FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI II
“SISTEM RESPIRASI ”
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Gejala sinusitis yang paling umum adalah sakit kepala, nyeri pada daerah
wajah, serta demam. Hampir 25% dari pasien sinusitis akan mengalami demam
yang berhubungan dengan sinusitis yang di derita. Gejala lainya berupa wajah
pucat, perubahan warna cairan hidung, hidung tersumbat, nyeri menelan, dan
batuk. Beberapa pasien akan merasakan sakit kepala bertambah hebat bila kepala
di tundukkan ke depan. Pada sinusitis karena alergi maka penderita juga akan
mengalami gejala lain yang berhubungan dengan alerginya seperti gatal pada
mata, dan bersin-bersin.
I.3. Tujuan
1.3. Gejala
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa
pengobatan.
Gejala awal berupa :
batuk terutama pada malam atau dini hari
sesak napas
napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan
napasnya
rasa berat di dada
dahak sulit keluar.
Indikasi
Agonis β2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol)
digunakan, bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka panjang
terhadap gejala yang timbul pada malam hari. Obat golongan ini juga
dipergunakan untuk mencegah bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan
fisik. Agonis β2 kerja singkat (seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol,
terbutalin) adalah terapi pilihan untuk menghilangkan gejala akut dan
bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik.
Efek Samping
Efek samping umumnya berlangsung dalam waktu singkat dan tidak ada
efek kumulatif yang dilaporkan. Akan tetapi, tidak berarti pengobatan
dihentikan, pada beberapa kasus, perlu dilakukan penurunan dosis untuk
sementara waktu.
Kontra Indikasi
Obat simpatomimetik dikontraindikasikan untuk penderita; yang alergi
terhadap obat dan komponennya (reaksi alergi jarang terjadi), aritmia jantung
yang berhubungan dengan takikardia, angina, aritmia ventrikular yang
memerlukan terapi inotopik, takikardia atau blok jantung yang berhubungan
dengan intoksikasi digitalis (karena isoproterenol), dengan kerusakan otak
organik, anestesia lokal di daerah tertentu (jari tangan, jari kaki) karena adanya
risiko penumpukan cairan di jaringan (udem), dilatasi jantung, insufisiensi
jantung, arteriosklerosis serebral, penyakit jantung organik (karena efinefrin);
pada beberapa kasus vasopresor dapat dikontraindikasikan, glukoma sudut
sempit, syok nonafilaktik selama anestesia umum dengan hidrokarbon
halogenasi atau siklopropan (karena epinefrin dan efedrin).
2. Xantin
Mekanisme Kerja
3. Antikolinergik
A. Ipratropium Bromida
Mekanisme Kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik
(parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal dengan cara
mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal,
pada tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik.
Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan
penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus
mukosa hidung.
Indikasi
Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator
lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan
bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif
kronik, termasuk bronkhitis kronik dan emfisema.
B. Tiotropium Bromida
Mekanisme Kerja
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya
digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium
menunjukkan efek farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada
otot polos sehingga terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah
inhalasi tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi tertentu.
Indikasi
Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang
berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis kronis
dan emfisema.
Indikasi
Asma bronkial (inhalasi, larutan dan aerosol) : sebagai pengobatan
profilaksis pada asma bronkial. Kromolin diberikan teratur, harian pada pasien
dengan gejala berulang yang memerlukan pengobatan secara reguler.
Pencegahan bronkospasma (inhalasi, larutan dan aerosol) : untuk
mencegah bronkospasma akut yang diinduksi oleh latihan fisik, toluen
diisosinat, polutan dari lingkungan dan antigen yang diketahui.
B. Nedokromil Natrium
Mekanisme Kerja
Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma.
Obat ini akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator
dari berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil,
makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat
perkembangan respon bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap
antigen terinhalasi.
