Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION

Oleh :
dr. Kadek Dede Frisky Wiyanjana, S.Ked

DALAM RANGKA MENJALANI PROGRAM INTERNSIP

RSUD KARANGASEM/PUSKESMAS RENDANG

2018-2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya, tugas mini project dan laporan kasus dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Tugas ini disusun dalam rangka mengikuti program dokter internsip di
RSUD Karangasem dan Puskesmas Rendang periode 2018-2019. Dalam penyusunan
responsi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. Made Supatriasih, S.Ked, selaku pembimbing di RSUD Karangasem

2. dr. Ni Nengah Artini, S.Ked, selaku pembimbing di RSUD Karangasem

3. dr. I Gusti Gede Widia, S.Ked, selaku pembimbing di Puskesmas Rendang

4. Rekan-rekan dokter dan staf yang bertugas di Puskesmas Rendang dan RSUD
Karangasem atas bantuannya dalam penyusunan tugas ini.

Penulis menyadari bahwa tugas ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporn kasus
dan mini project ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan
danmemberi manfaat bagi masyarakat.

Karangasem, 19 Februari 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum dalam


Sindrom Koroner Akut (SKA). Selain itu SKA dapat berupa unstable angina
pectoris (UAP), Non-ST elevation myocardial infarction (NSTEMI). SKA merupakan
suatu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan
rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. SKA, merupakan Penyakit Jantung
Koroner (PJK) yang progresif dan pada perjalanan penyakitnya sering terjadi
perubahan secara tiba-tiba dari keadaan stabil menjadi keadaan tidak stabil atau akut.1

Aterosklerosis merupakan penyebab utama dari SKA, gejala yang sering


dikeluhkan oleh pasien antara lain dada terasa nyeri terutama yang digambarkan
seperti ditekan, diremas, atau sensasi terbakar yang menjalar ke leher, bahu, rahang,
perut bagian bawah, atau pun lengan sebelahnya, sesak napas, keringat berlebihan,
mual, penurunan toleransi latihan. SKA disebabkan oleh proses pengurangan pasokan
oksigen akut atau subakut dari miokard. 2

Sindrom koroner akut terdiri atas angina pektoris tak stabil, Infark miokard
akut tanpa elevasi ST, dan infark miokard akut dengan elevasi ST. STEMI adalah
sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala iskemia infark khas yang dikaitkan
dengan gambaran EKG berupa elevasi segmen ST yang persisten dan diikuti
pelepasan biomarker nekrosis miokard. 1,3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Pembuluh Darah Koroner

Anatomi pembuluh darah koroner pada gambar 2.1 dapat dilihat ada 2 arteri
koroner utama yaitu arteri koroner kanan dan kiri. Arteri koroner kiri, terbagi menjadi
left anterior descending artery (LAD) dan circumflex artery (CAX), arteri - arteri ini
mensuplai darah ke ventrikel kiri dan atrium kiri jantung. 2

Gambar 2.1 Anatomi Pembuluh Darah Koroner

Right coronary artery (RCA), terbagi menjadi right posterior descending


artery dan acute marginal artery, arteri - arteri ini mensuplai darah ke ventrikel
kanan, atrium kanan jantung dan sinoatrial node (sekelompok sel di dinding atrium
kanan yang mengatur laju irama jantung). Adapun tambahan 2 cabang arteri koroner
utama yang mensuplai darah ke otot jantung, yaitu Circumflex Artery yang
merupakan cabang dari arteri koroner kiri, mengelilingi otot jantung, dan mensuplai
darah ke bagian belakang jantung. Left anterior descending artery adalah cabang dari
arteri koroner kiri dan mensuplai darah ke bagian depan jantung. 2,4
2.2 Definisi STEMI

Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST merupakan bagian dari


spektrum Sindrom koroner akut (SKA) yang melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dan biomarka jantung dibedakan menjadi
unstable angina pectoris (UAP), non-ST elevation myocardiac infarct (NSTEMI),
dan ST-elevation myocardiac infarct STEMI. Menurut PERKI 2015, STEMI
merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri coroner. STEMI
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST
yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.4

