Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS

AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Klinik Di Bagian Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:
Dea Karima Purbohadi
20130310152

Diajukan kepada:
dr. Agus Yuha Ahmadu, Sp, PD

Departemen Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta
Rumah Sakit Panembahan Senopati
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN
AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA

Disusun oleh:
Dea Karima Purbohadi
20130310152

Disetujui dan disyahkan pada tanggal:


18 Februari 2019

Mengetahui
Dosen Pembimbing

dr. Agus Yuha Ahmadu, Sp, PD

2
BAB I
PENDAHULUAN

Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA)


merupakan salah satu penyakit otoimun di bagian hematologi. AIHA tergolong
penyakit yang jarang, akan tetapi merupakan penyakit yang penting karena
berpotensi untuk menjadi suatu sindrom yang berat dan dapat menimbulkan
kematian dalam waktu yang singkat.

Insiden AIHA diperkirakan 3 kasus per 100.000 orang pertahun, dengan


prevalensi 17/100.000/tahun. AIHA dapat terjadi primer atau idiopatik, dan dapat
terjadi akibat penyakit lain atau adanya kondisi yang mendasarinya, yang disebut
AIHA sekunder. Kejadian AIHA primer lebih jarang dibandingkan AIHA sekunder
Angka kematian AIHA berkisar antara 20-50%, bergantung kepada penyakit yang
mendasari munculnya penyakit AIHA.

Pada AIHA terjadi pembentukan autoantibodi yang menyelubungi


permukaan eritrosit. Antigen target pada sebagian besar kasus AIHA tipe hangat
adalah protein Rh. Apa yang menyebabkan sistem imun menargetkan protein ini
masih belum diketahui. Salah satu teori menyatakan bahwa pada awal terjadinya
respon imun terhadap antigen asing, terjadi reaksi silang dengan protein Rh dan
sistem imun gagal untuk menekan respon autoreaktif ini.

Berdasarkan suhu optimal untuk autoantibodi mengikat eritrosit, AIHA


dikelompokkan menjadi AIHA tipe hangat, AIHA tipe dingin, dan AIHA tipe
campuran. Pada AIHA tipe hangat, eritrosit dilapisi oleh molekul IgG, sehingga sel
tersebut akan dikenal oleh sistem retikuloendotelial untuk difagositosis oleh
makrofag limfa. Pada AIHA tipe dingin eritrosit diselubungi oleh molekul IgM dan

3
mengaktifkan sistem komplemen pada permukaan eritrosit. Sistem komplenen
dapat teraktivasi secara penuh yang akan menyebabkan terjadinya lisis eritrosit
intravaskular.
Proses pembentukan autoantibodi yang menyebabkan terjadinya AIHA
melibatkan peran yang besar dari sel limfosit B (Sel B). Sel B berasal dari prekursor
stem-cell hematopoetik pada sumsum tulang yang berkembang menjadi sel pro B,
sel pre B, sel B imatur, dan sel B matur. Sel B matur kemudian meninggalkan
sumsum tulang dengan antigen spesifik reseptor sel B (BCR) pada permukaannya.
Sel B mengalami pematangan dalam dua tahap, fase pertama pematangan sel B
bersifatindependent-antigen. Sedangkan fase kedua bersifat dependent-antigen,
yaitu jika BCR pada sel B matur bertemu dengan antigen yang sesuai, sel B akan
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi
imunoglobulin berupa IgM, IgG dan isotope Ig lain (seperti IgG1, IgG2), atau
menjadi sel B memori yang berumur panjang.

Selain berperan pasif dalam memproduksi antibodi sel B juga berperan


sebagai APC yang efisien, mengaktivasi sel T, memediasi kerusakan akibat
otoimun yang independen terhadap antibodi, serta melepaskan molekul
kostimulator dan sitokin (TNF-α, IL-4 dan 10).

4
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Sdr.T
Umur : 63 Th
Jenis Kelamin : Wanita
Pekerjaan : Petani
Alamat : Pundeng Bantul
Agama : Islam
No. RM : 528829
Tanggal Masuk : 4 Juni 2018

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Os mengeluh pusing dan lemas
B. Keluhan Tambahan
Keluhan juga disertai rasa mual
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang rujukan dari RS Rahma Husada ke instalasi gawat darurat RS
Panembahan Senopati sadar diantar oleh keluarganya dengan keluhan
pusing, lemas dan pucat. Selain itu os juga mengeluh mual (+), muntah (-
), Nafsu makan menurun, minum baik. Tanda-tanda perdarahan (-), BAB
dan BAK normal.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat sakit DM (+) dan dispepsia (+)
 Riwayat alergi obat dan alergi makanan disangkal

