah orang yang berpaling dan kufur terhadap
nikmat Allah. Firman-Nya:
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yangdahulunya aman
lagi tenteram, rezekinyadatang kepadanya melimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi
(penduduk)nya mengingkari nikmat Allah; karena itu Allah menimpakan kepada mereka
pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (An-Nahl:
21)
Kelima, Nabi Saw. menentukan pandangannya terhadap harta dengan sabdanya yang ringkas:
Sebaik-baik harta adalah harta yang berada di tangan hamba yang saleh (HR. Ahmad).

Harta itu tidak baik secara mutlak dan tidak pula jelek secara mutlak, tetapi ia merupakan alat
dan senjata yang baik bila di tangan orang baik dan menjadi buruk bila di tangan orang jahat.
Demikian itu karena harta merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan dan membantu
melaksanakan kewajiban, seperti zakat, haji dan jihad serta persiapan utama untuk
memakmurkan bumi.
Islam menginginkan agar harta itu tidak menjadi berhala yang disembah sebagai tandingan
selain Allah. Dan hendaknya jangan menyebabkan pemiliknya lalai terhadap Rabb-Nya dan
menindas sesama makhluk. Sebab, ini semua merupakan fitnah harta yang diperingatkan oleh
Islam. Allah Swt. berfirman,
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar. (Al-Anfal:28)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan


kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-
orang yang rugi. (Al-Munafiqun: 9)

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yangkekal
lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan.
(Al-Kahfi: 46)

Ketahuilah sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya
serba cukup. (Al-'Alaq: 6-7)

Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa sesungguhnya penyelewengan itu tidak muncul


disebabkan sekadar oleh kekayaan, akan tetapi disebabkan karena anggapan manusia itu sendiri
bahwa seakan harta itu segala-galanya, di mana ia tidak lagi memerlukan yang lainnya apabila
sudah punya harta, bahkan merasa tidak perlu lagi menyembah Allah.

Harta Itu Milik Allah


Kaidah kedua sebagai landasan ekonomi dalam masyarakat Islam adalah keyakinan bahwa
harta itu milik Allah, sedangkan manusia hanya memegang amanah atau pinjaman dari-Nya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran,
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah meminjamkan kepadamu. (Al-Hadid: 7)

Allahlah pemilik harta benda, karena Dia yang menciptakannya dan yang menciptakan
sumber produksinya serta memudahkan sarana untuk mendapatkannya. Bahkan Dialah yang
menciptakan manusia dan seluruh alam semesta.
Dan kepunyaannya (Allah) apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi... (An-Najm: 31)

Ingatlah sesungguhnya hanya milik-Nya makhluk yang ada di langit dan makhluk yang ada
di bumi… (Yunus: 66)
Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam, kamukah yang menumbuhkannya
atau Kami yang menumbuhkannya. (Al-Waqi'ah: 63-64)

Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu... (An-Nur: 33)

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada
mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka... (Ali 'Imran:
180)

Jadi, salah satu karunia Allah yang diberikan kepada manusia adalah harta, sehingga
kekuasaan manusia atas harta itu sekadar sebagai wakil, bukan pemilik aslinya.
Jika manusia sekadar pemegang mandat menguasai, maka ia tidak boleh menisbatkan harta
itu kepada dirinya semata sebagai hasil jerih payahnya, lalu mengatakan seperti yang dikatakan
oleh orang kafir, "Ini adalah milikku" (Fushshilat: 41). Atau mengatakan seperti yang dikatakan
Qarun,"Sesungguhnya aku diberi harta itu, hanya karena ilmu yang ada padaku" (Al Qashash:
78).
Demikian juga, seseorang tidak diperbolehkan menyibukkan diri dengan harta itu tanpa
melibatkan keluarga dari pemilik aslinya, yaitu umat manusia lainnya. Sebab, seluruh makhluk
adalah keluarga Allah.
Imam Fakhruddin Ar-Razi mengatakan di dalam tafsirnya, "Sesungguhnya orang-orang fakir
itu adalah keluarga Allah dan orang-orang kaya itu khuzzanullah (yang menyimpan harta Allah),
karena harta yang ada di tangan mereka adalah harta Allah. Seandainya Allah tidak memberikan
harta itu di tangan mereka, niscaya mereka tidak memilikinya sedikit pun. Maka bukan sesuatu
yang aneh jika ada seorang raja berkata kepada bendaharanya, "Berikan sebagian dari harta yang
ada di gudang kepada hamba-hamba sahayaku yang membutuhkan."
Manusia yang mengemban amanat harta terikat dengan instruksi pemiliknya dan
melaksanakan keputusannya. Mereka juga harus tunduk terhadap arahan-arahan-Nya dalam
memelihara dan mengembangkannya, serta dalam menginfakkan dan mendistribusikannya.
Bukan berkata seperti yang dikatakan oleh penduduk Madyan kepada Nabi Syu'aib a.s.:
Hai Syu'aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan
apayangdisembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami
kehendaki tentang harta kami... (Hud: 87)

Itu merupakan bantahan ketika Syu'aib menasehati mereka,


Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu
kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik
(mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yangmembinasakan
(kiamat). Hai kaumku, penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu
merugikan manusia terhadap hak-hak mereka, janganlah kamu membuat kejahatan di muka
bumi dengan membuat kerusakan. (Hud: 84-85)
Mereka mengira bahwa kepemilikan harta itu memperbolehkan mereka untuk bebas berbuat
semaunya, walaupun hai itu bertentangan dengan norma-norma atau tidak memperhatikan
kepentingan masyarakat, dengan alasan bahwa, "Ini harta kami, maka kami menggunakannya
terserah kemauan kami."
Islam telah menegaskan bahwa harta adalah milik Allah yang diberikan kepada siapa saja yang
Allah kehendaki dari para hamba-Nya. Allah mengamanahkan kepada mereka harta itu untuk
melihat bagaimana mereka berbuat. Maka apabila mereka tidak beriltizam dengan perintah-
perintah Allah berarti mereka telah melanggar batas-batas kewenangan, sehingga harta itu harus
diambil secara paksa atau tangan mereka dipukulkan ke batu.
Dengan kaidah emas ini, Islam maju dalam beberapa kurun waktu di bidang perekonomian
dan berhasil mewujudkan kesejahteraan sosial. Islam telah jauh mendahului apa yang digembar-
gemborkan oleh sebagian ilmuwan sosial Barat, bahwa pemilikan itu tugas sosial, dan
sesungguhnya orang yang kaya itu harus mengikuti sistem sosial yang ada. Meskipun kata-kata
ini sama sekali tidak sebanding dengan ajaran yang ada dalam Al-Quran.

Seruan untuk Bekerja dengan Baik


Kaidah ini muncul dari kaidah yang pertama dan tegak di atasnya. Artinya, jika harta dalam
pandangan Islam merupakan sarana hidup yang baik dan sarana untuk berbuat kebaikan, maka
kita harus berusaha untuk memperoleh harta itu sesuai dengan sunatullah dalam mengaitkan
antara sebab-musababnya.
Islam mengajak kita untuk berusaha dan bekerja, dan Islam memperingatkan kita dari sikap
putus asa dan rasa malas. Allah Swt. berfirman:
Dialah yang menjadikan bumi ini budak bagi kamu, berjalanlah di segala penjurunyadan
makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali) setelah
dibangkitkan... (Al-Mulk: 15)

Apabila shalat telah dikerjakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. (Al-Jumu'ah: 10)

Rasulullah Saw. bersabda,


Tidak seorang pun makan makanan yang lebih baik daripada makanan yang dihasilkan dari
hasil kerja tangannya (sendiri). (HR. Bukhari)

Seseorang itu terus menerus meminta-minta kepada manusia hingga datang pada hari
Kiamat nanti, sementara di wajahnya tidak ada secuil daging pun. (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Islam tidak hanya menyeru manusia untuk beraktivitas duniawi, tetapi bahwa setiap aktivitas
tersebut akan dimasukkan dalam kategori ibadah kepada Allah, selama dilakukan dengan niat
yang benar karena Allah dengan mematuhi hukum-hukum-Nya. Rasulullah Saw. bersabda:
Apabila seseorang itu keluar berusaha untuk anaknya yang masih kecil maka itu fi sabilillah,
dan apabila keluar berusaha untuk kedua orang tuanya yang renta maka itu fi sabilillah, dan
apabila keluar berusaha untuk dirinya agar dirinya terjaga kehormatannya maka itu fi
sabilillah. (HR. Thabrani)
Dalam mendorong seseorang untuk bercocok tanam, Nabi Saw. bersabda,
Tidaklah seorang Muslim yang menanam suatu tanaman atau bercocok tanam kemudian
(hasilnya) dimakan oleh burung, manusia atau hewan, melainkan bernilai sedekah baginya.
(HR. Muttafaqun 'Alaih)

Dalam hal perdagangan, Nabi Saw. bersabda,


Pedagang yang jujur dan tepercaya itu (akan dikumpulkan) bersama para Nabi, shiddiqiin,
dan para syuhada'. (HR. Tirmidzi)
Dalam menggembala ternak, Rasulullah Saw. bersabda,
Allah tidak mengutus seorang nabi pun kecuali pernah menggembala kambing. Para sahabat
bertanya, "Demikian pula engkau?" Nabi Menjawab, "Ya. Aku dulu juga pernah
menggembala kambing milik penduduk Makkah dengan memperoleh gaji beberapa qirath.
(HR. Bukhari)

Dalam bidang wiraswasta, Rasulullah Saw. mencontohkan Nabi Dawud a.s. yang Allah telah
memberi kemampuan kepadanya bisa melunakkan besi untuk dibuat baju perang. Nabi Saw.
bersabda,
Sesungguhnya Nabi Allah Dawud itu tidak makan kecuali dari (hasil) kerja tangannya. (HR.
Bukhari)

Rasulullah juga memerangi tradisi bangsa Arab yang suka menghina wiraswasta dan kerajinan
tangan, sementara mereka sebagian mengandalkan meminta-minta kepada kepala suku. Nabi
Saw. menjelaskan kepada mereka bahwa sesungguhnya setiap usaha kerja yang bermanfaat
adalah mulia, walaupun laba yang diperoleh sangat kecil dan manusia memandang remeh.
Rasulullah Saw. bersabda:
Jika ada seseorang di antara kamu yang mengambil tali, kemudian datang dengan membawa
sebongkok kayu bakar di atas punggungnya, lalu ia menjualnya, sehingga dengan itu Allah
menutupi wajahnya, itu lebih baik baginya daripada meminta kepada manusia, yang kadang
mereka memberinya, kadang tidak memberinya. (HR. Bukhari)

Di antara fardhu kifayah bagi kaum Muslimin adalah mempersiapkan jumlah orang yang
terlatih dan mencukupi untuk setiap profesi yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga kaum
Muslimin bisa mandiri mencukupi kebutuhannya. Mereka makan dari hasil mereka menanam,
berpakaian dari produksi sendiri, dan mempersenjatai tentara mereka dengan hasil buatan
mereka sendiri. Hal ini berpegang pada firman Allah Swt.,
Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat
bagi manusia... (Al-Hadid: 25)

Kata ba'sun syadid itu menunjukkan pentingnya produk-produk militer, dan kata wamanafi'u
linnas mengisyaratkan pentingnya produk-produk sipil. Ketika semua itu belum terpenuhi maka
kaum Muslimin berdosa, terutama kalangan ulil amri.
Di antara sisi keindahan yang dipaparkan oleh sebagian ulama adalah bahwa bekerja dan
berusaha, meskipun itu mubah di satu sisi, ia merupakan kewajiban pada sisi yang lainnya.
Imam Ar-Raghib berkata dalam kitabnya, Adz-Dzanah ila Makarimisy Syari'ah,
Bekerja, walaupun di satu sisi dianggap mubah, tetapi di sisi lainnya termasuk wajib.
Demikian itu karena seseorang tidak mungkin bisa konsentrasi beribadah, kecuali apabila
kebutuhan primernya terpenuhi, sehingga memenuhinya menjadi wajib, karena jika suatu
kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib
hukumnya.

Apabila tidak ada jalan lain untuk memenuhi kebutuhan pokoknya kecuali dengan
memfungsikan tenaga orang lain, maka ia harus memberikan imbalan kepadanya atas jerih
payah orang tersebut. Jika tidak maka ia termasuk zalim. Barangsiapa diberi fasilitasoleh
orang lain berupa makan, pakaian, tempat tinggal, dan yang lain-lainnya maka ia harus
bekerja untuk mereka setimpal dengan fasilitas yang ia peroleh dari mereka. Jika tidak maka
ia zalim, baik ia sengaja membantu atau tidak.

Barangsiapa rela dengan pekerjaan yang ringan sehingga tidak memperoleh dari dunia
mereka kecuali juga sedikit maka ia juga cukup bekerja dengan ringan. Tetapi barangsiapa
yang memfungsikan mereka untuk kemanfaatannya dan tidak memberi upah kepada
mereka, berarti dia tidak melaksanakan perintah Allah Swt., "Tolong-menolonglah kalian
dalam hal kebaikan dan ketakwaan..." (Al-Ma'idah: 2). Mereka ini tidak termasuk yang
disebut dalam firman Allah Swt., "Orang-orang yang beriman laki-laki dan wanita, sebagian
mereka menjadi penolong bagi sebagian (yang lain) …” (At-Taubah: 71).

Oleh karena itu, tercelalah orang yang mengaku sebagai sufi sementara tidak mau bekerja
dan tidak memiliki ilmu yang bisa diambil manfaat, serta tidak mempunyai amal saleh di
dalam agama yang bisa diteladani. Orang seperti ini sesungguhnya telah mengambil
keuntungan dari manusia dan mempersempit ma'isyah mereka, tetapi ia tidak memberi upah
apapun kepada mereka. Orang seperti itu hanya akan membuat keruhnya saluran air dan
membuat mahal harga barang-barang.

Di antara bukti lain atas buruknya perbuatan orang seperti itu, bahwa sesungguhnya Allah
telah mencela orang yang makan hartanya sendiri dengan berlebihan dan menghambur-
hamburkan. Apalagi orang yang makan harta orang lain, sementara ia tidak memberikan
kepada mereka pengganti, upah atau kompensasi apa pun.

Di antara kewajiban ulil amri adalah menyediakan untuk setiap orang yang mampu bekerja,
lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya untuk mencukupi kebutuhan diri dan
keluarga. Juga memberi kesempatan bagi mereka yang tidak mempunyai keahlian untuk
mendapatkan pendidikan dan training sehingga dapat bekerja dengan baik.
Islam sangat mendorong kita untuk bekerja, sekaligus mem- berkahinya. Yang dituntut dari
seorang Muslim dalam hal ini adalah tawazun antara bekerja untuk mencari ma'isyah dengan
beramal untuk bekal kembali ke hadirat Allah, antara urusan dunia dan urusan agamanya, antara
tuntutan jasmani dan ruhaninya. Urusan dunia tidak melalaikan akhirat, dan materi tidak
melalaikan ruhani.
Allah Swt. telah memberikan sifat saleh bagi hamba-hambanya yang membiasakan ibadah di
masjid-masjid, dengan firman-Nya:
Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk memuliakan dan
disebut nama-Nyadi dalamnya, dan pada waktu pagi dan petang, laki-laki yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari)
mendirikan shalat, dan (dari) membayarzakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari
itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (An-Nur: 36-37)

Orang yang bekerja dituntut untuk dapat menunaikan pekerjaannya dengan amanah dan
cermat (itqan). Ihsan dalam bekeija itu termasuk kewajiban syar'i sebagaimana ihsan dalam
beribadah. Rasulullah Saw. bersabda,
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu ... (HR. Muslim)

Sesungguhnya Allah mencintai seseorang di antara kamu yang apabila bekerja ia lakukan
dengan itqan (baik). (HR. Baihaqi)

Masyarakat Islam juga diwajibkan untuk memberi upah yang sesuai kepada para pekerja,
tidak mengurangi haknya dan tidak menunda upahnya. Rasulullah Saw. bersabda,
Berikanlah upah itu kepada pekerjanya sebelum kering keringatnya. (HR. Ibnu Majah dan
Thabrani)

Di dalam hadits Qudsi dikatakan, "Tiga orang yang pada hari kiamat akan menjadi musuh-
Ku... di antaranya, seseorang yang mempekerjakan seorang buruh, kemudian buruh itu menunai-
kan kerjanya, tetapi ia tidak memberikan upahnya."

Haramnya Pendapatan dari Pekerjaan yang Kotor


Kaidah ini merupakan penghias sekaligus penyempurna terhadap kaidah sebelumnya. Karena
kerja yang dianjurkan oleh Islam dan diakui pengaruh positifnya adalah kerja yang baik (halal)
sesuai standar syariat.
Adapun kerja yang kotor maka Islam telah melarangnya. Kerja yang kotor adalah kerja yang
mengandung unsur kezaliman dan merampas hak orang lain tanpa prosedur yang benar. Seperti
ghashab, mencuri, penipuan, mengurangi takaran dan tim- bangan, menimbun di saat orang
membutuhkan dan sebagainya. Atau memperoleh sesuatu yang tidak diimbangi dengan kerja
atau pengorbanan yang setimpal, seperti riba, termasuk undian dan lain-lain. Atau harta yang
dihasilkan dari barang yang haram, seperti khamr, babi, patung, berhala, bejana yang
diharamkan, anjing yang terlarang dan yang lainnya. Atau harta yang diperoleh dari cara kerja
yang tidak dibenarkan menurut syariat, seperti upah para dukun dan tukang ramal, administrasi
riba, orang-orang yang bekerja di bar, diskotek, tempat-tempat permainan yang diharamkan dan
lain-lain. Rasulullah Saw. bersabda,
Setiap tubuh yang berkembang dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya. (HR.
Ahmad)

Islam tidak menghargai bagusnya niat dan mulianya tujuan, apabila cara kerjanya
diharamkan. Oleh karena itu, orang yang memperoleh harta riba untuk membangun masjid,
madrasah, panti yatim atau yang lainnya, selamanya tidak sah menurut Islam. Dalam hadits
shahih disebutkan,
Sesungguhnya Allah itu Thayyib (baik), tidak menerima (suatu amal) kecuali yang baik (halal).
(HR. Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan,


Sesungguhnya yang kotor itu tidak bisa menghapus yang kotor (juga). (HR. Ahmad)

Sesuatu yang haram tetaplah haram menurut pandangan Islam, meskipun ada seorang hakim
yang menghalalkannya menurut zahirnya dari bukti yang diperoleh. Allah Swt. befirman,
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan) berbuat
dosa, padahal kamu mengetahui. (Al Baqarah: 188)

Berkenaan dengan masalah tersebut Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam haditsnya,
Sesungguhnya kalian mengadu kepadaku, barangkali sebagian kalian lebih pandai dengan
hujjahnya daripada sebagian yang lainnya, sehingga aku memutuskan untuknya
sebagaimana yang aku dengar. Maka barangsiapa yang aku putuskan untuknya dari hak
saudaranya, maka itu menjadi sepotong dari api neraka. Maka tinggalkan atau ambillah.
(HR. Bukhari-Muslim)

Meskipun hakimnya adalah Rasulullah Saw., namun beliau memutuskan sesuai dengan sisi
lahirnya sesuatu. Dengan demikian maka Islam telah menjadikan nurani seorang Muslim dan
ketakwaannya sebagai penjaga atas kehidupannya dalam berekonomi.
Jika secara lahiriyah seorang qadhi telah memutuskan, maka sesungguhnya Allah selalu
melihat atas segala hakikat dan rahasia.
Lebih dari itu, Islam telah melarang pemanfaatan orang-orang kuat atas orang yang lemah,
seperti orang-orang yang memakan harta anak yatim, para suami memakan harta istri,
pemerintah makan harta rakyatnya dan para juragan yang memakan hak-hak buruhnya, atau
tuan tanah yang memakan keringat petani.
Di antara yang diperingatkan oleh Islam dengan keras adalah mengambil harta milik umum
tanpa prosedur yang benar. Setiap orang dari putra bangsa memiliki hak, maka apabila ia
mengambil secara tersembunyi atau merampas, berarti ia menzalimi semua pihak dan mereka
semua akan menjadi musuhnya di hari kiamat.
Dari sinilah datang ancaman yang keras bagi orang yang menyembunyikan ganimah. Allah
Swt. berfirman,
Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia
akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi
pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal. Sedang mereka
tidak dianiaya. (Ali 'Imran: 161)

Harta milik umum diharamkan bagi para pejabat, sebagaimana juga diharamkan bagi
karyawan bawah. Tidak ada yang boleh mengambil sepeser pun, tanpa prosedur yang benar.
Demikian juga tidak diperbolehkan memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri dengan
alasan bonus atau hadiah. Bagi setiap orang yang memiliki hati nurani dan memiliki akal yang
jernih niscaya mengetahui bahwa itu namanya risywah dalam bentuknya yang tersamar.
Ada seseorang yang ingin memberi hadiah kepada Umar bin Abdul Aziz, lalu dia menolaknya,
maka orang itu berkata kepadanya, "Mengapa engkau menolak? Rasulullah saja menerima
hadiah." Lantas dia menjawab, "Dulu hadiah bagi Rasulullah benar-benar hadiah, tetapi untuk
yang ini adalah suap!"
Rasulullah pernah marah kepada pegawainya yang bernama Ibnul Lutbiyah ketika dia bam
kembali dari tugasnya memungut zakat. Dengan membawa sejumlah harta, kemudian ia berkata,
"Ya, Rasulullah, ini untukmu dan ini untukku." Nabi Saw. mengingkarinya lantas bersabda,
Sebaiknya ia duduk-duduk di rumah ayah atau ibunya sambil menunggu, apakah ia memang
diberi hadiah atau tidak (HR. Muttafaqun 'Alaih).

Maksudnya, hadiah tersebut tidaklah datang kepadanya karena pribadinya, bukan pula
karena hubungan persahabatan, atau karena hubungan famili yang mendahului antara ia dengan
orang yang memberi hadiah. Tetapi hadiah itu datang karena jabatannya, maka tidak ada hak
baginya dalam hal ini.
Jadi, Islamlah yang pertama kali menerapkan kepada para pejabat dan pemerintah tentang
sebuah aturan, "Darimana kamu mendapatkan ini? Apakah dari hasil kerja, ataukah dari hasil
yang tidak diperbolehkan oleh syariat."
Dengan mengharamkan pekerjaan yang kotor, Islam hendak mewujudkan tujuan-tujuan
sosial ekonomi yang mulia, sebagai berikut.
1. Menjalin hubungan antarmanusia atas dasar keadilan, persaudaraan, memelihara
kehormatan dan memberikan setiap hak pada pemiliknya.
2. Risalah Islam datang untuk menghilangkan faktor paling utama yang dapat menyebabkan
semakin lebarnya jurang kesenjangan antara individu dan kelompok, karena hasil keuntungan
yang kotor. Seperti bentuk komisi yang besar, yang pada umumnya datang dari praktik
terlarang dalam usaha. Berbeda kalau kita terikat dengan cara-cara yang Islami, yang
diperoleh adalah keuntungan yang sederhana dari usaha yang logis.
3. Mendorong manusia untuk bekerja dan bersungguh-sungguh, di mana tidak
memperbolehkan memakan harta secara batil. Artinya, tanpa ada perimbangan kerja atau
keikutsertaan yang wajar, tentang untung dan ruginya, seperti judi, riba, dan yang lainnya,
meskipun jumlah keuntungannya secara ekonomi sangat melimpah.
Mengakui dan Melindungi Hak Kepemilikan Pribadi
Islam merupakan agama fitrah, maka tidak ada satu pun prinsip yang bertentangan dengan
fitrah atau merusak fitrah itu sendiri. Prinsip-prinsip Islam sesuai dengan fitrah, terkadang
meluruskannya dan meningkat bersamanya.
Di antara fitrah yang telah Allah ciptakan untuk manusia adalah mencintai hak milik,
sebagimana yang kita lihat. Sampai- sampai naluri kepemilikan ini ada pada anak-anak, tanpa ada
yang mengajari dan menuntun. Allah membekali manusia dengan insting seperti itu agar menjadi
pendorong yang kuat sehingga dapat memotivasi mereka untuk bergerak dengan baik. Yaitu
ketika ia mengetahui bahwa ada hasil dari setiap kerja dan kesungguhannya. Dengan begitu,
makmurlah kehidupan ini, pembangunan berkembang, dan produktivitas masyarakat bertambah
meningkat dan semakin baik.
Kepemilikan merupakan salah satu karakter kemerdekaan. Hamba sahaya tidak berhak
memiliki sesuatu, hanya orang merdekalah yang memiliki. Kepemilikan juga merupakan salah
satu karakter manusia, karena hewan tidak memiliki, manusialah yang merasa memiliki. Sekali
lagi, Islam mengakui adanya hak milik individu karena Islam adalah agama yang menghargai
fithrah, kemerdekaan dan kemanusiaan.
Demikian juga, bukan suatu keadilan jika Anda menahan pemberian upah kerja dan usaha
seseorang, kemudian upah itu malah Anda berikan kepada orang lain yang bermalas-malasan
dan pengangguran.
Keadilan dan kebaikan adalah, hendaknya Anda membuka kesempatan untuk semuanya agar
bisa bekerja dan memiliki. Apabila ternyata ada orang yang memiliki kelebihan dengan ke-
cerdasan, kesungguhan, itqan dan sabarnya maka ia berhak untuk memperoleh imbalan yang
sesuai. Allah Swt. berfirman,
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). (Ar-Rahman: 60)

Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar
Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada
dirugikan. (Al-Ahqaf: 19)

Dari sinilah Islam memperbolehkan pemilikan, meskipun itu dapat menyebabkan pemiliknya
menjadi sangat kaya dan melimpah ruah hartanya, selama ia tetap memelihara diri untuk
mencari harta dengan cara yang halal dan menginfaqkan harta itu kepada yang berhak, tidak
dipergunakan untuk yang haram dan tidak berlebihan di dalam yang mubah, tidak pelit dengan
yang haq, tidak menzhalimi seseorang, serta tidak makan hak orang lain. Sebagaimana
konsekuensi prinsip pemberian kewenangan kepemilikan (istikhlaf) dalam Islam, bukan
kepemilikan yang sesungguhnya.
Barangkali contoh yang paling jelas adalah Abdurrahman bin Auf r.a., salah seorang sahabat
dari generasi awal Islam, salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, dan salah
satu dari enam sahabat anggota syura (Rasulullah Saw.). Beliau keluar dari Makkah seperti
umumnya saudara-saudaranya kaum Muhajirin, tanpa membawa rumah dan harta, kemudian
Rasulullah mempersaudarakannya dengan Sa'ad bin Rabi'. Maka Sa'ad menawarkan agar
hartanya dibagi dua, separuh untuknya dan separuh untuk Abdurrahman. Bahkan Sa'ad juga
bersedia mencerai salah satu istrinya agar dinikahi Abdurrahman setelah masa iddah. Menerima
tawaran demikian, Abdurrahman berkata kepadanya, "Semoga Allah memberkahi kamu,
keluargamu dan hartamu. Mohon tunjukkan saja aku jalan ke pasar."
Akhirnya, pergilah Abdurrahman ke pasar untuk mencari karunia Allah. Sebuah pasar yang
dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Ia datang dan pergi, bekerja dengan bersungguh-sungguh dan
penuh semangat. Dia seorang ekonom ulung, sehingga hanya beberapa tahun saja telah menjadi
orang yang terkaya di antara kaum Muslimin. Beliau meninggal dunia dengan meninggalkan
kekayaan, salah satu di antaranya ada emas yang dipotong memakai kapak, sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dalam kitab Thabaqat bahwa salah satu istrinya memperoleh harta
waris sebesar 80.000 dinar.
Sesungguhnya Islam tidak melarang seseorang untuk kaya, selama kekayaan itu diperoleh
dengan cara yang halal, tanpa membahayakan orang lain dan ia mau menginfakkan sebagaimana
mestinya tanpa pelit dan tidak pula berlebihan.
Pada suatu hari Abdurrahman pernah menjual tanahnya seharga 40.000 dinar, kemudian ia
bagi harta itu kepada kerabatnya dari bani Zahrah, kepada fuqara' kaum Muslimin dan kepada
ummahatul mukminin.
Suatu ketika datang rombongan unta miliknya dari Syam ke Madinah dengan membawa 700
unta dengan perbekalan yang lengkap. Kemudian ia infakkkan semuanya di jalan Allah. Sebelum
wafat, ia mewasiatkan 50000 dinar untuk fi sabilillah dan untuk setiap orang dari ahli Badar
mendapat 400 dinar. Sebelum ini ia juga telah banyak berinfak dan berkurban, terutama zakat
wajib dan nafkah wajib. Inilah harta yang baik, yang berada di tangan orang yang saleh. Itulah
sebaik-baik harta dan pemegangnya adalah sebaik-baik manusia. Adapun riwayat yang
menerangkan bahwa beliau masuk surga dengan merangkak tidaklah benar.
Islam memperbolehkan setiap orang untuk memiliki harta, bahkan mengajak untuk memiliki
dan melindungi pemiliknya. Selain itu, semua harta milik dapat diwariskan kepada anak turun. Ini
semua untuk memberi semangat yang kuat kepada setiap orang agar bersungguh-sungguh dalam
melanjutkan usahanya, sehingga dapat merasakan nikmatnya kepemilikan dan tidak
menempatkan mereka menjadi budak-budak di bawah kekuasaan penjajah asing.
Pengakuan Islam terhadap hak milik pribadi dan perlindungan terhadapnya membawa
kebaikan untuk umat dan untuk perekonomian seluruhnya. Motivasi terhadap individu terbukti
mampu merealisasikan produktivitas yang cukup besar. Berbeda dengan hak milik bersama,
seperti yayasan atau lainnya, yang produktivitasnya kecil dan tidak menguntungkan, karena tidak
adanya motivasi dan kekuatan pengawasan yang timbul dari hak milik secara khusus.
Hanya saja Islam memberikan syarat untuk kepemilikan pribadi, yaitu dengan dua
persyaratan sebagai berikut.
1. Harus terbukti bahwa harta itu diperoleh dengan cara yang benar dan dengan sarana yang
diperbolehkan. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka Islam tidak mengakuinya, meskipun sudah
lama berada di tangan orang yang memegangnya. Inilah yang membedakan dengan undang-
undang yang dibuat oleh manusia yang mengakui kepemilikan secara haram, yaitu apabila
telah lama dikuasai pada masa tertentu, misalnya 15 tahun. Adapun menurut Islam, lamanya
menguasai tidak bisa menghalalkan yang haram, selama keharamannya masih tetap ada dan
diketahui.
2. Hendaknya kepemilikan pribadi itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan
masyarakat. Apabila ternyata bertentangan maka harus dicabut dari kepemilikannya secara
baik-baik atau secara paksa, tetapi tetap harus diganti secara adil. Karena kepentingan
bersama itu lebih didahulukan daripada kepentingan pribadi.
Pernah terjadi pada masa Umar r.a., beliau ingin mengadakan perluasan Masjidil Haram
karena jamaah bertambah banyak dan tempatnya tidak lagi memadai. Umar berkeinginan
membeli sebagian rumah yang ada kebunnya, tetapi pemiliknya menolak untuk menjualnya, dan
mereka tetap tidak mau. Maka Umar mengambilnya dari mereka secara paksa dan dimasukkan
ke bagian masjid, kemudian nilai uangnya diletakkan di tempat penitipan Kakbah sehingga
pemiliknya mengambil uang itu setelah beberapa waktu. Ini juga pernah terjadi pada masa
Utsman r.a.
Demikian juga apabila terdesak oleh keperluan atau kepentingan untuk menentukan lokasi
pembuatan rumah sakit, pabrik, bandara, sekolahan atau yang lainnya yang berkaitan dengan
kepentingan bersama, maka pemiliknya tidak boleh menolak menjualnya asal dengan harga yang
wajar. Apabila ia menolak maka penguasa berhak memaksanya untuk menerima, berdasarkan
keputusan pengadilan khusus yang menyelesaikan perkara antara negara dan rakyat ketika
terjadi perselisihan.

Larangan bagi Individu untuk Menguasai Barang yang Diperlukan Masyarakat


Perbedaan yang paling tampak di antara berbagai sistem perekonomian yang ada adalah
pandangannya terhadap hak milik pribadi. Sistem komunis menghilangkan kepemilikan pribadi
secara mutlak, kecuali sebagian barang-barang ringan, seperti perkakas rumah dan kendaraan.
Paham Sosialis, terutama setelah terjadinya revolusi, tidak memperbolehkan seseorang memiliki
sarana produksi, baik itu berupa tanah, pabrik, dan yang lainnya. Penguasa berusaha menarik
barang-barang itu dari tangan pemiliknya untuk dipindahkan kepemilikannya kepada negara.
Sebaliknya, sistem kapitalis mengakui kepemilikan dalam segala sesuatu dan hampir tidak
mengharuskan persyaratan-persyaratan untuk membatasi dari penyelewengan pemiliknya.
Akhirnya, Islam hadir di tengah-tengahnya secara adil antara sistem-sistem yang saling
berbeda. Islam memperbolehkan kepemilikan pribadi terhadap tanah dan barang-barang yang
bisa dipindahkan, seperti alat produksi dan yang lainnya. Tetapi Islam mengeluarkan dari lingkup
kepemilikan pribadi segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat untuk menjadi milik
masyarakat secara kolektif.
Dengan begitu, tidak ada monopoli bagi seseorang atau sekelompok orang yang membuatnya
berkuasa dan menyimpan barang-barang itu untuk diri mereka saja, sedangkan pada saat yang
sama tidak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memperolehnya kecuali dengan
harga yang bisa dipermainkan. Hal ini dapat membahayakan kehidupan bermasyarakat.
Contoh barang-barang primer yang diperlukan bersama adalah sebagaimana yang dijelaskan
oleh Rasulullah Saw. dalam haditsnya sebagai berikut,
Manusia memiliki tiga hal secara Bersama-sama, yaitu air, rumput, dan api. (HR. Ahmad, Abu
Dawud dan Ibnu Majah) Dalam riwayat lain ada tambahan: yaitu garam

Setiap manusia mempunyai hak untuk memanfaatkan barang-barang tersebut, tidak boleh
bagi seorang pun untuk menimbunnya, (di saat diperlukan).
Hadits tersebut mengkhususkan tiga atau empat perkara dengan ketentuan hukum seperti
itu, dikarenakan tiga perkataan itu sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat Arab saat itu.
Hal itu dapat dianalogikan dengan apa-apa yang mirip dengannya, yang itu diperlukan oleh
masyarakat.
Oleh karena itu, golongan Malikiyah berpendapat bahwa tambang yang dikeluarkan dari
perut bumi tidak boleh dimiliki individu untuk menguasainya, meskipun ditemukan di tanah milik
seseorang. Hal itu agar tidak menyebabkan masyarakat bergantung kepadanya dan menutup
kesempatan bagi orang lain, yang itu bisa berakibat munculnya berbagai kezaliman dan
pertengkaran yang mengguncangkan keutuhan masyarakat Islam.
Golongan Syafi'iyah juga berpendapat bahwa setiap sumber alam (tambang) yang tampak,
seperti minyak, aspal, belerang, bahkan batu yang bukan milik perorangan maka tidak seorang
pun berhak menahan kemudian tidak memberi kesempatan orang lain. Tidak pula seorang
penguasa menahan untuk dirinya dan tidak pula orang tertentu.
Demikian juga menurut golongan Hanabilah, bahwa setiap tambang yang tampak, yang
ditemukan oleh manusia dan dimanfaatkan tanpa ada kesulitan yang berat, ia tidak boleh
memiliki atau memberikannya kepada seseorang, karena bisa membahayakan kaum Muslimin
dan membuat kehidupan mereka sempit. Nabi Saw. pernah memberikan kepada Abyadh bin
Jamal sebuah tambang garam, maka ketika dikatakan kepada beliau bahwa itu sama dengan air,
kemudian Nabi Saw. mengambil kembali darinya.

Larangan untuk Melakukan Praktik yang Merugikan Orang Lain


Islam memperbolehkan kepada perorangan untuk memiliki harta yang halal sesuai dengan
kemauannya selama tidak menjadi kepentingan bersama dan tidak mengganggu kepentingan
umum. Islam juga meletakkan syarat-syarat atas hak milik, yang dapat menjamin kelestariannya
dalam kerangka kepentingan sosial dan untuk berkhidmad pada kebenaran dan kebaikan.
Di antara batasan itu adalah pemilik harta tidak boleh merugikan orang lain. Sebab, hak
kepemilikan terhadap suatu barang tidak serta-merta memberi kebebasan kepada pemiliknya
untuk menggunakan harta milik tersebut semaunya meskipun membahayakan orang lain.
Sebaliknya, ia terikat dengan suatu ketentuan, yaitu tidak boleh menggunakan haknya semena-
mena yang dapat merugikan orang lain atau kelompok lain atau masyarakat secara umum.
Bahaya itulah yang diharamkan, karena agama ini telah mewajibkan agar seorang Muslim
menjadi sumber kebajikan, bukan sumber malapetaka. Rasulullah Saw. bersabda, "Tidak ada
bahaya dan tidak ada yang (boleh) membahayakan "(HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Seorang Pemimpin Muslim berhak bahkan berkewajiban untuk mencegah si pemilik dari
segala tindakan egois yang menyebabkan terjadinya bahaya, baik yang bersifat khusus maupun
umum. Pemerintah pun bisa merampas hak milik itu secara paksa sebagai sanksi atas ulahnya,
ketika memang tidak ada cara lain lagi untuk mengatasinya selain dengan tindakan tersebut.
Prinsip ini oleh sebagian ahli hukum dikatakan sebagai hasil dari peradaban modern, padahal
Nabi Saw. telah menerapkannya sejak 14 abad yang lalu, demikian juga Khulafaurasyidin.
Samurah bin Jundub r.a. pernah memiliki pohon kurma yang letaknya menjorok ke pagar
kebun seorang Anshar, di mana Samurah dan keluarganya sering masuk ke dalamnya. Hal ini
dipandang mengganggu pemilik kebun. Akhirnya pemilik kebun mengadu kepada Rasulullah, dan
beliau pun bersabda kepada Samurah, "Juallah kepadanya pohon kurma itu," tetapi ia menolak,
maka Nabi bersabda, "Kalau begitu cabutlah untuk kau tanam di tempat lain." Samurah tetap
menolak, Nabi bersabda, "Berikan pohon itu kepadaku dan kamu akan dapat ganti seperti itu di
surga." Samurah tetap saja menolak. Tampaknya Samurah memahami bahwa perintah Rasul ini
hanya sebatas pengarahan atau bimbingan demi tercapai musalahah, bukan keharusan. Akhirnya
Nabi bersabda, "Engkau telah menjadi biang masalah," dan Nabi bersabda pula kepada orang
Anshar, "Pergilah dan cabutlah pohon kurma itu." (HR. Abu Dawud)
Rasulullah Saw. tidak peduli terhadap bahaya kecil yang menimpa Samurah. Sebaliknya,
beliau peduli dengan bahaya besar, yaitu perasaan terganggu yang ada pada pemilik kebun.
Sebenarnya Samurah bisa leluasa menjual pohon kurmanya kepada pemilik kebun dan
memperoleh ganti rugi secara adil. Selain itu dia juga bisa mencabutnya untuk di tanam ke
tempat lain sehingga tidak mengganggu seseorang. Tetapi ia tetap bersikeras dan menolak untuk
berdamai dengan pemilik kebun secara baik-baik. Inilah yang membuat Rasulullah tidak segan-
segan menjatuhkan keputusan mencabut pohon kurma tersebut, tidak peduli pemiliknya rela
atau tidak.
Pernah juga terjadi pada masa Umar r.a. bahwa Dhahhak bin Khalifah memiliki tanah yang
tidak mendapat pengairan kecuali apabila melewati tanah Muhammad bin Maslamah. Dhahhak
ingin membuat saluran yang bisa menyampaikan air ke tanahnya, tetapi Muhammad bin
Maslamah menolak. Maka Dhahhak melaporkan hai tersebut kepada Umar, lalu Umar
memanggil Muhammad bin Maslamah untuk mendamaikan, tetapi ia tetap tidak memberi
kesempatan kepada Dhahhak, sehingga Umar berkata kepadanya, "Mengapa engkau melarang
saudaramu dari sesuatu yang bermanfaat baginya, sementara engkau sendiri bisa mendapatkan
keuntungan darinya. Engkau dapat menyirami tanaman dengannya secara bergantian dan itu
tidak merugikanmu." Muhammad bin Maslamah menjawab, "Tidak, demi Allah." Umar berkata
kepadanya, "Demi Allah, ia pasti mengalir meskipun harus melangkahi perutmu." (HR Malik dan
Baihaqi)
Berdasarkan ini maka seorang pemilik tidak boleh bersikap keras dengan tetangganya dan
teman sekerjanya atau dengan orang-orang yang mempunyai keterkaitan dengan hak miliknya
dengan dalih ia bebas melakukan sesuatu terhadap apa yang menjadi miliknya sendiri. Karena
kebebasan di sini dibatasi oleh prinsip la dharara wala dhirara (Tidak ada bahaya dan tidak boleh
ada yang membahayakan).
Di antara yang termasuk membahayakan adalah jika kita melarang orang lain untuk
melakukan sesuatu yang diperlukannya, sehingga ia tidak mendapatkannya disebabkan larangan
itu. Rasulullah Saw. melarang berbuat demikian dengan sabdanya,
Janganlah seorang tetangga melarang tetangganya yang lain untuk memasang kayu di
temboknya. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Pengembangan Harta dengan Usaha yang Tidak Mencoreng Akhlak dan Merugikan
Kepentingan Umum
Islam mengajak kepada para pemilik harta untuk mengembangkan harta mereka dan
menginvestasikannya. Sebaliknya, Islam melarang mereka untuk membekukan dan tidak
memfungsikannya. Oleh karena itu, pemilik tanah tidak boleh menelantarkan tanah
pertaniannya, di saat masyarakat memerlukan hasil bumi berupa tanaman-tanaman dan buah-
buahan. Hal ini juga berlaku bagi pemilik pabrik, yang produknya diperlukan banyak orang.
Tindakan seperti ini bertentangan dengan prinsip istikhlaf, yakni pemberian wewenang
kepemimpinan dari Allah.
Pemilik uang pun dilarang menimbun dan menahannya dari peredaran, sedangkan umat
dalam keadaan membutuhkan uang itu untuk membiayai proyek-proyek yang bermanfaat dan
dapat membawa dampak positif, seperti terbukanya lapangan kerja bagi para pengangguran dan
tergairahkannya aktivitas perekonomian. Tidak heran jika Al-Quran memberi peringatan kepada
orang-orang yang menyimpan harta dan yang bersikap egois dengan ancaman yang berat. Allah
Swt. berfirman:
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah,
maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya
dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, "Inilah harta
bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari)
apa yang kamu simpan itu." (At-Taubah: 34-35)

Akan tetapi, Islam memberikan batasan kepemilikan harta dalam pengembangan dan
investasinya dengan cara-cara yang benar dan tidak bertentangan dengan akhlak, nilai-nilai
kemuliaan, dan kemaslahatan sosial, karena Islam tidak memisahkan antara ekonomi dan akhlak.
Menurut Islam, pihak pemodal itu tidak boleh bebas tanpa batas, sebagaimana dalam paham
materialises. Selain itu, juga tidak boleh seperti yang pernah diyakini oleh kaum Syuaib dahulu,
bahwa mereka bebas mempergunakan harta mereka sesuai dengan keinginannya. Al-Quran
mengungkapkan hal ini sebagai berikut,
Hai Syuaib, apakah agamamu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah
oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuatapa yang kami kehendaki tentang
harta kami... (Hud: 87)

Karena itulah Islam mengharamkan cara-cara berikut ini dalam mengembangkan harta.

Riba
Dalam sistem riba, seseorang berusaha memenuhi kebutuhan orang yang ingin meminjam
harta. Tetapi di saat yang sama, ia mengharuskan peminjam itu untuk memberi tambahan yang
nanti akan diambilnya secara cuma-cuma. Sistem ini membuat yang kaya semakin kaya dan yang
miskin semakin miskin. Pelaku riba bagaikan segumpal darah yang menyerap darah orang-orang
yang bekerja keras, sedangkan ia tidak bekerja apa-apa, tetapi tetap memperoleh keuntungan
yang melimpah ruah. Dengan demikian, semakin lebar jurang pemisah di bidang sosial ekonomi
antara kelompok-kelompok yang ada, dan api permusuhan pun semakin berkobar.
Oleh karena itu, Islam sangat keras dalam mengharamkan riba dan memasukkannya di antara
dosa besar yang merusak, serta mengancam orang yang berbuat demikian dengan ancaman yang
sangat berat. Allah Swt. berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) apabila kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Al-Baqarah: 278-279)

Rasulullah Saw. melaknati orang yang memakan riba, yang diberi makan, sekretarisnya, dan
kedua saksinya.
Menimbun di Saat Orang Membutuhkan (Ihtikar)
Di dalam hadits shahih disebutkan,
Tidak ada yang menimbun (barang ketika dibutuhkan) kecuali orang yang berdosa. (HR.
Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Barangsiapa yang menimbun makanan selamaempat puluh hari, maka ia telah terlepas dari
Allah dan Allah pun terlepas daripadanya. (HR. Ahmad)

Ancaman itu datang karena orang yang menyimpan itu ingin membangun kesenangan dirinya
di atas penderitaan orang lain, dan dia tidak peduli apakah manusia kelaparan atau telanjang,
yang penting dia mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Semakin masyarakat
memerlukan barang itu semakin dia menyembunyikannya, dan semakin senang dengan naiknya
harga barang tersebut. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda,
Seburuk-buruk hamba (Allah) adalah yang menimbun, apabila mendengar harga barang
menurun ia merasa susah, dan apabila ia mendengar harga barang naik ia merasa gembira."
(Disebutkan oleh Razin di dalam jami'nya)

Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai batas menyimpan barang yang diharamkan,
apakah hanya makanan pokok atau segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat. Pendapat
yang benar adalah pendapat yang dikatakan oleh Imam Abu Yusuf, "Yaitu segala sesuatu yang
berbahaya bagi manusia apabila disimpan maka itu ihtikar.

Penipuan dan Berbuat Curang


Perilaku curang di sini meliputi segala macam bentuknya. Rasulullah Saw. bersabda:
Barangsiapa menipu (melakukan kecurangan) maka bukan termasuk umatku. (HR. Muslim)

Dua orang yang melakukan jual beli itu boleh memilih selama belum berpisah, jika keduanya
jujur dan saling menjelaskan maka keduanya mendapat berkah dalam jual belinya, tetapi jika
kedua-duanya saling mengumpat dan berdusta maka berkah jual belinya akan hilang. (HR.
Muttafaqun'Alaih)

Di antara contoh penipuan adalah mengurangi takaran dan timbangan, sebagaimana


difirmankan Allah Swt.,
Celakalah bagi orang-orang yangcurang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima
takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. (Al-Muthaffifin: 1-3)

Al-Quran telah menceritakan kisah Syu'aib beberapa kali, beliau mengajak kaumnya dengan
ikhlas dan secara terus-menerus:
Penuhilah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; dan
timbanglah dengan timbangan yang lurus (benar). (Asy-Syu'ara: 181-182)

Berdagang Barang Haram


Jenis-jenis barang haram, misalnya khamr, minuman keras lainnya, narkoba, daging babi,
perkakas yang diharamkan, seperti bejana dari emas dan perak, berhala dan patung-patung,
serta bahan makanan yang membahayakan. Apabila Allah mengharamkan sesuatu maka Allah
juga mengharamkan nilai dan harganya.

Segala Sesuatu yang Bertentangan dengan Akhlak


Segala sesuatu yang bertentangan dengan akhlak mulia, menjauhkan manusia dari agama
yang benar, dan membahayakan kepentingan masyarakat, maka itu termasuk mungkar yang
diperangi oleh Islam dan ditolak oleh sistem ekonomi Islam.

Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Umat


Ini merupakan kaidah penting dalam ekonomi Islam. Artinya umat Islam harus memiliki
berbagai pengalaman, kemampuan, sarana dan peralatan yang menjadikannya mampu untuk
berproduksi guna memenuhi kebutuhannya, baik secara materi maupun non materi. Juga untuk
memenuhi kekurangan mereka di bidang sipil maupun militer dengan melakukan sesuatu yang
menurut fuqaha disebut furudhul kifayah, yang meliputi segala ilmu pengetahuan, profesi,
kerajinan atau keterampilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik terhadap
agama maupun dunianya. Untuk itu, umat Islam harus mem- pelajari, memperdalam, dan
mengajarkannya, sekaligus mengambil spesialisasi di berbagai cabang ilmu tertentu agar umat
Islam tidak lagi bergantung kepada yang lain.
Tanpa kemandirian, umat tidak akan memiliki 'izzah (harga diri), sebagaimana Allah telah
menetapkan 'izzah itu untuk mereka dalam kitab-Nya,
Izzah (kekuatan) itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin ...
(Al-Munafiqun: 8)

Tanpa mencukupi diri mereka maka tidak akan pernah terwujud kemandirian dan
kepemimpinan yang hakiki, sebagaimana disebutkan hal itu dalam Al-Quran,
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 141)

Tanpa memiliki kemandirian ekonomi, umat Islam tidak akan bisa menjalankan fungsi
ustadziyatul alam dan menjadi saksi kebenaran atas umat yang lain. Sebagaimana firman Allah
Swt.,
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan,
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu.... (Al-Baqarah: 143)

Oleh karenanya, tidak ada izzah bagi umat yang senjatanya buatan umat lain, di mana mereka
berwenang penuh untuk menjual atau tidak menjual kepada kita, kapan saja, dengan
persyaratan-persyaratan yang sepenuhnya mereka tetapkan.
Tidak akan pernah ada kepemimpinan yang sebenarnya bagi sebuah umat yang selalu
tergantung pada keahlian umat lain yang asing baginya dalam masalah-masalah yang khusus,
vital dan yang sangat rahasia.
Tidak ada kemandirian bagi umat yang tidak memiliki kekuatan pertanian di atas lahannya
sendiri dan tidak memiliki obat untuk pasiennya serta tidak mampu bangkit dengan industri
berat, kecuali dengan mengimpor peralatan dan tenaga ahli dari umat lainnya.
Alhasil, tidak ada istilah ustadziyatul alam bagi umat yang tidak mampu menyampaikan
dakwahnya melalui kata-kata yang bisa dibaca, didengar atau dilihat kecuali harus dengan cara
membeli semua itu dari orang lain yang memiliki kemampuan tentang hal itu, karena dia sendiri
belum bisa membuat percetakan, stasiun televisi dan pemancar radio atau jaringan satelit.

Menuju Pemenuhan Kebutuhan dan Kemandirian Umat


Ada beberapa hai yang harus dipenuhi agar umat dapat memenuhi kebutuhannya dan bisa
mandiri, antara lain sebagai berikut:

Membuat Perencanaan
Kita harus membuat planing berdasarkan data statistik yang rinci, angka yang konkret,
pengetahuan yang sempurna terhadap realitas di lapangan, dan memahami prioritas setiap
program serta sejauh mana kepentingannya. Kita juga harus mengenal kemampuan diri,
berupaya untuk meningkatkan kemampuan, dan menyiapkan sarana untuk memenuhi semua
kebutuhan.
Al-Quran telah menyebutkan kepada kita sebuah contoh dari takhtith (perencanaan) yang
memakan waktu selama 15 tahun yang dilakukan oleh Nabi Yusuf a.s. meliputi peningkatan
produktivitas, deposito, pengambilan dan pendistribusian bahan makanan dalam menghadapi
krisis kelaparan dan tahun-tahun kekeringan yang terjadi di Mesir dan sekitarnya. Sebagaimana
diceritakan oleh Al-Quran di dalam Surat Yusuf.

Mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang Berkualitas dan Menempatkannya Secara Tepat
Umat Islam berkewajiban untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan dan pelatihan serta
untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas di segala bidang kehidupan.
Selanjutnya, menempatkan personal pada job yang tepat dan sesuai keahlian masing-masing,
sehingga bisa mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal. Allah Swt. berfirman,
Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama (tafaqquh fiddin) dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya. (At-Taubah: 122)

Selain itu, kita diharapkan bisa memenuhi sisi-sisi yang sering dilupakan dengan mengadakan
terobosan-terobosan baru dan evaluasi secara berkala. Hendaknya kita meletakkan seseorang
pada posisi yang sesuai dengan keahliannya dan berupaya menghindari penyerahan amanah
yang bukan kepada ahlinya. Rasulullah Saw. bersabda,
Apabila sesuatu urusan itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya. (HR. Bukhari)

Islam sangat memperhatikan kekayaan sumber daya manusia, memelihara, dan berusaha
meningkatkan kualitasnya, baik di bidang fisik, pemikiran, moral, maupun intelektual.
Menempatkan secara seimbang antara kepentingan agama dan dunia tanpa berlebihan dan
mengurangi takaran.

Mendayagunakan Aset yang Ada Secara Optimal


Mempergunakan dan memfungsikan aset ekonomi serta kekayaan materi dengan baik perlu
dilakukan, agar tidak membiarkan sesuatu tanpa guna. Aset adalah amanah yang harus dijaga
dan nikmat yang wajib disyukuri dengan mempergunakannya secara tepat dan maksimal.
Karena itulah Al-Quran mengingatkan kita terhadap apa saja yang ditundukkan oleh Allah
untuk kepentingan kita, baik yang ada di langit, di bumi, di daratan, maupun di lautan.
Al-Quran juga bersikap keras terhadap orang-orang yang tidak memfungsikan kekayaannya
(ternak maupun pertaniannya), karena mengikuti keinginan orang-orang yang tidak berdasarkan
wahyu Allah. Mereka mengharamkan apa yang direzekikan oleh Allah dengan membuat-buat
kedustaan terhadap Allah. Tetapi hal itu di bantah dengan tegas oleh Al-Quran,
Dan mereka mengatakan, "Inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang tidak boleh
memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki" menurut anggapan mereka, dan ada
binatang ternak yangdiharamkan menungganginya dan binatang ternak yang mereka tidak
menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan
terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap apa yang selalu mereka ada-
adakan. Dan mereka mengatakan, "Apa yang ada di dalam perut binatang ternak ini adalah
khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami" dan jika yang dalam perut itu
dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan
membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi
Maha Mengetahui. Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena
kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah rezekikan
kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya
mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. (Al-An'am: 138-140)

Rasulullah Saw. mengingatkan akan kewajiban memanfaatkan segala sesuatu yang bisa
difungsikan dan tidak membiarkan atau menelantarkannya, meskipun kebanyakan manusia
melecehkannya.
Suatu ketika Rasulullah berjalan melewati bangkai kambing, kemudian beliau bertanya
tentang bangkai kambing itu. Mereka berkata, Sesungguhnya ia adalah kambing milik pembantu
Maimunah (Ummul Mukminin), maka Nabi bersabda, "Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya
(untuk kemudian disamak) sehingga kamu dapat memanfaatkannya, sesungguhnya yang
diharamkan adalah memakannya." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Bahkan Rasulullah telah memperingatkan sikap meremehkan, sampai-sampai terhadap
suapan yang jatuh dari orang yang memakannya. Maka sebaiknya orang tersebut membersihkan
suapan itu, kemudian memakannya dan tidak dibiarkan untuk setan. Sebagaimana juga
sebaiknya membersihkan makanan yang tersedia di nampan atau yang menempel di tangan, dan
tidak membuang sisa di tempat sampah. Di antara yang patut diperingatkan di sini adalah
pengarahan Nabi Saw. tentang masalah pertanian atau bercocok tanam bagi seseorang yang
mampu untuk menanami sendiri atau dipinjamkan kepada orang Muslim lainnya yang bisa
menanaminya. Rasulullah Saw. bersabda,
Barangsiapa memiliki tanah maka hendaklah menanaminya, atau memberikannya kepada
saudaranya. (Muttafaqun 'Alaih)

Apabila tanah itu bisa ditanami dengan perhitungan yang berlaku pada umumnya maka itu
termasuk sesuatu yang baik, karena termasuk bentuk kerja sama antara pemilik tanah dengan
petani yang menanami, mirip dengan mudharabah yang dijalankan oleh pemilik modal dengan
pekerja.
Nabi Saw. pernah bekerjasama dengan kaum Yahudi untuk menanami tanah Khaibar dengan
sistem paroan (bagi hasil) dari hasil tanah.
Umar bin Abdul Aziz berkata, "Fungsikanlah tanah itu untuk ditanami dengan memperoleh
separuh, sepertiga, seperempat hingga sepersepuluhnya, dan janganlah kamu biarkan tanah itu
rusak."
Rasulullah Saw. juga pernah bersikap keras terhadap orang yang membunuh burung pipit
karena main-main. Beliau memberi tahu bahwa burung itu kelak akan mengadu kepada Allah,
yang akan membunuhnya pada hari kiamat sambil mengatakan, "Hai Tuhanku, dia telah
membunuhku karena main-main, bukan karena manfaat" (HR. Ahmad dan Nasa'i).
Semua binatang yang diperoleh dengan berburu atau lainnya, baik binatang daratan atau
lautan, dianggap sama dengan burung itu. Mereka tidak boleh dibunuh secara bermain-main,
tanpa ada kemanfaatan bagi kaum Muslimin.
Nabi Saw. juga mengingkari perbuatan yang menggunakan sesuatu dengan tidak semestinya
atau berlawanan dengan fitrah dan kebiasaan. Di dalam hadits sahih diceritakan bahwa ada
seorang laki-laki yang menunggangi sapi, maka sapi itu berbi- cara, "Aku diciptakan bukan untuk
diperlakukan seperti ini, tetapi aku diciptakan untuk bercocok tanam." Entah sapi itu berbicara
dengan lisanul hal atau lisanul maqalnya. Kalau berbicara dalam arti yang sebenarnya, maka itu
termasuk khawariq di mana bagi Allah yang demikian itu sangatlah mudah. Yang penting bagi
kita bahwa hadits di atas mengajak kita untuk menggunakan sesuatu sebagaimana mestinya.
Ada baiknya di sini kita singgung firman Allah Swt. mengenai wasiat harta anak yatim,
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik
(bermanfaat) hingga ia dewasa... (Al lsra': 34)

Hal ini berulang kali disebutkan dalam Al-Quran, dengan redaksi yang sama. Al-Quran tidak
cukup menuntut kita untuk mendekati harta anak yatim dengan cara yang baik saja, tetapi juga
dengan cara yang lebih baik. Sehingga jika di sana ada dua cara untuk mengembangkan harta
anak yatim dan memeliharanya, salah satunya cara itu baik dan cara yang lain lebih baik, maka
yang diwajibkan untuk kita dahulukan adalah menggunakan yang lebih baik. Bahkan haram bagi
kita untuk tidak menggunakan cara kecuali yang lebih baik, sebagaimana dalam memahami
redaksi terhadap larangan dan uslub qashr.
Harta umat ini mirip dengan harta anak yatim, dan pemerintah yang bertugas untuk
memeliharanya, serta lembaga-lemba- ganya itu seperti wali anak yatim. Sebagaimana Umar
pernah mengumpamakan dirinya terhadap Baitul Mai itu seperti wali anak yatim, apabila dalam
keadaan berkecukupuan ia memelihara dirinya, dan jika ia dalam keadaan miskin ia memakannya
dengan baik. Untuk itu, kita wajib memelihara dan mengembangkan harta itu dengan sebaik-
baiknya.