2.3 Epidemiologi STEMI

Pada tahun 2013, ± 478.000 pasien di Indonesia didiagnosa penyakit jantung


koroner. Saat ini, prevalensi STEMI meningkat dari 25% hingga 40% berdasarkan
presentasi infark miokard. Penelitian oleh Torry et al tahun 2011-2012 di RSU
Bethesda Tomohon, angka kejadian STEMI paling tinggi dari keseluruhan kejadian
SKA yaitu 82%, sedangkan untuk NSTEMI hanya 11% dan RSUP Sanglah Denpasar
pada tahun 2012-2013, STEMI juga merupakan kejadian tertinggi dari keseluruhan
SKA yaitu sebesar 66,7%.4,5

2.4 Patofisiologi STEMI

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya.
Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury
ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid. Hal
tersebut mengakibatkan kerusakan pada endotel pembuluh darah. 2

Sebagian besar penyakit jantung koroner adalah manifestasi akut dari plak
ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi.
Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan
menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau
menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain
itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. 2,4

Gambar 2.2 Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner 6

Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan


miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Akibat trombus tersebut,
kebutuhan ATP pembuluh darah untuk berkontraksi berkurang, hal ini disebabkan
kurangnya suplai oksigen sehingga pembentukan ATP berkurang. Keadaan ini
berdampak pada metabolisme mitokondria sehingga terjadi perubahan proses
pembentukan ATP menjadi anaerob glikolisis. Berkurangnya ATP menghambat
proses, Na+ K+-ATPase, peningkatan Na+ dan Cl- intraselular, menyebakan sel
menjadi bengkak dan mati.6
2.5 Faktor Risiko STEMI

Berdasarkan studi Framingham, faktor risiko STEMI dapat dibagi menjadi


dua, yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. 7

2.5.1 Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

1. Usia

Perubahan pada arteri koroner berkaitan erat dengan pertambahan usia. Perubahan
utama yang terjadi oleh penuaan adalah penebalan tunika intima disertai tunika media
yang mengalami fibrosis. Ketebalan dari tunika intima yang diamati secara bertahap
meningkat ketika dekade keempat dan kemudian menipis secara bertahap10. Umur
berperan penting dalam terjadinya penyakit jantung koroner karena dapat
mempengaruhi faktor risiko lain, seperti tekanan darah tinggi, obesitas, dan kadar
lemak. Berat badan merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi meningkat pada
umur dewasa tua. Gangguan dalam profil lemak, seperti nilai total kolesterol dan Low
Density Lipoprotein (LDL) meningkat disertai nilai High Density Lipoprotein (HDL)
yang rendah, juga berhubungan dengan pertambahan umur . 5

2. Jenis kelamin

Pria mempunyai risiko lebih besar dari perempuan dan mendapat serangan lebih awal
dalam kehidupannya dibandingkan wanita2. Itu dikarenakan kebanyakan faktor
risikonya tidak mau diubah oleh pria, seperti merokok, alkohol, dan kadar HDL yang
lebih rendah dari wanita12 dan sebelum menopause, estrogen memberikan
perlindungan kepada wanita dari penyakit jantung coroner. 7

2.5.2 Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

1. Merokok

Rokok mengandung zat kimia, seperti nikotin, karbon monoksida, ammonia,


formaldehida, tar, dan lain-lain. Bahan aktif utamanya adalah nikotin (efek akut) dan
tars (efek kronis). Efek nikotin pada sistem kardiovaskular adalah efek
simpatomimetik, seperti menyebabkan takikardi, kontraksi ventrikuler di luar sistol,
meningkatkan noradrenalin dalam plasma, tekanan darah, cardiac output, dan
konsumsi oksigen sehingga menyebabkan penyempitan aterosklerotik, penempelan
platelet, dan menurunkan HDL. LDL menjadi lebih mudah memasuki dinding arteri
yang berperan dalam patogenesis PJK2 . Merokok juga meningkatkan oksidasi dari
LDL dan meningkatkan berbagai faktor risiko lain, yaitu dislipidemia, hipertensi, dan
diabetes melitus . 7

