Anda di halaman 1dari 10

Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa shalat dilakukan jika terjadi gerhana yang piringan

dua benda langit tampak berkurang atau tidak utuh atau hilang seluruhnya,"
Surabaya (ANTARA News) - Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur menyatakan
masyarakat tak disunahkan menunaikan Shalat Gerhana Bulan Penumbra (GBP) yang akan
terjadi pada Rabu malam, 23 Maret 2016.

"Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa shalat dilakukan jika terjadi gerhana yang
piringan dua benda langit tampak berkurang atau tidak utuh atau hilang seluruhnya," ujar Wakil
Ketua PW Muhammadiyah Nadjib Hamid ketika dikonfirmasi di Surabaya, Senin.

Mantan wakil ketua MUI Jatim itu menjelaskan, dalam kasus gerhana bulan penumbra, piringan
bulan tampak utuh, bulat dan tidak tampak terpotong, namun hanya cahaya bulan sedikit redup
hingga terkadang tak bisa membedakannya dengan kondisi tidak gerhana.

Menurut dia, apabila tidak masuk ke dalam umbra, tetapi hanya masuk dalam penumbra maka
piringan bulan akan tetap tampak utuh atau bulat, dan tidak ada bagian yang tampak terpotong.

"Bertitik tolak dari analisis semantik terhadap kata khusuf dan kusuf maka Majelis Tarjih dan
Tajdid berpendapat bahwa Shalat Gerhana dilakukan apabila terjadi gerhana ketika piringan dua
benda langit tampak berkurang atau tidak utuh atau hilang seluruhnya," ucapnya.

Yang perlu dicatat, kata dia, Shalat Gerhana itu dilaksanakan saat melihat secara fisik atau tidak,
yang berarti Shalat Gerhana dilaksanakan karena kawasan mengalami gerhana meskipun tidak
dapat melihatnya dengan mata telanjang karena adanya awan pekat menutupinya.

"Terkait tidak ditunaikannya Shalat Gerhana Bulan Penumbra ini, Majelis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah telah menfatwakannya di Yogyakarta pada Jumat, 18 Maret 2016," kata mantan
komisioner Komisi Pemilihan Umum Jatim tersebut.

Berdasarkan catatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun


Meteorologi Klas I Juanda, gerhana bulan penumbra terjadi saat bulan terbit di ufuk timur dan
terjadi mulai pukul 16.36 WIB, kemudian mencapai puncaknya pukul 18.47 WIB, dan berakhir
pukul 20.57 WIB.

Gerhana Bulan ini terjadi karena karena terhalangnya cahaya matahari oleh bumi sehingga tidak
semua sampai ke bulan, dan selama 2016 akan terjadi sebanyak tiga kali, yaitu pada 23 Maret, 18
Agustus, serta 17 September.

Editor: Tasrief Tarmizi

COPYRIGHT © ANTARA 2016


Shalat Gerhana Ketika Gerhana Bulan
Penumbral
Diposting di Maret 21, 2016

158 Shares

Tanya:

Di kalender Muhammadiyah dinyatakan bahwa pada tanggal 23 Maret yang akan datang akan
terjadi gerhana bulan penumbral. Untuk itu apakah pada gerhana bulan penumbral itu dilakukan
juga shalat gerhana, mohon informasi [Takmir Masjid Al-Jihad PDM Situbondo, Jawa Timur,
12-03-2016]

Jawab:

Terima kasih atas pertanyaannya. Dalam Putusan Tarjih XX di Garut tahun 1976 tentang shalat
Kusufain tidak disebutkan gerhana seperti apa yang disunatkan untuk melakukan shalat gerhana.
Pernyataan Putusan tersebut bersifat umum, yaitu “Apabila terjadi gerhana matahari atau bulan”
[Berita Resmi Muhammadiyah, No. 76 Tahun 1977, h. 4 dan 22].