Konsolidasi Antarcabang Produksi


Hal yang terpenting di sini adalah agar umat bisa mencukupi kebutuhan mereka secara
mandiri. Oleh karena itu, hendaklah ia melakukan konsolidasi antarberbagai bidang produksi
yang beraneka ragam, sehingga tidak terjadi saling tumpang tindih antara yang satu dengan yang
lainnya. Tidak baik jika perhatian itu ditujukan pada masalah pertanian saja umpamanya, di saat
yang sama masalah industri diabaikan, atau sebaliknya. Atau pendidikan yang hanya
mengeluarkan para dokter sementara Insinyur dilupakan. Atau hanya memperhatikan teknik sipil
dan teknik mesin, sementara melupakan tehnik elektro dan atom. Atau hanya memperhatikan
sisi konseptual dan pemikiran yang melangit, sementara aspek amaliah terbengkelai.
Oleh karena itu, kami menegaskan kembali pentingnya membuat takhtith (perencanaan)
berdasarkan studi lapangan dan data statistik, untuk mengetahui kebutuhan masyarakat dari se-
tiap spesialisasi di bidang kerja yang kemudian kita bisa memenuhinya, dan melihat kembali sisi-
sisi kekurangan agar kita bisa memperbaikinya.
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Apabila kamu telah melakukan jual beli dengan sistem Inah (menjual barang dengan dua
harga) dan kamu rela (senang) dengan bertani, dan kamu mengikuti ekor sapi, tetapi kamu
meninggalkan jihad fi sabilillah, maka Allah akan memberikan kerendahan (kehinaan) atas
kamu yangsulit untuk dihilangkan hingga kamu mau kembali pada agamamu. (HR. Ahmad,
Abu Dawud dan Thabrani)

Hadits ini menunjukkan bahwa merasa cukup dengan pertanian saja dan keasyikan dengan
kehidupan bertani yang digambarkan dengan mengikuti ekor sapi sementara ia meninggalkan
berjihad fi sabilillah dan apa yang menjadi konsekuensinya, yaitu mempersiapkan kekuatan itu,
dapat menyebabkan umat ini dalam bahaya besar, yaitu kehinaan dan keterjajahan. Ini
membuktikan betapa pentingnya industri yang harus ada pada umat. Karena sesuatu yang
menunjang (menjadi prasyarat) terlaksananya suatu kewajiban, itu keberadaannya menjadi
wajib.
Cukuplah bagi orang-orang yang beriman, bahwa Allah telah menurunkan satu surat di dalam
Al-Quran yang diberi nama dengan surat Al Hadid yang artinya besi. Hal itu untuk mengingatkan
akan pentingnya tambang ini. Allah Swt. berfirman,
Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat
bagi manusia ... (Al-Hadid: 25)

Firman Allah Swt., padanya terdapat kekuatan yang hebat mengisyaratkan pentingnya
peralatan perang, sedangkan firman Allah, dan berbagai manfaat bagi manusia mengisyaratkan pen-
tingnya pembuatan peralatan sipil. Dengan demikian maka sempurnalah kekuatan umat dalam
suasana aman maupun perang. Sayangnya, umat yang diturunkan kepadanya surah Al- Hadid
tidak pintar memanfaatkan besi, baik di bidang militer maupun sipil.
Dalam memacu produktivitas kita harus mendahulukan yang lebih penting daripada yang
sekadar penting, dan mendahulukan yang penting daripada yang tidak penting. Atau menurut
istilah ulama ushul disebut mendahulukan dharuriyat (primer) —karena kehidupan tidak akan
tegak kecuali dengannya—daripada hajiyat (sekunder)—karena kehidupan akan sulit tanpa
adanya hal itu. Serta mendahulukan hajiyaat atas tahsiniyat (pelengkap).
Untuk itu, masyarakat tidak diperbolehkan menanam buah-buahan yang mahal saja, yang
hanya terjangkau oleh orang-orang kaya dan berduit, sementara tidak mau menanam gandum,
jagung dan padi yang itu merupakan makanan pokok sehari-hari, bagi masyarakat pada
umumnya.
Masyarakat juga tidak boleh hanya memperhatikan produksi minyak wangi dan alat-alat
kecantikan (kosmetik) lainnya, sementara tidak mau memproduksi alat-alat pertanian,
pengairan, transportasi, dan persenjataan yang penting guna memperkuat pertahanan.
Memproduksi sesuatu yang membahayakan individu dan masyarakat, baik secara materi
maupun moral, jasmani maupun ruhani, maka itu tertolak dan dilarang secara syar'i. Misalnya,
menanam tanaman tertentu untuk dibuat minuman keras, menanam ganja untuk bahan
narkotika, atau menanam tembakau dan lain-lain, yang itu merupakan penggunaan nikmat-
nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya dan membahayakan makhluk-Nya.

Memberdayakan Kekayaan Harta (Emas dan Perak)


Di antara kewajiban masyarakat Islam adalah mengeluarkan harta yang di tangannya untuk
diputar dan diinvestasikan, karena uang dan harta itu ada bukan untuk ditahan dan ditimbun.
Akan tetapi uang itu dibuat untuk dipergunakan dan berpindah dari tangan ke tangan, sebagai
harga untuk jual beli, upah untuk bekerja, mata uang yang bisa dimanfaatkan atau modal yang
berputar (syirkah), atau mudharabah. Ia merupakan sarana untuk berbagai keperluan. Sekali lagi,
semata-mata sarana, dan tidak boleh berubah menjadi tujuan, apalagi menjadi berhala yang
disembah, karena kalau demikian adanya, maka akan menjadi penyebab kenistaan dan
kecelakaan. "Merugilah hamba dinar, merugilah hamba dirham,” demikian sabda Rasulullah
Saw.
Imam Ghazali di dalam kitabnya Ihya' Ulumiddin berbicara tentang fungsi uang dalam
kehidupan berekonomi dengan pembahasan yang lebih rinci dan detail dibandingkan para pakar
ekonomi sekarang ini. Beliau mengungkapkan bahwa sesungguhnya Allah Swt. menciptakan
dirham dan dinar (uang) itu untuk diberdayakan oleh tangan manusia dan agar keduanya menjadi
hakim dan alat ukur yang menakar harta benda secara adil. Ada fungsi lainnya, yaitu menjadi
sarana untuk memperoleh segala sesuatu. Pada dasarnya, keduanya sama-sama berharga dan
yang dinilai adalah fungsi gunanya. Barangsiapa yang memilikinya, seakan memiliki segalanya.
Tidak seperti orang yang memiliki baju, maka ia tidak memiliki kecuali baju itu. Untuk itu, setiap
orang yang bekerja demi memperoleh uang tetapi caranya tidak sesuai hukum, bahkan
bertentangan dengan hukum, maka ia telah kufur terhadap nikmat Allah yang berupa emas dan
perak.
Barangsiapa menyimpan emas dan perak maka ia menzalimi keduanya dan menghilangkan
hikmah di dalamnya, seperti orang yang menyandera penguasa kaum Muslimin di dalam tahanan
sehingga mencegah dia dari melaksanakan hukum. Allah menyampaikan berita kepada orang-
orang yang tidak dapat membaca teks ilahi yang tertulis pada papan kehidupan dengan kata-kata
yang bisa didengar, sehingga sampailah kepada mereka makna hakikat dengan huruf-huruf dan
suara-suara pembacanya. Allah Swt. berfirman, Dan orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (At Taubah: 34)
Allah Swt. telah mewajibkan zakat atas emas dan perak dalam setiap tahun, baik
dikembangkan oleh pemiliknya atau tidak. Agar dengan ini dapat menjadi motivasi yang kuat bagi
pemiliknya untuk mengembangkan dan menginvestasikannya, sehingga tidak "habis dimakan"
oleh zakat pada setiap tahunnya.
Inilah yang diperintahkan oleh hadits Rasulullah kepada para pemelihara anak yatim terhadap
harta mereka dengan perintah yang jelas, yaitu agar mereka mengembangkan harta tersebut
sehingga mendatangkan kemanfaatan dan tidak "dimakan" oleh zakat.

Sederhana dalam Berinfak


Islam memberi tuntunan untuk mengatur pengeluaran harta dan mendorong untuk
sederhana dalam berinfak. Inilah sifat yang dimiliki oleh ibadurrahman. Allah Swt. berfirman,
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Al-
Furqan: 64)

Tersirat juga dalam wasiat Luqman Al-Hakim kepada putranya,


Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada tengkukmu (kikir), dan jangan
pula engkau bentangkan selebar-lebarnya (boros). kaena engkau akan tercela lagi menyesal.
(Al Isra': 29)

Sikap sederhana itu semakin ditekankan ketika pemasukan seseorang itu sangat minim,
misalnya pada masa-masa paceklik dan kelaparan, sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman
Nabi Yusuf a.s. Waktu itu beliau memberlakukan kebijakan dengan cara menekan atau
mengurangi pengeluaran pada tujuh tahun musim subur sehingga bisa disimpan dan
dimanfaatkan ketika musim kering. Allah Swt. berfirman,
Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya (tangkainya) kecuali sedikit
untuk kamu makan. (Yusuf: 47)

Kemudian memperkecil pengeluaran sekali lagi pada tujuh tahun kekeringan dengan
keputusan darurat dan pendistribusian simpanan pada tahun-tahun krisis secara merata.
Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa
yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum)
yang kamu simpan. (Yusuf: 48)

Ungkapan Apa yang kamu simpan untuk menghadapinya itu membuktikan bahwa apa yang
dikeluarkan itu sesuai dengan perhitungan dan perencanaan. Ini menunjukkan kesederhanaan.
Amirul Mukminin Umar r.a. pada tahun-tahun kesulitan benar-benar berkeinginan agar pada
setiap rumah yang ada pada mereka sisa-sisa kemakmuran untuk menyalurkan sebagian darinya
kepada orang yang susah kondisinya dan minim pemasukan. Beliau berkata, "Sesungguhnya
manusia tidak akan punah dengan separuh perut mereka." Inilah yang dimaksud oleh hadits
Rasulullah Saw., "Makanan satu orang mencukupi dua orang, dan makanan dua orang mencukupi
empat orang." (HR. Muslim)
Sesungguhnya kaidah Istikhlaf yang telah kami sebutkan sebelum ini menjadikan seorang
Muslim terikat di dalam pengeluaran harta dan infaknya, sebagaimana dia juga harus membatasi
diri dalam menginvestasikan dan mengembangkan harta tersebut.
Islam tidak melarang seorang Muslim berupaya meraih kelayakan hidup, sebagaimana itu
dilarang oleh sebagian agama dan filsafat, seperti kaum Brahma di India, Manawiyah di Persia,
Rawaqiyah Yunani, dan kependetaan dalam agama Nasrani. Islam melarang kita untuk "tidak mau
menikmati" atau "berlebihan dalam menikmati" itu semua. Allah Swt. berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-Ma'idah: 87)

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan
orang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Al-lsra': 26-27)

Perbedaan antara tabdzir (pemborosan) dan israf (berlebihan) adalah, kalau israf itu melebihi
batas dalam hai yang halal, tetapi tabdzir adalah membelanjakan harta untuk sesuatu yang
diharamkan, meski hanya satu dirham atau kurang dari itu. Dari sinilah kita wajib menjaga dan
memperhatikan prinsip-prinsip dasar dalam berinfak, antara lain sebagai berikut.

Membelanjakan Harta untuk Diri dan Keluarga


Pemilik harta tidak boleh menahan tangannya dari berinfak, baik untuk diri maupun
keluarganya, karena pelit dan bakhil, takut melarat, atau berpura-pura zuhud. Islam melarang,
memperingatkan, dan menganggap sifat pelit sebagai penyebab meratanya kerusakan.
Rasulullah Saw. bersabda,
Jauhilah pelit, sesungguhnya umat sebelum kamu itu rusak disebabkan sikap pelit. Pelit itu
telah menyuruh mereka memutuskan hubungan maka mereka memutuskan, memerintahkan
mereka untuk kikir, maka mereka kikir, dan menyuruh mereka untuk berbuat fujur
(penyelewengan), maka mereka pun menyeleweng. (HR. Abu Dawud, dan Hakim)

Islam juga melarang kita untuk bersikap seperti pendeta yang mengharamkan kenikmatan
halal, seperti pakaian yang indah dan sebagainya. Padahal Allah menamakan pakaian yang indah
sebagai perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya (Al-A'raf: 32), sebagaimana
Dia memberi nama makanan dan minuman dengan istilah, yang baik-baik dari rezeki (Al-A'raf: 32).
Semua ini adalah penamaan yang bernilai memuji dan meridhai, bahkan Islam mengingkari ter-
hadap orang yang mengharamkan hal-hal tersebut atas dirinya maupun orang lain. Allah Swt.
berfirman,
Katakanlah, "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya
untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulalah yang mengharamkan) rezeki yang baik? (Al-
A'raf: 32)

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan. (Al-A'raf: 31)

Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah senang melihat bekas kenikmatan-Nya pada
hamba-Nya." (HR. Tirmidzi)
Nabi Saw. pernah ditanya oleh sahabatnya ihwal dirinya senang dengan keindahan, sehingga
bajunya bagus dan sandalnya juga bagus, "Apakah ini termasuk sombong?" maka Nabi
menjawab, "Tidak, sesungguhnya Allah itu Mahaindah dan mencintai keindahan. Sombong
adalah menolak kebenaran dan menghina (meremehkan) manusia" (HR. Muslim)
Menunaikan Hak yang Harus Ditunaikan
Seseorang tidak boleh pelit atas hak-hak yang memang harus ditunaikan pada hartanya, baik
itu hak-hak yang sudah tetap, seperti zakat, nafkah kedua orang tua dan kaum kerabat yang fakir,
atau hak-hak yang secara insidental, seperti menyuguh tamu, meminjami orang yang
memerlukan, menolong orang yang kesulitan, memberikan bantuan atas musibah yang menimpa
umat atau daerah tempat tinggal mereka, seperti peperangan, kelaparan, kebakaran, serta
mencukupi orang-orang fakir di negerinya, yang mereka sangat memerlukan bantuan makanan,
pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya.
Islam menegaskan pentingnya hak-hak itu, sampai memperbolehkan penggunaan senjata
demi membela hak-hak tersebut.
Abu Bakar pernah berperang bersama para sahabat yang ada karena masalah tidak
ditunaikannya kewajiban zakat oleh suatu kaum. Nabi Saw. juga memperbolehkan kepada tamu
untuk mengambil hak suguhan dari orang yang ditempati, walaupun dengan paksa. Adalah wajib
bagi kaum Muslimin untuk memperhatikan hal ini. Rasulullah Saw. bersabda,
Tamu mana pun yang singgah pada suatu kaum, lalu tamu itu tidak dijamu apa pun
(terlantar), maka ia boleh untuk mengambil sekedar untuk suguhannya, dan tidak berdosa
baginya. (HR. Ahmad dan Hakim)

Pada umumnya para fuqaha' memperbolehkan orang yang sangat memerlukan air dan
makanan untuk memerangi orang yang menghalang-halangi keperluannya tanpa alasan yang
benar.

Keseimbangan antara Pemasukan dan Pengeluaran


Seorang Muslim harus menyesuaikan antara pemasukan dan pengeluarannya. Jangan sampai
ia menginfakkan sepuluh, sementara pemasukannya delapan, sehingga terpaksa harus utang dan
menanggung beban dari orang yang mengutangi. Sesungguhnya utang itu membawa keresahan
di malam hari dan kehinaan di siang hari. Rasulullah Saw. sendiri mohon perlindungan kepada
Allah dari jeratan utang, dengan alasan bahwa seseorang itu kalau berutang, bisa saja ia berbicara
lalu berbohong, ia berjanji lalu mengingkari, sebagaimana disebutkan di dalam Sahih Bukhari.
Infak seseorang yang melebihi kemampuan harta dan pemasukannya termasuk israf (berlebihan)
yang tercela. Allah Swt. berfirman,
Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan. (Al-A'raf: 31)

Rasulullah Saw. bersabda,


Makan dan minumlah, berpakaian dan sedekahlah, selama tidak disertai dengan berlebihan
dan kesombongan. (HR. An-Nasa'i dan Ibnu Majah)

Ini terhadap hai yang mubah, adapun hal-hal yang diharamkan, maka setiap dirham yang
diinfakkan adalah termasuk dalam tabdzir (pemborosan).
Adapun dalam hal-hal ketaatan, seperti sedekah, jihad, dan proyek-proyek sosial, maka tidak
ada israf di dalamnya selama tidak menelantarkan hak yang lebih wajib dari itu semua. Seperti
hak keluarganya, hak orang yang utang kepadanya, atau nafkah yang wajib untuk dipenuhi
baginya, dan lain-lain. Oleh karena itu, ketika dikatakan kepada sebagian orang dermawan dari
kaum munafikin dalam hai amal saleh, "Tidak ada kebaikan dalam israf (berlebihan)", maka
jawabannya, "Tidak ada israf dalam kebaikan."
Islam memberi wewenang kepada penguasa untuk menahan atau mengatur keuangan setiap
orang yang bodoh dan sering merusak, di mana dia mempergunakan harta tidak secara tepat.
Hal ini karena umat mempunyai hak atas harta tersebut, sehingga memeliharanya akan
membawa manfaat bagi umat dan membiarkannya akan membawa madharat. Oleh karena itu,
Allah Swt. menyandarkan harta orang-orang yang belum mengerti itu kepada umat. Allah Swt.
berfirman,
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan... (An-
Nisa': 5)

Memerangi Kemewahan dan Para Pelakunya


Satu lagi jenis israf yang diharamkan oleh Islam dan akan terus diperangi karena dapat
merusak kehidupan individu dan masyarakat. Itulah yang dinamakan at-taraf (kemewahan), yaitu
terlampau berlebihan dalam berbagai bentuk kenikmatan. Misalnya, asyik dalam hiburan,
pemenuhan nafsu perut dengan berbagai jenis makanan dan minuman, juga asesoris perhiasan
dan kosmetika yang menghiasi tubuh, perabot rumah tangga dan hiasannya yang mewah,
patung-patung, serta berbagai peralatan dari emas, perak, dan sebagainya.
Al-Quran menganggap kemewahan sebagai penghambat pertama yang akan menghalang-
halangi manusia untuk mengikuti kebenaran, karena kemewahan itu tidak akan membiarkan
para pelakunya leluasa tanpa belenggu syahwat. Barangsiapa mengajak mereka ke arah selain
itu, niscaya mereka akan memusuhi dan memeranginya. Allah Swt. berfirman,
Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, "Sesungguhnya kami mengingkari apa
yang kamu diutus untuk menyampaikannya." (Saba': 34)

Kemewahan itu memiliki beberapa dampak yang sulit dihindari oleh pelakunya. Misalnya,
membuat orang jadi suka bermain-main, iseng, dan berkecenderungan besar pada syahwat, serta
penyimpangan moral, yang dapat menyebabkan pudarnya akhlak dan meluasnya pengaruh hawa
nafsu di kalangan umat. Akibat lain adalah timbulnya kesenjangan, karena banyak orang yang
tidak dapat mencukupi kebutuhan primer mereka, sementara sekelompok kecil dari kalangan
tertentu menikmati sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah didengar oleh
telinga. Dari sinilah maka seluruh masyarakat terancam oleh kehancuran dan siksa, akibat orang-
orang yang berbuat kemewahan karena kemewahannya. Dan yang lain di luar mereka mendapat
hal yang sama karena diam atau loyalitasnya terhadap mereka. Allah Swt. berfirman,
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-
orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan
kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan
(ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Al-lsra': 16)
Sesungguhnya Al-Quran telah menceritakan kepada kita bahwa hamba kemewahan
merupakan pihak pertama yang bertanggungjawab atas musibah yang menimpa kebanyakan
umat sebagai peringatan dari Allah. Sehingga mereka tidak memperoleh kemenangan, bahkan
benar-benar mendapat azab. Allah Swt. berfirman,
Hingga apabila Kami timpakan azab kepada orang-orang yang hidup mewah di antara
mereka, dengan serta merta mereka memekik minta tolong. Janganlah kamu memekik minta
tolong pada hari ini. Sesungguhnya kamu tiada akan mendapat pertolongan dari Kami. (Al-
Mu'minun: 64-65)

Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang zalim yang telah Kami binasakan, dan Kami
adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai penggantinya). Maka tatkala mereka
merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari negerinya. Janganlah kamu lari
tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada nikmat yang telah kamu rasakan dan kepada tempat-
tempat kediamanmu (yang baik) supaya kamu ditanya. (Al-Anbiya': 11-13)

Kesederhanaan dalam Anggaran Belanja Negara


Dalam Islam, pengeluaran seseorang untuk keperluan dirinya dituntut secara sederhana.
Selain itu, dalam penyusunan anggaran belanja negara, mulai dari kepala negara hingga semua
orang yang ada di bawahnya pun, juga dituntut sederhana. Bahkan pemimpin kaum Muslimin
sepatutnya menjadi uswah bagi umat dalam hal kehati-hatiannya membelanjakan uang negara
dan memperkecil kemewahan.
Rasulullah Saw. sebagai imam kaum muslimin adalah orang yang pertama kali merasakan
lapar di saat umat menderita kelaparan, dan yang terakhir kali merasakan kenyang di saat mereka
dalam kemakmuran. Aisyah r.a. berkata, "Rasulullah Saw. tidak pernah kenyang sepanjang tiga
hari berturut-turut. Kalau seandainya kami mau pasti kami kenyang, akan tetapi beliau selalu
mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri" (HR. Baihaqi)
Abu Hurairah r.a. berkata, "Rasulullah Saw. sampai wafat belum pernah kenyang dengan roti
gandum" (HR. Bukhari dan Tirmidzi)
Rasulullah menolak untuk mengambil alas tidur yang empuk, dan bantal beliau pun terbuat
dari kulit pohon. Beliau juga tidur di atas tikar sampai membekas di lambungnya. Beliau wafat
dengan mengenakan pakaian yang sudah lusuh dan sarung yang kasar. Demikian juga Abu Bakar,
Umar dan Ali r.a., hingga Umar pemah berkata, "Saya dengan harta ini tidak lain kecuali seperti
wali anak yatim, jika saya sudah cukup, maka saya berhati-hati, tetapi jika saya memerlukannya
maka saya memakannya dengan cara yang makruf."
Kita tidak menuntut para pemimpin kita harus persis seperti mereka, tetapi kita ingin agar
para pemimpin itu hendaknya takut kepada Allah dalam menggunakan harta milik umum dan
tidak menghamburkannya demi kesenangan anak istri, sanak kerabat, serta para loyalis mereka.
Hal ini perlu ditegaskan karena kebanyakan raja dan pemimpin di negeri Islam mengira bahwa
harta negara itu milik mereka, sehingga dapat dipergunakan semaunya. Sedikit sekali yang mau
menghitung-hitung amal perbuatannya. Beberapa negara yang di dalamnya terdapat lembaga
Parlemen dan lembaga pengawas pun tidak mampu menyentuh sesuatu yang berkaitan dengan
kepala negara dan perangkat kekuasaannya.
Di sana ada lembaga-lembaga tertentu yang mempergunakan uang negara tanpa harus ada
laporannya dan tanpa syarat, sehingga sepanjang waktu terus-menerus dipertanyakan oleh ma-
syarakat. Misalnya, lembaga penerangan, olahraga, lembaga-lembaga kemiliteran dan keamanan
negara, serta lembaga-lembaga lain yang terkait erat dengan pelanggengan status quo penguasa.
Akan tetapi, di saat yang sama, terjadi pengiritan dan perampingan biaya yang berlebihan di
dinas-dinas yang lain, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan pelayanan- pelayanan
sosial.
Hukum mengharuskan adanya keseimbangan dalam berbagai kepentingan. Mendahulukan
yang primer dari kepentingan sekunder, dan mendahulukan kepentingan umum yang lebih besar
daripada kepentingan pribadi, kelompok serta kepentingan fakir miskin dan orang-orang lemah
atas kepentingan orang-orang besar yang kaya.

Kewajiban Takaful Ijtima'i


Islam menuntut setiap orang yang mampu bekerja untuk bekerja dan bersungguh-sungguh
dalam kerjanya, sehingga ia dapat mencukupi diri dan keluarganya. Tetapi ada di antara anggota
masyarakat yang tidak mampu bekerja, sehingga mereka tidak berpenghasilan. Ada juga yang
mampu bekerja, tetapi tidak mendapatkan lapangan kerja sebagai sumber ma'isyah mereka, dan
pemerintah sendiri tidak mampu mempersiapkan lapangan kerja yang sesuai bagi mereka. Ada
pula yang sebenarnya sudah bekerja, hanya saja pemasukan mereka belum mencukupi stan- dar
yang layak, karena sedikitnya pemasukan atau banyaknya keluarga yang ditanggung atau
mahalnya harga barang atau karena sebab-sebab yang lain.
Maka bagaimana peran sistem Islam terhadap mereka itu? Apakah akan membiarkan mereka
untuk menjadi umpan kemiskinan dan kebutuhan yang siap menerkamnya? Atau memberikan
solusi terhadap problematika mereka?
Jelas bahwa sistem Islam tidak membiarkan mereka menjadi miskin dan terlantar, tetapi
berupaya mewujudkan kehidupan yang layak bagi mereka. Di antaranya dengan konsep-konsep
berikut ini.

Memberikan Nafkah Kepada Sanak Kerabat


Islam mewajibkan orang yang berkecukupan untuk memberi nafkah kepada keluarganya
yang membutuhkan, sebagai bentuk silaturahmi dan pemenuhan kewajiban yang dibebankan
kepadanya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt.,
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya kepada orang miskin dan
orang yang dalam perjalanan. (Al Isra: 26)

Barangsiapa yang tidak melaksanakan kewajiban ini untuk keluarganya, maka ia terkena
hukuman. Adapun mengenai syarat-syarat memberikan nafkah, ukurannya, siapa yang wajib dan
siapa yang tidak wajib, para fuqaha mempunyai rincian yang detail mengenai ini semua. Kita bisa
merujuk bab nafaqat dari kitab-kitab fiqih yang ada.

Kewajiban Zakat
Zakat merupakan faridhah maliyah dan bersifat sosial. Dia merupakan rukun Islam yang
ketiga. Barangsiapa tidak mau menunaikan zakat karena pelit maka ia dita zir atau zakat itu
diambil darinya secara paksa. Apabila ia memiliki kekuatan untuk melawan, maka diperangi
sampai takluk dan mau melaksanakannya. Apabila secara terang-terangan ia mengingkari akan
kewajibannya, sedang dia bukan orang yang baru dalam berlslam, maka pantas dihukumi murtad.
Harus dipahami bahwa zakat bukanlah hibah (pemberian) seorang kaya kepada si fakir, sama
sekali bukan. Akan tetapi itu merupakan hak yang pasti bagi si fakir dan kewajiban atas para
muzakki, di mana negara berwenang untuk memungutnya, kemudian membagikannya kepada
yang berhak menerimanya melalui para pegawai zakat yang di sebut dengan istilah Badan Amil
Zakat. Karena itulah Rasulullah mengatakan, "Zakat itu dipungut dari aghniya' kaum Muslimin,
kemudian diberikan kepada fuqara mereka," sehingga seakan seperti pajak yang dipungut, bukan
sedekah yang diberikan dengan kerelaan hati.
Zakat dalam banyak hal berbeda dengan pajak yang diambil dari para pekerja dan usahawan
sampai para pedagang kaki lima untuk membiayai kepentingan pemerintah dan perangkatnya.
Sebab, sering kita lihat bahwa dalam praktiknya, pajak itu diambil dari kaum fakir untuk diberikan
kepada aghiya'.
Ungkapan Rasulullah Saw., diambil dari aghniya' kaum Muslimin dan diberikan kepada
fuqara' mereka ini menunjukkan bahwa zakat tidak lain kecuali memberikan harta umat—dalam
hal ini dilaksanakan oleh orang-orang kaya—kepada umat itu sendiri, yakni orang-orang fakir
mereka. Dengan demikian maka zakat adalah dari umat untuk umat, dari tangan yang diberi
amanat harta kepada tangan yang membutuhkan, dan kedua tangan itu, baik yang memberi atau
yang mengambil merupakan dua tangan yang ada pada satu orang, yaitu umat Islam.
Zakat diwajibkan pada setiap harta yang aktif atau siap dikembangkan, yang sudah mencapai
nishab dan sudah mencapai satu tahun serta bersih dari utang. Ini berlaku pada binatang temak,
emas, perak dan harta dagangan. Adapun pada tanaman dan buah-buahan wajib ketika panen,
dan pada tambang serta barang temuan purbakala wajib ketika menemukannya.
Islam tidak menetapkan nishab dalam jumlah yang besar. Hal ini agar umat ikut serta dalam
menunaikan zakat dan menjadikan prosentase yang wajib dizakati sederhana. Yaitu 2,5% pada
emas, perak dan barang perdagangan, 5% untuk tanaman yang disiram memakai alat, 10% untuk
yang disiram tanpa alat, dan 20% untuk rikaz (barang temuan purbakala) dan tambang. Semakin
besar kepayahan seseorang maka semakin ringan kadar zakatnya.

Pemasukan Negara yang Lainnya


Apabila zakat belum mencukupi seluruh kebutuhan orang fakir, maka masih ada pemasukan
Daulah Islamiyah untuk mencukupi dan menjamin kebutuhan mereka, yaitu dari lima persen (5%)
harta ganimah atau dari fai' dan hasil bumi serta yang lainnya.
Allah Swt.berfirman,
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang,
maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan ibnu sabil... (Al-Anfal: 41)

Tentang Fai' Allah Swt. berfirman,


Apa saja harta rampasan (fai') yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian ... (Al-Hasyr: 7)

Dalam hal ini termasuk juga apa yang dimiliki oleh negara berupa sumber minyak, tambang,
lahan pertanian dan perkebunan serta income negara lainnya yang cukup besar.
Negara dalam Islam tidak hanya bertanggungjawab terhadap masalah keamanan saja, akan
tetapi juga bertanggungjawab atas pemeliharaan orang-orang lemah dan yang membutuhkan
serta menjamin kehidupan layak untuk mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih:
Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai tanggung jawab terhadap yang
dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanya tentang rakyat (yang di-
pimpinnya) ... (HR. Muttafaqun 'Alaih),

Demikianlah Rasulullah menjelaskan kepada kita, bahwa sebagai pemimpin kaum Muslimin,
beliau bertanggungjawab atas seluruh umat. Rasulullah Saw. mengatakan bahwa barangsiapa
meninggalkan harta maka harta itu untuk ahli warisnya, tapi barangsiapa yang meninggalkan
utang atau anak-anak terlantar yang terancam oleh kefakiran dan keyatiman, maka beliau yang
akan bertanggung jawab dan memperhatikannya.
Umar r.a. berkata tentang harta negara, "Setiap orang memiliki bagian hak atas harta ini."
Umar mengambil sebagian harta dari Baitul Mai untuk seorang Yahudi yang dilihat meminta-
minta. Sebagaimana, Umar r.a. juga memberi santunan kepada setiap anak yang dilahirkan dalam
Islam, di mana pemberian santunan itu terus bertambah seiring dengan semakin tumbuh dan
dewasanya mereka.

Hak-Hak Lain di dalam Harta


Apabila zakat dan pemasukan-pemasukan lainnya belum mencukupi untuk menanggung
kehidupan orang fakir, maka orang-orang kaya di masyarakat wajib mencukupi mereka. Sebab,
belum sempurna iman seseorang yang bermalam dengan keadaan perut kenyang sementara
tetangganya kelaparan. Bukan pula seorang mukmin itu orang yang tidak mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya. Oleh sebab itu, jika mereka mampu mengamalkan ini semua
karena kesadaran dan karena dorongan iman dan takwa maka itu lebih baik dan lebih kekal.
Sebagaimana Nabi Saw. menceritakan kepada kita tentang kaum Asy'ariyyiin.
Orang-orang Asy' ariyyiin apabila hendak berangkat berperang, atau karena perbekalan
keluarga mereka habis di kota Madinah, mereka mengumpulkan apa yang ada pada mereka
menjadi satu, kemudian membagi-bagi di antara mereka dalam satu tempat secara sama
rata. Mereka adalah bagian dariku dan aku bagian dari mereka (HR. Bukhari Muslim)

Apabila masyarakat tidak memiliki kesadaran untuk memperhatikan orang-orang fakir, maka
pemimpinlah yang mewajibkan para aghniya' untuk hal itu. Diriwayatkan dari Nabi Saw.,
"Sesungguhnya di dalam harta itu ada kewajiban selain zakat." Ini juga dikuatkan oleh Al-Quran
sebagai berikut,
Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)
dan orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat dan menunaikan zakat. (Al-Baqarah: 177)

Ayat tersebut memisahkan antara memberikan harta kepada yang membutuhkannya—yaitu


sanak kerabat, anak-anak yatim dan seterusnya—dengan menunaikan zakat. Ini menunjukkan
bahwa keduanya merupakan kewajiban dalam harta. Akan tetapi, zakat itu merupakan hak yang
bersifat rutin, tetap dan ditentukan jumlahnya. Adapun kewajiban-kewajiban lainnya lebih
bersifat kondisional jika diperlukan, di mana tidak ada batas tertentu dan tidak pula waktu
tertentu.
Apabila pemilik harta tidak menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut secara suka rela, maka
mereka akan dipaksa untuk mengeluarkannya. Utsman bin Affan berkata, "Sesungguhnya Allah
akan mencabut melalui penguasa apa yang tidak bisa dicabut dengan Al-Quran."

Sedekah Sunah
Dalam menegaskan masalah takaful, Islam tidak hanya membatasi pada undang-undang yang
bersifat wajib, tetapi juga mendidik seorang Muslim untuk berkurban, meskipun tidak diminta
dan untuk berinfak meskipun tidak diwajibkan kepadanya, dan bahwa harta serta dunia bagi
mereka adalah kecil. Islam juga memperingatkan pemilik harta dari sifat pelit dan kikir.
Sebaliknya, mendorong untuk berinfak baik dalam keadaan suka maupun duka, di waktu lapang
ataupun sempit, rahasia maupun terang-terangan. Islam menjanjikan ganti berupa karunia Allah
di dunia dan pahala di akhirat kelak. Allah Swt. berfirman,
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamudengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat
kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia... (Al-
Baqarah: 268)

Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan meng- gantinya dan Dialah Pemberi
rezeki yang sebaik-baiknya. (Saba': 39)

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara tersembunyi dan
terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Al-Baqarah: 274)

Wakaf dan Sedekah Jariyah


Di antara persoalan penting yang ditekankan dalam Islam adalah sedekah jariyah. Inilah yang
secara istilah disebut waqaf khairiy. Secara definitif dapat diuraikan dengan, "Harta yang
dikeluarkan dari perorangan, untuk diambil manfaatnya oleh salah satu lembaga sosial Islam,
karena mencari pahala Allah."
Rasulullah Saw. pernah memerintahkan Umar r.a. untuk mewakafkan hartanya di Khaibar,
dan setiap sahabat yang memiliki kelonggaran waktu itu, semuanya mewakafkan harta yang
mereka punya. Siapa saja yang membaca sejarah tentang alasan wakaf dan syarat-syarat orang
yang mewakafkan maka akan tampak jelas hakikat takaful dalam masyarakat Islam, yang
dilakukan berdasarkan kemurnian hati untuk berbuat kebajikan dan perasaan kasih sayang yang
mendalam serta pancaran nilai- nilai kemanusiaan yang mulia. Sehingga kebaikannya tidak hanya
terbatas pada manusia, tetapi bahkan sampai pada binatang dan tanaman.

Takaful Antargenerasi
Takaful Antargenerasi merupakan salah satu bentuk takaful yang jarang diperhatikan para
ulama dan saya telah berulang kali mengingatkannya di dalam buku-buku yang saya tulis. Takaful
antargenerasi yang dimaksud adalah takaful antarumat, dari generasi ke generasi setelahnya. Ini
juga meliputi takaful antarnegara Islam. Ini semua merupakan takaful zamani, selain juga
merupakan takaful makani.
Takaful antargenerasi (ajyal) maksudnya adalah hendaknya satu generasi jangan rakus
dengan kekayaan bumi baik yang tersimpan maupun yang tersebar hanya untuk kepentingan hari
ini saja, sementara tidak menyisakan sedikit pun untuk generasi setelahnya.
Generasi saat ini harus memperhitungkan generasi mendatang. Hendaknya mereka berbuat
seperti seorang bapak yang penuh perhitungan, di mana ia sedang berupaya untuk dapat
meninggalkan anak turunnya dalam keadaan berkecukupan. Dan hendaknya mereka bersikap
sederhana dalam berinfak serta mengatur pengeluaran, sehingga bisa meninggalkan sesuatu
yang bermanfaat untuk generasi sesudahnya. Rasulullah Saw. bersabda:
Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam berkecukupuan itu lebih baik
daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan (yang kemudian) meminta-minta kepada
manusia. (HR. Muttafaqun Alaih)
Abu Bakar r.a. berkata, "Saya tidak senang dengan orang yang menghabiskan rezeki yang
mestinya cukup untuk berhari-hari tetapi dimakan dalam satu hari." Ini bisa kita analogikan
dengan generasi juga, yang mestinya cukup untuk beberapa generasi, tetapi dimakan dalam satu
generasi.
Itulah yang membuat Umar bin Khathab tidak mau membagikan tanah Irak untuk para
mujahidin yang telah menaklukkannya, karena tanah ini merupakan kekayaan besar yang bisa
dinikmati oleh generasi (anak turun) mereka. Anda tidak akan mendapatkan generasi mendatang
yang mampu membela kehormatan umat dan agamanya jika mereka tidak terurus. Apa yang kita
tinggalkan adalah untuk mempersiapkan bekal dan memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena
itu, Umar mengatakan kepada orang-orang yang menentang kebijakannya waktu itu, "Apakah
kalian ingin generasi di belakang kalian tidak memiliki apa-apa?" Pada saat itu yang sependapat
dengannya adalah Ali dan Mu'adz r.a. Umar juga berkata dengan lantang, "Sesungguhnya aku
menginginkan sesuatu yang mencukupi generasi awal dan akhir."
Terdapat ayat dalam surah Al-Hasyr yang memperkuat taujih Umar, di mana ayat tersebut
mengatur pembagian harta fai' untuk generasi saat itu dari kaum Muhajirin dan Anshar,
kemudian generasi setelahnya juga diikutsertakan. Demikian itu tersebut dalam firman Allah
Swt.,
Dan orang-orangyangdatang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar) mereka berdoa, "Ya
Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami
dengan keimanan... (Al-Hasyr: 10)

Dengan demikian, maka antargenerasi itu saling menanggung dan saling memiliki
keterkaitan, sehingga generasi yang menyusul mendoakan generasi yang telah lewat. Bukannya
melaknati dengan mengatakan, "Mereka para pendahulu kami telah mengambil segala sesuatu
dan tidak menyisakan sedikit pun untuk kami." Inilah yang saya khawatirkan akan dikatakan oleh
generasi mendatang di negara-negara sumber minyak, setelah pendahulu mereka
menghabiskannya untuk hiasan dan kenikmatan serta berlebihan dalam membuat anggaran.
Mereka israf dalam mengeluarkannya, sehingga banyak dipamerkan, lalu mereka jual dengan
harga terendah. Seandainya mereka mau melihat hak generasi mendatang niscaya mereka akan
menghemat dan berhati-hati.

Mempersempit Perbedaan Antargolongan


Islam mengakui adanya perbedaan antarmanusia dalam masalah hak milik dan rezeki, karena
fitrah Allah menghendaki adanya perbedaan di antara mereka. Bahkan yang lebih dari itu, yakni
dalam hal kecerdasan, kecantikan, kekuatan fisik dan seluruh pemberian serta kemampuan
secara khusus. Untuk itu, tidak aneh jika terjadi perbedaan di antara manusia di dalam harta dan
kekayaan. Allah Swt. berfirman:
Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki... (An-Nahl:
71)

Perbedaan itu bukan merupakan suatu permainan belaka atau tanpa arti, akan tetapi
memiliki hikmah, karena dengannya kehidupan ini akan tegak dan teraturlah urusan hidup.
Sebagaimana firman Allah Swt.,
Kami telah membagi (menentukan) antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah mengangkat (meninggikan) sebagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain... (Az-
Zukhruf: 32)
Kata 'mempergunakan' maksudnya bukanlah mempergunakan dengan paksaan dan
merendahkan, akan tetapi dengan aturan dan tata tertib. Hal ini dikarenakan kehidupan ini
bagaikan pabrik besar yang di dalamnya terdapat orang-orang yang memimpin dan ada pula
orang-orang yang dipimpin, ada supervisor ada karyawan biasa, ada juga satpam dan ada
pelayan. Masing-masing mempunyai tugas, dan keberadaan mereka semua penting agar mesin
kehidupan bisa beroperasi dan produktif.
Meskipun Islam mengakui adanya perbedaan dalam masalah rezeki dan perbedaan dalam
kadar kepemilikan (kaya dan miskin), tetapi Islam juga berupaya untuk mempersempit sisi
perbedaan antargolongan, sehingga membatasi penyimpangan orang-orang kaya dan
mengangkat martabat orang-orang fakir dalam rangka mewujudkan tawazun dan menghilangkan
unsur-unsur pertikaian antaranggota masyarakat.
Demikian itu karena sesungguhnya Islam membenci berputarnya kekayaan di tangan orang-
orang tertentu yang berputar di antara mereka sendiri, sementara sebagian besar orang tidak
memilikinya. Islam senang kalau harta itu tidak hanya berkisar pada orang-orang kaya saja. Oleh
karena itu, Islam memiliki beberapa sarana untuk mengatasi hal-hal tersebut, antara lain sebagai
berikut.
Pertama, mengharuskan orang kaya untuk tidak mengembangkan kekayaannya dengan cara-
cara yang diharamkan, seperti riba, menimbun, menipu, memperdagangkan barang- barang
terlarang dan sebagainya, seperti yang telah kita sebutkan sebelum ini. Hal ini dapat menutup
jalan menuju kekayaan yang curang dan keji.
Kedua, orang-orang kaya diwajibkan membayar zakat untuk diberikan kepada orang-orang
fakir. Zakat merupakan pemungutan dan pengambilan. Zakat, sebagaimana disyariatkan oleh
Islam, merupakan sarana untuk memberi kepemilikan kepada kaum fuqara' sehingga dapat
mencukupi kebutuhan mereka.
Imam Nawawi dan lainnya mengatakan, "Orang fakir dan miskin itu terus diberi sehingga
terpenuhi kebutuhannya dan memperoleh kecukupan. Ini berbeda-beda tergantung kondisi
orangnya. Orang yang mampu bekerja tetapi tidak mendapatkan alat keterampilannya maka ia
diberi uang untuk membeli alat itu, baik harganya murah atau mahal. Pedagang diberi modal
untuk memperbaiki bisnisnya sekiranya keuntungan dari bisnis bisa mencukupi kebutuhannya
secara umum. Sedangkan orang yang tidak pandai bekerja atau berdagang maka ia diberi
secukupnya untuk mencukupi kebutuhan."
Dengan demikian, zakat bisa berfungsi untuk memperbanyak jumlah kepemilikan dari orang-
orang fakir. Dengan zakat itu Islam memberikan hak milik kepada orang yang bekerja, yaitu
dengan memberikan sarana produksi, baik tempat maupun alatnya.
Selain itu, juga memberikan hak milik kepada petani berupa sawah atau sebagian sawah yang
dimiliki bersama orang lain. Atau memberikan hak milik kepada pedagang dengan memberi
tempat untuk berdagang dan peralatannya, dan juga memberikan hak milik kepada selain
mereka berupa pekarangan atau lainnya. Atau sesuatu yang sekiranya bisa menjadi pemasukan
rutin yang teratur sehingga bisa mencukupi kebutuhan diri dan orang-orang yang berada di
bawah tanggung jawabnya. Semua itu diatur oleh lembaga zakat dengan perhatian yang optimal.
Ketiga, penunaian kewajiban selain zakat harus dilakukan oleh para aghniya’ seperti nafkah
untuk para kerabat, nazar dan kafarat, menyembelih korban (wajib menurut mazhab Abu
Hanifah), hak-hak tetangga dan famili, menyuguh tamu, memberi makan orang yang kelaparan,
menolong orang yang terkena musibah, melepaskan tawanan, mengobati orang sakit, bantuan
ketika ada musibah mendadak yang menimpa umat, seperti peperangan, kelaparan dan
sebagainya. Rasulullah Saw. bersabda,
Tidak beriman kepadaku orang yang semalam suntuk ia kekenyangan, sementara
tetangganya kelaparan di sisinya sedangkan ia mengetahuinya. (HR. Thabrani dan Hakim)

Keempat, pewarisan yang disyariatkan oleh Islam ditujukan kepada anak-anak, kedua orang
tua, para suami, pemilik ashabah, dan orang yang punya hubungan famili, dengan syarat-syarat
dan perincian perhitungan yang jelas. Ini merupakan sarana untuk membagi-bagi kekayaan
setelah meninggalnya orang yang mewariskan kepada sejumlah ahli waris. Berbeda dengan
sebagian sistem yang memberikan tinggalan mayyit untuk anaknya yang tertua saja, atau sistem-
sistem lain yang mirip dengan itu. Disamping itu ada juga yang disebut dengan wasiat yang
diberikan kepada selain ahli waris. Sebagian ulama salaf mewajibkan wasiat, berdasarkan firman
Allah Swt.,
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda maut), jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara
makruf, ini adalah kewajiban atas orang-orangyang bertakwa. Maka barangsiapa yang
mengubah warna wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah
bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Lagi Maha
Mengetahui. (Al-Baqarah: 180)

Dari ayat inilah diambil undang-undang wasiat yang wajib, yang berupaya ingin mengobati
penyakit terlantarnya anak cucu.
Kelima, hak penguasa dalam mengembalikan keseimbangan apabila rusak, melalui harta
umum seperti fax dan lainnya. Bukan dengan cara pengambilalihan hak milik yang resmi, di mana
pemiliknya berkomitmen terhadap hukum Islam. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
dalam membagi harta fai' bani Nadhir, di mana beliau membagikannya kepada Muhajirin saja
tanpa melibatkan kaum Anshar, kecuali hanya dua orang dari mereka yang sangat
memerlukannya. Rahasia dari hal itu terletak pada realitas bahwa kaum Muhajirin memang telah
keluar dari rumah-rumah mereka dengan mengorbankan hartanya, yang ini menyebabkan
kondisi mereka sangat berbeda dengan saudara-saudaranya dari kaum Anshar. Kaum Anshar
memiliki tanah dan pekarangan sedangkan kaum Muhajirin hampir tidak memiliki apa-apa,
betapa pun kaum Anshar juga telah memberikan teladan yang menarik dalam penghormatan
mereka dan kesediaan mereka untuk ditempati serta itsar mereka terhadap kaum Muhajirin.
Tetapi tawazun yang diinginkan oleh Islam menjadikan Nabi Saw. menyelesaikan persoalan yang
ada ketika terdapat kesempatan. Al-Quran sendiri mendukung sikap Rasulullah Saw. ini. Bahkan
juga menyebutkan hikmahnya bahwa harta rampasan itu dibagi hanya kepada kaum tertentu
yang membutuhkan dari anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Allah Swt.
berfirman, Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya pang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya
beredardi antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan (diputuskan) Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukum-Nya. (Al-Hasyr: 7)
Sikap Rasulullah ini memberikan contoh yang benar kepada penguasa Muslim yang adil, agar
berhukum sesuai ketentuan Allah dengan mengkhususkan orang-orang fakir untuk diberi harta
negara demi mempersempit kesenjangan dan jurang pemisah antara mereka dengan orang-
orang kaya. Dengan demikian, terwujudlah keseimbangan ekonomi dalam masyarakat Islam.

Islam dan Sistem Perekonomian Modern


Beberapa kaidah yang telah dijelaskan di depan menyatakan bahwa ekonomi Islam tegak di
atas kaidah-kaidah tersebut dan merupakan sistem yang berbeda dengan sistem-sistem yang ada
saat ini, baik yang berorientasi ke kanan maupun ke kiri atau yang dikenal dengan sistem
materialis dan sosialis. Islam berbeda dengan keduanya secara menyeluruh dalam berbagai segi,
apalagi Islam lebih mendahului keduanya lebih dari 12 abad.

Islam dan Materialisme


Sistem ekonomi materialis tegak di atas pengkultusan kebebasan individu yang terlepas dari
segala ikatan. Setiap individu bebas memiliki, mengembangkan dan menafkahkan dengan
berbagai sarana yang dimiliki tanpa aturan dan pembatasan.
Hak masyarakat atas harta sekaligus atas pengawasan, kontrol, pengembangan dan
pendistribusiannya adalah hak yang lemah, bahkan hampir tidak memiliki pengaruh apa-apa.
Masyarakat sendiri tidak lagi mempunyai rasa tanggung jawab dan memiliki yang menjadikannya
menghormati kebenaran. Sebaliknya, setiap saat mereka berusaha sedapat mungkin untuk lolos
dari pengawasan hukum.
Adapun Islam, sungguh telah kita lihat bahwa Islam meletakkan batas-batas atas kepemilikan,
juga batas-batas dalam pengembangan, pengeluaran dan pembelanjaannya. Islam menentukan
batas-batas kepemilikan, yang sebagiannya bersifat selamanya dan sebagian lagi bersifat
sementara. Islam juga menghapus bentuk pemilikan yang diharamkan dan melarang riba,
menimbun, menipu dan segala sesuatu yang menafikan akhlak serta bertentangan dengan
kemaslahatan umum. Islam juga menjadikan hati nurani seorang Muslim selalu melihat Allah
sebelum makhluk-Nya dalam setiap permasalahan. Bagi seorang Muslim, Allahlah yang menjaga
dan mengawasi pertama kali untuk memelihara hak-hak tersebut dari pemilik harta yang
sesungguhnya.
Islam juga memberi hak kepada seorang hakim yang melaksanakan hukum Allah untuk
mencabut pemilikan seseorang, apabila ternyata memang bertentangan dengan kemaslahatan
umum. Demikian juga Islam memberi wewenang kepadanya untuk tidak memberikan harta
kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya dan orang yang menghambur-hamburkan
harta serta menahan mereka untuk tidak mempergunakan harta yang pada hakikatnya
merupakan harta masyarakat atau harta Allah menurut prinsip istikhlaf, sebagaimana yang telah
kami terangkan sebelum ini.