5
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit DM, Hipertensi, dam
Jantung

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan Umum : Tampak lemas
B. Kesadaran : Compos Mentis
C. Vital Sign : TD = 110/70 mmHg R = 20 kali/menit
Nadi = 96 kali/menit S = 36,70C
D. STATUS GENERALIS
1. Kepala : Simetris, Mesocephal
2. Mata : Conjungtiva Anemis (+│+)
Sklera Ikterik (-│-)
Pupil Bulat Isokor ( 3 mm│3 mm )
Reflek Cahaya (+│+)
Palpebra: tidak edema, Cekung (-|-)
3. Hidung : Discharge (-), normal, tidak terdapat deformitas
4. Telinga : Simetris Kanan Kiri, discharge (-)
5. Mulut : Sianosis (-), lidah kotor (-), tidak kering.
6. Leher : Inspeksi = Trakea terletak di tengah
Palpasi = Perbesaran kelenjar tiroid (-)
Perbesaran kelenjar paratiroid (-)
Perbesaran kelenjar limfe (-)
7. Thorax : Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tak tampak
Palpasi : Ictus Cordis teraba di SIC IV
Perkusi : Redup
Auskultasi : S1 & S2 tunggal, reguler, bising (-)

6
Paru – Paru
Inspeksi : Simetris, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan kiri sama,
Ketinggalan gerak (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru – paru
Auskultasi : Vesikuler (+│+), Ronkhi (-│-),
Wheezing (-│-)
8. Abdomen
Inspeksi : Supel, Distensi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
Perkusi : Timpani (+), Pekak alih (-)
Palpasi : Hepar & Lien tak teraba, Nyeri tekan (-), Massa(-)
9. Ekstremitas : Superior = Akral hangat (+│+), Edema (-│-)
Inferior = Akral hangat (+│+), Edema (-│-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium
1. Darah Lengkap (4 Juni 2018)
Hb :7 [12 - 16] g%
AL : 6,39 [4 - 10] ribu/ul
AE : 2,34 [4 - 5] ribu/ul
AT : 224 [150 - 450] ribu/ul
HMT : 20,5 [36 - 46] %
Eosinofil :0 [2 - 4] %
Basofil :0 [0 - 1] %
Batang :1 [2 - 5] %
Segmen : 74 [51 - 67] %
Limfosit : 17 [20 - 35] %
Monosit :8 [4 - 8] %

7
2. Kimia Darah (4 Juni 2018)
GDS : 176 [<200] mg/dl
Ureum : 40 [17 - 43] mg/dl
Kreatinin : 0,57 [0,6 – 1,1] mg/dl
SGOT : 54 [<31] U/I
SGPT : 76 [<31] U/I
Gol. Darah : B

3. Elektrolit
Natrium : 139,8 [137.0-145.0] mmol/l
Kalium : 3,21 [3.50-5.10] mmol/l
Clorida : 106,3 [98.0-107.0] mmol/l
4. Urine lengkap (4 Juni 2018)
Makroskopis : Konsistensi : Cair [Lunak]
Warna : Coklat [Kuning Coklat]
Lendir : Positif [Negatif]
Darah : Negatif [Negatif]
Pus : Negatif [Negatif]

Mikroskopis : Leukosit : 20-25 [Negatif]


Eritrosit : 2-4 [Negatif]
Telur Cacing : Negatif [Negatif]
Amoeba : Positif [Negatif]
Epitel : Negatif [1+]
Amylum : Negatif [Negatif]
Lemak : Negatif [Negatif]
Serat Tumbuhan : Positif [Positif]
Yeast : Negatif [Negatif]
Bakteri : Positif [Negatif]

8
5. Observasi HB berkala (5 Juni 2018-9 Juni 2018)

Tanggal Hasil HB

5 Juni 2018 6,7 g%

6 Juni 2018 7,1 g%

7 Juni 2018 7,7 g%

8 Juni 2018 8,1 g%

9 Juni 2018 8,3 g%

6. Observasi GDS ( 7 Juni 2018-9 Juni 2018)

Tanggal Hasil GDS

7 Juni 2018 Pagi: 361

8 Juni 2018 Pagi: 172

9 Juni 2018 Siang: 259


Pagi: 122

7. Hasil Coomb Test


Coomb test direct : +3
Coomb test indirect : +1

8. Hasil Rhontgen Thorax


Cor dan Pulmo dalam batas normal

9
V. DIAGNOSIS KERJA
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA), Dispepsia, dan Diabetes Melitus
tipe 2

VI. TERAPI

 Inf NaCl 10 tpm


 Inj. MP 1A/ 8 Jam
 Inj. Omeprazole /12jam
 Inj. Cefotaxim 1A/12 jam
 Sucralfat syrup 3x1
 Asam folat 3x1