Dalam Putusan Tarjih XXVII di Malang tahun 2010 tentang Pedoman Hisab Muhammadiyah
diberikan ketentuan shalat gerhana lebih rinci, namun tidak menjelaskan secara tegas tentang
gerhana bulan penumbral apakah juga dilakukan shalat gerhana. Dalam Putusan itu ditegaskan,
“Yang dimaksud dengan gerhana di sini adalah gerhana total (al-kusūf al-kullī), gerhana
sebagian (al-kusūf al-juz’ī), dan gerhana cincin (al-kusūf al-halqī) berdasarkan keumuman kata
gerhana (kusūf)” [Berita Resmi Muhammadiyah, No. 6, 2010-2015 / Ramadhan 1435 H / Juli
2014 M, h. 281]. Pernyataan ini nampaknya lebih tertuju kepada gerhana matahari.

Pada tahun 2010, Majelis Tarjih dan Tajdid mengeluarkan fatwa tentang gerhana. Fatwa tersebut
pada butir 2 menegaskan, “Shalat gerhana matahari hanya dilakukan oleh orang di kawasan yang
sedang mengalami gerhana dan tidak dilakukan oleh orang yang berada di kawasan lain yang
tidak berada dalam bayangan umbra/antumbra/penumbra (tidak mengalami gerhana).
Difatwakan tanggal 08 Januari 2010 M / 22 Muharam 1431 H]. Fatwa ini khusus mengenai
gerhana matahari. Jadi oleh karena itu perlu dilakukan kajian mengenai masalah shalat gerhana
bulan penumbral.

Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu pengertian dan
peristiwa terjadinya gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan. Secara mudah dalam
bahasa sehari-hari gerhana matahari adalah tertutupnya piringan matahari oleh piringan bulan
sebagaimana terlihat dari muka bumi. Tertutupnya piringan matahari itu bisa secara total
sehingga disebut gerhana total, seperti yang terjadi di beberapa kawasan Indonesia pada hari
Rabu, 09-03-2016 baru lalu. Bisa juga piringan matahari itu tertutup sebagian saja sehingga
disebut gerhana matahari sebagian seperti terlihat dari pulau Jawa pada hari Rabu, 09-03-2016
baru lalu. Bisa juga piringan matahari yang tertutup itu hanya bagian tengahnya saja, sementara
bagian pinggir sekeliling piringan itu tidak tertutup, sehingga matahari terlihat seperti cincin
yang melingkar. Ini disebut gerhana cincin. Dalam Putusan Tarjih XXVII tahun 2010 saat
terjadinya ketiga macam gerhana matahari ini disunatkan melakukan shalat gerhana matahari.

Dengan bahasa lain gerhana dapat dijelaskan secara mudah juga, bahwa peristiwa gerhana itu
terjadi apabila suatu benda langit melewati (masuk) dalam bayangan gelap atau bayangan semu
benda langit lain. Perlu diketahui bahwa setiap benda langit di angkasa mempunyai bayang-
bayang yang dihelanya setiap saat dalam orbitnya akibat dari pancaran sinar matahari kepadanya.
Kita mengetahui bahwa semua benda apapun akan memiliki bayang-bayang saat dipancari sinar
matahari, seperti pohon di tengah kebun pada siang hari yang panas ada bayang-bayangnya yang
dimanfaatkan petani sebagai tempat berteduh. Gerhana matahari terjadi ketika bagian tertentu
muka bumi terkena oleh, atau masuk ke dalam, bayang-bayang gelap atau bayang-bayang semu
bulan seperti pada ragaan di bawah ini.

Ragaan 1 (tanpa skala):


Keterangan:

Kawasan bumi yang terkena bayang-bayang umbra mengalami


gerhana matahari total, dan kawasan yang terkena bayang-bayang
penumbra mengalami gerhana matahari sebagian.

Ragaan 2 (tanpa skala):

Keterangan:

Gerhana cincin terjadi ketika umbra tidak mencapai muka bumi, dan yang
menyentuh muka bumi adalah antumbra. Orang yang berada pada kawasan
terkena antumbra mengalami gerhana matahari cincin.
Pada ragaan 1 di atas terlihat bayang-bayang pekat bulan (yang disebut umbra) menyentuh muka
bumi, maka bagian bumi yang tertimpa bayang-bayang pekat (umbra) itu mengalami gerhana
matahari total. Artinya orang yang berada pada kawasan itu akan melihat bahwa seluruh piringan
matahari tertutup oleh piringan bulan. Kemudian ada pula bagian bumi yang terkena bayang-
bayang semu yang disebut penumbra. Bagian bumi yang terkena bayang-bayang semu
(penumbra) itu mengalami gerhana matahari sebagian. Artinya orang yang berada pada kawasan
itu akan melihat piringan matahari tertutup sebagian oleh piringan bulan.

