Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM INSTRUMENSASI ANALITIK

PENENTUAN KADAR KAFEIN METODE


SPEKTROFOTOMETRI

Disusun untuk memenuhi nilai salah satu mata kuliah praktikum Instrumensasi Analitik
Dosen Pembimbing : Nancy Siti Djenar, Dra., MS.

Disusun oleh :

AHMAD MUHAMMAD 171424002


AISYAH HAURAINA ANDIKARINI 171424003
ANNISA 171424004
AWAYNI HUSNA 171424006

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN


TINGGI
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
JURUSAN TEKNIK KIMIA
PROGRAM STUDI D-IV TEKNIK KIMIA PRODUKSI BERSIH
I. JUDUL PRAKTIKUM : PENENTUAN KADAR KAFEIN SECARA
SPEKTROFOTOMETRI
II. TANGGAL PRAKTIKUM : Kamis, 22 Maret 2018
III. TANGGAL LAPORAN : Kamis, 29 Maret 2018
IV. PEMBIMBING : Nancy Siti Djenar, Dra., Ms.
V. TUJUAN PRAKTIKUM :
1. Dapat menjelaskan prinsip Spektrofotometri Ultra Violet-Sinar Tampak
2. Menentukan konsentrasi analit dalam sampel/cuplikan
VI. LATAR BELAKANG
Warna adalah salah satu kriteria untuk mengidentifikasi suatu obyek. Pada
analisis spektrokimia, spektrum radiasi elektromagnetik digunakan untuk menganalisis
senyawa atau molekul kimia dan mempelajari interaksinya dengan radiasi
elektromegnetik. Menurut Planck, suatu foton memiliki energi tertentu dan dapat
menyebabkan transisi tingkat energi suatu atom atau molekul. Karena setiap atom atau
molekul mempunyai tingkat-tingkat energi yang berbeda, maka transisi perubahan
energinya juga berbeda. Berarti setiap spektrum atom atau molekul mempunyai frekuensi
atau panjang gelombang yang karakterisitik. Sehingga selama analisis, digunakan cahaya
dengan satu panjang gelombang atau pada panjang gelombang maksimum. Interaksi
radiasi dengan atom atau molekul untuk spektroskopi ultra violet dan daerah tampak,
dinyatakan dengan pengukuran absorpsi energi radiasi oleh atom atau molekul yang
bersangkutan. Atom atau molekul yang mengabsorpsi dapat melakukan transisi energi
yang meliputi elektron, π, σ, n dan elektron elektron d dan f.
Transisi yang meliputi elektron , π, σ, n terjadi pada molekul-molekul organik dan
sebagian kecil anion anorganik. Molekul tersebut mengabsorpsi radiasi elektromagnetik
pada daerah ultra violet, yaitu pada daerah panjang gelombang < 380 nm.
Kromofor, merupakan gugus tak jenuh yang dapat menyerap radiasi pada daerah
ultra violet dan daerah sinar tampak, misalnya: gugus yang mempunyai ikatan σ, ikatan
π dan yang mempunyai elektron bebas. Sedangkan Auxokrom adalah, gugus jenuh yang
bila terikat pada kromofor dapat menyebabkan panjang gelombang dan intensitas serapan
maksimum berubah. Ciri auxokrom adalah heteroatom yang terikat langsung pada
kromofor, misalnya: -OCH3, -Cl, - OH dan NH2. Spektra uv-sinar tampak pada umumnya
digunakan utuk mendeteksi konjugasi. Semakin banyak konjugasi dalam suatu molekul
maka akan semakin panjang gelombang serapan maksimumnya.
Contoh,
CH2 = CH-CH = CH2 CH2 = CH – CH = CH – CH = CH2

λmaks 220 nm λmaks 257 nm

Tabel 1 dibawah ini memperlihatkan contoh kromofor senyawa organik yang pada
umumnya mengabsorbsi radiasi ultra violet.

