Anda di halaman 1dari 27

SMF Ilmu Penyakit Saraf Referat

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

“PARKINSON”

Oleh:
Riska Putri Dewri
1710029012

Dosen Pembimbing:
dr. Aswad Muhammad, Sp.S

LAB / SMF Ilmu Penyakit Syaraf


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie
2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat tentang “Parkinson”. Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium ilmu penyakit syaraf Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga penyusun

1
mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan referat ini. Akhir kata, semoga
referat ini berguna bagi penyusun sendiri dan para pembaca.

Samarinda, Februari 2019

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................1
KATA PENGANTAR ......................................................................................2
BAB 1 Pendahuluan..........................................................................................3
1.1 Latar Belakang............................................................................................3
1.2 Tujuan.........................................................................................................3

2
BAB 2 Tinjauan Pustaka....................................................................................4
2.1 Definisi.......................................................................................................5
2.2 Epidemiologi...............................................................................................5
2.3 Anatomi......................................................................................................5
2.4 Etiologi........................................................................................................9
2.5 Patofisiologi..............................................................................................10
2.6 Klasifikasi..................................................................................................11
2.7 Diagnosis..................................................................................................12
3.8 Diagnosis Banding...................................................................................14
3.9 Penatalaksanaan.......................................................................................17
3.10 Prognosis................................................................................................19
BAB 3 Kesimpulan..........................................................................................20
Daftar Pustaka ............................................................................................... 21

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang memiliki


karakteristik tanda – tanda klinis parkinsonisme, seperti tremor saat istirahat, rigiditas,
ataksia, bradikinesia, dan instabilitas postural.Penyakit ini memiliki dimensi gejala yang

3
sangat luas sehingga baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup
penderita maupun keluarga. Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter inggris yang
bernama James Parkinson pada tahun 1817. Penyakit ini merupakan suatu kondisi ketika
seseorang mengalami ganguan pergerakan (Purba JS, 2016).
Penyakit parkinson dikenal sebagai salah satu penyakit neurologis tersering,
mempengaruhi sekitar 1 % individu berusia lebih dari 60 tahun. Insidens penyakit
parkinson adalah 5 – 21 kasus per 100.000 populasi per tahun dan prevalensinya adalah
sekitar 120 kasus per 100.000 populasi. Di Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk
210 juta orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-400.000 penderita.1 Rata-rata usia
penderita di atas 50 tahun dengan rentang usia-sesuai dengan penelitian yang dilakukan
di beberapa rumah sakit di Sumatera dan Jawa- 18 hingga 85 tahun. Angka kejadian
penyakit ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan berdasarkan penelitian
yang dilakukan terhadap sekumpulan penduduk maka dapat diperkirakan dalam beberapa
dekade ke depan, jumlah penyakit ini akan meningkat (Purba JS, 2016).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif system
ekstrapiramidal yang merupakan bagian dari Parkinsonism yang secara patologis ditandai

4
oleh adanya degenerasi ganglia basalis terutama di substansia nigra pars kompakta
(SNC) yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies)
(Kelompok Studi Movement Disorder PERDOSSI, 2013).
Parkinsonism adalah suatu sindrom yang gejala utamanya adalah tremor
waktu istirahat, kekakuan (rigidity), melambatnya gerakan (akinesia) dan instabilitas
postural (postural instability) (Kelompok Studi Movement Disorder PERDOSSI,
2013).

2.2 EPIDEMIOLOGI
Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara pria dan
wanita hampir seimbang. 5 – 10 % orang yang terjangkit penyakit parkinson, gejala
awalnya muncul sebelum usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65
tahun. Secara keseluruhan, pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 % di seluruh dunia
dan 1,6 % di Eropa, meningkat dari 0,6 % pada usia 60 – 64 tahun sampai 3,5 % pada
usia 85 – 89 tahun (Purba JS, 2016).
Di Amerika Serikat, ada sekitar 500.000 penderita parkinson. Di Indonesia
sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-
400.000 penderita. Rata-rata usia penderita di atas 50 tahun dengan rentang usia-sesuai
dengan penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Sumatera dan Jawa- 18
hingga 85 tahun. Statistik menunjukkan, baik di luar negeri maupun di dalam negeri,
lelaki lebih banyak terkena dibanding perempuan (3:2) dengan alasan yang belum
diketahui (Purba JS, 2016).