FOLLOW UP HARIAN
Tanggal Follow Up Terapi
Os datang rujukan dari RS Rahma  Inf NaCl 10 tpm
Husada ke instalasi gawat darurat RS  Inj. MP 1A/8 jam
 Inj. Omeprazole
Panembahan Senopati sadar diantar oleh
4 Juni 2018 /12jam
keluarganya dengan keluhan pusing lemas  Inj. Cefotaxim 1A/12
dan pucat. Selain itu os juga mengeluh mual jam
(+), muntah. Nafsu makan menurun,  Asam folat 3x1
 Sucralfat syr 3x1
minum baik. Tanda-tanda perdarahan (-),
BAB dan BAK normal. PL : cek UL dan
Coomb Test
KU : Lemas, CM
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 96 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu : 36,70C

10
5 Juni 2018 Os mengeluh lemas, pusing dan masih mual  Inf NaCl 10 tpm
sedikit namun sudah berkurang. Lidah  Inj. MP 1A/8 jam
Hasil UL terasa pait sehingga nafsu makan menurun.  Inj. Omeprazole
Warna :
BAB dan BAK normal, tanda perdarahan /12jam
Kuning
tidak ada.  Inj. Cefotaxim 1A/12
KU : Lemas, CM jam
TD : 100/60 mmHg  Asam folat 3x1
Nadi : 88 kali/menit  Sucralfat syr 3x1
Respirasi : 22 kali/menit
Suhu : 36,60C PL : cek Hb
Hasil Hb

Hb: 6,7

Os mengeluh lemas, pusing dan masih mual  Inf NaCl 10 tpm


sedikit namun sudah berkurang. nafsu  Inj. MP 1A/8 jam
makan sudah meningkat. BAB dan BAK  Inj. Omeprazole
6 Juni 2018 normal, tanda perdarahan tidak ada. /12jam
KU : Sedang, CM  Inj. Cefotaxim 1A/12
Hasil Hb TD : 120/70 mmHg jam
Nadi : 72 kali/menit  Asam folat 3x1
Hb: 7,1 Respirasi : 22 kali/menit  Sucralfat syr 3x1
Suhu : 36,40C
PL : cek Hb dan Tx
Lanjut

Os mengeluh sudah tidak pusing, mual (-),  Inf NaCl 10 tpm


muntah (-), pusing (-), lemas (-)  Inj. MP 1A/8 jam
KU : Sedang, CM  Inj. Omeprazole
7 Juni 2018 TD : 110/70 mmHg /12jam
Hasil Hb
Nadi : 72 kali/menit  Inj. Cefotaxim 1A/12
dan GDS Respirasi : 21 kali/menit jam
Suhu : 36,50C  Asam folat 3x1
Hb: 7,1  Sucralfat syr 3x1
GDS pagi: + Novorapid
361
sleeding scale /6 jam
dan MP 1/2 A/ 8 jam
-> MP 3x62,5mg

11
PL : cek Hb + Gds

Os mengeluh sudah tidak lemas mendingan  Inf NaCl 10 tpm


daripada kemarin, mual (-), muntah (-),  Inj. MP 1A/8 jam
pusing (-), lemas (-)  Inj. Omeprazole
KU : Sedang, CM /12jam
8 Juni 2018 TD : 110/70 mmHg  Inj. Cefotaxim 1A/12
Nadi : 72 kali/menit jam
Hasil Hb Respirasi : 21 kali/menit  Asam folat 3x1
dan GDS Suhu : 36,50C  Sucralfat syr 3x1
Hb: 8,1 + Novorapid
GDS pagi: sleeding scale /6 jam
172 dan MP 1/2 A/ 8 jam
-> MP 3x62,5mg

PL : cek Hb + Gds

Os mengeluh sudah tidak lemas, mual (-),  Inf NaCl 10 tpm


muntah (-), pusing (-).  Inj. MP 1A/8 jam
KU : Sedang, CM  Inj. Omeprazole
9 Juni 2018 TD : 110/70 mmHg /12jam
Nadi : 72 kali/menit  Inj. Cefotaxim 1A/12
Hasil Hb Respirasi : 21 kali/menit jam
dan GDS Suhu : 36,50C  Asam folat 3x1
Hb: 8,3 Pasien dinyatakan boleh pulang  Sucralfat syr 3x1
GDS pagi:  MP 3x32 mg + Novorapid
122 sleeding scale /6 jam
 Novomix 5-0-5
GDS siang: dan MP 1/2 A/ 8 jam
259  GDS premeal
-> MP 3x62,5mg
 Pulang setelah konsul Hb dan GDS
PL : cek Hb + Gds