2. Dislipidemia.
Salah satu komponen lemak tubuh adalah kolesterol. Kolesterol sangat penting bagi
sel yang sehat, tetapi bila tubuh mengakumulasikannya dalam jumlah banyak,
kolesterol akan berdeposit ke dinding pembuluh darah yang akan menyebabkan
kerusakan dan bisa menghambat aliran darah. Jika ini terjadi, risiko serangan jantung
akan meningkat2 . Kolesterol terdiri dari 2 bentuk utama, yaitu HDL yang berperan
dalam membawa kadar lemak yang tinggi dalam jaringan ke hati untuk
dimetabolisme dan dikeluarkan dari tubuh dan LDL yang berperan membawa
kolesterol ke jaringan, termasuk arteri koroner. Nilai LDL yang tinggi dan HDL yang
rendah berperan dalam peningkatan risiko penyakit jantung, terutama PJK. 7,8

3. Hipertensi

Hipertensi meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan dinding jantung menjadi


tebal dan kaku yang menyebabkan jantung tidak berkerja dengan baik. Ini
meningkatkan risiko kejadian stroke, serangan jantung, gagal ginjal, dan penyakit
jantung kongestif. Ketika tekanan darah tinggi ini bergabung dengan faktor risiko
yang lain, akan meningkatkan risiko penyakit jantung2. Patofisiologi dari hipertensi
menyebabkan PJK melalui 2 cara. Pertama, hipertensi menyebabkan kerusakan pada
endotel yang akan menyebabkan senyawa vasodilator tidak dapat keluar dan
membuat penumpukan okigen reaktif serta penumpukan faktor-faktor inflamasi yang
mendukung perkembangan dari aterosklerosis, trombosis, dan penyumbatan
pembuluh darah. Kedua, hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang
menyebabkan hipertrofi dari ventrikel kiri. Itu menyebabkan meningkatnya
kebutuhan oksigen miokardium dan menurunnya aliran darah koroner. Semua hal di
atas mendukung terjadinya penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, dan
kematian jantung tiba-tiba.7,8

4. Diabetes melitus

Kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan peningkatan pembentukan plak
ateromatous pada arteri2. Hiperglikemi pada orang diabetes menyebabkan banyak
perubahan pada biomolekuler tubuh, yaitu peningkatan reduksi nicotinamide adenine
dinucleotide (NAD+) menjadi NADH yang belum terbukti sebagai stresor oksidatif
seluler, peningkatan produksi uridine diphosphate (UDP) N-acetyl glucosamine yang
diperkirakan mengubah fungsi enzimatik seluler, dan pembentukan advanced
glycation end product (AGE) yang secara langsung menganggu fungsi sel endotel dan
mempercepat aterosklerosis, serta peningkatan reactive oxygen species (ROS) yang
menganggu produksi nitrit oksida endotel dan menipiskan plak aterosklerosis
sehingga mudah rupture. 8

2.6 Manifestasi Klinis STEMI

Keluhan pasien dengan iskemi miokard berupa nyeri dada typical (angina
typical) atau atypical (angina equivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan
atau berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
intraskapular, bahu atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermitten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering
disertai keluhan penyerta seperti mual,muntah,nyeri abdominal, dan sinkop.4

Gejala-gejala umum iskemia dan infark miokard adalah nyeri retrosternal.


Yang perlu diperhatikan dalam evaluasi keluhan nyeri dada iskemik SKA adalah :

1. Lokasi nyeri; di daerah retrosternal dan pasien sulit melokalisasi rasa


nyeri.
2. Onset nyeri : sejak kapan nyeri dada sudah dirasakan.
3. Karakteristik nyeri; pasien mengeluh rasa berat seperti dihimpit, ditekan,
diremas, panas atau dada terasa penuh. Keluhan tersebut lebih dominan
dibandingkan rasa nyeri yang sifatnya tajam. Perlu diwaspadai juga bila
pasien mengeluh nyeri epigastrik, sinkope atau sesak napas (equivalent
angina)
4. Penjalaran nyeri; penjalaran ke lengan kiri, bahu punggung, epigastrium,
leher rasa tercekik atau rasa ngilu pada rahang bawah dan penjalaran ke
lengan kanan atau kedua lengan
5. Lama nyeri; nyeri pada SKA berlangsung lama lebih dari 20 menit.
6. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
7. Gejala sistemik; disertai keluhan seperti mual, muntah atau keringat
dingin.