Pada ragaan 2 terlihat ada tiga macam bayang-bayang bulan, yaitu umbra (bayang-bayang
pekat), penumbra (bayang-bayang semu), dan antumbra, yaitu bayang-bayang semu juga tetapi
terletak di ujung bayang-bayang pekat bulan. Pada ragaan tersebut terlihat bahwa umbra tidak
mencapai muka bumi, tetapi tergantung di angkasa. Yang mencapai muka bumi adalah
antumbra. Kawasan yang terkena antumbra itu mengalami gerhana matahari anular (cincin).
Artinya orang yang berada di kawasan itu akan melihat bahwa hanya bagian tengah piringan
matahari tertutup oleh piringan bulan.

Perlu dicatat bahwa bodi bulan jauh lebih kecil dari bodi bumi, sehingga bayang-bayang pekat
bulan tidak dapat menutupi seluruh muka bumi. Hanya sebagian kecil muka bumi saja yang
tertutup oleh umbra (bayang-bayang pekat) sehingga gerhana total hanya merupakan satu
kawasan sempit di muka bumi dengan lebar sekitar 250 km dan bayang-bayang itu berjalan dari
barat ke arah timur. Lebar jejak gerhana total Rabu, 09 Maret 2016 baru lalu di Palembang hanya
114 km. [Lihat buku Hisab Bulan Kamariah, Penerbit Suara Muhammadiyah, 2012 (cet. ke-3),
h. 70]. Bayang-bayang semu (penumbra) juga tidak menutupi seluruh muka bumi, namun
menutupi bagian sangat besar dari muka bumi. Di bawah ini adalah ilustrasi jejak gerhana 2016.

Ragaan 3:
Pada ragaan 3 di sebelah kiri terlihat garis tebal biru bertanda bintang yang melintas di
Indonesia. Garis biru itu adalah jejak gerhana matahari total yang melintasi Indonesia Rabu 09
Maret 2016 lalu. Kemudian terlihat pula kawasan muka bumi yang mengalami gerhana sebagian
yang cukup luas, meliputi sebagian besar benua Australia dan Asia. Perlu dicatat pula bahwa
peristiwa gerhana terjadi pada waktu dan di sekitar saat ijtimak, karena waktu itu posisi bulan
berada di antara matahari dan bumi. Tetapi tidak setiap kali ijtimak terjadi gerhana matahari.
Gerhana hanya terjadi apabila saat ijtimak itu matahari berada dekat dengan titik node.

Mengenai gerhana bulan, dapat dijelaskan bahwa peristiwa tersebut terjadi saat oposisi
(kebalikan ijtimak), yakni saat bulan purnama, karena saat itu bumi berada di antara matahari
dan bulan. Tetapi tidak setiap saat oposisi (istikbal) terjadi gerhana bulan, karena saat oposisi
bumi tidak selalu persis berada pada garis lurus antara titik pusat bulan dan titik pusat matahari.
Hanya apabila menyentuh garis lurus itu terjadi gerhana. Artinya gerhana bulan saat purnama
hanya terjadi apabila garis nodal menunjuk lurus ke arah matahari.