Tabel Kromofor Organik dan Daerah Absorpsinya


Panjang gelombang,
Kromofor
λmaks (nm)
Alkana 177
Alkena 178 - 225
Karbonil 186 - 293
Karbosilat 204
Amida 214
Azo 339
Nitro 280

Nitroso 300 – 665

Nitrat 270

Keton 282 – 324

Benzena 204
Toluen 207
Fenol 211
Anilin 230

VII. DASAR TEORI


1. Spektrofotometri
Absorpsi yang melibatkan elektron d dan f pada umumnya mengabsorpsi daerah
sinar tampak. Terjadinya transisi logam golongan d dan f, yaitu golongan unsur-unsur
atau logam transisi dalam. Spektrum atau puncak absorpsi yang sempit dipengaruhi oleh
lingkungan, yaitu adanya ligan dan jenisnya.
Benda bercahaya seperti matahari atau bohlam listrik memancarkan spektrum
yang lebar yang terdiri dari panjang gelombang. Panjang gelombang dikaitkan dengan
cahaya tampak tersebut mampu mempengaruhi selaput mata manusia dan karenanya
menimbulkan kesan subyektif akan ketampakan (vision). Namun banyak pula radiasi
yang dipancarkan oleh benda panas yang terletak di luar daerah mata yang peka, yaitu
daerah ultra violet. Bila “cahaya putih” yang terdiri dari spektrum panjang gelombang
melewati suatu medium seperti kaca atau suatu larutan kimia yang berwarna yang tembus
cahaya tertentu, maka medium yang bersangkutan akan tampak berwarna bagi pengamat.
Karena hanya gelombang yang diteruskan yang sampai ke mata, maka panjang
gelombang itulah yang menentukan warna medium tersebut. Warna ini disebut dengan
warna komplementer. Tabel 2 menunjukkan klasifikasi kasar antara warna dan panjang
gelombang.