2.3 ETIOLOGI
Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansi nigra.
Suatu kelompok sel yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki
(involuntary). Akibatnya, penderita tidak bisa mengatur/menahan gerakan-gerakan yang
tidak disadarinya. Mekanisme bagaimana kerusakan itu belum jelas benar. Beberapa hal
yang diduga bisa menyebabkan parkinson adalah sebagai berikut:

5
a. Usia
Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50 sampai 200 dari 10.000
penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan dengan reaksi mikrogilial yang
mempengaruhi kerusakan neuronal, terutama pada substansia nigra, pada penyakit
parkinson.
b. Geografi
Di Libya terdapat 31 dari 100.000 orang terkena penyakit parkinson, sedangkan di
Buinos aires terdapat 657 per 100.000 orang yang menderita penyakit parkinson. Faktor
resiko yang mempengaruhi perbedaan angka secara geografis ini termasuk adanya
perbedaaan genetik, kekebalan terhadap penyakit dan paparan terhadap faktor
lingkungan.
c. Inflamasi
Otak mempunyai sistem imun istimewa dengan keberadaan mikroglia. Aktivasi dari
sistem imun ini bisa diakibatkan oleh adanya proses inflamasi. Ternyata sistem imun di
otak penderita penyakit parkinson ditemukan aktif, sehingga diperkirakan merupakan
salah satu faktor yang berkontribusi terhadap patologi penyakit parkinson.
d. Genetik
Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan pada penyakit parkinson.
Yaitu mutasi pada gen -sinuklein pada lengan panjang kromosom 4 (PARK1) pada
pasien dengan Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien dengan autosomal resesif
parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada gen parkin (PARK2) di kromosom 6.
Selain adanya mutasi gen, kelainan ini juga dapat disebabkan akibat terjadinya kesalahan
pada formasi protein.
e. Faktor Lingkungan
 Pekerjaan : lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi dan
lama.
 Infeksi : paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi faktor predesposisi
penyakit parkinson melalui kerusakan substansia nigra. Penelitian pada hewan
menunjukkan adanya kerusakan substansia nigra oleh infeksi Nocardia astroides.
f. Diet
Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress oksidatif, salah satu mekanisme
kerusakan neuronal pada penyakit parkinson. Sebaliknya,kopi merupakan neuroprotektif.
Penduduk yang tinggal di daerah kumuh dan mengkonsumsi air sumur yang terpapar
dengan logam berat akan mendapat kemungkinan menderita PP.
g. Trauma kepala
Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski peranannya masih

6
belum jelas benar. Penelitian epidemiologik menemukan pada seseorang yang sering
mengalami trauma kepala akan mendapat kemungkinan memperlihatkan empat kali lebih
sering gejala parkinson dibanding populasi lainnya. Penelitian lainnya menunjukan
bahwa sebenarnya trauma kepala yang berulang-ulang bisa memperlihatkan gejala klinis
seperti penyakit parkinson akan tetapi belum tentu sebagai penyebab penyakit itu sendiri.2
h. Stress dan depresi
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala motorik. Depresi dan
stress dihubungkan dengan penyakit parkinson karena pada stress dan depresi terjadi
peningkatan turnover katekolamin yang memacu stress oksidatif (Jankovic. J, Tolosa,
2002)

2.4 KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya Parkinsonism dibagi atas 4 jenis:
1. Idiopatik (primer) Penyakit Parkinson, genetic Parkinson’s disease
2. Simptomatik (Sekunder)
Akibat dari: Infeksi, obat, toksin, vaskular, trauma, hipotiroidea, tumor,
hidrosefalus tekanan normal, hidrosefalus obstruktif.
3. Parkinsonism plus (Multiple system degeneration)
Parkinsonism plus sindrom adalah Parkinsonism primer dangan gejala-gejala
tambahan. Termasuk demensia Lewy bodies, progresif supranuklear palsi, atrofi
multi sistem, degenerasi striatonigral, degenerasi olivopontoserebelar, sindrom
Shy-Drager, degenerasi kortikobasal, kompleks Parkinsonism demensia ALS
(Guam), neuroakantositosis.
4. Parkinsonism herediter Penyakit Wilson, penyakit Huntington’s disease, penyakit
Lewy bodies (Kelompok Studi Movement Disorder PERDOSSI, 2013)
Berdasarkan manifestasi klinis :
1. Penyakit parkinson rigiditas-akinetik, dapat dikenali pada fase awal sebagai
penurunan gerakan yang semakin memberat, termasuk hilangnya gerakan tambahan pada
lengan, perlambatan gaya jalan, berkurangnya ekspresi wajah, dan stoopped posture yang
khas. Beberapa pasien pada awalnya mengeluh kaku pada bahu (“frozen shoulder”), yang
sering dirujuk ke ortopedi sebelum perjalanan penyakit progresif menunjukan diagnosis
sebenarnya.
2. Penyakit parkinson dominan-tremor, terutama mengalami tremor istirahat

7
berfrekuensi-rendah, yang umumnya unilateral pada onset penyakit. Tremor parkinsonian
sering merupakan tipe pemutar pil.
3. Penyakit parkinson tipe gabungan, menunjukan manifestasi yang kurang lebih sama
antara akinesia, rigiditas, dan tremor (Baehr M, Frotscher M. 2016).