Islam dan Sosialisme


Jika sistem ekonomi materialis liberal mengkultuskan kebebasan individu sampai batas yang
telah kita sebutkan maka sistem sosialis juga memiliki pandangan tersendiri, antara lain sebagai
berikut.
pertama, sistem sosialis mengabaikan kebebasan individu dan menganggap semua kekayaan
itu sebagai perisai pemerintahan. Individu dalam sistem ini tidak berhak memiliki tanah, pabrik,
pekarangan atau sarana produksi yang lain, tetapi ia wajib bekerja menjadi karyawan pemerintah
sebagai pemilik segala sumber produksi dan yang berhak mengoperasikannya. Pemerintah juga
melarang seseorang memiliki modal harta meskipun melalui prosedur yang halal.
Hal ini berbeda dengan Islam, di mana kita mengetahui bahwa Islam menghargai hak milik
pribadi, karena termasuk konsekuensi fitrah dan bagian dari wujud kemerdekaan. Bahkan
termasuk sifat dasar kemanusiaan, karena hak milik pribadi merupakan motivasi yang paling kuat
untuk merangsang dan meningkatkan produktivitas. Islam tidak membedakan antara sarana
produksi dan yang lainnya, tidak pula membedakan antara pemilikan besar atau kecil, selama
memperolehnya dengan cara yang sah menurut syariat.
Kedua, paham sosialis marxis tegak di atas perang antar golongan dan mengobarkan api
permusuhan antargolongan yang satu dengan yang lainnya, dengan mempergunakan sarana
kekerasan yang penuh pertumpahan darah. Sehingga pada akhir-nya seluruh golongan itu
hancur, kecuali satu golongan, yaitu kaum proletar, termasuk di dalamnya kaum buruh dan
rakyat kecil. Padahal yang sesungguhnya menang bukanlah dari kalangan buruh, tetapi
sekelompok manusia yang bekerja di partai dan militer yang berkuasa atas nama golongan buruh
di segala bidang dan melarang sebagian besar penduduk dari segala sesuatu. Oleh karena itu,
akhir penjelasan dari Karl Marx adalah, "Wahai kaum buruh sedunia bersatulah, untuk melawan
kelompok-kelompok lainnya."
Adapun Islam, aturan dan falsafahnya tegak di atas persaudaraan antarmanusia, dan
menganggap mereka satu keluarga. Islam berkehendak memperbaiki hubungan di antara mereka
apabila terjadi konflik dan menganggap hal itu lebih mulia daripada shalat atau puasa sunah. Jadi,
jelaslah perbedaan antara orang yang mengajak para buruh untuk bersatu melawan yang lainnya
dengan orang yang mengajak manusia seluruhnya untuk ber- saudara dan menjalin cinta kasih
sesama mereka. Nabi Saw. bersabda, "Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara" (HR.
Ahmad dan Muslim).
Ketiga, paham sosialis marxis selalu diliputi oleh tekanan politik dan teror pemikiran serta
berbagai pelarangan terhadap kebebasan. Mereka menyembunyikan aspirasi kelompok-
kelompok yang menentang sistem dan menuduh setiap kelompok oposisi sebagai sikap primitif,
kontra revolusi, pengkhianat atau tuduhan yang lainnya. Sama saja sejak masa Lenin sampai hari
ini. Lenin pernah menulis kepada salah seorang sahabatnya, ia mengatakan, "Sesungguhnya tidak
mengapa membunuh tiga perempat penduduk dunia, agar sisanya, seperempat, menjadi
sosialis."
Adapun Islam itu tegak di atas dasar musyawarah, dan menjadikan nasihat kepada
pemerintah itu salah satu inti ajarannya. Islam mendidik masyarakat untuk menyelamatkan
orang yang berbuat kejahatan dengan lembut dan beramar makruf nahi mungkar serta
memperingatkan umat apabila melihat orang yang zhalim, karena apabila mereka tidak
mencegahnya maka Allah akan menyegerakan siksa untuk mereka dari sisi-Nya.
Tujuan Ekonomi Islam dan Urgensinya
Selain berbeda dengan seluruh sistem buatan manusia yang ada dari sisi kedalaman
maknanya—mencakup kebebasan individu dan kemanfaatan sosialnya—Islam juga berbeda
dengan sistem-sistem itu dari sisi semangat dan asasnya, tujuan dan orientasinya, serta urgensi
dan fungsinya, sebagai berikut.
Pertama, dasar sistem Islam bukan buatan manusia, bukan pula ciptaan sekelompok
manusia, melainkan merupakan ketentuan Allah yang Maha Mengetahui, yang menginginkan
kemudahan bagi hamba-Nya.
Allah adalah Rabb bagi seluruh makhluk. Dialah yang meng- atur segala sesuatu tanpa
penyimpangan dan tanpa pemihakan. Dia adalah Rabbnya aghniya dan fuqara', Rabbnya para
buruh dan para pemilik profesi, Rabbnya para pemilik dan Rabbnya para penyewa. Mereka
semua adalah hamba dan 'keluarga-Nya'. Dia mengasihi mereka jauh lebih besar daripada kasih
seorang ibu terhadap anaknya. Maka apabila Allah membuat suatu sistem hidup untuk mereka,
niscaya tidak ada yang lebih adil, lebih sempurna dan lebih ideal dari rancangan Allah. Berbeda
dengan sistem-sistem lainnya, yang semuanya adalah buatan manusia yang penuh dengan
kekurangan dan dikuasai oleh hawa nafsu.
Kedua, sistem-sistem itu bersifat materi murni yang menjadikan ekonomi sebagai orientasi
hidupnya, menjadikan harta sebagai sesembahannya dan dunia seluruhnya menjadi pusat
perhatiannya. Kemewahan materi itulah tujuan akhir dan menjadi surga yang diinginkan.
Adapun dalam Islam, ekonomi dijadikan sarana untuk mencapai tujuan besar, yaitu agar
manusia tidak disibukkan dengan urusan hidup yang melalaikan dari makrifah kepada Allah dan
hubungan baik dengan-Nya serta kehidupan lain yang lebih baik dan abadi. Karena
sesungguhnya, manusia itu apabila terpenuhi kebutuhan dan keamanannya maka mereka
merasa tentram dan berkonsentrasi untuk beribadah kepada Allah dengan khusyuk. Allah Swt.
berfirman, "Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan (Quraisy: 4). Dengan begitu, mereka merasa terikat
dengan ikatan persaudaraan yang kuat antara satu dengan yang lainnya. Inilah tujuan ekonomi
dalam Islam.
Ketiga, ekonomi dalam sistem buatan manusia yang materialis terlepas dari akhlak dan nilai-
nilai luhur. Orientasi sistem ini tidak lain hanyalah produktivitas dan penumpukan kekayaan
pribadi atau kelompok dengan cara apa pun.
Dalam pandangan Islam, ekonomi sekadar pelayan bagi tegaknya nilai-nilai dasar seperti
akidah Islamiyah, ibadah, dan moralitas Islam. Untuk itu, apabila ada pertentangan antara tujuan
ekonomi bagi individu atau masyarakat dengan nilai-nilai dasar tersebut maka Islam tidak mau
peduli dengannya dan mengorbankan tujuan-tujuan itu dengan kerelaan hati. Hal itu dalam
rangka memelihara prinsip-prinsip, tujuan dan keutamaan manusia itu sendiri.
Dari sinilah mengapa Islam mengharamkan haji bagi kaum musyrikin dan mengharamkan
thawaf mereka di Baitullah dengan telanjang. Betapa pun syi'ar agama ini membawa suatu
keuntungan materi bagi penduduk Makkah dan sekitarnya, tetapi Al-Quran menganggap semua
itu kecil dan menjanjikan kepada mereka bahwa Allah akan mengganti untuk mereka yang lebih
baik dari itu. Allah Swt. berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka
janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir
menjadi miskin maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya,
jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (At-
Taubah: 28)

Dengan membuka klub-klub judi, dansa, dan penjualan minuman keras, tentu akan
menghasilkan manfaat ekonomi, seperti mendorong para turis untuk datang serta mendapatkan
mata uang asing. Akan tetapi, manfaat seperti itu tidak ada nilainya dalam pandangan Islam,
karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dalam memelihara kesehatan akal, fisik,
akhlak, akidah dan hubungan sosial. Karena itulah Al-Quran mengharamkan minuman keras dan
judi, sebab pada keduanya terdapat madharat yang besar. Adapun manfaat keduanya dari segi
ekonomi sama sekali tidak perlu diperhitungkan. Allah Swt. berfirman,
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
daripada manfaatnya." (Al-Baqarah: 219).

Dengan demikian maka jelaslah bagi kita bahwa sistem Islam itu benar-benar terpadu dengan
rapi.
Keempat, Islam berbeda dengan paham materialis yang berlebihan dalam mengumbar hawa
nafsu manusia dan memberinya hak yang tak terbatas sehingga membengkak dan melampaui
batas. Islam juga berbeda dengan sosialisme yang berlebihan dalam menekan seseorang dan
membebaninya dengan kewajiban-kewajiban yang berat sehingga tertekan dan merasa terus-
menerus dalam kesulitan.
Paham pertama memihak individu dan mengesampingkan pertimbangan kemaslahatan
bersama. Sedang yang kedua memihak masyarakat dengan menzalimi hak-hak serta kebebasan
individu. Kedua sistem tersebut berlebihan dalam memberikan nilai dunia di atas perhitungan
akhirat, dan memberikan kebutuhan jasmani di atas kebutuhan ruhani. Hanya Islamlah satu-
satunya aturan yang bersih dari ekstrimitas, sebagaimana yang ada pada kedua sistem tersebut.
Islamlah aturan yang adil dalam menimbang antara pemenuhan hak dan kewajiban, individu
dan masyarakat, ruhani dan jasmani, serta antara dunia dan akhirat, tanpa berlebihan dan tanpa
mengurangi. Sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah Swt.,
Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu
dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (Ar-Rahman: 8-9)

Tiadalah yang demikian itu kecuali karena Islam memang syariat Allah, yang bersih dari
penyimpangan dan kezaliman. Allah Swt. berfirman,
Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.
(Al-Ma'idah: 50)

PASAL 10
PERMAlNAN DAN SENI

Hidup adalah perjalanan yang berat yang selalu diliputi dengan tantangan dan rintangan.
Tidak ada orang yang bisa terlepas dari berbagai macam kesedihan dan jerih payahnya, meskipun
ia dilahirkan penuh dengan kesejahteraan, atau sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang,
meskipun ia dilahirkan dengan "sendok emas" di mulutnya. Dalam hal ini, Al- Quran telah
mengisyaratkan dengan firman yang berbunyi, “Sungguh Kami telah menciptakan manusia
berada dalam susah payah" (Al-Balad: 4). Orang beriman adalah orang yang paling besar
cobaannya di dunia, karena jalan penuh bahaya yang ditempuhnya dan banyaknya orang yang
menentang dan meng- halangi langkahnya.
Dalam Atsar juga disebutkan bahwa orang yang beriman berada di antara lima tantangan;
seorang muslim yang mendengkinya, seorang munafik yang membencinya, orang kafir yang
memeranginya, setan yang menyesatkannya, dan nafsu yang memusuhinya."
Sebagaimana disebutkan juga dalam hadits bahwa orang yang paling besar cobaannya adalah
para Nabi kemudian orang yang semisalnya dan seterusnya. Oleh karena itu, semua orang butuh
tempat peristirahatan dalam perjalanannya untuk meringankan kepenatan dalam menjalani
hidup. Manusia butuh sesuatu yang dapat membuatnya gembira, sehingga bisa tertawa,
bersendau gurau dan bersuka cita. Jangan sampai kekalutan dan kesedihan menguasainya,
sehingga hidupnya menjadi sedih dan penuh duka. Di antara cara yang dapat dipakai adalah
berupa nyanyian, sebagaimana yang kita bahas, humor dan hiburan, dan segala sesuatu yang
dapat membuat orang tertawa dan menghilangkan kesedihan di hatinya. Namun, apakah agama
memberikan ruang yang luas untuk seni komedi yang seperti ini, ataukah justru
mempersempitnya? Apakah agama menghalalkan ataukah mengharamkan hal yang seperti ini?

Humor dan Hiburan dalam Kehidupan Kaum Muslimin


Saya melihat orang-orang, sesuai dengan fitrahnya, kemampuannya, dan bekal pengetahuan
terhadap kemurahan agamanya, mereka telah menciptakan macam-macam cara untuk sarana
hiburan dan membuat orang agar bisa tertawa.
Di antaranya adalah plesetan-plesetan yang sangat lihai dilakukan oleh orang-orang Mesir
dan sangat terkenal di masyarakat dengan segala macam dan tujuannya. Di antaranya adalah
plesetan politik yang menertawakan pemerintah dan kroni-kroninya, terlebih di masa
pemerintahan yang otoriter.
Ketika orang-orang sedang duduk bersama, mereka selalu menceritakan kisah yang membuat
mereka tertawa dan sejenak menghilangkan kepenatan. Terkadang mereka menyebutkan nama
tertentu, seperti Juha, Abu Nuwas atau yang lainnya, dan terkadang tidak menyebutkan nama
tertentu.
Bahkan sebagian orang bukan hanya sekedar menceritakan kisah-kisah lucu saja, namun
mereka mampu menciptakan plesetan-plesetan yang alami sebagaimana yang dilakukan oleh
para komedian, seperti Asy'ab, di masa lalu, atau Abdul Aziz Al-Basyari di masa sekarang.
Di Mesir terdapat majalah yang khusus bergerak di bidang ini, yang paling terkenal adalah
majalah Al-Ba'kukah. Disusul kemudian dengan seni yang menggunakan bahasa majaz dan
plesetan terhadap tema tertentu, yang dikemas dalam bentuk dialog. Sebagaimana juga bentuk
permainan yang mengundang tawa dan kegembiraan, seperti jenis permainan Al-Arajuz dan juga
cerita-cerita lucu yang terkenal dengan nama Hawadits yang banyak mengundang tawa dan
kelucuan.
Demikian pula pribahasa rakyat yang kadang banyak mengandung pikiran atau ungkapan
yang dapat mengundang tawa yang diciptakan oleh rakyat melalui para senimannya, baik yang
terkenal maupun yang tidak dikenal, sesuai dengan lingkungan, pemahaman dan nilai-nilai serta
situasi dan kondisi yang menyelimutinya. Di setiap masa banyak ditambahkan sesuatu yang baru,
lelucon yang sudah ada dikembangkan lagi, dan juga kadang sudah tidak dipakai lagi.
Sebagaimana di masa kita sekarang ini, terdapat seni karikatur yang mengubah ide dari sekadar
bahasa yang diucapkan menjadi gambar penuh makna, disertai dengan komentar atau bahkan
tidak sama sekali. Saya ditanya tentang sikap agama tentang humor, komedi, dan tertawa. Orang-
orang mempunyai kesan terhadap sebagian kaum agamawan yang tampak kecut, bermuram
durja dan tidak cerah, bahkah hampir-hampir saja tidak pernah tertawa dan tidak pernah
bergurau, hingga sebagian orang menyangka bahwa watak dari agama dan keberagamaan adalah
memang demikian.
Jawaban saya adalah bahwa tertawa termasuk fitrah manusia. Hewan tidak tertawa; karena
tawa hanya dapat teijadi apabila seseorang dapat memahami dan mengetahui ucapan yang
didengamya atau situasi yang ia lihat. Oleh karena itu, dikatakan bahwa manusia adalah hewan
yang tertawa. Bersesuaian dengan pemahaman ini adalah ungkapan, "Saya tertawa, jadi saya
adalah manusia."
Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah tidak mungkin ia menghilangkan sisi fitrah
yang terdapat dalam diri manusia yang berupa tertawa dan kegembiraan ini, namun justru
sebaliknya, Islam sangat menyambut segala hal yang dapat membuat kehidupan ini menjadi
sumringah dan penuh kebaikan. Islam suka melihat orang yang berkepribadian optimis dan besar
hati. Islam tidak suka terhadap orang yang selalu berkecil hati dan pesimis yang hanya melihat
sisi gelap kehidupan ini saja.
Suri teladan kaum muslimin dalam hal ini adalah Rasulullah Saw., meskipun dengan segala
beban tanggung jawabnya yang besar dan bermacam-macam, Rasul masih saja bisa bersendau
gurau dan hanya mengatakan yang benar saja. Rasul hidup bersama para sahabatnya secara biasa
dan sewajarnya. Rasul menyertai mereka dalam tawa, permainan dan humor mereka,
sebagaimana menyertai dalam kesedihan, duka dan nestapanya.
Ketika diminta untuk bercerita tentang Rasulullah, Zaid bin Tsabit mengatakan, "Aku adalah
tetangganya. Ketika wahyu turun kepada Rasulullah, maka beliau mengutusku dan aku
menuliskan wahyu tersebut untuknya. Ketika kami berbicara tentang dunia, beliau berbicara
tentang dunia bersama kami. Ketika kami berbicara tentang akhirat, beliau berbicara tentang
akhirat bersama kami. Ketika kami berbicara tentang makanan, beliau berbicara tentang
makanan bersama kami." Zaid mengatakan, "Ini yang dapat saya katakan mengenai Rasulullah."
Sahabat-sahabat Rasul menyebutkan bahwa Rasulullah adalah orang yang humoris. Kami
melihat Rasul di rumahnya, ia bersendau gurau dengan istri-istrinya dan mendengarkan cerita-
cerita mereka, sebagaimana yang diceritakan dalam hadits Ummu Zar'i yang terkenal yang
disebutkan oleh Bukhari.
Sebagaimana juga yang kita lihat ketika Rasulullah Saw. berlomba adu cepat dengan Aisyah
r.a., di mana suatu ketika Aisyah mendahuluinya dan di kesempatan yang lain ketika mereka
berdua berlomba lagi, Rasulullah kali ini yang mendahuluinya, maka Rasulullah Saw. berkata
kepadanya, "(Kemenangan) ini untuk (kekalahan) kemarin."
Diriwayatkan juga bahwa suatu ketika Rasulullah merendah- kan punggunyanya untuk dua
cucunya, Hasan dan Husain, agar mereka berdua menaikinya, ketika mereka berdua masih kecil.
Mereka berdua melakukannya dengan tanpa rasa sungkan dan takut. Kemudian datanglah
seorang sahabat dan melihat pemandangan ini, sehingga sahabat tersebut berkata, "Sebaik-baik
kendaraan yang kalian berdua naiki." Maka Rasulullah mengatakan, "Dan sebaik-baik
penunggang adalah mereka berdua."
Kita juga melihat Rasulullah ketika bergurau dengan perempuan tua yang datang kepada
Rasul dan berkata, "Doakanlah kepada Allah agar aku dimasukkan di surga." Maka Rasul berkata
kepadanya, " Wahai Ummu Fulan, sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh orang yang sudah
tua." Maka seketika menangisiah perempuan tersebut, karena ia memahami perkataan
Rasulullah dari zahirnya saja. Tapi kemudian Rasul memahamkannya; bahwa sesungguhnya
ketika perempuan tua tersebut masuk surga, ia tidak memasukinya dalam kondisi tua renta,
namun kembali menjadi muda dan cantik. Rasulullah membacakan firman Allah Swt. tentang
perempuan penghuni surga, "Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari)
dengan langsung, dan Kamijadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya
umurnya." (Al-Waqi'ah: 35-37).
Zaid bin Aslam mengatakan bahwa seorang perempuan yang dikenal dengan nama Ummu
Aiman datang kepada Rasulullah Saw. Ia mengatakan, "Sesungguhnya suamiku mengundangmu."
Maka Rasul berkata, “Siapakah dia? Apakah dia adalah lelaki yang di matanya terdapat putih-
putih?" perempuan tersebut menjawab, "Demi Allah, di matanya tidak terdapat putih-putih."
Kemudian Rasulullah Saw. berkata, "Benar; di matanya terdapat putih-putihPerempuan tersebut
menjawab, "Tidak. Demi Allah." Maka Rasul mengatakan, "Tidak ada seorang pun yang di
matanya tidak terdapat putih-putih." Rasulullah menghendaki warna putih yang di kelilingi oleh
bulu mata.
Anas mengatakan, "Abu Thalhah mempunyai anak yang dikenal dengan nama Abu Umair,
sedangkan pada suatu ketika Rasulullah mendatangi mereka seraya berkata, "Wahai Abu Umair,
apa yang dilakukan oleh An-Naghir?" An-Naghir adalah anak burung yang sedang dibuat mainan
oleh Abu Umair.
Aisyah r.a. mengatakan, "Suatu ketika saya menjamu Rasulullah Saw. dan Saudah binti
Zam'ah, maka aku membuat Harirah (sejenis makanan yang terbuat dari tepung dan dimasak
dengan susu atau krim) dan membawanya kepada mereka. Aku berkata kepada Saudah,
"Makanlah." Saudah menjawab, "Aku tidak menyukainya." Maka aku berkata, "Demi Allah, kamu
harus memakannya atau aku akan menumpahkannya di mukamu." Saudah mengatakan, "Aku
tidak dapat mencicipinya." Maka aku mengambil sebagian darinya dari wadah dengan tanganku
dan aku tumpahkan di mukanya. Sedangkan pada saat itu Rasulullah Saw. dalam posisi duduk
antara saya dan Saudah. Maka Rasul merendahkan kedua lututnya agar aku tertahan. Maka aku
makan sesuatu dari wadah dan aku usap mukaku dengannya. Hal itu membuat Rasul tertawa.
Diriwayatkan bahwa Adh-Dhahak bin Sufyan Al-Kilaby adalah seorang yang buruk mukanya.
Ketika Rasulullah Saw. membaiatnya, Adh-Dhahak mengatakan, "Sesungguhnya aku mempunyai
dua isteri yang lebih cantik dari Hurnaira' ini— peristiwa ini terjadi sebelum turun ayat hijab—
tidakkah aku berikan salah satunya agar kamu nikahi?!" sedangkan pada saat itu Aisyah duduk
mendengarkan. Maka Aisyah berkata, "Mana yang lebih baik, perempuan itu ataukah kamu?"
Adh-Dhahak menjawab, "Aku lebih baik darinya dan lebih mulia." Maka Rasulullah Saw. tertawa
karena pertanyaan Aisyah kepada Adh-Dhahak tersebut, karena Adh-Dhahak tersebut hitam
legam dan buruk wajahnya.
Rasulullah Saw. suka menyebarkan kesenangan dan keceriaan dalam kehidupan orang-
orang, terlebih ketika berkenaan dengan hari-hari raya dan pesta pernikahan. Ketika Abu Bakar
Ash-Shiddiq menentang dua gadis yang menyanyi di rumahnya, maka Rasul berkata kepadanya,
"Biarkan mereka berdua, wahai Abu Bakar; sesungguhnya ini adalah hari raya." Dalam riwayat
yang lain disebutkan, "Agar orang Yahudi mengetahui bahwa sesungguhnya dalam agama kita
terdapat kelapangan."
Rasulullah Saw. mengizinkan lelaki Habasyah bermain dengan pedang-pedangannya di
masjid Rasul di salah satu hari raya. Rasul memotivasinya dengan mengatakan, "Ayo, wahai bani
Arfidah." Rasul juga memberikan kesempatan kepada Aisyah untuk melihat mereka dari belakang
Rasul ketika mereka sedang bermain dan menari. Rasul menganggap hal tersebut tidak apa-apa
dan tidak dosa.
Pernah juga suatu ketika, Rasul mengingkari perempuan yang menikah dengan seorang lelaki
dalam keadaan sepi, dan tidak disertai dengan pesta dan nyanyian. Rasul berkata, "Marilah,
sebaiknya ada hiburannya. Sesungguhnya kaum Anshar suka dengan hiburan atau syair Gazal."
Dalam riwayat lain disebutkan, “Marilah kalian perintahkan seseorang untuk bernyanyi
bersamanya dan menyenandungkan, "Kami datang kepadamu, kami datang kepadamu, kalian
sambut kami dan kami menyambut kalian."
Para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik di sebaik-baik masa
dalam sejarah umat, mereka pun tertawa dan bersendau gurau. Mereka mengikuti Nabi Saw.
dengan segala petunjuknya. Dalam hal ini kita dapat melihat orang semacam Umar bin Khatab
yang terkenal dengan ketegasan dan kekerasannya pun diriwayatkan melakukan gurauan
terhadap seorang budak perempuannya. Umar berkata kepadanya, "Aku diciptakan oleh Sang
Pencipta kebaikan. Sedangkan kamu diciptakan oleh Sang Pencipta kesedihan." Ketika Umar
melihat reaksi perempuan tersebut karena mendengar perkataan ini, maka Umar berkata
kepadanya untuk menjelaskan, "Adakah Sang pencipta kebaikan dan kesedihan selain Allah?"
Sebagian sahabat telah mengenal hal ini di masa hidup Rasulullah Saw. dan Rasul pun
mengakuinya, dan tetap berlangsung di masa setelahnya. Para sahabat menerimanya, dan tidak
menganggapnya sebagai sesuatu yang diingkari, meskipun andai sebagian peristiwa tersebut
terjadi di masa sekarang niscaya akan diingkari dengan sangat oleh sebagian besar para kaum
agamawan. Mereka akan menganggap orang yang melakukannya telah berbuat fasik dan
menyimpang.
Di antara orang yang terkenal dengan karakter humor dan sendau gurau yang sering
mengundang tawa adalah An-Nuaiman bin Umar Al-Anshary. Banyak kisah-kisah unik dan langka
tentang dia yang diriwayatkan.
Diriwayatkan bahwa ia termasuk sahabat yang mengikuti Baiat Al-Aqabah yang terakhir,
mengikuti perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq, dan lainnya.
Zubair bin Bakkar meriwayatkan sejumlah kisah unik dan langka dalam kitabnya yang
berjudul Al-Fukahah wa Al-Marah yang berarti humor dan gurauan, yang akan kami sebutkan
sebagiannya di sini.
Alkisah, disebutkan bahwa An-Nuaiman memasuki Madinah dengan membawa makanan.
Kemudian ia datang menyerahkan makanan tersebut kepada Nabi Saw. dan berkata, "Ini aku
hadiahkan kepadamu." Kemudian ternyata datang pemiliknya mencari Nuaiman bermaksud
meminta harganya yang harus dibayar. Maka Nuaiman membawa pemilik makanan tersebut
kepada Rasulullah Saw. seraya berkata, "Berikan kepada orang ini harga barang dagangannya."
Maka Rasul berkata kepadanya, uBukankah kamu menghadiahkannya kepadaku?" Nuaiman
menjawab, "Sesungguhnya, demi Allah, aku tidak dapat membayar harganya, namun aku ingin
engkau memakannya." Maka Rasul pun tertawa dan memerintahkan sahabatnya untuk
membayar harganya.
Zubair juga menceritakan kisah lain yang diriwayatkan oleh Rabi'ah bin Utsman, ia
mengatakan, "Seorang Arab pedalaman datang kepada Nabi Saw. dan menderumkan untanya di
pelataran Rasul. Kemudian sebagian sahabat berkata kepada Nuaiman Al-Anshary, "Andai kamu
menyembelihnya dan kami dapat memakannya. Sesungguhnya kami telah sangat bernafsu pada
daging." Maka Nuaiman melakukannya. Kemudian orang Arab pedalaman tersebut keluar dan
berteriak histeris, "Untaku disem- belih, wahai Muhammad!" maka Rasul keluar dan berkata,
"Siapakah yang melakukan ini?" Mereka mengatakan, "Nuaiman." Maka Rasul mengikutinya dan
bertanya-tanya tentang dia, hingga Rasul menemukannya telah masuk di rumah Dhaba'ah binti
Zubair bin Abdul Muthalib. Ia bersembunyi di bawah lobang yang atasnya ditutupi pelepah
kurma. Seseorang memberikan isyarat kepada Rasul Saw. mengenai tempat bersembunyi Nuai-
man, sehingga Rasul mengeluarkannya dan berkata kepadanya, "Apa yang membuatmu
melakukan apa yang kamu lakukan?" Nuaiman menjawab, "Orang-orang yang menunjukkanmu
di mana keberadaanku adalah orang-orang yang memerintahkanku melakukan hal itu." Maka hal
itu membuat Rasul membersihkan debu di wajah Nuaiman dan tersenyum tertawa, kemudian
membayar ganti harga unta kepada orang Arab pedalaman tersebut.
Zubair juga mengatakan, "Pamanku berkata kepadaku tentang kakekku. Ia mengatakan,
"Makhramah bin Naufal telah berumur seratus lima belas tahun. Suatu ketika ia pergi ke masjid
bermaksud untuk kencing. Maka orang-orang berteriak, "Masjid, masjid." Dengan segera
Nuaiman bin Amr menangkap Makhramah dengan tangannya dan mendudukkannya di sisi lain
di masjid, seraya berkata kepadanya, "Lakukanlah di sini." Maka orang-orang pun berteriak,
sehingga Makhramah mengatakan, "Celaka kalian, siapakah yang membawaku ke tempat ini?!"
orang-orang menjawab, "Nuaiman." Kemudian Makhramah berkata, "Demi Allah, sesungguhnya
apabila aku mendapatkannya, niscaya aku akan memukulnya dengan tongkatku ini dengan
pukulan yang keras." Maka sampailah berita tersebut kepada Nuaiman. Hal ini membuat
Nuaiman bersembunyi beberapa waktu. Kemudian di suatu hari Makhramah menemukan
Nuaiman, pada saat itu Utsman sedang shalat di sisi masjid. Maka Nuaiman berkata kepada
Makhramah, "Apakah kamu punya urusan dengan Nuaiman?" Makhramah menjawab, "Ya."
Maka Nuaiman membawa Makhramah dengan tangannya dan menempatkannya di sisi Utsman,
dan Utsman ketika shalat tidak menoleh. Kemudian Nuaiman berkata, "Di sisimu ini Nuaiman."
Lalu Makhramah menggenggamkan tangannya di tongkatnya dan memukul selangkangan
Utsman. Hal ini membuat orang-orang berteriak kepadanya, "Kamu telah memukul Amirul
Mukminin!"
Terdapat kisah-kisah unik lain dari seorang sahabat lain yang mempunyai karakter humor
dan sendau gurau. Ia mampu "mengerjai" Nuaiman yang biasanya mengerjai orang lain.
Sebagaimana dalam kisah Suwaibith bin Harmalah. Ia adalah seorang sahabat yang juga ikut
perang Badar. Ibnu Abdul Barr dalam kitab Al-Isti'ab ketika menulis tentang Suwaibith r.a.
mengatakan, "Suwaibith adalah orang yang humoris yang kadang berlebihan. Ia mempunyai
kisah unik bersama dengan Nuaiman dan Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang akan kami ceritakan di sini
karena sangat unik dan mengandung pesan moral yang baik.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia mengatakan, "Abu Bakar Ash-Shiddiq pergi ke Bashra
untuk berdagang. Peristiwa ini terjadi setahun sebelum wafat Rasulullah Saw. Ia ditemani oleh
Nuaiman dan Suwaibith bin Harmalah. Keduanya adalah sahabat-sahabat yang turut dalam
perang Badar. Pada saat itu, Nuaiman membawa bekal. Maka Suwaibith—dia adalah orang yang
suka humor—berkata kepadanya, "Berilah aku makan." Nuaiman menjawab, "Tidak boleh,
hingga Abu Bakar datang." Kemudian Suwaibith berkata, "Sungguh, aku akan membuatmu
marah." Akhirnya mereka melanjutkan perjalanan dan melewati suatu kaum. Suwaibith berkata
kepada mereka, "Apakah kamu mau membeli budak dari kami?" Mereka menjawab, "Ya."
Suwaibith berkata, "Ia adalah budak yang selalu berkata. Ia akan mengatakan kepada kalian,
"Saya adalah orang merdeka." Apabila ia berkata kepada kalian perkataan ini, maka tinggalkanlah
dia. Jangan rusak budakku." Kaum tersebut mengatakan, "Tidak. Kami akan membelinya darimu."
Suwaibith mengatakan, "Kalau begitu belilah dia sepuluh Qala'ish." Maka orang- orang tersebut
datang dan meletakkan sorban atau tali di leher Nuaiman. Nuaiman berkata, "Orang ini
menertawakan kalian. Sesungguhnya aku adalah orang merdeka. Aku bukan budak." Orang-
orang menjawab, "Telah diceritakan kepada kami tentangmu." Maka orang-orang pergi dengan
membawanya. Kemudian datanglah Abu Bakar dan Suwaibith segera menceritakan kisah
tersebut. Dengan segera Abu Bakar mengikuti mereka dan mengembalikan harga kepada mereka
serta mengambil kembali Nuaiman. Ketika kembali kepada Nabi Saw., mereka menceritakan
kisah tersebut kepadanya, maka Rasul dan sahabat-sahabanya dibuat tertawa olehnya.

Sikap Orang yang Mutasyaddid


Tidak diragukan lagi bahwa di sana terdapat para bijak, sastrawan, dan orang-orang yang
mencela sendau gurau serta memperingatkan atas akibat buruk yang terjadi. Mereka melihat sisi
negatifnya dan tidak melihat sisi-sisi yang lain.
Namun apa yang terjadi pada Rasulullah Saw. dan para sahabatnya lebih patut untuk ditiru.
Rasul berkata kepada Hanzhalah ketika terperanjat dan kecewa dengan perubahan sikapnya
ketika di rumah dan sikapnya ketika bersama Rasulullah Saw. Hanzhalah menyangka dirinya
sendiri telah berlaku munafik. Rasul berkata, uWahai Hanzhalah, apabila kamu tetap dalam
kondisimu seperti ketika kamu bersamaku, niscaya malaikat akan menyalamimu dijalan-jalan.
Namun, wahai Hanzhalah, sebagian waktu begini, dan sebagian waktu begituInilah fitrah. Inilah
keadilan.
Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari Abu Salamah bin Abdurrahman, ia mengatakan, "Para
sahabat Rasul tidak tertutup. Mereka menyenandungkan syair dan menceritakan perihal masa
jahiliah mereka. Ketika salah satu dari mereka dikehendaki dalam salah satu urusan agamanya,
maka bola matanya berputar seperti orang gila.
Ibnu Sirin ditanya tentang sahabat, "Apakah mereka bergurau?" ibnu Sirin menjawab,
"Mereka hanya seperti manusia biasa." Ibnu Umar juga bersendau gurau dan menyenandungkan
syair.
Dari sini bisa dilihat bahwa sikap sekelompok ahli agama dan mereka yang sangat
bersemangat dalam agama, serta wajah cemberut mereka yang mereka sangka bahwa sikap ini
adalah berasal dari agama, sebenarnya tidaklah mencerminkan hakikat agama itu sendiri dan
juga tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. Sikap itu akibat dari
kesalahpahaman mereka terhadap agama Islam, selain karena karakter pribadi, atau karena
situasi dan kondisi tempat hidup mereka serta pendidikan yang diperolehnya.
Terlepas dari itu semua, seorang muslim mengerti benar bahwa Islam tidak bisa disalahkan
karena perilaku seseorang atau kelompok orang yang bisa benar dan bisa salah. Islam adalah
hujjah bagi mereka. Bukan mereka yang menjadi hujjah bagi Islam. Karena sesungguhnya Islam
disandarkan pada Al- Quran dan Hadits yang sahih.

Batasan Agama dalam Humor dan Tertawa


Tertawa, sendau gurau dan humor merupakan sesuatu yang diperbolehkan dalam agama,
sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash qauly dan juga sikap-sikap yang diambil oleh Rasulullah
dan para sahabatnya. Semua itu dilakukan karena demi memenuhi kebutuhan fitrah manusia
untuk mendapatkan sesuatu yang dapat meringankan beban dan kerasnya kehidupan serta jerih
payahnya. Humor dan hiburan seperti ini berfungsi untuk menyegarkan kembali diri seseorang
agar mampu untuk melanjutkan perjalan dalam mengemban tugas yang panjang, sebagaimana
seseorang mengistirahatkan kendaraannya dalam perjalanan agar dapat digunakan lagi dengan
baik. Diperbolehkannya tertawa, sendau gurau dan humor merupakan sesuatu yang tidak
disangkal lagi, namun hal tersebut diberi batasan-batasan dan syarat yang harus dijaga, sebagai
berikut.
Pertama, tidak boleh menggunakan kebohongan dan dusta sebagai alat untuk mengundang
tawa, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang yang mereka namakan dengan April
Mop. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. bersabda, "Celakalah orang yang berbicara dan berbohong
agar orang-orang tertawa. Celaka dia. Celaka dia. Celaka dia." Rasulullah Saw. melakukan
sendau gurau namun hanya mengatakan yang benar.
Kedua, humor tidak boleh dilakukan untuk menghina orang lain dan melecehkannya, kecuali
apabila orang tersebut telah mendapatkan izin dan kerelaan darinya. Allah Swt. berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu
lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran
yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah
iman dan barangsiapa yang tidak bertobat maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-
Hujurat: 11)

Dalam shahih Muslim disebutkan, "Cukuplah seseorang itu dianggap jahat ketika ia
menghina temannya yang muslim."
Diriwayatkan bahwa Aisyah menyebut salah satu madunya di depan Nabi dan mensifatinya
dengan buruk dan mencelanya, maka Rasul berkata, "Wahai Aisyah, sesungguhnya kamu telah
mengatakan sesuatu, andai kamu campur dengan air laut niscaya kamu akan mengeruhkannya."
Aisyah berkata, "Aku menceritakan seseorang dengan menirukan gerakan atau suara dan
yang semisalnya, maka Rasul berkata, ' Aku tidak suka mendengar cerita tentang seseorang
dengan begini dan begini"
Ketiga, tidak untuk menakuti dan mengagetkan kaum muslimin. Abu Dawud meriwayatkan
dari Abdurrahman bin Abu Laila, ia mengatakan, "Para sahabat Nabi menceritakan kepada kami
bahwa ketika mereka berjalan bersama Rasulullah Saw., maka berdirilah seorang lelaki darinya,
kemudian sebagian dari mereka mengambil tali yang ada padanya dan mengambilnya, hal ini
membuatnya takut. Maka Rasulullah Saw. berkata, “Tidak halal seseorang menakutkan seorang
muslim."
Diriwayatkan dari Nu'man bin Basyir, ia mengatakan, "Kami bersama Rasulullah Saw. dalam
suatu perjalanan. Kemudian tiba-tiba seseorang mengantuk di kendaraannya. Maka salah
seorang yang lain mengambil panah dari sarungnya sehingga lelaki yang mengantuk tadi terkejut
dan takut. Lalu Rasulullah Saw. bersabda, "Tidak halal seseorang menakutkan seorang muslim
(HR. Ath-Thabrani).
Dilihat dari suasananya, dalam peristiwa ini orang yang melakukan perbuatan tersebut
bermaksud untuk bergurau. Dalam hadits lain disebutkan, "Salah satu kalian tidak boleh
mengambil barang saudaranya baik bergurau maupun sungguh-sungguh." (HR. At-Tirmidzi dan
dianggap hadits hasan).
Keempat, tidak bergurau dalam situasi yang seharusnya serius. Tidak tertawa dalam suasana
yang seharusnya menangis. Segala sesuatu ada tempatnya. Setiap kondisi ada caranya tersendiri.
Hikmahnya adalah agar menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya.
Dalam syair disebutkan:
Ketika bersungguh-sungguh di waktu serius
maka kesungguhan ini akan membuatmu ridha.
Dan orang yang bergurau apabila kamu ingin,
maka gurauannya membuatmu senang.
Syair yang lain mengatakan;
Aku bergurau
karena sendau gurau bagus untuk seorang pemuda.
Sesungguhnya aku orang yang serius
ketika orang-orang serius.

Ashmu'i meriwayatkan bahwa ia melihat seorang perempuan di pedalaman sedang shalat di


atas sajadahnya dengan khusyuk dan tenang. Ketika sudah selesai shalat, maka ia berdiri di depan
cermin untuk berhias dan mempercantik diri. Maka Ashmu'i mengatakan kepadanya, "Di
manakah yang ini dari yang itu?" Maka perempuan tersebut menyenandungkan syair ini;
Baginya dariku
mempunyai sisi yang tidak akan aku sia-siakan.
Hiburan adalah dariku
dan kepahlawanan adalah sisi yang lain dariku.

Ashmu'i mengatakan, "Maka aku bam mengerti bahwa ia adalah perempuan ahli ibadah yang
mempunyai suami dan ia berhias untuknya." Allah Swt. berfirman,
Maka apakah kamu merasa heran dengan pemberitaan ini dan kamu mentertawakan dan
tidak menangis? sedang kamu melengahkan(nya)? (An-Najm: 59-61)

Allah Swt. mencela orang-orang musyrik yang tertawa ketika mendengar Al-Quran, padahal
semestinya ia harus menangis.
Kelima: sendau gurau dilakukan sekedarnya saja, seimbang dan tidak berlebihan yang masih
dapat diterima oleh akal dan fitrah yang sehat serta sesuai dengan masyarakat yang positif. Islam
tidak suka berlebihan dan melewati batas dalam segala sesuatu, meskipun dalam hal ibadah,
terlebih dalam hal hiburan dan sendau gurau. Oleh karena itu, tuntunan Nabi Saw. mengajarkan,
“Janganlah kalian terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan
hati." Tertawa yang dilarang adalah yang dilakukan secara berlebihan dan terlalu.
Ali r.a. mengatakan, "Berilah humor dalam perkataan seperti kamu memberikan garam pada
makanan." Ini adalah perkataan bijak yang menunjukkan perlunya humor, sebagaimana juga sisi
negatif yang bisa terjadi apabila dilakukan secara berlebihan. Sebaik-baik perkara adalah yang
sedang-sedang saja. Inilah karakter Islam dan metodenya serta titik kelebihan Islam dari yang
lainnya.

Kebutuhan terhadap Hiburan


Sebagaimana rakyat mengenal lagu untuk dinikmati telinga, seni lukis dan fotografi untuk
dinikmati mata, seni humor dan hiburan yang membuat mulut tertawa, mereka juga mengenal
seni-seni yang lain untuk mengusir kejenuhan dan kebosanan dalam menjalani hidup, dalam
berbagai bentuk permainan, baik yang kita kenal maupun yang tidak kita kenal, yang
dipergunakan untuk mengisi waktu luang dalam satu sisi, dan di sisi yang lain juga mempunyai
manfaat tersendiri.

Macam-Macam Permainan di Masyarakat


Sebagian permainan ini, di masa sekarang dikenal dalam kategori olahraga, seperti renang,
lomba lari, loncat dengan segala macamnya, olahraga kekuatan, senam, permainan bola dengan
segala ragamnya, dan ski di salju.
Sebagian yang lain, permainan ini lebih dekat dengan seni dalam militer, seperti memanah,
bermain pedang, dan menunggang kuda. Sebagian yang lain berbentuk hiburan dan
membutuhkan banyak waktu.
Di antaranya ada yang berbentuk olah otak, seperti permainan catur, domino, dan sebaginya.
Di antaranya juga ada yang hanya mengandalkan keberuntungan, seperti permainan kartu.
Di antara permainan ini ada yang dapat dilakukan sendirian, ada yang harus dua orang,
seperti gulat dan tinju, dan ada yang membutuhkan dua grup, seperti permainan tarik tambang,
yang merupakan permainan rakyat sejak dahulu kala, dan sepak bola.
Di antaranya juga ada yang berbentuk lomba adu cepat; antara dua orang, dua kelompok,
atau sekumpulan individu atau sekumpulan kelompok.
Di antaranya juga ada jenis permainan tipuan, yang dilakukan dengan mengandalkan
kecepatan tangan, atau bahkan memang benar-benar sihir.
Ada juga jenis permainan akrobatik, seperti yang disajikan oleh sirkus dengan kemampuan
yang luar biasa. Ada juga jenis permainan yang menggunakan manusia dengan burung atau
hewan yang lainnya, seperti permainan balap burung merpati, sabung ayam jago, sabung
kambing, dan juga adu banteng. Sebagaimana juga permainan dengan kera dan beruang dengan
cara melatihnya terlebih dahulu sehingga dapat melakukan hal yang menakjubkan. Demikian juga
permainan kuda menari, gajah, dan yang lebih menakjubkan lagi adalah menjinakkan singa dan
harimau.
Dalam festival rakyat seperti di Negara Mesir misalnya, dalam hari-hari besar mereka,
masyarakat banyak menyaksikan permainan yang diwarisi dari nenek moyang mereka, maupun
yang mereka ciptakan sendiri. Setiap rakyat puny a permainan semacam ini yang terbuka lebar
untuk diperbaharui, sebagaimana yang kita lihat di televisi. Pertanyaan besarnya adalah apakah
sikap Islam dalam hal ini?

Sikap Islam
Sikap Islam mengenai permainan yang bermacam-macam dapat dijelaskan sebagaimana
berikut ini.

Permainan yang Diperbolehkan Islam


Islam tidak melarang hiburan dengan berbagai macam permainan. Bahkan Islam menganggap
semua itu diperbolehkan, yang memang dibutuhkan oleh setiap individu; meskipun hanya
bertujuan untuk hiburan, menghilangkan kepenatan dan bersenang-senang. Hal-hal mengenai
diperbolehkannya tertawa, bernyanyi, dan apa yang akan kami tuturkan dari Al-Ghazali, Ibnu
Hazm dan yang lainnya juga akan disebutkan di sini.
Bahkan dalam hal ini terdapat macam permainan yang justru di dorong oleh Islam, seperti
permainan-permainan yang masuk kategori olahraga, atau militer, karena membuat tubuh kuat
dan mengasah kecakapan dan kemampuan. Dalam hadits dijelaskan juga mengenai motivasi
untuk berlatih memanah, menunggang kuda, dan seorang mukmin yang kuat lebih baik daripada
seorang mukmin yang lemah.
Islam memberlakukan dua hari raya; yaitu Idul Fitri dan Idul Adha, sebagai ganti dari dua hari
yang sebelumnya di masa jahiliah dipergunakan oleh kaum Anshar untuk bermain. Rasulullah
juga mengizinkan orang Habasyah menari dengan peralatan perangnya di masjid Rasul di waktu
hari ray a. Rasul memotivasinya dengan mengatakan, "Ayo, wahai bani Arfidah." Sebagaimana
disebutkan di atas.

Permainan-Permainan yang Dilarang oleh Islam


Islam menjaga diri dari sebagian permainan yang bertentangan dengan nilai dan ajaran-
ajarannya, seperti berikut ini.
1. Permainan yang mempunyai risiko tinggi dan tidak begitu penting, seperti tinju. Karena
permainan ini dapat menyakiti diri sendiri maupun orang lain tanpa alasan yang benar.
2. Permainan yang menampakkan tubuh perempuan—tubuh yang tidak halal dilihat—di depan
lelaki asing, sebagaimana yang terjadi dalam olahraga renang, senam, dan lainnya.
Semestinya para perempuan mempunyai tempat renang dan tempat bermain tersendiri yang
tidak dimasuki oleh lelaki.
3. Permainan yang dilakukan dengan sihir. Permainan ini termasuk dosa besar dan haram
diajarkan atau dipertontonkan kepada orang-orang.
4. Permainan yang dilakukan dengan menipu manusia karena untuk memakan harta mereka
dengan batil, sebagaimana yang dikenal masyarakat di Mesir dengan permainan Tiga kertas'.
5. Permainan yang membuat hewan atau burung disakiti, seperti sabung ayam atau kambing.
Sudah ada larangan mengadu hewan. Manusia tidak boleh mencari hiburan dengan tontonan
bersimbah darah. Barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak disayangi.
6. Permainan yang hanya mengandalkan keberuntungan saja, seperti permainan kartu, yang
dikenal oleh masyarakat mesir sebagai ath-thawilah. Lain halnya dengan permainan yang
masih bersifat mengasah otak seperti catur. Menurut pendapat yang rajih, catur hukumnya
boleh dengan syarat, sebagaimana sudah saya jelaskan di buku Al-Halal wa Al-Haram dan
juga saya jelaskan di juz dua buku Fatawa Muashirah.
7. Permainan yang mengandung perjudian. Sesungguhnya permainan ini sejajar dengan khamr,
yang merupakan sesuatu yang keji dari perbuatan setan.
8. Permainan yang merendahkan kemuliaan manusia, melecehkannya, dan menjadikannya
sebagai barang tertawaan bagi orang lain, baik yang ditertawakan itu individu tertentu atau
golongan tertentu, seperti orang buta, orang negro, atau orang yang mempunyai profesi
tertentu, kecuali dalam batas yang diperbolehkan oleh adat umum. Allah Swt. berfirman, "Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan
yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu
lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiridan jangan memanggil dengan gelaran
yang mengandung ejekan. Seburuk-burukpanggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah
iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."
(Al-Hujurat: 11)
9. Berlebihan dalam bermain sehingga mengalahkan sesuatu yang lain. Permainan merupakan
kebutuhan tersier maka tidak selayaknya ia mengalahkan sesuatu yang sekunder, terlebih
sesuatu yang primer.
Segala sesuatu yang mubah diperbolehkan dengan syarat tidak berlebihan. Sesungguhnya
Allah tidak suka orang yang melebihi batas. Dan mubah diperbolehkan dengan syarat tidak
sampai meninggalkan kewajiban agama maupun dunia. Masyarakat muslim dituntut—
sebagaimana juga setiap individu— agar menjalankan tugas secara seimbang dan memberikan
hak sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, permainan sepak bola tidak boleh mengalahkan dan
meniadakan semua permainan dan olah raga, terlebih tentunya terhadap sesuatu yang lebih
penting lagi dari itu semua, seperti beribadah kepada Allah, memakmurkan bumi, dan menjaga
hak-hak makhluk, yang mana terkadang di sebagian negara, permainan sepak bola ini sudah
seperti berhala yang disembah dan pemainnya dibeli dengan harga yang sangat tinggi. Bahkan
sebagian cendekiawan tidak dapat menandingi, karena sekarang bakat kaki lebih penting dari
pada bakat otak. Manusia sekarang lebih mementingkan bawahnya dari pada atasnya.

Hilangnya Kebenaran dalam Sikap Ghuluw dan Tafrith


Sepertinya, masalah pelik yang berhubungan dengan masyarakat muslim adalah bidang
hiburan dan seni. Dalam hal ini, banyak orang terkelompokkan dalam dua kubu, yaitu kelompok
yang memperbolehkan dan kelompok yang memberlakukan aturan dengan ketat secara
berlebihan. Dikarenakan masalah ini lebih banyak berhubungan dengan perasaan dan hati dari
pada berhubungan dengan akal dan pikiran, maka sesuatu hal yang bersifat seperti ini biasanya
diterima secara berlebihan dan di sisi lain ditanggapi secara sangat ketat.
Sebagian orang beranggapan bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat ibadah,
masyarakat yang serius dan bekerja keras, tidak ada ruang untuk bermain dan berhibur di
dalamnya, atau tertawa dan bersendau gurau, tidak ada nyanyian dan tarian, bibir tidak boleh
tersenyum, mulut tidak boleh tertawa, hati tidak boleh bergembira bahkan wajah pun tidak boleh
tersirat keceriaan dan kegembiraan.
Barangkali saja hal ini terlihat dari kesan sebagian kaum agamawan yang selalu tampak
masam, berkerut, dan kecut. Hal ini bisa jadi karena ia seorang yang putus asa, gagal, sakit, dan
tidak memahami agama dengan baik, namun ia menggunakan nama agama untuk membungkus
perilaku tersebut. Sedangkan agama tidak punya kesalahan sama sekali, kecuali kesalah-
pahaman orang-orang tersebut tehadap agamanya, yang hanya mengambil sebagian nash
dengan meninggalkan nash yang lain. Boleh-boleh saja orang-orang seperti ini memberlakukan
dengan ketat keyakinan ini atas dirinya, apabila dia memang ingin demikian. Namun, bahayanya
adalah apabila ia bermaksud memberlakukan hal ini kepada seluruh masyarakat; memaksa
mereka untuk mengikuti pendapatnya di dalam masalah yang pelik ini, yang menyentuh
kehidupan banyak orang.
Kebalikan dari sikap orang tadi adalah orang-orang yang melepaskan syahwatnya begitu saja.
Mereka menjadikan hidup ini sebagai permainan dan hiburan. Semua peraturan agama tidak
diindahkan. Tidak dibedakan lagi antara halal dan haram, antara yang diwajibkan dan yang
dilarang. Kalian akan melihat mereka menyerukan untuk terlepas dari segala aturan,
menghalalkan semua hal, menyerukan kekejian, baik yang tampak maupun yang tersimpan,
dengan mengatasnamakan seni, atau hiburan. Mereka lupa bahwa yang dianggap adalah
hakikatnya dan kandungannya bukan nama dan judul. Segala sesuatu sesuai dengan maksud dan
tujuannya. Oleh karena itu, permasalahan ini harus diberikan pandangan secara adil—jauh dari
sikap berlebihan, baik yang membolehkan maupun yang ketat—didasarkan pada nash-nash yang
benar dan kuat serta jelas. Demikian pula harus sesuai dengan maqashid syariah dan kaidah-
kaidah fikih yang telah diakui. Namun di sini saya tidak dapat membahasnya secara lebih
terperinci lagi, karena saya sudah menulisnya dalam banyak buku saya, khususnya dalam buku
Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam dan kitab Fatawa Muashirah jilid satu dan dua.

Sikap Islam dalam Berinteraksi


Secara ringkas, hal-hal yang ingin saya sebutkan di sini tercermin dalam dasar-dasar berikut
ini: bahwa sesungguhnya Islam adalah agama yang riil dan logis. Ia berinteraksi dengan semua
unsur manusia; jasmani, ruhani, akal, dan perasaan. Islam memerintahkan manusia agar
memenuhi semua kebutuhan tersebut secara seimbang, yang merupakan sifat dari
ibadurahman; tidak berlebihan dalam menafkahkan harta dan juga tidak pelit. Ia sedang-sedang
saja. Etika semacam ini tidak hanya dalam urusan harta saja, namun sudah menjadi moral dasar
di setiap hal. Metode seimbang bagi umat yang seimbang. Apabila olah raga menjadi konsumsi
tubuh, ibadah menjadi konsumsi ruh, dan ilmu konsumsi akal, maka seni adalah konsumsi
perasaan. Yang kami maksudkan dengan seni di sini adalah seni indah dan mulia yang dapat
memuliakan manusia, bukannya yang merendahkan mereka.

Al-Quran Mengingatkan Unsur Manfaat dan Keindahan pada Semesta


Apabila jiwa seni adalah perasaan terhadap keindahan, maka inilah yang dimaksudkan oleh
Al-Quran dengan memberikan peringatan dan menguatkannya di lebih dari satu tempat. Al-
Quran memberikan perhatian besar pada unsur keindahan yang diciptakan oleh Allah pada setiap
ciptaannya, di samping juga perhatian terhadap unsur manfaat di dalamnya. Sebagaimana
perintah terhadap manusia untuk menikmati keindahan dan memanfaatkannya.
Dalam menampilkan karunia yang berupa hewan ternak, Allah Swt. berfirman, “Dan Dia telah
menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan
berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan" (An-Nahl: 5). Dalam ayat ini Al-
Quran mengingatkan sisi manfaat yang ada pada hewan ternak tersebut. Kemudian Allah Swt.
berfirman lagi, "Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu
membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan"
(An-Nahl: 6). Ayat ini mengingatkan kita tentang seni indah ciptaan Tuhan yang tidak dapat
dilakukan oleh seorang seniman, dan hanya dapat dilakukan oleh Kekuasaan Sang Pencipta.
Masih dalam satu tema, Allah Swt. berfirman, "Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagaldan
keledai, agar kamu menung- ganginyadan (menjadikannya) perhiasan. (An-Nahl: 8).
Kemampuan untuk ditunggangi memberikan manfaat materi yang sangat besar. Sedangkan
perhiasan merupakan kenikmatan yang berupa keindahan seni. Dengannya terwujudlah
pemenuhan kebutuhan manusia semuanya.
Masih dalam tema ini dan dalam surat yang sama, Allah Swt. memberikan anugerah dengan
menaklukkan laut. Allah Swt. berfirman,
Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan
daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan
yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari
(keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (An-Nahl: 14)

Allah tidak hanya menyebutkan manfaat dari unsur materi yang terdapat dalam daging segar
yang dapat dimakan dan sangat berguna untuk tubuh, bahkan juga disebutkan di situ mengenai
perhiasan yang dapat dipakai yang bisa dinikmati oleh mata dan jiwa.
Ajaran dalam Al-Quran ini banyak ditemukan di beberapa tempat, seperti tentang tumbuhan,
tanaman, kurma, anggur, zaitun, delima, yang serupa dan yang tidak serupa. Allah Swt. berfirman
dalam surat Al-An'am, “Makanlah kalian dari buahnya ketika berbuah dan sampaikanlah haknya
di saat panen dan janganlah kalian melewati batas."
Di tempat lain dalam surat ini, setelah menyebutkan tanaman dan kebun kurma serta anggur,
Allah Swt. berfirman, "Lihatlah buahnya ketika sudah berbuah dan matang. Sesungguhnya dalam
hal tersebut terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang- orang yang beriman."
Apabila tubuh membutuhkan makan buah-buahan ketika sudah berbuah, maka jiwa
membutuhkan kenikmatan dengan melihat buahnya ketika sedang berbuah dan matang.
Allah Swt. juga berfirman,
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang
yang berlebih-lebihan. Katakanlah, "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah dikeluarkan- Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezeki yang baik?" Katakanlah, "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman
dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui." (Al-A'raf: 31-32)

Perhiasan demi memenuhi kebutuhan perasaan, sedangkan makan dan minum demi
memenuhi kebutuhan jasmani. Keduanya berhak untuk dipenuhi.
Dalam ayat yang kedua terdapat istifham inkary dengan membaca nashab dua hal; yaitu
mengharamkan perhiasan Allah) yang dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya, dan juga
mengharamkan kebaikan-kebaikan dari rezeki. Kata 'perhiasan Allah' menunjukkan unsur
keindahan yang disediakan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya, disebutkan disamping unsur
manfaat yang terwujud dalam kata 'kebaikan-kebaikan dari rezeki'. Kita juga patut merenungkan
idhafah yang ada pada kata zinah yang diidhafahkan kepada lafal Allah', di mana dalam hal ini
merupakan pemuliaan terhadap zinah tersebut. Sebelum dua ayat ini juga disebutkan firman
Allah mengenai pakaian,
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup
auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa, itulah yang paling baik.
Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan
mereka selalu ingat. (Al-A'raf: 26)

Ayat tentang pakaian ini mempunyai tujuan dan maksud, di antaranya adalah untuk
menunjukkan fungsi pakaian sebagai penutup yang tercermin dalam ayat, "Pakaian untuk
menutup auratmu." Serta maksud untuk berhias dan mempercantik diri, yang tercermin dalam
ayat, "Dan pakaian indah untuk perhiasan."

