Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH KELOMPOK

FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI II
“SISTEM RESPIRASI ”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5

ANDI NUR RAHMY G 701 14 017


CINDY RADIKASARI G 701 14 155
WAHYUNI UDIN G 701 14 095
KOMANG RINALDI ADI PUTRA G 701 14 083
HILZA P. KIAY DEMAK G 701 14 122
A.DEVI ANDRIANI LESTARI G 701 14 098
YUYUN G 701 14 133
ANASTASIA DORSI G 701 14 064

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sinusitis merupakan suatu penyakit yang terjadi di daerah sinus pada


rongga hidung manusia. Sinusitis suatu proses peradangan pada mukrosa atau
selaput lendir sinus paranasal. Sinus paranasal adalah rongga-rongga yang
terdapat pada tulang-tulang di wajah. Yang terdiri dari sinusa frontal (di daerah
dahi), sinus etmoid (pangkal hidung), sinus maksila (pipi kanan dan kiri), sinus
sfenoiddi belakang sinus etmoid) (Joyce,1996).

Gejala sinusitis yang paling umum adalah sakit kepala, nyeri pada daerah
wajah, serta demam. Hampir 25% dari pasien sinusitis akan mengalami demam
yang berhubungan dengan sinusitis yang di derita. Gejala lainya berupa wajah
pucat, perubahan warna cairan hidung, hidung tersumbat, nyeri menelan, dan
batuk. Beberapa pasien akan merasakan sakit kepala bertambah hebat bila kepala
di tundukkan ke depan. Pada sinusitis karena alergi maka penderita juga akan
mengalami gejala lain yang berhubungan dengan alerginya seperti gatal pada
mata, dan bersin-bersin.

Penyakit asma merupakan suatu gangguan yang komplek dari bronkial


yang dikarakteristikan oleh periode bronkospasme (kontraksi spasme yang lama
pada jalan nafas). Asma merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang
banyak dijumpai, baik pada anak-anak maupun dewasa. Kata asma (Asthma)
berasal dari bahasa Yunani yang berarti “terengah-engah”. Lebih dari 200 tahun
yang lalu, Hippocrates menggunakan istilah asma untuk menggambarkan kejadian
pernapasan yang pendek-pendek. Sejak itu, istilah asma sering digunakan untuk
menggambarkan gangguan apa saja yang terkait dengan kesulitan bernapas,
termaksud ada istilah asma kardiak dan asma bronkial.
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) tahun 2006, asma di
definisikan sebagai “ penyakit inflamasi kronis pada saluran pernapasan di mana
berbagai sel dan elemen seluler berperan, terutama sel mats, eosinofil, limfosit T,
makrofak dan sel epitelial”. Inflamasi kronis ini berhubungan dengan
hiperresponsivitas saluran pernapasan terhadap berbagai stimulus yang
menyebabkan kekambuhan sesak nafas (mengi), kesulitan bernapas, dada terasa
sesak, dan batuk-batuk yang terjadi utama pada malam hari atau dini hari.
Sumbatan saluran napas ini bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang biasa dikenal sebagai PPOK


merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara dalam
saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel dan biasanya menimbulkan
obstruksi. Gangguan yang bersifat progresif (cepat dan berat) ini disebabkan
karena terjadinya Radang kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang
terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak napas,
batuk, dan produksi sputum dan keterbatasan aktifitas.
Derajat obtruksi saluran nafas yang terjadi, dan identifikasi komponen yang
memugkinkan adanya reversibilitas. Tahap perjalanan penyakit dan penyakit lain
diluar paru seperti sinusitis dan faringitis kronik. Yang pada akhirnya faktor-faktor
tersebut membuat perburukan makin lebih cepat terjadi. Untuk melakukan
penatalaksanaan PPOK perlu diperhatikan faktor-faktor tersebut, sehingga
pengobatan PPOK menjadi lebih baik.,PPOK menempati urutan ketiga dari
kematian penduduk di negri Belanda (setelah Penyakit Jantung dan Pembuluh
(PJP) dan kanker). Juga secara global mortalitas akibat gangguan ini meningkat,
sedangkan kematian karena penyakit kardiovaskuler menurun. Menurunkan angka
kematian dari COPD/PPOK merupakan salah satu tujuan dari “Global initiative for
chronic obstructive lung disease (GOLD) “ suau organisasi dari WHO dan US
National heart, Lung and Blood Institute.Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO)
menunjukkan bahwa pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai
penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati
urutan ke-5 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.2 kunjungan pasien PPOK
di instalasi gawat darurat di Amerika Serikat mencapai angka 1,5 juta, 726.000
memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun 2000.
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhulubungan dengan interaksi
genetic dengan lingkungan. Merokok, polusi udara dan pemajanan ditempat kerja
(terhadap batu bara, kapas, padi-padian ) merupakakn factor-faktor risiko penting
yang menunjang pada terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam
rentang lebih dari 20-30 tahunan. PPOK juga ditemukan terjadi pada individu yang
tidak mempunyai enzim yang normal mencegah panghancuran jaringan paru oleh
enzim tertentu. PPOK tampak timbul cukup dini dalam kehidupan dan merupakan
kelainan yang mempunyai kemajuan lambat yang timbul bertahun-tahun sebelum
awitan gejala-gejala klinis kerusakan fungsi paru.Berkaitan dengan farmakoterapi
bagi cara pemilihan terapi yang baik salah satunya adalah tatalaksana terapi sesuai
alogaritma terapi dengan meminimalkan efek samping. Sehingga untuk mengetahui
pemilihan tatalaksana terapi yang sesuai diperlukan pemahaman lebih lanjut
mengenai penyakit PPOK ini baik itu meliputi etiologi, patofisiologi, klasifikasi,
gejala dan tanda serta alogaritma terapinya.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan sinusitis,asma, dan PPOK ?


2. Apa saja gejala penyakit sinusitis,asma, dan PPOK?
3. Apa saja faktor penyebab penyakit sinusitis,asma, dan PPOK ?
4. Bagaimana mekanisme kerja obat pada sinusitis,asma, dan PPOK ?
5. Bagaimana mekanisme patofisiologi penyakit sinusitis,asma, dan PPOK?
6. Bagaimana mekanisme terapi farmakologi sinusitis,asma, dan PPOK ?
7. Bagaimana mekanisme non farmakologi sinusitis,asma, dan PPOK ?
8. Bagaimana pencegahan penyakit sinusitis,asma, dan PPOK ?

I.3. Tujuan

1. Mengetahui definisi penyakit sinusitis,asma,dan PPOK !


2. Mengetahui gejala penyakit sinusitis, asma, dan PPOK !
3. Mengethui faktor penyebab penyakit sinusitis, asma, dan PPOK !
4. Mengetahui mekanisme kerja obat pada sinusitis,asma, dan PPOK !
5. Mengetahui mekanisme patofisiologi penyakit sinusitis,asma, dan PPOK !
6. Mengetahui mekanisme terapi farmakologi sinusitis,asma, dan PPOK !
7. Mengetahui mekanisme non farmakologi sinusitis,asma, dan PPOK !
8. Mengetahui pencegahan penyakit sinusitis,asma, dan PPOK?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Asma
1.1. Etiologi dan Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel
inflamasi berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag,
netrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan
sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma.
Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten
maupun asma persisten. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan napas yang menimbulkan gejala
episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-
batuk terutama pada malam dan/atau dini hari. Episodik tersebut berkaitan
dengan sumbatan saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan
1.2. Faktor Risiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host) dan faktor lingkungan.
Faktor pejamu tersebut adalah:
 predisposisi genetik asma
 alergi
 hipereaktifitas bronkus
 jenis kelamin
 ras/etnik
Faktor lingkungan dibagi 2, yaitu :
a. Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan /predisposisi
asma untuk berkembang menjadi asma
b. Yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan
gejala asma menetap.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi


asma untuk berkembang menjadi asma adalah :
alergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti mite domestik, alergen
binatang, alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga

 sensitisasi (bahan) lingkungan kerja


 asap rokok
 polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
 infeksi pernapasan (virus)
 diet
 status sosioekonomi
 besarnya keluarga
 obesitas

Sedangkan faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi


dan/atau menyebabkan gejala asma menetap adalah :
 alergen di dalam maupun di luar ruangan
 polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
 infeksi pernapasan
 olah raga dan hiperventilasi
 perubahan cuaca
 makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna makanan)
 obat-obatan, seperti asetil salisilat
 ekspresi emosi yang berlebihan
 asap rokok
 iritan antara lain parfum, bau-bauan yang merangsang

1.3. Gejala
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa
pengobatan.
Gejala awal berupa :
 batuk terutama pada malam atau dini hari
 sesak napas
 napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan
napasnya
 rasa berat di dada
 dahak sulit keluar.

Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang


mengancam jiwa. Yang termasuk gejala yang berat adalah:
 Serangan batuk yang hebat
 Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
 Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
 Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
 Kesadaran menurun
1.4. Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting
bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin
berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.

Derajat asma Gejala Fungsi Paru


I. Intermiten Siang hari < 2 kali per minggu Variabilitas APE < 20%
VEP1 > 80% nilai
Malam hari < 2 kali per bulan
prediksi APE > 80% nilai
Serangan singkat terbaik
II. Persisten Ringan Siang hari > 2 kali per
Tidak ada gejala antar minggu, Variabilitas APE 20 - 30%
tetapi < 1 kali per hari
serangan VEP1 > 80% nilai prediksi
APE > 80% nilai terbaik
Malam hari
Intensitas > 2 kalibervariasi
serangan per bulan
III. Persisten Sedang Siang hari ada gejala Variabilitas APE > 30%
Serangan dapat VEP1 60-80% nilai
Malam hari > 1 kali per minggu
mempengaruhi aktifitas prediksi APE 60-80% nilai
Serangan mempengaruhi
terbaik
aktifitas

Serangan > 2 kali per minggu


IV. Persisten Berat Siang hari terus menerus ada Variabilitas APE > 30%
Serangan
gejala berlangsung VEP1 < 60% nilai
berhari-hari prediksi APE < 60% nilai
Setiap malam hari sering
terbaik
Sehari-hari menggunakan
Tabel 1 Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit
timbul gejala
APE = arus puncak ekspirasi inhalasi β2-agonis short acting
Aktifitas
FEV1 = volume ekspirasi paksa dalam fisik terbatas
1 detik

Sering timbul serangan


1.5. PENATALAKSANAAN ASMA
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation)
ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma


dikatakan terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20 %
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

1.6. Terapi non farmakologi


1. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam
penatalaksanaan asma.
Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
- meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan
pola penyakit asma sendiri)
- meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma
sendiri/asma mandiri)
- meningkatkan kepuasan
- meningkatkan rasa percaya diri
- meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
- membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan
mengontrol asma

Bentuk pemberian edukasi


- Komunikasi/nasehat saat berobat
- Ceramah
- Latihan/training
- Supervisi
- Diskusi
- Tukar menukar informasi (sharing of information group)
- Film/video presentasi
- Leaflet, brosur, buku bacaan
- dll

Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, upaya meningkatkan


kepatuhan pasien dilakukan dengan :
1. Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap
tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan
tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan pasien
2. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan yang
diberikan dan bagaimana pasien melakukannya. Bila mungkin kaitkan dengan
perbaikan yang dialami pasien (gejala dan faal paru).
3. Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien.
4. Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma.
5. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan pasien, sehingga
pasien merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkret.
6. Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui bersama dan yang
akan dilakukan, pada setiap kunjungan.
7. Mengajak keterlibatan keluarga.

Dapat dilakukan dengan :


. Penghentian merokok
. Menghindari kegemukan
. Kegiatan fisik misalnya senam asma
1.7. Terapi farmakologi
1. Simpatomimetik
Mekanisme Kerja
Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut :
1. Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya
vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
2. Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas
dan irama jantung.
3. Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens
mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.
Selektifitas relatif obat-obat simpatomimetik adalah faktor penentu utama
penggunaan secara klinik dan untuk memprediksi efek samping yang umum.
Obat simpatomimetik selektif β2 memiliki manfaat yang besar dan
bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada
terapi asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan
bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek
perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen,
latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan
secara sistemik. Pada tabel 2 dapat dilihat perbandingan efek farmakologi
dan sifat farmakokinetik berbagai obat simpatomometik yang digunakan
pada terapi asma.
Keterangan :
a : potensi molar relatif 1 adalah yang paling kuat
b: semua obat ini mempunyai aktivitas β1 minor
c: dapat digunakan melalui aerosol

Indikasi
Agonis β2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol)
digunakan, bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka panjang
terhadap gejala yang timbul pada malam hari. Obat golongan ini juga
dipergunakan untuk mencegah bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan
fisik. Agonis β2 kerja singkat (seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol,
terbutalin) adalah terapi pilihan untuk menghilangkan gejala akut dan
bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik.
Efek Samping
Efek samping umumnya berlangsung dalam waktu singkat dan tidak ada
efek kumulatif yang dilaporkan. Akan tetapi, tidak berarti pengobatan
dihentikan, pada beberapa kasus, perlu dilakukan penurunan dosis untuk
sementara waktu.

Kontra Indikasi
Obat simpatomimetik dikontraindikasikan untuk penderita; yang alergi
terhadap obat dan komponennya (reaksi alergi jarang terjadi), aritmia jantung
yang berhubungan dengan takikardia, angina, aritmia ventrikular yang
memerlukan terapi inotopik, takikardia atau blok jantung yang berhubungan
dengan intoksikasi digitalis (karena isoproterenol), dengan kerusakan otak
organik, anestesia lokal di daerah tertentu (jari tangan, jari kaki) karena adanya
risiko penumpukan cairan di jaringan (udem), dilatasi jantung, insufisiensi
jantung, arteriosklerosis serebral, penyakit jantung organik (karena efinefrin);
pada beberapa kasus vasopresor dapat dikontraindikasikan, glukoma sudut
sempit, syok nonafilaktik selama anestesia umum dengan hidrokarbon
halogenasi atau siklopropan (karena epinefrin dan efedrin).

2. Xantin
Mekanisme Kerja

Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan


merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal,
merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung,
menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi
uterus. Teofilin juga merupakan stimulan pusat /pernafasan. Aminofilin
mempunyai efek kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan
dengan demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki
kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan
kronik.
Indikasi
Untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dan
bronkospasma reversibel yang berkaitan dengan bronkhitis kronik dan
emfisema.

3. Antikolinergik
A. Ipratropium Bromida
Mekanisme Kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik
(parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal dengan cara
mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal,
pada tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik.
Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan
penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus
mukosa hidung.
Indikasi
Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator
lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan
bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif
kronik, termasuk bronkhitis kronik dan emfisema.

B. Tiotropium Bromida
Mekanisme Kerja
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya
digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium
menunjukkan efek farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada
otot polos sehingga terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah
inhalasi tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi tertentu.

Indikasi
Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang
berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis kronis
dan emfisema.

4. Kromolin Sodium dan Nedokromil


A. Kromolin Natrium
Mekanisme Kerja
Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak mempunyai
aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas
glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator, histamin dan
SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast.
Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.

Indikasi
Asma bronkial (inhalasi, larutan dan aerosol) : sebagai pengobatan
profilaksis pada asma bronkial. Kromolin diberikan teratur, harian pada pasien
dengan gejala berulang yang memerlukan pengobatan secara reguler.
Pencegahan bronkospasma (inhalasi, larutan dan aerosol) : untuk
mencegah bronkospasma akut yang diinduksi oleh latihan fisik, toluen
diisosinat, polutan dari lingkungan dan antigen yang diketahui.

B. Nedokromil Natrium
Mekanisme Kerja
Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma.
Obat ini akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator
dari berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil,
makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat
perkembangan respon bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap
antigen terinhalasi.

Indikasi

Nedokromil diindikasikan untuk asma. Digunakan sebagai terapi


pemeliharaan untuk pasien dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih pada asma
ringan sampai sedang.
5. Kortikosteroid
Mekanisme Kerja

Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan


cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat
menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan
efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi
mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung.
Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan
efek sistemik minimal.
Indikasi
Terapi pemeliharaan dan propilaksis asma, termasuk pasien yang
memerlukan kortikosteoid sistemik, pasien yang mendapatkan keuntungan dari
penggunaan dosis sistemik, terapi pemeliharaan asma dan terapi profilaksis
pada anak usia 12 bulan sampai 8 tahun. Obat ini tidak diindikasikan untuk
pasien asma yang dapat diterapi dengan bronkodilator dan obat non steroid lain,
pasien yang kadang-kadang menggunakan kortikosteroid sistemik atau terapi
bronkhitis non asma.

6. Antagonis Reseptor Leukotrien


A. Zafirlukast
Mekanisme Kerja
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang selektif
dan kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA - slow-reacting
substances of anaphylaxis). Produksi leukotrien dan okupasi reseptor
berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan
perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang
menimbulkan tanda dan gejala asma.
Indikasi
Profilaksis dan perawatan asma kronik pada dewasa dan anak di atas 5
tahun.

B. Montelukast Sodium
Mekanisme Kerja

Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif dan aktif pada


penggunaan oral, yang menghambat reseptor leukotrien sisteinil (CysLT1).
Leukotrien adalah produk metabolisme asam arakhidonat dan dilepaskan dari
sel mast dan eosinofil. Produksi leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan
dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas
selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang menimbulkan tanda
dan gejala asma.
Indikasi
Profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak-anak > 12 bulan.

C. Zilueton
Mekanisme Kerja

Zilueton adalah inhibitor spesifik 5-lipoksigenase dan selanjutnya


menghambat pembentukan (LTB1, LTC1, LTD1, Lte1).
Indikasi
Profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak > 12 tahun.

7. Obat-Obat Penunjang
A. Ketotifen Fumarat
Mekanisme Kerja
Ketotifen adalah suatu antihistamin yang mengantagonis secara
nonkompetitif dan relatif selektif reseptor H1, menstabilkan sel mast dan
menghambat penglepasan mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan reaksi
hipersensitivitas.
Indikasi
Manajemen profilaksis asma. Untuk mendapatkan efek maksimum
dibutuhkan waktu beberapa minggu. Ketotifen tidak dapat digunakan untuk
mengobati serangan asma akut.
B. N-Asetilsistein
Mekanisme Kerja
Aksi mukolitik asetilsistein berhubungan dengan kelompok sulfhidril
pada molekul, yang bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfida
antara ikatan molekular mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan
menurunkan viskositas mukus. Aktivitas mukolitik pada asetilsistein
meningkat seiring dengan peningkatan pH.
Indikasi
Asetilsistein merupakan terapi tambahan untuk sekresi mukus yang
tidak normal, kental pada penyakit bronkopulmonari kronik (emfisema kronik,
emfisema pada bronkhitis, bronkhitis asma kronik, tuberkulosis, amiloidosis
paru-paru);dan penyakit bronkopulmonari akut (pneumonia, bronkhitis,
trakeobronkhitis).
2. SINUSITIS
1. Deskripsi penyakit
a. Definisi
Infeksi di sinus, akut s/d 4 minggu, kronik 12 minggu
b. Etiologi
Bakteri penyebab :
 Streptococcus pnemoniae (30-40%)
 Haemophilusinflunzae (20-30%)
 Moxarellacatarrhalis (12-20%)
 Strepcoccus pyogenes, Staphylococcus aureus
 Bakterianaerob
c. Manifestasi klinik
Keluarnya cairan kental berwarna dari hidung, sumbatan dihidung, nyeri
muka, sakit gigi, demam.

A. Sinusitis
Sinusitis adalah radang pada sinus paranasalis, dimana dapat disebabkan
oleh infeksi maupun bukan infeksi, dari bakteri, jamur, virus, alergi maupun sebab
autoimun (Williams, 1992) Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinus
sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal, disebut pansinusitis (Endang,
1990).

B. PATOFISIOLOGI
 Reaksi awal terjadi ketika alerge diudara memasuki hidung selama inhalasi
dan kemudian diproses oleh limfosit, yang menghasilkan antigen spesifik
igE. Hal ini menyebabkan sensitifitas pada orang yang secara genetic rentan
terhadap allergen tersebut. Pada saat terjadi paparan ulang melalui hidung.
igE berikatan dengan sel mast berintraksi dengan allergen dari udara, dan
memicu mediator inflamasi.
 Reaksi segera terjadi dalam hitungan menit, yang menyebabkan pelepasan
cepat mediator yang terbentuk sebelumnya serta mediator yang baru dibuat
melalui jalur asam arakidonat. Mediator hipersensitivitas segera meliputi
histamine, leukotrien, prostaglandin, triptase, dan kinin. Meditor ini
menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vascular, dan
produksi sekresi nasal. Histamine menyebabkan rinorea, gatal, bersin, dan
hidung tersumbat.
 Dari 4 hingga 8 jam setelah paparan terhadap allergen pertama kali, dapat
terjadi reaksi fase lambat, yang diperkirakan disebabkan oleh sitokin yang
dibebaskan terutama oleh sel mast dan limfosit helper yang berasal dari
timus. Respon inflamasi ini dapat menjadi penyebab gejala kronik yang
menetap termasuk kongesti hidung. (Sukandar, E, S, dkk, 2008).
Menurut Adams (1978),sinusitis dibagi menjadi :
a. sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu,
b. sinusitis subakut, bila infeksi beberapa minggu sampai beberapa bulan
c. sinusitis kronis apabila infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Menurut Cauwenberge (1983) disebut sinusitis kronis, apabila sudah
lebih dari 3 bulan.Tetapi apabila dilihat dari gejalanya, maka sinusitis
dianggap sebagai sinusitis akut bila terdapat tanda-tanda radang
akut.Dikatakan sinusitis subakut, bila tanda akut sudah reda dan perubahan
histologik mukosa sinus masih reversibel dan disebut sinusitis kronik, bila
perubahan histologik mukosa sinus sudah irreversibel, misal sudah berubah
menjadi jaringan granulasi atau polipoid. Sebenarnya klasifikasi tepat yang
lain ialah berdasarkan pemeriksaan histopatologik, akan tetapi pemeriksaan
ini tidak rutin dikerjakan.
a. Sinusitis Akut
Sinusitis akut biasanya didahului infeksi traktus respiratorius,
umumnya disebabkan oleh virus seperti: Haemophilus influenzae,
Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis dan Staphylococcus
aureus. Bakteri pathogen seperti: streptococci species, anaerobic
bacteria dan beberapa gram negatif (Fokken, 2007).
Penyakit ini dimulai dangan penyumbatan kompleks ostiomeatal
oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi. Selain itu juga dapat
merupakan penyebaran dari infeksi gigi (Nusjirwan, 1990). Sinusitis
akut memiliki gejala subjektif dan gejala objektif. Gejala subjektif
bersifat sistemik dan lokal. Gejala sistemik berupa demam dan rasa lesu.
Gejala lokal dapat kita temukan pada hidung, sinus paranasal dan
tempat lainnya sebagai nyeri alih (referred pain). Gejala pada hidung
dapat terasa adanya ingus yang kental & berbau mengalir ke nasofaring.
Selain itu, hidung terasa tersumbat. Gejala pada sinus paranasal berupa
rasa nyeri dan nyeri alih (referred pain)
Gejala subjektif, yang bersifat lokal pada sinusitis maksila berupa
rasa nyeri dibawah kelopak mata dan kadang tersebar ke alveolus
sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih (referred pain) dapat terasa di
dahi dan depan telinga. Gejala sinusitis etmoid berupa rasa nyeri pada
pangkal hidung, kantus medius, kadang - kadang pada bola mata atau
dibelakang bola mata. Akan terasa makin sakit bila pasien
menggerakkan bola matanya. Nyeri alih (referred pain) dapat terasa
pada pelipis (parietal). Gejala sinusitis frontal berupa rasa nyeri yang
terlokalisir pada dahi atau seluruh kepala. Gejala sinusitis sfenoid
berupa rasa nyeri pada verteks, oksipital, belakang bola mata atau
daerah mastoid.
Gejala objektif sinusitis akut yaitu tampak bengkak pada muka
pasien. Gejala sinusitis maksila berupa pembengkakan pada pipi dan
kelopak mata bawah. Gejala sinusitis frontal berupa pembengkakan
pada dahi dan kelopak mata atas. Pembengkakan jarang terjadi pada
sinusitis etmoid kecuali ada komplikasi. Rinoskopi sinusitis akut.
Pemeriksaan rinoskopi anterior menampakkan mukosa konka nasi
hiperemis dan edema. Terdapat mukopus (nanah) di meatus nasi
medius pada sinusitis maksila, sinusitis forntal, dan sinusitis etmoid
anterior. Nanah tampak keluar dari meatus nasi superior pada sinusitis
etmoid posterior dan sinusitis sfenoid. Pemeriksaan rinoskopi posterior
menampakkan adanya mukopus (nanah) di nasofaring (post nasal
drip)(Muhammad, 2007).
b. Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut, hanya tanda- tanda
radang akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.
Pada rinoskopi anterior tampak sekret purulen di meatus medius atau
superior.Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di
nasofaring.Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sedikit
suram ataupun gelap (Endang, 1997)
c. Sinusitis Kronis
Sinusitis kronis adalah komplikasi dari berbagai penyakit radang
sinus pada umumnya.Penyebabnya multi faktorial dan juga termasuk
alergi,faktor lingkungan seperti debu, infeksi bakteri, atau jamur.Faktor
non alergi seperti rhinitis vasomotor dapat juga menyebabkan masalah
sinus kronis (Schreiber, 2005). Etiologi sinusitis kronis. Infeksi kronis
pada sinusitis kronis dapat disebabkan :

1. Gangguan drainase: Gangguan drainase dapat disebabkan obstruksi


mekanik dan kerusakan silia.
2. Perubahan mukosa: Perubahan mukosa dapat disebabkan alergi,
defisiensi imunologik, dan kerusakan silia.
3. Pengobatan : Pengobatan infeksi akut yang tidak sempurna.
Sebaliknya, kerusakan silia dapat disebabkan oleh gangguan
drainase, perubahan mukosa, dan polusi bahan kimia.
Gejala sinusitis kronik. Secara subjektif, sinusitis kronis
memberikan gejala :
1. Hidung: Terasa ada sekret dalam hidung.
2. Nasofaring: Terasa ada sekret pasca nasal (post nasal drip). Sekret
ini memicu terjadinya batuk kronis.
3. Faring: Rasa gatal dan tidak nyaman di tenggorok.
4. Telinga: Gangguan pendengaran karena sumbatan tuba Eustachius.
5. Kepala: Nyeri kepala / sakit kepala yang biasanya terasa pada pagi
hari dan berkurang atau menghilang setelah siang hari.
Penyebabnya belum diketahui pasti. Mungkin karena malam hari
terjadi penimbunan ingus dalam sinus paranasal dan rongga hidung
serta terjadi stasis vena. Mata: Terjadi infeksi mata melalui
penjalaran duktus nasolakrimalis.
6. Saluran napas: Terjadi batuk dan kadang-kadang terjadi komplikasi
pada paru seperti bronkitis, bronkiektasis, dan asma bronkial
7. Saluran cerna: Terjadi gastroenteritis akibat tertelannya mukopus.
Sering terjadi pada anak-anak.
Secara objektif, gejala sinusitis kronis tidak seberat sinusitis
akut. Tidak terjadi pembengkakan wajah pada sinusitis kronis. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen di
meatus nasi medius dan meatus nasi superior. Sekret purulen juga
ditemukan di nasofaring dan dapat turun ke tenggorok pada
pemeriksaan rinoskopi posterior. Pemeriksaan mikrobiologik sinusitis
kronis. Biasanya sinusitis kronis terinfeksi oleh kuman campuran,
bakteri aerob (S. aureus, S. viridans & H. influenzae) dan bakteri
anaerob (Peptostreptokokus & Fusobakterium)(Muhammad, 2007).
C. Terapi
 Gejala dapat sembuh sendiri dalam 48 jam, bila menetap atasi gejala,
perbaiki fungsi sinus, cegah komplikasi intracranial, dan atasi bakteri
pathogen.
 Terapi utama adalah pemberian antibiotic. Untuk sinusitis tanpa
komplikasi gunakan Amoksisilin atau ko-trimoksazol bila resisten
gunakan azitromisin, klaritromisin, sefuroksim, sefiksim, sefaklor,
florokuinolon, levofloksasin, gantifloksasin.
 Durai terapi : 10 – 14 hari dapat diperpanjang s/d 30 hari.
 Obat semprot vasokontriktor: fenileprin, oksimetazolin dapat
memperbaiki aliran. Tapi penggunaan tidak melebihi 72 jam agar tidak
terjadi toleransi.
 Antihistamin tidak efektif pada sinusitis.

D. PENGOBATAN
Didapatkan beberapa obat yang dapat melegakan gejala yang menyertai
sinusitis, seperti sakit kepala, nyeri maupun kelelahan.Biasanya dapat
dikombinasikan antara jenis obat antihistamin bersamaan dengan decongestan
atau pelega nyeri.Bila sinusitis tidak membaik pada 48 jam, atau menyebabkan
nyeri berarti, dapat diberikan antibiotik (Amoxicillin yang paling
umum).Flouroquinolone untuk pasien dengan alergi penicillin (Samsa, 1992).
E. TERAPI NON FARMAKOLOGI
 Menghindari konsumsi produk susu yang berlebihan seperti yogurt, es
cream, keju dan masih banyal lagi, karena hal ini akan membuat penimbunan
lendir dalam sinus menjadi lebih banyak dan semakin parah.
 Buat lingkungan menjadi bersih, infeksi yang terjadi pada penderita penyakit
sinus karena lingkungan yang kurang streil atau kurang bersih, nah agar
infeksi tidak semakin parah, Anda harus rajin membersihkan lingkungan
seperti dari debu, polusi dan masih banyak lagi.
 Hindari merokok, asap dari rokok mengandung toksin atau racun yang
sangat membahayakan saluran pernapasan terutama untuk penderita
sinusitis, maka dari itu jika menderita sinusitis hindari rokok mulai sekarang
juga.
 Konsumsi makanan higenis, makanan yang higenis atau bersih akan sangat
penting untuk mendukung proses penyembuhan dari penyakit sinusitis ini,
konsumsilah makanan yang higenis seperti makanan yang telah terjamin
mutunya.
 Bersihkan gigi secara rutin, lendir yang terdapat pada gigi juga akan ikut
menyokong pegendapan yang terjadi pada tulang sinus, untuk menghindari
hal tersebut terjadi, rutinlah membersihkan gigi dengan cara gosok gigi
ataupun berkumur dengan cairan pembersih gigi.
 Jangan mengonsumsi makanan penyebab lendir menjadi banyak seperti es,
makanan yang terlau pedas, makanan yang terlalu asin dan masih banyak
lagi, karena hal tersebut akan memicu lendir menjadi banyak dan
menyebabkan pengendapan yang lebih besar.

F. TERAPI FARMAKOLOGI
Menurut WHO (2001) sinusitis akut karena S. pneumoniae dan H. influenzae
diberikan antibiotik amoksisillin 250-500 mg 3 kali sehari, kombinasi
amoksisillin dan clavulanic acid, atau kombinasi sulfametoksasol dan
trimethoprim 2 kali sehari selama 7-10 hari. Sedangkan dari pedoman
pengobatan Rumah Sakit, sinusitis akut diberikan terapi amoksisilin 25-50
mg/kgBB/hari (Anonim, 2006).

1. Intranasal
 Larutan garam faali. Larutan ini berguna untuk mengencerkan sekret,
meringankan iritasi jaringan, melembabkan membran, mengurangi perdarahan,
memperbaiki trans- port mukosilier dan memperbaiki penciuman.
 Vasokonstriktor (dekongestan) Dekongestan dibagi dalam golongan
katekolamin (efinefrin, fenilefrin) yang terutama bekerja pada adrenoseptor alfa
1, dan derivat imidazol (napazolin, silometazolin 1%), terutama bekerja pada
adrenoseptor. Tujuan pemberian dekongestan ini untuk meningkatkan aerasi
nasal dengan cara vasokonstriksi sehingga ostium terbuka dengan cepat dan
dengan demikian memperbaiki drainase sekret. Pemberian obat ini dianjurkan
hanya beberapa hari, guna menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa yang
bahkan merupakan predisposisi terjadinya sinusitis.
2. Anti inflamasi
 Sodium kromoglikat. Merupakan inhibitor degranulasi sel mast yang kuat
dan efektif. Penggunaan obat intranasal ini berguna dalam mengobati reaksi
mukosa hidung yang disebabkan rangsangan alergen untuk mencegah
reaksi cepat dan reaksi lambat.
 Steroid. Penambahan steroid intranasal di samping pemberian antibiotik
merupakan pengobatan yang paling efektif. Pemberian ini akan
mempercepat perbaikan pada gejala, mengurangi inflamasi intranasal, dan
mempercepat perbaikan gambaran radiologis. Kunci keberhasilan jangka
panjang penanggulangan sindrom sinobronkial anak terletak pada
keberhasilan penang- gulangan inflamasi sebagai penyebab dasarnya.
3. Oral Non steroid
Bronkodilator. Dasar penggunaan obat bronkodilator adalah adanya
hiperreak- tivitas pada anak dengan sinusitis. Hiperreaktivitas pada sinusitis
dapat oleh karena asma yang menyertai sinusitis atau sinusitis itu sendiri dapat
menyebabkan hiperreaktivitas. Untuk menanggulangi gejala yang disebabkan
oleh hiperreak- tivitas tersebut digunakan bronkodilator. Selain itu obat ini
dapat meningkatkan transport mukosilier.
 Dekongestan. Jenis, indikasi dan cara kerja obat ini seperti juga yang
dipakai dalam penggunaan intranasal.
 Antihistamin. Antihistamin oral digunakan sebagai bahan ajuvan dalam
penatalaksanaan sinusitis. Pemberian anti- histamin dalam tata laksana
sinusitis non-alergi pada anak masih kontroversial. Bila antihistamin
digunakan harus dengan hati-hati karena kemungkinan efek sampingnya
dapat mengeringkan mukosa dan mengentalkan lendir.
 Steroid. Naspitz, menganjurkan pemberian kortikosteroid oral jangka
pendek selama 1 minggu, yang diikuti dengan pemberian steroid intranasal
selama 3 minggu.
 Antibiotik Antibiotika yang dipakai harus memenuhi syarat: sensitif
terhadap kuman penyebab, kadar dalam mukosa sinus dan bronkus lebih
tinggi dari kadar inhibisi minimum dari jenis kuman penyebab, cara
pemberian mudah, efek samping sedikit dan obat tersedia dengan harga
relatif murah. Antibiotik yang sering digunakan adalah amoksisilin,
kotrimoksasol, sefalosporin dan makrolid.
a. Amoksisilin, merupakan obat pilihan untuk pasien sinusitis yang tidak
mengalami komplikasi. Menggantikan kedudukan ampisilin di dalam
pengobatan infeksi saluran napas atas akibat bakteri, karena absorbsinya
dua kali lebih baik dan mempunyai waktu paruh yang lebih panjang.
Merupakan obat yang efektif pada sebagian besar pasien, relatif murah
dan aman. Kerugian amoksisilin adalah lemah terhadap beta-laktamase
yang dihasilkan oleh H. influenza dan M. catarrhalis
b. Amoksisilin dan potassium klavulanat, telah dikembangkan dan
dipasarkan pada tahun 1985. Potasium klavulanat adalah garam dari
asam klavulanat, merupakan beta-laktam yang dengan aktivitas sedikit
melawan bakteri patogen tetapi mampu secara efektif menginhibisi
enzim beta- laktamase.
c. Trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMX), merupakan kombinasi 2
asam folat antagonis, merupakan antimikroba berspektrum luas.
Kombinasi obat ini kurang efektif terhadap Streptococus grup A Pada
sinusitis orang dewasa, keberhasilan obat ini mencapai 95%. Etiologi
sinusitis pada dewasa hampir sama dengan sinusitis pada anak.
d. Eritromisin dan sulfisoksazol, merupakan kombinasi oral untuk
pengobatan sinusitis pada anak. Dari kepustakaan didapatkan hasil yang
berhasil (21 dari 22 anak sinusitis maksilaris) 95%. Eritromisin efektif
terhadap kokus Gram positif tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk
sinusitis akut karena tidak adekuat terhadap H. influenza yang
merupakan salah satu penyebab pada semua umur.
4. Golongan sefalosporin
merupakan antimikroba yang strukturnya mirip dengan golongan penisilin dan
termasuk antimikroba beta-laktam. Sefaklor merupakan generasi kedua dari
sefaloporin, obat oral untuk infeksi saluran napas pada anak dan rasanya enak.
Kelemahannya adalah dalam aktivitasnya terhadap beta-laktamase yang
diproduksi oleh sebagian besar strain M. catarrhalis dan beberapa strain H.
influenzae, diberikan 3 kali dalam sehari.

3. PPOK
A. Pengertian

PPOK adalah penyakit pernafasan yang ditandai dengan terbatasnya aliran


udara di dalam saluran pernafasan. Ada dua jenis kondisi yang terkait :
 Bronkitis kronik : sekresi lendir (mukus) berlebihan kronis dan berulang-
ulang, dengan batuk yang terjadi sepanjang hari selama sedikitnya 3
bulan atau 2 tahun berturut-turut

 Emphysema : pembesaran permanen yang abnormal dari ruang udara di


ujung bronkiolus, diikuti dengan rusaknya dindingnya, tanpa fibrosis

B. Patofisiologi

• Perubahan inflamasi kronik menyebabkan perubahan destruktif dan


pembatasan aliran udara secara kronis.

 Penyebab yang paling umum adalah pemaparan asap rokok

• Menghirup partikel-partikel dan gas-gas beracun mengaktivasi netrofil,


makrofag, dan limfosit CD8+, yang melepaskan mediator-2 kimiawi,
meliputi TNF-, IL-8, dan leukotrien B4.

 Sel-sel dan mediator-2 inflamasi menyebabkan perubahan destruktif


yang luas pada saluran nafas, pembuluh pulmoner, dan parenkim paru

• Stress oksidatif dan ketidakseimbangan antara gangguan dan sistem


perlindungan (protease dan antiprotease) dalam paru-paru bisa terjadi.

 Oksidan yang dihasilkan dari asap rokok bereaksi dengan protein dan
lipid sehingga menyebabkan kerusakan jaringan.

 Oksidan juga meningkatkan inflamasi dan memperparah


ketidakseimbanan protease-antiprotease dengan menghambat aktivitas
antiprotease.

• Antiprotease protektif, A1-antitrypsin (AAT), menghambat enzim


protease, termasuk neutrophil elastase.

 Adanya aktivitas AAT yang tidak terlawan, elastase menyerang


elastin, komponen utama dari dinding alveoli.

• Eksudat inflamasi di dalam saluran nafas menyebabkan peningkatan


jumlah dan ukuran sel-sel goblet dan kelenjar mukus

 Sekresi mukus meningkat dan motilitas silia terganggu.


 Terjadi penebalan otot halus dan jaringan penghubung di dalam
saluran nafas

Inflamasi kronis menyebabkan fibrosis.

PPOK yang berhubngan dengan rokok menyebabkan emfisema


sentrilobular, yang terutama mempengaruhi bronkiolus Perubahan vaskular
meliputi penebalan pembuluh pulmoner yang menyebabkan disfungsi
endotel arteri pulmoner dan Perubahan struktural meningkatkan tekanan
pulmoner, khususnya selama latihan fisik

C. Patogenesis
D. Manifestasi Klinik

Gejala-gejala umum PPOK yaitu:

1. Denyut jantung abnormal


2. Sesak napas
3. Henti nafas atau nafas tidak teratur dalam aktivitas sehari-hari.
4. Kulit, bibir atau kku menjadi biru.
5. Batuk menahun, atau disebut juga 'batuk perokok' (smoker cough)
6. Batuk berdahak (batuk produktif)

PPOK ringan seringkali tidak menimbulkan gejala atau keluhan


apapun.PPOK disebabkan oleh 2 jenis penyakit yaitu Bronkitis Kronik dan
Emfisema. Kedua penyakit ini dapat terjadi bersamaan atau hanya salah satu
saja. Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai
kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi (ngik-ngik)

E. Penatalaksanaan

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel,


sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas penatalaksanaan pada keadaan
stabil dan penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.Tujuan umum
penatalaksanaan PPOK adalah untuk mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi
berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru serta meningkatkan
kualiti hidup penderita.

1. Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada


PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti
dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Tujuan edukasi adalah supaya pasien
PPOK mengenal perjalanan penyakit, melaksanakan pengobatan yang
maksimal, mencapai aktiviti optimal dan meningkatkan kualiti hidup.

2. Obat-obatan
 Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi sesuai dengan
klasifikasi derajad beratnya penyakit. Diutamakan bentuk obat inhalasi,
nebulisasi tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada
derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release)
atau obat berefek panjang (long acting)
 Ekspektoran dan mukolitik. Air minum adalah ekspektoran yang baik,
pemberian cairan yang cukup akan mengencerkan sekret. Obat
ekspektoran dan mukolitik dapat diberikan terutama pada saat
eksaserbasi. Antihistamin secara umum tidak diberikan karena dapat
menimbulkan kekeringan saluran napas sehingga sekret sukar
dkeluarkan
 Antibiotik diberikan bila ada infeksi sehingga dapat mengurangi
keadaan eksaserbasi akut.
 Antioksidan dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kialiti
hidup, digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai terapi rutin.
 Kortikosteroid pemberiannya masih kontroversial, hanya bermanfaat
pada serangan akut.
 Antitusif diberikan dengan hati-hati.
3. Terapi oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif berkepanjangan yang


menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ
lainnya. Terapi oksigen bermanfaat untuk mengurangi sesak napas,
hipertensi pulmoner, vasokonstriksi pembuliuh darah paru, hematokrit dan
memperbaiki kualiti dan fungsi neuropsikologik.

Ventilasi mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal


napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien
PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi mekanik dapat
digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah Ventilasi mekanik
dapat dilakukan dengan intubasi maupun tanpa intubasi.

Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal


napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi
mekanik tanpa intubasi adalah NIPPV (noninvasive intermitten positive
pressure) atau NPV (negative pressure ventilation). NIPPV bila digunakan
dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT/long term oxygen therapy)
akan memberikan perbaikan bermakna pada AGD, kualitas dan kuantitas
tidur serta kualiti hidup. NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi
volume control, pressure control dan BiPAP (bilevel positive airway
pressure) dan CPAP (continuous positive airway pressure).
F. Terapi farmakologik

Pendekatan pada farmakoterapi awal PPOK stabil berdasarkan pada penilaian


keterbatas aliran nafas, keparahan gejala, dan risiko peningkatan keparahan
(kelompok A, B, C, atau D)

• Kelompok A : simptoma intermitten dan risiko rendah eksaserbasi diatasi


dengan bronkodilator inhalasi kerja singkat

• Kelompok B : simptoma lebih persisten, awali dengan bronkodilator


inhalasi kerja lama

• Kelompok C dan D : risiko eksaserbasi tinggi, bisa diberi kortikosteroid


inhalasi

• Bronkodilator inhalasi kerja singkat (ß2-agonist atau antikolinergic)


adalah terapi awal untuk pasien dengan gejala intermittent

• Bronkodilator inhalasi kerja lama direkomendasikan untuk PPOK sedang


atau parah
Pedoman terapi farmakologik PPOK

Whalen, K.; Finkel, R.; & Pannavelli, T.A., (editors), 2015, Lippincott’s
Illustrated Reviews of Pharmacology, 6th ed., Walters Kluwer, available as
e-book in pdf file

1. Simpatomimetik
Simpatomimetik selektif ß2 menyebabkan relaksasi otot halus
bronki dan bronkodilatasi. Pemberian melalui metered-dose inhaler
(MDI) dry-powder inhaler (DPI) sama efektifnya dengan terapi
semprot, tetapi lebih disukai karena faktor biasa yang kenyamaman
Albuterol, levalbuterol, bitolterol, pirbuterol, dan terbutaline
adalah agonis kerja singkat yang terpilih karena durasi kerjanya lebih
panjang daripada agonis kerja singkat yang lain (isoproterenol,
metaproterenol, isoetharine). Inhalasi lebih dipilih daripada pemberian
parenteral
Salmeterol, formoterol, dan arformoterol adalah -agonis kerja
lama yang diberikan tiap 12 jam.
2. Antikolinergik
Bila diberikan secara inhalasi, antikolinergi menghasilkan
bronkodilatasi melalui penghambatan kompetitif reseptor pada otot
halus bronki
Ipratropium bromida adalah antikolinergik kerja singkat yang
terutama digunakan untuk PPOK.
Tiotropium bromida kerjanya lama yang melindungi dari
bronkonstriksi kolinergik selama lebih dari 24 jam. Mula kerjanya
dalam waktu 30 menit, efek puncak dalam 3 jam.

3. Metilxanthin
Teofillin dan aminofillin menghasilkan bronkodilatasi dengan
cara menghambat fosfodiesterase.
Penggunaan jangka lama teofillin dalam PPOK meningkatkan
fungsi paru-paru, termasuk kapasitas vital dan FEV1. selanjutnya
teofilin menurunkan dispnea, meningkatkan toleransi latihan, dan
meningkatkan kekuatan respirasi
Metilxantin memiliki peran yang sangat terbatas dalam terapi
PPOK karena interaksi obat dan variabilitas antarpasien ddalam
pengaturan dosis.
Terapi awal dengan 200 mg dua kali sehari, dan tingkatkan
setiap 3 – 5 hari hingga dosis target; kebanyakan pasien membutuhkan
400 – 900 mg per hari. Rentang kadar terapeutik 8 – 15 mcg/mL (44,4
– 3,3 µmol/L) adalah target untuk meminimalkan risiko toksisitas.
Efek samping umum teofilin meliputi dispepsia, mual, muntah,
diare, sakit kepala, mengantuk, dan takikardia. Aritmia dapat juga
terjadi, terutama pada kadar toksik
Faktor-faktor yang dapat menunrunkan bersihan teofillin
sehingga dosisnya perlu diturunkan adalah faktor usia, pneumonia
bakteri atau virus, gagal jantung, disfungsi hati, hipoksemia karena
dekompensasi akut, serta obat-obat : simetidin, makrolida, dan
fluorokinolon
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan bersihan teofillin
sehingga perlu dosis yang lebih tinggi antara lain tembakau (asap rokok)
dan marijuana, hipertiroidisme , dan obat-obat : fenitoin, fenobarbital,
dan rifampin
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid menurunkan permeabilitas kapiler dan
mengurangi mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari
leukosit, dan menghambat prostaglandin.
Kondisi yang sesuai untuk kortikosteroid untuk PPOK adalah :
1) Penggunaan sistemik jangka pendek untuk eksaserbasi akut
2) Terapi inhalasi untuk PPOK stabil kronik
Kortikosteroid sistemik jangka panjang hendaknya dihindari
pada manajemen PPOK karena keunggulannya belum jelas, justru
risiko toksisitas tinggi
Efek samping dari kortikosteroid inhalasi adalah ringan,
meliputi suara serak, tenggorokan sakit, candidiasis oral, dan memar
kulit. Efek samping yang berat seperti supresi adrenal, osteoporosis, dan
pembentukan katarak jarang terjadi dibandingkan dengan penggunaan
sistemik, namun tetap harus dipantau pada penggunaan terapi inhalasi
kronik dosis tinggi
5. Roflumilast

Roflumilast : inhibitor oral phosphodiesterase-4 untuk


mengurangi eksaserbasi pada pasien bronkitis kronik yang parah.
Aktivitasnya dalam PPOK belum jelas, tetapi diperkirakan mengurangi
inflamasi melalui peningkatan kadar cAMP intraseluler dalam sel paru-
paru

Roflumilast bukan bronkodilator, tidak diindikasikan untuk


mengatasi bronkospasme akut.

Efek samping meliputi mual, muntah, diare, dan sakit kepala

G. Terapi non farmakologi

• Hentikan merokok

• Program rehabilitasi pulmoner, meliputi latihan pernapasan, treatment


medis optimal, dukungan psikososial, dan edukasi kesehatan

• Pemberian vaksin bila perlu (vaksin pneumococcal, vaksin influenza


tahunan
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Sambuda, Abi (2008) KORELASI ANTARA RHINITIS DENGAN SINUSITIS
PADA PEMERIKSAAN SINUS PARANASALIS DI INSTALASI RADIOLOGI
RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA. Other thesis, Universtas Sebelas
Maret.Adams GL, Boies LC, PA (eds). 1989. Fundamentals Otolaryngology.
Philadelphia,W.b.Saunders.

Jurnal : N Rahajoe - Sari Pediatri, 2016 - saripediatri.idai.or.id, Sinobronkitis pada


Anak

Riftania M H, 2009, Kajian Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Rawat Jalan
Terdiagnosa Infeksi Saluran Pernafasan Atas Di Rsud Pandan Arang Boyolali,
Respiratory UMS.

Muhammad, 2007, Sinusitis akut. http://hennykartika.wordpress.com/category/sinus-


paranasal.
Sukandar, E, Y, dkk., 2008, ISO FARMAKOTERAPI, Penerbit Isfi, Jakarta.

Williams JW, Simel DL, Roberts L, Samsa GP. 1992. Clinical evaluation for sinusitis.
Making the diagnosis by history and physical examination.Ann. Intern. Med.

1. John Rees dkk. 1998. Petunjuk Penting Asma, Edisi III. Jakarta: Penerbit buku
Kedokteran EGC
2. Wells BG., JT Dipiro, TL Schwinghammer, CW.Hamilton, Pharmacoterapy
Handbook 6th ed International edition, Singapore, McGrawHill, 2006:826-848.
3. Farthing K., MJ Ferill, JA Generally, B Jones, BV Sweet, JN Mazur, et al. Drug
Facts & Comparison 11th ed., St.Louis:Wolter Kluwer Health, 2007: 417-459
1. Asma, Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, PDPI, 2004

Anda mungkin juga menyukai