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Anemia hemolitik adalah anemia yang di sebabkan oleh proses
hemolisis, yaitu pemecahahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum
waktunya (normal umur eritrosit 100-120 hari). Anemia hemolitik adalah
anemia karena hemolisis, kerusakan abnormal sel-sel darah merah (sel
darah merah), baik di dalam pembuluh darah (hemolisis intravaskular) atau
di tempat lain dalam tubuh (extravascular).
Anemia hemolitik merupakan kondisi dimana jumlah sel darah
merah (HB) berada di bawah nilai normal akibat kerusakan (dekstruksi)
pada eritrosit yang lebih cepat dari pada kemampuan sumsum tulang
mengantinya kembali. Jika terjadi hemolisis (pecahnya sel darah merah)
ringan/sedang dan sumsum tulang masih bisa mengompensasinya, anemia
tidak akan terjadi, keadaan ini disebut anemia terkompensasi. Namun jika
terjadi kerusakan berat dan sumsum tulang tidak mampu mengganti keadaan
inilah yang disebut anemia hemolitik. Anemia hemolitik sangat berkaitan
erat dengan umur eritrosit. Pada kondisi normal eritrosit akan tetap hidup
dan berfungsi baik selama 120 hari, sedang pada penderita anemia hemolitik
umur eritrosit hanya beberapa hari saja.
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah suatu kondisi
dimana imunoglobulin atau komponen dari sistem komplemen terikat pada
antigen permukaan sel darah merah dan menyebabkan pengrusakan sel
darah merah melalui Sistem Retikulo Endotelial (SRE). Antibodi yang khas
pada AIHA antara lain IgG, IgM atau IgA dan bekerja pada suhu yang
berbeda-beda. (Lanfredini, 2007).

13
Tapi sebenarnya defenisi dari beberapa referensi diatas sama
yakni karena terbentuknya autoantibody oleh eritrosit sendiri dan akhirnya
menimbulkan hemolisis. Hemolisis yakni pemecahan eritrosit dalam
pembuluh darah sebelum waktunya. Anemia hemolitik autoimun memiliki
banyak penyebab, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik). Kadang-kadang tubuh mengalami gangguan fungsi dan
menghancurkan selnya sendiri karena keliru mengenalinya sebagai bahan
asing (reaksi autoimun), jika suatu reaksi autoimun ditujukan kepada sel
darah merah, akan terjadi anemia hemolitik autoimun
2. Etiologi
a) Faktor Intrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam eritrosit kelainan
karena faktor ini dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1) Gangguan struktur dinding eritrosit
Sferositosis
Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga disebabkan
oleh kelainan membran eritrosit. Kadang-kadang penyakit ini
berlangsung ringan sehingga sukar dikenal. Pada anak gejala
anemianya lebih menyolok daripada dengan ikterusnya, sedangkan
pada orang dewasa sebaliknya. Suatu infeksi yang ringan saja sudah
dapat menimbulkan krisi aplastik.Kelainan radiologis tulang dapat
ditemukan pada anak yang telah lama menderita kelainan ini. Dalam
keadaan normal bentuk eritrosit ini ditemukan kira-kira 15-20%
saja. Penyakit ini diturunkan secara dominan menurut hukum
mendel. Hemolisis biasanya tidak seberat sferositosis. Kadang-
kadang ditemukan kelainan radiologis tulang. Splenektomi biasanya
dapat mengurangi proses hemolisis dari penyakit ini.
A-beta lipropoteinemia
Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk eritrosit yang
menyebabkan umur eritrosit tersebut menjadi pendek. Diduga

14
kelainan bentuk eritrosit tersebut disebabkan oleh kelainan
komposisi lemak pada dinding sel.
2) Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah
pecah, misalnya pada panmielopatia tipe fanconi. Anemia
hemolitik oleh karena kekurangan enzim sbb:
 Definisi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)
 Defisiensi Glutation reduktase
 Defisiensi Glutation
 Defisiensi Piruvatkinase
 Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)
 Defisiensi difosfogliserat mutase
 Defisiensi Heksokinase
 Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehydrogenase
3) Hemoglobinopatia
Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari
hemoglobinnya (95%), kemudian pada perkembangan selanjutnya
konsentrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur satu tahun
telah mencapai keadaan normal Sebenarnya terdapat 2 golongan
besar gangguan pembentukan hemoglobin ini, yaitu:
 Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin
abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-lain .
 Gangguan jumblah (salah satu atau beberapa) rantai globin.
Misal talasemia
b) Faktor Ekstrinsik :
1) Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
2) Akibat reaksi non imunitas : karena bahan kimia / obat.
3) Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh
antibodi yang dibentuk oleh tubuh sendiri.
4) Infeksi, plasmodium, boriella