Tabel Spektrum Daerah Tampak dan Warna-warna komplementer


Panjang Warna yang Warna
Gelombang (nm) diserap komplementer
< 380 Ultra violet (UV) -
380 – 455 Ungu Hijau kekuningan
455 – 480 Biru Kuning
480 – 490 Biru kehijauan Jingga
490 – 500 Hijau kebiruan Merah
500 – 560 Hijau Ungu kemerahan
560 – 580 Hijau kekuningan Ungu
580 – 600 Kuning Biru
600 – 620 Jingga Biru kehijauan
620 – 680 Merah Hijau kebiruan
680 - 780 Ungu kemerahan Hijau
2. Spektrofotometri Ultra Violet
Pengukuran absorbansi atau transmitansi dalam spektroskopi ultra violet dan
daerah sinar tampak digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa kimia.
Dasar analisis spektroskopi adalah interaksi radiasi dengan senyawa kimia. Bila radiaisi
dilewatkan pada suatu obyek/senyawa kimia, sebagian radiasi tersebut akan terabsorpsi.
Serapan radiasi oleh molekul dalam daerah spektrum ultra violet dan sinar tampak
tergantung pada struktur elektronik dari molekul yang bersangkutan. Penyerapan sinar
tampak atau ultra violet tersebut dapat menyebabkan terjadinya promosi/eksitasi molekul
dari energi dasar (ground state) ke tingkat energi yang lebih tinggi (excited state), atau
dapat dikatakan menyebabkan transisi elektron valensi yang di cirikan dengan pita
absorbsi pada daerah panjang gelombang tertentu. Proses ini melalui dua tahap:
Tahap 1 M + hv → M*
Tahap 2 M* → M + energi
Penyerapan sinar tampak atau ultra violet pada umumnya menghasilkan eksitasi
elektron, sehingga panjang gelombang absorbsi maksimum dapat di hubungkan dengan
jenis ikatan yang ada di dalam molekul yang bersangkutan. Transisi di daerah ultra violet
atau tampak adalah transisi elektronik. Hal ini di kaitkan dengan lompatan elektron dari
orbital molekul penuh (terisi) ke orbital molekul kosong.
Karena elektron dalam molekul mempunyai energi yang tidak sama, maka energi
yang diserap dalam proses eksitasi dapat mengakibatkan terjadinya satu atau lebih transisi
tergantung pada jenis elektron yang terdapat dalam molekul.
Hukum dasar dari spektroskopi diterangkan oleh Lambert dan Beer, sehingga
hukum atau persamaan yang digunakan dikenal dengan “Hukum Lambert-Beer”. Jika
suatu berkas radiasi melewati suatu medium homogen, maka sebagian dari intensitas
radiasi yang datang tersebut Io, akan diabsorbsi/diserap Ia, sebagian dipantulkan Ir dan
sisanya diteruskan/ditransmisikan It. Untuk antar muka udara-kaca sebagai akibat
penggunaan sel kaca, cahaya yang dipantulkan hanya sekitar 4%, sehingga Ir biasanya
terhapus dengan penggunaan suatu control ( misalnya dengan sel pembanding atau
blanko), jadi:
Io = Ia + It
Lambert menjelaskan bahwa absorbasi radiasi merupakan fungsi ketebalan
medium, sedangkan Beer menjelaskan bahwa absorbsi radiasi sebagai fungsi konsentrasi
medium (larutan senyawa) yang bersangkutan.
A = k b cd
dengan, A adalah absorbansi, b adalah ketebalan medium, c adalah konsentrasi larutan
dan k adalah tetapan atau koefisien absorpsi yang tergantung pada satuan konsentrasi
yang digunakan. k dinyatakan sebagai absorptivitas serapan (= a) jika konsentrasi larutan
dalam satuan gram/liter dan k dinyatakan sebagai absorptivitas molar atau ekstingsi molar
(= €), jika konsentrasi larutan dalam satuan mol/liter. Nilai € untuk setiap molekul adalah
tetap dan merupakan ciri suatu struktur molekul.
A = a b c(gram/liter)
A = € b c(mol/liter)
dengan, log Io/It = A dan T = It/Io (T: radiasi yang diteruskan /transmitansi).
Sehingga, A = log 1/T.Persamaan Lambert-Beer di atas menunjukkan bahwa
absorbansi (A) berbanding lurus dengan konsentrasi larutan (c), sehingga jika dibuat
suatu kurva antara konsentrasi (c) lawan absorbansi (A), maka akan diperoleh suatu kurva
garis lurus (linier). Kurva linier tersebut biasa dikenal dengan kurva kalibrasi atau kurva
standar, yang dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi analit dari larutan uji
(sampel) setelah absorbansi dari larutan uji tersebut di interpolasikan ke dalam kurva
kalibrasi tersebut.
Cara kerja spektrofotometer dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Spektrofotometer sinar tunggal
Pada tipe ini, sinar yang berasal dari sumber cahaya (lampu wolfram 320-1000
nm, lampu hidrogen 200-350 nm) dipantulkan oleh cermin ke celah masuk bagian
monokromator. Untuk memperoleh spektrum, digunakan prisma yang bagian
belakangnya dilapis aluminium, supaya cahaya yang dibiaskan oleh permukaan depan,
dapat dipantulkan oleh permukaan belakang dan masuk ke celah keluar. Cahaya yang
keluar dari monokromator, difokuskan oleh lensa ke kuvet yang berisi larutan.
Selanjutnya sampai ke fotosel atau fotomultiflier yang merupakan detektor yang linier,
artinya arus yang dihasilkan berbanding lurus dengan intensitas cahaya yang jatuh pada
larutan tersebut.