Seorang Mukmin Sangat Sensitif terhadap Keindahan Alam, Kehidupan dan Manusia
Orang yang menyelami Al-Quran akan melihat dengan jelas bahwa Al-Quran ingin
menanamkan dalam akal dan hati setiap mukmin suatu perasaan mengenai keindahan yang
tersemburat di alam, dari atas, bawah dan sekitarnya; di langit, bumi, tumbuhan, hewan dan
manusia. Mengenai keindahan langit Allah Swt. berfirman,
Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami
meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?
(Qaf: 6)

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami
telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandangnya. (Al-Hijr: 16)

Mengenai keindahan bumi dan tumbuhan, Al-Quran menyebutkan,


Dan kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan
Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata (Qaf: 7)
Sedangkan dalam hal keindahan hewan, digambarkan mengenai hewan ternak, dalam Al-
Quran disebutkan,
Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya ketika kamu membawanya kembali
ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. (An-Nahl: 6)

Mengenai keindahan manusia, Al-Quran menyebutkan,


Dia menciptakan langitdan bumi dengan haq. Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya
rupamu itu dan hanya kepada Allahlah kembali(mu). (At-Taghabun: 3)

Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan
tubuh) mu seimbang. dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.
(Al-lnfithar: 7-8)

Sesungguhnya orang yang beriman melihat kekuasaan Allah dalam setiap sesuatu yang
dilihatnya di alam raya ini. Ia melihat keindahan Allah dalam keindahan ciptaan dan lukisan-Nya.
Ia melihat memang demikianlah perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh pada tiap-tiap
sesuatu dan membuat baik segala sesuatu yang diciptakan-Nya.
Oleh karena itu, orang yang beriman menyukai keindahan dalam segala hal di sekitarnya;
karena semua itu merupakan manifestasi wujud keindahan Allah Swt. Demikian juga Allah, Dia
adalah Dzat yang menyukai keindahan. Karena Al-Jamil adalah salah satu nama dan sifat Allah
Swt. Dia menyukai keindahan. Dia Dzat yang Mahaindah yang menyukai keindahan.

Allah Swt. Indah dan Suka Keindahan


Inilah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Sebagian orang menyangka bahwa kesukaan
terhadap keindahan bertentangan dengan iman, atau dapat memasukkan orangnya dalam
lingkup kesombongan yang dimurkai oleh Allah dan manusia.
Ibnu Mas'ud meriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, "Tidak masuk
surga orang yang di hatinya terdapat seberat dzarrah dari sombong." Maka seorang lelaki
berkata, "Sesungguhnya seseorang suka apabila bajunya bagus, dan sandalnya bagus." Maka
Rasul bersabda, "Sesungguhnya Allah indah dan suka keindahan. Kesombongan adalah tidak
menerima kebenaran dan memandang rendah orang."

Al-Quran adalah Mukjizat Keindahan


Al-Quran adalah bukti kebenaran Islam yang sangat besar, dan mukjizat Rasul yang agung; Al-
Quran adalah mukjizat keindahan, di samping sebagai mukjizat akal. Al-Quran mampu
mengalahkan orang Arab dengan keindahan kata, bahasa, dan susunannya. Membentuk alunan
semacam musik dan sajak yang sebagian orang menganggapnya sebagai sihir.
Para ahli balaghah dan sastra Arab menjelaskan sisi i'jaz bayani dalam kitab Al-Quran ini,
mulai dari Abdul Qahir, Ar-Rafi'i, Sayyid Quthub, Bintu Syathi' dan lainnya.
Dalam membaca Al-Quran diharapkan dapat dikombinasikan antara keindahan suara dan
bacaan dengan keindahan penjelasan dan nazham. Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman, "Dan
bacalah Al-Quran dengan tartil."
Rasulullah Saw. bersabda, "Hiasilah Al-Quran dengan suara kalianDalam bahasa yang lain,
"Suara yang indah akan menambah Al-Quran menjadi lebih indah."
Rasul juga bersabda, "Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Quran."
Namun "melagukan" di sini bukan berarti mempermainkan atau menyimpangkannya.
Rasulullah Saw. berkata kepada Abu Musa, "Andai kamu melihatku ketika aku mendengarkan
bacaanmu tadi malam! Sungguh kamu telah dikaruniai seruling (suara yang indah) dari seruling
(suara indah) keluarga Dawud." Maka Abu Musa berkata, "Andai aku mengetahui hal itu niscaya
aku akan lebih bersungguh-sungguh lagi." Maksudnya, lebih bersungguh-sungguh dalam tajwid
dan membaguskan suaranya.
Rasulullah Saw. juga bersabda, “Allah tidak mengizinkan sesuatu sebagaimana Dia
mengizinkan Nabi yang membaguskan suara untuk melagukan Al-Quran dan mengeraskannya."
Saya mendengar Syeikh Muhammad Abdullah Darraz bercerita mengenai sikapnya terhadap
Majlis A'la lil Idza'ah (Lembaga Tinggi Penyiaran) dan ia sebagai salah satu anggotanya. Ia
mengatakan, "Mereka ingin menjadikan waktu membaca Al-Quran dalam pembukaan dan
ikhtitam serta sebagian kesempatan lain dilihat hanya dari sisi agama saja. Maka Syeikh Darraz
berkata, "Sesungguhnya mendengarkan Al-Quran bukan hanya disandarkan pada agama saja.
Melainkan juga kama ingin menikmati seni dan keindahan yang ada dalam Al-Quran yang
disampaikan dengan sebaik-baik suara."
Benar memang, Al-Quran adalah agama, ilmu, sastra, dan seni secara keseluruhan. Ia
membekali ruh, memuaskan akal, menghidupkan hati, menyenangkan perasaan dan
menguatkan lesan.

Ungkapan Keindahan
Apabila Islam menyeru manusia untuk dapat merasakan keindahan dan mencintainya, maka
ia juga memperbolehkan mengungkapkan perasaan ini, merasakannya, dan mencintai sesuatu
yang indah.

Seni Bahasa dan Sastra


Di antara seni bahasa dan sastra yang paling terkenal adalah syair, natsar, cerita, kisah dan
seni sastra lainnya. Rasulullah pun mendengarkan syair dan terkesan olehnya. Di antaranya
adalah qasidah Ka'ab bin Zuhair yang terkenal yang berjudul "Banat Suadd” dalamnya juga
terdapat syair-syair Gazal yang terkenal. Demikian pula dengan penyair An-Nabighah Al-Ja'dy. Ia
menggunakan syair untuk jalan dakwah dan membela agama. Rasul pun menggunakan dalil
dengan syair, sebagaimana dalam sabdanya, "Perkataan paling benar yang dikatakan oleh
penyair adalah perkataan Lubaid; Ingatlah, bahwa segala sesuatu yang selain Allah adalah batil."
Para sahabat juga menggunakan dalil dengan syair. Mereka menafsirkan makna-makna Al-
Quran dengan syair. Bahkan di antara mereka ada yang bersyair dan pandai dengannya.
Sebagaimana diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib. Dan di sana masih banyak lagi para sahabat
yang menjadi penyair.
Para imam besar juga banyak yang menjadi penyair, seperti Imam Abdullah bin Mubarak,
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafii dan lainnya.
Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya dalam syair terdapat hikmah. Sesungguhnya
dalam bayan terdapat sesuatu yangsangat menarik." Dan sebagainya. Hadits ini juga bisa dipa-
hami bahwa sebagian dari syair ada juga yang jauh dari hikmah, bahkan sebaliknya, seperti syair
pujian dengan kebatilan, kebanggaan dengan kebohongan, pelecehan yang melewati batas, syair
Gazal yang fulgar, dan lain sebagainya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai etika dan moral yang
mulia.
Oleh karena itu, Al-Quran mencela para penyair yang rendahan, yang tidak menjaga diri dari
segala sesuatu, yang bohong dalam perkataan dan perbuatannya. Allah Swt. berfirman,
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat
bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka
mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? kecuali orang-orang (penyair-
penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat
kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelakakan
mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. (Asy-Syu'ara'; 124-127)

Syair dan sastra secara umum atau seni secara lebih umum lagi, dalam hal ini mempunyai
maksud dan tujuan tertentu, bukannya asal-asalan. Ini adalah syair yang multazim, sastra yang
multazim, dan seni yang multazim.
Sedangkan bentuk serta model syair dan sastra boleh saja berubah dan berkembang dan
mengambil dari apa yang sesuai menurutnya, yang penting adalah tujuan, kandungan dan
tugasnya.
Orang Arab kuno menciptakan bentuk syair yang mengikuti wazan tertentu, oleh karena itu
dalam syair modern boleh saja menggunakan bentuk lain, seperti syair Al-Hurr (syair yang tidak
terikat dengan wazan syair yang sudah dikenal), misalnya.
Demikian pula, di masa-masa Islam, orang Arab menciptakan jenis sastra tersendiri, dalam
wujud cerita-cerita rekaan, seperti Risalah Al-Ghufran, dan Alfu Lailah wa Lailah. Diterjemahkan
pula karya sastra seperti Kalilah wa Dimnah. Sedangkan sastrawan kontemporer menghasilkan
karya seperti kisah Antarah, sejarah Bani Hilal dan sebagainya.
Di masa kini, kita dapat mengembangkannya dan belajar dari masyarakat lain apa yang
bermanfaat bagi kita, seperti drama, cerpen dan novel.
Hal yang ingin saya tekankan di sini adalah pentingnya menggunakan bahasa Arab fasihah
dan berhati-hati dari propaganda untuk menggunakan bahasa Arab pasaran yang tersebar dan
berbeda-beda di antara penduduk Arab, karena hal tersebut dapat membuat orang semakin jauh
dengan bahasa Al-Quran dan Hadits, sebagaimana juga dapat membuat perselisihan dan
fanatisme kesukuan; yang memang dikehendaki oleh kekuatan-kekuatan yang tidak suka
terhadap Arab dan Islam.
Terlepas dari itu semua, bahasa Arab Fasihah adalah bahasa yang mudah yang dipergunakan
oleh masyarakat Arab untuk memahami siaran berita di radio, televisi, koran, dan majalah yang
terbit setiap hari.
Sebagaimana juga bahasa Arab Fasihah adalah bahasa yang dapat mendekatkan bangsa Arab
dengan bangsa lain yang beragama Islam yang belajar bahasa Arab. Mereka hanya belajar bahasa
Arab Fasihah saja dan hanya mampu berkomunikasi dengan baik dengan bahasa fasihah
tersebut.
Sering saya dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan sekitar hukum agama terhadap sastra
seperti drama dan kisah. Dalam hal ini, penulis atau sutradara menciptakan tokoh-tokoh yang
memerankan peran yang tidak ada dalam fakta, apakah hal ini termasuk bohong yang
diharamkan menurut agama?
Jawaban saya adalah: hal ini bukanlah termasuk bohong yang dilarang, karena pendengar
mengetahui benar bahwa tujuannya bukanlah untuk memberitahukan pembaca terhadap fakta
yang benar-benar terjadi. Hal ini lebih mirip dengan perkataan yang diperankan oleh burung-
burung dan hewan. Hal ini termasuk kategori seni peran yang di dalamnya terdapat tokoh yang
berbicara sebagaimana Al-Quran menceritakan perkataan semut atau burung Hud-hud di depan
Nabi Sulaiman a.s. Yang jelas, mereka berdua tidak berbicara dengan menggunakan bahasa Arab
Al-Quran ini, melainkan Al-Quranlah yang menerjemahkan bahasa mereka dalam bentuk bahasa
yang dipahami dalam situasi dan kondisi masa itu.
Saya pribadi pernah ikut andil dalam membuat dua drama. Pertama, drama syair tentang
Nabi Yusuf a.s. Hal itu terjadi di usia remaja saya ketika menempuh tahun pertama tingkat
menengah. Saya sangat terkesan dengan drama tersebut. Kedua, drama sejarah tentang Said bin
Jubair dan Al-Hajjaj bin Yusuf yang saya sebut dengan tema Alim wa Thaghiyah. Drama ini sudah
ditampilkan di banyak negara dan mendapatkan respons yang baik. Lain halnya dengan drama
yang pertama, karena mungkin berhubungan dengan kisah seorang Nabi. Para ulama masa
sekarang bersepakat bahwa para Nabi tidak difigurkan dalam bentuk film.

Apa Hukum Islam terhadap Lagu dan Musik?


Sudah jelas penjelasan kami mengenai pemahaman bahwa Islam memperhatikan keindahan.
Islam berusaha untuk mendidik perasaan tersebut yang dapat membuat manusia merasakan
keindahan dalam berbagai macamnya.
Di antara keindahan ada yang dinikmati dengan pendengaran, ada yang dinikmati dengan
penglihatan, dan ada juga yang dinikmati dengan indra yang lain.
Di sini kami ingin berbicara tentang keindahan yang didengarkan. Atau dalam bahasa lain,
ingin berbicara tentang lagu; baik yang dilantunkan dengan alat musik atau dilantunkan tanpa
alat musik. Kami harus menjawab pertanyaan besar ini; apa hukum Islam mengenai lagu dan
musik?
Pertanyaan yang berulang kali dilontarkan oleh banyak orang dalam situasi dan lingkup yang
bermacam-macam.
Suatu pertanyaan yang diperdebatkan dan kaum muslimin berbeda pendapat dalam
menjawabnya. Sikap mereka berbeda- beda sesuai dengan perbedaan jawaban mereka. Di antara
mereka ada yang membuka telinganya pada semua macam lagu. Mereka beranggapan bahwa
semua jenis musik adalah halal dan baik sebagai karunia Allah kepada manusia dalam hidup ini.
Di antara mereka ada yang mematikan radio atau menutup telinga rapat-rapat ketika
mendengar lagu apa pun, dengan mengatakan, "Sesungguhnya lagu adalah seruling setan,
sesuatu yang membuat lalai, menghalangi dari berzikir kepada Allah dan shalat, terlebih apabila
penyanyinya adalah perempuan. Menurut mereka, suara perempuan di luar nyanyian adalah
aurat, apalagi kalau dalam nyanyian?! Mereka menggunakan dalil atas hal tersebut dengan ayat-
ayat Al-Quran dan Hadits.
Di antara mereka ada yang menolak segala macam musik, bahkan musik pengiring untuk
siaran berita. Kelompok ketiga berdiam diri di antara dua kelompok; suatu ketika terkadang
mengikuti yang satunya dan di kesempatan yang lain mengikuti kelompok lain. Ia menunggu
pendapat yang memuaskan dari ulama Islam dalam masalah yang penting ini, yang berhubungan
dengan perasaan manusia dan kehidupannya sehari-hari. Terlebih ketika media elektronik, baik
audio maupun visual, telah masuk ke rumah-rumah mereka, baik siaran yang serius maupun
hiburan, semuanya masuk ke pendengaran mereka dengan segala lagu dan musiknya, baik suka
maupun tidak suka.
Baik lagu dengan alat musik maupun dengan tanpa alat musik menjadi permasalahan yang
diperdebatkan antara para ulama Islam sejak dahulu kala. Mereka sepakat dalam beberapa hal
dan berbeda pendapat dalam hal lain.
Mereka sepakat mengharamkan segala lagu yang mengandung kekejian, kefasikan, atau
mendorong kemaksiatan. Jadi, lagu hanyalah ucapan. Apabila baik, maka baik. Apabila buruk,
maka buruk. Setiap ucapan yang mengandung sesuatu yang haram maka haram hukumnya.
Kemudian, bagaimana jadinya apabila lagu tersebut dirajut dengan not, irama, dan bujukan!?
Mereka sepakat memperbolehkan lagu yang tidak mengandung hal-hal yang disebutkan di
atas, seperti lagu murni yang tidak disertai dengan alat musik dan rayuan, yang disenandung- kan
dalam suasana gembira yang diperbolehkan, seperti dalam pesta pernikahan, datangnya orang
yang lama pergi, hari raya dan semacamnya, dengan syarat penyanyinya tidak perempuan di
hadapan orang-orang asing yang bukan mahramnya. Dalam hal ini terdapat nash-nash yang jelas
yang akan kami sebutkan nanti.
Dalam hal yang selain itu, mereka berselisih pendapat dengan perbedaan yang besar.
Di antara mereka ada yang memperbolehkan semua lagu, baik yang menggunakan alat
maupun yang tidak menggunakan alat, bahkan mereka menganggapnya mubah. Di antara
mereka ada yang melarang nyanyian apabila disertai dengan alat musik dan memperbolehkannya
bila tidak disertai musik.
Di antara mereka ada yang melarang lagu secara total, baik yang menggunakan alat musik
maupun yang tidak menggunakan alat musik. Mereka menganggap haram, bahkan bisa jadi
termasuk dosa besar.
Karena pentingnya permasalahan ini, maka kami melihat merupakan suatu kewajiban bagi
kami untuk menjelaskannya dengan sebaik-baiknya dan menguaknya dari segala sisi, agar
menjadi jelas bagi seorang muslim, mana yang halal dan mana yang haram dengan
mendasarkannya pada dalil yang jelas, bukan hanya mengikuti pendapat orang. Hal ini saya rasa
lebih baik dan jelas.

Asal Mula Hukum Segala Sesuatu adalah Mubah


Para cendekiawan muslim menetapkan bahwa asal mula hukum segala sesuatu adalah
mubah karena disandarkan pada firman Allah Swt. yang berbunyi, "Dialah Allah, Dzat yang
menciptakan untuk kalian apa yang ada di bumi semuanya."
Sesuatu tidak haram kecuali terdapat nash yang benar dan jelas dari Al-Quran atau sunah
Rasul atau ijmak ulama yang kuat dan meyakinkan. Apabila tidak ada nash atau ijmak, atau
terdapat nash yang jelas namun tidak sahih, atau terdapat nash yang sahih tapi tidak sharih dalam
mengharamkan sesuatu maka tidak berpengaruh apa-apa dalam kehalalannya dan masuk dalam
wilayah ampunan yang luas. Allah Swt. berfirman,
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatangyang halal) yangdisebut nama Allah
ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Al lah telah menjelaskan kepadamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan
sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain)
dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (Al-An'am: 119)

Rasulullah Saw. bersabda,


Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya maka hukumnya halal dan apa yang
diharamkan oleh Allah maka ia haram dan apa yang didiamkan oleh Allah maka diampuni.
Maka terimalah karunia dari Allah. Sesungguhnya Allah bukanlah Dzat yang melupakan
sesuatu. Dan Rasul membaca ayat, "Bukanlah Tuhanmu lupa." (HR. Al-Hakim dari Abu Darda'
dan dianggap shahih olehnya)

Rasulullah Saw. juga bersabda,


Sesungguhnya Allah mewajibkan kewajiban-kewajiban, maka janganlah kalian menyia-
nyiakannya. Dan Allah menentukan batasan-batasan, maka janganlah kalian melewatinya.
Dan diam terhadap sesuatu karena kasih sayang terhadap kalian maka janganlah kalian
mencarinya. (HR. Ad-Daraquthny dari Abu Tsa'labah dan dianggap hasan oleh Al-Hafizh
Abu Bakar As-Sam'any dalam kitabnya dan oleh An-Nawawy dalam Al-Arba'in).

Apabila kaidahnya seperti ini, maka apakah nash dan dalil yang dipakai dasar orang yang
mengatakan haramnya nyanyian dan apa sikap orang yang memperbolehkannya?

Dalil-Dalil yang Digunakan oleh Orang yang Mengharamkan Nyanyian dan Pembahasannya
1. Orang yang mengharamkan nyanyian menggunakan dalil dari riwayat yang diceritakan dari
Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas dan sebagian tabi'in bahwa mereka mengharamkan lagu dengan
menggunakan dalil dari firman Allah Swt., Dan di antara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah
tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh
azab yang menghinakan. (Luqman: 6)

Mereka menafsirkan lahwul hadits (perkataan yang tidak berguna) sebagai nyanyian. Tapi
Ibnu Hazm mengatakan bahwa hal ini tidak ada sandarannya karena beberapa hal.

Pertama, sesungguhnya tidak ada seorang pun dapat menjadi hujjah kecuali Rasulullah Saw.

Kedua, pendapat ini berbeda dengan pendapat para sahabat dan tabi'in yang lain.

Ketiga, nash dalam ayat ini membatalkan argumentasi mereka; karena dalam ayat ini
terdapat kalimat yang berbunyi, "Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab
yang menghinakan (Luqman: 6). Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang biasa melakukan
perbuatan seperti itu adalah orang kafir, yaitu ketika ia menjadikan jalan Allah sebagai olok-
olokan.

Ibnu Hazm mengatakan, "Andai seseorang membeli mushaf Al-Quran untuk menyesatkan
dari jalan Allah dan menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan maka dia adalah kafir.

Inilah yang dicela oleh Allah. Allah tidak mencela orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna untuk bermain-main atau untuk menghibur dirinya, tetapi bukan untuk
menyesatkan orang dari jalan Allah. Maka keliru orang yang menggunakan sandaran dalil
seperti ini. Demikian pula, orang yang sibuk dengan sesuatu yang sampai membuatnya
meninggalkan kewajiban adalah fasik, sedangkan orang yang kesibukannya tidak sampai
membuatnya meninggalkan kewajiban-kewajibannya maka dia adalah termasuk orang yang
baik.

2. Mereka menggunakan dasar dari firman Allah Swt. yang memuji orang-orang yang beriman,
"dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna." (Al-Mu'minun: 3). Lagu termasuk perkataan yang tidak berguna, maka wajib
berpaling darinya.
Argumen ini dijawab; bahwa secara zahir makna al-laghwu (perkataan yang tidak berguna)
dalam ayat ini adalah perkataan bodoh seperti sumpah serapah, mencela dan semacamnya.
Dalam ayat yang lain, Allah Swt. berfirman, "Dan apabila mereka mendengar perkataan yang
tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata, "Bagi kami amal-amal
kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan
orang-orang jahil." (Al-Qashash: 55)

Ayat ini serupa dengan firman Allah Swt. ketika mensifati para hamba-Nya, "Dan hamba-
hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah)orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan
rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengandung) keselamatan." (Al-Furqan: 63)

Apabila kita memang menerima bahwa al-laghwu dalam ayat ini mencakup nyanyian, maka
kita akan menemukan dalam ayat ini anjuran untuk meninggalkan mendengarkan- nya dan
memujinya. Namun kita tidak menemukan hal itu.

Lafal al-loaghwu seperti lafal al-bathil yang berarti sesuatu yang tidak bermanfaat.
Mendengarkan sesuatu yang tidak bermanfaat tidaklah haram selagi tidak menyia-nyiakan
kebenaran dan membuatnya meninggalkan kewajiban.

Diriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa dia memperbolehkan mendengarkan. Maka dikatakan
kepadanya, "Apakah di hari kiamat nanti hal tersebut dimasukkan dalam amal kebaikanmu
ataukah amal burukmu?" Ibnu Juraij menjawab, "Tidak dalam amal kebaikan dan juga tidak
dalam amal buruk; karena hal tersebut serupa dengan sesuatu yang tidak ada manfaatnya
(al-laghwu). Allah Swt. berfirman, "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu
yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
(sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyan- tunr (Al-Baqarah: 225)

Imam AL-Ghazali mengatakan, "Apabila menyebut nama Allah dalam bentuk sumpah dengan
tanpa maksud untuk bersumpah dan kemudian menyalahinya saja tidak dihukumi oleh Allah,
di mana hal ini termasuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya, maka mengapa nyanyian dan
tarian dilarang?"

Kami ingin mengatakan bahwa tidak semua lagu termasuk al-laghwu. Nyanyian dihukumi
sebagaimana niat orang yang melakukannya. Niat yang baik dapat menjadikan permainan
menjadi ibadah dan gurauan menjadi bernilai ketaatan.

Sedangkan niat buruk dapat menghancurkan perbuatan yang secara zahir adalah ibadah,
tetapi di dalamnya adalah riya'. Sesungguhnya Allah tidak melihat terhadap bentuk dan harta
kalian melainkan melihat hati dan perbuatan kalian.

Di sini akan kami sadurkan perkataan Ibnu Hazm yang menolak pendapat orang yang
melarang nyanyian. Ia mengatakan, "Meraka berargumen dan mengatakan, "Nyanyian kalau
tidak termasuk sesuatu yang haq maka termasuk sesuatu yang tidak haq, dan tidak ada
pilihan ketiga, karena tidak ada setelah kebenaran kecuali kebatilan.
Jawaban kami di sini adalah bahwa sesungguhnya Rasul Saw, bersabda, "Sesungguhnya amal
perbuatan itu tergantung pada niat Dan sesungguhnya setiap orang sesuai dengan apa yang
diniatkan." Barang siapa yang mendengarkan lagu berniat untuk maksiat kepada Allah maka
dia adalah orang yang fasik. Demikian juga segala sesuatu selain nyanyian. Adapun barang
siapa mendengarkan lagu untuk mengistirahatkan diri agar kembali segar dan kuat untuk taat
kepada Allah serta lebih giat melakukan kebaikan maka dia termasuk orang yang taat dan
baik; perbuatannya ini juga termasuk sesuatu yang haq. Sedangkan orang yang tidak berniat
melakukan taat dan juga tidak berniat melakukan maksiat, maka hal itu termasuk laghwun
yang diampuni, seperti keluarnya seseorang ke kebunnya, orang yang duduk di depan pintu
rumahnya untuk bersantai, orang yang menghiasi bajunya dengan sesuatu yang indah, dan
melakukan aktivitas sehari-hari lainnya.

3. Mereka menggunakan dalil hadits,


Setiap hiburan yang dilakukan oleh seseorang adalah batil kecuali tiga; seseorang yang
memanah dengan panahnya, mengajari kudanya, dan bercengkrama dengan istrinya,
sesungguhnya semua itu termasuk sesuatu yang haq. (HR. Al-Hakim)

Berdasar hadits ini, nyanyian termasuk yang batil karena tidak termasuk di dalam ketiganya.
Adapun orang-orang yang memperbolehkan nyanyian menjawab dengan menganggap hadits
tersebut dha'if. Seandainya sahih pun tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, karena perkataan
"adalah batil" tidak menunjukkan keharaman namun hanya menunjukkan bahwa sesuatu
tersebut tidak berfaedah. Diriwayatkan juga dari Abu Darda' bahwa dia mengatakan,
"Sesungguhnya aku akan melakukan sesuatu yang tidak berguna (batil) agar aku dapat lebih
kuat lagi untuk melakukan yang hak."

Memperbolehkan sesuatu yang tidak berguna hanya pada tiga hal di depan merupakan
sesuatu yang tidak pas. Hiburan yang dilakukan dengan menonton orang Habasyah yang
menari di masjid Nabawi tidak termasuk tiga hal di depan. Dan peristiwa ini telah
diriwayatkan secara sahih. Dan tidak diragukan lagi bahwa bersantai di kebun, mendengarkan
suara burung, dan sendau gurau yang dipakai untuk hiburan seseorang bukanlah sesuatu
yang haram meskipun dapat saja disebut sebagai sesuatu yang batil yang tidak berguna.

4. Mereka menggunakan dalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Rasulullah
Saw.,
Akan ada salah satu kaum dari umatku yang menghalalkan perzinahan, sutera, khamr dan
alat music malahi

Hadits ini meskipun terdapat dalam shahih Al-Bukhari namun termasuk kategori hadits
Muallaq yang sanadnya tidak langsung. Oleh karena itu, Ibnu Hazm menolaknya karena
sanadnya terputus. Banyak ulama mengatakan, "Sanad dan matan hadits ini
membingungkan."

Al-Hafizh Ibnu Hajar berusaha untuk mencari sanad hadits ini, namun akhirnya semuanya
berputar pada rawi yang oleh para ulama banyak mendapat kritik. Seperti, Hisyam bin
Ammar, meskipun ia adalah seorang khatib kota Damaskus, ahli haditsnya, orang alimnya dan
telah di anggap terpercaya oleh Ibnu Mu'ayyan dan Al-Ajaly, namun Abu Dawud berkata
tentangnya, bahwa Hisyam bin Ammar telah meriwayatkan empat ratus hadits yang tidak
berdasar.

Abu Hatim mengatakan, "Dia adalah orang yang banyak benarnya. Setiap sesuatu yang
diberikan padanya dibacanya. Dan apa yang didapat disampaikan. Demikian pula perkataan
Ibnu Sayyar. An-Nasa'i mengatakan, "Tidak apa-apa dengannya." Ini bukanlah rekomendasi
secara mutlak. Meskipun Al-Hafizh Adz-Dzahabi membelanya dengan mengatakan, "Ia
banyak benarnya dengan beberapa yang membuatnya diingkari. Banyak ulama
mengingkarinya karena ia menyampaikan hadits dengan imbalan. Orang yang seperti ini tidak
diterima haditsnya dalam situasi perselisihan, terlebih dalam masalah yang banyak petaka di
sana.

Di samping itu, dalam kata al-maazif tidak ada kesepakatan makna; ada yang mengatakan
bermakna alat malahi. Makna ini pun masih umum. Ada yang mengatakan maknanya adalah
alat musik.

Apabila kita memang menerima bahwa maknanya adalah alat musik, maka sesungguhnya
kata dalam hadits yang tercantum dalam sahih Bukhari yang berhubungan dengan- nya tidak
menunjukkan secara jelas keharaman Azf (alat musik) ini. Karena ungkapan yastahillun,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Al-Araby mempunyai dua makna; pertama, mereka
menganggap bahwa hal tersebut adalah halal; kedua, bermakna majaz terhadap penggunaan
hal tersebut. Jadi, kalau yang dimaksud dengan kata al-istihlal adalah menganggap halal,
niscaya perbuatan tersebut merupakan perbuatan kufur, karena termasuk menghalalkan se-
suatu yang haram yang sudah ditentukan secara pasti, seperti Khamr dan zina. Perlakuan
tersebut dianggap kufur secara ijmak.

Andai kita menerima bahwa hadits tersebut menunjukkan keharaman, maka apakah
keharaman tersebut berarti mengharamkan seluruh hal yang disebut di dalamnya, seperti
zina, sutera, khamer dan alat musik tadi. Ataukah setiap masing- masing dengan batasan
tertentu? Pendapat pertama tentunya yang rajih. Hadits ini menyikapi moral sekelompok
orang yang terjerumus dalam bersenang-senang, malam yang kelam, minum khamer, yang
hidup di antara arak dan perempuan, hiburan dan nyanyian, perzinahan dan sutera. Oleh
karena itu, Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dari Abu Malik Al-Asy'ari dengan lafal,
"Sebagian manusia dari umatku akan minum khamer yang menamakannya dengan selain
namanya, menyanyi di atas kepala mereka alat musik dan lagu, maka Allah akan
membenamkan mereka di bumi dan menjadikan sebagian mereka menjadi kera dan babi."
Demikian hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya dan juga oleh Al-
Bukhari.

Setiap rawi yang meriwayatkan hadits dari jalan selain jalan Hisyam bin Ammar akan
menyebutkan ancaman terhadap peminum khamer. Sedangkan ancaman terhadap
pengguna alat musik hanya sebagai pelengkap yang mengikuti.

5. Mereka menggunakan hadits dari Aisyah r.a.,


Sesungguhnya Allah mengharamkan Al-Qayyinah (perempuan penyanyi), menjualnya,
harganya, mengajarkannya, dan mendengarkannya. (HR. Thabrani)
Jawaban dari hal tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, hadits di atas dhaif. Setiap hadits yang menerangkan tentang penjualan perempuan
penyanyi adalah dhaif.

Kedua, Al-Ghazali mengatakan, "Yang dimaksud dengan Al-Qayyinah adalah perempuan yang
menyanyi untuk lelaki dalam pesta minuman. Nyanyian perempuan asing kepada orang-
orang fasik dan kepada orang yang dikhawatirkan terdapat fitnah adalah haram. Mereka
hanya menggunakan kata fitnah terhadap sesuatu yang dilarang. Sedangkan nyanyian budak
perempuan terhadap tuannya, maka tidak bisa dihukumi haram dengan berdasarkan hadits
ini. Bahkan nyanyian budak perempuan di hadapan orang lain yang bukan tuannya, apabila
tidak ada fitnah, hukum mendengarkannya adalah boleh. Hal ini didasarkan pada hadits
dalam Ash-Shahihain yang menyebutkan mengenai bernyanyinya dua perempuan di rumah
Aisyah r.a.

Ketiga, para penyanyi perempuan tersebut merupakan unsur penting dalam sistem di masa
perbudakan, yang mana Islam berusaha untuk membersihkannya secara berangsur-angsur.
Jadi, mengakui keberadaan orang yang seperti ini dalam masyarakat Islam tidak sesuai
dengan tujuan Islam, sedangkan ketika terdapat hadits yang mencela dan melarang pemilikan
serta jual beli Al-Qayyinah maka hal tersebut berarti menghancurkan sendi pembentukan
sistem perbudakan.

6. Mereka menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Nafi' bahwa sesungguhnya Ibnu Umar
mendengar suara seruling penggembala, maka Ibnu Umar meletakkan dua jarinya di telinga
dan menjauhkan kendaraannya dari jalan. Ibnu Umar mengatakan, "Wahai Nafi', apakah
kamu mendengar?" aku menjawab, "Ya." Maka dia terus berlalu, hingga aku mengatakan,
"Tidak." Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengembalikan kendaraannya ke
jalan. Ia mengatakan, "Aku melihat Rasulullah Saw. mendengar seruling gembala maka Rasul
melakukan hal seperti ini." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Andai hadits ini sahih, niscaya justru menjadi hujjah yang mengalahkan orang yang
mengharamkan lagu, bukan orang yang membolehkannya. Apabila mendengar seruling
haram, maka Rasul tidak akan memperbolehkan Ibnu Umar untuk mendengarkannya. Dan
andai menurut Ibnu Umar hal tersebut haram maka dia tidak akan memperbolehkan Naff
untuk mendengarkannya. Sebagaimana perintah Rasul untuk melarang dan mengubah
kemungkaran, maka pengakuan Rasul terhadap Ibnu Umar merupakan dalil bahwa hal
tersebut adalah halal. Dalam hal ini Rasulullah menjauh agar tidak mendengar suara seruling
tersebut sebagaimana Rasul menjauhi hal-hal mubah yang lain dari urusan dunia,
sebagaimana Rasul menjauhi makan, dan hanya mempunyai satu dinar atau dirham.

7. Mereka juga menggunakan riwayat yang menyebutkan bahwa sesungguhnya lagu dapat
menumbuhkan kemunafikan di hati.

Perkataan ini tidak diakui sebagai hadits dari Nabi Saw., namun hanya sebagai perkataan
sebagian sahabat atau tabi'in. Pendapat ini berasal dari orang yang tidak maksum. Ada orang
yang mengatakan, khususnya para ahli sufi, sesungguhnya lagu dapat melembutkan hati,
membangkitkan kesedihan dan penyesalan terhadap maksiat, dan menggelorakan kerinduan
terhadap Allah. Oleh karena itu, para ahli sufi menggunakan lagu untuk memperbarui
kesegaran dirinya, menguatkan keteguhannya, dan membangkitkan kerinduannya. Mereka
mengatakan, "Hal ini sesuatu yang hanya bisa dipahami dengan zauq (rasa), mencoba, dan
latihan. Barang siapa yang merasakan maka akan mengetahui. Dan berita tidaklah seperti
melihat langsung.

Sedangkan Imam Al-Ghazali menfokuskan hukum pada orang yang menyanyi bukan pada
orang yang mendengarnya. Tujuan penyanyi adalah untuk menampilkan dirinya kepada
orang lain, menyenandungkan suaranya kepadanya, dan merayu orang-orang agar menyukai
nyanyiannya.

Meskipun demikian, Al-Ghazali mengatakan, "Demikian itu tidak musti harus haram.
Sesungguhnya memakai pakaian bagus, naik kendaraan mewah, dan segala macam perhiasan
serta kebanggaan terhadap kebun, ternak, tumbuhan dan lain sebagainya dapat
menumbuhkan kemunafikan dalam hati. Dan dalam hal ini tidak kemudian semua yang
disebutkan tadi menjadi haram. Sesuatu yang menjadi penyebab munculnya kemunafikan di
hati bukanlah kemaksiatan, melainkan sesuatu yang mubah. Sesuatu yang menjadi perhatian
banyak orang mempunyai pengaruh yang besar.

8. Mereka menggunakan dalil terhadap haramnya nyanyian perempuan, secara lebih khusus,
dengan argumen yang banyak tersebar pada sebagian orang, bahwa sesungguhnya suara
perempuan adalah aurat. Dalam hal ini tidak ada dalil atau bahkan sesuatu yang bisa dianggap
sebagai dalil dalam agama Allah yang menunjukkan bahwa suara perempuan adalah aurat.
Banyak perempuan bertanya kepada Rasul ketika beliau berada bersama dengan para
sahabatnya. Banyak sahabat pergi menemui Ummahatul Mukminin dan meminta fatwa
kepada mereka, dan Ummahatul Mukminin juga berbicara dan memberikan fatwa kepada
mereka. Tidak ada satu pun orang yang mengatakan bahwa Aisyah ini atau lainnya telah
membuka auratnya yang mestinya ditutupi. Padahal para istri Nabi mendapatkan perintah
yang lebih ketat lagi di banding dengan lainnya. Allah Swt. berfirman,

"Berkatalah, wahai para istri Nabi dengan perkataan yang baik." (Al-Ahzab: 32)

Apabila mereka mengatakan bahwa hal ini diperuntukkan pada konteks perkataan biasa
bukan pada nyanyian, maka kami menjawab, "Diriwayatkan dalam hadits Sahihain bahwa
sesungguhnya Rasulullah mendengarkan nyanyian dua budak perempuan dan Rasul tidak
mengingkarinya. Rasul berkata kepada Abu Bakar, "Biarkanlah mereka berdua." Ibnu Jakfar,
sahabat-sahabat yang lain, dan tabiin juga mendengar para budak perempuan menyanyi.

9. Mereka menggunakan dalil hadits Tirmidzi yang diriwayatkan dari Ali secara marfu',
disebutkan, "Apabila umatku melakukan lima belas hal, maka petaka akan menimpa mereka,
(salah satunya dalam hadits ini disebutkan), mereka menggunakan para penyanyi perempuan
dan musik." Hadits ini telah disepakai kedhaifannya, maka tidak dapat digunakan sebagai
dalil.

Kesimpulannya bahwa nash-nash yang digunakan dalil oleh orang yang mengharamkan
menyanyi ada kalanya shahih tapi tidak sharih atau sharih tapi tidak sahih. Tidak ada satu
hadits pun yang sampai kepada Rasulullah Saw. yang dapat dijadikan dalil untuk
mengharamkan. Semua hadits mereka dianggap dhaif oleh segolongan kelompok ulama dari
Azh- Zhahiriyah, Al-Malikiyah, Al-Hanabilah dan Asy-Syafiiyah.

Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-Araby mengatakan dalam kitab Al-Ahkam, "Tidak sah sama sekali
untuk dijadikan dalil mengharamkan." Demikian pula yang dikatakan oleh Al-Ghazali, dan
Ibnu An-Nahwi dalam Al-Umdah.

Ibnu Thahir mengatakan dalam kitab As-Sima’ "Tidak sahih satu huruf pun."

Ibnu Hazm mengatakan, "Dalam hal ini tidak benar sama sekali. Semua yang ada di dalamnya
maudhu'. Dan demi Allah, andai semuanya atau salah satunya disanadkan kepada Rasulullah
Saw. dengan sanad yang terpercaya, niscaya kami tidak akan ragu untuk mengambilnya."

Dalil-Dalil Orang yang Memperbolehkan Nyanyian


Sebelum ini telah disebutkan dalil-dalil orang yang mengharamkan nyanyian, dan satu
persatu telah runtuh. Tidak ada satu dalil pun yang bisa bertahan. Ketika dalil-dalil yang
mengharamkan nyanyian runtuh semua, maka tinggallah hukum lagu disandarkan pada dalil
bahwa segala sesuatu pada asalnya diper- bolehkan. Andaipun kita tidak mempunyai nash atau
dalil satu pun selain dalil runtuhnya dalil pengharaman, maka hal ini sudah cukup. Apalagi, kami
mempunyai nash-nash sahih dan jelas dalam Islam yang mencerminkan tabiatnya yang pemurah,
kaidah-kaidah umum dan dasar-dasarnya, sebagai berikut.

1. Dalil Diperbolehkannya Nyanyian Berdasarkan Nash


Para ulama menggunakan dalil dari sejumlah hadits sahih, di antaranya hadits bernyanyinya
dua orang perempuan di rumah Rasulullah di samping Aisyah serta kemarahan Abu Bakar kepada
mereka berdua. Abu Bakar mengatakan, "Seruling setan di rumah Rasulullah." Hal ini
menunjukkan bahwa dua perempuan ini bukanlah perempuan yang masih kecil, sebagaimana
yang disangka oleh sebagian orang. Karena kalau memang mereka berdua masih kecil tentunya
Abu Bakar tidak sampai semarah itu."
Dalil yang menjadi pegangan di sini adalah penolakan Rasulullah atas sikap Abu Bakar dan
alasan yang dipakai bahwa Rasul ingin agar orang Yahudi mengetahui bahwa dalam agama Islam
terdapat keleluasaan, dan Rasul diutus dengan membawa agama yang logis dan toleran. Hal ini
menunjukkan wajibnya menjaga citra baik Islam bagi orang lain, dan menampakkan sisi
kemudahan dan toleransi di dalamnya.
Al-Bukhari dan Ahmad meriwayatkan dari Aisyah bahwa ia sedang menghadiri pesta
pernikahan perempuan dengan seorang lelaki dari Anshar, maka Rasulullah Saw. berkata, "
Wahai Aisyah, Apakah mereka tidak disertai dengan hiburan? Sesungguhnya kaum Anshar
sangat suka hiburan?"
Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, "Aisyah menikahkan keluarganya
dari Anshar. Maka datanglah Rasulullah Saw. dan berkata, "Apakah kalian memberikan hadiah
kepada gadis?" Mereka menjawab, "Ya." Rasul bertanya lagi, "Apakah kalian menyertakan
kepadanya seseorang yang menyanyi?" Aisyah menjawab, "Tidak." Maka Rasul berkata,
"Sesungguhnya di antara kaum Anshar banyak orang yang suka syair Gazal. Andai kalian
mengirim bersamanya seorang yang menyanyikan; atainakum, atainakum, (kami datang
kepadamu) dia menyambut kami dan menyambut kalian." Hadits ini menunjukkan
penghormatan terhadap adat istiadat dan selera kaum yang beragam. Dan seseorang tidak dapat
menentukan selera orang lain dalam semua kehidupan manusia.
An-Nasa'i dan Al-Hakim meriwayatkan dari Amir bin Saad, ia mengatakan, "Aku datang
menemui Qarazhah bin Mas'ud dan Abu Mas'ud Al-Anshari dalam pesta pernikahan. Ternyata
terdapat banyak perempuan yang menyanyi. Maka aku katakan, "Sahabat Rasulullah yang
mengikuti perang Badar yang mana yang melakukan perbuatan ini?" maka mereka berdua
menjawab, "Duduklah apabila kamu mau dan dengarkan bersama kami. Dan apabila kamu ingin
pergi, maka pergilah. Sesungguhnya hiburan diperbolehkan bagi kita pada saat pesta pernikahan.
Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanad dari Ibnu Sirin bahwa seorang lelaki datang ke
Madinah beserta dengan para budak perempuan, kemudian dia mendatangi Abdullah bin Ja'far
dan menawarkan budak-budak perempuan tersebut kepadanya. Maka diperintahkanlah salah
satu dari budak perempuan tersebut untuk bernyanyi. Pada saat itu Ibnu Umar mendengarkan.
Maka Ibnu Ja'far membelinya setelah cocok harganya. Kemudian datang seorang lelaki kepada
Ibnu Umar seraya berkata, "Wahai Abu Abdurrahman, keliru tujuh ratus dirham!" Maka Ibnu
Umar mendatangi Abdullah bin Ja'far dan berkata kepadanya, "Sesungguhnya ia telah keliru
dengan tujuh ratus dirham, maka kamu bisa memberikannya harga tersebut atau kamu
kembalikan jual belinya." Maka Abdullah bin Ja'far berkata, "Kami akan mem- bayarkan
kepadanya." Ibnu Hazm mengatakan, "Ini adalah Ibnu Umar. Ia telah mendengarkan lagu dan
melakukan jual beli untuk membeli budak penyanyi. Riwayat ini isnadnya sahih.
Mereka juga menggunakan dalil firman Allah Swt,
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju
kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, "Apa yang
di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi
rezeki. (Al-Jumuah: 11)

Pada ayat ini permainan disebut bersamaan dengan perniagaan yang secara pasti merupakan
sesuatu yang halal. Keduanya dalam ayat ini hanya dicela karena membuat para sahabat sibuk
menyambut kedatangan kafilah dengan iringan terbang dan meninggalkan Rasulullah yang
sedang berdiri untuk menyampaikan khutbah.
Para ulama juga menggunakan dalil terkait apa yang terjadi pada sejumlah sahabat, di mana
para sahabat mendengarkan secara langsung atau mengakuinya, sedangkan mereka adalah
kaum yang diikuti sebagai petunjuk. Para ulama juga menggunakan dalil ijmak tentang bolehnya
mendengarkan lagu.

2. Dalil Diperbolehkannya Nyanyian Ditinjau dari Sisi Ruh Islam dan Kaidah-Kaidahnya
a. Nyanyian tidak apa-apa. Ia termasuk kebaikan dunia yang dinikmati oleh jiwa dan akal, sesuai
dengan fitrah, dan diang- gap merdu oleh telinga. Lagu adalah kelezatan telinga, sebagaimana
makanan yang enak adalah kelezatan perut, pemandangan indah adalah kelezatan mata, dan
aroma yang harum adalah kelezatan indera pembau. Kemudian, apakah sesuatu yang lezat
adalah haram atau halal dalam Islam?

Allah tidak memperbolehkan seseorang mengharamkan sesuatu yang baik dari rezeki Allah
atas dirinya atau atas orang lain, meskipun niat dan tujuannya baik, atau karena mencari ridha
Allah. Penghalalan dan pengharaman merupakan hak prerogatif Allah, bukan urusan hamba.

b. Bila kita renungkan, niscaya akan kita dapati bahwa rasa suka untuk bernyanyi dan
bersenandung dengan suara yang merdu sudah menjadi fitrah manusia. Kita akan melihat
bahwa anak kecil yang masih menyusu ketika menangis di buaian dapat ditenangkan dengan
suara yang merdu, dan perhatiannya akan tertuju ke sumber suara tersebut. Oleh karena itu,
para ibu, orang yang menyusui, dan perawat terbiasa untuk menyanyikan anak sejak zaman
dahulu. Bahkan kita mengatakan bahwa burung dan hewan pun terpengaruh dengan suara
dan senandung yang merdu, sehingga Al-Ghazali mengatakan dalam kitab Al-Ihya’, "Orang
yang tidak tergerak oleh apa yang ia dengar maka dia kurang keseimbangan, jauh dari
kerohanian dan cenderung berwatak keras terhadap keindahan. Burung dan semua hewan,
bahkan unta sekalipun sangat terpengaruh dengan dendang penggembalanya. Dendang itu
dapat meringankan beban berat, sehingga membuatnya dapat menempuh jarak yang
panjang. Hal itu dapat membuatnya menjadi giat. Anda akan melihat ketika unta mendengar
orang yang menggiring dengan berdendang ia akan memanjangkan lehernya dan
menegakkan telinganya serta mempercepat jalannya sehingga barang bawaannya
tergoncang-goncang.

Apabila rasa suka untuk bernyanyi merupakan fitrah dan naluri maka apakah agama datang
untuk memerangi fitrah dan naluri? Tidak. Agama datang untuk mendidiknya dan
memuliakannya serta mengarahkannya ke jalan yang benar.

Ibnu Taimiah mengatakan, "Sesungguhnya para Nabi diutus untuk menyempurnakan dan
menguatkan fitrah, bukan untuk mengubah dan menggantinya.

Hal ini bersesuaian dengan peristiwa ketika Rasulullah Saw. datang ke Madinah. Orang-orang
Madinah berpesta dan bermain dalam dua hari. Maka Rasul bertanya, "Apakah dua hari ini?"
Mereka menjawab, "Kami di masa jahiliah bermain dalam dua hari ini." Maka Rasulullah Saw.
bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari tersebut untuk kalian dengan yang
lebih baik; IdulAdha dan hari raya Idul Fitri." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa'i).

Aisyah berkata, "Aku melihat Rasulullah menutupiku dengan selendangnya ketika aku sedang
melihat orang Habasyah bermain di masjid."

Ketika nyanyian adalah hiburan dan permainan, maka berarti hal tersebut tidak haram.
Manusia tidak mampu untuk serius secara terus-menerus.

Rasulullah Saw. menyampaikan kepada Hanzhalah—ketika merasa dirinya telah berbuat


kemunafikan karena sendau guraunya kepada anak dan istrinya, dan perbedaan sikapnya
bketika sedang di rumah dan ketika bersama Rasulullah, dengan bersabda, "Wahai
Hanzhalah, ada kalanya begini dan ada kalanya begitu" (HR. Muslim)

Ali bin Abi Thalib berkata, "Istirahatkan hati. Sesungguhnya ketika hati dipaksa maka akan
menjadi buta."

Ali bin Abi Thalib juga berkata, "Sesungguhnya hati merasa bosan sebagaiman badan merasa
bosan. Maka carilah untuknya hikmah dan nasihat-nasihat unik."

Abu Darda' berkata, "Aku akan melakukan sesuatu hiburan pada diriku agar ia lebih kuat lagi
dalam kebenaran."

Iman Al-Ghazali memberikan jawaban kepada orang yang berkata, "Sesungguhnya nyanyian
adalah permainan dan sendau gurau." Dengan mengatakan, "Ia memang demikian. Namun,
dunia semuanya adalah permainan dan sendau gurau. Sendau gurau bersama perempuan
adalah hiburan, demikian pula gurauan yang tidak mengandung kekejian adalah halal.

Apa yang dilakukan oleh orang-orang Habasyah sudah sangat memadai untuk disebut
permainan. Tapi terdapat nash yang menghalalkannya. Menurut kami, permainan dapat
menghibur hati dan meringankan beban pikiran. Hati apabila dipaksa maka akan menjadi
buta. Jadi, menghiburnya dapat membantunya untuk menjadi giat lagi. Belajar dalam
seminggu, misalnya, selayaknya diliburkan satu hari; karena libur sehari dapat membuatnya
giat di hari-hari berikutnya. Bersungguh-sungguh dalam melakukan shalatsunnah di seluruh
waktu, sebaiknya juga diliburkan di sebagian waktu. Oleh karena itu, shalat dimakruhkan di
sebagian waktu. Libur dapat membantu orang untuk giat bekerja. Hiburan dapat membantu
orang untuk bersungguh-sungguh. Tidak ada yang mampu untuk selalu seriuskecuali para
nabi. Hiburan merupakan obat hati dari rasa bosan dan jemu. Maka selayaknya
diperbolehkan. Namun tidak selayaknya dilakukan secara berlebihan, sebagaimana tidak baik
memberikan obat secara berlebihan. Jadi, hiburan yang dilakukan dengan niat seperti ini
merupakan perbuatan mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini bagi orang yang hatinya tidak
tergerak dengan apa-apa yang ia dengar untuk melakukan hal-hal terpuji. Bagi orang seperti
ini hendaklah melakukannya sebagai sesuatu yang sunnah agar dapat mencapai maksud yang
disebutkan tadi. Benar memang bahwa hal ini menunjukkan kekurangsempurnaan. Orang
yang sempurna adalah orang yang tidak butuh mengistirahatkan dirinya dengan tanpa
kebenaran. Orang yang memahami ilmu pengobatan hati dan cara membimbing serta
mengarahkannya pada kebenaran akan mengetahui dengan yakin bahwa mengistirahatkan
hati dengan hal-hal semacam ini merupakan obat yang bermanfaat, yang tidak dapat
ditinggalkan." Demikianlah perkataan Al-Ghazali. Suatu perkataan indah yang meng-
gambarkan jiwa Islam yang benar.