Indikasi
B. Montelukast Sodium
Mekanisme Kerja
C. Zilueton
Mekanisme Kerja
7. Obat-Obat Penunjang
A. Ketotifen Fumarat
Mekanisme Kerja
Ketotifen adalah suatu antihistamin yang mengantagonis secara
nonkompetitif dan relatif selektif reseptor H1, menstabilkan sel mast dan
menghambat penglepasan mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan reaksi
hipersensitivitas.
Indikasi
Manajemen profilaksis asma. Untuk mendapatkan efek maksimum
dibutuhkan waktu beberapa minggu. Ketotifen tidak dapat digunakan untuk
mengobati serangan asma akut.
B. N-Asetilsistein
Mekanisme Kerja
Aksi mukolitik asetilsistein berhubungan dengan kelompok sulfhidril
pada molekul, yang bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfida
antara ikatan molekular mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan
menurunkan viskositas mukus. Aktivitas mukolitik pada asetilsistein
meningkat seiring dengan peningkatan pH.
Indikasi
Asetilsistein merupakan terapi tambahan untuk sekresi mukus yang
tidak normal, kental pada penyakit bronkopulmonari kronik (emfisema kronik,
emfisema pada bronkhitis, bronkhitis asma kronik, tuberkulosis, amiloidosis
paru-paru);dan penyakit bronkopulmonari akut (pneumonia, bronkhitis,
trakeobronkhitis).
2. SINUSITIS
1. Deskripsi penyakit
a. Definisi
Infeksi di sinus, akut s/d 4 minggu, kronik 12 minggu
b. Etiologi
Bakteri penyebab :
Streptococcus pnemoniae (30-40%)
Haemophilusinflunzae (20-30%)
Moxarellacatarrhalis (12-20%)
Strepcoccus pyogenes, Staphylococcus aureus
Bakterianaerob
c. Manifestasi klinik
Keluarnya cairan kental berwarna dari hidung, sumbatan dihidung, nyeri
muka, sakit gigi, demam.
A. Sinusitis
Sinusitis adalah radang pada sinus paranasalis, dimana dapat disebabkan
oleh infeksi maupun bukan infeksi, dari bakteri, jamur, virus, alergi maupun sebab
autoimun (Williams, 1992) Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinus
sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal, disebut pansinusitis (Endang,
1990).
B. PATOFISIOLOGI
Reaksi awal terjadi ketika alerge diudara memasuki hidung selama inhalasi
dan kemudian diproses oleh limfosit, yang menghasilkan antigen spesifik
igE. Hal ini menyebabkan sensitifitas pada orang yang secara genetic rentan
terhadap allergen tersebut. Pada saat terjadi paparan ulang melalui hidung.
igE berikatan dengan sel mast berintraksi dengan allergen dari udara, dan
memicu mediator inflamasi.
Reaksi segera terjadi dalam hitungan menit, yang menyebabkan pelepasan
cepat mediator yang terbentuk sebelumnya serta mediator yang baru dibuat
melalui jalur asam arakidonat. Mediator hipersensitivitas segera meliputi
histamine, leukotrien, prostaglandin, triptase, dan kinin. Meditor ini
menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vascular, dan
produksi sekresi nasal. Histamine menyebabkan rinorea, gatal, bersin, dan
hidung tersumbat.
Dari 4 hingga 8 jam setelah paparan terhadap allergen pertama kali, dapat
terjadi reaksi fase lambat, yang diperkirakan disebabkan oleh sitokin yang
dibebaskan terutama oleh sel mast dan limfosit helper yang berasal dari
timus. Respon inflamasi ini dapat menjadi penyebab gejala kronik yang
menetap termasuk kongesti hidung. (Sukandar, E, S, dkk, 2008).