15
3. Klasifikasi
a) Tipe Hangat
Yaitu hemolitik autoimun yang terjadi pada suhu tubuh optimal
(37 derajat celcius). Anemia Hemolitik Antibodi Hangat adalah suatu
keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap
sel darah merah pada suhu tubuh. Autoantibodi ini melapisi sel darah
merah, yang kemudian dikenalinya sebagai benda asing dan
dihancurkan oleh sel perusak dalam limpa atau kadang dalam hati dan
sumsum tulang. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita. Sepertiga
penderita anemia jenis ini menderita suatu penyakit tertentu
(misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat,
terutama lupus eritematosus sistemik) atau telah mendapatkan obat
tertentu, terutama metildopa.
Gejalanya seringkali lebih buruk daripada yang diperkirakan,
mungkin karena anemianya berkembang sangat cepat. Limpa biasanya
membesar, sehingga bagian perut atas sebelah kiri bisa terasa nyeri atau
tidak nyaman. Pengobatan tergantung dari penyebabnya. Jika
penyebabnya tidak diketahui, diberikan kortikosteroid (misalnya
prednison) dosis tinggi, awalnya melalui intravena, selanjutnya per-oral
(ditelan). Sekitar sepertiga penderita memberikan respon yang baik
terhadap pengobatan tersebut. Penderita lainnya mungkin memerlukan
pembedahan untuk mengangkat limpa, agar limpa berhenti
menghancurkan sel darah merah yang terbungkus oleh autoantibodi.
Pengangkatan limpa berhasil mengendalikan anemia pada sekitar 50%
penderita. Jika pengobatan ini gagal, diberikan obat yang menekan
sistem kekebalan (misalnya siklosporin dan siklofosfamid).
Transfusi darah dapat menyebabkan masalah pada penderita
anemia hemolitik autoimun. Bank darah mengalami kesulitan dalam

16
menemukan darah yang tidak bereaksi terhadap antibodi, dan
transfusinya sendiri dapat merangsang pembentukan lebih banyak lagi
antibodi. Manifestasi klinis: gejala tersamar, gejala2 anemia, timbul
perlahan, menimbulkan demam bahkan ikterik. Jika diperiksa urin pada
umumnya berwarna gelap karena hemoglobinuri. Bisa juga terjadi
splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati. Pemeriksaan Lab:
Coomb’s test direk positif. Prognosis: hanya sedikit yang bisa sembuh
total, sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang kronis namun
terkendali. Survival 70%. Komplikasi bisa terjadi, seperti emboli paru,
infark limpa, dan penyakit kardiovaskuler. Angka kematian 15-25%.
Terapi: (1) pemberian kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari, jika
membaik dalam 2 minggu dosis dikurangi tiap minggu 10-20 mg/hari.
(2) splenektomi, jika terapi kortikosteroid tidak adekuat; (3)
imunosupresi: azatioprin 50-200 mg/hari atau siklofosfamid 50-150
mg/hari; (4) terapi lain: danazol, imunoglobulin; (5) tansfusi jika
kondisinya mengancam jiwa (misal Hb <3mg/dl)
b) Tipe Dingin
Anemia Hemolitik Antibodi Dingin adalah suatu keadaan
dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah
merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin. Anemia jenis
ini dapat berbentuk akut atau kronik. Bentuk yang akut sering terjadi
pada penderita infeksi akut, terutama pneumonia tertentu
atau mononukleosis infeksiosa. Bentuk akut biasanya tidak berlangsung
lama, relatif ringan dan menghilang tanpa pengobatan. Bentuk yang
kronik lebih sering terjadi pada wanita, terutama
penderita rematik atau artritis yang berusia diatas 40 tahun. Bentuk
yang kronik biasanya menetap sepanjang hidup penderita, tetapi
sifatnya ringan dan kalaupun ada, hanya menimbulan sedikit gejala.
Cuaca dingin akan meningkatkan penghancuran sel darah
merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan
dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan dan lengan. Penderita yang

17
tinggal di daerah bercuaca dingin memiliki gejala yang lebih berat
dibandingkan dengan penderita yang tinggal di iklim hangat. Diagnosis
ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi
pada permukaan sel darah merah yang lebih aktif pada suhu yang lebih
rendah dari suhu tubuh. Tidak ada pengobatan khusus, pengobatan
ditujukan untuk mengurangi gejala-gejalanya. Bentuk akut yang
berhubungan dengan infeksi akan membaik degnan sendirinya dan
jarang menyebabkan gejala yang serius. Menghindari cuaca dingin bisa
mengendalikan bentuk yang kronik terjadi pada suhu tubuh dibawah
normal. Antibodi yang memperantarai biasanya adalah IgM. Antibodi
ini akan langsung berikatan dengan eritrosit dan langsung memicu
fagositosis. Manifestasi klinis: gejala kronis, anemia ringan (biasanya
Hb:9-12g/dl), sering dijumpai akrosianosis dan splenomegali.
Pemeriksaan lab: anemia ringan, sferositosis, polikromasia, tes coomb
positif, spesifisitas tinggi untuk antigen tertentu seperti anti-I, anti-Pr,
anti-M dan anti-P. Prognosis:baik, cukup stabil. Terapi hindari udara
dingin, terapi prednison, klorambusil 2-4 mg/hari, dan plasmaferesis
untuk mengurangi antibodi IgM.
4. Patofisiologi

Etiologi dari penghancuran eritrosit prematur adalah beragam dan


dapat disebabkan oleh kondisi seperti membran intrinsik cacat, abnormal
hemoglobin, eritrosit enzimatik cacat, kekebalan penghancuran eritrosit,
mekanis cedera, dan hypersplenism. Hemolisis dikaitkan dengan pelepasan
hemoglobin dan asam laktat dehidrogenase (LDH). Peningkatan bilirubin
tidak langsung dan urobilinogen berasal dari hemoglobin dilepaskan.
Seorang pasien dengan hemolisis ringan mungkin memiliki tingkat
hemoglobin normal jika peningkatan produksi sesuai dengan laju kerusakan
eritrosit. Atau, pasien dengan hemolisis ringan mungkin mengalami anemia
ditandai jika sumsum tulang mereka produksi eritrosit transiently dimatikan
oleh virus (Parvovirus B19) atau infeksi lain, mengakibatkan kehancuran

18
yang tidak dikompensasi eritrosit (aplastic krisis hemolitik, di mana
penurunan eritrosit terjadi di pasien dengan hemolisis berkelanjutan).
Kelainan bentuk tulang tengkorak dan dapat terjadi dengan ditandai
kenaikan hematopoiesis, perluasan tulang pada masa bayi, dan gangguan
anak usia dini seperti anemia sel sabit atau talasemia.
1. .Mekanisme pemecahan eritrosit ektravaskular
Terjadi dalam sel makrofag dan sistem retikuloendotelial
terutama di organ hati, limpa/pankreas dan sumsum tulang.
Pemecahan eritrosit terjadi di dalam sel organ-organ tersebut karena
organ-organ tersebut mengandung enzim heme oxygenase yang
berfungsi sebagai enzim pemecah.
Eritrosit yang lisis akibat kerusakan membran, gangguan
pembentukan hemoglobin dan gangguan metabolisme ini, akan
dipecah menjadi globin dan heme. Globin akan disimpan sebagai
cadangan, sedang heme akan dipecah lagi menjadi besi dan
protoforfirin. Besi disimpan sebagai cadangan. Protoforpirin akan
terurai menjadi gas CO dan bilirubin. Bilirubin dalam darah
berikatan dengan albumin akan membentuk bilirubin indirect
(bilirubin I). Bilirubin indirect yang terkonjugasi di organ hati
menjadi bilirubin direct (bilirubin II). Bilirubin direct diekresikan
(disalurkan) ke empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen
(mempengaruhi warna feses) dan urobilinogen (mempengaruhi
warna urin/air seni).
2. Mekanisme pemecahan eritrosit intravascular
Terjadi dalam sirkulasi darah. Eritrosit yang lisis
melepaskan HB bebas ke dalam plasma. Haptoglobin dan
hemopektin mengikat HB bebas tersebut ke sistem
retikuloendotelial untuk dibersihkan. Dalam kondisi hemolisis berat,
jumlah haptoglobin dan hemopektin mengalami penurunan,
akibatnya Hemoglobin bebas beredar dalam darah
(hemoglobinemia). Pemecahan eritrosit yang berlebihan akan

19
membuat hemoglobin dilepaskan ke dalam plasma. Jumlah
hemoglobin yang tidak terakomodasi seluruhnya oleh sistem
keseimbangan darah itulah yang menyebabkan hemoglobinemia.
Hemoglobin juga dapat melewati glomelurus ginjal sehingga
terjadi hemoglobinuria. Hemoglobin yang terdapat di tubulus ginjal
akan diserap oleh sel-sel epitel, sedang kandungan besi yang
terdapat di dalamnya akan disimpan dalam bentuk hemosiderin. Jika
epitel ini mengalami deskuamasi akan terjadi hemosiderinuria
(hemosiderin hanyut bersama air seni). Hemosiderinuria merupakan
tanda hemolisis intravaskular kronis. Berkurangnya jumlah eritrosit
diperifer juga memicu ginjal mengeluarkan eritropoetin untuk
merangsang eritropoesis di sumsum tulang. Hal ini menyebabkan
terjadinya peningkatan retikulosit (sel eritrosit muda di paksa
matang) sehingga mengakibatkan polikromasia.

20
5. Pathway

21
6. Manifestasi Klinis
Kadang – kadang Hemolosis terjadi secara tiba- tiba dan berat,
menyebabkan krisis hemolotik, yang menyebakan krisis hemolitik yang di
tandai dengan:
a) Demam
b) Mengigil
c) Nyeri punggung dan lambung
d) Perasaan melayang
e) Penurunan tekana darah yang berarti
Secara mikro dapat menunjukan tanda-tanda yang khas yaitu:
a) Perubahan metabolisme bilirubin dan urobilin yang merupakan
hasil pemecahan eritrosit. Peningkatan zat tersebut akan dapat terlihat
pada hasil ekskresi yaitu urin dan feses.2.
b) Hemoglobinemia : adanya hemoglobin dalam plasma yang seharusnya
tidak ada karena hemoglobin terikat pada eritrosit. Pemecahan eritrosit
yang berlebihan akan membuat hemoglobin dilepaskan kedalam
plasma. Jumlah hemoglobin yang tidak dapat diakomodasi seluruhnya
oleh sistem keseimbangan darah akan menyebabkan hemoglobinemia.
c) Masa hidup eritrosit memendek karena penghancuran yang berlebih4.
d) Retikulositosis : produksi eritrosit yang meningkat sebagai kompensasi
banyaknya eritrosit yang hancur sehingga sel muda seperti retikulosit
banyak ditemukan.
Gejala umum pada anemia adalah nilai kadar HB <7g/dl, sedang
gejala hemolisisnya berupa ikterus (kuning) akibat peningkatan kadar
bilirubin indirect dalam darah, pembengkakan limfa (splenomegali),
pembengkakan organ hati (hepatomegali) dan kandung batu empedu
(kholelitiasis). Tanda dan gejala lebih lanjut sangat tergantung pada
penyakit yang menyertai.

22
7. Pemeriksaan Diagnostik
Gambaran penghancuran eritrosit yang meningkat:
a) Bilirubin serum meningkat
b) Urobilinogen urin meningkat, urin kuning pekat
c) Strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam
Gambaran peningkatan produksi eritrosit
a) Retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital
b) hiperplasia eritropoesis sum-sum tulang
Gambaran rusaknya eritrosit:
a) morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom
mikrositer, target cell, sickle cell, sferosit.
b) fragilitas osmosis, otohemolisis
c) umur eritrosit memendek. pemeriksaan terbaik dengan labeling crom.
persentasi aktifikas crom dapat dilihat dan sebanding dengan umur
eritrosit. semakin cepat penurunan aktifikas Cr maka semakin pendek
umur eritrosit
8. Penatalaksanaan
Lebih dari 200 jenis anemia hemolitik ada, dan tiap jenis
memerlukan perawatan khusus.
a) Terapi transfuse
b) Hindari transfusi kecuali jika benar-benar diperlukan, tetapi mereka
mungkin penting bagi pasien dengan angina atau cardiopulmonary
terancam status.
c) Administer dikemas sel darah merah perlahan-lahan untuk menghindari
stres jantung.
d) Pada anemia hemolitik autoimun (AIHA), jenis pencocokan dan
pencocokan silang mungkin sulit. Gunakan paling tidak kompatibel
transfusi darah jika ditandai. Risiko hemolisis akut dari transfusi darah
tinggi, tetapi derajat hemolisis tergantung pada laju infus.. Perlahan-

23
lahan memindahkan darah oleh pemberian unit setengah dikemas sel
darah merah untuk mencegah kehancuran cepat transfusi darah.

