Disusun oleh:
Dea Karima Purbohadi
20130310152
Diajukan kepada:
dr. Agus Yuha Ahmadu, Sp, PD
1
HALAMAN PENGESAHAN
AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA
Disusun oleh:
Dea Karima Purbohadi
20130310152
Mengetahui
Dosen Pembimbing
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
mengaktifkan sistem komplemen pada permukaan eritrosit. Sistem komplenen
dapat teraktivasi secara penuh yang akan menyebabkan terjadinya lisis eritrosit
intravaskular.
Proses pembentukan autoantibodi yang menyebabkan terjadinya AIHA
melibatkan peran yang besar dari sel limfosit B (Sel B). Sel B berasal dari prekursor
stem-cell hematopoetik pada sumsum tulang yang berkembang menjadi sel pro B,
sel pre B, sel B imatur, dan sel B matur. Sel B matur kemudian meninggalkan
sumsum tulang dengan antigen spesifik reseptor sel B (BCR) pada permukaannya.
Sel B mengalami pematangan dalam dua tahap, fase pertama pematangan sel B
bersifatindependent-antigen. Sedangkan fase kedua bersifat dependent-antigen,
yaitu jika BCR pada sel B matur bertemu dengan antigen yang sesuai, sel B akan
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi
imunoglobulin berupa IgM, IgG dan isotope Ig lain (seperti IgG1, IgG2), atau
menjadi sel B memori yang berumur panjang.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Sdr.T
Umur : 63 Th
Jenis Kelamin : Wanita
Pekerjaan : Petani
Alamat : Pundeng Bantul
Agama : Islam
No. RM : 528829
Tanggal Masuk : 4 Juni 2018
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Os mengeluh pusing dan lemas
B. Keluhan Tambahan
Keluhan juga disertai rasa mual
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang rujukan dari RS Rahma Husada ke instalasi gawat darurat RS
Panembahan Senopati sadar diantar oleh keluarganya dengan keluhan
pusing, lemas dan pucat. Selain itu os juga mengeluh mual (+), muntah (-
), Nafsu makan menurun, minum baik. Tanda-tanda perdarahan (-), BAB
dan BAK normal.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat sakit DM (+) dan dispepsia (+)
Riwayat alergi obat dan alergi makanan disangkal
5
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit DM, Hipertensi, dam
Jantung
6
Paru – Paru
Inspeksi : Simetris, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan kiri sama,
Ketinggalan gerak (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru – paru
Auskultasi : Vesikuler (+│+), Ronkhi (-│-),
Wheezing (-│-)
8. Abdomen
Inspeksi : Supel, Distensi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
Perkusi : Timpani (+), Pekak alih (-)
Palpasi : Hepar & Lien tak teraba, Nyeri tekan (-), Massa(-)
9. Ekstremitas : Superior = Akral hangat (+│+), Edema (-│-)
Inferior = Akral hangat (+│+), Edema (-│-)
7
2. Kimia Darah (4 Juni 2018)
GDS : 176 [<200] mg/dl
Ureum : 40 [17 - 43] mg/dl
Kreatinin : 0,57 [0,6 – 1,1] mg/dl
SGOT : 54 [<31] U/I
SGPT : 76 [<31] U/I
Gol. Darah : B
3. Elektrolit
Natrium : 139,8 [137.0-145.0] mmol/l
Kalium : 3,21 [3.50-5.10] mmol/l
Clorida : 106,3 [98.0-107.0] mmol/l
4. Urine lengkap (4 Juni 2018)
Makroskopis : Konsistensi : Cair [Lunak]
Warna : Coklat [Kuning Coklat]
Lendir : Positif [Negatif]
Darah : Negatif [Negatif]
Pus : Negatif [Negatif]
8
5. Observasi HB berkala (5 Juni 2018-9 Juni 2018)
Tanggal Hasil HB
9
V. DIAGNOSIS KERJA
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA), Dispepsia, dan Diabetes Melitus
tipe 2
VI. TERAPI
FOLLOW UP HARIAN
Tanggal Follow Up Terapi
Os datang rujukan dari RS Rahma Inf NaCl 10 tpm
Husada ke instalasi gawat darurat RS Inj. MP 1A/8 jam
Inj. Omeprazole
Panembahan Senopati sadar diantar oleh
4 Juni 2018 /12jam
keluarganya dengan keluhan pusing lemas Inj. Cefotaxim 1A/12
dan pucat. Selain itu os juga mengeluh mual jam
(+), muntah. Nafsu makan menurun, Asam folat 3x1
Sucralfat syr 3x1
minum baik. Tanda-tanda perdarahan (-),