b. Spektrofotometer sinar/berkas ganda


Berbeda dengan spektrofotometer sinar/berkas tunggal, pada spektrofotometer
sinar ganda ini zat contoh atau larutan cuplikan di persandingkan secara kontinyu dengan
larutan referensi (larutan blanko). Cahaya melintas secara bergantian melewati zat contoh
dan larutan blanko. Untuk itu pada lintasan cahaya dipasang suatu sistem cermin chopper
yang berotasi dengan cepat sekali. Cahaya yang datang dari sumber cahaya melalui
cermin dan filter, kemudian jatuh ke kisi yang menimbulkan dispersi. Setelah melewati
cermin berotasi (A dan C). Jika cahaya jatuh pada cermin A, maka cahaya tersebut akan
jatuh pada kuvet yang berisi zat contoh, lalu dipantulkan oleh cermin B ke detektor. Pada
saat itu cermin C berada pada posisi yang tidak dapat menampung cahaya. Sesaat
kemudian cermin A akan memutar dan keluar dari lintasan cahaya sehingga cahaya akan
jatuh ke cermin D dan setelah melewati kuvet yang berisi larutan blanko akan jatuh ke
cermin C. Akhirnya cahaya dari cermin C tersebut akan sampai ke detektor. Isyarat
detektor yang berasal dari larutan zat contoh dan larutan blanko akan sampai ke ampliflier
dan komparator. Perbandingan kedua isyarat detektor tersebut merupakan ukuran
absorpsi dan dapat dibaca pada meteran atau pencatat.
3. Kafein
1. Struktur Kimia
Kafein mempunyai nama kimia 1,3,7-trimetil xantin atau 1,3,7-Trimetil 2,6,dioksi
purin. Rumus molekulnya C8H10N4O2 dengan berat molekul 194.19 dan mempunyai
struktur seperti

Sifat Fisika Kafein


Kafein berupa hablur bentuk jarum halus, mengkilat, tidak berwarna, rasa pahit, tidak
berbau, jika dipanaskan akan menyumblin tanpa penguraian pada suhu 178-180oC dan
pada tekanan 1 atm. Kafein akan larut dalam 50 bagian air, 6 bagian air suhu 80°C, 1.5
bagian air mendidih, 75 bagian alkohol, 25 bagian alkohol suhu 60°C, 6 bagian kloroform
dan 600 bagian eter. Berat molekul 194, 19 g/mol (Wilson dan Gisvold, 1982, dalam Fitri,
2008).
Sifat Kimia Kafein
Kafein merupakan basa lemah, tidak berbentuk garam yang stabil dan dengan asam
mineral segera terhidrolisa dalam air. Kelarutan kafein dalam air akan meningkat dengan
adanya asam organik seperti benzoat, salisilat, sinamat atau sitrat. Karena itu bentuk
campuran ini sering ditemui dalam sediaan farmasi (Clarke, 1971).
VIII. ALAT DAN BAHAN
Alat Bahan
1. Labu takar 100 mL ; 50 mL 1. Larutan induk kafein 100 ppm
2. Pipet ukur 10 Ml 2. Sampel kopi (murni atau kopi
3. Bola hisap mix)
4. Pipet tetes 3. Larutan HCl 0,2N
5. Corong gelas 4. Aquades
6. Gelas kimia 100 mL ; 600 mL 5. Kertas saring
7. Hotplate 6. Diklor metan (metilen klorida)
8. Botol semprot
9. Corong pisah
IX. LANGKAH KERJA
1. Pembuatan Larutan Standar dan Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Larutan induk kafein (100 ppm) dibuat dalam larutan HCl 0,1 N sebanyak 100 mL

Deret larutan standar kafein dibuat dengan konsentrasi 2, 4, 8, 10 dan 12 ppm dalam
HCl 0,1 N dari larutan induk, masing-masing dalam labu takar 50 mL

Ditentukan panjang gelombang maksimum, dengan cara: ukur serapannya (ambil


larutan
standar yang konsentrasinya di tengah-tengah larutan standar yang dibuat (8 ppm)
dengan
berbagai panjang gelombang (dari 380 – 190 nm).

Diukur serapan berbagai konsentrasi larutan standar pada panjang gelombang


maksimum
(yang sudah ditentukan pada no.3)
2. Pembuatan Larutan Cuplikan Kafein

Ditimbang 2 gram sampel (kopi murni atau kopi mix atau tablet/obat penurun panas)

Ditambahkan 75 mL aquades, panaskan hingga mendidih selama 10 menit

Disaring larutan sampel tersebut dengan kertas saring biasa

Filtrat yang diperoleh, disaring kembali dengan kertas saring Whatman no. 40.
Didinginkan
fitrat hingga suhu kamar

Dipindahkan filtrat ke dalam corong pisah dan ekstraksi dengan 25 mL diklor


metan/metilen klorida (lakukan ekstraksi sebanyak 2 kali). Lapisan bawah
merupakan
ekstrak kafein.