Namun harus dibedakan dengan nyeri dengan gambaran di bawah ini yang
bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada non-kardiak) : 4

1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau


batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah

2.7 Pemeriksaan Penunjang

a. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin dilakukan pada semua pasien
yang memiliki keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia.
Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada
semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding
inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina
yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. 4,9
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk
pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Nilai ambang
elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada
pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang
elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria
dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05
mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai
ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. 4,10
Tabel 2.1 Lokasi Infark berdasarkan sadapan EKG

b. Marka jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis
miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T
sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi
dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis
miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit
tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh
sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,
hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit
neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi
ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang
seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal.
Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin
T.10
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang
dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu
paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih
terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural.4,7

Gambar 2.3 Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung

Pemeriksaan troponin I/T adalah biomarker paling sensitif dan spesifik


sehingga menjadi standar baku emas dalam diagnosis NSTEMI/STEMI, di mana
peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam
setelah onset. Peningkatan kadar troponin biasanya menetap dalam 2 hingga 3 hari,
namun bisa tetap meningkat hingga 2 minggu bila terjadi nekrosis luas. Kadar
troponin bisa saja belum meningkat dalam 6 jam setelah onset gejala, sehingga jika
didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan pertama, perlu dilakukan pemeriksaan
ulang dalam 8 hingga 12 jam setelah onset gejala. Jika pemeriksaan troponin tidak
dapat dilakukan, maka dapat digunakan penilaian Musscle and Brain fraction of
Creatinin Kinase (CK-MB) yang akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam,
mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap hingga 2 hari.6,7
c. Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan
gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan
diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi.
Multislice CardiacCT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai
penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan
jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan.4
d. Pemeriksaan Laboratorium
Selain pemeriksaan marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat
darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah,
tes fungsi ginjal, dan panel lipid. 4
e. Pemeriksaan Foto Polos Dada
Tujuan dilakukan pemeriksaan ini adalah untuk membuat diagnose banding,
identifikasi komplikasi, dan penyakit penyerta.4
2.8 Diagnosis STEMI

Diagnosis ST elevasi (STEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal


yang dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan
marka jantung. Keluhan angina tipikal tanpa perubahan EKG spesifik , jika marka
jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak meningkat, diagnosis
mengarah UAP. Sebagian besar pasien NSTEMI akan mengalami evolusi menjadi
infark miokard tanpa gelombang Q. Dibandingkan dengan STEMI, prevalensi
NSTEMI dan UAP lebih tinggi, di mana pasien-pasien biasanya berusia lebih lanjut
dan memiliki lebih banyak komorbiditas. Sebagian besar pasien STEMI akan
mengalami peningkatan marka jantung, sehingga berlanjut menjadi infark miokard
dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction, STEMI). Oleh
karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia. 4

2.8.1 Diagnosis Banding

Pasien dengan kardiomiopati hipertrofik atau penyakit katup jantung (stenosis dan
regurgitasi katup aorta) dapat mengeluh nyeri dada disertai perubahan EKG dan
peningkatan marka jantung menyerupai yang terjadi pada pasien NSTEMI.
Miokarditis dan perikarditis dapat menimbulkan keluhan nyeri dada, perubahan EKG,
peningkatan marka jantung, dan gangguan gerak dinding jantung menyerupai
NSTEMI. Stroke dapat disertai dengan perubahan EKG, peningkatan marka jantung,
dan gangguan gerak dinding jantung. Diagnosis banding non kardiak yang
mengancam jiwa dan selalu harus disingkirkan adalah emboli paru dan diseksi aorta. 7

2.9 Tatalaksana STEMI

Tatalaksana STEMI mengacu pada data-data dari evidence based


berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang ataupun
konsensus dari para ahli. Tujuan utama tatalaksana STEMI adalah mendiagnosis
secara cepat, menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi
reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi
obat penunjang. 8

Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri
dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik dengan
pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke leher, rahang
bawah atau lengan kanan memperkuat dugaan ini. 4
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam
penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang
terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut ini:
1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10 menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
• Untuk fibrinolisis ≤30 menit
• Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan
awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang
mampu melakukan IKP)