BAB dan BAK normal. PL : cek UL dan
Coomb Test
KU : Lemas, CM
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 96 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu : 36,70C
10
5 Juni 2018 Os mengeluh lemas, pusing dan masih mual Inf NaCl 10 tpm
sedikit namun sudah berkurang. Lidah Inj. MP 1A/8 jam
Hasil UL terasa pait sehingga nafsu makan menurun. Inj. Omeprazole
Warna :
BAB dan BAK normal, tanda perdarahan /12jam
Kuning
tidak ada. Inj. Cefotaxim 1A/12
KU : Lemas, CM jam
TD : 100/60 mmHg Asam folat 3x1
Nadi : 88 kali/menit Sucralfat syr 3x1
Respirasi : 22 kali/menit
Suhu : 36,60C PL : cek Hb
Hasil Hb
Hb: 6,7
11
PL : cek Hb + Gds
PL : cek Hb + Gds
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Anemia hemolitik adalah anemia yang di sebabkan oleh proses
hemolisis, yaitu pemecahahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum
waktunya (normal umur eritrosit 100-120 hari). Anemia hemolitik adalah
anemia karena hemolisis, kerusakan abnormal sel-sel darah merah (sel
darah merah), baik di dalam pembuluh darah (hemolisis intravaskular) atau
di tempat lain dalam tubuh (extravascular).
Anemia hemolitik merupakan kondisi dimana jumlah sel darah
merah (HB) berada di bawah nilai normal akibat kerusakan (dekstruksi)
pada eritrosit yang lebih cepat dari pada kemampuan sumsum tulang
mengantinya kembali. Jika terjadi hemolisis (pecahnya sel darah merah)
ringan/sedang dan sumsum tulang masih bisa mengompensasinya, anemia
tidak akan terjadi, keadaan ini disebut anemia terkompensasi. Namun jika
terjadi kerusakan berat dan sumsum tulang tidak mampu mengganti keadaan
inilah yang disebut anemia hemolitik. Anemia hemolitik sangat berkaitan
erat dengan umur eritrosit. Pada kondisi normal eritrosit akan tetap hidup
dan berfungsi baik selama 120 hari, sedang pada penderita anemia hemolitik
umur eritrosit hanya beberapa hari saja.
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah suatu kondisi
dimana imunoglobulin atau komponen dari sistem komplemen terikat pada
antigen permukaan sel darah merah dan menyebabkan pengrusakan sel
darah merah melalui Sistem Retikulo Endotelial (SRE). Antibodi yang khas
pada AIHA antara lain IgG, IgM atau IgA dan bekerja pada suhu yang
berbeda-beda. (Lanfredini, 2007).
13
Tapi sebenarnya defenisi dari beberapa referensi diatas sama
yakni karena terbentuknya autoantibody oleh eritrosit sendiri dan akhirnya
menimbulkan hemolisis. Hemolisis yakni pemecahan eritrosit dalam
pembuluh darah sebelum waktunya. Anemia hemolitik autoimun memiliki
banyak penyebab, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik). Kadang-kadang tubuh mengalami gangguan fungsi dan
menghancurkan selnya sendiri karena keliru mengenalinya sebagai bahan
asing (reaksi autoimun), jika suatu reaksi autoimun ditujukan kepada sel
darah merah, akan terjadi anemia hemolitik autoimun
2. Etiologi
a) Faktor Intrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam eritrosit kelainan
karena faktor ini dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1) Gangguan struktur dinding eritrosit
Sferositosis
Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga disebabkan
oleh kelainan membran eritrosit. Kadang-kadang penyakit ini
berlangsung ringan sehingga sukar dikenal. Pada anak gejala
anemianya lebih menyolok daripada dengan ikterusnya, sedangkan
pada orang dewasa sebaliknya. Suatu infeksi yang ringan saja sudah
dapat menimbulkan krisi aplastik.Kelainan radiologis tulang dapat
ditemukan pada anak yang telah lama menderita kelainan ini. Dalam
keadaan normal bentuk eritrosit ini ditemukan kira-kira 15-20%
saja. Penyakit ini diturunkan secara dominan menurut hukum
mendel. Hemolisis biasanya tidak seberat sferositosis. Kadang-
kadang ditemukan kelainan radiologis tulang. Splenektomi biasanya
dapat mengurangi proses hemolisis dari penyakit ini.