Orang yang Berpendapat Diperbolehkannya Nyanyian


Demikianlah dalil-dalil dari nash-nash Islam dan kaidah-kaidahnya yang memperbolehkan
nyanyian. Semua itu sudah sangat cukup, meskipun tidak ada orang yang mengatakan demikian.
Karena hal ini sudah dikatakan sendiri oleh para sahabat, tabiin dan para ahli fiqih.
Cukuplah bagi kami bahwa ahli Madinah—dengan segala kewiraiannya—dan Zhahiriah
dengan segala kezhahirannya dalam memahami nash, serta para ahli sufi dengan segala
keketatannya dan pilihannya untuk lebih memilih azimah daripada rukhsah, telah diriwayatkan
dari mereka semua tentang pembolehan nyanyian ini.
Imam Asy-Syaukani mengatakan dalam Nail Al-Authar, "Ahli Madinah dan orang yang
sependapat dengannya dari ulama Zhahiriah serta golongan ahli sufi berpendapat
diperbolehkannya nyanyian meskipun dengan menggunakan kecapi dan seruling."
Ustadz Abu Manshur Al-Baghdady Asy-Syafii menceritakan dalam bukunya, As-Sima', bahwa
Abdullah bin Ja'far berpendapat kalau nyanyian tidak apa-apa. Ia mengarang lagu untuk budak-
budak perempuannya dan mendengarkannya dengan menggunakan alat musiknya. Hal itu terjadi
pada masa khalifah Ali bin Abu Thalib. Ia juga meriwayatkan hal tersebut dari Al-Qadhi Syuraih,
Su'aid bin Al-Musayyab, Atha' bin Abu Rayyah, Az-Zuhri dan Asy-Sya'bi.
Imam Al-Haramain dan Ibnu Abi Ad-Dunya mengatakan dalam An-Nihayah, "Diriwayatkan
dari orang-orang terpercaya dari para sejarawan, bahwa Abdullah bin Zubair mempunyai banyak
budak perempuan. Suatu ketika Ibnu Umar masuk kepadanya dan di sisinya terdapat sejenis
kecapi. Maka ia berkata, "Apa ini, wahai sahabat Rasulullah?" Maka Abdullah bin Zubair
memberikan alat tersebut kepadanya. Kemudian Ibnu Umar memandanginya dan berkata, "Ini
adalah timbangan Syam?" Ibnu Zubair menjawab, "Timbangan yang dipakai untuk menimbang
akal."
Al-Hafizh Muhammad bin Hazm meriwayatkan dalam risalahnya tentang hukum
mendengarkan lagu yang sanadnya sampai ke Ibnu Sirin, ia mengatakan, "Sesungguhnya seorang
lelaki datang ke Madinah dengan membawa banyak budak perempuan. Ia turun menghampiri
Ibnu Umar. Maka datanglah seorang lelaki dan menawarkannya, namun tidak ada yang ia sukai.
Ibnu Umar berkata, "Pergilah kepada seorang lelaki yang lebih baik jual belinya daripada lelaki
ini." Lelaki penjual tersebut berkata, "Siapa dia?" Ibnu Umar menjawab, "Abdullah bin Ja'far."
Maka penjual tersebut menawarkan budak-budak perempuannya kepada Ibnu Ja'far dan
memerintahkan salah satunya dengan mengatakan, "Ambillah kecapi." Maka budak perempuan
tersebut mengambilnya dan bernyanyi dengannya. Maka dijualnya budak tersebut kepada Ibnu
Ja'far dan ia kembali lagi kepada Ibnu Umar.
Al-Adib Abu Umar Al-Andalusi meriwayatkan bahwa sesungguhnya Abdullah bin Umar
menemui Ibnu Ja'far, maka Ibnu Umar menemukan Ibnu Ja'far sedang bersama budak
perempuan dan di pangkuannya alat musik kecapi. Maka Ibnu Ja'far berkata kepada Ibnu Umar,
"Apakah ada masalah dengan hal ini?" Ibnu Umar menjawab, "Hal ini tidak apa-apa."
Al-Mawardi meriwayatkan dari Muawiyah dan Amr bin Ash bahwa mereka berdua
mendengarkan alat musik kecapi pada Ibnu Ja'far.
Abu Al-Faraj Al-Ashbihany menceritakan bahwa Hassan bin Tsabit mendengarkan nyanyian
dengan alat musik kecapi.
Al-Adfawy menyebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi khalifah
mendengarkan budak-budak perempuan- nya bernyanyi. Ibnu As-Sam'ani meriwayatkan bahwa
Thawus memperbolehkan.
Ar-Royani menceritakan dari Al-Qaffal bahwa madzhab Malik bin Anas memperbolehkan
nyanyian dengan alat musik. Al-Ustadz Manshur Al-Faurani menceritakan dari Malik mengenai
bolehnya alat musik kecapi. Abu Thalib Al-Makky menuturkan dalam kitab Qut AI-Qulub dari
Syu'bah bahwa ia mendengar rebab (sejenis gitar) di rumah Al-Manhal bin Amr. Ia seorang ahli
hadits terkenal. Diceritakan dari Abu Al-Fadhl bin Thahir bahwa sesungguhnya tidak ada
perselisihan pendapat di kalangan penduduk Madinah mengenai kehalalan alat musik sejenis
kecapi.
Ibnu An-Nahwy mengatakan dalam Al-Umdah bahwa Ibnu Thahir mengatakan, "Ini adalah
ijmak penduduk Madinah."
Al-Mawardi menceritakan diperbolehkannya alat musik sejenis kecapi menurut pendapat
sebagian ulama pengikut Asy- Syafii. Demikian pula diceritakan dari Abu Al-Fadhl bin Thahir dari
Abu Ishaq Asy-Syairazy. Diceritakan juga dari Al-Asnawy dalam Al-Muhimmat dari Ar-Royani dan
Al-Mawardi. Hal ini juga diriwayatkan oleh Ibnu An-Nahwi dari Abu Manshur. Diriwayatkan juga
dari Ibnu Al-Mulqin dalam Al-Umdah dari Ibnu Thahir. Sebagaimana Al-Adfawy dari Syeikh
Izzuddin bin Abdussalam. Dan juga diriwayatkan dari Abu Bakar bin Al-Araby dan Al-Adfawy
menegaskan kebolehannya.
Mereka semua berpendapat diperbolehkannya mendengarkan nyanyian dengan alat musik.
Sedangkan apabila hanya sekadar mendengarkan nyanyian dengan tanpa alat, maka Al-Adfawy
mengatakan dalam Al-Imta bahwa sesungguhnya Al-Ghazali dalam salah satu karangannya
menyebutkan diperbolehkannya hal tersebut secara sepakat. Ibnu Thahir menyebutkan ijmak
sahabat dan tabiin mengenai diperbolehkannya hal tersebut. Sedangkan At-Taj Al-Fazari dan Ibnu
Qutaibah menyebutkan ijmak ahli Haramain mengenai hukum halal tersebut. Ibnu Thamir dan
Ibnu Qutaibah juga menyebutkan ijmak ahli Madinah mengenai hal tersebut. Al-Mawardi
mengatakan bahwa Ahli Hijaz masih saja memperbolehkan hal tersebut di hari yang utama yang
diperintahkan untuk beribadah dan berdzikir.
Ibnu An-Nahwy mengatakan dalam Al-Umdah, "Perihal nyanyian ini telah diriwayatkan dari
sekumpulan sahabat dan tabiin. Di antara para sahabat adalah Umar, sebagaimana diriwayatkan
oleh Ibnu Abdul Barr; Utsman, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Mawardi dan Ar-Rafii;
Abdurrahman bin Auf, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah; Abu Ubaidah bin Al-
Jarrah, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqy; Saad bin Abu Waqash, sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah; Abu Mas'ud Al-Anshary, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-
Baihaqy; Bilal, Abdullah bin Al-Arqam dan Usamah bin Zaid, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-
Baihaqy; Hamzah sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih; Ibnu Umar sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Thahir; Al-Barra' bin Malik, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nuaim;
Abdullah bin Ja'far, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdul Barr; Abdullah bin Zubair sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Thalib Al-Makky; Hassan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Al-Faraj Al-
Ashbihany; Abdullah bin Amr, sebagaimana diriwayatkan oleh Zubair bin Bakkar; Qarazhah bin
Kaab sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah; Hawat bin Hubair dan Rabah sebagaimana
diriwayatkan oleh Shahibul Aghany; Al-Mughirah bin Syu'bah sebagaimana diriwayatkan oleh
Abu Thalib Al-Makky; Amr bin Ash sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Mawardy, dan Aisyah serta
Ar-Rabi' seperti diriwayatkan dalam sahih Bukhari, dan lainnya.
Sedangkan dari kalangan tabiin maka terdapat Said bin Al- Musayyab, salim bin Abdullah bin
Umar, Ibnu Hissan, Kharijah bin Zaid, Syuraih Al-Qadhi, Amir Asy-Sya'by, Abdullah bin Abu Atiq,
Atha' bin Abu Rabbah, Muhammd bin Syihab Az-Zuhri, Umar bin Abdul Aziz, dan Saad bin Ibrahim
Az-Zuhri.
Sedangkan dari kalangan tabiut tabiin, maka banyak sekali tidak terhitung jumlahnya, di
antaranya adalah Al-Aimmah Al-Arba'ah, Ibnu Uyainah, dan jumhur pengikut imam Asy-Syafii. Ini
semua disebutkan oleh Asy-Syaukani dalam Nail Al-Authar.

Batasan dan Syarat yang Harus Dipenuhi


Berikut ini beberapa batasan dan syarat yang harus dipenuhi ketika mendengarkan lagu.
1. Tidak semua nyanyian diperbolehkan. Tema lagu harus sesuai dengan etika Islam dan ajaran-
ajarannya.
2. Cara menyampaikan lagu merupakan hal yang penting juga. Tema bisa jadi tidak ada masalah,
namun cara penyanyi menyampaikan lagu, di mana dengan sengaja dibuat-buat untuk
merangsang dan membangkitkan nafsu, mempengaruhi hati yang sakit, maka hal ini dapat
mengubah nyanyian yang semula dihalalkan menjadi masuk dalam daerah yang haram,
syubhat atau makruh, sebagaimana yang sering disiarkan dan diminta oleh para pendengar
yang berkutat pada rangsangan untuk membangkitkan nafsu birahi dan hal-hal yang
berhubungan dengannya, seperti cinta dan nafsu. Al-Quran memerintahkan kepada para istri
Rasulullah dengan firman-Nya, “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita
yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang
baik." (Al-Ahzab: 32). Apalagi ketika ketundukan dalam berbicara disertai dengan not, lagu,
tarian dan godaan.
3. Nyanyian tidak boleh disertai dengan sesuatu yang haram, seperti minum khamer, pakaian
seronok, percampuran tabu antara lelaki dan perempuan, dengan tanpa batasan dan aturan.
Kondisi seperti inilah yang biasa terjadi di konser lagu dan musik sejak dahulu. Gambaran
yang terlintas di benak langsung hal yang seperti itu ketika disebutkan pesta lagu. Khususnya
nyanyian budak perempuan dan yang merdeka. Inilah yang ditunjukkan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya, "Manusia dari umatku akan minum khamer yang
mereka namakan dengan sesuatu yang bukan namanya. Berdendang di kepalanya alat-alat
musik dan para penyanyi perempuan. Allah akan membenamkan mereka ke bumi dan
menjadikan mereka kera dan babi."
Hal penting yang ingin saya ingatkan di sini adalah bahwa pada zaman dahulu, mendengarkan
lagu itu berarti membuat konser yang menyebabkan terjadinya ikhtilat antara penyanyi laki-
laki dan perempuan serta pengiring mereka. Dalam majelis seperti ini sulit sekali dapat
terhindar dari segala yang dilarang agama. Berbeda dengan zaman sekarang, di mana
seseorang dapat mendengarkan lagu sendirian dan jauh dari penyanyi serta pestanya. Hal ini
tentu dapat meringankan masalah yang ada, sehingga cenderung menjadi lebih mu- dah
untuk diizinkan.
4. Nyanyian, sebagaimana hal-hal mubah lainnya hams dibatasi dan tidak boleh berlebihan,
khususnya lagu romantis yang berbicara tentang cinta dan kerinduan. Manusia tidak hanya
terdiri dari perasaan saja. Dan perasaan bukan hanya cinta saja. Cinta pun tidak hanya terjadi
dan untuk perempuan saja. Demikian juga, perempuan bukanlah tubuh dan syahwat saja.
Oleh karena itu, seharusnya kita mengurangi gelontoran terus-menerus dari nyanyian lagu-
lagu cinta syahwat ini. Mestinya kita adil dalam memberikan porsi pada lagu-lagu, program,
dan kehidupan kita. Seimbang antara agama dan dunia. Seimbang dalam dunia antara hak
individu dan hak masyarakat. Seimbang dalam individu antara hak akal dan perasaan.
Seimbang dalam perasaan dalam semua perasaan yang ada dalam diri manusia, seperti cinta,
benci, cemburu, semangat, kasih sayang, persaudaraan, keibuan, dan sebagainya. Setiap
perasaan mempunyai hak tersendiri.
Sedangkan sikap berlebihan dalam memberikan porsi pada perasaan tertentu, dengan
mengalahkan hak perasaan yang lain, dengan mengalahkan akal, jiwa, dan kehendak, menga-
lahkan masyarakat dan nilai-nilainya, mengalahkan agama dan ajaran-ajarannya maka tidak
boleh. Agama mengharamkan sikap berlebihan dalam segala sesuatu, meskipun itu dalam hal
ibadah, apalagi dalam hal permainan, meskipun hal itu mubah. Perilaku berlebihan seperti ini
menunjukkan bahwa akal dan hati tidak berpikir untuk melaksanakan kewajiban yang besar,
dan tujuan yang agung. Sebaliknya, Hal ini menunjukkan pada penyia-nyiaan hak yang banyak
yang mestinya mendapatkan porsinya masing-masing dari waktu dan umur manusia yang
terbatas.
Benar sekali apa yang dikatakan oleh Ibnu Al-Muqaffa', "Aku tidak melihat sesuatu yang
berlebihan kecuali di sisinya terhadap hak yang disia-siakan." Dalam hadits disebutkan,
"Hendaknya seorang yang berakal tidak berangkat kecuali dalam tiga hal; tempat memanah
untuk bekal hidup, mencari bekal di hari akhir, atau kelezatan yang tidak diharamkan."
Hendaknya kita membagi waktu di antara tiga hal ini dengan adil. Dan hendaknya kita juga
tahu bahwa Allah akan menanyakan setiap umur manusia; untuk apa digunakannya.
5. Setelah semua penjelasan ini maka setiap pribadi hendaklah menimbang-nimbang sendiri.
Apabila nyanyian dan yang sejenisnya memang dapat memengaruhi nafsunya, mem-
bujuknya dalam fitnah, menjadikannya berkhayal, dan membuatnya lebih dikuasai oleh nafsu
hewani daripada rohani, maka ia harus meninggalkannya dan menutup pintu yang menjadi
jalan bertiupnya fitnah di hati, agama dan moralnya, sehingga ia dapat tenang dan damai.
Nyanyian dan Tarian dalam Kehidupan Orang Islam
Bagi yang memperhatikan kondisi orang-orang Islam dan merenungkan fakta riil
kehidupannya, akan melihat bahwa tidak ada pertentangan antara orang Islam taat dengan
permasalahan menikmati keindahan mendengarkan.
Sesunggguhnya telinga orang Islam biasa terhubung dengan pendengaran yang baik yang
dapat dinikmati dan selalu didapat- kannya setiap hari. Ia dapat mendengarkan bacaan Al-Quran
yang dibaca dengan fasih, tartil, dan dengan suara yang merdu dari pembaca yang baik. Demikian
juga azan yang menggugah telingga setiap hari lima kali dengan suara yang indah. Ini adalah
warisan dari masa Rasulullah. Rasul berkata kepada sahabat yang habis memimpikan lafal azan
dalam mimpi yang benar, “Ajarkan azan ini kepada Bilal. Sesungguhnya ia lebih merdu suaranya
daripada kamu." Dan juga dari suara Ibtihal keagamaan yang disampaikan dengan suara merdu
dan lembut, yang dapat menggetarkan hati dan perasaan ini. Demikian pula dari pujian-pujian
kenabian yang diwarisi oleh kaum muslimin semenjak mereka mendengar nasyid indah tersebut
dari putri-putri kaum Anshar, untuk menyambut kedatangan Rasulullah Saw.:
Telah terbit purnama kepada kita
dari Lembah Tsaniyyat Al-Wada'
Kita wajib bersyukur atas apa yang diserukan
oleh penyeru demi jalan Allah.

Saya jadi teringat peristiwa dua puluh tahun yang lalu, ketika saya mendengar nasyid ini dari
para santri madrasah di Indonesia. Mereka bernyanyi bersama dengan suara yang merdu dan
indah. Pada saat itu kami sedang melakukan kunjungan dari Qatar. Hati kami menjadi sendu
karenanya. Air mata kami mengalir karena lagu yang sangat indah dan merdu tersebut.
Di zaman dahulu, orang-orang Islam mampu menciptakan macam karya seni yang didengar
untuk menghibur dan menghiasi hidup mereka, khususnya di desa-desa. Kami masih melihat- nya
di masa kecil dan remaja. Semuanya bernuansa alami dan tumbuh dari lingkungan yang
mencerminkan nilai dan etika yang masih murni. Di antaranya adalah seni Al-Mawawil. Orang-
orang menyanyi sendiri-sendiri atau berkumpul untuk mendengarkannya dari orang yang
suaranya lebih bagus. Kebanyakan berbicara tentang cinta, asmara, putus cinta dan sebagian
yang lain berbicara tentang dunia dan isinya serta aduan kezaliman orang dan sebagainya.
Kebanyakan mereka bernyanyi dengan tanpa alat musik. Di antara seniman ada yang mengarang
sendiri serta menceritakan dan melagukannya di satu waktu. Seperti kisah-kisah yang disyairkan,
yang berisi nyanyian tentang pahlawan, tokoh kesabaran, tokoh perjuangan dan sebagainya yang
didengarkan oleh orang-orang dan dinyanyikan, yang hampir-hampir saja mereka hafal, seperti
kisah Adham Asy-Syarqawy, Syafiqah dan Mutawally, Ayyub Al-Mishry, Saad anak yatim, dan
sebagainya.
Di antaranya juga adalah kisah rakyat untuk para tokoh yang terkenal, seperti Abu Zaid Al-
Hilaly; orang-orang akan berkumpul untuk mendengarkan kisahnya dan mendengarkan syair-
syair tokoh-tokohnya yang diperankan oleh orang yang ahli di bidangnya. Pertunjukan ini
mempunyai banyak penggemar tersendiri, dan di masa sekarang layaknya seperti sinetron.
Terdapat juga lagu-lagu hari raya dan pesta, seperti pesta pernikahan, kelahiran anak, khitanan
anak, kedatangan orang dari bepergian, kesembuhan orang dari sakit, kedatangan haji dan
sebagainya.
Orang-orang menciptakan lagu dan menyanyikannya sendiri sesuai dengan
kecenderungannya. Seperti nyanyian para pekerja kasar yang mendendangkan, "Haila, haila,
Shalli ah An-Nabi."
Nyanyian seperti ini mempunyai landasan sejarah dalam agama, seperti yang dilagukan oleh
para sahabat ketika mereka membangun masjid dan membawa batu-batunya sambil
mendendangkan, uYa Allah, sesungguhnya hidup yang sejati adalah hidup akhirat, maka
ampunilah kaum Anshar dan Muhajir."
Bahkan para ibu ketika menimang anak-anak mereka agar cepat tidur pun menggunakan lagu.
Lagu mereka yang populer seperti, "Ya Rabb, Yanam, Ya Rabb, Yanam."
Saya juga teringat penggugah sahur di bulan Ramadhan. Mereka membangunkan orang
menjelang waktu sahur dengan lagu-lagu yang menarik dan merdu di telinga disertai dengan
kendang mereka.
Hal yang menarik disebutkan di sini juga adalah apa yang diciptakan oleh para penjual di pasar
dan juga penjual keliling untuk menjajakan dagangannya. Mereka berlomba untuk menarik
perhatian dengan lagunya.
Demikianlah, kita menemukan seni lagu ini mengiringi semua lini kehidupan, baik dalam hal
dunia maupun agama. Orang-orang pun banyak melakukannya dan mereka tidak melihat dalam
ajaran agamanya yang melarang hal ini. Ulama pun melihat tidak ada yang perlu dilarang dalam
nyanyian rakyat ini. Bahkan kita melihat banyak dari lagu ini yang bemuansa agama, keimanan,
nilai, etika, dan kesatuan tubuh dengan ruh; yang berupa tauhid, mengingat Allah, doa dan
selawat kepada Nabi Saw.
Apa yang saya sebutkan tadi saya temukan di Mesir. Saya juga menemukan hal serupa di
Syria, Maroko dan sebagainya.

Mengapa Ulama Kontemporer Memberlakukan Hukum Secara Ketat dalam Hal Nyanyian?
Bila diperhatikan, para ulama ahli fikih kontemporer lebih ketat dalam melarang nyanyian—
terlebih yang dinyanyikan dengan menggunakan alat musik—bila di banding dengan ulama
mutaqaddimin. Hal ini disebabkan beberapa hal, sebagai berikut.
1. Ulama kontemporer menggunakan hukum yang lebih ber- hati-hati, bukan yang lebih mudah.
Berbeda dengan para ulama mutaqaddimin lebih banyak menggunakan hukum yang paling
mudah. Hukum yang lebih bersifat hati-hati berarti yang lebih berat dan ketat. Orang yang
mengikuti penjelasan fikih dan fatwa semenjak masa sahabat dan setelahnya niscaya akan
menemukan hal ini secara jelas. Contohnya banyak sekali.
2. Ulama mutaa'hirin terpengaruh dengan hadits dhaif dan maudhu' yang banyak memenuhi
kitab. Sedangkan mereka tidak ahli untuk meneliti riwayat dan sanad. Hadits-hadits ini
tersebar, terlebih dengan tersebarnya pendapat bahwa banyaknya sanad dha'if dapat saling
menguatkan antara satu dengan yang lainnya.
3. Kondisi model nyanyian yang ada pada zaman sekarang. Hal ini dilakukan karena
penyimpangan yang sering terjadi, sehingga hukum nyanyian lebih cenderung dilarang dan
haram. Kondisi ini bisa dilihat dari dua model nyanyian, yaitu nyanyian seronok, dan nyanyian
para sufi.
Model pertama adalah nyanyian seronok yang menjadi ba- gian tidak terpisahkan dari
kehidupan penyanyi, yang larut dalam kenikmatan, menyia-nyiakan shalat, mengikuti nafsu,
yang bercampur dengan perbuatan menyimpang, minum khamer, ucapan cabul, dan
mempermainkan pikiran penonton, sebagaimana yang banyak terjadi di masa Abbasiah.
Orang yang mendengarkan nyanyian berarti akan menyak- sikan pesta yang dipenuhi dengan
keseronokan, porno dan kefasikan ini. Dan sayangnya, lingkungan artis banyak di- warnai
dengan gay a ini. Inilah yang membuat para seni- man dan seniwati yang ingin kembali kepada
jalan Allah lebih memilih meninggalkan dunia tersebut dan menyelamatkan agamanya jauh
dari hiruk-pikuk dunia artis.
Bentuk kedua adalah nyanyian sufi yang dipergunakan oleh para sufi untuk menumbuhkan
rasa rindu dan menggerakkan hati untuk berjalan kepada Allah, sebagaimana yang dilakukan
oleh penggembala dengan untanya, di mana ia memotivasi dan mengarahkan langkahnya,
sehingga ketika unta mendengar lagu dendangannya yang bertalu-talu maka akan menjadi
ringanlah beban unta tersebut, dan menjadi pendeklah jarak yang jauh. Kaum sufi
menganggap bahwa mendengarkan lagu seperti ini merupakan ibadah dan taqarub kepada
Allah, atau minimal dapat menolong untuk ibadah dan bertaqarrub. Inilah yang diingkari oleh
semisal Syeikh Ibnu Taimiyah dan muridnya, Imam Ibnu Qayyim yang mengkritik nyanyian
dengan sangat keras, khususnya Ibnu Qayyim dalam kitabnya yang berjudul Ighatsah Al-
Lahfan. Ia menggunakan semua senjatanya untuk menyerang nyanyian, dan berargumen
untuk mengharamkan nyanyian.
Dalam sebagian fatwa Ibnu Taimiyah terdapat fatwa yang memperbolehkan nyanyian apabila
untuk menghilangkan beban dan hiburan.

Fiklh Imam Al-Ghazali dalam Masalah Ini


Saya berpendapat bahwa sikap Imam Al-Ghazali mengenai masalah nyanyian, jawaban beliau
yang memuaskan kepada pihak yang mengharamkan nyanyian, dukungan beliau terhadap dalil
orang yang memperbolehkan, serta penjelasan mengenai lagu yang diperbolehkan dan
masuknya sesuatu yang mubah ini ke wilayah yang diharamkan, merupakan sikap yang paling
ideal yang mencerminkan keseimbangan ajaran agama, toleransi, dan kesesuaian agama untuk
semua tempat dan waktu.
Pemikiran fikih Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Ihya' secara umum merupakan pemikiran fikih
yang terbebas dari mazhab. Ia bukan lagi pengikut Syafii, melainkan seorang mujtahid mutlak
yang melihat agama dari lingkupnya yang luas. Hal ini tampak sekali di banyak tempat yang
membutuhkan pembelajaran ter- sendiri yang layak untuk dibahas di kalangan akademisi.
Al-Ghazali menyebutkan lima hal yang menyebabkan hukum mubah mendengarkan nyanyian
menjadi haram, sebagai berikut.
1. Penyebab yang ada pada orang yang memperdengarkan nyanyian, yaitu perempuan yang
haram dilihat, yang dikha- watirkan terjadi fitnah ketika mendengarkannya. Jadi, keharaman
yang ada karena khawatir terjadi fitnah, bukan karena lagu itu sendiri.
Imam Al-Ghazali memilih membatasi keharaman ketika dikhawatirkan terjadi fitnah. Ia
menguatkan argumen tersebut dengan dasar hadits dua budak perempuan yang menyanyi di
rumah Aisyah. Dalam hal ini diketahui bahwa Rasulullah mendengarkan suara mereka berdua
dan tidak melarangnya. Karena tidak dikhawatirkan terjadi fitnah maka tidak dilarang. Jadi,
dalam hal ini hukum bisa berbeda tergantung kondisi perempuan dan lelaki, tua dan muda.
Senada dengan masalah ini adalah orang tua yang mencium istrinya ketika puasa. Tentu
masalahnya akan berbeda bila anak muda yang melakukannya.
2. Penyebab yang ada dalam alat musik, yang merupakan simbol para peminum khamer dan
orang fasik, seperti seruling, gitar, dan drum. Ini tiga jenis alat musik yang dilarang. Selain dari
tiga jenis tersebut maka tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah, seperti terbang dan
sebagainya.
3. Penyebab yang ada pada lirik lagu atau syairnya. Apabila mengandung sesuatu yang keji,
membohongkan Allah dan Rasul-Nya atau sahabat, sebagaimana yang dilakukan oleh syi'ah
Rafidhah dalam mencela para sahabat dan lainnya maka mendengarkan syair yang seperti ini
adalah haram, baik dengan lagu maupun tanpa lagu. Orang yang mendengarkan dianggap
sama dengan orang yang berbicara. Demikian pula syair yang menggambarkan perempuan di
hadapan lelaki. Tapi apabila hanya mensifati sifat keremajaan, seperti pipi dan sifat yang lain,
maka tidak haram melagukannya, baik dengan lagu maupun tanpa lagu. Dan tidak semestinya
digambarkan sosok orang tertentu. Apabila harus menggambarkannya maka hanya boleh
diutarakan pada orang yang halal saja. Apabila diutarakan pada orang asing yang tidak halal
maka berarti telah melakukan maksiat. Orang yang seperti ini mestinya dijauhi.
4. Penyebab yang ada pada orang yang mendengarkan, yaitu ketika syahwat sudah
menguasainya dan ketika dia masih muda. Kondisi ini sering menguasai usia seperti itu
daripada lainnya. Kalau demikian kondisinya, maka mendengarkan lagu haram baginya, baik
hatinya dikuasai oleh rasa cinta kepada sosok tertentu ataupun tidak. Dia tidak boleh
mendengarkan nyanyian yang menggambarkan tentang kening, pipi, perpisahan, percintaan,
dan lainnya karena bisa meng- gerakkan syahwatnya, dan disinilah setan bermain dalam hati.
Syahwat menjadi berkobar dan penyebab keburukan menjadi menyala-nyala.
5. Penyebab berikutnya adalah apabila orang tersebut termasuk orang awam dan rasa cinta
Allah tidak dapat menguasainya. Maka ia menjadi suka mendengarkan lagu, namun syahwat
tidak sampai mengalahkannya. Dalam hal ini ia tidak diperbolehkan. Namun ia tetap
diperbolehkan sebagaimana hal-hal yang diperbolehkan, kecuali apabila menjadikannya
seperti candu, dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk hal ini. Orang seperti ini
adalah orang bodoh yang ditolak kesaksiannya. Orang yang terus-menerus dalam permainan
adalah salah. Sebagaimana juga sesuatu yang kecil apabila dilakukan terus-menerus maka
akan menjadi besar. Tidak semua yang mubah tetap dimubahkan ketika dilakukan terlalu
banyak. Bahkan makan roti adalah mubah, namun terlalu banyak memakannya adalah
haram, sebagaimana hal-hal mubah yang lain.
Dari hal-hal yang disebutkan oleh Al-Ghazali tersebut diketahui bahwa gitar dan seruling
termasuk hal yang menjadi penyebab nyanyian diharamkan, karena agama telah
melarangnya.
Ia mengemukakan alasan pelarangan ini dengan mengatakan, "Agama tidak melarangnya
karena kenikmatan yang ditimbulkannya. Sebab, kalau ia diharamkan karena kenikmatan
yang ditimbulkannya maka nanti akan dikiyaskan dengan segala kenikmatan yang dirasakan
oleh manusia. Khamer diharamkan, dan karena orang-orang begitu terpikat olehnya maka
mereka harus dipisahkan jauh dari segala yang berkaitan dengan khamer, sehingga
dihancurkanlah gentong-gentong besar yang menjadi wadah Khamer dan bersamanya
menjadi haram segala sesuatu yang menjadi syiar para peminum khamer, yaitu gitar dan
seruling. Pengharaman gitar dan seruling merupakan efek samping. Sama halnya dengan
keharaman berduan dengan perempuan ajnabiah, karena merupakan permulaan terjadinya
perzinaan; sebagaimana haram melihat paha karena terhubung langsung dengan alat
kelamin. Sedikitnya khamer tetap haram, meskipun tidak memabukkan; karena hal tersebut
dapat memicu pada memabukkan. Tidak ada sesuatu yang haram yang tidak dikelilingi oleh
sesuatu yang lain yang memicunya, dan hukum haram berlaku pada sesuatu yang
mengelilinginya karena untuk menjaga sesuatu yang haram. Gitar dan seruling diharamkan
karena mengikuti hukum haram khamer. Hal ini disebabkan tiga alasan:
Pertama, ia dapat mengajak orang untuk meminum khamer, karena kenikmatan yang
didapatkan darinya lebih sempurna bila dibumbui dengan khamer.
Kedua, karena masih dalam masa yang dekat dengan masa orang terbiasa minum khamer.
Penyebutan hal tersebut dapat membangkitkan keinginan dan kecanduan untuk meminum
khamer.
Ketiga, seruling identik dengan khamer. Karena telah menjadi kebiasaan orang fasik maka
dilarang untuk berlaku serupa dengan mereka. Sebab, orang yang menyerupai suatu kaum
maka dia termasuk darinya.
Setelah perkataan dan penyampaian argumen yang baik, Imam Al-Ghazali mengatakan, "Jadi
jelaslah bahwa alasan keharamannya bukan karena kenikmatan yang baik, melainkan karena
pengkiyasan bahwa sesuatu yang baik hukumnya mubah kecuali apabila membawa
kerusakan.
Semoga Allah merahmati Imam Al-Ghazali. Sebenarnya tidak ada nash sahih terpercaya yang
jelas dilalahnya yang melarang penggunaan gitar dan seruling ini, sebagaimana disangka.
Namun Al-Ghazali mengambil hadits yang di- riwayatkan dalam tema ini sebagai masalah
yang dapat diterima, kemudian dia berusaha untuk menafsirkannya sebagaimana yang kami
sebutkan. Tentunya penjelasan ini sangat berguna, khususnya bagi orang yang tidak
berpendapat dengan dha'ifnya hadits ini.

Peringatan agar Jangan Mudah Mengharamkan Sesuatu


Kami mengakhiri pembahasan kali ini dengan perkataan yang kami tujukan kepada para
ulama yang terhormat, yang menganggap ringan kata 'haram' dan dengan mudahnya terlontar
dalam fatwa-fatwanya serta dalam bukunya ketika ia menulis. Mereka hendaknya ingat akan
pengawasan Allah dalam perka- taannya dan mengetahui bahwa kata 'haram' adalah kata yang
berbahaya; karena hal tersebut berarti siksa Allah Swt. terhadap orang yang melakukannya. Hal
ini merupakan sesuatu yang tidak boleh hanya disandarkan pada selera, hadits dha'if atau teks
yang terdapat dalam kitab turats. Melainkan harus diketahui dari nash yang terpercaya dan
sharih, atau ijmak yang sahih dan muktabar. Apabila tidak ada maka masuk dalam wilayah mubah
dan wilayah ampunan yang sangat luas. Dan mereka dapat menjadikan para pendahulu yang
saleh sebagai suri teladan.
Imam Malik mengatakan, "Tidak ada yang berat bagiku melebihi ketika aku ditanya tentang
masalah halal dan haram; karena hal tersebut merupakan pengambilan keputusan terhadap
hukum Allah. Aku melihat para ulama dan ahli fikih di negeri kami, ketika salah satu mereka
ditanya tentang suatu masalah maka seolah-olah kematian menghampirinya. Sedangkan di masa
sekarang aku melihat orang dengan enaknya mengeluarkan fatwa. Sesungguhnya Umar bin
Khattab dan Ali bin Abi Thalib serta para sahabat yang baik, ketika mereka mendapatkan
masalah—padahal mereka adalah orang yang hidup di sebaik-baik masa yaitu masa ketika Nabi
Saw. hidup bersamanya— mereka mengumpulkan para sahabat Nabi dan bertanya. Kemudian
setelah itu mereka memberikan fatwa. Orang-orang yang menjadi panutan tidak pernah
mengatakan, "Ini halal dan ini haram." Namun ia mengatakan, "Aku tidak suka ini, dan aku
berpendapat begini." Sebab, kata "halal" dan "haram" maka apabila salah berarti hal ini adalah
berbohong atas nama Allah. Tidakkah kalian mengingat firman Allah Swt.,
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku rejeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu
jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal." Katakanlah, "Apakah Allah telah mem-
berikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?"
(Yunus: 59)
Sesungguhnya halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan haram adalah
apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Diriwayatkan oleh Imam Syafii dalam Al-Umm dari Abu Yusuf sahabat Abu Hanifah, ia
mengatakan, "Aku menemukan para syeikh kami dari para ulama ketika berfatwa mereka
mengatakan ini halal dan ini haram hanya dalam masalah yang sudah disebutkan dalam Al-Quran
secara jelas dengan tanpa tafsir.
Ibnu As-Sa'ib meriwayatkan kepada kami dari Ar-Rabi' bin Haitsam—ia adalah tabiin yang
mulia—mengatakan, "Hati- hatilah ketika seseorang mengatakan, "Sesungguhnya Allah
menghalalkan ini atau meridhainya." Karena kalau tidak benar maka Allah berkata kepadanya,
"Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya." Dan hati-hatilah kalau seseorang
mengatakan, "Sesungguhnya Allah mengharamkan ini." Karena apabila tidak benar maka Allah
kan berkata, "Bohong kamu, Aku tidak mengharamkannya dan tidak mencegahnya."
Sahabat-sahabat kami menceritakan kepada kami dari Ibrahim An-Nakha'i bahwa ia
menceritakan dari sahabat-sahabatnya bahwa mereka ketika berfatwa tentang sesuatu atau
melarang sesuatu, mereka mengatakan, "Ini dibenci. Dan ini tidak apa-apa." Dia tidak
mengatakan, "Ini halal dan ini haram."

Ringkasan Hukum Lukisan dan Pelukis


Kita dapat mengelompokkan hukum lukisan dan pelukis dalam ringkasan berikut ini.
1. Lukisan yang paling diharamkan dan paling berdosa adalah lukisan sesuatu yang disembah
selain Allah. Hal ini dapat mengakibatkan kekafiran orang yang melukisnya apabila
mengetahui dan bermaksud demikian. Sedangkan lukisan tiga dimensi, dalam hal ini lebih
berat lagi dosa dan keharamannya. Dan orang yang mengagungkan lukisan ini dari beberapa
sisi termasuk dalam dosa ini sesuai dengan kadar keikutsertaannya.
2. Berikutnya dalam urutan dosa adalah orang yang melukis sesuatu yang tidak disembah.
Namun ia bermaksud menyamai ciptaan Allah. Dalam arti ia mengaku menciptakan
sebagaimana Allah menciptakan. Dalam hal ini ia mendekati kekafiran. Hal ini digantungkan
pada niat pelukis tersebut.
3. Setelah itu adalah lukisan tiga dimensi terhadap sesuatu yang tidak disembah, namun lukisan
tersebut berupa sesuatu yang diagungkan, seperti lukisan para raja, pemimpin dan tokoh
dengan maksud untuk membuatnya kekal dengan membuat patung-patung mereka dan
menaruhnya di alun-alun dan sebagainya. Dalam hal ini sama saja apakah patung tersebut
sempurna atau separuh.
4. Setelah itu adalah lukisan tiga dimensi terhadap sesuatu yang mempunyai roh dan tidak
disucikan atau diagungkan. Hal ini telah disepakati keharamannya. Dan dalam hal ini terdapat
pengecualian jika dimaksudkan sebagai mainan anak atau permen untuk yang dimakan.
5. Setelahnya adalah lukisan sesuatu yang hanya dua dimensi -papan lukisan seni—yang
orangnya diagungkan, seperti lukisan para pemimpin, tokoh dan sebagainya. Terlebih apabila
di gantungkan atau dipasang. Hal ini haram apabila orang yang dilukis tersebut adalah orang
zalim, fasik dan antiagama. Sesungguhnya mengagungkan mereka berarti menghancurkan
Islam.
6. Setelah itu adalah lukisan tidak bertubuh (dua dimensi) terhadap sesuatu yang mempunyai
roh yang tidak diagungkan, namun termasuk sesuatu yang mewah dan bagus, seperti untuk
menutupi dinding dengannya dan sebagainya. Hal ini hukumnya makruh saja.
7. Sedangkan lukisan sesuatu yang tidak mempunyai roh, seperti tumbuhan, kurma, laut, kapal,
gunung, bintang, awan dan pemandangan alam lainnya maka tidak apa-apa, selagi
melukisnya tidak melalaikan seseorang dari amal ketaatan. Tapi jika berlebihan maka
dimakruhkan.
8. Sedangkan fotografi, hukum asalnya adalah mubah, selagi tema lukisan tidak mengandung
sesuatu yang diharamkan, seperti mengkultuskan orang tersebut atau mensakralkannya.
Terlebih apabila yang diagungkan tersebut orang kafir atau fasik, seperti para penyembah
berhala, atheis, dan para seniman yang menyimpang.
9. Terakhir, segala jenis patung dan lukisan, baik yang haram maupun makruh, apabila
gambarnya dikaburkan dan atau statusnya dihinakan, seperti gambar di karpet yang akan
diinjak kaki atau sandal maka hukum haram dan makruhnya berubah menjadi halal.

Penafsiran
Sebagian ulama berusaha mentawilkan hadits sahih tentang haramnya lukisan dan memiliki
lukisan dengan mengatakan bahwa semua lukisan hukumnya boleh, bahkan lukisan tiga di- mensi
sekalipun. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Abu Ali Al-Farisi dalam tafsirnya, di mana
sebagian orang berusaha mentakwil kata al-mushawwirin dalam hadits dengan orang yang
membuat lukisan Allah dalam bentuk tiga dimensi, di mana mereka menyerupakan Allah dengan
makhluknya dan menggambarkannya dalam bentuk tubuh dan lukisan. Mahasuci Allah, tidak ada
sesuatu pun yang menyamainya.
Sebagian orang juga berdalih dengan apa yang diperbolehkan kepada Nabi Sulaiman a.s.,
sebagaimana telah diceritakan oleh Al-Quran dalam surat Saba', "Para jin itu membuat untuk
Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung..."
(Saba’: 13). Mereka berpendapat bahwa hukum ini masih berlaku, karena belum ada yang
mengatakan bahwa ia telah dinasakh dalam agama kita. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu
Ja'far An-Nuhas, dan setelahnya diriwayatkan oleh Makky dalam tafsirnya, Al-Hidayah ila Bulugh
An-Nihayah.
Sebagian lagi menakwil larangan yang ada dalam hadits sebatas makruh, dan mengatakan
bahwa larangan yang ada hanya diberlakukan pada masa ketika orang masih dekat dengan zaman
menyembah berhala. Tapi sekarang kondisi sudah berubah. Pendapat tersebut dikemukakan
oleh sebagian ulama sebelumnya. Namun Imam Ibnu Daqiq Al-Id menolaknya dan mengatakan
bahwa hal tersebut adalah pendapat yang batil, karena bertentangan dengan illat yang
dikemukakan oleh agama, yaitu menyamai ciptaan Allah. Ia mengatakan, "Ini adalah alasan
umum yang kuat dan sesuai, yang tidak hanya diperuntukkan pada masa tertentu. Kita tidak
selayaknya menyikapi nash yang jelas dan banyak dengan makna yang penuh imajinasi.
Pendapat-pendapat ini tidak dapat memuaskan pikiran seorang muslim dan tidak
berpengaruh dalam perjalanan peradaban Islam serta kehidupan kaum muslimin secara umum,
meskipun sebagian orang menggunakan pendapat ini di suatu negara. Sebagaimana yang kita
lihat pada patung singa di istana Al-Hamra di Granada, Andalusia.

Karakter Umum Peradaban Islam


Karakter umum peradaban Islam tidak menerima lukisan manusia dan hewan, khususnya
yang berbentuk tiga dimensi. Ia lebih banyak menjauhi hal tersebut karena lebih sesuai dengan
akidah tauhid, bukan penjisiman yang lebih pantas pada kaum penyembah berhala.
Dari sini, kesenian di dunia Islam mewariskan karya seni yang sangat indah kepada kita.
Tampaklah ornamen-ornamen indah karya seni para seniman. Hal tersebut dapat kita lihat di
masjid, istana, mushaf, rumah dan sebagainya; seperti di dinding, atap, pintu, jendela, lantai,
perabotan rumah, baju, pedang dan sebagainya. Digunakan media yang bermacam-macam
seperti batu, kayu, keramik, kulit, kaca, daun, kertas, besi, timah dan barang tambang yang
bermacam-macam.
Termasuk seni indah ini adalah kaligrafi Arab dengan segala bentuknya; seperti Tsuluts,
Riq'ah, Farisi, Diwani, Kufi, dan lainnya. Para penulis indah mengerahkan segala kemampuan
seninya, dan mereka memberikan peninggalan karya seni yang sangat indah kepada kita.
Seni kaligrafi dan ornamen ini tampak sekali dalam mushaf dan masjid. Dalam masjid kita
temukan kaligrafi ayat Al-Quran yang sangat indah, sebagaimana di mesjid Nabawi, masjid Qubah
Shakhrah, masjid Umawy di Damaskus, masjid Sultan Ahmad dan Sulaimaniyah di Istambul,
masjid sultan Hasan dan masjid Muhammad Ali di Kairo, dan masjid-masjid lainnya di seluruh
penjuru dunia Islam.
Seni Islam kebanyakan terdapat pada seni bangunan. Para sejarawan mengatakan,
"Sesungguhnya seni bangunan yang paling indah untuk dijadikan standar adalah yang terdapat
dalam seni Islam. Hal tersebut dapat dilihat di banyak tempat. Di antara yang paling terkenal
adalah bangunan yang terdapat di India; yaitu salah satu keajaiban dunia yang terpancar dalam
keindahan seni bangunan berupa Taj Mahal. Demikianlah, larangan lukisan dan pahatan menjadi
penyebab munculnya hal bam di dunia seni. Hal ini membuat dunia Islam mempunyai
keistimewaan tersendiri.

Lukisan dalam Al-Quran


Al-Quran menyebutkan bahwa at-tashwir (melukis) merupakan salah satu perbuatan Allah,
di mana Allah Swt. telah menciptakan karya-karya indah, khususnya lukisan alam yang di
antaranya yang paling utama adalah manusia. Disebutkan dalam Al-Quran,
Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Ali Imran:
6)

Mengenai keindahan manusia, disebutkan,


Dia menciptakan langit dan bumi dengan haq. Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya
rupamu itu dan hanya kepada Allahlah kembali(mu). (At-Taghabun: 3)

Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan
tubuh) mu seimbang dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.
(Al-lnfithar: 7-8)

Al-Quran menyebutkan bahwa di antara nama-nama Allah adalah Al-Mushawwir,


sebagaimana firman Allah Swt.,
Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai
Asma'ul Husna. Bertasbihlah kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah yang Maha
Bijaksana. (Al-Hasyr: 24)
Sebagaimana Al-Quran menyebutkan patung-patung dalam dua tempat. Pertama dalam
kondisi dicela dan diingkari, sebagaimana disebutkan lewat lisan Nabi Ibrahim ketika kaumnya
menyembah berhala, maka Nabi Ibrahim mengingkari mereka dengan mengatakan, "Patung-
patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya? "Mereka menjawab, "Kami
mendapati bapak-bapak kami menyembahnya." (Al-Anbiya': 52-53). Kedua, ketika Al-Quran
menyebutnya dalam kontek pemberian karunia dan anugerah kepada Sulaiman, yang dapat
menundukkan angin, dan menundukkan jin untuk bekerja sesuai dengan kehendak Sulaiman.
Dalam ayat disebutkan, "Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari
gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung (Saba': 13)

Lukisan dalam Sunnah


Dalam sunah terdapat banyak hadits sahih yang kebanyakan mencela lukisan dan pelukis.
Sebagian yang lain secara ketat melarang melukis, mengharamkannya dan memberikan
ancaman. Sebagaimana juga diingkari keinginan untuk memiliki lukisan atau
menggantungkannya di rumah. Disebutkan, "Sesungguhnya malaikat tidak masuk rumah yang di
dalamnya terdapat lukisan." Malaikat adalah wujud rahmat, keridhaan dan berkah Allah Swt.
Apabila ia tidak mau masuk rumah, maka artinya rumah tersebut tidak mendapatkan rahmat,
ridha dan berkah.
Orang yang merenungkan makna hadits yang berisi tentang lukisan atau keinginan untuk
memiliki lukisan, dalam bahasa dan uslubnya, dan membandingkan antara satu dengan yang
lainnya maka akan terlihat jelas bahwa larangan dan pengharaman serta ancaman yang terdapat
dalam hadits tersebut bukanlah asal-asalan, melainkan tersimpan maksud dan tujuan di baliknya
untuk dijaga dan diwujudnyatakan.

Melukis Sesuatu yang Diagungkan dan Disucikan


Sebagian lukisan terkadang dimaksudkan untuk mengagungkan orang yang dilukis.
Pengagungan ini tidak sama, terkadang ada yang sampai bersifat menyucikan bahkan ibadah.
Sejarah penyembahan berhala bermula dari pelukisan untuk peringatan dan berakhir dengan
penyucian dan ibadah.
Para mufassir menjelaskan tentang firman Allah Swt. yang berbicara mengenai kaum Nuh
yang berbunyi, "Dan mereka berkata, jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan
jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr." (Nuh: 23). Nama-nama berhala tersebut
sebelumnya adalah nama orang-orang saleh. Ketika mereka meninggal dunia, maka setan
membisikkan kepada kaumnya, agar mereka membuat patung untuk memperingatinya dan
menamakannya sesuai dengan namanya, maka mereka melakukan. Sebelumnya tidak disembah,
hingga mereka meninggal dunia dan lupa dengan ilmunya maka akhirnya disembah.
Diriwayatkan dari Aisyah, ia mengatakan, "Ketika sebagian istri Nabi mengadukan perihal
gereja yang disebut dengan nama Maria, dan pada saat itu Ummu Salamah dan Ummu Habibah
datang ke tanah Habasyah, mereka berdua menceritakan keindahannya dan lukisan-lukisan yang
ada di dalamnya, maka Rasul mengangkat kepalanya dan berkata, "Ketika orang saleh mereka
meninggal dunia maka mereka membangun tempat ibadah di atas kuburnya, kemudian mereka
melukis lukisan-lukisan tersebut. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk Allah." (Muttafaq Alaih)
Sebagaimana diketahui bahwa lukisan dan patung sangat melekat pada para penyembah
berhala, sebagaimana hal tersebut dilihat pada kaum Ibrahim, orang mesir kuno, Yunani, Romawi
dan India hingga masa sekarang dan yang lainnya.
Barang kali ancaman berat terhadap lukisan yang dimaksudkan adalah orang-orang yang
memahat patung yang mereka sembah dengan berbagai macamnya. Hal ini sebagaimana hadits
Ibnu Mas'ud dari Masruq, "Sesungguhnya orang yang paling berat siksanya bagi Allah adalah
para pelukis." (Muttafaq Alaih)
An-Nawawi mengatakan, "Hal ini dimaksudkan kepada orang yang membuat bentuk tertentu
untuk disembah. Dia adalah pembuat berhala dan semacamnya. Orang seperti ini adalah kafir
dan mendapatkan siksa yang berat. Salah satu pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud
dalam hadits ini adalah orang yang ingin menyamai ciptaan Allah dan mempunyai keyakinan
terhadap hal tersebut. Maka orang seperti ini kafir. Ia akan mendapat siksa berat karena
kekafirannya. Siksanya akan bertambah dengan bertambahnya keburukan kekafirannya.
An-Nawawi mengatakan hal tersebut karena memang ia termasuk orang yang paling ketat
dalam mengharamkan membuat lukisan dan mengambilnya untuk dimiliki. Sebab, tidak
terbayangkan—berdasarkan maqashid asy-syar'i—apabila seorang pelukis biasa siksanya lebih
berat dibanding pembunuh, penzina, peminum khamer, saksi bohong dan pelaku dosa besar
lainnya.
Masruq menyebutkan hadits yang ia dengar dari Ibnu Mas'ud di atas ketika ia dan sahabatnya
masuk ke suatu rumah dan ternyata di dalamnya terdapat patung-patung. Maka Masruq berkata,
"Apakah ini patung-patung Kisra?" Sahabatnya mengatakan, "Ini adalah patung Maryam." Lantas
Masruq menyebutkan hadits tersebut.

Melukis Sesuatu yang Dipakai Syiar Agama Lain


Senada dengan masalah lukisan ini adalah gambar yang menunjukkan syiar agama tertentu
selain agama Islam. Contoh kongkritnya seperti gambar salib bagi orang Nasrani. Gambar yang
mengandung salib maka haram dan bagi orang Islam wajib menolak dan menghilangkannya.
Dalam hal ini, Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa sesungguhnya Nabi Saw.
menghilangkan segala sesuatu di rumahnya yang di dalamnya terdapat tanda salib."

Menyamai Ciptaan Allah


Orang yang melukis akan dianggap menyamai Allah dalam hal penciptaan bila ketika melukis
ia menganggap mampu menciptakan sesuatu, sebagaimana halnya Allah Swt. Tentu saja hal ini
tergantung pada tujuan dan niat orang yang melukis. Meskipun dalam hal ini terdapat orang yang
berpandangan bahwa setiap pelukis berarti menyamai ciptaan Allah. Dalam hal ini terdapat
hadits Aisyah r.a. dari Nabi Saw.,
Orang yang paling berat siksanya di hari kiamat adalah orang yang menyamai ciptaan Allah.
(Muttafaq Alaih)

Ancaman berat seperti ini diperuntukkan kepada orang yang bermaksud menyamai ciptaan
Allah. Inilah pendapat yang disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim. Orang yang
mempunyai maksud dan tujuan seperti itu tentunya seorang kafir.
Hal ini juga ditunjukkan oleh hadits qudsi dari Abu Hurairah dari Rasulullah bahwa Allah Swt.
berfirman, "Siapakah yang lebih zalim dari orang yang bermaksud untuk menciptakan seperti
ciptaan-Ku? Mereka ingin menciptakan jagung, mereka ingin menciptakan biji-bijian, atau
mereka ingin menciptakan biji sya'ir." (Muttafaq Alaih)
Kata 'orang yang bermaksud untuk menciptakan seperti ciptaan-Ku' menunjukkan
kesengajaan dan tujuan. Barangkali inilah rahasia tantangan Allah kepada mereka di hari kiamat,
ketika dikatakan kepada mereka, "Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan" Hal ini adalah perintah
yang menunjukkan ketidakmampuan mereka, sebagaimana dikatakan oleh para ahli ushul fiqih.

Lukisan Masuk dalam Kategori Kemewahan


Lukisan merupakan bagian dari sarana kemewahan. Inilah penyebab yang melatarbelakangi
kebencian Rasulullah terhadap sebagian lukisan yang terdapat di rumahnya.
Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. sedang keluar dalam suatu pertempuran. Aisyah
mengatakan, "Maka aku mengambil sejenis penutup dan aku gunakan untuk menutupi pintu.
Ketika Rasulullah datang, ia melihat penutup tersebut, lalu menariknya hingga terkoyak dan
berkata, "Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kepada kita untuk memberikan pakaian
terhadap batu dan tanah." Aisyah berkata, "Maka aku memotong kain itu untuk pembungkus
dua bantal dan Rasul tidak mencelaku karenanya." (Muttafaq Alaih)
Nash yang berbunyi, 'Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kepada kita,' menunjukkan
bahwa hal ini tidak wajib dan tidak sunah. Paling berat adalah makruh tanzih, sebagaimana
dikatakan oleh Imam Nawawi, "Rumah Nabi selayaknya menjadi panutan dan contoh bagi
manusia dalam menghilangkan kemewahan dan perhiasan dunia."
Hal ini dikuatkan lagi dengan hadits Aisyah yang lain. Ia mengatakan, "Kami mempunyai satir.
Di dalamnya terdapat gambar patung burung. Ketika orang ingin masuk rumah maka ia akan
melihatnya. Rasulullah lalu berkata kepadaku, "Ubahlah ini. Sesungguhnya ketika masuk, aku
melihatnya dan aku jadi ingat dunia." (HR. Muslim)
Terdapat hadits senada yang diriwayatkan oleh Qasim bin Muhammad r.a. dari Aisyah r.a.
bahwa dia mempunyai baju yang terdapat lukisan di dalamnya hingga memanjang sampai ke
lobang angin di tembok dan Rasulullah sedang shalat di tempat tersebut, maka Rasul berkata,
"Singkirkanlah dariku." Aisyah berkata, "Maka aku singkirkan dan aku buat menjadi bantal-
bantal." Dalam riwayat lain selain Imam Muslim menggunakan bahasa, "Singkirkanlah dariku,
sesungguhnya lukisan-lukisannya tampak kepadaku dalam shalatku."
Semua itu disebabkan karena kemewahan dan kenikmatan yang dianggap berlebihan. Jadi,
permasalahan ini masuk dalam lingkup makruh, bukan lingkup haram. Namun Imam Nawawi
berkata, "Hal ini bisa jadi karena peristiwanya terjadi sebelum adanya larangan menggunakan
sesuatu yang terdapat lukisannya. Oleh karena itu, Rasul masuk, melihatnya dan tidak
mengingkarinya.
Ini artinya, Imam Nawawi melihat bahwa hadits yang menunjukkan haramnya lukisan telah
menasakh hadits ini dan hadits yang senada. Namun, nasakh tidak dapat diperlakukan apabila
masih dalam kondisi ihtimal, dan untuk dapat menetapkan terjadinya nasakh dalam hal seperti
ini menuntut adanya dua hal. Pertama, terjadinya ta'arudh (pertentangan) dua nash yang tidak
mungkin dikumpulkan. Padahal, dalam hal ini masih mungkin untuk dipadukan, yaitu dengan
memasukkan hadits yang mengharamkan melukis karena bertujuan untuk menyamai ciptaan
Allah, atau terbatas pada lukisan tiga dimensi.
Kedua, apabila diketahui dengan pasti mana nash yang datang lebih akhir. Padahal, dalam hal
ini tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hadits pengharaman adalah hadits yang datang lebih
akhir. Bahkan menurut pandangan imam Ath-Thahawy dalam kitab Musykil Al-Atsar justru malah
sebaliknya. Islam awalnya memberikan hukum ketat dalam hal lukisan karena masih dekat
dengan masa penyembahan berhala, kemudian setelah itu lukisan dalam baju dan lainnya
diperbolehkan.
Hadits ini juga diriwayatkan dari Aisyah dengan redaksi berbeda, yang menunjukkan rasa
benci yang sangat dari Rasul. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa ia membeli bantal kecil yang
terdapat gambar-gambar. Ketika Rasulullah melihatnya, maka Rasul berdiri di pintu dan tidak
masuk. Aisyah melihat kebencian di wajahnya. Aisyah berkata, "Lalu aku berkata, "Wahai Rasulul-
lah, aku bertobat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa dosa yang telah kulakukan?" Rasul kemudian
berkata, "Bantal kecil apa ini?" Aku menjawab, "Aku membelinya untukmu untuk dipakai duduk
dan bersandar." Rasulullah kemudian bersabda,
Sesungguhnya pemilik gambar ini akan disiksa di hari kiamat dan dikatakan kepadanya,
“Hidupkan apa yang kalian ciptakan.” Rasulullah saw lantas bersabda “Sesungguhnya rumah
yang didalamnya terdapat lukisan maka malaikat tidak akan masuk kedalamnya (mutafaq
Alaih)

Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Hadits-Hadits yang Ada


Dalam suhu seperti inilah seni lukisan berada di masa kenabian. Banyak hadits yang sangat
ketat menyikapi hal ini. Meskipun sikap ketat tersebut lebih banyak dalam hal membuat lukisan
daripada dalam hal memiliki lukisan. Sebagian jenis lukisan yang haram menjadi boleh ketika
lukisan tersebut dipergunakan sebagai alas, bantal dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam
hadits Aisyah.
Di antara hadits yang paling keras melarang lukisan adalah yang terdapat dalam shahihain
dari Ibnu Abbas,
Dalam riwayat Al-Bukhari dari Said bin Abu Hasan, ia mengatakan, "Aku bersama Ibnu Abbas,
tiba-tiba datanglah seorang lelaki kepadanya. Kemudian lelaki tersebut berkata, "Wahai Ibnu
Abbas, sesungguhnya aku adalah orang yang sumber penghidupanku berasal dari pekerjaan
tanganku dan aku membuat lukisan-lukisan ini." Ibnu Abbas mengatakan, "Aku tidak berkata
kepadamu kecuali apa yang aku dengar dari Rasulullah Saw. Aku mendengar Rasul berkata,
"Barang siapa yang melukis lukisan, maka sesungguhnya Allah akan menyiksanya hingga roh
ditiupkan di dalam lukisan tersebut Dan orang tersebut tidak akan pernah dapat untuk
meniupkan roh di dalamnya." Mendengarnya, lelaki tersebut menjadi tertekan dan menahan
marah. Maka Ibnu Abbas mengatakan, "Celaka kamu, kalau me- mang tetap ingin melukis,
lukislah pohon ini dan segala yang tidak bernyawa."
Imam Muslim meriwayatkan dari Hayyan bin Hashin, ia mengatakan, "Ali bin Abu Thalib
berkata kepadaku, Tidakkah aku mengutusmu sebagaimana Rasulullah mengutusku?'jangan- lah
kamu tinggalkan lukisan kecuali kalian lenyapkan. Dan ja- nganlah kamu tinggalkan kuburan yang
dikijing kecuali kamu ratakan.
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah bahwa ia berkata, "Rasulullah janjian dengan jibril
dalam waktu tertentu untuk bertemu. Maka tibalah saat tersebut, namun Jibril tidak datang
kepadanya. Di tangan Rasulullah terdapat tongkat, lalu Rasul melemparnya dan berkata, "Allah
tidak akan menyalahi janji-Nya dan juga Rasul-rasul-Nya. Kemudian Rasul menoleh, ternyata
terdapat anjing di bawah ranjangnya. Rasulullah berkata, uWahai Aisyah, kapan anjing ini
masukdi sini?" Aisyah menjawab, "Demi Allah, aku tidak mengetahuinya." Maka kemudian anjing
tersebut dikeluarkan dan datanglah Jibril. Rasulullah Saw. kemudian berkata, "Kamu berjanji
kepadaku, dan aku duduk untukmu, namun kamu tidak datang." Jibril lantas menjawab, "Aku
tercegah oleh anjing yang berada di rumahmu. Sesungguhnya kami tidak masuk rumah yang di
dalamnya terdapat anjing atau lukisan."
Begitulah. Jumlah hadits yang berisi tentang melukis dan lukisan tidak sedikit. Hadits-hadits
ini diriwayatkan para sahabat, di antaranya Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Aisyah, Ali, Abu
Hurairah, dan Abu Thalhah. Semuanya shahih. Dan para ahli fikih berbeda pendapat dalam
masalah lukisan didasarkan pada hadits-hadits ini. Ulama yang paling ketat adalah Imam Nawawi
yang mengharamkan melukis segala sesuatu yang mempunyai roh, seperti manusia dan hewan,
baik tiga dimensi maupun dua dimensi, baik lukisan itu dihinakan maupun tidak. Hanya saja,
beliau memperbolehkan memanfaatkan lukisan yang direndahkan, meskipun melukisnya
hukumnya haram, seperti melukis di alas, bantal dan sebagainya.
Namun, sebagian ahli fikih salaf hanya mengharamkan lukisan yang tiga dimensi, yaitu yang
secara umum kita sebut dengan patung. Bentuk ini tampak menyamai ciptaan Allah, karena
ciptaan dan lukisan Allah berbentuk tiga dimensi. Dalam hadits qudsy disebutkan, "Siapakah yang
lebih zalim dari orang yang mengira bahwa ia telah mampu menciptakan seperti ciptaanku?" Juga
karena lukisan tiga dimensi masuk kategori mewah dan berlebih-lebihan, apalagi jika memakai
bahan dari emas dan perak.
Demikian tadi adalah mazhab sebagian ulama salaf. Tapi Imam Nawawi mengatakan bahwa
itu adalah madzhab batil. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa itu adalah mazhab Qasim bin
Muhammad. Mungkin dia mengambil makna umum perkataan Rasul, "Kecuali lukisan dalam
baju." Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar adalah salah seorang dari tujuh ahli fikih di Madinah,
pemuka di zamannya, dan putra dari saudara Aisyah.
Disebutkan dari Basar bin Said dari Zaid bin Khalid Al-Juhny dari Abu Thalhah sahabat
Rasulullah bahwa dia mengatakan, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya
malaikat tidak masuk rumah yahg di dalamnya terdapat lukisan." Basar mengatakan, "Ketika Zaid
sakit, kami menjenguk dan ternyata di pintunya terdapat satir yang ada lukisannya. Maka aku
katakan kepada Ubaidillah Al-Khaulani, saudara tiri Maimunah istri Nabi Saw., "Tidakkah Zaid
memberi tahu kita tentang lukisan?" Mendengar itu dia mengatakan, "Tidakkah kamu
mendengar ketika Rasulullah mengatakan, "Kecuali lukisan pada baju?" Hal ini dikuatkan oleh
hadits riwayat At-Tirmidzi bahwa Sahal bin Hanif menemani Abu Thalhah dalam pengecualian ini.
Penafsiran dari hal ini adalah bahwa lukisan diperbolehkan untuk sesuatu yang tidak ada rohnya.
Tapi penjelasan ini ditentang oleh hadits patung burung yang terdapat di rumah Aisyah dan
perkataan Rasulullah kepadanya, "Pindahlah ini Sesungguhnya setiap kali aku melihatnya aku
teringat dunia." Atau "Sesungguhnya lukisan-lukisannya tampak olehku dalam shalatku."
Pendapat yang rajih adalah membatasi keharaman hanya pada lukisan tiga dimensi.
Sedangkan lukisan yang dua dimensi pada papan datar, dinding, atau kayu dan lainya maka paling
banter hukumnya adalah makruh tanzih, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Khathabi.
Kecuali apabila dilakukan secara berlebihan, seperti lukisan yang dijual dengan harga berjuta-juta
dan yang semacamnya.
Gambar tiga dimensi diharamkan kecuali jika dimaksudkan untuk mainan anak, seperti
boneka kucing, anjing, kera dan sebagainya, yang dibuat mainan oleh anak-anak, karena hal
seperti ini tidak dimaksudkan untuk mengagungkan, dan anak- anak pun memakainya untuk
mainan. Hal ini disandarkan pada hadits Aisyah bahwa dia bermain dengan boneka dan sahabat-
sahabatnya datang kepadanya untuk bermain bersama, di mana Rasulullah menjadi senang
dengan kedatangan mereka. Gambar tiga dimensi yang juga tidak diharamkan adalah permen
bergambar patung atau boneka yang dijual pada acara tertentu, untuk dimakan.
Gambar tiga dimensi yang tidak haram juga adalah patung yang dibuat cacat dengan
memotong kepalanya atau semacamnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa Jibril
berkata kepada Rasulullah, "Perintahkan untuk memotong kepala patung sehingga menjadi
seperti pohon." Adapun patung separuh tubuh yang dipancang di alun-alun dan semacamnya,
yang merupakan patung raja atau pemimpin, maka tetap dilarang karena alasan ada unsur
pengagungan dan pengkultusan. Sebab, cara Islam melanggengkan para pembesar dan pahlawan
berbeda dengan cara orang-orang Barat. Islam mengagungkan mereka dengan memperingati
kebaikannya, sejarah yang baik, diceritakan dari pendahulu kepada generasi berikutnya,
mengikutinya, dan meng- ambilnya sebagai suri teladan. Dengan cara inilah para nabi, sahabat,
imam dan para pahlawan serta orang-orang saleh dihormati, sehingga hati menjadi cinta
kepadanya, dan mulut mendoakannya, meskipun mereka tidak dilukis dan tidak dipahatkan
patung untuknya. Berapa banyak patung berdiri, namun orang-orang tidak mengetahui sesuatu
pun dari ceritanya.