Gambar 2.5 Alur Diagnosis dan Tatalaksana STEMI menurut PERKI 2015 4

Berdasarkan PERKI 2015, tindakan umum dan langkah awal penting


dilakukan. Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis
kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat,
sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang
dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak
harus diberikan semua atau bersamaan. 4

1. Tirah baring .
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2
arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi.
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik. Atau Dosis
awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75
mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan
agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah
clopidogrel).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. jika nyeri dada
tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit
sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. dalam keadaan
tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai
pengganti.
 Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90
mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50
kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark
ventrikel kanan
 Nitrat juga tidak boleh diberikan pada pasien yang telah
mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase : sidenafil dalam 24 jam,
tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah
pemberian vardenafil belum dapat ditentukan.
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. 4
2.9.1 Terapi Reperfusi
Semua pasien STEMI seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi reperfusi.
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. 7
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle atau
medical contact to balloon time untuk IKP dapat dicapai dalam 90 menit7. Reperfusi,
dengan fibrinolisis atau IKP primer, diindikasikan dalam waktu kurang dari 12 jam
sejak onset nyeri dada untuk semua pasien infark miokard yang juga memenuhi salah
satu kriteria berikut :

 ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor EKG di dada yang berturutan,
 ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di tungkai berurutan,
 Left bundle branch block baru2.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung
pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik
rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari 2 jam.
Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik.
Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke
pusat dengan fasilitas IKP. 3,7

2.9.1. Terapi Fibrinolitik


Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-
tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang
disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis
pertama7. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan
infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan
bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit.
Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. Jenis obat fibrinolotik sebagai
terapi reperfusi adalah: 4
 Streptokinase
◦ Dosis awal 1,5 juta U/100ml Dextrose 5% atau larutan saline 0,9%
dalam waktu 30-60 menit.
◦ Koterapi Heparin i.v selama 24-48 jam
 Alteptase
◦ Dosis awal bolus 15 mg intravena 0,75 mg/kg selama 30 menit,
kemudian 0,5mg / kg selama 60 menit, dosis total tidak lebih dari
100mg
◦ Koterapi Heparin i.v selama 24-48 jam1
2.9.2 Pemberian Antikoagulan
Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi
antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap, hingga
maksimum 8 hari. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat
diberikan terapi antikoagulan selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari pemberian.
Strategi lain yang digunakan adalah meliputi Low Molecular Weight Heparin
(LMWH) atau fondaparinuks dengan regimen dosis sama dengan pasien yang
mendapat terapi fibrinolisis.4

Jenis-jenis obat antikoagulan antara lain:

 Warfarin
o Dosis awal yang dapat diberikan yaitu 10 mg dan 5 mg pada hari
kedua dengan pengaturan dosis pada hari ketiga sekitar 3-7,5 mg.20
o Pemberian obat ini secara oral.
o Kontraindikasi pemberian pada penyakit-penyakit dengan
kecenderungan perdarahan, tukak saluran cernaa, defisisensi vitamin
K, serta penyakit hati dan ginjal yang berat.
 Heparin
o Dosis awal yang diberikan yaitu 60 U/kgBB (maksimal 4000 U)
secara bolus. Kemudian pemberian lanjutan melalui infuse dengan
dosis 12 U/kgBB.
o Pemberian heparin dikontraindikasikan pada pasien yang sedang
mengalami perdarahan misalnya pasien hemophilia, endokarditis
bacterial subakut, perdarahan intracranial, hipertensi berat, dan syok.
 Enoxaparin (Lovenox)
o Dosis yang diberikan 1 mg/kg setiap 12 jam subkutan, ditambah
dengan pemberian aspirin 100-325 setiap harinya selama minimal 2
hari.
o Kontraindikasi pemberian obat ini adalah kecenderungan hemoragia
dan pernah menderita trombositopenia selama pengobatan.
2.10 Prognosis

Prognosis infark miokard berhubungan dengan lokasi infark dan luas


perubahan EKG. Infark inferior memilki mortalitas 30 hari sebesar 4,5 % dan
moratalitas 12 bulan sebesar 6,7 %. Determinan utama prognosis setelah infark
miokard adalah usia, tekanan darah sistolik, denyut jantung, lokasi infark, dan kelas
Killip. 4
BAB III
LAPORAN KASUS

No. ID dan Nama Peserta : / dr. Kadek Dede Frisky Wiyanjana


No. ID dan Nama Wahana: / RSUD Karangasem, Karangasem
Topik: STEMI
Tanggal (kasus) : 28 Januari 2019
Nama Pasien : Bpk. IWR
Tanggal presentasi : 25 Februari 2019 Pendamping: dr. I Gusti Gede Widia
Tempat presentasi: Ruang Pertemuan Puskesmas Rendang, Karangasem
Obyek presentasi : -
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:

Laki-laki, 54 tahun, dengan keluhan utama nyeri dada. Nyeri dada dirasakan sejak ± 1 jam
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasakan pertama kali seperti tertindih, terasa berat di
tengah-tengah dada selama ±30 menit dan dirasakan hingga sampai UGD Puskesmas Pasien
mengatakan nyeri yang dirasakan saat itu lebih berat dan lebih lama dari sebelumnya Awalnya
pasien sedang berjalan pagi saat baru bangun dan tiba-tiba nyeri tersebut muncul. Nyeri dirasakan
terus menerus tanpa ada faktor resiko yang memperingan. Pasien juga mengeluh nafas terasa
berat, dan keringat dingin saat nyeri dada tersebut muncul. Keluhan mual dan muntah saat
serangan nyeri dada disangkal. Riwayat merokok kurang lebih selama 25 tahun dan Pasien
memiliki riwayat Kolesterol tinggi sejak kurang lebih 2 tahun terakhir dan rutin mengkonsumsi
obat –obatan.
Tujuan:
Mampu mendiagnosis STEMI, Melakukan tatalaksana awal dan melakukan rujukan yang
tepat serta memahami tatalaksana perawatan yang tepat di fasilitas pelayanan kesehatan.
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
bahasan: pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan E-mail Pos
membahas: diskusi

Data Pasien: Nama: Bpk. IWR


Instalasi UGD Puskesmas Rendang
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Gambaran klinis
Riwayat Penyakit Sekarang

Laki-laki, 54 tahun, dengan keluhan utama nyeri dada. Nyeri dada dirasakan sejak ± 1
jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasakan pertama kali seperti tertindih, terasa
berat di tengah-tengah dada selama ±30 menit, dirasakan menjalar ke tangan kiri, keluhan
ini dirasakan hingga sampai UGD Puskesmas. Pasien mengatakan nyeri yang dirasakan
saat itu lebih berat dan lebih lama dari sebelumnya. Awalnya pasien sedang berjalan pagi
setalah bangun tidur, tiba-tiba nyeri tersebut muncul. Nyeri dirasakan terus menerus tanpa
ada faktor yang memperingan keluhan pasien.
Pasien juga mengeluh nafas terasa berat, dan keringat dingin saat nyeri dada
tersebut muncul. Keluhan mual dan muntah saat serangan nyeri dada disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.


Riwayat demam beberapa hari sebelumnya disangkal. Riwayat hipertensi dan kelainan
darah disangkal. Pasien memiliki riwayat kolesterol tinggi sejak kurang lebih 2 tahun
yang lalu dan rutin melakukan pengobatan.
Riwayat Pengobatan

Pasien ke dokter terakhir kali 1 bulan yang lulu untuk memeriksakan kolesterol
tinggi nya dan meminta pengobatan. Pemeriksaan kolesterol terakhir dikatakan lupa,
Namun kadar kolesterol total tertinggi dikatakan 380 mg/dl.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki penyakit yang sama seperti
penderita.

Riwayat Pribadi dan Sosial


Pasien dan keluarga tinggal di Desa Nongan, Rendang, Karangasem. Riwayat
merokok terdahulu selama lebih dari 25 tahun, dikatakan sudah berhenti sejak 6 tahun
yang lalu. Pasien sehari-hari beraktivitas di rumah sebagai pensiunan PNS.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan:


Status Present:
Kondisi Umum : Sakit sedang
Kesadaran : E4V5M6 / Compos Mentis
Tinggi badan : 172 cm
Berat badan : 71 kg
Nadi : 40 kali/menit, isi cukup, regular
Tekanan Darah : 90/70 mmHg
Respirasi : 20 kali/menit,
Suhu aksila : 36,3 ºC
Pemeriksaan Umum
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, RP +/+ isokor
THT
Telinga : Sekret -/-, hiperemis -/-
Hidung : deviasi septum nasi (-)
Tenggorokan : tonsil T1/T1, faring hiperemi (-)
Leher : pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)
Thorax : Simetris (+), retraksi (-)

Cor
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V MCL S, kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas jantung ICS II kiri
Batas kanan jantung PSL kanan
Batas kiri jantung MCL kiri ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris statis dan dinamis
Palpasi : Vocal fremitus N/N
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Vesikuler +/+, Rhonchi -/-, Wheezing -/-

Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), ascites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar/lien ttb, ginjal ttb balotement (-/-), nyeri ketok CVA (-/-),
nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani, ascites shifting dullness (-)
Ekstremitas : Hangat (+), edema (-)
Pemeriksaan Penunjang
1. EKG (28 januari 2019 pukul 07.30 WITA )

Irama : Sinus Rhythm


Rate : 40 kali/menit (reguler)
Axis : Normal
Gelombang P : Normal, 0,04 detik
PR interval : Memanjang, >0,20 detik
Kompleks QRS : Normal, < 0,12 detik
R/S V1 : Normal, <1
ST-T change : ST Elevasi II, III, aVf
Kesan : Sinus Rhythm, AV block, STEMI Inferior

II. Diagnosis Kerja


ST Elevasi Miocardiac Infarction (STEMI)
III. Terapi
( Puskesmas )
- Oksigen nasal cannul 4 lpm
- IVFD Nacl 0,9 % 8 tpm
- Asetosal initial dose 160 mg tab
- Clopidogrel 300 mg jika tersedia
- Rujuk RSUD Klungkung untuk terapi reperfusi segera dalam < 60 menit dan
tatalaksana lanjutan.
- Monitoring Keluhan, Vital Sign, EKG.
IV. KIE
- Menjelaskan kepada pasien & keluarga mengenai kondisi penyakit saat ini dan penting
nya terapi reperfusi segera.
- Menjelaskan kepada pasien penyebab dan faktor resiko penyakit pasien
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu kegawatan kardiovaskular yang


berpotensi fatal. Diagnosis harus ditegakkan secara cepat dan tepat untuk mencegah
mortalitas dan morbiditas, meliputi anamnesis nyeri dada tipikal, pemeriksaan EKG,
dan pemeriksaan penanda jantung. Terapi awal SKA meliputi : suplementasi O2,
aspirin, klopidogrel, nitrat, dan morfin untuk mengurangi nyeri (jika tidak ada
kontraindikasi), dan terapi reperfusi definitif, baik dengan fibrinolisis maupun dengan
terapi invasif (PCI).
DAFTAR PUSTAKA

1. Boyle AJ, Jaffe AS. Acute myocardial infarction. In: Crawford MH, editor.
Current diagnosis & treatment cardiology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill;
2009 .p. 51-72 2.
2. Goldstein J. Pathophysiology and management of right heart ischemia. J Am Coll
Cardiol. 2002;40:841-53 3.
3. ESC Guideline for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. Europe Heart Journal 2012;33:2569-619 4.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman tatalaksana
sindrom koroner akut. PERKI. 2015;3:43-70 5.
5. Third degree heart block [Internet]. 2017. Available from:
http//www.emedicine.medscape.com/article/758454.htm.
6. Braunwalds E, Lilly LS. Heart disease-review and assessment. 10th ed. Elsevier:
2016 .p. 1:49 7.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Buku panduan kursus
bantuan hidup lanjut (ACLS) Indonesia. FKK UMJ: 2015 .p. 41-74
8. Kahn JK, Bernstein M, Bengtson JR. Isolated right ventricular myocardial
infarction. Ann Intern Med. 2013;118:708-11 9.
9. Love JC, Haffajee CI, Gore JM, Alpert JS. Reversibility of hypotension and shock
by atrial or atrioventricular sequential pacing in patient with right ventricular
infarction. Am Heart J. 2014;108:5-13 11.
10. Erhardt LR, Sjogren A, Wahlberg I. Single right-sided precordial lead in the
diagnosis of right ventricular involvement in inferior myocardial infarction. Am
Heart J. 2006;91:571-6

Anda mungkin juga menyukai