A-beta lipropoteinemia
Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk eritrosit yang
menyebabkan umur eritrosit tersebut menjadi pendek. Diduga
14
kelainan bentuk eritrosit tersebut disebabkan oleh kelainan
komposisi lemak pada dinding sel.
2) Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah
pecah, misalnya pada panmielopatia tipe fanconi. Anemia
hemolitik oleh karena kekurangan enzim sbb:
Definisi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)
Defisiensi Glutation reduktase
Defisiensi Glutation
Defisiensi Piruvatkinase
Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)
Defisiensi difosfogliserat mutase
Defisiensi Heksokinase
Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehydrogenase
3) Hemoglobinopatia
Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari
hemoglobinnya (95%), kemudian pada perkembangan selanjutnya
konsentrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur satu tahun
telah mencapai keadaan normal Sebenarnya terdapat 2 golongan
besar gangguan pembentukan hemoglobin ini, yaitu:
Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin
abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-lain .
Gangguan jumblah (salah satu atau beberapa) rantai globin.
Misal talasemia
b) Faktor Ekstrinsik :
1) Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
2) Akibat reaksi non imunitas : karena bahan kimia / obat.
3) Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh
antibodi yang dibentuk oleh tubuh sendiri.
4) Infeksi, plasmodium, boriella
15
3. Klasifikasi
a) Tipe Hangat
Yaitu hemolitik autoimun yang terjadi pada suhu tubuh optimal
(37 derajat celcius). Anemia Hemolitik Antibodi Hangat adalah suatu
keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap
sel darah merah pada suhu tubuh. Autoantibodi ini melapisi sel darah
merah, yang kemudian dikenalinya sebagai benda asing dan
dihancurkan oleh sel perusak dalam limpa atau kadang dalam hati dan
sumsum tulang. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita. Sepertiga
penderita anemia jenis ini menderita suatu penyakit tertentu
(misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat,
terutama lupus eritematosus sistemik) atau telah mendapatkan obat
tertentu, terutama metildopa.
Gejalanya seringkali lebih buruk daripada yang diperkirakan,
mungkin karena anemianya berkembang sangat cepat. Limpa biasanya
membesar, sehingga bagian perut atas sebelah kiri bisa terasa nyeri atau
tidak nyaman. Pengobatan tergantung dari penyebabnya. Jika
penyebabnya tidak diketahui, diberikan kortikosteroid (misalnya
prednison) dosis tinggi, awalnya melalui intravena, selanjutnya per-oral
(ditelan). Sekitar sepertiga penderita memberikan respon yang baik
terhadap pengobatan tersebut. Penderita lainnya mungkin memerlukan
pembedahan untuk mengangkat limpa, agar limpa berhenti
menghancurkan sel darah merah yang terbungkus oleh autoantibodi.
Pengangkatan limpa berhasil mengendalikan anemia pada sekitar 50%
penderita. Jika pengobatan ini gagal, diberikan obat yang menekan
sistem kekebalan (misalnya siklosporin dan siklofosfamid).
Transfusi darah dapat menyebabkan masalah pada penderita
anemia hemolitik autoimun. Bank darah mengalami kesulitan dalam
16
menemukan darah yang tidak bereaksi terhadap antibodi, dan
transfusinya sendiri dapat merangsang pembentukan lebih banyak lagi
antibodi. Manifestasi klinis: gejala tersamar, gejala2 anemia, timbul
perlahan, menimbulkan demam bahkan ikterik. Jika diperiksa urin pada
umumnya berwarna gelap karena hemoglobinuri. Bisa juga terjadi
splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati. Pemeriksaan Lab:
Coomb’s test direk positif. Prognosis: hanya sedikit yang bisa sembuh
total, sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang kronis namun
terkendali. Survival 70%. Komplikasi bisa terjadi, seperti emboli paru,
infark limpa, dan penyakit kardiovaskuler. Angka kematian 15-25%.
Terapi: (1) pemberian kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari, jika
membaik dalam 2 minggu dosis dikurangi tiap minggu 10-20 mg/hari.