Ekstrak yang diperoleh, diekstraksi kembali dengan larutan HCl 0,2 N, lakukan
sebanyak 2
kali

Dikur serapan larutan ekstrak tersebut (ekstrak hasil no. 6) pada panjang gelombang
maksimum (hasil penentuan langkah 3)
X. DATA PENGAMATAN
1. Pengolahan Data
2. Perhitungan Berat Kafein 1000 ppm
Kafein 1000 ppm = 1000 mg/L
1000 mg/L = mg/0,05L
mg = 50 mg ~ 0,05 gram
3. Perhitungan Pengenceran
 1000 ppm ke 50 ppm 50 ml
V1.N1 = V2.N2
50 ppm x 50 ml = 1000 ppm x V2
V2 = 50 ppm x 100 ml / 1000 ppm
= 2,5 ml
 50 ppm ke 12 ppm 50 ml
V1.N1 = V2.N2
12 ppm x 50 ml = 50 ppm x V2
V2 = 12 ppm x 50 ml / 50 ppm
= 12 ml
 50 ppm ke 10 ppm 50 ml
V1.N1 = V2.N2
10 ppm x 50 ml = 50 ppm x V2
V2 = 10 ppm x 50 ml / 50 ppm
= 10 ml
 50 ppm ke 8 ppm 50 ml
V1.N1 = V2.N2
8ppm x 50 ml = 50 ppm x V2
V2 = 8 ppm x 50 ml / 50 ppm
= 8 ml

 50 ppm ke 6 ppm 50 ml
V1.N1 = V2.N2
6 ppm x 50 ml = 50 ppm x V2
V2 = 6 ppm x 50 ml / 50 ppm
= 6 ml
 50 ppm ke 4 ppm 50 ml
V1.N1 = V2.N2
4 ppm x 50 ml = 50 ppm x V2
V2 = 4 ppm x 50 ml / 50 ppm
= 4 ml
 50 ppm ke 2 ppm 50 ml
V1.N1 = V2.N2
2 ppm x 50 ml = 50 ppm x V2
V2 = 2 ppm x 50 ml / 20 ppm
= 2 ml
2. Gambar Pengamatan

Gambar 2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum


Gambar 3. Panjang Gelombang Maksimum yang didapat

Gambar 4.Tabel Kurva Standar


Gambar 5. Kurva Standar Kafein
Gambar 6. Penentuan Absorban dan Konsentrasi Sampel

Kurva Standar Kafein


0.6
0.55
0.5
0.45
0.4
Absorban

0.35
0.3
0.25
0.2
0.15 y = 0.0424x + 0.0126
0.1 R² = 0.9521
0.05
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Konsentrasi (ppm)

Kurva Standar Kafein


2. Perhitungan Konsentrasi Sampel
Absorban = 0,2541
y = 0,0424x + 0,0126
0,2541 = 0,0424x + 0,0126
0,0424x = 0,2541 – 0,0126
x = (0,2541 – 0,0126)/ 0,0424
x = 5,6957 ppm