Terjadinya gerhana bulan adalah karena bulan masuk dalam bayang-bayang bumi. Karena bola
bumi lebih besar dari bola bulan, maka dimungkinkan seluruh bodi bulan masuk dalam bayang-
bayang pekat bumi (umbra) sehingga terjadi gerhana bulan total yang teramati dari seluruh muka
bumi, dan dari muka bumi terlihat piringan bulan tertutup oleh bayang-bayang pekat bumi
(angka 8 pada ragaan 4). Atau bisa juga terjadi hanya sebagian bodi bulan yang masuk dalam
bayangan pekat bumi (umbra), sehingga terjadi gerhana bulan sebagian. Dalam kasus ini
piringan bulan terlihat dari muka bumi tidak utuh bulat karena sebagiannya tertutup bayangan
gelap bumi (angka 9 pada ragaan 4). Bahkan bisa juga bodi bulan tidak masuk sama sekali dalam
bayang-bayang pekat bumi (umbra), melainkan hanya masuk seluruhnya dalam bayang-bayang
semu bumi (penumbra) sehingga inilah yang dinamakan gerhana penumbral (angka 7 pada
ragaan 4). Dalam kasus ini, terlihat dari bumi tidak ada bagian piringan bulan yang tertutup oleh
bayang-bayang gelap bumi (umbra). Piringan bulan terlihat utuh (bulat), hanya sedikit redup.
Bisa juga terjadi bahwa bodi bulan hanya sebagian saja yang masuk dalam bayang-bayang semu
bumi (penumbra) sehingga disebut gerhana bulan penumbral sebagian (angka 10 pada ragaan 4).

Ragaan 4 (tanpa skala): Ilustrasi gerhana bulan


Perlu dicatat bahwa dalam perjalanannya mengelilingi bumi, saat gerhana, bulan tidak selalu
melintasi bayang-bayang pekat bumi (umbra), melainkan bisa saja hanya lewat di sampingnya
dalam bayang-bayang semu bumi (penumbra). Dalam kasus ini tidak terjadi gerhana umbral.
Yang terjadi hanya gerhana penumbral saja. Inilah yang akan terjadi pada gerhana bulan tanggal
23 Maret 2016 dan gerhana bulan tanggal 16 September 2016 yang akan datang.

Untuk menambah penjelasan mengenai bagaimana kemungkinan bulan melintas pada bayang-
bayang bumi, dapat dilihat pada ragaan 5.

Ragaan 5: empat kemungkinan bulan melintas pada bayang-bayang bumi.


Pada zaman Nabi saw selama periode Madinah terjadi 4 kali gerhana matahari yang dapat
diamati di Madinah yang semuanya adalah gerhana matahari parsial (sebagian). Sedangkan
gerhana bulan selama periode Madinah terjadi 17 kali: 4 kali total, 7 kali parsial, dan 6 kali
penumbral. Namun dalam hadis, yang banyak mendapat perhatian adalah gerhana matahari. Hal
itu memang demikian sepanjang sejarah peradaban manusia. Gerhana matahari selalu mendapat
perhatian lebih banyak. Hampir tidak ada hadis yang merekam gerhana bulan di zaman Nabi
saw. Dari empat kali gerhana matahari yang dialami di Madinah di zaman Nabi saw, gerhana
terakhir di masa beliau yang terjadi pada hari Senin tanggal 27 Januari 632 Masehi (29 Syawal
10 H) mendapat banyak rekaman dalam hadis-hadis beliau. Hal itu terutama karena pada hari
tersebut putra beliau Ibrahim meninggal dunia pada usia 22 bulan. Lagi pula gerhana itu
merupakan gerhana parsial (sebagian) yang paling maksimal beliau alami. Gerhana ini mulai
pada pukul 07:15:57 Waktu Madinah dan berakhir pukul 09:54:29 Waktu Setempat. Gerhana ini
merupakan gerhana cincin (anular). Hanya saja jejak gerhana cincin ini tidak melewati kota
Madinah, melainkan lewat di selatan Jazirah Arab, sehingga di Madinah dialami gerhana parsial
saja.

Tidak diragukan lagi bahwa Nabi saw melakukan shalat gerhana matahari pada saat gerhana
parsial karena gerhana matahari yang beliau alami di Madinah dan juga di Mekah semuanya
adalah gerhana matahari parsial (sebagian). Gerhana matahari parsial itu dialami oleh kawasan
muka bumi yang masuk ke dalam bayangan semu bulan (penumbra). Bedanya dengan gerhana
bulan penumbral adalah bahwa saat bodi bulan masuk dalam bayangan semu bumi (penumbra)
piringan bulan terlihat dari muka bumi utuh dan bulat, hanya saja cahaya piringan bulan itu
sedikit lebih redup, namun tidak begitu terasa. Jadi tidak ada bagian piringan bulan yang tertutup
yang membuatnya tampak tidak utuh. Piringan bulan baru nampak tertutup apabila bodi bulan
memasuki umbra (bayangan pekat) bumi. Apabila seluruhnya masuk, maka terjadi gerhana total
bulan (lihat angka 8 ragaan 4 dan angka 2 ragaan 5). Apabila hanya sebagian yang masuk, maka
terjadi gerhana parsial atau sebagian (lihat angka 9 ragaan 4 dan angka 3 ragaan 5). Tidak ragu
lagi juga bahwa pada kasus gerhana bulan parsial ini dilakukan shalat gerhana sebagaimana Nabi
saw melakukannya pada shalat gerhana matahari parsial.

Dasar pelaksanaan shalat gerhana matahari dan gerhana bulan adalah hadis Aisyah berikut,

‫ف‬ َّ ‫ص‬َ َ‫سلَّ َم فَخ ََر َج إِلَى ْال َمس ِْج ِد ف‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫س فِى َحيَاةِ النَّبِ ِى‬ ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫ت ال‬ ِ َ‫سف‬
َ ‫ت َخ‬ ْ َ‫سلَّ َم قَال‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫شةَ زَ ْوجِ النَّبِ ِى‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬
‫س ِم َع هللاُ ِل َم ْن‬َ ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ ‫ق‬ ‫م‬
َّ ُ ‫ث‬ ، ً ‫ال‬ ‫ي‬‫و‬ِ ‫ط‬َ ‫ًا‬
‫ع‬ ‫و‬ ُ
‫ك‬ ‫ر‬
ُ ‫ع‬ َ
‫ك‬ ‫ر‬ َ
َ َ َ َّ ‫ف‬ ‫َّر‬ ‫ب‬‫ك‬َ ‫م‬ ُ ‫ث‬ ، ً ‫ة‬ َ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫و‬
ِ َ
‫ط‬ ً ‫ة‬‫ء‬ ‫ا‬ ‫ر‬ ‫ق‬
ِ
َ َ َ َ َ َ ‫م‬ َّ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬ِ ‫ي‬ْ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ُ ‫هللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬ ‫ص‬َ ِ ‫هللا‬ ُ
‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬
ُ ‫ر‬
َ َ َ ‫أ‬ ‫َر‬ ‫ت‬‫ق‬ْ ‫ا‬ َ ‫ف‬ ‫َّر‬
َ ‫ب‬‫ك‬َ َ ‫ف‬ ، ُ ‫ه‬‫ء‬َ َ ‫اس َو‬
‫ا‬ ‫ر‬ ُ َّ‫الن‬
ُ َ ْ ً َ ُ ُ
ُّ َ‫ َوه َو أدْنَى ِمن‬، ‫ ث َّم َكب ََّر َو َر َك َع ُركوعًا ط ِويال‬، ‫ِى أدْنَى ِمنَ ال ِق َرا َءةِ األولى‬ َ ُ ْ َ ً َ َ ً َ َ َ َ َ
ِ‫الركوع‬ َ ‫ ه‬، ‫ َوق َرأ قِ َرا َءة ط ِويلة‬، ْ‫ام َول ْم يَ ْس ُجد‬ َ ‫ فق‬. ُ‫َح ِمدَه‬
‫ت فِى‬ ٍ ‫ فَا ْست َ ْك َم َل أ َ ْربَ َع َر َك َعا‬، َ‫اآلخ َرةِ ِمثْ َل ذَلِك‬ ِ ‫الر ْك َع ِة‬ َّ ‫ ث ُ َّم قَا َل فِى‬، َ‫س َجد‬ َ ‫ ث ُ َّم‬. ُ ‫ َربَّنَا َولَكَ ْال َح ْمد‬، ُ‫س ِم َع هللاُ ِل َم ْن َح ِمدَه‬ َ ‫ ث ُ َّم قَا َل‬، ‫األ َ َّو ِل‬
ِ َ‫ الَ يَ ْخ ِسف‬، ِ‫ت هللا‬
‫ان‬ ِ ‫َان ِم ْن آيَا‬ ِ ‫ام فَأَثْنَى َعلَى هللاِ بِ َما ه َُو أ َ ْهلُهُ ث ُ َّم قَا َل ُه َما آيَت‬ َ َ‫ ث ُ َّم ق‬، ‫ف‬ َ ‫س قَ ْب َل أ َ ْن يَ ْن‬
َ ‫ص ِر‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ َ‫ َوا ْن َجل‬، ‫ت‬ ٍ ‫س َجدَا‬ َ ِ‫أ َ ْربَع‬
‫صالَةِ [رواه البخاري والنسائي وأحمد‬ َ
َّ ‫ فَإِذَا َرأ ْيت ُ ُمو ُه َما فَا ْفزَ عُوا ِإلَى ال‬، ‫ت أ َح ٍد َوالَ ِل َحيَاتِ ِه‬ َ ِ ‫] ِل َم ْو‬.

Dari ‘Ā’isyah, istri Nabi saw, [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Pernah terjadi gerhana matahari
pada masa hidup Nabi saw, lalu beliau keluar ke masjid dan jamaah berdiri bersaf-saf di
belakang beliau. Rasulullah saw bertakbir lalu beliau membaca qiraat yang panjang, kemudian
beliau bertakbir dan rukuk dengan dengan rukuk yang lama. Lalu beliau mengucapkan
sami‘allāhu liman ḥamidah dan berdiri lurus, kemudian tidak sujud, melainkan membaca qiraat
yang panjang, tetapi lebih pendek dari qiraat pertama, kemudian beliau ruku yang lama, tetapi
lebih singkat dari rukuk pertama. Kemudian beliau membaca sami‘allāhu liman ḥamidah,
rabbanā wa lakal-ḥamd. Kemudian beliau sujud. Kemudian pada rakaat kedua (terakhir) beliau
mengucapkan ucapan seperti pada rakaat pertama, sehingga terpenuhi empat rukuk dan empat
sujud. Kemudian sebelum beliau selesai, matahari lepas dari gerhana. Kemudian beliau berdiri
dan mengucapkan tahmid untuk memuji Allah sesuai dengan yang menjadi kepatutan bagi-Nya,
lalu beliau bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah.
Keduanya tidak gerhana karena mati dan hidupnya seseorang. Jika kamu melihat keduanya,
segeralah mengerjakan shalat [HR al-Bukhārī, an-Nasā’ī, dan Aḥmad].

Menurut hadis ini, apabila terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan, maka dilakukan shalat
gerhana. Kata “melihat” dalam hadis di atas tidak diartikan melihat secara fisik, tetapi dimaknai
mengalami, yakni kawasan tempat kita berada tertimpa bayangan gelap (umbra) atau bayangan
semu (penumbra) dalam kasus gerhana matahari, atau tertimpa bayangan gelap (umbra) bulan
dalam kasus gerhana bulan. Jadi walaupun kita tidak melihat gerhana itu secara fisik karena saat
itu hujan lebat misalnya atau keadaan langit berawan tebal yang menghalangi terlihatnya
gerhana, saat itu tetap disunatkan shalat gerhana karena kita sedang mengalaminya, meskipun
tidak melihatnya secara fisik lantaran tertutup awan tebal.

Pertanyaan timbul terkait dengan kasus angka 7 dan 10 pada ragaan 4, atau angka 1 dan 4 pada
ragaan 5, yakni saat gerhana bulan penumbral, baik penumbral total (angka 7 pada ragaan 4, atau
1 pada ragaan 5) maupun penumbral sebagian (angka 10 pada ragaan 4, atau angka 4 pada
ragaan 5), apakah juga dilakukan shalat gerhana? Untuk itu perlu diselidiki makna kata “khusuf”
dan “kusuf” yang digunakan untuk menyebut gerhana dalam hadis. Perlu ditegaskan bahwa
dalam fikih istilah gerhana matahari disebut kusūf dan gerhana bulan disebut khusūf. Namun
dalam hadis tidak ada pengkhususan seperti itu. Dalam hadis kedua kata itu dipakai secara
dipertukarkan, seperti hadis yang dikutip di atas menyebut gerhana matahari khusūf.

Kata “khusūf” secara keseluruhan mengandung makna terbenam, hilang, berkurang,


membolongi, menyobek. Firman Allah fa khasafnā bihi al-arḍa [Q. 28: 81] berarti, “Maka Kami
(Allah) benamkan dia (Karun) dan rumahnya ke dalam bumi.” Kalimat khasafa al-makānu
berarti ‘tempat itu hilang’ (dalam arti tenggelam karena air atau lainnya). Khasafat al-‘ainu
berarti mata buta, yakni gelap dan tidak dapat melihat. Al-Khasīf min as-saḥāb berarti awan
hitam yang mengandung air. Kaitan ini semua dengan gerhana bulan adalah bahwa bulan
terbenam dalam bayang-bayang gelap bumi sehingga hilang dan tidak kelihatan.

Khasafa al-‘aina berarti mencongkel mata, sehingga wajahnya tampak bolong atau ompong
karena biji matanya tidak ada. Khasafa al-bi’ra berarti menggali batu untuk memperdalam
sumur. Artinya membolongi batu dalam sumur guna menambah kedalaman. Khasafa asy-syai’a
berarti membolongi sesuatu, atau memotongnya. Khasafa asy-syai’u berarti sesuatu itu
berkurang (karena ada bagiannya yang hilang atau terpotong). Khasafa al-badanu berarti badan
kurus, artinya berkurang atau hilang sebagian bobotnya. Kaitan ini semua dengan gerhana bulan
adalah bahwa sebagian piringan bulan tampak ompong atau terpotong dan tidak utuh karena
sebagian bola bulan masuk dalam bayang-bayang gelap (umbra) bumi. Jadi kalau begitu khusūf
berarti bahwa piringan bulan hilang terbenam dalam umbra atau hilang sebagian sehingga
tampak piringannya seperti terpotong dan tidak utuh karena sebagiannya masuk dalam umbra
bumi.
Adapun kata “kusūf” berarti menutupi, memotong, atau suram, muram atau berubah warna
muka. Kasafa asy-syai’a berarti gaṭṭāhu artinya menutupi sesuatu. Kasafa aṡ-ṡauba berarti
memotong kain. ‫ كسف الوجه‬berarti wajah muram, warna muka berubah menjadi masam, suram.
Jadi inti makna kusūf adalah tertutup, atau terpotong. Dalam kaitan dengan gerhana berarti
matahari atau bulan tertutup atau piringannya tampak terpotong yang berakibat sinarnya berubah
menjadi suram dan redup.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gerhana yang dalam hadis disebut dengan khusūf
atau kusūf berarti bahwa piringan matahari atau bulan terbenam dan hilang atau
terpotong/ompong dan tampak tidak utuh. Hal itu dalam kasus gerhana matahari terjadi karena
bumi melewati umbra, antumbra atau penumbra. Dalam kasus gerhana bulan, hilangnya piringan
bulan atau tampak terpotong atau ompong dan tidak utuh karena bola bulan masuk dalam umbra.
Apabila tidak masuk ke dalam umbra, tetapi hanya masuk dalam penumbra, piringan bulan akan
tetap tampak utuh (bulat) dan tidak ada bagiannya yang tampak terpotong. Hanya saja cahaya
bulan itu sedikit redup, namun sulit dibedakan dengan tidak gerhana.

Bertitik tolak dari analisis semantik terhadap kata “khusūf” dan “kusūf” di atas, maka Majelis
Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan apabila terjadi gerhana di mana
piringan dua benda langit tampak berkurang atau tidak utuh atau hilang seluruhnya. Perlu dicatat
bahwa shalat gerhana itu dilaksanakan baik kita melihat secara fisik atau tidak lantaran ada awan
tebal misalnya. Artinya shalat gerhana dilaksanakan karena kawasan kita, walaupun kita tidak
dapat melihatnya dengan mata telanjang karena adanya awan pekat yang menutupinya.

Dalam kasus gerhana penumbral, piringan bulan tampak utuh dan bulat, tidak tampak terpotong,
hanya cahaya bulan sedikit redup dan terkadang orang tidak bisa membedakannya dengan tidak
gerhana. Oleh karena itu dalam kasus gerhana bulan penumbral menurut Majelis Tarjih dan
Tajdid tidak disunatkan melakukan shalat gerhana bulan.

[Difatwakan di Yogyakarta pada hari Jumat, 18 Maret 2016 M / 9 Jumadil Akhir 1437 H].

Anda mungkin juga menyukai