(2) splenektomi, jika terapi kortikosteroid tidak adekuat; (3)
imunosupresi: azatioprin 50-200 mg/hari atau siklofosfamid 50-150
mg/hari; (4) terapi lain: danazol, imunoglobulin; (5) tansfusi jika
kondisinya mengancam jiwa (misal Hb <3mg/dl)
b) Tipe Dingin
Anemia Hemolitik Antibodi Dingin adalah suatu keadaan
dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah
merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin. Anemia jenis
ini dapat berbentuk akut atau kronik. Bentuk yang akut sering terjadi
pada penderita infeksi akut, terutama pneumonia tertentu
atau mononukleosis infeksiosa. Bentuk akut biasanya tidak berlangsung
lama, relatif ringan dan menghilang tanpa pengobatan. Bentuk yang
kronik lebih sering terjadi pada wanita, terutama
penderita rematik atau artritis yang berusia diatas 40 tahun. Bentuk
yang kronik biasanya menetap sepanjang hidup penderita, tetapi
sifatnya ringan dan kalaupun ada, hanya menimbulan sedikit gejala.
Cuaca dingin akan meningkatkan penghancuran sel darah
merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan
dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan dan lengan. Penderita yang
17
tinggal di daerah bercuaca dingin memiliki gejala yang lebih berat
dibandingkan dengan penderita yang tinggal di iklim hangat. Diagnosis
ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi
pada permukaan sel darah merah yang lebih aktif pada suhu yang lebih
rendah dari suhu tubuh. Tidak ada pengobatan khusus, pengobatan
ditujukan untuk mengurangi gejala-gejalanya. Bentuk akut yang
berhubungan dengan infeksi akan membaik degnan sendirinya dan
jarang menyebabkan gejala yang serius. Menghindari cuaca dingin bisa
mengendalikan bentuk yang kronik terjadi pada suhu tubuh dibawah
normal. Antibodi yang memperantarai biasanya adalah IgM. Antibodi
ini akan langsung berikatan dengan eritrosit dan langsung memicu
fagositosis. Manifestasi klinis: gejala kronis, anemia ringan (biasanya
Hb:9-12g/dl), sering dijumpai akrosianosis dan splenomegali.
Pemeriksaan lab: anemia ringan, sferositosis, polikromasia, tes coomb
positif, spesifisitas tinggi untuk antigen tertentu seperti anti-I, anti-Pr,
anti-M dan anti-P. Prognosis:baik, cukup stabil. Terapi hindari udara
dingin, terapi prednison, klorambusil 2-4 mg/hari, dan plasmaferesis
untuk mengurangi antibodi IgM.
4. Patofisiologi
18
yang tidak dikompensasi eritrosit (aplastic krisis hemolitik, di mana
penurunan eritrosit terjadi di pasien dengan hemolisis berkelanjutan).
Kelainan bentuk tulang tengkorak dan dapat terjadi dengan ditandai
kenaikan hematopoiesis, perluasan tulang pada masa bayi, dan gangguan
anak usia dini seperti anemia sel sabit atau talasemia.
1. .Mekanisme pemecahan eritrosit ektravaskular
Terjadi dalam sel makrofag dan sistem retikuloendotelial
terutama di organ hati, limpa/pankreas dan sumsum tulang.
Pemecahan eritrosit terjadi di dalam sel organ-organ tersebut karena
organ-organ tersebut mengandung enzim heme oxygenase yang
berfungsi sebagai enzim pemecah.
Eritrosit yang lisis akibat kerusakan membran, gangguan
pembentukan hemoglobin dan gangguan metabolisme ini, akan
dipecah menjadi globin dan heme. Globin akan disimpan sebagai
cadangan, sedang heme akan dipecah lagi menjadi besi dan
protoforfirin. Besi disimpan sebagai cadangan. Protoforpirin akan
terurai menjadi gas CO dan bilirubin. Bilirubin dalam darah
berikatan dengan albumin akan membentuk bilirubin indirect
(bilirubin I). Bilirubin indirect yang terkonjugasi di organ hati
menjadi bilirubin direct (bilirubin II). Bilirubin direct diekresikan
(disalurkan) ke empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen
(mempengaruhi warna feses) dan urobilinogen (mempengaruhi
warna urin/air seni).
2. Mekanisme pemecahan eritrosit intravascular
Terjadi dalam sirkulasi darah. Eritrosit yang lisis
melepaskan HB bebas ke dalam plasma. Haptoglobin dan
hemopektin mengikat HB bebas tersebut ke sistem
retikuloendotelial untuk dibersihkan. Dalam kondisi hemolisis berat,
jumlah haptoglobin dan hemopektin mengalami penurunan,
akibatnya Hemoglobin bebas beredar dalam darah
(hemoglobinemia). Pemecahan eritrosit yang berlebihan akan
19
membuat hemoglobin dilepaskan ke dalam plasma. Jumlah
hemoglobin yang tidak terakomodasi seluruhnya oleh sistem
keseimbangan darah itulah yang menyebabkan hemoglobinemia.
Hemoglobin juga dapat melewati glomelurus ginjal sehingga
terjadi hemoglobinuria. Hemoglobin yang terdapat di tubulus ginjal
akan diserap oleh sel-sel epitel, sedang kandungan besi yang
terdapat di dalamnya akan disimpan dalam bentuk hemosiderin. Jika
epitel ini mengalami deskuamasi akan terjadi hemosiderinuria
(hemosiderin hanyut bersama air seni). Hemosiderinuria merupakan
tanda hemolisis intravaskular kronis. Berkurangnya jumlah eritrosit
diperifer juga memicu ginjal mengeluarkan eritropoetin untuk
merangsang eritropoesis di sumsum tulang. Hal ini menyebabkan
terjadinya peningkatan retikulosit (sel eritrosit muda di paksa
matang) sehingga mengakibatkan polikromasia.
20
5. Pathway
21
6. Manifestasi Klinis
Kadang – kadang Hemolosis terjadi secara tiba- tiba dan berat,
menyebabkan krisis hemolotik, yang menyebakan krisis hemolitik yang di
tandai dengan:
a) Demam
b) Mengigil
c) Nyeri punggung dan lambung
d) Perasaan melayang
e) Penurunan tekana darah yang berarti
Secara mikro dapat menunjukan tanda-tanda yang khas yaitu:
a) Perubahan metabolisme bilirubin dan urobilin yang merupakan
hasil pemecahan eritrosit. Peningkatan zat tersebut akan dapat terlihat
pada hasil ekskresi yaitu urin dan feses.2.
b) Hemoglobinemia : adanya hemoglobin dalam plasma yang seharusnya
tidak ada karena hemoglobin terikat pada eritrosit. Pemecahan eritrosit
yang berlebihan akan membuat hemoglobin dilepaskan kedalam
plasma. Jumlah hemoglobin yang tidak dapat diakomodasi seluruhnya
oleh sistem keseimbangan darah akan menyebabkan hemoglobinemia.
c) Masa hidup eritrosit memendek karena penghancuran yang berlebih4.
d) Retikulositosis : produksi eritrosit yang meningkat sebagai kompensasi
banyaknya eritrosit yang hancur sehingga sel muda seperti retikulosit
banyak ditemukan.
Gejala umum pada anemia adalah nilai kadar HB <7g/dl, sedang
gejala hemolisisnya berupa ikterus (kuning) akibat peningkatan kadar
bilirubin indirect dalam darah, pembengkakan limfa (splenomegali),
pembengkakan organ hati (hepatomegali) dan kandung batu empedu
(kholelitiasis). Tanda dan gejala lebih lanjut sangat tergantung pada
penyakit yang menyertai.
22
7. Pemeriksaan Diagnostik
Gambaran penghancuran eritrosit yang meningkat:
a) Bilirubin serum meningkat
b) Urobilinogen urin meningkat, urin kuning pekat
c) Strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam
Gambaran peningkatan produksi eritrosit
a) Retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital
b) hiperplasia eritropoesis sum-sum tulang
Gambaran rusaknya eritrosit:
a) morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom
mikrositer, target cell, sickle cell, sferosit.
b) fragilitas osmosis, otohemolisis
c) umur eritrosit memendek. pemeriksaan terbaik dengan labeling crom.
persentasi aktifikas crom dapat dilihat dan sebanding dengan umur
eritrosit. semakin cepat penurunan aktifikas Cr maka semakin pendek
umur eritrosit
8. Penatalaksanaan
Lebih dari 200 jenis anemia hemolitik ada, dan tiap jenis
memerlukan perawatan khusus.
a) Terapi transfuse
b) Hindari transfusi kecuali jika benar-benar diperlukan, tetapi mereka
mungkin penting bagi pasien dengan angina atau cardiopulmonary
terancam status.
c) Administer dikemas sel darah merah perlahan-lahan untuk menghindari
stres jantung.
d) Pada anemia hemolitik autoimun (AIHA), jenis pencocokan dan
pencocokan silang mungkin sulit. Gunakan paling tidak kompatibel
transfusi darah jika ditandai. Risiko hemolisis akut dari transfusi darah
tinggi, tetapi derajat hemolisis tergantung pada laju infus.. Perlahan-
23
lahan memindahkan darah oleh pemberian unit setengah dikemas sel
darah merah untuk mencegah kehancuran cepat transfusi darah.
24
BAB IV
PEMBAHASAN
25
BAB V
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
27