XI. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini penentuan kadar kafein, dilakukan dengan metoda
spektrofotometri dengan sumber lampu UV, karena larutan hasil ekstraksi kafein yang
telah terpisah tidak berwarna, sehinggadiperlukan lampu dengan panjang gelombang
dibawah 350 nm (UV) untuk mengetahui besarnya absorban sampel dan standar kafein.
Pada praktikum ini digunakanlah alat spektrofotometer Shimadzu yang memiliki 2
sumber lampu yaitu sinar tampak dan UV, untuk sumber lampunya yang digunakan
adalah wolfram, sedang sinar tak tampak sering disebut Ultra Violet (UV), sehingga
spektrofotometer Shimadzu sering disebut spektrofotomete UV-vis (Ultra Violet –
Visible).
Pada praktikum ini juga digunakan larutan standar. Jenis larutan standar harus
sesuai dengan sampel yang di analisis. Karena jenis sampel adalah kafein, maka standar
yang dipakai adalah standar kafein yang telah diketahui konsentrasinya. Pada
pengenceran larutan standar di tambahkan larutan HCl 0,1N. HCl digunakan karena dapat
melarutkan kafein dan bersifat asam sehingga dapat membuat suasana kafein menjadi
asam, karena pada suasana asam panjang gelombang yang dihasilkan maksimum. Media
yang digunakan untuk pengukuran adalah kuvet. Sebelum proses pengukuran dilakukan,
kuvet yang dipergunakan dibilas terlebih dahulu dengan larutan yang akan diukur, proses
pembilasan dilakukan ± 2 kali. Setelah dibilas, larutan yang akan diukur dimasukan
secukupnya ke dalam kuvet dan kuvet dilap dengan menggunakan tisu sampai tidak
terdapat butiran air diluar permukaan kuvet, agar cahaya yang terserap oleh larutan
maksimal. Terakhir kuvet dilap dengan menggunakan tisu khusus yang memiliki serat
halus sehingga tidak merusak permukaan luar dari kuvet.

Pada penentuan panjang gelombang maksimum juga digunakan larutan blanko,


larutan blanko ini merupakan larutan HCl 0,1 N yang tidak mengandung kafein atau zat
lainnya. Digunakan HCl 0,1 N karena pelarut yang diguanakan untuk standar adalah HCl
0,1 N sehingga jenis pereaksi yang ditambahkan pada sampel dan standar sedapat
mungkin sama.
Larutan blanko ini juga berfungsi sebagai pengkondisian (pengkalibrasi) agar ketika
pengukuran sampel preaksi yang ditambahkan pada sampel tidak mengubah harga
absorban
pengukuran, karena adanya faktor koreksi dengan blanko sehingga nilainy zero atau nol.
Pada proses pengukuran standar, didapatkan kurva kalibrasi dengan nilai R
(regresi) sebesar 0,964. hal ini menunjukan bahwa korelasi dari kurva adalah bernilai
positif, yang artinya setiap pertambahan nilai konsentrasi diikuti pertambahan nilai
absorban secara proporsional. Dengan kata lain absorban berbanding lurus dengan
konsentrasi. Ketika absorban dari sampellebih dari 1 maka artinya kandungan kafein
dalam sampel terlampau pekat, dan harus diencerkan dengan faktor pengenceran.
XII. KESIMPULAN
1. Prinsip kerja spektrofotometer adalah bila cahaya (monokromatik maupun
campuran) jatuh pada suatu medium homogen, sebagian dari sinar masuk akan
dipantulkan, sebagian diserap dalam medium itu, dan sisanya diteruskan. Nilai
yang keluar dari cahaya yang diteruskan dinyatakan dalam nilai absorbansi karena
memiliki hubungan dengan konsentrasi sampel.
2. Pada praktikum penentuan konsentrasi kafein didapat konsentrasi sampel kafein
sebesar 5,6957 ppm dengan absorban sebesar 0,2541
XIII. DAFTAR PUSTAKA
1. Sastrohamidjojo Hardjono, ”Spektroskopi Ultra Violet dan Terlihat”,
Laboratorium
Analisa Kimia/Fisika Pusat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
2. Anwar Nur M,1989, ”Teknik Spektroskopi”, Pusat Antar Universitas – Ilmu
Hayati Institut Pertanian Bogor, Bogor.
3. Day RA, Underwood AL, Hudyana Aloysius, 1992, ”Analisis Kimia
Kuantitatif”, edisi-5, Erlangga, Jakarta.
4. Pecsok, R.L, at all, Modern Methods of Chemical Analysis, John Willey &
Sons, New York, 1976.
5. Skoog, D.A, Principles of Instrumental Analysis, Rinehart and Winston Inc,
New York.
6. Brink, O.G, Sachri Sobandi, 1984, ”Dasar Ilmu Instrumen”, Bina Cipta, Jakarta.
7. Khopkar, S.M, Saptorahardjo, 1990, ”Konsep Dasar Kimia Analitik”, UI Press,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai