F7 Ronni
F7 Ronni
PENDAHULUAN
Masalah kematian ibu merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar di dunia,
terutama di negara berkembang. Kehamilan yang memiliki risiko tinggi merupakan salah satu
penyebab besarnya angka kematian ibu. Kehamilan risiko tinggi merupakan kehamilan yang
memiliki risiko mengancam hidup dan/atau kesehatan ibu maupun janin. Kehamilan risiko
tinggi yang tak terdeteksi dan terlambat dirujuk seringkali menyebabkan kematian. Penyebab
terbanyak kematian ibu karena kehamilan risiko tinggi adalah perdarahan, terutama karena
abortus. Pada tahun 1996, WHO menyatakan bahwa sekitar 585.000 ibu meninggal saat
hamil atau bersalin tiap tahunnya. Data WHO juga menyebutkan bahwa pada tahun 2010
angka kematian ibu yang tertinggi di dunia secara berurutan dimiliki oleh Nepal, yaitu 865
per 100.000 kelahiran hidup, Bhutan (710 per 100.000 kelahiran hidup), dan India (630 per
100.000 kelahiran hidup). WHO memperkirakan abortus menjadi penyebab dari sekitar 15-
20% kasus kematian ibu. Kurang lebih 20 juta kasus abortus terjadi di dunia tiap tahunnya.
Lebih dari 50% kematian ibu di negara berkembang sebenarnya dapat dicegah dengan
teknologi sekarang dan biaya rendah (Prawirohardjo, 2006).
Di Indonesia, angka kematian ibu masih cukup tinggi dan menjadi salah satu masalah
kesehatan besar. Penelitian menunjukkan bahwa angka kematian ibu di Indonesia menempati
urutan teratas jika dibandingkan dengan negara ASEAN lain (BKKBN, 2013). Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan bahwa angka kematian ibu dari
tahun 1994 hingga tahun 2012 menunjukkan tren fluktuatif, dengan angka kematian tahun
1994 adalah 390 per 100.000 kelahiran hidup, lalu menurun hingga 228 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2007, dan naik menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2012. Jika dibandingkan dengan negara lain, angka kematian ibu Indonesia 15 kali lipat
dari Malaysia, 10 kali lipat dari Thailand, dan 5 kali lipat dari Filipina (Prawirohardjo, 2006).
Angka kejadian abortus di Asia Tenggara adalah 4,2 juta per tahunnya, sedangkan di
Indonesia sendiri tiap tahunnya abortus muncul pada 10-15% dari 6 juta kehamilan
(Dwilaksana, 2010).
Angka kematian ibu di Indonesia yang tinggi menjadikan upaya penurunan angka
kematian ibu sebagai salah satu program prioritas pemerintah. Program tersebut meliputi
1
keluarga berencana, antenatal care, persalinan dan penanganan masa nifas bersih, dan
persalinan oleh tenaga kesehatan. Tetapi program ini masih belum memiliki dampak dan
kualitas yang baik. Angka kematian yang ada masih tinggi dan kemungkinan disebabkan oleh
tiga hal: 1) rendahnya pengetahuan mengenai sebab akibat dan penanganan komplikasi
kehamilan, persalinan, dan nifas; 2) rendahnya pengertian mengenai kesehatan reproduksi;
3) kurang meratanya pelayanan kesehatan yang baik bagi ibu hamil (Prawirohardjo, 2009).
Salah satu faktor yang mendukung tingginya angka kematian tersebut adalah kurangnya
pengetahuan ibu mengenai komplikasi kehamilan. Kurangnya pengetahuan ini menyebabkan
ibu kurang waspada terhadap faktor risiko. Faktor penyebab langsung kematian ibu selain
perdarahan misalnya infeksi dan eklampsia, sedangkan penyebab tak langsung contohnya
anemia dan kurang energi kronis (KEK). Tahun 1995, angka kejadian anemia pada ibu hamil
adalah 51% dan risiko KEK pada ibu hamil (lingkar/lengan atas kurang dari 23,5 cm) adalah
30%. Faktor-faktor tersebut dapat segera ditangani jika segera terdeteksi, sehingga kemudian
dapat mengurangi angka kematian ibu. Salah satu cara untuk dapat mendeteksi faktor-faktor
tersebut adalah dengan melakukan skrining pada antenatal care, yang meliputi kunjungan ibu
hamil pertama hingga keempat (K1-K4) ke tenaga kesehatan. Tetapi, program skrining ini di
Indonesia cakupannya masih kurang. Contohnya, cakupan K4 nasional tercatat hanya
86,85%, dengan target nasional harus mencapai 95% (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Dinas Kesehatan Jawa Timur juga mencatat bahwa cakupan K4 provinsi Jawa Timur pada
tahun 2012 hanya 84,38%, padahal target pada tahun itu adalah 92%.
Tingginya AKI antara lain disebabkan karena ketidakberdayaan seorang ibu dalam
memutuskan untuk mendapatkan pertolongan tenaga kesehatan apabila terjadi permasalahan
pada masa kehamilan, persalinan dan nifas. Hal ini antara lain disebabkan oleh rendahnya
pengetahuan ibu dalam perawatan kesehatan ibu serta pengenalan tanda tanda bahaya
kehamilan, persalinan dan nifas, sehingga akan menghambat suatu keputusan yang diambil.
2
Beberapa pencapaian indicator keberhasilan program Puskesmas Tegalampel tahun
2016 antara lain : K1 sudah mencapai 106.1% tetapi K4 masih mencapai 83.6%, persalinan
oleh tenaga kesehatan mencapai 85,9 %, nifas paripurna mencapai 94.3%.
1. Masih rendahnya pengetahuan ibu hamil di Desa Tanggulangin dan Klabang Agung,
Kecamatan Tegalampel , Kabupaten Bondowoso mengenai kehamilan risiko tinggi.
2. Rendahnya kesadaran ibu untuk mengikuti program untuk ibu hamil yang diadakan rutin
di Polindes setiap bulan sehingga pencegahan dan penanganan komplikasi kehamilan
risiko tinggi belum efektif.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kehamilan resiko tinggi, menilai dan
meningkatkan pengetahuan serta kesadaran ibu mengenai kehamilan risiko tinggi di Desa
Tanggulangin dan Klabang Agung, Kecamatan Tegalampel, Kabupaten Bondowoso,
sehingga diharapkan ibu akan memperoleh pemeriksaan dan penanganan secepatnya untuk
menekan angka kematian ibu maupun janin.
1. Bagi penulis: dapat digunakan sebagai media menerapkan ilmu pengetahuan yang dimiliki
untuk mengembangkan pengetahuan masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan
mereka, serta menambah pengetahuan dan pengalaman penulis.
2. Bagi Puskesmas: dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam merencanakan program
untuk menurunkan angka kematian ibu dan janin serta mempermudah deteksi serta
penanganan pasien yang berisiko mengalami kematian tersebut.
3. Bagi masyarakat: dapat digunakan sebagai sarana untuk menilai dan meningkatkan
pengetahuan serta kesadaran mengenai kehamilan risiko tinggi, dan juga untuk mendeteksi
3
apakah ada yang mengalaminya, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kehamilan
Kehamilan adalah kondisi seorang ibu dengan perkembangan janin di dalam rahimnya.
Kehamilan merupakan proses yang fisiologis pada wanita dan akan menimbulkan berbagai
perubahan dan rasa tidak nyaman yang normal terjadi. Karena setiap kehamilan memiliki
risiko, maka ibu harus dipersiapkan secara matang. Pada umumnya 80-90% kehamilan akan
berlangsung normal dan hanya 10-12% kehamilan yang disertai dengan penyulit atau
berkembang menjadi kehamilan patologis (Prawirohardjo, 2008).
Kehamilan terbagi menjadi tiga triwulan atau trimester, yaitu trimester pertama, kedua,
dan ketiga. Trimester pertama memiliki resiko keguguran atau abortus (kematian janin) yang
tinggi, sedangkan pada trimester kedua perkembangan janin mulai dapat dideteksi dan dicari
apakah ada kelainan atau tidak. Hingga trimester kedua ini, atau tepatnya usia kehamilan 22
minggu, jika terjadi keguguran atau kematian janin maka disebut terjadi abortus. Selain itu
abortus dapat juga didefinisikan sebagai berakhirnya kehamilan sebelum janin mencapai
berat 500 gram atau janin belum dapat hidup di luar kandungan (belum viabel)
(Prawirohardjo, 2008). Trimester ketiga biasa dianggap sebagai awal viabilitas janin, yang
berarti janin dapat hidup jika kelahiran terjadi di fase ini. Berdasarkan lamanya, kehamilan
juga terbagi menjadi beberapa jenis,.yaitu imatur (kurang dari 28 minggu), prematur (28-36
minggu disertai berat badan lahir rendah), aterm/cukup umur (37-42 minggu), dan post matur
(lebih dari 42 minggu). Berat badan bayi saat lahir normalnya adalah 2500-4000 gram,
dengan berat badan antara 1500-2500 gram disebut berat badan lahir rendah, berat badan
1000-1500 gram disebut berat badan lahir sangat rendah, dan berat badan kurang dari 1000
gram disebut berat badan lahir amat sangat rendah (WHO, 2003).
5
kehamilan ibu sehingga dapat menentukan langkah yang tepat setelahnya. Skor ini dihitung
tiap kunjungan, jadi idealnya dilakukan minimal empat kali. Poin-poin dari sistem skor
tersebut adalah sebagai berikut (Rochjati, 2003).
6
- Riwayat cacat bawaan pada bayi memiliki risiko terjadi berulang, maka sebelum
kehamilan selanjutnya sebaiknya dilakukan analisis genetik
- Bayi lahir mati atau lahir hidup dengan selanjutnya terjadi kematian dalam
jangka waktu 7 hari setelah kelahirannya.
10. Pernah melahirkan dengan:
a. tang/vakum,
b. uri dirogoh,
c. infus/transfusi.
11. Pernah operasi seksio sesaria: rentan terjadi ruptur uteri jika dilakukan persalinan
pervaginam.
Masing-masing poin skornya 4, kecuali riwayat operasi seksio sesaria skornya 8
7
2. Keracunan kehamilan/preeklampsia: tungkai dan muka bengkak, tekanan darah
tinggi, albumin di urin. Dapat mengancam keselamatan jiwa ibu dan janin.
3. Hamil kembar (perut sangat besar, gerakan di banyak tempat): dapat disertai cacat
kongenital, mudah terjadi preeklampsia/eklampsia, anemia, prematuritas, solusio
plasenta, ruptur uteri, dan menyebabkan perlu dilakukan seksio sesaria.
4. Hidramnion atau kembar air (air ketuban >2 liter, perut sangat besar, gerakan kurang
terasa): menekan diafragma sehingga mengganggu pernapasan, risiko tinggi cacat
bawaan dan prematuritas.
5. Janin mati di kandungan: disebabkan karena berbagai penyakit baik dari ibu maupun
janin seperti diabetes, tekanan darah tinggi, penggunaan obat sembarangan, dan
cacat bawaan janin. Dapat menimbulkan bahaya pada ibu karena jika janin sudah
mati lebih dari 4 minggu substansi dari janin yang sudah mati tersebut dapat
memasuki aliran darah ibu dan menimbulkan penyakit seperti gangguan pembekuan
darah.
6. Kehamilan lebih bulan: kehamilan di atas 42 minggu, kemungkinan kematian janin 3
kali lebih besar karena fungsi plasenta sudah menurun, berat badan lahir berisiko
rendah.
7. Letak sungsang atau lintang: biasanya dideteksi pada minggu 36 atau lebih.
Beberapa kehamilan sungsang meskipun dapat lahir secara pervaginam memiliki
banyak risiko seperti ketuban pecah dini, robekan jalan lahir besar, partus lama,
infeksi, dan bayi berisiko asfiksia. Letak lintang dapat menyebabkan ruptur uteri,
infeksi, hipoksia janin, dan ketuban pecah dini, dan meskipun dapat dilahirkan
pervaginam dengan versi dan ekstraksi, kebanyakan memerlukan persalinan
perabdominal dengan seksio sesaria.
Masing-masing skornya 4, kecuali letak sungsang/lintang skornya 8
8
sebelumnya. Kejang pada eklampsia dapat mengancam keselamatan ibu dan janin
karena asfiksia.
Masing-masing skornya 8
Skor yang telah didapat tadi kemudian dijumlah, dan hasil akhirnya diinterpretasikan
dengan tabel berikut.
Pencegahan komplikasi pada ibu hamil harus dilakukan sedini mungkin untuk
menghindari keadaan yang mengancam ibu dan janin. Di sini harus dilakukan skrining
berupa antenatal care yang dilakukan rutin. Pemeriksaan ini harus dilakukan dengan
mengajak diskusi tidak hanya ibu hamil saja, tetapi dengan keluarga juga untuk membahas
mengenai persiapan kelahiran, pengambilan keputusan, persiapan mental, persiapan biaya,
dan transportasi agar dapat mematuhi rujukan dini berencana/rujukan in utero dan rujukan
tepat waktu. Secara garis besar untuk mencegah kematian, kita harus mencegah 4 terlambat,
yaitu: 1) terlambat mengenali tanda bahaya risiko tinggi; 2) terlambat mengambil keputusan
dalam keluarga; 3) terlambat memperoleh transportasi rujukan; dan 4) terlambat mendapat
penanganan gawat darurat memadai.
Kehamilan risiko tinggi memiliki prognosis yang beragam tergantung pada berat
ringannya penyakit yang dialami ibu. Selain faktor risiko yang dibahas di atas, ada beberapa
9
penyakit lain yang bisa mempengaruhi kehamilan. Misalnya, ibu dengan gangguan hormon
tiroid harus dibantu mengontrol kehamilannya dengan obat agar kadar hormon tetap normal
dan tak mengganggu kehamilan. Beberapa ibu dengan asma bronkial juga dapat mengalami
perburukan saat hamil, sehingga mungkin kelahiran secara operatif diperlukan. Wanita
dengan lupus atau gangguan fungsi ginjal berisiko mengalami perburukan penyakitnya saat
hamil. Janin juga dapat menjadi tidak berkembang hingga terjadi kematian dalam kandungan.
Antenatal care adalah pelayanan kesehatan berkala selama masa kehamilan ibu yang
dilakukan tenaga kesehatan profesional (dokter spesialis kandungan, dokter umum, bidan,
atau perawat) kepada ibu hamil dan janinnya untuk menjamin ibu dapat melalui masa
kehamilan, persalinan, dan nifas dengan baik dan selamat serta melahirkan bayi yang sehat.
Pelayanan ini dilaksanakan sesuai standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar
Pelayanan Kebidanan (SPK). Pelayanan antenatal standar meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus, serta intervensi
umum dan khusus (sesuai resiko yang ditemukan) (Depkes RI, 2010). Tujuan antenatal care
adalah:
Pada tahun 2014, program pelayanan asuhan antenatal diwajibkan mengikuti standar
“14 T” yang meliputi :
10
1. Timbang berat badan (T1): berat badan ditimbang tiap kunjungan. Berat badan
yang naik terlalu besar atau kurang perlu mendapatkan perhatian khusus karena
memungkinkan terjadinya komplikasi. Kenaikan berat badan tidak boleh lebih
dari 0,5 kg/minggu. Jika ditemukan, segera rujuk.
2. Ukur tekanan darah (T2): tekanan darah normal adalah 110/80 – 140/90 mmHg,
bila lebih dari 140/90, waspada preeklampsia.
3. Ukur tinggi fundus uteri (T3)
4. Pemberian tablet Fe sebanyak 90 tablet selama kehamilan (T4): pemberian tablet
320 mg Fe sulfat dan 0,5 mg asam folat untuk semua ibu hamil 1 kali 1 tablet
selama 90 hari. Jumlah tersebut mencukupi kebutuhan tambahan zat besi selama
kehamilan (100 mg). Fe bisa diminum dengan vitamin C, tapi tak boleh diminum
dengan kopi atau teh.
5. Pemberian imunisasi TT (T5): TT1 pada ANC pertama, TT2 4 minggu setelah
TT1 (perlindungan 3 tahun), TT3 6 bulan setelah TT2 (perlindungan 5 tahun),
TT4 1 tahun setelah TT3 (perlindungan 10 tahun), TT5 1 tahun setelah TT4
(perlindungan seumur hidup).
6. Pemeriksaan Hb (T6)
7. Pemeriksaan penyakit menular seksual (T7): misalnya Venereal Diseases Reserch
Laboratory (VDRL) yang merupakan skrining sifilis, penyakit kelamin yang
ditularkan melalui hubungan seksual. Janin yang terinfeksi dapat mengalami
gejala saat lahir atau beberapa bulan setelah lahir.
8. Perawatan payudara, senam payudara, dan pijat tekan payudara (T8).
9. Pemeliharaan kebugaran atau senam ibu hamil (T9).
10. Temu wicara untuk persiapan rujukan (T10).
11. Pemeriksaan protein urin dengan indikasi (T11).
12. Pemeriksaan reduksi urin dengan indikasi (T12).
13. Pemberian terapi kapsul yodium untuk daerah endemis gondok (T13).
14. Pemberian terapi antimalaria untuk daerah endemis malaria (T14).
Periode antenatal meliputi hari pertama haid terakhir (HPHT) sampai permulaan
persalinan sebenarnya, yaitu 280 hari atau 40 minggu atau 9 bulan 7 hari. Setiap ibu hamil
minimal harus melakukan kunjungan kehamilan empat kali selama periode antenatal, yaitu
sebagai berikut (Satrianegara, 2009).
11
1. Satu kunjungan selama trimester pertama (sebelum 14 minggu). Kegiatan yang
dilakukan:
Membina hubungan saling percaya antara tenaga kesehatan dan ibu.
Mendeteksi dan mengatasi masalah.
Memberitahukan hasil pemeriksaan dan usia kehamilan.
Mengajari ibu cara mengatasi ketidaknyamanan.
Mengajari dan mendorong perilaku sehat bagi ibu hamil, nutrisi dan
antisipasi tanda bahaya kehamilan.
Menimbang BB, mengukur TB, imunisasi Tetanus Toksoid, tablet besi.
Mendiskusikan persiapan kelahiran bayi dan kesiapan menghadapi
kegawatdaruratan.
Menjadwalkan kunjungan berikutnya.
Mendokumentasikan pemeriksaan dan asuhan.
2. Satu kunjungan selama trimester kedua (antara 14-28 minggu). Kegiatan sama
seperti kunjungan 1, ditambah menentukan tinggi fundus, kewaspadaan khusus
preeklampsia (tanya tentang gejala preeklampsia, pantau TD, evaluasi edema,
periksa urin untuk melihat proteinuria)
3. Dua kunjungan selama trimester ketiga:
Antara minggu 28-36. Kegiatan sama seperti kunjungan 1, ditambah palpasi
abdominal untuk mengetahui apakah ada kehamilan ganda.
Setelah 36 minggu. Kegiatan sama, ditambah deteksi letak janin dan kondisi
lain serta kontraindikasi untuk bersalin di luar.
4. Bila muncul keluhan, tanda bahaya, atau jika merasa khawatir, ibu dapat
melakukan kunjungan kapan saja.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kunjungan ini, seperti faktor dari tenaga
kesehatan (tingkat pendidikan, pengetahuan, pelatihan yang pernah diikuti, sikap dan
kemampuan dalam edukasi, dan beban kerja) dan faktor dari ibu (pekerjaan, pengetahuan,
pendidikan, sikap keluarga, dan akses ke fasilitas kesehatan). Faktor-faktor inilah yang dapat
diintervensi agar ibu melakukan kunjungan secara rutin sehingga risiko tinggi kehamilan
dapat segera ditangani.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metodologi
Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapat
dari hasil pengisian kuesioner yang dibagikan kepada responden yaitu ibu yang mengikuti
kelas ibu hamil, serta melakukan tanya jawab dengan bidan dan perawat Desa Pucangan.
Data sekunder didapat dari laporan kegiatan bulanan bagian Kesehatan Ibu dan Anak
Puskesmas Kauman. Data yang terkumpul dianalisis untuk menemukan masalah beserta
kemungkinan penyebabnya. Dari sini, ditentukan beberapa alternatif pemecahan masalah
berdasarkan penyebab yang paling mungkin dan menggabungkan berbagai alternatif tersebut,
lalu prioritas pemecahan masalah ditentukan dan rencana kegiatan dibuat.
1. Pengetahuan ibu mengenai kehamilan risiko tinggi: merupakan kemampuan ibu untuk
mengetahui dan memahami tentang risiko kehamilan. Pengetahuan dinilai melalui
pengisian kuesioner yang terdiri dari 22 pertanyaan. Masing-masing pertanyaan diberi
skor 1 jika jawabannya benar, dan diberi skor 0 jika jawabannya salah. Hasil penilaian
tingkat pengetahuan dikelompokkan menjadi tiga dan berupa skala ordinal, dengan
urutan kelompok dari yang paling baik hingga yang paling buruk adalah: a) Baik, dengan
nilai total 16-22; b) Cukup, dengan nilai total 9-15; dan c) Kurang, dengan nilai total <9
13
2. Tingkat risiko: merupakan tingkat risiko kehamilan masing-masing ibu saat ini dan
berupa skala ordinal. Tingkatan ini dinilai melalui kuesioner yang berisi pertanyaan
mengenai faktor risiko kehamilan dan bersumber dari skor Poedji Rochjati yang
diterbitkan tahun 1993. Skor tersebut dijumlah dan totalnya diinterpretasikan menjadi
tiga kelompok, yaitu:
Kelompok
Total Skor Perawatan Rujukan Tempat Penolong
Risiko
14
BAB IV
HASIL
I. Data Geografis
a. Letak Desa
b. Luas Wilayah
Luas wilayah Desa Tanggulangin berdasarkan data statistik tahun 2016 adalah ????
Ha. Jarak Desa Tanggulangin dengan Puskesmas Tegalampel adalah ???? km.
c. Batas Wilayah
15
d. Peta Wilayah
Jumlah Penduduk
No Desa Jumlah
Laki - Laki Perempuan
1. Tanggulangin 1179 1225 2404
2. Klabang Agung 520 442 962
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Desa Tanggulangin dan Klabang Agung tahun 2017??
16
b. Tenaga Peran Serta Masyarakat
Tabel 4.4 Jumlah Tenaga Peran Serta Masyarakat Desa Tanggulangin Tahun 2017??
Dari data yang didapat melalui pemeriksaan terpadu pada ibu hamil ditemukan bahwa
profil responden, hasil skrining kehamilan risiko tinggi, dan hasil penilaian tingkat
pengetahuan ibu mengenai kehamilan risiko tinggi adalah sebagai berikut.
1. Profil Responden
14.29%
28.57%
57.14%
17
Pekerjaan Jumlah Persentase
Swasta 1 7.14%
Tidak bekerja 12 85.72%
Wiraswasta 1 7.14%
7.14% 7.14%
85.72%
50.00% 50.00%
1 >1
18
Usia Kehamilan Jumlah Persentase
14-28 minggu 8 57.14%
28-36 minggu 6 42.86%
37-42 minggu 0 0%
42.86%
57.14%
21.43%
35.71%
42.86%
Gambar 4.7 Grafik Distribusi Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Kehamilan Risiko
Tinggi
19
3. Hasil Skrining Risiko Kehamilan Ibu
7.14%
28.57%
64.29%
20
BAB V
DISKUSI
Dari hasil wawancara dengan bidan dan perawat Polindes Tanggulangin dan Klabang
Agung, ada beberapa ibu hamil yang tidak teratur kontrol sehingga deteksi risiko kehamilan
menjadi sulit. Ibu yang tidak teratur kontrol memiliki beberapa alasan, seperti malu
memeriksakan kehamilannya, ada masalah keuangan dan transportasi. Mereka kadang juga
merasa bahwa jika pada kehamilan sebelumnya tidak pernah ada masalah, maka untuk
kehamilan saat ini tidak perlu periksa jika tidak ada masalah juga. Selain itu, kebanyakan ibu
yang tidak kontrol ke tenaga kesehatan merasa jika tidak ada keluhan yang dirasakan, mereka
tidak perlu diperiksa maupun diberi pengobatan. Bahkan meski sudah ada keluhan, ibu yang
memiliki risiko tinggi cenderung meremehkan keluhan dan menganggap keluhan tersebut
akan hilang sendiri karena kehamilan sebelumnya tidak ada masalah, sehingga tak mau
dirujuk.
Selain beberapa faktor yang telah disebutkan di atas, faktor yang dapat mempengaruhi
keteraturan kontrol ibu ini adalah kualitas tenaga kesehatan, usia, pekerjaan, dan dukungan
keluarga. Di desa ini, dari wawancara diketahui bahwa kualitas tenaga kesehatan
(pengetahuan dan sikap) sudah baik. Fasilitas kesehatan di Polindes juga memadai. Kader
yang ada juga aktif dalam mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan kehamilan. Usia
mempengaruhi sikap dan pola pikir yang didapat dari pengalaman dan pengetahuan.
Pekerjaan ibu sebagai ibu rumah tangga akan memberi lebih banyak waktu untuk
21
mendapatkan informasi mengenai kesehatan ibu dan janin, misalnya dari berdiskusi dengan
orang lain maupun membaca dari sumber tertentu (Ahmad Sudrajat, 2009). Ibu rumah tangga
juga cenderung punya lebih banyak waktu, sehingga memiliki lebih sedikit hambatan untuk
memeriksakan kehamilan. Kebanyakan ibu hamil di Desa Tanggulangin dan Klabang Agung
(12 orang; 85.72%) adalah ibu rumah tangga. Maka, mereka seharusnya dapat lebih aktif
mencari informasi tentang kehamilan risiko tinggi untuk memudahkan pencegahan dan
penanganannya. Penelitian oleh Dwi Sukamti pada tahun 2009 menunjukkan bahwa ada
hubungan antara dukungan keluarga terhadap kepatuhan ANC. Polindes Tanggulangin rutin
mengadakan kelas ibu hamil setiap bulan. Namun, peserta kelas ibu hamil ini seringkali tak
mencakup semua ibu hamil yang ada saat itu, dengan tingkat kehadiran hanya sekitar 90%.
Di sini didapatkan bahwa alasan paling sering dari ibu yang tidak rutin kontrol adalah
kurangnya kepedulian ibu terhadap kesehatan karena kurangnya pengetahuan serta kurangnya
dukungan keluarga, misalnya untuk mengantar ibu kontrol dan menentukan keputusan
rujukan.
Pemecahan masalah yang dapat dilakukan adalah dengan penyuluhan dan edukasi
kepada ibu hamil. Tenaga kesehatan memberi penyuluhan agar ibu akan memiliki kesadaran
yang baik mengenai kehamilan risiko tinggi dan pada akhirnya mendapat penanganan lebih
baik. Isi penyuluhan meliputi waktu ANC yang tepat, manfaat ANC, apa yang diperiksa pada
ANC, bagaimana gaya hidup ibu hamil yang tepat (seperti nutrisi dan kegiatan yang dapat
dilakukan), dan informasi kehamilan resiko tinggi, tanda bahaya (misalnya demam tinggi,
keluar darah dari jalan lahir, muntah hebat, batuk darah, kejang, gerak janin hilang, dan
tungkai bengkak) serta penanganannya. Selain dilakukan penyuluhan, perlu juga dilakukan
konseling dengan mengajak keluarga ibu, terutama suami, untuk berdiskusi. Di samping
membahas beberapa hal tadi, diskusi ini juga membahas mengenai rencana persalinan,
persiapan transportasi dan biaya. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya keterlambatan
dalam mengenali tanda bahaya, dalam mengambil keputusan rujukan, dalam transportasi, dan
dalam penanganan. Dalam penelitian ini, sikap ibu sebelum dilakukan penyuluhan cenderung
tidak begitu peduli akan ANC, kehamilan resiko tinggi, dan penanganan komplikasi. Namun,
sikap ibu saat dan setelah dilakukan penyuluhan cenderung positif. Ini dapat dilihat dengan
adanya proses penyuluhan yang interaktif dan berjalan lancar serta ibu mau belajar hingga
benar-benar mengerti dan mulai memiliki kesadaran untuk kontrol rutin. Ibu dan keluarga
juga mulai menyadari perlunya rujukan saat tenaga kesehatan memutuskan bahwa ibu
memiliki indikasi untuk dirujuk dan siap bekerja sama. Penulis berpendapat bahwa
22
seharusnya tenaga kesehatan lebih banyak dan sering memberikan konseling dan motivasi
tentang kehamilan risiko tinggi agar pengetahuan ibu makin meningkat dan tidak lupa, serta
ibu hamil yang masih baru akan mendapat pengetahuan baru. Petugas kesehatan perlu selalu
mengingatkan kapan ibu hamil harus periksa selanjutnya. Selain penyuluhan dan kelas ibu
hamil, kunjungan rumah untuk pemeriksaan kehamilan gratis bekerja sama dengan tenaga
kesehatan lain juga dapat dilakukan untuk memberi pelayanan bagi ibu yang kesulitan akses
ke fasilitas kesehatan. Profesionalisme tenaga kesehatan juga perlu, karena ibu cenderung
akan kembali memeriksakan kehamilannya ke tempat yang sama jika merasa dihargai,
nyaman, dan mendapat pelayanan kesehatan yang baik Setelah kegiatan ini, ibu hamil
diharapkan lebih aktif berpartisipasi dan memeriksakan kehamilannya secara teratur demi
kesehatan mereka sendiri.
23
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dari hasil skrining dan penilaian pengetahuan ibu mengenai kehamilan risiko tinggi di
Desa Pucangan, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung pada bulan Mei 2017
ditemukan bahwa dari 13 ibu hamil, 5 ibu memiliki kehamilan risiko tinggi dan 1 ibu
memiliki kehamilan risiko sangat tinggi. Pengetahuan ibu hamil tentang kehamilan resiko
tinggi masih belum begitu baik, yaitu 5 responden (38,46%) memiliki pengetahuan baik, 4
responden (30.77%) memiliki pengetahuan cukup, dan 4 responden (30.77%)
pengetahuannya masih kurang. Pemeriksaan kehamilan dan penanganan kehamilan risiko
tinggi masih mengalami beberapa hambatan karena berbagai faktor seperti kurangnya
pengetahuan, kesadaran, akses fasilitas kesehatan, dan dukungan keluarga. Sikap ibu saat dan
setelah dilakukan penyuluhan tentang ANC, kehamilan resiko tinggi, dan penanganan
komplikasi cenderung positif. Ini terlihat dengan adanya proses penyuluhan yang interaktif
dan lancar, serta ibu belajar hingga benar-benar mengerti dan memiliki kesadaran untuk
kontrol rutin. Ibu dan keluarga juga mulai menyadari perlunya rujukan dan siap bekerja sama
saat tenaga kesehatan memutuskan bahwa ibu memiliki indikasi untuk dirujuk.
6.2 Saran
Berdasar kesimpulan yang telah diuraikan di atas, saran untuk petugas kesehatan adalah
diharapkan untuk lebih aktif mengajak ibu hamil untuk periksa kehamilan rutin dan selalu
mengingatkan kapan jadwal periksa selanjutnya. Jika perlu, tenaga kesehatan dapat
melakukan kunjungan rumah bagi ibu yang kesulitan akses fasilitas kesehatan. Tenaga
kesehatan diharapkan dapat memberikan edukasi berkala dan memotivasi ibu hamil agar
memiliki kesadaran pentingnya kontrol rutin sehingga tanda bahaya kehamilan dapat
terdeteksi sedini mungkin. Tenaga kesehatan juga harus menjaga kualitas dan
profesionalisme pelayanan agar minat ibu untuk kontrol meningkat. Ibu hamil diharapkan
lebih aktif dan termotivasi untuk mencari pengetahuan dan memeriksakan kehamilannya.
Peneliti juga berharap untuk dapat terus meningkatkan pemahaman tentang kehamilan risiko
tinggi agar nantinya dapat membantu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
24
DAFTAR PUSTAKA
Dwilaksana AP. 2010. Faktor Ibu yang Berhubungan dengan Kejadian Abortus di RSUD
Banyumas. Universitas Diponegoro.
Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2013. Profil Kesehatan provinsi Jawa Timur Tahun 2012.
Surabaya: Dinas Kesehatan provinsi Jawa Timur.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Data dan Informasi Tahun 2013 (Profil Kesehatan
Indonesia). Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Rochjati P. 2003. Skrining Antenatal pad Ibu Hamil. Pusat Safe Motherhood Lab/SMF
Obgyn RSU Dr. Sutomo
Siringo A. 2012. Pengetahuan Ibu Hamil dan Motivasi Keluarga dalam Pelaksanaan
Antenatal Care di Puskesmas Ujung Batu Riau. Jurnal Keperawatan, Fakultas
Keperawatan, Universitas Sumatera Utara.
Sudrajat A. 2009. Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan Model
Pembelajaran
25
World Health Organization, 2012, World Health Statistic 2012, World Health Organization,
WHO Press, Switzerland.
26
LAMPIRAN
Dokumentasi Kegiatan
27