UAS Kapita Selekta
UAS Kapita Selekta
Pengelolaan lahan basah juga harus diadaptasikan dengan kondisi setempat yang peka
terhadap kultur setempat dan menghargai pemanfaatan secara tradisional. Secara umum,
untuk pengelolaan (perencanaan, implementasi kegiatan, monitoring dan evaluasi) yang
terintegrasi diperlukan kerja sama yang kuat antara pemerintah, swasta, lembaga
penelitian, lembaga pendidikan dan masyarakat setempat.
Pemahaman akan karakteristik ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya yang terdapat di lahan
basah adalah prasyarat utama dalam pengelolaan lahan basah secara bijak dan lestari. Karena itu
dukungan data dan informasi yang memadai dengan kapasitas penyediaan informasi terkini dan
mudah di akses oleh masyarakat mutlak diperlukan.
Pada sekitar tahun 1920-an mulai dilakukan berbagai pembangunan di daerah lahan pasang
surut antara lain pembuatan jalan, transmigrasi dan pembuatan saluran drainase.
Programini ternyata cukup berhasil sehingga mengilhami pemerintah untuk melakukan
pembukaan lahan pasang surut secara besar-besaran dengan dibentuknya Tim Proyek Pembukaan
Persawahan Pasang Surut (P4S). Hal ini membuat wilayah ini mulai dikenal sebagai salah satu
lumbung padi di Indonesia. Bahkan ketika Indonesia menjadi negara swasembada beras ( tahun
1984) ternyata 59.1 % didukung dari hasil padi di lahan pasang surut (Isdijanto Ar-Riza et al.,
1997).
Pemanfaatan lahan pasang surut terutama untuk tanaman padi menghadapi berbagai
kendala. Secara garis besar meliputi, rendahnya kesuburan tanah karena kemasaman tanah yang
tinggi (pH 3,0-4,5), kahat hara makro, adanya ion atau senyawa yang meracun (Al, Fe, SO4) dan
bahan organik yang belum terdekomposisi. Selain itu, keadaan tata airnya yang kurang baik
menjadi faktor pembatas dalam pengelolaannya (Muhammad Noor, 1996). Meskipun dalam
pemanfaatannya menghadapi banyak kendala, namun lahan pasang surut memberi harapan dan
prospek yang baik. Karena potensi lahannya yang sangat luas apabila diusahakan secara intensif
maka dapat meningkatkan produksi padi di masa datang. Selain itu vegetasi alami yang tumbuh di
lahan pasang surut bisa menjadi sumber bahan organik yang aman dalam meningkatkan kesuburan
tanah. pada lahan pasang surut penggunaan pupuk dapat dikurangi sehingga biaya yang
dikeluarkan petani dapat ditekan.
Untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut, pengelolaan air memegang peranan
sangat penting. Pengelolaan air dilakukan dengan memperhatikan kedalaman gambut, tingkat
pelapukan gambut, lapisan bawah gambut (substratum), ada tidaknya bahan pengkayaan, dan
tipe luapan pasang surut. Untuk menanggulangi, mengurangi, dan menghilangkan kemasaman
serta untuk meningkatkan hasil komoditas yang dibudidayakan di lahan sulfat masam,
pengelolaan air didasarkan pada tipologi lahan pasang surut dan tipe luapan. Tipologi lahan
sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, tipologi lahan sulfat masam aktual dengan tipe
luapan B, C, D
Pemanfaatan lahan pasangan surut terutama tipe A dan tipe B yaitu sistem persawahan
karena sistem ini paling tepat dan aman terutama terhadap kendala yang ditimbulkan akibat sifat
fisik dan kimia tanah. Sistem sawah akan membuat tanah tetap dalam keadaan reduksi dan pada
keadaan ini pirit tetap stabil di dalam tanah sehingga tidak membahayakan bagi tanaman padi
(Widjaya-Adhi et al., 1992). Berhubungan dengan sistem ini maka pemilihan varietas yang sesuai,
pengelolaan air dan pemanfaatan vegetasi alami merupakan kunci utama dalam memperoleh hasil
yang optimal.