Fotografi
Pembahasan tentang lukisan dan melukis yang disebutkan di depan adalah sesuatu yang
dipahat atau dilukis tangan, sebagaimana yang disebutkan. Adapun fotografi maka hal tersebut
termasuk sesuatu yang baru, yang belum ada di zaman Rasul dan kaum salaf. Pertanyaannya,
apakah hukum fotografi disamakan dengan lukisan dan pelukis?
Sebagian ulama hanya mengharamkan patung tiga dimensi, maka mereka menganggap
gambar fotografi ini tidak ada masalah, terlebih apabila tidak sempurna.
Sedangkan menurut pendapat ulama lain, hukum fotografi tergantung dari apakah ia bisa
disamakan dengan hasil karya kanvas pelukis; ataukan illat yang dinash oleh sebagian hadits
mengenai siksa pelukis—yaitu karena mereka menyamai ciptaan Allah—tidak ditemukan dalam
fotografi. Bila memang tidak ada illat maka tidak ada ma'lul, sebagaimana dikatakan ahli ushul.
Hal yang cukup jelas di sini adalah apa yang difatwakan oleh Syeikh Bukhait, mufti Mesir,
"Sesungguhnya mengambil gambar dengan fotografi bukanlah termasuk melukis yang dilarang,
karena melukis yang dilarang adalah mengadakan lukisan, dan membuat lukisan yang tidak ada
dan tidak pernah dibuat sebelumnya untuk menyamai hewan yang diciptakan oleh Allah. Hal ini
tidak ditemukan dalam fotografi.
Demikianlah. Permasalahan lukisan mempunyai pengaruh dalam pemberian hukum haram
dan lainnya. Lukisan yang disepakati keharamannya oleh kaum muslimin adalah apabila tema
lukisan tersebut bertentangan dengan akidah, ajaran dan etika Islam. Melukis perempuan bugil
atau setengah bugil, mempertontonkan bagian tubuh yang bersifat pribadi dan membawa fitnah,
kemudian melukis dan menggambarnya dalam posisi yang merangsang syahwat dan
membangkitkan nafsu, sebagaimana yang kita lihat di beberapa majalah, koran, dan gedung
bioskop; semua itu tidak diragukan lagi keharamannya. Haram melukisnya, haram
menyebarkannya, haram memilikinya, dan haram memuatnya di rumah, kantor, dan majalah
serta menggantungkannya di dinding. Haram juga bermaksud dengan sengaja untuk melihat dan
menontonnya.
Demikian pula gambar orang-orang kafir, zalim dan fasik yang wajib bagi orang muslim untuk
menentangnya dan membencinya karena Allah, maka tidak halal bagi orang Islam untuk
melukisnya. Memiliki lukisan pemimpin atheis yang mengngkari keberadaan Allah atau
penyembah berhala yang menyekutukan Allah dengan sapi, api, atau lainnya, atau orang Yahudi,
Nasrani yang menentang kenabian Muhammad Saw., atau orang yang mengaku Islam namun
memberikan hukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah, atau orang yang
menyebarkan kekejian dan kerusakan di masyarakat, serta lukisan-lukisan yang menggambarkan
keberhalaan atau syiar-syiar agama lain yang tidak diridhai oleh Allah seperti berhala dan lain
sebagainya juga diharamkan.
PASAL 11
WANITA DALAM MASYARAKAT ISLAM

Wanita Sebagai Manusia


Islam datang, sementara kebanyakan manusia mengingkari kemanusiaan wanita dan
sebagian yang lain meragukannya. Ada pula yang mengakui akan kemanusiaannya, tetapi mereka
menganggap wanita itu sebagai makhluk yang diciptakan semata-mata untuk melayani kaum
laki-laki.
Maka merupakan 'izzah dan kemuliaan Islam, karena dia telah memuliakan wanita dan
menegaskan eksistensi kemanusiaannya serta kelayakannya untuk menerima taklif dan tanggung
jawab, pembalasan, dan berhak pula masuk surga. Islam meng- hargai wanita sebagai manusia
yang terhormat. Sebagaimana kaum laki-laki, wanita juga mempunyai hak-hak kemanusiaan,
karena keduanya berasal dari satu pohon dan keduanya merupakan dua bersaudara yang
dilahirkan oleh satu bapak, yaitu Adam, dan satu ibu yaitu Hawa.
Keduanya berasal dari satu keturunan dan sama dalam karakter kemanusiaannya secara
umum. Keduanya sama dalam beban dan tanggung jawab, dan di akherat kelak akan sama- sama
menerima pembalasan. Demikian itu digambarkan oleh Al-Quran, sebagai berikut.
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yangtelah menciptakan kamu dari diri
yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah
mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan meng- awasi
kamu. (An-Nisa': 1)

Jika seluruh manusia, baik laki-laki maupun perempuan itu diciptakan oleh Rabb mereka dari
jiwa yang satu, dan dari jiwa yang satu itu Allah menciptakan isterinya agar keduanya saling
menyempurnakan—sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran— kemudian dari satu keluarga itu
Allah mengembangbiakkan laki- laki dan wanita yang banyak, yang kesemuanya adalah hamba-
hamba bagi Tuhan yang Esa, dan merupakan anak-anak dari satu bapak dan satu ibu, maka
persaudaraanlah yang semestinya menyatukan mereka.
Oleh karena itu Al-Quran memerintahkan manusia untuk senantiasa bertakwa kepada Allah
dan memelihara hubungan kasih sayang antara mereka. Firman Allah Swt.,
... Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. (An-Nisa': 1)

Dengan penjelasan Al-Quran ini maka laki-laki adalah saudara perempuan dan perempuan
adalah saudara kandung laki-laki. Rasulullah Saw. bersabda,
Sesungguhnya tiada lain wanita adalah saudara sekandung kaum pria. (HR. Ahmad, Abu
Dawud dan Tirmidzi)

Tentang persamaan wanita dan pria dalam kebebasan beragama dan beribadah, Al-Quran
mengatakan sebagai berikut,
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar. (Al-Ahzab: 35)

Di dalam masalah agama dan sosial yang pokok, Al-Quran menyamakan antara keduanya,
sebagaimana firman Allah Swt.,
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmatoleh Allah; sesungguhnya Allah MahaPerkasa lagi
Maha Bijaksana. (At-Taubah: 71)

Di dalam kisah Adam, kewajiban Ilahi itu ditujukan kepadanya dan istrinya secara sama. Allah
Swt. berfirman:
Hai Adam, diamilah olehmu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang
banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang
menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. (Al Baqarah: 35)

Tetapi yang terasa aktual di dalam kisah ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Quran, bahwa
kesesatan itu ditujukan kepada setan, bukan kepada Hawa.
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula....
(Al-Baqarah: 36)

Bukan semata-mata Hawa yang memakan buah pohon itu, bukan dia yang memulai, tetapi
kesalahan itu dari Adam dan Hawa secara sama-sama, sebagaimana penyesalan dan tobat itu
dilakukan oleh keduanya:
Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau
tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, maka pastilah kami termasuk
orang-orang yang merugi. (Al-A'raf: 23)

Bahkan di dalam ayat lain, kesalahan itu disandarkan kepada Adam saja, sebagaimana firman
Allah swt.,
Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan
perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat. (Thaha: 115)

Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam), dengan berkata, "Hai Adam,
maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa."
(Thaha: 120)

Durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah ia. (Thaha: 121)


Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.
(Thaha: 122)

Ini semua membuktikan bahwa Adamlah yang berbuat maksiat, sedangkan istrinya sekadar
mengikut.
Bagaimanapun keadaannya, maka kesalahan Hawa hanya dia yang menanggung, sedangkan
anak turunnya terlepas dari perbuatan itu dan dari dosanya, karena dosa seseorang tidak bisa
ditimpakan kepada orang Iain. Allah Swt. berfirman,
Itu adalah umatyang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang
sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa
yang telah mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 134 dan 141)

Wanita dengan laki-laki adalah sama dalam hal bahwa keduanya akan menerima pembalasan
dari kebaikan mereka dan masuk surga. Allah Swt. berfirman,
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain'...” (Ali 'Imran:
195)

Dari ayat ini jelas sekali bahwa amal perbuatan seseorang itu tidak akan sia-sia di sisi Allah,
baik laki-laki maupun wanita. Keduanya berasal dari tanah yang satu dan dari tabiat yang satu.
Allah Swt. juga berfirman,
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan. (An-Nahl: 97)

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia
orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya
walau sedikit pun. (An-Nisa': 124)

Tentang hak-hak harta bagi wanita, Islam telah membatalkan tradisi yang sering berlaku di
kalangan masyarakat di dunia, baik orang-orang Arab atau ajam, yaitu meniadakan hak milik dan
hak pewarisan bagi kaum wanita atau mempersempit mereka dalam mempergunakan apa yang
mereka miliki. Juga sikap monopoli para suami terhadap harta istrinya. Islam menetapkan hak
milik bagi kaum wanita dengan berbagai jenis dan cabangnya sekaligus hak untuk
mempergunakannya. Maka ditetapkan hukum wasiat dan hukum waris bagi kaum wanita seperti
halnya bagi pria. Islam juga memberikan kaum wanita hak jual beli, persewaan, hibah, pinjaman,
wakaf, sedekah, kafalah, hawalah, gadai, dan hak-hak yang lainnya. Termasuk hak-hak itu adalah
hak mempertahankan hartanya dan membela dirinya, dengan mengadukan kepada hukum
dalam berbagai aktivitas yang diperbolehkan.

Beberapa Tuduhan yang Tertolak


Ada beberapa tuduhan kepada Islam yang disampaikan oleh sebagian orang dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
Apabila Islam itu telah memperhitungkan kemanusiaan kaum wanita itu sama dengan kaum
pria, lantas mengapa Islam masih melebihkan kaum laki-laki atas wanita di dalam beberapa
masalah, seperti dalam persaksian, hukum waris, kepemimpinan rumah tangga dan sebagian
hukum cabang yang lainnya?
Sebagai pengantar bisa dijawab bahwa sebenarnya perbedaan laki-laki dan wanita di dalam
hukum tersebut bukan karena jenis laki-laki itu lebih mulia menurut Allah dan lebih dekat
dengan-Nya daripada jenis wanita. Karena sesungguhnya manusia yang paling mulia di sisi Allah
adalah yang paling takwa, baik laki-laki atau perempuan. Akan tetapi, perbedaan itu disebabkan
karena pembagian secara fungsional sesuai dengan fitrah yang sehat bagi laki-laki dan wanita,
sebagaimana yang akan kita jelaskan berikut ini.

Persaksian (Syahadah)
Allah memerintahkan kita agar mencatat utang-piutang, sebagaimana firman Allah Swt.,
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di antaramu. Jika tak ada dua
orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya, janganlah saksi-
saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggiI.... (Al-Baqarah: 283)

Dengan demikian, maka Al-Quran telah menjadikan persaksian laki-laki sama dengan
persaksian dua perempuan, sebagaimana juga ketetapan para fuqaha bahwa persaksian kaum
wanita itu tidak diterima di dalam had dan qisas.
Alhamdulillah, perbedaan ini bukan karena mengurangi bobot kemanusiaan wanita atau
mengurangi kemuliaannya, akan tetapi disebabkan karena fitrah dan karakternya yang
mengharuskan demikian. Biasanya wanita itu tidak bisa disibukkan dengan urusan harta dan
interaksi sosial. Mereka lebih cenderung dan cocok dengan urusan kewanitaan, seperti urusan
rumah tangga dan mendidik anak-anak sebagai seorang ibu dan istri bagi suaminya. Atau
disibukkan dengan aktivitas mempersiapkan diri untuk menikah jika ia seorang yang masih gadis.
Karena itu maka kemampuan penalaran mereka terbatas dalam memikirkan urusan-urusan
muamalah.
Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada orang-orang yang melakukan utang piutang
apabila ingin meyakinkan perjanjiannya, agar disaksikan dua orang lelaki atau satu lelaki dan dua
wanita. Al-Quran mengingatkan alasan dari ketetapan itu, yaitu apabila yang satu lupa, maka
yang lain mengingatkan.
Sebagaimana juga pendapat mayoritas fuqaha yang tidak menganggap sah kesaksian wanita
di dalam masalah hudud dan qisas, hal itu untuk menjauhkan wanita dari interaksi dengan
kekerasan dan kriminalitas serta permusuhan terhadap jiwa, harta dan kehormatan. Selain itu,
jika wanita ikut menyaksikan kriminalitas, ia seringkali memejamkan kedua matanya dan lari
sambil menjerit sehingga sulit untuk menjelaskan kriminalitas tersebut secara detail dan nyata.
Hal ini disebabkan perasaannya tidak kuat menahan dalam kondisi seperti itu.
Para fuqaha berpendapat bahwa kita boleh menjadikan wanita sebagai saksi—walaupun
seorang diri—dalam hal-hal yang khusus menyangkut dunia kewanitaan, seperti menyusui,
keperawanan, janda, haid, dan kelahiran anak, atau lain-lainnya yang khusus diketahui oleh kaum
wanita. Betapapun hukum ini belum menjadi kesepakatan para ulama, mazhab Atha' dari
kalangan Tabi'in telah mengambil kesaksian wanita.
Sebagian ulama fiqih berpendapat bolehnya kita mengambil kesaksian wanita di dalam
hukum pidana di masyarakat yang di sana tidak ada kaum pria. Seperti di kolam renang khusus
wanita, salon, dan lainnya yang biasanya dikhususkan untuk kaum wanita. Misalnya, jika ada
seorang wanita yang menyakiti wanita lainnya, atau bahkan pembunuhan, kemudian hal itu
disaksikan oleh beberapa saksi dari kaum wanita itu sendiri, maka apakah persaksian mereka itu
ditiadakan sekadar karena mereka kaum wanita? Ataukah harus disaksikan oleh kaum pria,
sementara kasus itu berada di suatu tempat yang tidak dihadiri oleh kaum pria? Maka yang benar
adalah bahwa persaksian mereka itu dianggap sah, selama mereka adil, teliti dan paham.

Hukum Waris
Adapun perbedaan di dalam masalah waris antara laki-laki dan wanita, maka hal ini akibat
perbedaan keduanya dalam beban dan kewajiban yang berkaitan dengan harta, yang secara
syar'i diwajibkan atas masing-masing dari keduanya.
Kalau seandainya ada seorang ayah meninggal, dan ia meninggalkan satu anak laki-laki dan
satu anak perempuan, maka ketika anak laki-laki itu ingin menikah ia harus memberi mahar
(maskawin). Ketika sudah menikah, ia wajib menanggung nafkah istrinya. Tetapi jika anak
perempuan itu yang menikah, maka ia berhak mendapatkan maskawin. Kemudian setelah
menikah, suaminya yang memberikan nafkah kepadanya dan ia tidak dibebani sepeser pun,
meski dia tergolong orang kaya.
Jika seorang ayah meninggalkan uang Rp 15.000.000, maka anak lelakinya mendapatkan Rp
1O.000.000, sedangkan anak perempuannya mendapatkan Rp5.000.000. Tetapi ketika anak
lelaki itu ingin menikah, ia harus memberi maskawin dan hadiah-hadiah lain kurang lebih
Rp2.500.000, sehingga uangnya tinggal Rp7.500.000. Sementara, jika saudara perempuannya
menikah, ia akan menerima maskawin dan hadiah, yang jika kita perkirakan sama seperti jumlah
yang diberikan oleh saudara laki-lakinya ketika menikah maka uangnya bertambah menjadi
Rp7.500.000, sehingga menjadi sama.

Diyat
Adapun diyat atau denda maka tidak ada hadits yang disepakati sahihnya, tidak pula ada
ijmak yang meyakinkan. Bahkan Ibnu Aliyah dan Al-Asham (dari fuqaha salaf) berpendapat di-
samakan antara laki-laki dan perempuan di dalam masalah denda. Pendapat inilah yang sesuai
dengan umumnya nash-nash Al-Quran dan hadits-hadits Nabi yang sahih. Sehingga kalau
sekarang ada yang berpendapat seperti ini maka tidak berdosa baginya, karena fatwa itu dapat
berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Apalagi kalau itu sejalan dengan nash-nash
juziyah dan tujuan secara umum.

Kepemimpinan Rumah Tangga


Adapun masalah kepemimpinan rumah tangga, Allah men- jelaskan di dalam Al-Quran karena
dua alasan sebagai berikut.
1. Kaum laki-laki mendapat anugerah dari Allah berupa analisis yang lebih dalam terhadap
masalah. Selain itu, juga mampu melihat masalah dengan logika lebih banyak daripada kaum
wanita. Sedangkan wanita dipersiapkan oleh Allah memiliki perasaan sensitif untuk
mendukung tugas keibuannya.
2. Laki-laki dibebani memberikan nafkah guna membangun rumah tangga. Kalau rumah tangga
sampai roboh berantakan, akan berantakan pula dari dasarnya. Oleh Karena itu, seorang
lelaki berpikir seribu kali sebelum bercerai.
Jabatan Peradilan dan Politik
Abu Hanifah memperbolehkan kaum wanita menempati jabatan peradilan sepanjang
diperbolehkan memberikan kesaksian di situ. Maksudnya, boleh selain dalam masalah
kriminalitas. Imam Ath-Thabari dan Ibnu Hazm juga memperbolehkan wanita menempati jabatan
dalam masalah harta dan lembaga yang menangani masalah kriminalitas dan lainnya.
Diperbolehkannya hal itu bukan berarti wajib dan harus, tetapi dilihat dari sisi kemaslahatan
bagi wanita itu sendiri dan kemaslahatan bagi keluarga, kemaslahatan masyarakat, serta
kemaslahatan Islam. Karena boleh jadi sebuah kondisi menuntut diangkatnya sebagian
perempuan tertentu, pada usia tertentu, untuk masalah-masalah tertentu, dan pada kondisi-
kondisi tertentu pula.
Adapun dilarangnya wanita untuk menjadi presiden atau sejenisnya, karena potensi wanita
biasanya tidak tahan untuk menghadapi konfrontasi yang mengandung risiko besar. Kita katakan
'biasanya', karena terkadang ada wanita yang lebih mampu daripada laki-laki, seperti Ratu Saba'
yang telah diceritakan olah Al-Quran kepada kita. Tetapi hukum tidak bisa ber- dasarkan asas
yang langka, melainkan harus berdasarkan apa yang banyak berlaku. Karena itu ulama
mengatakan, "Sesuatu yang langka itu tidak bisa menjadi landasan hukum."
Adapun wanita sebagai direktur, dekan, ketua yayasan, anggota majrlis perwakilan rakyat
atau yang lainnya, maka tidak mengapa selama memang diperlukan. Masalah ini telah saya bahas
secara rinci berikut dalil-dalilnya di dalam Fatawa Muashirah juz dua.

Wanita Sebagai Ibu


Sejarah tidak pernah mengenai adanya agama atau sistem yang menghargai keberadaan
wanita sebagai ibu yang lebih mulia daripada Islam.
Islam telah menegaskan suatu pesan penting ihwal wanita dan meletakkan pesan itu setelah
pesan untuk bertauhid kepada Allah dan beribadah kepada-Nya. Islam juga menjadikan berbuat
baik kepada wanita termasuk sendi-sendi kemuliaan, sebagaimana telah menjadikan hak seorang
ibu itu lebih kuat daripada hak seorang ayah, karena beban yang amat berat ia rasakan ketika
hamil, menyusui, melahirkan dan mendidik. Inilah yang ditegaskan oleh Al-Quran dengan
diulang-ulang lebih di beberapa surat agar benar-benar dipahami. Allah Swt. berfirman,
Dan Kami wasiatkan (perintahkan) kepada manusia (berbuat baik) kepada ibu bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman: 14)

Kami wasiatkan (perintahkan) kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan.... (Al-Ahqaf: 15)

Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah lalu bertanya, "Siapakah yang paling berhak aku
pergauli dengan baik?" Nabi menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya, "Kemudian siapa lagi?"
Nabi menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya, "Kemudian siapa lagi?" Nabi menjawab,
"Ibumu." Orang itu bertanya, "Kemudian siapa lagi?" Nabi menjawab, "Ayahmu." (HR.
Bukhari Muslim)

Al Bazzar meriwayatkan, ada seorang lelaki sedang thawaf dengan menggendong ibunya,
maka lelaki itu bertanya kepada Nabi Saw., "Apakah (dengan ini) aku telah melaksanakan
kewajibanku kepadanya?" Nabi menjawab, "Tidak, bahkan tidak sebanding dengan satu kali
kontraksi ketika melahirkan."
Berbuat baik kepada ibu berarti baik dalam mempergauli dan menghormatinya, merasa
rendah di hadapannya, menaatinya selain dalam kemaksiatan, dan mencari ridhanya dalam
segala sesuatu. Dalam masalah jihad sekalipun, apabila itu fardhu kifayah, maka tidak boleh
kecuali dengan izinnya, karena berbuat baik kepadanya termasuk fardhu 'ain.
Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku ingin ikut
berperang, aku datang untuk meminta pendapatmu." Maka Nabi Saw. bertanya, "Apakah engkau
masih mempunyai ibu?" Orang itu menjawab, "Ya." Nabi bersabda, "Tetaplah tinggal
bersamanya, sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua telapak kakinya." (HR. Nasa'i)
Sebagian sistem sosial menafikan kekerabatan seorang ibu dan tidak menganggapnya
penting. Datanglah Islam dengan pesan untuk berbuat baik kepada saudara ibu, baik laki-laki
maupun perempuan, serta saudara ayah, baik laki-laki maupun perempuan.
Seorang lelaki datang kepada Nabi, lalu berkata, "Aku telah berbuat dosa, apakah aku masih
bisa bertobat?" Nabi Saw. bertanya, "Apakah kamu mempunyai ibu?" Ia berkata, "Tidak."
"Apakah kamu mempunyai bibi?" Ia menjawab, "Ya" Nabi bersabda, "Berbuat baiklah
kepadanya." (HR. Tirmidzi)
Di antara keajaiban syariat Islam adalah, Islam memerin- tahkan kita untuk berbuat baik
kepada ibu, meskipun ia musyrik. Sebagaimana yang ditanyakan oleh Asma' binti Abu Bakar
kepada Nabi Saw. tentang hubungannya dengan sang bunda yang musyrik. Maka Rasulullah Saw.
bersabda, "Ya, tetaplah menyambung silaturahmi dengan ibumu." (Muttafaq Alaih)
Perhatian Islam terhadap ibu dan haknya di antaranya adalah, ibu yang dicerai itu lebih
berhak merawat anaknya. Seorang wanita bertanya, "Wahai Rasulullah, anakku ini dulu aku yang
mengandungnya, ASI-ku menjadi minumannya dan pangkuanku menjadi tempat ia berlindung.
Tetapi ayahnya menceraiku dan ingin mengambilnya dariku. Maka Nabi Saw. bersabda
kepadanya, "Engkau lebih berhak (untuk merawatnya) selama engkau belum menikah." (HR.
Ahmad)
Umar dan istrinya yang dicerai pernah mengadu kepada Abu Bakar tentang putranya yang
bernama Ashim, maka Abu Bakar memutuskan untuk memberikan anak itu kepada ibunya.
Kemudian Abu Bakar berkata kepada Umar, "Baunya, ciumannya dan kata-katanya lebih baik
untuk anak itu daripada kamu." (HR. Said)
Di antara perhatian Islam yang lain terhadap ibu adalah, kekerabatan ibu itu lebih mulia
daripada kekerabatan ayah di dalam masalah kepengasuhan.
Posisi seorang ibu yang telah begitu diperhatikan Islam ini menuntut adanya kewajiban yang
harus ditunaikan. Di antara kewajiban itu adalah mendidik anak-anaknya dengan menanam- kan
kemuliaan dan menjauhkan mereka dari kerendahan. Membiasakan mereka untuk taat kepada
Allah dan mendorong untuk mendukung kebenaran serta tidak menghalang-halangi mereka
untuk turut beijihad karena mengikuti perasaan keibuan dalam hati. Sebaliknya, ia harus
berusaha memenangkan seruan kebenaran daripada seruan perasaan.
Kita pernah menyaksikan seorang ibu yang beriman seperti Khansa di dalam peperangan
Qadisiyah. Dialah yang mendorong empat anaknya dan berpesan kepada mereka untuk berani
maju ke depan dan teguh menghadapi peperangan dalam kata-katanya yang mantap dan
menarik. Ketika peperangan belum selesai dan ada pemberitahuan bahwa semua anaknya telah
syahid, Khansa tidak gusar ataupun histeris, bahkan ia berkata penuh ridha dan yakin,
"Alhamdulillah, Allah telah memberi kemuliaan kepadaku dengan gugurnya mereka di jalan-
Nya."

Para Ibu yang Diabadikan


Di antara taujih Al-Quran adalah meletakkan di hadapan orang-orang yang beriman, laki-laki
atau wanita, berbagai contoh teladan dari para ummahat shalihat, yang mempunyai pengaruh
dan peran penting dalam sejarah keimanan. Di antaranya adalah ibu Nabi Musa yang memenuhi
seruan dan Ilham Allah, lalu melemparkan buah hatinya ke sungai dengan penuh ketenangan dan
kepercayaan atas janji-Nya. Allah Swt. berfirman,
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya
maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula)
bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikan kepadamu, dan
menjadikannya (salah seorang) dari para Rasul." (Al-Qashash: 7)

Di antaranya lagi, ibu dari Maryam yang bernazar ingin mempunyai anak yang ikut
membebaskan Baitul Maqdis karena Allah dan bersih dari segala bentuk kemusyrikan atau
ubudiyah kepada selain-Nya. Ia berdoa agar Allah berkenan menerima nazarnya itu, sebagaimana
dikisahkan di dalam Al-Quran,
(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu,
anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis)
Karena itu terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.' (Ali 'Imran: 35)

Ketika anak yang baru lahir itu ternyata perempuan, di luar harapan yang diinginkan, ia tetap
dalam kesetiaan untuk memenuhi nazarnya, sambil memohon kepada Allah agar melindunginya
dari segala keburukan. Al-Quran menceritakan,
Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta
anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau dari setan yang terkutuk. (Ali
Imran: 36)

Maryam putri Imran itu adalah Ibunya Al-Masih yang oleh Al-Quran dijadikan lambang
kesucian dan ketaatan kepada Allah serta meyakini kalimat-kalimat-Nya. Allah Swt. berfirman,
Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam
rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya
dan kitab-kitab-Nya; dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat. (At-Tahrim: 12)

Wanita Sebagai Anak


Bangsa Arab di masa jahiliyah pesimis dengan kelahiran anak wanita. Mereka merasa hina,
sehingga ada salah seorang bapak yang berkata ketika dikaruniai anak wanita, "Demi Allah, ini
bukan sebaik-baik anak, karena bentuk dari pertolongannya hanya tangis dan wujud dari birrul
walidainnya pencurian." Ia bermaksud bahwa anak wanita hanya bisa membantu orang tua dan
keluarganya dengan jeritan dan tangis belaka, tidak dengan peperangan dan senjata, juga tidak
bisa berbuat baik kepada keluarganya kecuali dengan cara mengambil harta suaminya.
Tradisi warisan Arab memperbolehkan seorang ayah mengubur hidup-hidup anak
perempuannya karena takut miskin atau menganggapnya sebagai aib besar di mata kaumnya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran yang mengingkari perbuatan buruk itu.
Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia
dibunuh. (At-Takwir: 8-9)

Al-Quran juga menggambarkan sikap para bapak ketika menyambut kelahiran anak-anak
wanitanya.
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitam
(merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. la menyembunyikan dirinya dari orang
banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan
memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburnya ke dalam tanah
(hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (An-Nahl: 58-
59)

Ada nilai lama yang memberi orang tua wewenang untuk menjual anak perempuannya bila
ia mau. Seperti aturan Hammurabi yang memperbolehkan seorang ayah menyerahkan anak
perempuannya sebagai alat barter kepada orang lain untuk dibunuh atau dijadikan budak, karena
sang ayah telah membunuh putra orang lain tersebut.
Islam datang dengan menganggap anak wanita seperti anak laki-laki, yaitu sebagai pemberian
dan karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya.
Allah Swt. berfirman,
Kepunyaan Allahlah kerajaan langitdan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia
memberikan anak-anak perempuan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan memberikan
anak-anak lelaki kepada siapa saja yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua
jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan
mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.
(Asy-Syura: 49-50)

Al-Quran juga menjelaskan di dalam kisah-kisahnya bahwa sesungguhnya sebagian anak-anak


perempuan itu lebih besar pengaruhnya dan lebih kekal kenangannya daripada kebanyakan anak
laki-laki. Seperti dalam kisah Maryam putri Imran yang telah dipilih Allah dan disucikan melebihi
para wanita di seluruh alam semesta, padahal ketika sang ibu mengandungnya, ia menginginkan
agar anaknya lahir laki-laki sehingga bisa berkhidmat di Baitil Maqdis dan agar termasuk orang-
orang saleh. Allah Swt. berfirman,
(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, "YaTuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada
Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shalih dan berkhidmad (di Baitil
Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkau Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, dia pun
berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkan seorang anak perempuan; dan Allah
lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak
perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan
untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau dari setan yang
terkutuk. Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan
mendidiknya dengan pendidikan yang baik ... (Ali 'Imran: 35-37)

Al-Quran mengecam dengan keras orang-orang yang berkeras hati dan membunuh anak-
anak mereka, baik anak laki-laki maupun perempuan. Allah Swt. berfirman,
Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi
tidak mengetahui. (Al-An'am: 140)

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan
memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar. (Al-lsra': 31)
Rasulullah telah menjadikan surga sebagai balasan untuk setiap bapak yang baik dalam
memperlakukan anak wanitanya, bersabar mendidik mereka, yang baik dalam mendidiknya, dan
memelihara hak Allah atas mereka hingga mereka dewasa atau mati karena membelanya. Nabi
Saw. menjadikan kedudukan orang tua yang seperti itu berada di sisinya di surga yang penuh
kenikmatan dan kekal abadi. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Rasulullah Saw.
bersabda, "Barangsiapa yang merawat dua anak gadis hingga balig, maka ia datang pada hari
kiamat, sedangkan saya dan dia seperti ini." kemudian Nabi merapatkan telunjuknya (artinya,
saling berdekatan)."
Ibnu Abbas meriwayatkan dari Nabi Saw., beliau bersabda,
Tidaklah seorang Muslim yang mempunyai dua anak putri, kemudian berbuat baik kepada
keduanya kecuali keduanya akan memasukkannya ke dalam surga. (HR. Ibnu Majah)

Sebagian hadits menjelaskan bahwa hal itu juga berlaku bagi seseorang saudara laki-laki yang
memelihara saudara-saudara perempuannya. Sebagian riwayat yang lain menjelaskan bahwa
pembalasan Ilahi ini diperuntukkan juga bagi orang yang berbuat baik kepada anak wanitanya,
walaupun hanya satu. Di dalam hadits riwayat Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. bersabda,
Barangsiapa mempunyai tiga anak wanita, kemudian bersabar atas cobaan, kesusahan, dan
kesenangan mereka, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan rahmat-Nya
kepada mereka. Ada seseorang yang bertanya, "Bagaimana jika dua anak wahai Rasulullah?"
Nabi Saw. bersabda, "(Ya) dua anak wanita juga." Orang itu bertanya lagi, "Bagaimana jika
satu anak wanita?" Nabi menjawab, "Satu juga." (HR. Hakim)

Ibnu Abbas meriwayatkan hadits marfu':


Barangsiapa mempunyai anak wanita kemudian tidak dikubur hidup-hidup, tidak dihina dan
tidak mengutamakan anak laki-laki atas mereka maka Allah akan memasukkannya ke dalam
surga. (HR. Abu Dawud dan Hakim)

Di dalam hadits Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, Rasulullah Saw. bersabda,
Barangsiapa diuji dengan dikaruniai anak-anak wanita, kemudian ia berbuat baik kepada
mereka, maka mereka itu akan menjadi penangkal dari api neraka.

Dengan keterangan nash-nash yang shahih dan khabar gembira yang terus diulang-ulang
dengan meyakinkan ini, maka kelahiran anak wanita bukanlah beban yang mesti dikhawatirkan.
Bukan pula merupakan kenistaan yang dihindari. Akan tetapi, merupakan kenikmatan yang harus
disyukuri dan rahmat yang diharapkan serta dicari. Sebab, ia merupakan karunia Allah dan
pahala-Nya yang besar.
Dengan demikian maka Islam telah meniadakan tradisi mengubur anak wanita secara hidup-
hidup untuk selamanya. Seorang anak perempuan di hati ayahnya telah memiliki posisi
terhormat sebagaimana diungkapkan oleh Rasulullah Saw. terhadap putrinya, Fatimah r.a.,
"Fatimah adalah bagian dari diriku. Sesuatu yang meragukanku juga meragukannya."
Adapun kekuasaan ayah terhadap anak wanitanya hanya sebatas wilayah pendidikan,
pemeliharaan, pembinaan nilai-nilai agama dan moral anak. Urusan mereka seperti urusan anak
laki-laki. Orang tua memerintahkan anak wanitanya untuk melakukan shalat apabila telah
mencapai usia tujuh tahun, dan memukulnya karena meninggalkan shalat apabila telah berumur
sepuluh tahun. Orang tua juga memisahkan tempat tidur anak wanitanya itu dari saudara laki-
lakinya dan menekankan untuk berperilaku Islami, baik dalam berpakaian, berhias, ketika keluar
rumah maupun pada waktu berbicara.
Pemberian nafkah orang tua kepada anak wanita hukumnya wajib hingga ia menikah. Orang
tua tidak memiliki wewenang untuk menjual atau menyerahkannya kepada orang lain untuk
dimiliki dalam keadaan apa pun. Islam telah meniadakan jual-beli orang merdeka baik laki-laki
maupun wanita dalam keadaan apa pun. Kalaupun masih ada orang yang menjual atau
menyerahkan anak wanitanya untuk dimiliki sehingga menjadi budak di tangan orang lain, maka
anak itu hakikatnya tetap merdeka. Dia hanya sekadar dapat dimiliki, itu pun harus melalui
pengesahan sesuai ketentuan Islam.
Apabila seorang anak wanita memiliki harta secara khusus, maka tidak ada hak bagi ayahnya
kecuali mempergunakan harta itu dengan baik. Seorang ayah juga tidak diperbolehkan
menikahkan anak wanitanya dengan orang lain hanya agar orang tersebut ganti menikahkan anak
wanitanya dengan dirinya. Inilah yang dinamakan nikah shighar, yaitu pernikahan tanpa mas
kawin yang merupakan hak mempelai perempuan.
Seorang ayah tidak boleh menikahkan anak wanitanya yang sudah baligh dengan orang yang
tidak disukai oleh anak tersebut. Ia harus meminta pendapat anaknya, apakah mau menerima
atau tidak. Apabila anak wanitanya itu seorang janda maka harus memperoleh persetujuannya
dengan jelas, dan apabila dia seorang gadis yang pada umumnya adalah pemalu maka cukup
dengan diamnya. Karena diamnya seorang gadis itu adalah tanda menerima. Akan tetapi jika ia
berkata, "tidak" maka tidak ada kekuasaan baginya untuk memaksa anaknya agar menikah
dengan orang yang tidak disukai. Rasulullah Saw. bersabda,
Janda itu tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai pendapat dan gadis itu tidak boleh
dinikahkan sebelum dimintai izin. Sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana cara
meminta izin?" Nabi bersabda, "Jika ia diam." (HR. Allama'ah)

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah bersabda, "Gadis
itu dimintai izin." Aku berkata, "Gadis bisa dimintai izin, tetapi ia pemalu." Nabi menjawab,
"Izinnya adalah diamnya." Oleh karena itu, para ulama mengatakan, "Sebaiknya seorang gadis
diberi tahu bahwa diamnya itu berarti izinnya."
Dari Khansa binti Khaddam Al Anshariyah bahwa ayahnya menikahkan dirinya, sedangkan
dia seorang janda. la tidak suka pernikahan itu, kemudian datang kepada Rasulullah dan
Rasul pun menolak pernikahannya (HR. Jama'ah kecuali Muslim).

Dari Ibnu Abbas r.a., "Seorang gadis datang kepada Rasulullah kemudian menceritakan
bahwa ayahnya telah menikahkan dia, tetapi dia tidak suka (pernikahan itu), maka Nabi Saw.
menyuruhnya untuk memilih (dilanjutkan atau tidak) (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Semua ini membuktikan bahwa sebagaimana yang lain, seorang ayah juga wajib meminta izin
kepada anak gadis, dan persetujuannya sangat menentukan.
Di dalam sahih Muslim disebutkan, "Gadis dimintai persetujuan oleh ayahnya."
Dari Aisyah r.a., seorang gadis masuk ke rumahnya, lalu berkata, "Bapakku menikahkanku
dengan anak saudaranya dengan maksud ingin mengangkat derajatnya di mataku, tapi aku
tidak suka." Aisyah berkata, "Duduklah hingga Nabi datang," lalu aku memberitahu
kepadanya, kemudian Nabi mengirimkan utusan kepada ayahnya untuk didatangkan, lalu
keputusan masalah ini diserahkan kepada anaknya. Anak itu berkata, "Wahai Rasul,
sesungguhnya aku tidak mengapa dengan apa yang dilakukan oleh ayahku, tetapi aku ingin
tahu, apakah kaum wanita diperbolehkan untuk memutuskan sesuatu?" (HR. Nasa'i)

Hadits-hadits tersebut secara zahir menunjukkan bahwa meminta izin anak gadis atau janda
itu merupakan syarat sah akad, sehingga apabila seorang ayah atau wali menikahkan anak janda
tanpa meminta izin kepadanya maka akadnya batal dan ditolak, sebagaimana dalam kisah Khansa
binti Khaddam. Demikian juga berlaku pada anak gadis; ia berhak memilih menerima atau
menolak, dan apabila ditolak maka akad juga batal, sebagaimana kisah seorang gadis di zaman
Rasulullah.
Di antara keindahan syariat Islam adalah, Islam memerintahkan kita untuk meminta pendapat
sang ibu dalam menikahkan anak wanitanya, sehingga pernikahan berjalan dengan memperoleh
ridha dari semua pihak yang terkait. Dari Ibnu Umar r.a., Nabi Saw. bersabda,
Ajaklah kaum wanita itu untuk bermusyawarah mengenai anak-anak wanitanya. (HR. Ahmad
dan Abu Dawud)

Apabila seorang ayah tidak berhak menikahkan anak perempuannya dengan orang yang tidak
disukai, maka merupakan kewajiban anak tersebut untuk tidak menikahkan dirinya kecuali
dengan izin ayahnya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasul, "Tidak sah pernikahan kecuali
dengan wali." (HR. Al Khamsah, kecuali Nasa'i).
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa seorang wanita boleh
menikahkan dirinya sendiri tanpa seizin ayah atau walinya, dengan syarat suaminya itu sekufu
dengannya. Tapi pendapat ini tidak berlandaskan hadits. Tentu yang paling baik adalah,
pernikahan itu harus melalui persetujuan ayah, ibu dan sang anak, sehingga tidak ada peluang
untuk menjadi perdebatan atau menimbulkan permusuhan dan kebencian, karena Allah
mensyariatkan pernikahan itu untuk memperoleh mawadah wa rahmah.
Idealnya, seorang ayah memilihkan untuk anak putrinya lelaki saleh yang dapat
membahagiakan semua pihak. Dan hendaknya yang menjadi perhatian utama adalah akhlak
serta agamanya, bukan materi dan harta. Juga hendaknya orang tua tidak mempersulit proses
pernikahan apabila ada seseorang yang melamar anaknya. Di dalam hadits dikatakan, "Apabila
datang kepadamu orang yang kamu ridhai akhlak dan agamanya maka nikahkan ia (dengan
putrimu), jika tidak kamu laksanakan maka akan terjadi fitnah di bumi ini dan kerusakan yang
merata." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)
Jadi, Islam mengajarkan kepada setiap orang tua bahwa sesungguhnya anak wanita itu adalah
'manusia' sebelum yang lainnya. Dia bukanlah benda mati yang diperjual-belikan atau ditukar
dengan materi sebagaimana yang sering dilakukan para orang tua di masa jahiliyah. Rasulullah
Saw. bersabda,
Pernikahan yang paling besar berkahnya adalah yang paling ringan biayanya. (HR. Ahmad)

Wanita Sebagai Istri


Sebagian agama dan nilai sosial menganggap wanita sebagai barang najis atau sesuatu yang
menjijikkan dari perbuatan syetan yang harus dijauhi dan lebih baik hidup menyendiri. Sebagian
yang lain menganggap kedudukan seorang istri sekadar alat pemuas nafsu, yang meladeni
makan, dan menjadi pelayan di dalam rumah tangga. Kemudian Islam datang mengumumkan
batalnya kerahiban dan melarang hidup membujang. Islam lantas mengajarkan bahwa
pernikahan adalah salah satu dari tanda kekuasaan Allah dalam kehidupan ini. Allah Swt.
berfirman,
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya
di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Ar-Rum: 21)

Ada sebagian sahabat yang ingin memusatkan perhatiannya untuk beribadah dengan cara
berpuasa sepanjang siang dan shalat sepanjang malam serta menjauh dari wanita. Rasulullah
mengingkari hal itu dengan mengatakan, "Adapun saya, berpuasa dan makan, shalat dan tidur,
dan menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku maka tidak termasuk golong-
anku." (HR. Bukhari)
Islam menjadikan istri salehah sebagai kekayaan paling berharga bagi suami, setelah iman
takwa kepada Allah. Islam menganggap istri salehah sebagai salah satu sebab kebahagiaan.
Rasulullah Saw. bersabda,
Seorang mukmin tidak memperoleh kemanfaatan setelah bertakwa kepada Allah yang lebih
baik selain istri salehah, di mana jika suami menyuruhnya dia taat, jika dipandang dia
menyenangkan, dan jika ia bersumpah kepadanya dia mengiyakan, dan jika suami pergi jauh
dari pandangan maka dia memelihara diri dan harta (suami)nya. (HR. Ibnu Majah)

Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah. (HR.
Muslim)

Di antara kebahagiaan anak Adam adalah istri salehah, tempat tinggal yang baik, dan
kendaraan yang baik. (HR. Ahmad)

Islam mengangkat nilai wanita sebagai istri dan menjadikan pelaksanaan hak-hak suami-istri
itu sebagai jihad di jalan Allah. Ada seorang wanita datang kepada Nabi Saw. bertanya, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku adalah delegasi wanita yang diutus kepadamu dan tidak ada satu
wanita pun kecuali agar aku keluar untuk menemuimu." Kemudian wanita itu mengemukakan
permasalahannya dengan mengatakan, "Allah adalah Rabb-nya laki-laki dan wanita dan ilah
mereka. Engkau adalah utusan Allah untuk laki-laki dan wanita. Allah telah mewajibkan jihad
kepada kaum laki-laki sehingga jika mereka memperoleh kemenangan akan mendapat pahala,
dan apabila mati syahid akan tetap hidup di sisi Rabb-nya dan diberi rezeki. Amal perbuatan
apakah yang bisa menyamai perbuatan mereka dari ketaatan? Nabi Saw. menjawab, "Taat
kepada suami dan memenuhi hak-haknya, tetapi sedikit yang bisa melaksanakannya." (HR.
Thabrani)
Islam telah menetapkan untuk istri hak-hak yang wajib dipenuhi oleh suami. Hak-hak itu tak
sekadar tinta di atas kertas, akan tetapi Islam menjadikan lebih dari itu, yaitu yang mampu
memelihara dan mengawasi. Pertama, keimanan dan ketakwaan seorang Muslim. Kedua, hati
nurani masyarakat dan kesadarannya. Dan ketiga, keterikatan dengan hukum Islam.
Pertama kali hak yang wajib dipenuhi seorang suami terhadap istrinya adalah mas kawin yang
telah diwajibkan oleh Islam sebagai tanda kecintaan seorang suami terhadap istrinya. Allah Swt.
berfirman, "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap
lagi baik akibatnya." (An-Nisa': 4)
Bandingkan kandungan ayat di atas dengan realitas nasib perempuan dalam tradisi selain
Islam, yang harus memberikan sebagian hartanya kepada kaum lelaki, padahal Allah telah men-
jadikan wanita itu yang dikehendaki dan bukan yang berkehendak.
Hak kedua yang harus dipenuhi seorang suami terhadap istri adalah nafkah. Seorang suami
diwajibkan mencukupi makanan, pakaian, tempat tinggal dan pengobatan istri.
Rasulullah menjelaskan hak-hak wanita yang harus dipenuhi oleh seorang suami dalam
sabdanya, "Dan bagi wanita (yang diwajibkan) atas kamu (kaum lelaki) rezki mereka dan pakaian
mereka dengan makruf." Yang dimaksud dengan makruf adalah sesuatu yang dianggap baik oleh
ahli agama tanpa berlebihan dan tanpa mengurangi. Allah Swt. berfirman,
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang
Allah berikan kesanggupan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan. (At-Thalaq: 7)

Hak yang ketiga adalah mempergauli dengan baik. Allah Swt. berfirman,
...dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan baik... (An-Nisa': 19)

Baik dalam ayat di atas mencakup semua interaksi dan komunikasi yang baik, seperti
berbicara yang baik, wajah yang berseri-seri, menghibur dengan bersenda gurau dan mesra
dalam hubungan. Rasulullah Saw. bersabda,
Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang
paling bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. (HR. Tirmidzi)

Ibnu Hibban meriwayatkan dari Aisyah r.a., Rasulullah Saw. bersabda,


Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan saya adalah orang
yang paling baik terhadap keluarga saya.

Sirah Nabawiyah secara aplikatif telah membuktikan kelembutan Rasulullah terhadap


keluarganya. Akhlak beliau sangat mulia terhadap para istrinya. Sampai-sampai Rasulullah sering
membantu para istrinya untuk menyelesaikan tugas-tugas di rumah. Di antara kelembutan
Rasulullah adalah, beliau pernah mendahului Aisyah berlomba lari dua kali, lalu Aisyah mengalah-
kan beliau sekali dan sekali lagi dalam kesempatan yang lainnya. Maka beliau berkata kepada
Aisyah "Sekarang impas."
Sebagai timbal balik dari pelaksanaan hak-hak yang wajib dipenuhi seorang suami terhadap
istrinya, maka Islam mewajibkan istri untuk mentaati suami di luar perkara maksiat. Serta
memelihara hartanya, sehingga seorang istri tidak boleh mempergunakan harta tersebut kecuali
dengan izinnya. Demikian juga seorang istri wajib memelihara rumah dan tidak boleh
memasukkan orang ke dalam rumahnya kecuali atas seizin suami, walaupun itu keluarganya.
Kewajiban-kewajiban ini tidak banyak dan tidak bersifat menzalimi seorang istri jika
dibandingkan dengan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami. Setiap hak selalu diimbangi
kewajiban, dan di antara keadilan Islam adalah, tidak menjadikan kewajiban itu hanya
dibebankan pada wanita saja atau laki- laki saja, tetapi pada keduanya. Diriwayatkan bahwa Ibnu
Abbas suatu hari bercermin, lalu ditanya alasannya dan beliau menjawab, "Aku berhias untuk
istriku sebagaimana istriku berhias untukku," kemudian membacakan ayat, "Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya," (Al-Baqarah: 228). Ini adalah bukti nyata
tentang dalamnya pemahaman Rasul dan sahabat terhadap Al-Quran.

Kemandirian Seorang Istri


Islam tidak membiarkan kepribadian wanita larut dalam kepribadian suami, sebagaimana
tradisi barat, di mana wanita mengikuti suaminya, sehingga nama sang istri tidak begitu dikenal.
Demikian juga nasab dan marganya, karena cukup dikatakan, "Fulanah istrinya si Fulan."
Adapun Islam telah menempatkan kepribadian wanita secara mandiri. Oleh karena itu, kita
mengenai istri-istri Rasul dengan nama-nama dan nasabnya, seperti Khadijah binti Khuwailid,
Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar, Maimunah binti Al-Harits, dan Shafiyah binti Huyyai
yang bapaknya adalah seorang Yahudi yang pernah memerangi Rasulullah Saw.
Selain itu, kepribadian wanita dalam hak perdatanya pun tak terkurangi dengan menikah. Ia
tidak kehilangan haknya dalam hal perjanjian jual beli dan muamalah. Dia berhak menjual dan
membeli, dia berhak memberi upah, dia berhak memberikan hartanya, bersedekah, memberi
makan, dan sebagainya. Pemahaman seperti ini belum sampai pada wanita Barat kecuali baru-
baru saja. Dan di sebagian negara, wanita masih sangat terikat dengan keinginan suaminya.
Talak
Para Misionaris dan Orientalis dewasa ini memusatkan serangannya pada dua permasalahan
yang berkaitan dengan wanita, yaitu masalah perceraian dan poligami.
Sungguh sangat disayangkan bahwa ghazwul fikri yang disebarkan mereka itu mendapat
sambutan luas dari kaum Muslimin, sehingga mereka ikut-ikutan menganggap kedua masalah
tersebut sebagai problematika rumah tangga dan masyarakat.
Padahal, Islam tidak mensyariatkan kedua masalah tersebut kecuali untuk menyelesaikan
problem yang cukup banyak dalam kehidupan lelaki, wanita, rumah tangga dan masyarakat.
Problem yang sebenarnya adalah terletak pada kesalahpahaman terhadap syariat Allah, atau
kesalahan dalam penerapannya. Segala sesuatu apabila tidak benar dalam penerapannya maka
memang akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.

Mengapa Islam Memperbolehkan Talak?


Tidak setiap perceraian dibolehkan dalam Islam, karena ada talak yang dimakruhkan, bahkan
diharamkan. Demikianitu karena talak dapat merobohkan bangunan rumah tangga yang sangat
ditekankan Islam agar dibina dan dibangun. Untuk itu, Rasulullah Saw. bersabda, "Perkara halal
yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian."
Jadi, talak yang disyariatkan oleh Islam itu mirip dengan operasi menyakitkan, yang rasa
sakitnya memang harus ditahan meski terkadang operasi itu sampai harus memotong bagian
tubuhnya, demi menyelamatkan anggota tubuh yang lain dan menghindari bahaya yang lebih
besar.
Apabila pasangan suami istri memutuskan untuk bercerai karena segala sarana islah dan
upaya mempertemukan kembali kedua belah pihak menemui jalan buntu, maka perceraian
dalam keadaan seperti ini merupakan obat yang sangat pahit yang harus ditelan, karena tidak
ada obat lainnya. Oleh karena itu, pepatah mengatakan, "Jika tidak mungkin bersatu, maka
berpisah." Al-Quran juga mengatakan,
Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari
limpahan karunia-Nya... (An-Nisa': 130)

Apa yang telah disyariatkan oleh Islam itulah yang sesuai dengan akal, hikmah dan
kemaslahatan. Tidaklah logis dan keluar dari fitrah jika dua pihak dipaksa bersekutu dengan
kekuatan hukum, sementara keduanya tidak rela dan tidak saling percaya. Memaksakan
kehidupan ini dengan kekuasaan hukum adalah siksaan yang keras. Orang tentu tidak tahan
menerimanya, karena realitas itu lebih buruk daripada penjara sepanjang masa, bahkan menjadi
neraka yang tidak kuat menahannya. Seorang ahli hikmah mengatakan, "Bencana yang paling
besar adalah bergaul dengan orang yang tidak cocok denganmu, namun tidak juga berpisah
darimu."

Mempersempit Lingkup Perceraian


Islam telah meletakkan sejumlah kaidah dan ajaran yang seandainya manusia mau mengikuti
dengan baik dan melaksanakannya, maka kita akan jarang menemukan perceraian dan niscaya
semakin minim perceraian itu. prinsip-prinsip itu adalah:
1. Memilih istri dengan baik, dengan cara memusatkan perhatian pada agama dan akhlak
sebelum harta, pangkat (jabatan), dan kecantikan. Rasulullah Saw. bersabda,
Wanita itu dinikahi karena empat perkara. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya
dan karena agama, maka carilah perempuan yang memiliki agama, niscaya engkau akan
diberkati. (HR. Muttafaq Alaih)
2. Melihat wanita yang dikhitbah sebelum terlaksananya akad, agar memperoleh kemantapan
dan kepuasan hati. Karena melihat sejak dini itu merupakan langkah menuju kerukunan dan
cinta kasih.
3. Perhatian wanita dan wali-walinya untuk memilih suami yang baik, dan mengutamakan yang
baik agama serta akhlaknya, sebagaimana petunjuk dalam Sunnah.
4. Pihak wanita harus ridha untuk menikah dengan calon suami yang ditawarkan kepadanya.
Tidak boleh ada pemaksaan menikah dengan orang yang tidak dicintainya.
5. Mendapat persetujuan dari wali wanita.
6. Bermusyawarah dengan ibu calon pengantin putri, agar pernikahan disetujui oleh semua
pihak. Karena Rasulullah Saw. bersabda, "Ajaklah para wanita untuk bermusyawarah tentang
anak-anak wanitanya."
7. Diwajibkannya mempergauli dengan baik dan melaksanakan hak-hak serta kewajiban antara
suami istri, serta membangkitkan semangat keimanan untuk berpegang teguh pada
ketentuan-ketentuan Allah serta bertakwa kepada-Nya.
8. Mendorong suami agar hidup secara realistis, karena tidak mungkin ia menginginkan
kesempurnaan mutlak pada istrinya. Hendaklah ia melihat kebaikan-kebaikan pasangannya.
Toh, jika ia tidak suka pada satu sikap tertentu dari istrinya, ia merasa senang dengan
sikapnya yang lain.
9. Mengajak suami berpikir dengan akal sehat dan kemaslahatan. Jika ada perasaan tidak suka
terhadap istri, hendaknya jangan cepat memperturuti perasaan sembari mengharap semoga
Allah mengubah sikap pasangan menjadi lebih baik. Allah Swt. berfirman, "Dan pergaulilah
mereka (istrimu) dengan baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak (An-Nisa': 19)
10. Memerintahkan suami untuk menghibur dan menasihati istrinya yang sedang nusyuz dengan
bijaksana dan bertahap. Dari lemah lembut, sampai pada ketegasan namun tidak kasar. Allah
Swt. berfirman, "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka
dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar." (An-Nisa': 34)
11. Memerintahkan masyarakat untuk ikut menyelesaikan ketika terjadi perselisihan suami istri,
yaitu dengan membentuk 'Majelis Keluarga.' Majelis ini terdiri dari orang-orang yang bisa
dipercaya dari keluarga kedua belah pihak, untuk berupaya mengishlah dan merukunkan
serta memecahkan krisis yang menimpa dengan baik. Allah Swt. berfirman, "Dan jika kamu
khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari
keluarga laki-laki dan seorang hakam (juru damai) dari keluarga perempuan. Jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami
istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenai." (An-Nisa': 35)
Inilah beberapa ajaran Islam, yang seandainya kaum Muslimin mau mengikutinya dan
memeliharanya dengan sungguh-sungguh maka kasus perceraian itu akan berkurang.

Kapan dan Bagaimana Perceraian itu Dilakukan?


Islam tidak mensyariatkan talak pada setiap saat. Talak yang diperbolehkan sesuai dengan
petunjuk Al-Quran dan Sunah adalah talak yang dilakukan dengan hati-hati dan memilih waktu
yang tepat. Talak tidak boleh dilakukan ketika istri haid, dan tidak boleh pula ketika dalam
keadaan sud dan masih digauli. Jika ia melakukan hal itu maka talaknya diharamkan. Bahkan
sebagian fuqaha berpendapat talaknya tidak sah, karena dijatuhkan tidak sesuai dengan perintah
Nabi Saw. Rasulullah Saw. bersabda, "Barangsiapa yang melakukan perbuatan tanpa dilandasi
perintah kami maka itu tertolak (tidak diterima)."
Orang yang menalak juga harus dalam keadaan sadar. Apabila ia hilang kesadaran, terpaksa,
atau dalam keadaan marah yang menutup ingatannya sehingga berbicara yang tidak ia ingin- kan,
maka menurut pendapat yang sahih, tidak sah. Berdasar- kan hadits, "Tidak sah talak dalam
ketidaksadaran." Abu Dawud menafsirkan hadits ini dengan 'marah', dan yang lain mengartikan
karena 'terpaksa'. Kedua-duanya benar.
Orang yang menolak hendaklah bermaksud dengan talaknya itu untuk berpisah dari istrinya.
Adapun menjadikan talak itu sebagai sumpah atau sekadar menakut-nakuti, maka tidak sah
menurut pendapat yang sahih, sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf dan ditarjih
oleh Al 'Allamah Ibnul Qayyim dan gurunya Ibnu Taimiyah.
Jadi, talak yang sah hanyalah yang benar-benar diniatkan dengan pemikiran matang dan telah
dikaji sebelumnya, di mana itu merupakan satu-satunya jalan penyelesaian semua pihak, karena
rumah tangga tidak mungkin lagi dipertahankan. Inilah yang dikatakan Ibnu Abbas,
"Sesungguhnya talak itu karena diperlukan."

Hal yang Dilakukan Setelah Talak


Perceraian yang terjadi tidak harus memutuskan hubungan suami istri sama sekali, yang
kemudian tidak ada jalan menuju perbaikan. Talak, seperti dijelaskan dalam Al-Quran memberi
kesempatan pelakunya untuk mengevaluasi dan mempelajari kembali. Oleh karena itu, talak
terjadi satu kali-satu kali. Apabila kedua kalinya tidak juga bermanfaat maka terjadilah talak
ketiga yang memutuskan hubungan selamanya, sehingga tidak halal baginya setelah itu.
Oleh karena itu, mengumpulkan tiga talak dalam satu ucapan bertentangan dengan syariat
Al-Quran. Inilah yang dijelaskan dan diambil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya,
Ibnu Qayyim, dan yang dipakai Mahkamah Syar'iyah di negara-negara Arab.
Selama masa idah, wanita yang dicerai tetap memperoleh nafkah, dan suami tidak boleh
mengeluarkannya dari rumah. Bahkan, suami wajib membiarkan istri tinggal di rumahnya, dekat
dengan dia, karena barangkali dengan begitu kerukunan akan kembali dan hati menjadi jernih.
Allah Swt. berfirman,
Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (At-
Thalaq: 1)
Perceraian tidak memperbolehkan suami memakan maskawin yang telah diberikan kepada
istri. Suami tidak boleh meminta kembali mahar atau segala sesuatu yang telah diberikan kepada
istri. Allah Swt. berfirman,
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. (Al-Baqarah: 229)

Selain itu, istri yang ditalak juga berhak memperoleh mut'ah, senilai tradisi yang berlaku. Allah
Swt. berfirman,
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut
yang makruf, sebagai suatu kuwajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 241)

Selain itu, suami yang mentalak tidak boleh bersikap keras terhadap mantan istri, atau
menyebarkan keburukannya, menyakiti dirinya, dan keluarganya. Allah Swt. berfirman,
Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229)

Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. (Al-Baqarah: 237)

Inilah talak yang disyariatkan Islam. Ia merupakan terapi yang diperlukan pada saat dan
alasan yang tepat, dengan tujuan dan cara yang benar. Agama Katolik mengharamkan talak
secara mutlak kecuali dengan alasan zina, menurut Katolik Ortodox, sehingga mayoritas kaum
Kristen keluar dari hukum yang mereka yakini, yaitu haramnya talak. Itulah yang membuat
sebagian besar negara-negara Kristen memberlakukan hukum buatan mereka sendiri yang
memperbolehkan cerai tanpa memakai per- syaratan-persyaratan sebagaimana hukum Islam
dengan segala ketentuan dan adabnya. Untuk itu, tidak heran jika mereka bercerai karena alasan
yang sangat sepele, dan akhirnya kehidupan rumah tangga mereka terancam berantakan dan
hancur.

Alasan Hak Cerai di Tangan Lelaki


Kaum orientalis dan missionaris bertanya, "Mengapa hak cerai di tangan lelaki? Maka kita
jawab, karena sesungguhnya lelaki adalah kepala rumah tangga, yang bertanggung jawab
pertama kali dan yang memikul beban dalam rumah tangganya. Dialah yang harus memberikan
mahar dan kewajiban-kewajiban lain setelahnya, sehingga dia dapat membangun rumah tangga
di atas tanggung jawabnya. Barangsiapa dapat berbuat demikian maka ia menjadi mulia dan tidak
mungkin merusak bangunan rumah tangga itu, kecuali karena ada tujuan-tujuan tertentu, atau
karena kebutuhan yang memaksa yang menjadikannya berkorban dengan menanggung seluruh
kerugian karenanya.
Selain itu, karena laki-laki pada umumnya lebih berhati-hati dan banyak pertimbangan serta
tidak mudah terpengaruh oleh perasaan, sehingga lebih baik jika wewenang itu berada di
tangannya. Berbeda dengan wanita yang cepat terpengaruh, mudah emosi dan selalu hangat
perasaannya. Kalau seandainya talak berada dalam kekuasaannya, pasti akan sering terjadi
perceraian dengan alasan-alasan yang ringan dan perselisihan kecil.
Bukan pula suatu kemaslahatan jika talak itu diserahkan kepada Peradilan (Mahkamah),
karena tidak setiap sebab talak itu boleh diumumkan di peradilan yang kemudian menjadi
permainan para pengacara, jurnalis, dan menjadi bahan perbincangan masyarakat.
Orang Barat menjadikan peradilan sebagai lembaga yang memutuskan talak, karenanya tidak
sedikit perceraian di kalangan mereka, dan peradilan tak henti-hentinya mengurus suami-istri
yang ingin bercerai.

Bagaimana Seorang Istri yang Tertekan dapat Melepaskan Diri dari Suami?
Ada pertanyaan yang menghantui kebanyakan orang, yaitu jika talak berada di tangan laki-
laki dengan alasan-alasan yang telah disebutkan, maka apa wewenang yang diberikan oleh Islam
kepada wanita? Bagaimana cara wanita menyelamatkan diri dari cengkeraman suami jika ia tidak
lagi suka hidup bersama karena tabiat suami yang kasar, atau akhlanya yang buruk, atau karena
suami tidak memenuhi hak-haknya, atau karena lemah fisik dan hartanya sehingga tidak bisa
memenuhi hak-haknya, atau karena sebab-sebab yang lainnya?
Jawabannya adalah, sesungguhnya Allah telah memberikan beberapa jalan keluar kepada
wanita yang dapat membantunya menyelamatkan diri, antara lain sebagai berikut.
1. Hendaklah wanita membuat persyaratan ketika akad bahwa hak talak berada di tangannya.
Ini boleh menurut Imam Abu Hanifah dan Ahmad. Dalam hadits sahih dikatakan, "Syarat yang
paling benar adalah jika kalian memenuhinya selama kamu menginginkan halal
kemaluannya."
2. Melakukan khulu. Wanita yang tidak suka terhadap suami- nya boleh menebus dirinya, yaitu
dengan mengembalikan maskawin yang pernah ia terima atau pemberian lainnya. Karena
tidaklah adil jika wanita yang ingin cerai dan merusak mahligai rumah tangga, tapi suami yang
menanggung dan yang dirugikan. Allah Swt. berfirman, "Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus diri..." (Al-Baqarah: 229).
Di dalam hadits diceritakan bahwa istri Tsabit bin Qais pernah mengadu kepada Nabi Saw.
tentang kebenciannya kepada suaminya. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Apakah
kamu sang- gup menggembalikan kebun yang dijadikannya mahar?" Wanita itu berkata,
"Ya." Maka Nabi Saw. memerintahkan Tsabit untuk mengambil kebunnya dan tidak lebih dari
itu."
3. Berpisah berdasar keputusan dua hakam. Allah Swt. berfirman, "Dan jika kamu khawatirkan
ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-
laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri ini." Penamaan Al-
Quran terhadap majelis keluarga ini dengan nama hakamain menunjukkan bahwa keduanya
mempunyai hak memutuskan (untuk dilanjutkan atau tidak). Sebagian sahabat mengatakan
kepada dua hakam, "Jika kamu berdua ingin mempertemukan, pertemukan kembali, dan jika
kamu berdua ingin memisahkan maka pisahkanlah.
4. Bercerai karena suami cacat secara seksual. Apabila seorang lelaki lemah dalam hubungan
seksual maka seorang wanita diperbolehkan mengangkat permasalahannya ke hakim
sehingga hakimlah yang memutuskan pisah di antara keduanya. Hal ini untuk menghindarkan
wanita itu dari bahaya, karena tidak boleh saling membahayakan di dalam Islam.
5. Meminta cerai karena perlakuan suami yang membahayakan, seperti mengancam, menyakiti,
dan menahan nafkah. Dalam hal ini, istri boleh meminta hakim untuk menceraikannya secara
paksa agar bahaya dan kezaliman itu dapat dihindarkan dari dirinya. Allah Swt. berfirman,
Janganlah kamu tahan mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka... (Al-Baqarah: 231)
Maka ditahan (dirujuk) dengan baik atau menceraikan dengan cara yang baik... (Al-Baqarah:
229)
Di antara bahaya yang mengancam adalah memukul istri tanpa alasan yang benar. Bahkan
sebagian imam berpendapat bolehnya menceraikan wanita dari suaminya yang pailit, yang
tidak mampu memberikan nafkah, dan istrinya meminta cerai. Karena hukum tidak
membebaninya untuk bertahan dalam kelaparan dengan suami yang fakir.

Dengan solusi ini, Islam telah membuka kesempatan bagi wanita sebagai bekal persiapan
untuk menyelamatkan diri dari kekerasan suami dan penyelewengan kekuasaan suami yang tidak
benar.
Undang-undang yang dibuat para ahli tidak lebih hanya menzalimi hak wanita. Adapun sistem
yang dibuat Allah sebagai pencipta manusia, tidak ada kezaliman di dalamnya dan tidak ada
pemihakan. Itulah keadilan yang sempurna. Allah Swt. berfirman,
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yangyakin. (Al-Ma'idah: 50)

Penerapan Talak yang Keliru


Umumnya kaum Muslimin keliru dalam mempraktikkan talak. Mereka menempatkannya
bukan pada tempatnya dan menggambarkan talak itu seakan seperti pedang yang dihunus lalu
diletakkan di atas leher sang istri. Mereka juga mempergunakan kata talak dalam sumpahnya
terhadap sesuatu yang berat maupun yang ringan. Banyak fuqaha yang begitu longgar dalam
menjatuhkan talak, sampai talaknya orang yang mabuk dan marah, bahkan orang yang terpaksa
juga dianggap. Padahal haditsnya mengatakan, "Tidak sah talak yang dalam ketidak- sadaran."
Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya talak itu berdasarkan keperluan." Ada juga yang
menjatuhkan talak tiga dengan satu perkataan ketika marah. Padahal talak itu dimaksudkan
untuk menakut-nakuti saja dalam pertengkaran di luar rumah, sedangkan istrinya sangat bahagia
dan rukun.
Nash-nash yang ada, yang didukung oleh maqashid syariah menghendaki sempitnya wilayah
dalam menjatuhkan talak. Oleh karena itu, talak tidak sah kecuali dengan kata-kata yang jelas,
pada saat tertentu, dan dengan maksud tertentu. Inilah yang kita berlakukan, pendapat yang
dianut oleh Imam Bukhari dan sebagian ulama salaf. Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim serta ulama
lainnya memperkuat pendapat ini dan menyetujuinya. Ini pula yang sesuai dengan ruh Islam.
Adapun kesalahpahaman dan salah penerapan hukum Islam itu merupakan tanggung jawab
kaum Muslimin, bukan tanggung jawab Islam itu sendiri.

Poligami
Orang-orang Kristen dan Orientalis menjadikan tema poligami ini seakan merupakan salah
satu syiar Islam yang wajib, atau minimal sunah untuk dilaksanakan. Padahal, yangdemikian ini
tidak benar alias penyesatan, karena dalam praktik umumnya, seorang Muslim itu menikah
dengan satu istri yang menjadi penenteram dan penghibur hati, pendidik dalam rumah tangga
dan tempat untuk menumpahkan isi hati, sehingga terciptalah suasana tenang, mawaddah dan
rahmah, yang merupakan sendi-sendi kehidupan suami istri menurut Al-Quran.
Oleh karena itu ulama mengatakan, "Seseorang yang mempunyai satu istri yang mampu
memelihara dan mencukupi kebutuhannya, maka ia dimakruhkan untuk menikah lagi, karena hal
itu membuka peluang bagi dirinya melakukan sesuatu yang haram. Allah Swt. berfirman,
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu
sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang
kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung... (An-Nisa': 129)

Rasulullah Saw. bersabda,


Barangsiapa mempunyai dua istri, kemudian lebih mencintai kepada salah satu di antara
keduanya maka ia datang pada hari kiamat sedangkan tubuhnya miring sebelah. (HR. Al-
Khamsah)

Adapun orang yang tidak mampu mencari nafkah untuk istri kedua atau khawatir dirinya tidak
bisa berlaku adil di antara kedua istrinya, maka ia haram menikah lagi. Allah Swt. berfirman, "Jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..." (An-Nisa': 3)
Dalam masalah pernikahan, sikap yang utama mencukupkan diri dengan satu istri, demi
menjaga diri dari ketergelinciran dan kesulitan dunia serta siksaan akhirat. Hanya saja, ada
pertimbangan-pertimbangan manusiawi, baik secara individu maupun sosial, yang menjadikan
Islam memperbolehkan seorang Muslim untuk menikah lebih dari satu. Islam adalah agama yang
sesuai dengan fitrah manusiawi, sekaligus memberikan solusi yang realistis bagi persoalan
kemanusiaan, tanpa harus lari menjauh dan jatuh dalam khayalan.

Poligami pada Umat Masa Lalu dan pada Masa Islam


Sebagian orang berbicara tentang poligami, seakan-akan Islam merupakan yang pertama kali
mensyariatkan itu. Ini adalah suatu kebodohan dari mereka atau pura-pura tidak tahu tentang
sejarah. Sesungguhnya banyak umat dan agama-agama sebelum Islam yang memperbolehkan
menikah dengan lebih dari satu wanita, bahkan mencapai berpuluh-puluh orang atau lebih, tak
ada perrsyaratan dan tanpa ikatan apa pun.
Di dalam Injil Perjanjian Lama diceritakan bahwa Nabi Dawud mempunyai istri tiga ratus
orang, dan Nabi Sulaiman mempunyai tujuh ratus orang istiri.
Ketika Islam datang, maka dia meletakkan beberapa persyaratan untuk bolehnya
berpoligami, antara lain dari segi jumlah adalah maksimal empat. Sehingga ketika Ghailan bin
Salamah masuk Islam sedang ia memiliki sepuluh istri, Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Pilihlah
dari sepuluh itu empat dan ceraikanlah sisanya." Demikian juga berlaku pada orang yang masuk
Islam yang istrinya delapan atau lima, maka Nabi Saw. juga memerintahkan kepadanya untuk
mempertahankan empat saja.
Adapun pernikahan Rasulullah Saw. dengan sembilan wanita ini merupakan kekhususan yang
Allah berikan kepadanya, karena kebutuhan dakwah ketika hidupnya dan kebutuhan umat
terhadap mereka setelah beliau wafat. Namun demikian, sebagian besar usia hidup beliau
bersama satu istri.

Adil Merupakan Syarat Poligami


Adapun syarat yang diletakkan oleh Islam untuk bolehnya berpoligami adalah kepercayaan
seorang Muslim pada dirinya untuk bisa berlaku adil di antara para istri dalam masalah makan,
minum, berpakaian, tempat tinggal, menginap dan nafkah. Barangsiapa tidak yakin terhadap
dirinya atau kemampuannya untuk memenuhi hak-hak tersebut dengan adil, maka diharamkan
baginya untuk menikah lebih dari satu. Allah Swt. berfirman:
Jika kamu takut berlaku tidak adil maka cukuplah satu istri. (An-Nisa': 3)

Rasulullah Saw. bersabda, "Barangsiapa memiliki dua istri dan ia cenderung kepada salah
satunya atas yang lain, ia datang pada hari kiamat sedang salah satu bahunya patah atau miring."
Kecenderungan yang diperingatkan di dalam hadits ini adalah penyimpangan terhadap hak-hak
istri, bukan adil dalam arti kecenderungan hati, karena hal itu termasuk keadilan yang tidak
mungkin dimiliki manusia dan dimaafkan oleh Allah. Allah Swt. berfirman,
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu
sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang
kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. (An-Nisa': 129)

Oleh karena itu, Rasulullah Saw. menggilir istrinya dengan adil, dan beliau selalu berdoa, "Ya
Allah inilah pembagianku sesuai dengan kemampuanku, maka janganlah Engkau mencelaku
terhadap apa-apa yang Engkau miliki dan yang tidak aku miliki". Maksud dari doa ini adalah
kemampuan untuk bersikap adil di dalam kecenderungan hati kepada salah seorang istri.
Apabila hendak bepergian, Rasul membuat undian untuk istrinya. Mana yang namanya
keluar, itulah yang pergi bersamanya. Beliau melakukan itu untuk menghindari keresahan hati
istri-istrinya dan untuk memperoleh kepuasan mereka.

Hikmah Diperbolehkannya Poligami


Islam adalah risalah terakhir yang datang dengan syariat yang bersifat umum, abadi, yang
berlaku sepanjang masa, untuk seluruh manusia. Islam tidak membuat aturan untuk orang yang
tinggal di kota sementara melupakan orang yang tinggal di desa, tidak pula untuk masyarakat
yang tinggal di iklim yang dingin, sementara melupakan masyarakat yang tinggal di iklim yang
panas. Islam tidak pula membuat aturan untuk masa tertentu, sementara mengabaikan masa-
masa dan generasi yang lainnya. Islam memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat.
Ada manusia yang kuat keinginannya untuk mempunyai keturunan, akan tetapi ia dikaruniai
rezeki istri yang mandul karena sakit atau sebab lainnya. Apakah tidak lebih mulia bagi seorang
istri, dan lebih utama bagi suami, untuk menikah lagi dengan orang yang disenangi guna
memperoleh keinginan tersebut dengan tetap memelihara istri pertama dan memenuhi hak-
haknya?
Ada juga di antara kaum lelaki yang kuat keinginannya dan kuat syahwatnya, akan tetapi ia
dikaruniai istri yang kurang bergairah karena sakit atau masa haidnya terlalu lama dan sebab-
sebab lainnya, sementara lelaki itu tidak tahan dalam waktu Iama tanpa wanita. Apakah tidak
sebaiknya diperbolehkan menikah dengan wanita yang halal daripada harus berkencan dengan
sahabatnya atau daripada harus mencerai yang pertama?
Selain itu, jumlah wanita terbukti lebih banyak daripada pria, terutama setelah terjadi
peperangan yang memakan banyak korban kaum laki-laki dan pemuda. Di sinilah letak
kemaslahatan sosial dan kemaslahatan bagi kaum wanita itu sendiri, yaitu untuk menjadi
bersaudara dalam naungan sebuah rumah tangga, daripada usianya habis tanpa merasakan
hidup berumah tangga, merasakan ketenteraman, cinta kasih dan pemeliharaan, serta
nikmatnya menjadi seorang ibu. Panggilan fitrah di tengah-tengah kehidupan berumah tangga
selalu mengajak ke arah itu.
Poligami merupakan salah satu dari tiga pilihan yang terpampang di hadapan wanita yang
jumlahnya lebih besar daripada jumlah kaum laki-laki. Tiga pilihan itu adalah, pertama,
menghabiskan usianya dalam kepahitan karena tidak pernah merasakan kehidupan berkeluarga
dan menjadi ibu; atau kedua melacur untuk menjadi umpan dan permainan kaum laki-laki yang
rusak, sehingga muncullah pergaulan bebas yang mengakibatkan banyaknya anak-anak haram,
anak-anak temuan yang kehilangan hak-hak secara materi dan moral, sehingga menjadi beban
sosial bagi masyarakat; atau ketiga, dinikahi secara baik-baik oleh lelaki yang mampu
memberikan nafkah dan memelihara dirinya sebagai istri kedua, ketiga atau keempat.
Tidak diragukan bahwa cara yang ketiga inilah yang adil dan paling baik serta merupakan obat
yang mujarab. Inilah hukum Islam. Allah Swt. berfirman,
Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.
(Al-Ma'idah: 50)

Poligami Merupakan Sistem yang Bermoral dan Manusiawi


Sistem poligami yang diatur dalam Islam adalah sistem yang bermoral dan manusiawi.
Bermoral, karena Islam tidak mem- perbolehkan laki-laki berhubungan dengan wanita yang ia
suka di luar pernikahan. Ia tidak boleh berhubungan dengan lebih dari tiga perempuan lain di
samping istri pertamanya. Ia tidak boleh berhubungan dengan salah satu dari tiga wanita
tersebut secara rahasia, tetapi harus melalui akad dan mengumumkannya, meskipun dalam
jumlah yang terbatas. Bahkan harus diketahui juga oleh para wali perempuan tentang hubungan
yang syar'i ini, dan mereka menyetujui atau mereka tidak menentangnya. Juga harus dicatat
dalam catatan resmi di kantor yang tersedia untuk akad nikah, lalu disunahkan mengadakan
walimah bagi laki-laki dengan mengundang kawan-kawannya serta dibunyikan rebana atau musik
sebagai ungkapan gembira.
Poligami juga merupakan sistem yang manusiawi, karena ia dapat meringankan beban
masyarakat, yaitu melindungi wanita yang tidak bersuami dan menempatkannya ke shaf para
istri yang terpelihara dan terjaga. Selain itu, karena orang yang berpoligami juga harus membayar
mahar, perkakas rumah dan nafkah, tidak seperti yang terjadi dalam hubungan haram
perselingkuhan. Belum lagi manfaat sosial, di mana dengan poligami berarti ikut andil dalam
membangun banyak generasi demi mewujudkan generasi yang produktif bagi umat. Anak-anak
yang dilahirkan dari hasil poligami, yang kemudian hidup di masyarakat sebagai hasil jalinan cinta
yang mulia sangat dibanggakan oleh seorang ayah. Demikian juga oleh umatnya di masa yang
akan datang.
Poligami, sebagaimana dikatakan oleh Musthafa As-Siba'i rahimahullah memberi
kesempatan kepada manusia untuk menyalurkan syahwatnya dengan sah dalam batas tertentu,
tetapi beban, kepayahan dan tanggung jawabnya tidak terbatas. Maka yang demikian itu, sekali
lagi, merupakan sistem yang bermoral yang memelihara akhlak, dan sistem manusiawi yang
memuliakan manusia.

Poligami Orang-Orang Barat Tidak Bermoral dan Tidak Manusiawi


Poligami di kalangan orang-orang Barat merupakan perilaku yang tidak diatur oleh undang-
undang. Mereka tidak menamakan wanita yang dikumpulinya sebagai istri, tetapi
menamakannya sahabat atau teman kencan. Mereka tidak membatasi hanya empat orang, tetapi
sampai batas yang tak terhitung. Mereka tidak berterus terang kepada keluarganya, tetapi
melakukan semuanya secara sembunyi-sembunyi. Mereka tidak mau bertanggung jawab atas
biaya untuk para wanita yang pernah dijalininya, bahkan seringkali mengotori kehormatannya,
kemudian ia tinggalkan dalam kehinaan dan memikul beban sakitnya mengandung dan
melahirkan yang tidak halal.
Mereka tidak mengharuskan pelaku poligami mengakui anak yang diperoleh dari
hubungannya dengan seorang wanita. Anak-anak itu dianggap anak haram yang menanggung
sendiri kehinaan selama hidup.
Praktik seperti ini sungguh jauh dari perilaku moral, kesadaran hati, atau perasaan
manusiawi. Sesungguhnya ini merupakan poligami yang memperturutkan syahwat dan egoisme
serta membuat orang lari dari segala tanggung jawab. Jika demikian, sistem manakah yang paling
bermoral, yang lebih bisa mengendalikan syahwat, lebih menghargai wanita dan yang lebih
membuktikan kemajuan serta lebih baik untuk umat manusia?

Kesalahan dalam Praktik Poligami


Kita tidak mengingkari adanya umat Islam yang salah dalam melaksanakan keringanan hukum
berpoligami sebagaimana yang disyariatkan Allah, sebagaimana kita juga melihat mereka salah
dalam mempergunakan rukhsah tentang bolehnya talak. Sekali lagi, yang salah bukan hukum
Islamnya, melainkan pada manusia dalam penerapannya, disebabkan kekurangpahaman mereka
terhadap ajaran agama, atau karena keburukan akhlak mereka.
Sebagian orang berpoligami tetapi tidak punya cukup kemauan untuk bersikap adil seperti
yang disyariatkan dan disyaratkan oleh Allah dalam masalah poligami. Ada juga yang berpoligami,
tetapi tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk memberi nafkah kepada istri-istri dan
anak-anaknya sebagai wujud dari rasa tanggungjawab. Dan sebagian lagi ada yang mampu
memberikan nafkah, tetapi tidak mampu untuk menjaga diri.
Kesalahan dalam menggunakan kebenaran ini seringkali menimbulkan akibat-akibat yang
membahayakan keberadaan rumah tangga. Sebagai akibat dari perhatian yang lebih terhadap
istri baru, ia menzalimi istri yang lama. Kecintaan yang berlebihan itulah yang menyebabkan ia
membiarkan istri tuanya terkatung-katung, seakan tidak lagi sebagai istrinya, tapi tidak pula
dicerai. Seringkali sikap seperti itu juga mengakibatkan anak-anak saling membenci, padahal
mereka anak dari satu bapak. Hal ini karena sang bapak tidak mampu berlaku adil di hadapan
anak-anaknya, dan tidak bisa sama dalam memberi materi dan sikap.
Tapi meskipun penyimpangan ini ada, ia tidak sampai pada kerusakan sebagaimana yang
dialami oleh orang-orang Barat dengan pelecehan moralnya. Poligami bukanlah problem di
dalam masyarakat Islam pada umumnya, karena pernikahan dengan satu istri sekarang ini pun
menimbulkan banyak problem.

Seruan untuk Menolak Poligami


Patut disayangkan bahwa sebagian penyeru Westernisasi di negara-negara Arab dan Islam
memanfaatkan data dari sebagian kaum Muslimin yang melakukan penyimpangan, sehingga
mereka angkat suara Untuk menutup pintu diperbolehkannya berpoligami secara mutlak.
Mereka bekerja pagi dan petang dan terus-menerus mempropagandakan tentang keburukan
poligami. Di saat yang sama, mereka diam diam seribu bahasa terhadap keburukan zina yang
mereka perbolehkan dan diperbolehkan oleh hukum internasional Barat yang berlaku juga secara
de facto di negara-negara Islam saat ini.
Beberapa media massa ikut berperan aktif, khususnya film-film dan sinetron untuk
menanamkan kebencian terhadap poligami, terutama di kalangan kaum wanita, sehingga
sebagian wanita lebih rela jika suaminya jatuh dalam perbuatan dosa besar, yaitu zina, daripada
harus menikah lagi.

Satu Argumen dari Kaum Antipoligami dan Jawabannya


Mereka benar-benar telah berhasil menjalankan misinya di sebagian negara Arab dan Islam,
sehingga muncul produk undang-undang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah,
yaitu poligami, demi mengikuti undang-undang Barat. Mereka masih terus berupaya untuk
menyebarkan hal ini di negara-negara lain. Celakanya, dalam masalah ini, mereka berusaha
mengatasnamakan syariat dan berdalil dengan dalil-dalil Al-Quran yang diputarbalikkan.
Mereka beralasan bahwa di antara hak seorang waliyyul amri, dalam hal ini pemerintah
adalah melarang sebagian hal yang diperbolehkan demi memperoleh kemaslahatan atau
menghindarkan mafsadah. Bahkan sebagian mereka ada yang terlalu berani untuk berdalil
dengan Al-Quran atas pendapatnya. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya Al-Quran
mensyaratkan bagi orang yang ingin menikah lebih dari satu untuk memastikan bahwa dirinya
akan mampu bersikap adil di antara para istrinya. Sehingga bagi siapa saja yang takut tidak bisa
adil maka cukup dengan satu istri, sesuai dengan firman Allah Swt., "Jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..." (An-Nisa': 3)
Itulah syarat yang dijelaskan oleh Al-Quran dalam masalah poligami, yakni adil. Tetapi Al-
Quran, menurut anggapan mereka, juga menjelaskan dalam surat yang sama bahwa adil yang
disyaratkan di sini tidak mungkin bisa dipenuhi dan tidak mungkin bisa dilakukan, karena Allah
Swt. berfirman pada kesempatan yang lain, "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil
di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung ..." (An-Nisa': 129)
Dengan begitu, kesimpulan mereka, ayat terakhir ini menafikan apa yang sudah ditetapkan
oleh ayat pertama.
Benarkah demikian? Jawabnya adalah tidak. Kesimpulan di atas tidak benar sama sekali,
selain tidak berdasarkan kritik ilmiyah yang benar, yang akan kami jelaskan satu per satu.
Syariat melarangapa saja yang mengandung mafsadah

Pendapat bahwa poligami menimbulkan mafsadah dalam rumah tangga dan masyarakat
merupakan pendapat yang salah. Syariat Islam tidak mungkin menghalalkan sesuatu yang mem-
bahayakan manusia, sebagaimana tidak mungkin mengharamkan sesuatu yang berguna bagi
mereka. Sudah menjadi ketetapan di dalam nash bahwa syariat Islam itu tidak menghalalkan
kecuali yang baik dan bermanfaat, dan tidak mengharamkan kecuali yang kotor dan berbahaya.
Inilah yang digambarkan oleh Al-Quran dengan kata-kata yang mantap dan singkat ketika
menyebutkan sifat Rasulullah. Allah Swt. berfirman,
... Yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi yang mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban
dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka... (Al-A'raf: 157)

Segala sesuatu yang diperbolehkan syariat Islam pasti bernilai manfaat murni, dan segala
sesuatu yang diharamkan oleh syariat Islam pasti bernilai madharat murni, atau madharatnya
jauh lebih besar ketimbang manfaatnya. Ini jelas sebagaimana disebutkan oleh Al-Quran tentang
khamr dan perjudian,
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya..." (Al-Baqarah: 219)

Inilah yang dipelihara oleh syariat dalam masalah poligami. Sungguh Islam telah menimbang
antara faktor kemaslahatan dan mafsadah, antara manfaat dan bahaya, sehingga akhirnya
memperbolehkan berpoligami bagi orang yang membutuhkan dengan syarat, pelakunya mampu
memelihara keadilan dan takut untuk berbuat penyelewengan serta kecenderungan yang tidak
sehat. Allah Swt. berfirman,
Jika kamu takut tidak bisa berbuat adil maka (nikahilah) satu istri. (An-Nisa': 3)

Apabila kemaslahatan istri pertama adalah tetap sendirian dalam mahligai rumah tangga
tanpa ada yang menyainginya, dan dia merasa akan teijadi petaka bila harus ada istri kedua, maka
merupakan kemaslahatan suami juga untuk menikah lagi agar dapat memelihara dirinya dari
perbuatan haram atau demi mendapatkan anak yang didamba, atau karena sebab yang lain.
Demikian pula, merupakan kemaslahatan istri kedua bahwa ia mempunyai suami di mana ia
dapat hidup di bawah naungannya dan hidup dalam tanggungannya, daripada hidup menyendiri
sebatang kara atau menjanda.
Juga merupakan kemaslahatan masyarakat jika mereka memelihara kaum lelakinya dan
menutupi aurat anak-anak gadisnya, yang di antaranya dengan pernikahan halal di mana baik
lelaki maupun wanita saling menanggung beban tanggungjawab terhadap diri, pasangan, dan
anak-anaknya. Hal itu lebih baik daripada harus menganut free sex gaya Barat yang antipoligami
model Islam, tetapi memperbolehkan banyak teman kencan yang hakikatnya adalah poligami
amoral dan tidak manusiawi karena masing-masing sekadar menikmati hubungan tanpa ada
beban, dan seandainya hadir seorang anak dari hubungan kotor ini maka itu merupakan
tumbuhan setan, tanpa ada bapak yang merawatnya dan tanpa keluarga yang menyayanginya
serta tanpa nasab yang ia banggakan. Manakah bahaya besar yang harus dijauhi?
Selain itu, istri pertama juga dilindungi hak-haknya oleh syariat dalam masalah persamaan
hak antara dia dengan istri yang lainnya di dalam persoalan nafkah, tempat tinggal, pakaian. dan
menginap. Inilah keadilan yang disyaratkan di dalam poligami.
Benar bahwa sebagian suami kurang memperhatikan masalah keadilan yang telah diwajibkan
atas mereka. Akan tetapi, kesalahan orang per orang dalam pelaksanaan bukan berarti
pembatalan prinsip (hukum) dasarnya. Karena jika prinsip ini tidak diterima dengan alasan seperti
itu maka syariat Islam akan terhapus secara keseluruhan. Untuk itu, dibuatlah rambu-rambu yang
harus dipegang teguh pelakunya.

Wewenang waliyul amri (pemerintah) untuk melarang hal-hal yang diperbolehkan

Adapun bahwa ada hak atau wewenang pemerintah untuk mencegah hal-hal yang
diperbolehkan, maka kita katakan, sesungguhnya wewenang itu adalah hak membatasi sebagian
hal-hal yang mubah karena kemaslahatan yang lebih mantap di dalam sebagian waktu dan
keadaan atau berlaku kepada sebagian orang. Bukannya melarang secara mutlak dan selamanya.
Sebab, larangan secara mutlak dan selamanya itu mirip dengan 'mengharamkan' yang
merupakan hak dan wewenang mutlak Allah. Inilah yang diingkari oleh Al-Quran dari orang-orang
ahli kitab, yaitu "... mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan
selain Allah" (At-Taubah: 31).
Hadits yang menafsirkan ayat tersebut menyatakan, "Sesungguhnya para rahib itu telah
menghalalkan dan mengharamkan sesuatu atas kaum Ahlul Kitab, dan kaum itu mengikuti
mereka."
Pembatasan terhadap yang mubah itu misalnya, larangan menyembelih hewan pada hari-
hari tertentu, demi mengurangi mengonsumsi daging hewan tersebut sebagaimana pernah
terjadi di masa Umar r.a. Juga seperti larangan menanam tanaman tertentu yang telah
overproduksi seperti kapas di Mesir, sehingga tidak boleh secara leluasa menanamnya melebihi
biji-bijian sebagai makanan pokok.
Seperti juga melarang para jenderal atau diplomat menikah dengan wanita asing, karena
takut terbongkarnya rahasia negara melalui wanita tersebut ke negara lain.
Seperti juga larangan menikah dengan wanita-wanita Ahlul Kitab apabila dikhawatirkan
membahayakan para gadis Muslimah di masyarakat minoritas Islam yang relatif kecil dan
terbatas penduduknya.
Adapun melarang secara mutlak sesuatu yang dihalalkan Allah, yang telah diizinkan secara
nyata baik oleh Al-Quran maupun Sunah Nabi dan dikuatkan oleh kesepakatan umat, seperti
talak dan poligami maka hal itu tidak termasuk pembatasan hal yang mubah seperti contoh-
contoh yang kita kemukakan di atas.

Makna "Kamu tidak akan mampu berbuat adil di antara istri mu"

Adapun berdalil dengan ayat 129 surat An-Nisa, seperti yang mereka sebutkan di atas,
merupakan pengambilan dalil yang tidak tepat dan ditolak serta menyelewengkan makna ayat
yang sebenarnya. Ini termasuk menuduh Nabi Saw. dan para sahabatnya tidak memahami Al-
Quran. Kalau tidak demikian, sesungguhnya mereka memahami tetapi sengaja menentangnya.
Pada dasarnya, ayat yang mereka jadikan dalil inilah yang akhirnya membantah mereka
sendiri, kalau saja mereka mau merenungkan. Sebab, Allah telah mengizinkan berpoligami
dengan syarat harus yakin dapat berbuat adil. Kemudian Allah menjelaskan keadilan yang
dituntut dalam surat yang sama, sebagaimana firman-Nya,
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu
sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang
kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung ... (An-Nisa': 129)

Ayat ini menjelaskan bahwa sesungguhnya adil yang mutlak dan sempurna terhadap para istri
itu tidak bisa dilakukan oleh manusia, sesuai dengan tabiat mereka. Karena adil yang sempurna
itu menuntut sikap yang sama dalam segala sesuatu, sampai masalah kecenderungan hati dan
keinginan seks. Ini sesuatu yang tidak mungkin ada pada manusia. Ia pasti mencintai salah
satunya lebih dari yang lain dan cenderung kepada yang satu lebih dari yang lain. Hati itu berada
dalam tangan Allah, dan Allah senantiasa mengubah-ubah sesuai dengan kehendak-Nya.
Oleh karena itu, Nabi Saw. berdoa setelah menggilir istri-istrinya dalam masalah urusan zahir
seperti nafkah, pakaian dan menginap dengan doa beliau, "Ya Allah inilah pembagianku sesuai
dengan apa yang aku miliki, maka janganlah Engkau murka kepadaku terhadap apa yang Engkau
miliki dan aku tidak memilikinya... (yaitu hati)."
Oleh karena itu, Al-Quran mengatakan setelah firman Allah tersebut, "Karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung." Maksudnya, sebagian kelebihan dalam masalah cinta itu dimaafkan, itulah
kecenderungan perasaan.
Hal yang sangat mengherankan adalah, sebagian negara Arab Islam ikut mengharamkan
poligami, sementara mereka pada saat yang sama tidak mengharamkan zina, padahal Allah Swt.
berfirman, "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Al-Isra': 32)
Saya pernah mendengar dari Syaikh Imam Abdul Halim Mahmud rahimahullah bahwa ada
seorang Muslim di negara Arab Afrika yang menikah secara rahasia dengan wanita. Ia
melaksanakan akad secara syar'i. Akan tetapi, akad itu tidak disahkan oleh hukum yang berlaku
di negaranya, bahkan dianggap sebagai pelanggaran hukum, sehingga membuatnya
kebingungan. Akhirnya, pernikahan itu tercium oleh intelijen dan ia dijerat pasal karena dianggap
telah melakukan pelanggaran hukum. Pada suatu malam ia pun ditangkap di rumah istri
keduanya itu dan dibawa ke pengadilan dengan tuduhan menikah dengan istri kedua.
Tetapi orang itu cerdik. Ia berkilah kepada para hakim dengan berkata, "Siapa bilang itu
istriku? Dia bukan istriku. Dia pacarku yang aku kunjungi sewaktu-waktu."
Demi mendengar hal itu, para hakim terkejut dan dengan sopan berkata, "Kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya karena kesalahpahaman yang terjadi. Kami kira ia istrimu, dan kami tidak
tahu kalau ia sebagai sahabat saja."
Akhirnya mereka pun melepaskan kembali orang itu, karena dianggap hanya menjalin asmara
dengan seorang wanita, yang mana hal itu termasuk 'kebebasan pribadi' yang dilindungi oleh
undang-undang!

Wanita Sebagai Wanita


Islam menghargai kewanitaan wanita dan menganggap wanita sebagai unsur penyempurna
bagi kaum laki-laki, sebagaimana laki-laki juga penyempurna bagi wanita. Antara satu sama lain
bukan sebagai musuh, bukan pula sebagai saingan, melainkan wanita adalah penolong kaum laki-
laki untuk menyempurnakan kepribadian dan jenisnya, begitu pun sebaliknya.
Sunatullah telah berlaku pada makhluk-Nya bahwa perkawinan itu termasuk karakter
tuntutan naluriah makhluk, sehingga kita melihat jenis kelamin laki-laki dan wanita itu ada di
alam manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Demikian juga positif dan negatif yang ada pada
dunia benda, seperti listrik, magnet sampai atom yang di dalamnya terdapat kekuatan listrik
positif dan negatif (elektron dan proton). Itulah yang disinggung oleh Al-Quran sejak 14 abad
yang lalu. Allah Swt. berfirman,
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan
kebesaran Allah. (Adz-Dzariyat: 49)

Laki-laki dan wanita itu seperti kaleng dengan tutupnya, yang saling membutuhkan antara
satu dengan lainnya. Sejak Allah menciptakan Adam, Allah juga menciptakan istrinya yang
bernama Hawa, agar Adam merasa tenteram dengannya. Allah tidak membiarkan Adam
sendirian meskipun tinggal di surga. Firman Allah juga ditujukan untuk dua orang secara
bersamaan, baik perintah maupun larangan, sebagaimana firman Allah Swt.,
Hai Adam, diamilah olehmu dan istrimu surga ini, dan makanlah (kamu berdua) makanan-
makanannya yang banyak lagi baik, di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah (kamu
berdua) dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. (Al-
Baqarah: 35)

Jadi, wanita bukanlah laki-laki, karena wanita penyempurna laki-laki, demikian pula
sebaliknya. Sesuatu tidak bisa sempurna secara sendiri, karena itu Al-Quran mengatakan,
"Bukanlah laki-laki itu seperti wanita" (Ali 'Imran: 36). Sebagaimana arus positif itu bukanlah arus
negatif, demikian juga sebaliknya.
Akan tetapi, betapapun demikian, wanita tidak diciptakan untuk menjadi pesaing laki-laki,
tidak pula untuk menjadi musuhnya, tetapi ba'dhukum min ba'dh; sebagian kamu merupakan
bagian dari sebagian yang lainnya. Allah Swt. berfirman, "Dan Allah telah menciptakan untuk
kamu dari dirimu istri-istri." (An-Nahl: 72)
Hikmah Allah telah menetapkan bahwa pembentukan fisik dan kejiwaan wanita itu memiliki
unsur yang menarik kaum laki-laki dan memiliki daya tarik tersendiri.
Allah telah membekali syahwat dan keinginan yang kuat secara fitrah kepada laki-laki dan
wanita yang membuat mereka saling tertarik dan bertemu, hingga kehidupan ini terus berjalan
dan jenis manusia dapat terpelihara.
Karena itulah Islam menolak setiap aturan yang bertentangan dengan fitrah dan merusaknya,
seperti sistem kependetaan yang tidak boleh menikah selamanya. Akan tetapi, Islam juga
melarang setiap tindakan untuk mempergunakan potensi ini pada selain yang disyariatkan Allah
dan yang diridhai-Nya, yaitu lewat jalan pernikahan yang itu merupakan asas dalam berkeluarga.
Oleh karena itu, Islam mengharamkan perzinaan, sebagaimana itu diharamkan oleh seluruh
agama samawi. Islam juga melarang perbuatan keji. Semua itu untuk memelihara laki-laki dan
wanita dari hal-hal yang membangkitkan fitnah dan kerusakan.
Berdasar pandangan kita terhadap fitrah wanita dan kewajiban yang harus dilakukan dalam
hubungannya dengan kaum laki-laki, maka Islam memperlakukan wanita secara terhormat baik
dalam aturannya, arahan-arahannya, maupun hukum-hukumnya.
Islam telah memelihara kewanitaan wanita secara fitrah dan mengakui eksistensinya. Islam
tidak merendahkannya dan tidak menghinanya. Islam bahkan berusaha menentang dan menolak
segala usaha yang menghina serta merendahkan harkat wanita.
Islam memeliharanya dari serigala-serigala manusia yang siap menyergap kaum hawa untuk
dinikmati dagingnya dan dibuang tulangnya. Kita dapat menyimpulkan bagaimana sikap Islam
terhadap kemanusiaan wanita, sebagai berikut.
Pertama, Islam memelihara kemanusiaan wanita untuk tetap menjadi sumber kasih sayang,
kelembutan dan kecantikan. Oleh karena itu, Islam menghalalkan baginya sesuatu yang
diharamkan bagi laki-laki, yang itu sesuai dengan tabiat kewanitaan dan fungsinya. Seperti
memakai emas dan sutera murni, berdasarkan Heidits Rasulullah Saw.,
Sesungguhnya keduanya ini (emas dan sutera) telah diharamkan bagi laki-laki dari umatku,
dihalalkan bagi wanitanya. (HR. Ibnu Majah)

Sebaliknya, diharamkan bagi kaum wanita segala sesuatu yang dapat menghilangkan simbul
kewanitaannya, seperti menyerupai laki-laki dalam berpakaian, gerakan, perilaku, dan lainnya.
Islam melarang wanita memakai pakaian laki-laki, sebagaimana melarang laki-laki memakai
pakaian wanita, dan Allah rnelaknati para wanita yang menyerupai laki-laki, sebagaimana
melaknat laki-laki yang menyerupai wanita. Rasulullah Saw. bersabda,
Tiga orang tidak akan masuk surga dan tidak diperhatikan oleh Allah pada hari kiamatnanti,
yaitu orang yang durhaka terhadap kedua orang tuanya, wanita yang mirip dengan laki-laki,
dan dayyuts, yaitu suami yang membiarkan orang lain memasuki rumah dan menemui
istrinya). (HR. Ahmad)

Kedua, Islam senantiasa memelihara kewanitaan wanita dan memelihara mereka dari
kelemahannya. Wanita selalu di bawah lindungan laki-laki, ditanggung nafkahnya, dan tercukupi
kebutuhannya. Ia berada di bawah asuhan ayahnya atau suaminya atau anak-anaknya dan
saudaranya. Mereka wajib memberi nafkah sesuai dengan syariat Islam, sehingga wanita tidak
sampai memaksakan diri ikut tenggelam di lautan kehidupan dan bertarung dengan kehidupan,
bercampur dengan kaum laki-laki.
Ketiga, Islam memelihara akhlak dan perasaan malu kaum wanita, berusaha memelihara
harga diri dan kemuliaannya, serta menjaganya dari kekhawatiran buruk dan suara-suara
sumbang. Untuk itu Islam mewajibkan wanita agar melakukan hal-hal sebagai berikut.
1. Memelihara pandangan matanya dan memelihara kesuciannya, sebagaimana firman Allah
Swt., "Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya..." (An-Nur: 31)
2. Menutup aurat dan perhiasannya dengan baik, tidak ber- pakaian terlalu sempit dan
menyolok. Allah Swt. berfirman, "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak daripadanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain jilbabnya ke dadanya" (An-
Nur: 31).
Dalam ayat ini kata-kata, "yang biasa tampak daripadanya" diartikan celak mata, cincin, muka, dan
kedua telapak tangan. Ada yang menambah, dua telapak kaki.
3. Tidak menampakkan perhiasannya yang tersamar, seperti rambut, leher, kedua lengan dan
kedua betis kecuali kepada suami atau muhrimnya. Allah Swt. berfirman, "Dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak yang belum mengerti tentang aurat wanita... (An-
Nur: 31)
4. Sopan dalam berjalan dan berbicara. Allah Swt. berfirman,
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan ...
(An-Nur: 31)
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakitdi
dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (Al-Ahzab: 32)
Jadi, berbicara bukan dilarang, suara juga bukan aurat. Tetapi ketika berbicara hendaklah dengan baik.
5. Hendaklah menjauhi segala sesuatu yang menarik perhatian laki-laki dari dirinya, seperti
tabarruj ala jahiliyah. Karena ini bukanlah akhlak seorang wanita yang bersih. Rasulullah Saw.
bersabda, "Siapa saja wanita yang memakai wangi-wangian, kemudian keluar dari rumahnya
agar dicium baunya oleh orang maka ia berzina." (HR. Abu Dawud). Maksudnya, seakan ia
berbuat zina meskipun tidak berbuat demikian. Jadi, wanita wajib menjauhi perilaku seperti
itu.
6. Wanita dilarang berduaan dengan laki-laki lain yang bukan suaminya dan bukan muhrimnya.
Hal itu untuk memelihara diri dan diri orang lain dari bisikan-bisikan dosa dan memelihara
dirinya dari omongan-omongan bohong. Nabi Saw. bersabda, "Janganlah sekali-kali
seseorang itu bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali dengan muhrimnya." (HR.
Muttafaq Alaih)
7. Jangan berikhtilath dengan kaum laki-laki lain kecuali karena kebutuhan yang terpaksa dan
kemaslahatan yang dibenarkan serta dilakukan seperlunya, seperti shalat di masjid,
menuntut ilmu, berta'awun untuk kebaikan dan ketakwaan yang tidak terlarang bagi wanita
untuk ikut, serta dalam memberi pelayanan kepada masyarakat. Tetapi jangan lupa batas-
batas syariat dalam bertemu dengan laki-laki.

Sesungguhnya Islam dengan hukum-hukum ini berusaha memelihara kewanitaan wanita dari
taring lelaki yang siap menerkam di satu sisi, dan memelihara perasaan malunya dan kesuciannya
dengan menjauhi faktor-faktor yang menyelewengkan dan menyesatkan di sisi lainnya. Juga demi
menjaga kehormatannya dari mulut orang-orang yang membuat kepalsuan. Dengan ini semua,
Islam telah memelihara jiwa dan perasaan wanita dari keresahan dan tekanan serta goncangan-
goncangan jiwa sebagai akibat dari khayalan yang berlebihan dan kesibukan hati serta terusiknya
perasaan di tengah pengaruh-pengaruh yang menggiurkan.
Islam dengan hukum dan syariatnya juga memelihara kaum laki-laki dari faktor-faktor yang
menyesatkan dan memusingkan, juga memelihara masyarakat seluruhnya dari faktor-faktor
kehancuran dan dekadensi moral.

Ikhtilath yang Diperbolehkan


Ada beberapa istilah yang masuk di dalam kamus modern kita yang maknanya belum kita
ketahui sebelumnya, di antaranya adalah kata ikhtilath antara laki-laki dan wanita. Karena wanita
pada masa kenabian, sahabat, dan tabiin juga bertemu dengan laki-laki. Demikian juga laki-laki
bertemu dengan kaum wanita di berbagai acara yang beragam, baik itu yang bersifat agamis
maupun masalah keduniaan. Hal itu tidak dilarang secara mutlak, bahkan diperbolehkan bila
diketahui secara jelas sebab, alasan, dan kriterianya terpenuhi. Mereka tidak menamakan hal itu
sebagai ikhtilath. Tapi kemudian istilah itu menjadi populer dewasa ini. Saya sendiri tidak tahu
sejak kapan pemakaian itu dimulai dengan maknanya yang asing bagi perasaan Muslim dan
Muslimah. Karena mencampur sesuatu dengan sesuatu yang lain berarti melarut seperti larutnya
garam atau gula dengan air.
Apa pun, yang penting di sini kami tegaskan bahwa tidak semua ikhtilath itu dilarang
sebagaimana dipahami oleh dai-dai yang ekstrem yang sempit pemikirannya. Demikian halnya,
tidak setiap ikhtilath itu diperbolehkan, seperti yang diyakini oleh dai-dai sekuler yang suka
mengekor Barat.
Permasalahan ini telah saya bahas dan saya jawab bersama dengan beberapa persoalan
lainnya di dalam buku Fatawa Mu’ashirah juz dua. Di antaranya, hal-hal yang berkaitan dengan
ikhtilath, mengucapkan salam kepada wanita, salaman, laki-laki menjenguk wanita yang sakit
atau sebaliknya, dan lain-lain.
Hal yang ingin saya ingatkan di sini ialah, sesungguhnya kewajiban kita adalah beriltizam
terhadap sebaik-baik petunjuk, yaitu petunjuk Nabi dan Khulafaurasyidin serta para sahabatnya;
jauh dari pemahaman Barat yang cenderung menghalalkan segala sesuatu maupun cara orang
timur yang ekstrem.
Barangsiapa yang merenungkan petunjuk Nabi maka ia mengetahui bahwa wanita bukanlah
orang yang dipenjara, bukan pula orang yang terisolir sebagaimana hal itu pernah terjadi pada
masa-masa kemunduran Islam.
Wanita dahulu ikut datang berjamaah dan shalat Jumat di masjid. Rasulullah Saw.
memerintahkan mereka agar mengambil shaf-shaf yang terakhir, yaitu di belakang shaf laki-laki.
Semakin shaf itu lebih dekat ke bagian belakang maka semakin mulia karena takut kalau aurat
wanita itu tampak di hadapan kaum laki-laki, di saat mayoritas sahabat dahulu belum mengenai
celana dan tidak ada dinding atau kayu yang membatasi kaum wanita dengan pria.
Mereka pada awalnya, laki-laki dan wanita masuk pintu mana saja yang mereka sepakati,
sehingga terkadang terjadi persimpangan antara yang masuk dan yang keluar. Kemudian Nabi
Saw. bersabda, "Alangkah baiknya jika pintu ini kalian khususkan untuk wanita." Akhirnya mereka
mengkhususkan pintu itu untuk kaum wanita sehingga sampai sekarang dikenal dengan nama
Babun Nisa; pintu khusus wanita.
Kaum wanita di masa kenabian ikut datang shalat Jumat dan mendengarkan khutbah, hingga
ada salah seorang di antara mereka yang hafal surat Qaf dari lisan Rasulullah karena seringnya
mendengarkan dari mimbar Jumat.
Wanita zaman dahulu juga ikut datang melakukan dua shalat Id, ikut berkumpul bersama
dalam perayaan Islami yang agung ini, yang menghimpun orang-orang dewasa dan anak-anak
kecil, laki-laki dan wanita di tanah terbuka. Mereka bertahlil dan bertakbir bersama.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummi Athiyah, ia berkata, "Kami kaum wanita dahulu
diperintahkan untuk keluar pada dua hari raya, baik wanita yang dipingit dan yang masih gadis."
Dalam riwayat lain ia berkata, "Rasulullah memerintahkan kami untuk menyuruh mereka
keluar pada Idul Fitri dan Idul Adha, baik wanita-wanita balig yang sudah datang bulan maupun
yang dipingit. Adapun yang haid maka menjauh dari tempat shalat dan menyaksikan syiar serta
dakwah kaum Muslimin." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, ada di antara kami yang tidak
mempunyai jilbab." Nabi bersabda, "Hendaklah saudaranya mengenakan jilbabnya kepadanya,"
yakni meminjamkannya.
Inilah sunah yang dimatikan oleh umat Islam di sebagian besar negara-negara atau bahkan
seluruhnya, kecuali yang akhir-akhir ini dilaksanakan oleh para pemuda shahwah Islamiyah yang
berupaya menghidupkan sebagian sunah yang ditinggalkan. Seperti sunah iktikaf pada sepuluh
hari terakhir di bulan Ramadhan dan sunahnya wanita menghadiri shalat Id.
Wanita dahulu ikut menghadiri majelis-majelis ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi Saw.
dan mereka juga bertanya tentang masalah agama mereka yang saat ini kebanyakan wanita
merasa malu. Aisyah r.a. sampai memuji wanita-wanita Anshar, karena mereka tidak malu-malu
untuk bertanya masalah agama, sampai bertanya tentang janabat, mimpi, mandi besar, haid,
istihadhah dan yang lainnya. Mereka bahkan tidak puas mengaji bersama-sama kaum laki-laki
sehingga meminta secara khusus kepada Rasulullah untuk diberi kesempatan di hari tertentu
khusus untuk mereka. Mereka mengatakan, "Wahai Rasul, kaum laki-laki telah mengalahkan
kami untuk mengaji kepadamu, oleh karena itu khususkanlah hari untuk kami." Nabi Saw. lantas
menjanjikan mereka hari tertentu untuk mereka." (HR. Bukhari)
Aktivitas wanita juga sampai pada keikutsertaan dalam peperangan dan jihad. Mereka
memberi pelayanan kepada para tentara dan mujahidin dengan kemampuan yang mereka miliki.
Mereka memberi pertolongan pertama dan merawat orang-orang yang terluka, selain juga
memberikan pelayanan-pelayanan lainnya, seperti memasak makanan, minuman dan
mempersiapkan apa-apa yang diperlukan oleh para mujahidin.
Ummi 'Athiyah berkata, "Saya pernah berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh
peperangan, saya berada di belakang mereka dalam perjalanan. Saya menyiapkan makanan
untuk mereka, mengobati orang-orang yang terluka, dan merawat orang-orang yang sakit."
(HR. Muslim)

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bahwa sesungguhnya Aisyah dan Ummu Sulaim pada
perang Uhud juga ikut berperang aktif membawa qirbah (tempat minuman) di atas
punggungnya, kemudian menuangkan air ke mulut mujahidin, kemudian kembali memenuhi
qirbah itu." (HR. Muslim)

Keberadaan Aisyah di sini dalam usia belasan tahun menolak orang-orang yang mengatakan
bahwa keikutsertaan wanita dalam peperangan itu hanya boleh untuk wanita-wanita yang tua
usianya. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab apa artinya nenek-nenek dalam suasana
peperangan yang menuntut kekuatan fisik dan perasaan sekaligus?
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ada enam wanita dari kalangan wanita beriman yang ikut
bersama tentara mengepung Khaibar. Mereka ikut memegang anak panah, memberi minum dan
mengobati orang-orang yang terluka, bersenandung dengan syair-syair dan membantu di jalan
Allah. Nabi juga memberi mereka ghanimah.
Bahkan ada riwayat sahih yang menjelaskan bahwa sebagian isteri sahabat juga ikut serta
dalam beberapa peperangan Islam dengan membawa senjata ketika mereka diberi kesempatan
untuk itu. Sebagaimana dilakukan oleh Ummu Tmarah Nasibah binti Ka'b pada hari perang Uhud,
hingga Rasulullah Saw. bersabda, "Sungguh posisinya lebih baik daripada posisi Fulan dan Fulan."
Demikian juga yang dilakukan oleh Ummu Sulaim yang membawa celurit pada hari perang
Hunain, di mana ia merobek perut musuh yang mendekat kepadanya.
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas, putra Ummu Sulaim, bahwa Ummu Sulaim
pernah membawa celurit pada waktu perang Hunain. Suaminya yang bernama Abu Talhah
melihatnya dan berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, ini Ummu Sulaim, ia membawa
celurit." Nabi lantas bertanya kepada Ummu Sulaim, "Untuk apa celurit itu?" Ummu Sulaim
menjawab, "Aku bawa karena jika ada seorang kaum musyrikin mendekatiku maka akan kurobek
perutnya dengan celurit itu," kemudian Rasulullah Saw. tersenyum." (HR. Muslim)
Demikian juga Imam Bukhari membuat bab tersendiri di dalam sahihnya mengenai
peperangan kaum wanita.
Keinginan wanita muslimah di masa kenabian dan sahabat dahulu tidak hanya terhenti pada
keikutsertaan mereka dalam peperangan sampai wilayah sekitarnya, seperti Khaibar dan Hunain.
Akan tetapi, keinginan mereka sampai menyeberangi lautan dan ikut andil dalam menaklukkan
negara-negara yang jauh untuk menyampaikan risalah Islam.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah ber-qailulah di dekat
Ummi Haram binti Milhan (bibi Anas) pada suatu hari. Kemudian Nabi bangun dan tertawa, maka
Ummu Haram bertanya, "Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah?" Nabi bersabda, "Ada
manusia dari umatku yang menawarkan dirinya kepadaku untuk berperang di jalan Allah. Mereka
menyeberangi lautan seperti raja di atas singgasananya." Ummu Haram berkata, "Wahai
Rasulullah, doakan kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk mereka." Maka Nabi Saw.
mendoakan untuknya." (HR. Muslim)
Di kemudian hari, Ummu Haram ikut menyeberangi lautan pada masa Utsman bersama
suaminya, Ubadah bin Shamit ke Siprus. Akhirnya ia diseruduk oleh kudanya di sana dan akhirnya
wafat dan dikubur di tempat itu.
Dalam kehidupan sosial, wanita ikut serta dalam men- dakwahkan kebaikan, memerintahkan
yang makruf dan mencegah yang munkar. Allah Swt. berfirman,
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah
dari yang munkar. (At-Taubah: 71)

Di antara peristiwa yang masyhur adalah bantahan salah seorang muslimah kepada Umar di
masjid dalam masalah mahar dan kesiapan Umar mengikuti pendapat wanita itu secara terang-
terangan. Umar berkata, "Wanita itu benar dan Umar salah." Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Katsir
dalam tafsirnya di surat An-Nisa'. Ibnu Katsir berkata, "Isnadnya jayyid."
Ada seorang wanita yang ditunjuk sebagai pengawas di pasar oleh Umar ketika beliau menjadi
khalifah, yaitu Asy-Syifa' binti Abdullah Al-'Adawiyah.
Siapa yang merenungkan Al-Quran dan pembicaraannya mengenai wanita dalam berbagai
masa dan dalam kehidupan para Nabi dan Rasul, maka tak akan terasa adanya tirai besi antara
laki-laki dan wanita.
Kita jumpai Musa ketika masih muda, ia berbicara dengan dua gadis putri Syaikh Kabir, yakni
Nabi Syu'aib dan bertanya kepada keduanya, dan kedua gadis itu pun menjawab pertanyaan
Musa tanpa perasaan dosa dan berat. Musa membantunya dengan penuh kesopanan dan
hormat. Setelah peristiwa itu, salah satu dari keduanya datang sebagai utusan dari ayahnya untuk
mengundang Musa menemui ayahnya. Salah satu dari keduanya juga usul kepada ayahnya
setelah ayahnya menjadikan Musa sebagai pembantu karena melihat kekuatan dan
kejujurannya. Al-Quran mengisahkan,
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang
yang sedang memberi minum (meminumkan) ternaknya, dan ia menjumpai di belakang
orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menambat (ternaknya). Musa berkata,
"Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab, "Kami tidak
dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan
(ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya". Maka Musa
memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat
yang teduh lalu berdoa, "YaTuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu
kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku". Kemudian datanglah kepada Musa salah se-
orang dari kedua wanita itu berjalan malu-malu, ia berkata, "Sesungguhnya bapakku
memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak)
kami." Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya
cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata, "Janganlah kamu takut, kamu telah selamat dari
orang-orang yang zalim itu." Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, "Hai bapakku,
ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya." (Al-Qashas: 23-26)

Di dalam kisah Maryam kita dapatkan Zakaria masuk ke mihrabnya dan bertanya mengenai
rezeki yang dia jumpai di sisi Maryam.
Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya.
Zakaria bertanya, "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam
menjawab, "Makanan itu dari sisi Allah." Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa
yang dikehendakinya tanpa hisab." (Ali 'Imran: 37)

Dalam kisah Bilqis kita lihat ia mengumpulkan kaumnya untuk diajak bermusyawarah
menanggapi surat dari Sulaiman,
Berkata dia (Bilqis), "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku
tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)."
Mereka menjawab, "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan juga memiliki
keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka
pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan." Dia berkata, "Sesungguhnya raja-raja
apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat...." (An-
Naml: 32-34)

Demikian juga, Bilqis berdialog dengan Sulaiman a.s. dan Sulaiman pun berbicara dengannya.
Al-Quran mengisahkan,
Dan ketika Bilqis datang, ditanyakanlah kepadanya, "Serupa inikah singgasanamu?" Dia
menjawab, "Seakan-akan singgasana ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan
sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri." Dan apa yang disembahnya
selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan kelslamannya), karena
sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir. Dikatakan kepadanya,
"Masuklah ke dalam istana." Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air
yang besar, dan disingkapnya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman, "Sungguh ia adalah
istana licin terbuat dari kaca." Berkatalah Bilqis, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah
berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan
semesta alam." (An-Naml: 42-44)
Tidak bisa dikatakan bahwa karena ini syariat umat sebelum kita maka tidak wajib bagi kita.
Sebab, sesungguhnya Al-Quran tidak menyebutkan hal itu kepada kita kecuali untuk petunjuk,
peringatan dan ibrah bagi orang-orang yang berakal. Oleh karena itu, kesimpulan yang benar
adalah, "Sesungguhnya syariat umat sebelum kita yang disebutkan di dalam Al-Quran dan Sunah
itu juga syariat untuk kita selama tidak ada yang menghapusnya." Allah Swt. berfirman,
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjukoleh Allah, maka ikutilah petunjuk
mereka.... (Al-An'am: 90)

Menahan wanita di rumah dan membiarkannya tetap berada di antara empat dinding, tidak
boleh keluar dari rumah—sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran dalam salah satu tahapan tasyri'
sebelum nash atas hukum zina—itu merupakan sanksi yang berat bagi orang yang berbuat zina.
Allah Swt. berfirman:
Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang
saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka
menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. (An-Nisa': 15)

Dan sungguh Allah telah memberi jalan keluar setelah itu, yaitu dengan ditetapkannya hukum
had, yaitu hukuman yang ditentukan di dalam syariat sebagai hak Allah, yakni cambuk bagi orang
yang belum menikah dan rajam bagi orang yang sudah menikah.
Kalau demikian, bagaimana mungkin bisa diterima dalam logika Al-Quran dan Islam bahwa
pengurungan wanita di rumah merupakan ciri khas seorang wanita Muslimah yang komitmen
dan yang terpelihara? Kalau memang demikian berarti kita telah memberikan hukuman kepada
mereka dengan hukuman yang berat dan lama, padahal ia tidak berbuat dosa.
Kesimpulannya, pertemuan antara laki-laki dan wanita pada dasarnya diperbolehkan dan
tidak dilarang, bahkan kadang-kadang diperlukan jika tujuannya adalah kerja sama dalam
mencapai tujuan yang mulia. Seperti dalam majelis ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, atau
proyek kebajikan, atau jihad yang diharuskan dan sebagainya yang menuntut potensi yang prima
dari dua jenis manusia serta kerja sama antara keduanya di dalam merencanakan, mengarahkan
dan melaksanakan.

Syubhat dari Pendukung Kebebasan Ikhtilath


Begitulah sikap Islam dan pandangannya mengenai hubungan laki-laki dengan wanita.
Pertemuan keduanya untuk berbuat baik dan makruf inilah yang kita istilahkan ikhtilath masyru'.
Akan tetapi, ghazwul fikri telah mencetak di negara kita suatu kaum yang telinga mereka 'tuli'
dari hukum Allah dan Rasul-Nya dan mengajak kita untuk melepaskan wanita secara bebas di
tangan orang lain sehingga kokoh eksistensinya, tampak menonjol kepribadiannya, dan dapat
dinikmati kewanitaannya.
Ia bergaul dengan laki-laki tanpa ikatan dan secara terang-terangan. Ia pergi sendirian
bersamanya dan menemaninya di gedung bioskop atau begadang bersamanya sampai tengah
malam, berdansa bersamanya, dan sebagainya.
Mereka yang mengaku dirinya sebagai malaikat yang suci itu mengatakan, "Janganlah kalian
takut kepada wanita dan jangan pula khawatir kepada laki-laki dengan hubungan yang
'terhormat' ini dan persahabatan yang bebas serta pertemuan yang mulia. Sesungguhnya jeritan
syahwat karena seringnya bertemu itu akan hilang dan kendor serta padam, sehingga masing-
masing dari laki-laki dan wanita merasakan nikmatnya sekadar bertemu dan menikmati
pandangan serta berbicara. Jika perlu maka dengan berdansa, karena itu merupakan salah satu
bentuk dari ungkapan seni yang 'bernilai tinggi'."

Bantahan terhadap Pendukung Kebebasan Ikhtilath


Kita menolak semua pernyataan tersebut dari dua sisi, sebagai berikut.
1. Pertama-tama, kita adalah orang Islam. Kita tidak ingin menjual agama karena mengikuti
keinginan orang-orang Barat atau timur. Dalam hal ini, agama kita mengharamkan ikhtilath
(pergaulan bebas) seperti itu, karena dengan adanya tabarruj maka muncul fitnah dan
terbukalah peluang untuk menyeleweng. Allah Swt. berfirman, "Kemudian Kami jadikan
kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat
itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya
mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikit pun dari (siksaan) Allah. Dan
sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian
yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa" (Al-Jatsiyah: 18-19).
2. Sesungguhnya Barat sendiri —yang selama ini diikuti—saat ini merasakan sakit akibat dari
kebebasan yang terlepas dari nilai-nilai agama, yang merusak putra-putri mereka dan telah
mengancam peradabannya menuju kehancuran.
Di Amerika, Swedia, dan negara-negara penganut seks bebas lainnya telah menetapkan hasil
riset bahwa kepuasan syahwat tidak bisa padam hanya dengan kebebasan bertemu dan
berbicara, tidak pula dengan apa yang terjadi setelah pertemuan dan berbicara, tetapi
manusia semakin lama semakin haus. Kita harus meneliti apa yang terjadi akibat kebebasan
dan kemajuan, terlepas dari beberapa gelintir keunggulan yang dimiliki masyarakat Barat
modern saat ini.

Pengaruh Pergaulan Bebas di Masyarakat Barat


Jumlah, peristiwa, dan data yang diperoleh dari hasil riset itulah yang berbicara dan
menjelaskan masalah tersebut. Sungguh telah tampak pengaruh kebebasan seks yang sampai
saat ini masih menjadi problem, sebagai berikut.

Dekadensi moral

Kendornya nilai-nilai moral dan dominasi syahwat, menangnya sifat kebinatangan atas sifat
kemanusiaan, hilangnya rasa malu antara wanita dan pria, serta ketidaktenangan masyarakat,
seluruhnya disebabkan karena pergaulan bebas.
Kennedy, mantan presiden AS mengatakan dalam wawancaranya dengan wartawan pada
tahun 1962, "Sesungguhnya pemuda Amerika telah larut, berfoya-foya, sudah terlepas dari
ikatan, dan tenggelam dalam syahwat. Di antara tujuh pemuda yang mendaftar untuk menjadi
tentara didapatkan dari tujuh itu enam pemuda yang tidak sehat, disebabkan mereka terjerumus
dalam syahwat. Saya peringatkan bahwa pemuda seperti itu merupakan ancaman besar bagi
masa depan Amerika."
Di dalam buku yang disusun oleh direktur pusat penelitian di Universitas Harvard berjudul
Reuolusi Seks disebutkan bahwa Amerika telah sampai pada bahaya besar dalam kerusakan seks.
Amerika sedang menuju kondisi yang sama yang menyebabkan jatuhnya dua peradaban Yunani
dan Romawi pada masa lalu. Ia mengatakan, "Sesungguhnya kita sudah dikepung dari seluruh
arah dengan aliran ganas dari seks yang menenggelamkan seluruh kamar dari struktur peradaban
kita dan seluruh bidang dari kehidupan kita."
Meskipun orang-orang Komunis sedikit sekali berbicara mengenai masalah-masalah seks,
meskipun mereka tidak mengizinkan media massa meliputnya, tetapi pada tahun 1926 telah
keluar pernyataan dari presiden Rusia, Khrushchev, bahwa para pemuda telah menyimpang dan
dirusak oleh kemewahan. Ia juga memperingatkan bahwa telah dibuka di Serbia pos-pos militer
baru untuk menghabisi pemuda-pemuda yang menyeleweng, karena merupakan bahaya atas
masa depan Rusia.

Banyaknya anak-anak yang dilahirkan secara tidak sah

Ini merupakan fenomena umum disebabkan terlepasnya keinginan syahwat dan larutnya
batas-batas antara pemuda dan pemudi. Sebagian lembaga di Amerika membuat statistik untuk
orang-orang yang hamil di luar nikah di kalangan pelajar SMA, ternyata jumlahnya sangat
mengerikan.
Mari kita perhatikan data statistik terbaru dalam masalah ini; bahwa sepertiga kelahiran anak
pada tahun 1983 di New York adalah anak-anak tidak sah. Mereka lahir di luar pernikahan.
Mayoritas mereka dilahirkan oleh gadis berusia 19 tahun ke bawah, dan jumlah mereka adalah
112.353 anak atau 37% dari jumlah anak-anak yang dilahirkan di New York"

Banyaknya perawan tua dan perjaka yang belum menikah

Adanya sarana yang mudah untuk memenuhi syahwat tanpa memikul beban pernikahan dan
membina rumah tangga menjadikan kebanyakan pemuda memilih cara termudah. Mereka
menghabiskan masa mudanya untuk menikmati lezatnya hubungan seks yang bervariasi, tanpa
terikat dengan kehidupan monoton sebagaimana yang mereka kira, tanpa menanggung beban
tanggung jawab berkeluarga, dan sebagainya.
Di antara dampak dari itu semua adalah banyaknya para gadis muda yang menghabiskan
masa mudanya bersama laki-laki yang hanya bermain-main dan menjadikannya sebagai alat
hiburan yang diharamkan. Selain itu, juga banyak dari para pemuda yang membujang kehilangan
ikatan kehidupan berumah tangga, sebagaimana dibuktikan dalam data statistik. Direktur urusan
statistik Amerika pada tanggal 10 September 1982 merilis bahwa untuk pertama kalinya terjadi
sejak permulaan abad ini, sebagian besar penduduk kota San Fransisco adalah para pembujang."
Bruce Sambman menjelaskan dalam konferensi pers yang diadakan oleh lembaga sosial
Amerika bahwa 53% penduduk San Fransisco tidak menikah. Ia berkeyakinan bahwa jumlah
tersebut mungkin menjadi suatu isyarat atas contoh keluarga yang paling menyedihkan.
Sambman menambahkan bahwa perubahan-perubahan sosial ini sesuai untuk mewujudkan ke-
makmuran di sebuah kota yang jumlah penduduknya terdiri dari pemuda antara 25—34 tahun
dengan perkiraan 40,4 % selama 10 tahun terakhir.
Sambman juga berkata, "Sesungguhnya jumlah tersebut tidak termasuk jumlah orang-orang
yang terkena musibah dengan kelainan seks, yaitu orang-orang yang tinggal di kota dan orang-
orang yang mewakili 15% penduduk.
Setelah kenyataan ini dibeberkan maka tidak heran jika kita membaca di surat kabar seperti
di bawah ini.
Wanita Swedia dari berbagai penjuru melakukan demonstrasi dengan tuntutan menentang
kebebasan seks. Demo ini diikuti oleh 100.000 wanita. Mereka menyampaikan sikapnya
secara tertulis dan bertanda tangan kepada pemerintah. Dalam sikapnya itu mereka
menentang runtuhnya nilai-nilai akhlak.

Demikianlah, fitrah wanita dan kepeduliannya terhadap kepentingan dan masa depan
kehidupannya itulah yang mendorong mereka berdemonstrasi dan menggugat.

Banyaknya perceraian disebabkan oleh hal sepele

Jika tanpa pernikahan melahirkan berbagai akibat, maka sesungguhnya dengan pernikahan—
setelah benar-benar terwujud—juga tidak menjamin keberlangsungannya. Oleh karenanya,
rumah tangga seperti itu cepat hancur dan ikatannya bisa pudar hanya karena sebab-sebab yang
sangat sederhana.
Di Amerika, jumlah perceraian dari tahun ke tahun semakin bertambah banyak sampai batas
yang mengejutkan, dan ini juga termasuk di sebagian besar negara-negara Barat lainnya.

Tersebarnya penyakit-penyakit yang membahayakan

Berbagai jenis penyakit saraf, akal pikiran, penyakit jiwa, dan stres telah memakan korban
beratus-ratus ribu manusia. Di antara penyakit paling berbahaya adalah yang akhir-akhir ini
ditemukan, yaitu yang dikenal dengan penyakit AIDS yang menghilangkan kekebalan tubuh.
Penyakit ini mengancam berjuta-juta masyarakat di Eropa dan Amerika, sebagaimana
diungkapkan oleh keputusan dokter dan statistik secara resmi yang diedarkan oleh beberapa
majalah dan surat kabar di dunia.
Hal tersebut sesuai dengan yang diperingatkan oleh Rasulullah Saw. dalam haditsnya yang
mulia,
Tidak muncul suatu perbuatan keji di suatu kaum pun, hingga menjadikannya tabiat umum,
kecuali akan tersebar di kalangan mereka penyakit yang mewabah yang belum pernah terjadi
pada orang-orang sebelumnya. (HR. Ibnu Majah)

Ini belum termasuk penyakit-penyakit stres dan kejiwaan yang tersebar di tengah mereka
mirip seperti tersebarnya api di daun yang kering, dan pasien-pasiennya memenuhi rumah sakit.
Apakah para penyeru pergaulan bebas itu ingin memindahkan penyakit-penyakit itu kepada
masyarakat kita, padahal Allah telah memberi kecukupan kepada kita untuk menghindarkan
keburukannya? Semoga Allah melindungi kita dari penyakit-penyakit itu. Atau apakah jumlah
korban yang begitu besar dan data statistik itu telah hilang dari ingatan mereka?
Frued dan pengikutnya dari kalangan ahli psikologi mengira bahwa menghilangkan ikatan-
ikatan tradisi dari kebutuhen biologis itu dapat menenangkan jiwa dan menghilangkan stres.
Kini lihatlah bahwa ikatan-ikatan itu telah dilepas dan keinginan-keinginan syahwat telah
dipenuhi, namun tidaklah hal itu memberi sesuatu kepada jiwa kecuali perasaan stres dan gelisah
yang makin parah. Stres dan gelisah itu telah menjadi penyakit masa kini di sana, sedangkan
beribu-ribu pengobatan jiwa tidak lagi berguna tidak menambah jiwa kecuali semakin stres dan
kebingungan, dan stres itu telah menjadi penyakit masa kini di sana.

Wanita Sebagai Anggota Masyarakat


Tersebar di kalangan orang-orang yang tidak suka terhadap Islam bahwa Islam telah
memenjarakan wanita di dalam rumah. Ia tidak boleh keluar dari rumah kecuali ke kubur. Apakah
ini mempunyai sandaran yang sahih dari Al-Quran dan Sunah; atau dari sejarah muslimat pada
tiga kurun pertama yang merupakan sebaik-baik masa? Tidak! Sama sekali tidak, karena Al-Quran
menjadikan laki-laki dan wanita sebagai partner dalam memikul tanggung jawab yang terbesar
dalam kehidupan, yaitu tanggung jawab untuk beramar makruf nahi munkar. Allah Swt.
berfirman,
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya... (At-Taubah: 71)

Untuk menerapkan prinsip ini kita dapatkan seorang wanita di masjid yang memprotes Amirul
Mukminin Umar Al-Faruq ketika berpidato di atas mimbar di hadapan masyarakat, dan Umar
mengikuti pendapat wanita itu seraya berkata dengan lantang, "Wanita itu benar dan Umar
salah."
Rasulullah Saw. juga bersabda, "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim." (HR. Ibnu
Majah). Para ulama sepakat bahwa wanita muslimah juga termasuk di dalam makna hadits ini.
Jadi, wanita wajib mencari ilmu yang dapat meluruskan akidah dan ibadahnya. Wanita wajib
mematutkan perilakunya sesuai dengan tata cara Islami; baik itu dalam berpakaian dan yang
lainnya serta mengikuti ketentuan Allah dalam hal yang halal dan yang haram serta hak-hak dan
kewajiban. Sehingga memungkinkan dirinya untuk meningkat dalam ilmu dan sampai pada
tingkatan ijtihad. Suami tidak berhak untuk melarang seorang istri mencari ilmu yang wajib
baginya, bila suami memang tidak mampu atau tidak mau mengajarinya.
Dahulu, para istri sahabat pergi menghadap Rasulullah untuk bertanya mengenai berbagai
persoalan yang mereka hadapi, dan mereka tidak merasa malu untuk bertafaqquh fiddin.
Dalam hal shalat berjamaah di masjid, wanita tidak diharuskan sebagaimana hal itu dituntut
bagi kaum pria. Karena shalat di rumahnya boleh jadi lebih utama sesuai dengan kondisi dan
risalahnya. Akan tetapi, seorang suami tidak boleh melarangnya jika ternyata ia suka shalat
berjamaah di masjid. Nabi Saw. bersabda, "Janganlah melarang hamba-hamba wanita Allah ke
masjid-masjid Allah." (HR. Muslim)
Wanita diperbolehkan keluar rumah untuk memenuhi keperluan suaminya, keperluannya
atau keperluan anak-anaknya, baik di kebun atau di pasar. Sebagaimana dilakukan oleh Asma'
binti Abu Bakar, ia pernah berkata, "Aku pernah memikul biji kurma di atas kepala untuk aku
pindahkan dari daerahnya Zubair (suaminya), jarak Madinah sekitar dua pertiga farsakh."
Wanita juga diperbolehkan keluar bersama tentara untuk melakukan tugas pengobatan,
perawatan dan pelayanan yang sesuai dengan fitrah dan kemampuannya.
Imam Ahmad dan Bukhari meriwayatkan dari Rubayyi' binti Mu'awwidz Al-Anshariyah,
berkata, "Kami pernah berperang bersama Nabi Saw. Kami memberi minuman, pelayanan,
mengembalikan orang-orang yang terbunuh dan terluka ke Madinah."
Imam Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Ummi Athiyah berkata, "Aku berperang
bersama Nabi Saw. sebanyak tujuh peperangan. Aku berada di belakang mereka untuk
membuatkan makanan, mengobati orang-orang yang terluka dan merawat orang yang sakit."
Inilah aktivitas yang sesuai dengan tabiat wanita dan profesinya. Adapun membawa senjata
dan berperang serta memimpin satuan tentara maka itu bukan profesinya. Kecuali jika
kebutuhan memaksa demikian. Bila demikian, maka ia ikut serta dengan kaum pria dalam
melawan musuh-musuh sesuai dengan kemampuannya. Seperti yang dilakukan oleh Ummu
Sulaim pada perang Hunain, yaitu membawa sebilah celurit. Ketika ditanya oleh suaminya, Abu
Thalhah, maka ia mengatakan, "Aku membawa celurit agar jika ada seorang musyrik
mendekatiku maka akan kutusuk perutnya."
Ummu Imarah pernah teruji dengan ujian yang baik pada perang Uhud, sampai Nabi Saw.
memujinya dan juga dalam perang melawan kemurtadan. Ia juga ikut di berbagai peperangan
yang lain, sehingga ketika Musailamah Al Kazzab terbunuh, ia kembali dengan sepuluh luka dalam
tubuhnya.
Jika di suatu masa wanita telah terkungkung jauh dari ilmu pengetahuan, dijauhkan dari
kancah kehidupan, dibiarkan secara terus-menerus tinggal di dalam rumah, seakan-akan
sepotong perkakas rumah, tidak diajari oleh suaminya, dan tidak diberi kesempatan untuk belajar
sehingga keluar ke masjid saja dianggap haram, jika gambaran ini membudaya pada suatu masa,
maka dasarnya adalah kebodohan, ekstremitas, dan penyimpangan dari petunjuk Islam serta
bertaklid secara berlebihan dalam ketidakberkembangan yang tidak diizinkan oleh Allah. Islam
tidak bertanggung jawab terhadap berbagai tradisi yang dibuat-buat di masa lalu, sebagaimana
Islam tidak bertanggung jawab terhadap tradisi-tradisi lainnya yang dibuat-buat saat ini.
Sesungguhnya tabiat Islam adalah tawazun serta adil dalam segala aturan dan seruannya. Ia
tidak memberikan sesuatu demi menghalangi yang lainnya. Ia juga tidak membesar-besarkan se-
suatu dengan mengorbankan yang lain. Ia tidak berlebihan dalam memberikan hak dan tidak pula
dalam menuntut kewajiban.
Oleh karena itu, bukanlah kepentingan Islam memanjakan wanita dengan merugikan laki-laki,
tidak juga menzalimi wanita dengan memanjakan laki-laki. Islam tidak memberi pemenuhan
keinginan-keinginan dengan mengabaikan risalahnya, dan tidak pula memperturutkan laki-laki
dengan mengorbankan kehormatan perempuan. Berikut ini adalah sikap-sikap islam terhadap
perempuan.
1. Islam senantiasa memelihara tabiat wanita dan kewanitaannya yang telah diciptakan oleh
Allah, dan Islam memelihara wanita dari cengkeraman orang-orang yang buas yang
menginginkannya secara haram. Islam memeliharanya dari kekerasan orang-orang yang
memanfaatkan kewanitaannya untuk menjadi alat perdagangan dan mencari keuntungan
yang haram.
2. Islam menghormati tugas mulia wanita yang sesuai dengan fithrahnya. Ia telah dipilih oleh
Penciptanya dan telah mendapatkan satu karakter yang lebih khusus daripada yang dimiliki
kaum laki-laki, yaitu rasa kasih sayang dan kelembutan perasaan. Mereka sangat respek
dalam melaksanakan risalah keibuan yang penuh kasih sayang yang mengelola pabrik
terbesar pada umat ini, yang memproduksi generasi masa depan.
3. Islam menganggap rumah sebagai kerajaan besar bagi wanita. Di sini wanita sebagai
pengelolanya, ia sebagai istri suaminya, partner hidupnya, pelipur laranya, dan ibu bagi anak-
anaknya. Islam mempersiapkan profesi wanita untuk mengatur rumah, memelihara urusan
suami dan mendidik anak-anak dengan baik dalam masalah ibadah dan jihad. Oleh karena
itu. Islam memerangi setiap aliran atau sistem yang menghalang-halangi wanita
melaksanakan risalahnya, membahayakan pelaksanaan risalah itu, atau menghancur- kan
kehidupannya.
Sesungguhnya setiap aliran atau sistem yang berupaya mencabut wanita dari kerajaannya,
merampasnya dari suami dan mencabutnya dari buah hati atas nama kebebasan atau dengan
alasan bekerja atau alasan-alasan lainnya, itu merupakan musuh bagi wanita. Sistem seperti
itu berarti telah merampas segala sesuatu yang ada padanya dan tidak memberikan
kesempatan kepadanya sedikit pun, sehingga wajar jika Islam menolak itu semua.
4. Islam ingin membangun rumah tangga bahagia yang itu merupakan asas masyarakat yang
bahagia pula. Rumah tangga bahagia hanya bisa dibangun atas dasar tsiqah dan keyakinan,
bukan atas dasar keraguan. Rumah tangga yang pilarnya adalah suami istri yang saling
meragukan dan mengkhawatirkan adalah rumah tangga yang dibangun di pinggir jurang,
sedangkan hidup di dalamnya adalah neraka yang orang tidak akan tahan.
5. Islam mengizinkan wanita bekerja di luar rumah, selama pekerjaan yang ia lakukan itu sesuai
dengan tabiatnya, spesialisasinya dan kemampuannya, serta tidak menghilangkan naluri
kewanitaannya. Selama seperti itu maka diperbolehkan selagi dalam batas-batas dan
persyaratan yang ada, terutama jika keluarganya atau dia sendiri ingin bekerja di luar rumah
atau masyarakat juga memerlukan kerjanya secara khusus. Kebutuhan untuk bekerja
bukanlah terkait dengan sisi materi saja, karena kadang-kadang menjadi kebutuhan secara
psikologis, seperti kebutuhan akan seorang pengajar secara khusus yang belum menikah atau
yang sudah menikah tetapi belum mempunyai anak, dan sebagainya.

Para Pendukung Pemberdayaan Wanita


Selain menyerukan pergaulan bebas, para penyebar ghazwul fikri juga menyerukan untuk
memberdayakan wanita di segala bidang, tanpa memandang apakah itu diperlukan atau tidak.
Ini merupakan tindak lanjut dari usaha mereka yang pertama. Propaganda ini merupakan bentuk
seutuhnya dari pergaulan bebas yang menghilangkan sekat-sekat dan membebaskan diri dari
kezaliman dan kegelapan abad pertengahan—sebagaimana mereka katakan.
Di antara makar mereka adalah bahwa mereka itu seringkali tidak berterus-terang kalau
sesungguhnya yang mereka inginkan adalah supaya wanita itu keluar dari fithrahnya dan dari
batas- batas kewanitaannya. Mereka ingin memberdayakan perempuan untuk kenikmatan
haram atau pekerjaan haram. Namun demikian, mereka senantiasa menampakkan diri sebagai
penganjur kesucian dan ketulusan, yang tidak menghendaki sesuatu pun selain kemaslahatan.
Mereka memperkuat argumen memberdayakan wanita dengan berbagai alasan sebagai berikut:
1. Barat lebih maju dan lebih berkembang di kancah peradaban. Barat telah mendahului kita
dalam memberdayakan wanita. Jika ingin maju seperti Barat maka kita harus mencontohnya
dalam segala hal, karena peradaban itu tidak bisa terpisah-pisah.
2. Wanita adalah separuh dari masyarakat dan membiarkan wanita di rumah tanpa kerja berarti
merusak separuh masyarakat dan membahayakan ekonomi umat. Jadi, kemas- lahatan
masyarakat menuntut wanita untuk bekerja.
3. Kemaslahatan keluarga juga menuntut kerja wanita, karena kebebasan hidup semakin
meningkat dewasa ini, dan kerja wanita itu bisa menambah income keluarga serta dapat
membantu suami untuk memikul beban kehidupan. Terutama di dalam lingkungan yang
terbatas pemasukannya.
4. Kepentingan wanita itu sendiri juga menuntut ia untuk bekerja, karena berinteraksi dengan
manusia dalam kehidupan dan dengan masyarakat di luar rumah itu dapat membuat
cemerlang kepribadiannya dan menambah pengetahuan dan pengalaman, yang semua itu
tidak dapat diperoleh ketika ia berada di antara empat dinding rumah.
5. Kerja adalah senjata di tangannya untuk menghadapi berbagai peristiwa zaman, mungkin
ayahnya meninggal atau dia dicerai oleh suaminya atau ditelantarkan oleh anak- anaknya,
maka dengan bekerja dia tidak akan menjadi miskin dan terlantar. Terutama di zaman yang
sifat egois telah mendominasi kehidupan manusia. Banyak perlakuan anak yang menyakitkan
orang tua, tidak mau tahu dengan sanak famili sehingga setiap orang mengatakan, "Yang
penting diriku."

Bantahan
Argumentasi ala Barat itu keliru, berdasarkan sebab-sebab berikut ini.
1. Bagi kita, Barat bukanlah argumentasi. Kita tidak diperintahkan untuk menjadikan Barat
sebagai 'tuhan' yang disembah, tidak pula sebagai qudwah yang diikuti. Lakum dinukum
waliya din.
2. Wanita di Barat itu pergi ke pabrik-pabrik dan tempat kerja pada umumnya karena terpaksa,
bukan atas dasar kesadaran. Mereka memerlukan makan, yang seharusnya menjadi
tanggungan suami. Mereka hidup di masyarakat yang keras, tidak memiliki kasih sayang
terhadap anak kecil karena kekecilannya, dan tidak pula mempunyai rasa kasih sayang pada
wanita karena kewanitaannya. Sedang Allah telah memberi kecukupan kepada kita, yaitu
dengan sistem nafaqat di dalam syariat kita.
Ustadz Muhammad Yusuf pernah mengungkapkan dalam bukunya, Islam dan Kebutuhan
Manusia Kepadanya, tentang perhatian Islam terhadap rumah tangga. Ia berkata, "Barangkali
ada baiknya jika kita sebutkan di sini bahwa ketika saya tinggal di Prancis ada seorang gadis
yang menjadi pembantu rumah tangga di rumah yang sementara aku tinggali. Gadis itu
tampak dari keluarga baik-baik. Mala aku bertanya kepada tuan rumah, "Kenapa gadis ini
menjadi pembantu, apakah ia tidak memiliki keluarga yang dapat menjauhkannya dari kerja
seperti ini dan memenuhi kebutuhannya?” Jawabnya, "Ia berasal dari keluarga baik-baik di
negara ini, pamannya orang yang kaya raya, tetapi pamannya tidak memperhatikan dan tidak
mau tahu dengan urusannya." Saya bertanya, "Mengapa tidak melaporkan permasalahannya
ke pengadilan, agar mendapat dukungan hukum supaya ia memberi nafkah?" Tuan rumah
terkejut dengan kata-kata itu, dan memberi tahuku bahwa itu tidak boleh secara hukum
Ketika itu, saya memahamkan kepadanya mengenai hukum Islam dalam masalah ini, maka
tuan rumah itu berkata, "Siapakah yang melindungi kami dengan aturan seperti itu?
Seandainya ini boleh secara hukum di negara kami niscaya kamu tidak mendapatkan wanita
keluar dari rumahnya untuk bekerja di pabrik, kantor, atau instansi pemerintahan.”
Ini berarti, kekhawatiran mereka akan kelaparan dan kenistaan itulah yang terpaksa
mendorong mereka untuk bekerja.
3. Barat, yang saat ini menjadi idola itu telah berubah dan mengeluhkan adanya wanita yang
bekerja dan munculnya berbagai ekses negatif. Kaum wanita sendiri sebenarnya
mengeluhkan kondisinya, namun tidak menemukan pilihan lain. Ada seorang penulis barat
terkenal mengatakan, "Jika anak-anak perempuan kita itu bekerja di rumah seperti
pembantu, itu lebih baik dan lebih ringan cobaannya daripada mereka bekerja di pabrik-
pabrik, di mana wanita telah tercemari dengan polusi yang menghilangkan keindahan hidup
mereka untuk selama-lamanya. Mengapa negara kami tidak seperti negara kaum Muslimin
yang penuh dengan kesucian dan kebersihan, di mana pembantu dan budak bisa menikmati
kehidupan dengan sebaik-baiknya dan diperlakukan seperti anak-anak putrinya sendiri dan
tidak dikotori kehormatannya? Sesungguhnya ini merupakan cacat bagi negara Inggris jika
kita menjadikan anak-anak wanita sebagai umpan kenistaan, yaitu dengan banyaknya bergaul
dengan kaum pria. Maka mengapa kita tidak berusaha menjadikan wanita bekerja sesuai
dengan fitrahnya, seperti mengurusi rumah tangga dan meninggalkan pekerjaan laki-laki
untuk laki-laki demi keselamatan kehormatannya?”
4. Kemaslahatan masyarakat bukan terletak pada ketika kaum perempuan meninggalkan
risalahnya yang utama di dalam rumah, untuk beralih bekerja sebagai insinyur, pengacara,
anggota DPR, hakim, atau buruh di pabrik. Tetapi kemaslahatan itu adalah hendaknya wanita
bekerja sesuai dengan bidang khas yang sesuai dengan fitrahnya, yaitu sebagai istri dan ibu
yang tidak kalah pentingnya, bahkan lebih penting daripada bekerja di supermarket, pabrik,
dan kantor. Napoleon pernah ditanya, "Benteng manakah di Prancis yang paling kuat?" Ia
menjawab, "Para ibu yang baik."
Orang-orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya wanita yang tinggal di rumah itu
menganggur adalah bodoh atau berpura-pura bodoh, sebagaimana dikatakan oleh para
wanita mulia. Sebab, begitu banyak pekerjaan rumah tangga yang menyita waktu, bahkan
hampir tidak cukup. Maka jika ada sebagian wanita yang memiliki waktu lebih, hendaklah kita
beri tahu agar digunakan untuk menjahit, membordir atau pekerjaan lain yang tidak
bertentangan dengan kewajibannya di rumah. Bisa juga dengan menjalin kerja sama dengan
perusahaan atau instansi tertentu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, sedang ia
mengerjakannya di rumah. Atau berkhidmah kepada masyarakat serta ikut andil dalam
memerangi kemiskinan, kebodohan, penyakit dan kerendahan.
Kenyataannya, banyak kalangan wanita karier yang mempergunakan jasa wanita lainnya
untuk menjadi pembantu rumah tangga. Artinya, rumah memerlukan seorang wanita yang
merawatnya, dan yang paling mulia adalah pemiliknya sendiri, daripada wanita lain yang
sering berbeda akhlaknya, agamanya, bahasanya, pemikirannya, dan tradisinya.
Sebagaimana umumnya di negara-negara teluk yang mendatangkan para pembantu rumah
tangga dari timur jauh yang tentunya membawa dampak negatif bagi anak-anak mereka.
5. Kebahagiaan berumah tangga bukanlah sekadar tambahnya pemasukan yang sebagian besar
dipergunakan untuk membeli peralatan kosmetik, aksesori rumah, baju untuk keluar, dan
berbagai keperluan hidup yang cenderung dibuat-buat untuk berlomba dari sisi materi.
Sebagai konsekuensinya, pertambahan pemasukan ini menghilangkan ketenangan dan
keharmonisan yang sering dirasakan oleh wanita di tengah-tengah hidup berumah tangga.
Seorang wanita yang bekeija akan mudah lelah dan stres, karena ia sendiri memerlukan
seseorang yang dapat menghiburnya. Padahal orang yang kehilangan sesuatu tidak mungkin
bisa memberi sesuatu itu.
6. Kemaslahatan wanita bukan terletak pada ketika ia keluar dari fitrah dan tugas khususnya,
atau bertahan pada pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki, karena Allah telah
menciptakannya sebagai wanita. Jika keluar dari fitrah berarti ia membohongi wanita dan
realita, padahal wanita telah kehilangan kewanitaannya secara bertahap, sampai diistilahkan
oleh sebagian penulis dari Inggris dengan istilah 'jenis ketiga'. Inilah yang diakui oleh
kebanyakan wanita dari para pemberani di bidang sastra.
7. Menurut Islam, tidaklah benar jika pekerjaan merupakan senjata di tangan wanita. Hal ini
dikarenakan wanita dalam Islam dicukupi kebutuhannya dengan aturan nafkah yang wajib
secara syar'i bagi ayah, suami, atau anak-anaknya, saudaranya, atau kerabat lainnya. Taqlid
terhadap Barat telah menjauhkan kita dari karakter kita sendiri, sedikit demi sedikit.

Bahaya Wanita ketika Mengerjakan Pekerjaan Laki-Laki


Wanita yang menjalani profesi kaum lelaki tanpa ikatan dan batas, tidak diragukan sangat
berbahaya dari berbagai segi, sebagai berikut.
1. Berbahaya bagi diri wanita itu sendiri, karena ia kehilangan kewanitaan dan karakternya. Juga
karena ia jauh dari rumah dan anak-anak. Wanita seperti ini banyak yang mandul, bahkan ada
yang mengatakan bahwa mereka itu manusia 'jenis ketiga'. Artinya, tidak laki-laki dan tidak
perempuan.
2. Berbahaya bagi suami, karena ketika istri sibuk di luar rumah, suami akan kehilangan sumber
kebahagiaan dan kemesraan, karena yang banyak diperbincangkan adalah permusuhan,
pengaduan problem kerja, persaingan, dar mungkin intrik-intrik bersama teman seprofesi.
Terutama suami akan kehilangan sifat kepemimpinannya dalam keluarga, karena perasaan
istrinya yang sudah merasa tercukupi dengan pekerjaannya, bahkan mungkin gaji istri lebih
besar daripada gaji suami, sehingga istri merasa berada di atasnya. Ini belum lagi dengan
perasaan cemburu dan ragu dari suami yang sering terjadi.
3. Berbahaya bagi anak-anaknya, karena kasih sayang ibu, hati ibu dan pemeliharaan ibu tidak
bisa diganti dengan pembantu atau pelayanan di sekolah. Bagaimana mungkin anak-anak bisa
memperoleh itu semua dari seorang ibu yang menghabiskan hari-harinya di tempat kerja,
sementara ketika pulang ke rumah ia sudah lelah, capek dan pusing? Ketika itu, kondisi fisik
maupun kejiwaannya tidak memungkinkan untuk memberikan tarbiyah dengan baik
terhadap anak-anaknya.
4. Berbahaya terhadap pekerjaan itu sendiri, karena wanita akan banyak terlambat dan absen
dari pekerjaannya disebabkan banyaknya halangan yang tidak bisa dielakkan, seperti datang
bulan, hamil, melahirkan, menyusui, dan sebagainya. Ini semuanya ditinjau menurut disiplin
kerja dan perhitungan produktivitas yang baik.
5. Berbahaya bagi kaum laki-laki, karena setiap wanita yang bekerja selalu mengambil posisi
kaum lelaki yang lebih layak bekerja di dalamnya. Selama di masyarakat masih ada kaum lelaki
yang menganggur, maka kerja wanita membahayakan bagi mereka.
6. Berbahaya terhadap moral, karena wanita telah kehilangan rasa malu, dan bahaya bagi
akhlak laki-laki, karena kehilangan rasa cemburu. Juga membahayakan akhlak generasi,
karena mereka kehilangan pendidikan yang baik sejak kecil. Juga membahayakan akhlak
masyarakat ketika mencari harta dan menambah income itu menjadi tujuan utama yang
dikejar oleh manusia, meskipun harus mengorbankan nilai-nilai akhlak dan moral.
7. Berbahaya terhadap kehidupan sosial, karena wanita keluar dari fitrahnya dan meletakkan
sesuatu bukan pada tempatnya. Ini bisa merusak kehidupan dan membuat kegoncangan jiwa.

Kapan Wanita Boleh Bekerja


Apakah dengan demikian berarti wanita diharamkan atau dilarang bekerja secara syar'i dalam
keadaan apa pun? Tidak! Karena itu, ada baiknya jika kita jelaskan di sini sampai batas manakah
syariat memperbolehkan wanita untuk bekerja.
Di sini ingin saya jelaskan dengan ringkas dan jelas masalah batas-batas bolehnya wanita
bekerja, agar tidak kabur antara yang haq dan yang batil dalam masalah yang sensitif ini.
Tugas wanita yang pertama dan yang paling besar yang tidak ada pertentangan padanya
adalah menarbiyah generasi yang telah dipersiapkan oleh Allah, baik secara fisik maupun jiwa.
Wanita tidak boleh melupakan risalah yang mulia ini disebabkan karena pengaruh materi atau
modernisasi apa pun adanya. Sebab, tidak ada seorang pun yang mampu melakukan tugas agung
ini yang sangat menentukan masa depan umat kecuali wanita. Dengan demikian kekayaan umat
akan semakin terpelihara, itulah kekayaan sumber daya manusia. Semoga Allah merahmati
seorang penyair yang bernama Hafidz Ibrahim yang mengatakan,
Seorang ibu bagaikan sekolah
yang apabila engkau persiapkan (dengan baik)
maka berarti engkau telah mempersiapkan generasi
yang harum namanya.

Ini bukan berarti wanita diharamkan bekerja di luar rumah, karena tidak ada wewenang bagi
seseorang mengharamkan tanpa ada keterangan syara' yang benar-benar jelas maknanya. segala
sesuatu pada dasarnya diperbolehkan.
Atas dasar inilah maka kita katakan bahwa sesungguhnya profesi wanita pada dasarnya
diperbolehkan, bahkan bisa jadi diperlukan, terutama bagi wanita janda, dicerai atau belum
dikaruniai suami sementara dia tidak mempunyai pemasukan dan tidak pula ada yang
menanggungnya, sedang dia mampu bekerja untuk mencukupi keperluannya sehingga tidak
meminta-minta.
Kadang-kadang justru keluargalah yang membutuhkannya bekerja, seakan-akan ia
membantu suaminya, atau mendidik anak-anak dan saudara-saudaranya yang masih kecil, atau
membantu bapaknya yang sudah tua, seperti dalam kisah dua putri Nabi Syu'aib yang disebutkan
oleh Al-Quran di dalam surat Al- Qashash, yang keduanya merawat kambing ayahnya.
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang
yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua
orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata, "Apakah maksudmu
(dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab, "Kami tidak dapat meminumkan
(ternak kami), sebelum penggembala-peng-gembala itu memulangkan (ternaknya), sedang
bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya." (Al-Qashash: 23)

Kadang-kadang masyarakat itu sendiri yang memerlukan kerja wanita, seperti tenaga dokter,
perawat, guru untuk anak-anak wanita dan setiap aktivitas yang khusus wanita. Karena itu,
utamanya seorang wanita bekerja sama dengan sesama wanita, bukan dengan kaum pria.
Meskipun terkadang bisa dimaklumi jika harus memerlukan kaum pria karena kebutuhan, tetapi
itu sekadarnya, bukan sebagai suatu kaidah yang tetap. Sebagaimana juga apabila masyarakat
membutuhkan tangan-tangan terampil untuk pengembangan.
Apabila kita perbolehkan wanita itu bekerja maka harus memenuhi beberapa persyaratan
sebagai berikut.
1. Hendaknya jenis pekerjaannya memang tidak dilarang dan tidak mengarah pada perbuatan
haram. Misalnya bekerja sebagai pembantu pada seseorang yang belum menikah, sekretaris
khusus seorang direktur kemudian berduaan, penari yang membangkitkan syahwat dan
keinginan nafsu seksual, bekerja di bar-bar yang menghidangkan khamer yang dilaknat oleh
Rasulullah, atau menjadi pramugari di pesawat yang mengharuskannya berpakaian seragam
yang tak syar'i, dan menghidangkan sesuatu yang tidak diperbolehkan oleh syara' untuk para
penumpang, dan terbuka peluang bahaya disebabkan bepergian yang jauh tanpa muhrim,
yang mengharuskannya bermalam sendirian di tempat asing yang sebagian tidak terjamin,
atau pekerjaan lainnya yang telah diharamkan oleh Islam terhadap kaum wanita, atau
terhadap laki-laki dan wanita.
2. Hendaknya wanita Muslimah tetap beradab Islami bila ia keluar dari rumah, baik dalam
berpakaian, berjalan, berbicara, dan berpenampilan. Allah Swt. berfirman,
...Dan janganlah mereka (mukminat) menampakkan perhiasannya, kecuali yang tampak dari
padanya... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan... (An-Nur: 31)

Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (Al-Ahzab: 32)

3. Hendaknya pekerjaannya itu tidak mengorbankan kewajiban-kewajiban lainnya yang tidak


boleh ditelantarkan. Seperti kewajibannya terhadap suami dan anak-anak yang merupakan
kewajiban pertama dan tugasnya yang asasi.

Masyarakat Islam dituntut untuk mengatur segala persoalan hidup dan mempersiapkan
sarananya sehingga kaum wanita bisa bekerja apabila hal itu membawa kemaslahatan bagi
dirinya, keluarganya dan masyarakatnya, tanpa menghilangkan perasaan malu atau
bertentangan dengan kewajibannya terhadap Tuhan, diri, dan rumahnya. Hendaknya lingkungan
secara umum juga mendukung untuk melaksanakan kewajiban dan memperoleh haknya. Bisa
saja dengan cara wanita diberi separuh pekerjaan dengan separuh gaji, tiga hari dalam satu
minggu umpamanya. Sebagaimana sepatutnya masyarakat memberikan hak libur kepada wanita
secara cukup pada awal pernikahan, pada saat melahirkan, dan menyusui.
Di antara yang harus ditertibkan adalah membangun sekolah-sekolah, fakultas-fakultas dan
perguruan tinggi khusus untuk wanita yang dengan itu mereka bisa melakukan latihan olah raga
dan permainan yang sesuai dengan mereka. Hendaknya mereka diberi kebebasan untuk
beraktivitas dan melakukan berbagai kegiatan.
Di antaranya juga membangun ruang-ruang khusus untuk para pekerja perempuan di tempat
kerja, yang jauh dari kemung- kinan orang melakukan 'mojok' yang melahirkan fitnah. Allahlah
yang berkata benar dan Dialah yang memberi petunjuk.

Anda mungkin juga menyukai