24
BAB IV

PEMBAHASAN

Penegakkan diagnosis dimulai dari anamnesis. Pada anamnesis didapatkan


pasien ini datang rujukan dari RS Rahma Husada ke instalasi gawat darurat RS
Panembahan Senopati sadar diantar oleh keluarganya dengan keluhan pusing lemas
dan pucat. Selain itu os juga mengeluh mual (+), muntah (-). Nafsu makan menurun,
minum baik. Tanda-tanda perdarahan (-), BAB dan BAK normal. Untuk
menentukan diagnosis maka dilakukan pemeriksaan tambahan yaitu pemeriksaan
darah rutin pasien, urin lengkap dan Coomb test pada pasien.
Dari hasil pemeriksaan darah rutin, didapatkan adanya penurunan hb yang
merupakan dasar diagnosis dari anemia. Kemudian pada coomb test pasien
ditemukan hasil pemeriksaan direct Coombs test (DCT) yang positif yang berarti
terdapatnya antibodi antieritrosit pada permukaan eritrosit. Penyebabnya adalah
Proses proliferasi dan diferensiasi terjadi pada darah perifer, kelenjar limfe dan
sumsum tulang Antibodi yang terbentuk kemudian akan berikatan dengan antigen
yang terdapat pada permukaan eritrosit. Selanjutnya autoantibodi yang berikatan
dengan antigen pada permukaan eritrosit ini akan menginisiasi penghancuran
eritrosit melalui sistem retikuloendotelial (RES) dan sistem komplemen. Adanya
penghancuran eritrosit ini ditandai dengan terdapatnya penurunan kadar
hemoglobin dan peningkatan persentase retikulosit. Kondisi inilah yang akan
menyebabkan suatu keadaan anemia hemolisis otoimun ((AIHA).

25
BAB V
KESIMPULAN

Penyakit anemia hemolitik otoimun dapat terjadi primer (idiopatik),


maupun sekunder, akibat penyakit otoimun lain seperti SLE, penyakit infeksi, dan
penyakit malignansi seperti CLL. Antigen asing ataupun autoantigen dari eritrosit
akan dikenali oleh sel B dan APC lainnya yaitu makrofag, monosit, dan sel
dendritik. APC akan akan memicu aktivasi dan diferensiasi sel T menjadi sel Th,
Tc atau Treg. Sel Th akan membentuk sitokin yang akan merangsang proliferasi sel
B. Atas pengaruh sel limfosit T, sel limfosit B berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang membentuk dan melepas imunoglobulin atau antibodi
antieritrosit.
Proses proliferasi dan diferensiasi ini terjadi pada darah perifer, kelenjar
limfe dan sumsum tulang Antibodi yang terbentuk kemudian akan berikatan dengan
antigen yang terdapat pada permukaan eritrosit. Terdapatnya antibodi antieritrosit
pada permukaan eritrosit ini ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan direct Coombs
test (DCT) yang positif.
Selanjutnya autoantibodi yang berikatan dengan antigen pada permukaan
eritrosit ini akan menginisiasi penghancuran eritrosit melalui sistem
retikuloendotelial (RES) dan sistem komplemen. Adanya penghancuran eritrosit ini
ditandai dengan terdapatnya penurunan kadar hemoglobin dan peningkatan
persentase retikulosit. Kondisi inilah yang akan menyebabkan suatu keadaan
anemia hemolisis otoimun ((AIHA).

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Mack P, Freedman J. Autoimmune Hemolytic Anemia: A History. Transfus


Med Rev. 2000;14(3):223-33.
2. Parjono E, Widyawati K. Anemia Hemolitik Autoimun. Buku Ajar penyakit.
Jakarta: Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hal.660-2.
3. Petz LD, Allen DW, Kaplan ME. Hemolytic Anemia. Congenital and
acquired. In: Mazza JJ, editor. Manual of Clinical Hematology 2nd ed.
Baltimore: Mc Graw-Hill Medical publishing division; 1998. p.87-114.
4. Dhaliwal G, Cornett PA, Tierney LM. Hemolytic Anemia. Am Fam
Physician. 2004;69: 2599-606.
5. Tefferi A. Anemia in adults: A Contemporary approach to diagnosis. Mayo
Clin Proc. 2003;78(10):1274-80.
6. Pohan HT. Standar Profesi Dokter Spesialis Penyakit Dalam. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam; 2005. hal.1-9.
7. Schreiber AD. Hemolytic Anemias: Autoimmune. In: Goldman L, Ausiello D,
eds. Goldman: Cecil Medicine 21st ed. Philadelphia: W.B. Saunders
Company; 2000. p.877-82.
8. Sokol RJ, Hewitt S, Stamps BK. Autoimmune Hemolysis: an 18-year study of
865 cases reffered to a regional transfusion centre. Br Med J (Clin Res Ed).
1981;282(6281):2023-7.
9. Gehrs BC, Friedberg RC. Autoimmune hemolytic anemia. Am J Hematol.
2002;69(4):258-71.
10. Pusparini, Wirawan R. Anemia Hemolitik Autoimun. Maj Kedok Indon.
2000;50:522-8.

27

Anda mungkin juga menyukai