Menurut Adams (1978),sinusitis dibagi menjadi :
a. sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu,
b. sinusitis subakut, bila infeksi beberapa minggu sampai beberapa bulan
c. sinusitis kronis apabila infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Menurut Cauwenberge (1983) disebut sinusitis kronis, apabila sudah
lebih dari 3 bulan.Tetapi apabila dilihat dari gejalanya, maka sinusitis
dianggap sebagai sinusitis akut bila terdapat tanda-tanda radang
akut.Dikatakan sinusitis subakut, bila tanda akut sudah reda dan perubahan
histologik mukosa sinus masih reversibel dan disebut sinusitis kronik, bila
perubahan histologik mukosa sinus sudah irreversibel, misal sudah berubah
menjadi jaringan granulasi atau polipoid. Sebenarnya klasifikasi tepat yang
lain ialah berdasarkan pemeriksaan histopatologik, akan tetapi pemeriksaan
ini tidak rutin dikerjakan.
a. Sinusitis Akut
Sinusitis akut biasanya didahului infeksi traktus respiratorius,
umumnya disebabkan oleh virus seperti: Haemophilus influenzae,
Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis dan Staphylococcus
aureus. Bakteri pathogen seperti: streptococci species, anaerobic
bacteria dan beberapa gram negatif (Fokken, 2007).
Penyakit ini dimulai dangan penyumbatan kompleks ostiomeatal
oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi. Selain itu juga dapat
merupakan penyebaran dari infeksi gigi (Nusjirwan, 1990). Sinusitis
akut memiliki gejala subjektif dan gejala objektif. Gejala subjektif
bersifat sistemik dan lokal. Gejala sistemik berupa demam dan rasa lesu.
Gejala lokal dapat kita temukan pada hidung, sinus paranasal dan
tempat lainnya sebagai nyeri alih (referred pain). Gejala pada hidung
dapat terasa adanya ingus yang kental & berbau mengalir ke nasofaring.
Selain itu, hidung terasa tersumbat. Gejala pada sinus paranasal berupa
rasa nyeri dan nyeri alih (referred pain)
Gejala subjektif, yang bersifat lokal pada sinusitis maksila berupa
rasa nyeri dibawah kelopak mata dan kadang tersebar ke alveolus
sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih (referred pain) dapat terasa di
dahi dan depan telinga. Gejala sinusitis etmoid berupa rasa nyeri pada
pangkal hidung, kantus medius, kadang - kadang pada bola mata atau
dibelakang bola mata. Akan terasa makin sakit bila pasien
menggerakkan bola matanya. Nyeri alih (referred pain) dapat terasa
pada pelipis (parietal). Gejala sinusitis frontal berupa rasa nyeri yang
terlokalisir pada dahi atau seluruh kepala. Gejala sinusitis sfenoid
berupa rasa nyeri pada verteks, oksipital, belakang bola mata atau
daerah mastoid.
Gejala objektif sinusitis akut yaitu tampak bengkak pada muka
pasien. Gejala sinusitis maksila berupa pembengkakan pada pipi dan
kelopak mata bawah. Gejala sinusitis frontal berupa pembengkakan
pada dahi dan kelopak mata atas. Pembengkakan jarang terjadi pada
sinusitis etmoid kecuali ada komplikasi. Rinoskopi sinusitis akut.
Pemeriksaan rinoskopi anterior menampakkan mukosa konka nasi
hiperemis dan edema. Terdapat mukopus (nanah) di meatus nasi
medius pada sinusitis maksila, sinusitis forntal, dan sinusitis etmoid
anterior. Nanah tampak keluar dari meatus nasi superior pada sinusitis
etmoid posterior dan sinusitis sfenoid. Pemeriksaan rinoskopi posterior
menampakkan adanya mukopus (nanah) di nasofaring (post nasal
drip)(Muhammad, 2007).
b. Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut, hanya tanda- tanda
radang akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.
Pada rinoskopi anterior tampak sekret purulen di meatus medius atau
superior.Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di
nasofaring.Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sedikit
suram ataupun gelap (Endang, 1997)
c. Sinusitis Kronis
Sinusitis kronis adalah komplikasi dari berbagai penyakit radang
sinus pada umumnya.Penyebabnya multi faktorial dan juga termasuk
alergi,faktor lingkungan seperti debu, infeksi bakteri, atau jamur.Faktor
non alergi seperti rhinitis vasomotor dapat juga menyebabkan masalah
sinus kronis (Schreiber, 2005). Etiologi sinusitis kronis. Infeksi kronis
pada sinusitis kronis dapat disebabkan :
D. PENGOBATAN
Didapatkan beberapa obat yang dapat melegakan gejala yang menyertai
sinusitis, seperti sakit kepala, nyeri maupun kelelahan.Biasanya dapat
dikombinasikan antara jenis obat antihistamin bersamaan dengan decongestan
atau pelega nyeri.Bila sinusitis tidak membaik pada 48 jam, atau menyebabkan
nyeri berarti, dapat diberikan antibiotik (Amoxicillin yang paling
umum).Flouroquinolone untuk pasien dengan alergi penicillin (Samsa, 1992).
E. TERAPI NON FARMAKOLOGI
Menghindari konsumsi produk susu yang berlebihan seperti yogurt, es
cream, keju dan masih banyal lagi, karena hal ini akan membuat penimbunan
lendir dalam sinus menjadi lebih banyak dan semakin parah.
Buat lingkungan menjadi bersih, infeksi yang terjadi pada penderita penyakit
sinus karena lingkungan yang kurang streil atau kurang bersih, nah agar
infeksi tidak semakin parah, Anda harus rajin membersihkan lingkungan
seperti dari debu, polusi dan masih banyak lagi.
Hindari merokok, asap dari rokok mengandung toksin atau racun yang
sangat membahayakan saluran pernapasan terutama untuk penderita
sinusitis, maka dari itu jika menderita sinusitis hindari rokok mulai sekarang
juga.
Konsumsi makanan higenis, makanan yang higenis atau bersih akan sangat
penting untuk mendukung proses penyembuhan dari penyakit sinusitis ini,
konsumsilah makanan yang higenis seperti makanan yang telah terjamin
mutunya.
Bersihkan gigi secara rutin, lendir yang terdapat pada gigi juga akan ikut
menyokong pegendapan yang terjadi pada tulang sinus, untuk menghindari
hal tersebut terjadi, rutinlah membersihkan gigi dengan cara gosok gigi
ataupun berkumur dengan cairan pembersih gigi.
Jangan mengonsumsi makanan penyebab lendir menjadi banyak seperti es,
makanan yang terlau pedas, makanan yang terlalu asin dan masih banyak
lagi, karena hal tersebut akan memicu lendir menjadi banyak dan
menyebabkan pengendapan yang lebih besar.
F. TERAPI FARMAKOLOGI
Menurut WHO (2001) sinusitis akut karena S. pneumoniae dan H. influenzae
diberikan antibiotik amoksisillin 250-500 mg 3 kali sehari, kombinasi
amoksisillin dan clavulanic acid, atau kombinasi sulfametoksasol dan
trimethoprim 2 kali sehari selama 7-10 hari. Sedangkan dari pedoman
pengobatan Rumah Sakit, sinusitis akut diberikan terapi amoksisilin 25-50
mg/kgBB/hari (Anonim, 2006).
1. Intranasal
Larutan garam faali. Larutan ini berguna untuk mengencerkan sekret,
meringankan iritasi jaringan, melembabkan membran, mengurangi perdarahan,
memperbaiki trans- port mukosilier dan memperbaiki penciuman.
Vasokonstriktor (dekongestan) Dekongestan dibagi dalam golongan
katekolamin (efinefrin, fenilefrin) yang terutama bekerja pada adrenoseptor alfa
1, dan derivat imidazol (napazolin, silometazolin 1%), terutama bekerja pada
adrenoseptor. Tujuan pemberian dekongestan ini untuk meningkatkan aerasi
nasal dengan cara vasokonstriksi sehingga ostium terbuka dengan cepat dan
dengan demikian memperbaiki drainase sekret. Pemberian obat ini dianjurkan
hanya beberapa hari, guna menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa yang
bahkan merupakan predisposisi terjadinya sinusitis.
2. Anti inflamasi
Sodium kromoglikat. Merupakan inhibitor degranulasi sel mast yang kuat
dan efektif. Penggunaan obat intranasal ini berguna dalam mengobati reaksi
mukosa hidung yang disebabkan rangsangan alergen untuk mencegah
reaksi cepat dan reaksi lambat.
Steroid. Penambahan steroid intranasal di samping pemberian antibiotik
merupakan pengobatan yang paling efektif. Pemberian ini akan
mempercepat perbaikan pada gejala, mengurangi inflamasi intranasal, dan
mempercepat perbaikan gambaran radiologis. Kunci keberhasilan jangka
panjang penanggulangan sindrom sinobronkial anak terletak pada
keberhasilan penang- gulangan inflamasi sebagai penyebab dasarnya.
3. Oral Non steroid
Bronkodilator. Dasar penggunaan obat bronkodilator adalah adanya
hiperreak- tivitas pada anak dengan sinusitis. Hiperreaktivitas pada sinusitis
dapat oleh karena asma yang menyertai sinusitis atau sinusitis itu sendiri dapat
menyebabkan hiperreaktivitas. Untuk menanggulangi gejala yang disebabkan
oleh hiperreak- tivitas tersebut digunakan bronkodilator. Selain itu obat ini
dapat meningkatkan transport mukosilier.
Dekongestan. Jenis, indikasi dan cara kerja obat ini seperti juga yang
dipakai dalam penggunaan intranasal.
Antihistamin. Antihistamin oral digunakan sebagai bahan ajuvan dalam
penatalaksanaan sinusitis. Pemberian anti- histamin dalam tata laksana
sinusitis non-alergi pada anak masih kontroversial. Bila antihistamin
digunakan harus dengan hati-hati karena kemungkinan efek sampingnya
dapat mengeringkan mukosa dan mengentalkan lendir.
Steroid. Naspitz, menganjurkan pemberian kortikosteroid oral jangka
pendek selama 1 minggu, yang diikuti dengan pemberian steroid intranasal
selama 3 minggu.
Antibiotik Antibiotika yang dipakai harus memenuhi syarat: sensitif
terhadap kuman penyebab, kadar dalam mukosa sinus dan bronkus lebih
tinggi dari kadar inhibisi minimum dari jenis kuman penyebab, cara
pemberian mudah, efek samping sedikit dan obat tersedia dengan harga
relatif murah. Antibiotik yang sering digunakan adalah amoksisilin,
kotrimoksasol, sefalosporin dan makrolid.
a. Amoksisilin, merupakan obat pilihan untuk pasien sinusitis yang tidak
mengalami komplikasi. Menggantikan kedudukan ampisilin di dalam
pengobatan infeksi saluran napas atas akibat bakteri, karena absorbsinya
dua kali lebih baik dan mempunyai waktu paruh yang lebih panjang.
Merupakan obat yang efektif pada sebagian besar pasien, relatif murah
dan aman. Kerugian amoksisilin adalah lemah terhadap beta-laktamase
yang dihasilkan oleh H. influenza dan M. catarrhalis
b. Amoksisilin dan potassium klavulanat, telah dikembangkan dan
dipasarkan pada tahun 1985. Potasium klavulanat adalah garam dari
asam klavulanat, merupakan beta-laktam yang dengan aktivitas sedikit
melawan bakteri patogen tetapi mampu secara efektif menginhibisi
enzim beta- laktamase.
c. Trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMX), merupakan kombinasi 2
asam folat antagonis, merupakan antimikroba berspektrum luas.
Kombinasi obat ini kurang efektif terhadap Streptococus grup A Pada
sinusitis orang dewasa, keberhasilan obat ini mencapai 95%. Etiologi
sinusitis pada dewasa hampir sama dengan sinusitis pada anak.
d. Eritromisin dan sulfisoksazol, merupakan kombinasi oral untuk
pengobatan sinusitis pada anak. Dari kepustakaan didapatkan hasil yang
berhasil (21 dari 22 anak sinusitis maksilaris) 95%. Eritromisin efektif
terhadap kokus Gram positif tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk
sinusitis akut karena tidak adekuat terhadap H. influenza yang
merupakan salah satu penyebab pada semua umur.
4. Golongan sefalosporin
merupakan antimikroba yang strukturnya mirip dengan golongan penisilin dan
termasuk antimikroba beta-laktam. Sefaklor merupakan generasi kedua dari
sefaloporin, obat oral untuk infeksi saluran napas pada anak dan rasanya enak.
Kelemahannya adalah dalam aktivitasnya terhadap beta-laktamase yang
diproduksi oleh sebagian besar strain M. catarrhalis dan beberapa strain H.
influenzae, diberikan 3 kali dalam sehari.
3. PPOK
A. Pengertian
B. Patofisiologi
Oksidan yang dihasilkan dari asap rokok bereaksi dengan protein dan
lipid sehingga menyebabkan kerusakan jaringan.
C. Patogenesis
D. Manifestasi Klinik
E. Penatalaksanaan
1. Edukasi
2. Obat-obatan
Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi sesuai dengan
klasifikasi derajad beratnya penyakit. Diutamakan bentuk obat inhalasi,
nebulisasi tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada
derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release)
atau obat berefek panjang (long acting)
Ekspektoran dan mukolitik. Air minum adalah ekspektoran yang baik,
pemberian cairan yang cukup akan mengencerkan sekret. Obat
ekspektoran dan mukolitik dapat diberikan terutama pada saat
eksaserbasi. Antihistamin secara umum tidak diberikan karena dapat
menimbulkan kekeringan saluran napas sehingga sekret sukar
dkeluarkan
Antibiotik diberikan bila ada infeksi sehingga dapat mengurangi
keadaan eksaserbasi akut.
Antioksidan dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kialiti
hidup, digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai terapi rutin.
Kortikosteroid pemberiannya masih kontroversial, hanya bermanfaat
pada serangan akut.
Antitusif diberikan dengan hati-hati.
3. Terapi oksigen
Ventilasi mekanik
Whalen, K.; Finkel, R.; & Pannavelli, T.A., (editors), 2015, Lippincott’s
Illustrated Reviews of Pharmacology, 6th ed., Walters Kluwer, available as
e-book in pdf file
1. Simpatomimetik
Simpatomimetik selektif ß2 menyebabkan relaksasi otot halus
bronki dan bronkodilatasi. Pemberian melalui metered-dose inhaler
(MDI) dry-powder inhaler (DPI) sama efektifnya dengan terapi
semprot, tetapi lebih disukai karena faktor biasa yang kenyamaman
Albuterol, levalbuterol, bitolterol, pirbuterol, dan terbutaline
adalah agonis kerja singkat yang terpilih karena durasi kerjanya lebih
panjang daripada agonis kerja singkat yang lain (isoproterenol,
metaproterenol, isoetharine). Inhalasi lebih dipilih daripada pemberian
parenteral
Salmeterol, formoterol, dan arformoterol adalah -agonis kerja
lama yang diberikan tiap 12 jam.
2. Antikolinergik
Bila diberikan secara inhalasi, antikolinergi menghasilkan
bronkodilatasi melalui penghambatan kompetitif reseptor pada otot
halus bronki
Ipratropium bromida adalah antikolinergik kerja singkat yang
terutama digunakan untuk PPOK.
Tiotropium bromida kerjanya lama yang melindungi dari
bronkonstriksi kolinergik selama lebih dari 24 jam. Mula kerjanya
dalam waktu 30 menit, efek puncak dalam 3 jam.
3. Metilxanthin
Teofillin dan aminofillin menghasilkan bronkodilatasi dengan
cara menghambat fosfodiesterase.
Penggunaan jangka lama teofillin dalam PPOK meningkatkan
fungsi paru-paru, termasuk kapasitas vital dan FEV1. selanjutnya
teofilin menurunkan dispnea, meningkatkan toleransi latihan, dan
meningkatkan kekuatan respirasi
Metilxantin memiliki peran yang sangat terbatas dalam terapi
PPOK karena interaksi obat dan variabilitas antarpasien ddalam
pengaturan dosis.
Terapi awal dengan 200 mg dua kali sehari, dan tingkatkan
setiap 3 – 5 hari hingga dosis target; kebanyakan pasien membutuhkan
400 – 900 mg per hari. Rentang kadar terapeutik 8 – 15 mcg/mL (44,4
– 3,3 µmol/L) adalah target untuk meminimalkan risiko toksisitas.
Efek samping umum teofilin meliputi dispepsia, mual, muntah,
diare, sakit kepala, mengantuk, dan takikardia. Aritmia dapat juga
terjadi, terutama pada kadar toksik
Faktor-faktor yang dapat menunrunkan bersihan teofillin
sehingga dosisnya perlu diturunkan adalah faktor usia, pneumonia
bakteri atau virus, gagal jantung, disfungsi hati, hipoksemia karena
dekompensasi akut, serta obat-obat : simetidin, makrolida, dan
fluorokinolon
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan bersihan teofillin
sehingga perlu dosis yang lebih tinggi antara lain tembakau (asap rokok)
dan marijuana, hipertiroidisme , dan obat-obat : fenitoin, fenobarbital,
dan rifampin
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid menurunkan permeabilitas kapiler dan
mengurangi mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari
leukosit, dan menghambat prostaglandin.
Kondisi yang sesuai untuk kortikosteroid untuk PPOK adalah :
1) Penggunaan sistemik jangka pendek untuk eksaserbasi akut
2) Terapi inhalasi untuk PPOK stabil kronik
Kortikosteroid sistemik jangka panjang hendaknya dihindari
pada manajemen PPOK karena keunggulannya belum jelas, justru
risiko toksisitas tinggi
Efek samping dari kortikosteroid inhalasi adalah ringan,
meliputi suara serak, tenggorokan sakit, candidiasis oral, dan memar
kulit. Efek samping yang berat seperti supresi adrenal, osteoporosis, dan
pembentukan katarak jarang terjadi dibandingkan dengan penggunaan
sistemik, namun tetap harus dipantau pada penggunaan terapi inhalasi
kronik dosis tinggi
5. Roflumilast
• Hentikan merokok
Riftania M H, 2009, Kajian Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Rawat Jalan
Terdiagnosa Infeksi Saluran Pernafasan Atas Di Rsud Pandan Arang Boyolali,
Respiratory UMS.
Williams JW, Simel DL, Roberts L, Samsa GP. 1992. Clinical evaluation for sinusitis.
Making the diagnosis by history and physical examination.Ann. Intern. Med.
1. John Rees dkk. 1998. Petunjuk Penting Asma, Edisi III. Jakarta: Penerbit buku
Kedokteran EGC
2. Wells BG., JT Dipiro, TL Schwinghammer, CW.Hamilton, Pharmacoterapy
Handbook 6th ed International edition, Singapore, McGrawHill, 2006:826-848.
3. Farthing K., MJ Ferill, JA Generally, B Jones, BV Sweet, JN Mazur, et al. Drug
Facts & Comparison 11th ed., St.Louis:Wolter Kluwer Health, 2007: 417-459
1. Asma, Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, PDPI, 2004