Kendala dan Upaya Pemanfaatan Lahan Pasang Surut Lahan pasang surut biasanya
dicirikan oleh kombinasi beberapa kendala seperti (Anwarhan dan Sulaiman, 1985):
1. Ph rendah
2. Genangan yang dalam
3. Akumulasi zatzat beracun ( besi dan aluminium)
4. Salinitas tinggi, kekurangan unsur hara
5. Serangan hama dan penyakit
6. Tumbuhnya gulma yang dominan.
3. Sistem garpu
Sistem garpu adalah sistem tata air dirancang dengan saluran-saluran yang dibuat dari
pingir sungai masuk menjorok ke pedalaman berupa saluran navigasi dan saluran primer,
kemudian disusul dengan saluran sekunder yang terdiri atas dua saluran cabang sehingga jaringan
berbentuk menyerupai garpu. Ukuran lebar saluran primer antara 10 m- 20 m . ukuran lebar saluran
sekunder antara 5 m – 10 m (Notohadiprawiro, 1996). Pada setiap ujung saluran sekunder dibuat
kolam yang berukuran luas sekitar 90.000 m2 (300m x 300m) sampai dengan 200.000 m2 (400mx
500 m) dengan kedalaman antara 2,5 m – 3,0 m. Kolam ini berfungsi untuk menampung sementara
unsur dan senyawaberacun pada saat pasang, kemudian diharapkan keluar mengikuti surutnya air.
4. Sistem sisir
Sistem sisir merupakan pengembangan sistem anjir yang dialihkan menjadi satu saluran
utama atau dua saluran primer yang membentuk sejajar sungai. Panjang saluran sekunder
mencapai 10 km. Pada sistem ini dubuat saluran pemberi air dan saluran pembuangan berbeda.
Pada setiap saluran tersier dipasang pintu air yang bersifat otomatis (aeroflapegate). Pintu ini
bekerja secara otomatis mengatur tinggi muka air sesuai pasang dan surut.
C. Potensi vegetasi alami (gulma) lahan pasang surut
Ada berbagai spesies yang tumbuh di lahan pasang berdasrkan hasil inventarisasi gula yang
dijumpai sebanyak 181 spesies yang terdiri dari tiga golongan, yakni golongan rumput, golongn
teki dan golongan berdaun lebar. Gulma ini bukan hanya sebagai tanaman pengganggu bagi
tanaman padi tetapi sangat bermanfaat.
Gulma mampu tumbuh dengan sangat cepat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
organik sumber unsur-unsur hara yang berguna bagi tanaman, seperti Azollae pinata yang mampu
menambat N. Pemanfaatan ini sangat berarti besar dalam usaha menjaga nilai kesuburan tanah..
Teknik pemanfaatanya sudah diterapkan oleh petani, diantaranya ketika penyiangan maka gulma
yang dicabuk dibenamkan kembali kedalam tanah dan cara ini dapat menyuburkan tanah tanpa
memerlukan masukan dari pupuk. Dengan memperhatikan berbagai aspek mulai dari karakteristik,
potensi dan kendala yang dihadapi, maka solusi yang terbaik dalam pemanfaatan lahan pasang
surut untuk meningkatkan produksi padi tanpa harus meniggalkan kaidah pertanian yang
berkesinambungan dengan berwawasan lingkungan. Sehingga di masa yang akan datang lahan
pasang suruttidak menjadi lahan yang terdegradasi dan rusak. Hal yang terpenting adalah lahan
pasang surut mampu memberi hasil dan keuntungan bagi petani.
2. Dalam konteks pengembangan rawa lebak, kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan rawa
lebak ini cukup luas meliputi pemahaman terhadap gejala-gejala alam atau ciri-ciri
alamiah seperti kemunculan bintang dan binatang yang menandakan datangnya musim
hujan/kemarau sehingga petani dapat tepat waktu dalam melakukan kegiatan usaha
taninya serta kebiasaan dalam budidaya pertanian, termasuk perikanan dan peternakan
seperti dalam penyiapan lahan, konservasi air dan tanah, pengelolaan air dan hara,
pemilihan komoditas, perawatan tanaman, pengembalaan dan pemeliharaan ternak (itik,
kerbau rawa), dan upaya pengembangbiakannya yang meskipun masih bersifat
tradisional, merupakan pengetahuan lokal spesifik yang perlu digali dan dikembangkan.
Padi yang cocok ditanam di Sawah Lebak adalah padi jenis lokal (Siam, Putih,
Kemang, Sawah tebakang, Kanyut, Nyonyah, dan Ketak). Padi-padi jenis ini dapat
memberikan hasil 2 – 3 ton GKG (Gabah Kering Giling)/Ha dengan umur 180 hari
(Soerjani et. al, 1987). Produktifitas sawah lebak semakin meningkat dengan
diciptakannya varietas padi khusus sawah lebak yang diberi nama Padi Surung oleh
Balai Penelitian Departemen Pertanian pada tahun 1989. Hasil panen dari Padi
Surung ini bisa mencapai 4 ton GKG/ Ha, itu berarti dua kali lipat dibandingkan
produktifitas padi local.
Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara. Wilayah ini
dihuni oleh sekitar 250.000 jiwa penduduk yang memanfaatkan lahan rawa secara optimal.
Sebagian besar penduduk di lahan lebak bergelut di sektor pertanian secara luas, yaitu
sebagai penangkap ikan, petani hortikultura, padi dan palawija serta beternak itik dan
kerbau. Sebagian lainnya bergerak di sektor perdagangan, kerajinan dan jasa yang hampir
seluruhnya berhubungan erat dengan pemanfaatan sumberdaya lahan lebak.
Pada mulanya wilayah lahan lebak ini hanya dijadikan sebagai tempat tinggal
sementara para penebang kayu dan pencari ikan. Semakin lama komunitasnya semakin
bertambah banyak, sementara kayu yang ditebang mulai berkurang sehingga masyarakat
berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencoba menanam padi dan
mengembangkan berbagai keterampilan. Semakin lama mereka semakin memahami
fenomena lahan rawa sehingga mampu mengembangkan beragam komoditas pertanian.
Dalam berinteraksi dengan alam mereka tidak berupaya untuk menguasai atau
melawannya tetapi berusaha untuk menyesuaikan dengan dinamika lahan rawa. Petani di
lahan lebak umumnya mengusahakan tanaman padi, jagung, kacang tanah, kacang negara,
umbi-umbian, kacang panjang, labu dan semangka. Sebagian juga bekerja sebagai pencari
ikan, baik pada musim basah maupun musim kering. Sebagian lagi memelihara ikan dalam
karamba serta memelihara ternak ayam, itik dan kerbau rawa. Beberapa ibukota
kecamatan di daerah lebak di Kalimantan Selatan dikenal sebagai daerah sentra kerajinan
dan industri kecil. Margasari di Kabupaten Tapin dikenal dengan anyam-anyamannya,
Alabio merupakan daerah kerajinan bordir. Negara dikenal sebagai daerah penghasil alat-
alat pertanian, pertukangan dan suku cadang mesin kapal serta pengrajin ragam perhiasan
logam. Orang Alabio merupakan pedagang yang tekun dan berbakat, mereka menetap dan
mengisi hampir setiap pasar di Kalimantan. Sebagian besar bahkan sukses sebagai
pedagang besar dengan kekayaan yang berlimpah. Pedagang Negara dikenal handal
berlayar berbulan-bulan menyusuri Sungai Barito, Sungai Kapuas dan Sungai Katingan di
Kalimantan Tengah. Mereka menjajakan dagangannya, mendatangi kampung demi
kampung dengan kapal dagangnya.
Usahatani padi yang dikembangkan di lahan rawa sebagian terbesar merupakan
upaya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sebagian besar hanya bertanam sekali setahun
pada musim kering (banih rintak) dan sebagian kecil dapat bertanam dua kali dalam
setahun (banih surung dan banih rintak). Mereka yang bertanam dua kali setahun
umumnya sawahnya berkisar antara 10 – 20 borongan (0,3 – 0,6 ha) dengan produktivitas
sebesar 3,5 ton/ha. Petani di Negara selalu menanam padi rintak setiap tahun sedangkan
padi surung tergantung pada keadaan air. Penanaman padi rintak paling sedikit seluas 0,3
ha sedangkan padi surung paling sedikit setiap keluarga menanam 0,6 ha. Pada daerah yang
dapat ditanami padi sekali dalam setahun, luas tanam setiap keluarga mencapai rata-rata
1 ha permusim dengan produktivitas mencapai 4,2 ton perhektar. Petani di Desa Mentaas
tidak dapat memperluas lahan penanaman jagung karena harus berkompetisi dengan
tanaman padi, walaupun mereka mengetahui tanahnya juga cocok untuk tanaman jagung.
Perluasan lahan pertanian di Desa Mentaas terhambat oleh adanya peternakan kerbau
rawa di sekeliling areal pertanaman mereka. Petani di Desa Pakan Dalam dan Tapus dalam
tidak dapat memperluas areal penanaman padinya karena sempitnya waktu tanam sehingga
mereka kewalahan melakukan penyiangan rumput. Adanya gangguan ekologis akibat
mewabahnya hama keong mas (kalambuai) membuat petani tidak dapat lagi menanam padi
ketika air masih agak dalam, akibatnya begitu air surut padi masih kecil dan tumbuh
bersaing dengan rumput. Setiap habis panen petani akan memperkirakan kebutuhan
konsumsi padi selama satu tahun, termasuk untuk kegiatan keagamaan.
Berdasarkan perkiraan ini mereka akan menyimpan sebagian gabahnya dan
menjual sisanya untuk memenuhi sebagian biaya hidup dan membayar hutang untuk
keperluan pemenuhan input produksi. Kontribusi dari usahatani padi ini tidak terlalu besar
bagi pendapatan rumah tangga petani, walaupun demikian mereka telah merasa aman
apabila mempunyai persediaan padi yang mencukupi untuk kebutuhan selama satu tahun.
Sumbangan pendapatan yang agak besar diperoleh petani dari usahatani palawija dan
hortikultura. Bagi orang Negara, usahatani padi hanya merupakan usaha sampingan.
Sumber pendapatan utama mereka terutama dari bahuma kemarau, yaitu dari usahatani
jagung, labu, semangka, kacang negara, kacang tanah dan ubi. Setiap keluarga
mengusahakan tanaman hortikultura dan palawija ini paling sedikit seluas 1 ha. Tanaman
palawija dan hortikultura kurang berkembang di daerah Mentaas dan Tapus Dalam yang
lahannya agak datar. Dalam hal ini, setiap peningkatan luas tanam palawija dan
hortikultura akan mengurangi luas tanam padi. Beberapa daerah pemukiman juga ada
yang mengandalkan pendapatan rumah tangganya dari usaha penangkapan ikan seperti di
Muning (Negara), Mentaas (Sungai Buluh) dan Tapus Dalam (Sungai Pandan). Pada musim
kemarau mereka lebih mudah melakukan penangkapan tetapi selang waktunya hanya
sebentar.
Pada musim basah mereka dapat melakukan penangkapan setiap hari, baik siang
maupun malam. Apabila petani hortikultura dan palawija lebih menyukai musim kering
karena mereka berusaha di darat, petani yang menggantungkan hidupnya dari
penangkapan ikan lebih menyukai berusaha di air. Pada saat air dalam setiap orang mampu
mengumpulkan paling sedikit 10 kg ikan sehari dari perairan umum lahan lebak yang luas.
Pada masa puncak penangkapan, daerah Mentaas mampu menghasilkan ikan hingga 5 ton
ikan sehari. Ikan ini dijual kepada pedagang perantara (pembelantik) di Desa Mentaas,
baik dalam keadaan segar maupun sudah diolah menjadi ikan asin. Pada beberapa daerah
yang dilalui sungai besar, petani memelihara ikan dalam karamba seperti di daerah Danau
Panggang. Ikan yang dipelihara terutama ikan tauman yang tergolong mudah
pemeliharaannya karena dapat memanfaatkan pakan yang tersedia melimpah di lahan
rawa, seperti keong mas (kalambuai) dan ikan-ikan kecil. Sebagian lagi memelihara ternak
itik dan ayam seperti petani di Sungai Pandan dan Telaga Silaba serta memelihara kerbau
rawa seperti petani di Mentaas dan Danau Panggang. Pada saat musim hujan, warga
masyarakat yang bertani di darat sudah tidak mempunyai kesibukan lagi. Biasanya bagi
yang masih muda mereka akan merantau1 ke luar daerah untuk bekerja di berbagai pekerja
industri, tukang dan ada pula yang berdagang atau berkebun. Bagi yang tua tetap tinggal
di desa dan masih bekerja menangkap ikan (maringgi) atau pada industri kecil di desa
seperti membuat gagang sikat, hulu parang dan lain-lain.
Kesimpulan
Lahan rawa lebak merupakan salah satu wilayah pengembangan pertanian masa
depan yang perspektif. Agroekosistem rawa lebak mempunyai sifat, ciri dan watak yang
sangat khas dan unik dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Karakter unik tersebut
antara lain adalah sifat genangan dan tanahnya yang spesifik. Lahan tersebut belum
diusahakan secara maksimal untuk usaha pertanian, padahal dengan menerapkan teknologi
penataan lahan serta pengolahan lahan dan komoditas pertanian secara terpadu, lahan lebak dapat
dijadikan sebagai salah satu andalan sumber pertumbuhan agribisnis dan ketahanan pangan
nasional.
Dalam konteks pengembangan rawa lebak, kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan rawa
lebak ini cukup luas meliputi pemahaman terhadap gejala-gejala alam atau ciri-ciri alamiah seperti
kemunculan bintang dan binatang yang menandakan datangnya musim hujan/kemarau sehingga
petani dapat tepat waktu dalam melakukan kegiatan usaha taninya serta kebiasaan dalam budidaya
pertanian, termasuk perikanan dan peternakan seperti dalam penyiapan lahan, konservasi air dan
tanah, pengelolaan air dan hara, pemilihan komoditas, perawatan tanaman, pengembalaan dan
pemeliharaan ternak (itik, kerbau rawa), dan upaya pengembangbiakannya yang meskipun masih
bersifat tradisional, merupakan pengetahuan lokal spesifik yang perlu digali dan dikembangkan.