2.5 PATOFISIOLOGI
Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena penurunan
kadar dopamine akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta (SNc) sebesar
40-50% yang disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies) dengan
penyebab multifaktor.
Substansia nigra (sering disebut black substance), adalah suatu region kecil di otak
(brain stem) yang terletak sedikit di atas medulla spinalis. Bagian ini menjadi pusat
control/koordinasi dari seluruh pergerakan. Sel-selnya menghasilkan neurotransmitter
yang disebut dopamine, yang berfungsi untuk mengatur seluruh gerakan otot dan
keseimbangan tubuh yang dilakukan oleh sistem saraf pusat. Dopamine diperlukan untuk
komunikasi elektrokimia antara sel-sel neuron di otak terutama dalam mengatur
pergerakan, keseimbangan dan refleks postural, serta kelancaran komunikasi (bicara).
Pada penyakit Parkinson sel-sel neuron di SNc mengalami degenerasi, sehingga produksi
dopamine menurun dan akibatnya semua fungsi neuron di system saraf pusat (SSP)
menurun dan menghasilkan kelambatan gerak (bradikinesia), kelambatan bicara dan
berpikir (bradifrenia), tremor dan kekauan (rigiditas).
Hipotesis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi neuron SNc
adalah stress oksidatif. Stress oksidatif menyebabkan terbentuknya formasi oksiradikal,
seperti dopamine quinon yang dapat bereaksi dengan alfa sinuklein (disebut protofibrils).
Formasi ini menumpuk, tidak dapat di gradasi oleh ubiquitin-proteasomal pathway,
sehingga menyebabkan kematian sel-sel SNc. Mekanisme patogenik lain yang perlu
dipertimbangkan antara lain :
1. Efek lain dari stres oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal dengan nitric-
oxide (NO) yang menghasilkan peroxynitric-radical.
2. Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan produksi adenosin trifosfat (ATP)
dan akumulasi elektron-elektron yang memperburuk stres oksidatif, akhirnya

8
menghasilkan peningkatan apoptosis dan kematian sel.
3. Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang memicu
apoptosis sel-sel SNc (Jankovic. J, Tolosa, 2002).

2.6 MANIFESTASI KLINIS


Keadaan penderita pada umumnya diawali oleh gejala yang non spesifik, yang
didapat dari anamnesis yaitu kelemahan umum, kekakuan pada otot, pegalpegal atau
kram otot, distonia fokal, gangguan ketrampilan, kegelisahan, gejala sensorik
(parestesia) dan gejala psikiatrik (ansietas atau depresi). Gambaran klinis penderita
parkinson (Gilroy, 2000; Widjaja , 2003; Kelompok Studi Movement Disorder
PERDOSSI, 2013)
1. Tremor
Biasanya merupakan gejala pertama pada PP dan bermula pada satu tangan
kemudian meluas pada tungkai sisi yang sama. Kemudian sisi yang lain juga akan
turut terkena. Kepala, bibir dan lidah sering tidak terlihat, kecuali pada stadium
lanjut. Frekuensi tremor berkisar antara 4-7 gerakan per detik dan terutama timbul
pada keadaan istirahat dan berkurang bila ekstremitas digerakan. Tremor akan
bertambah pada keadaan emosi dan hilang pada waktu tidur.

2. Rigiditas
Pada permulaan rigiditas terbatas pada satu ekstremitas atas dan hanya
terdeteksi pada gerakan pasif. Pada stadium lanjut, rigiditas menjadi menyeluruh dan
lebih berat dan memberikan tahanan jika persendian digerakan secara pasif.
Rigiditas timbul sebagai reaksi terhadap regangan pada otot agonis dan antagonis.
Salah satu gejala dini akibat rigiditas ialah hilang gerak asosiatif lengan bila
berjalan. Rigiditas disebabkan oleh meningkatnya aktivitas motor neuron alfa.
3. Bradikinesia
Gerakan volunter menjadi lambat dan memulai suatu gerakan
menjadi sulit..Ekspresi muka atau gerakan mimik wajah berkurang (muka
topeng). Gerakangerakan otomatis yang terjadi tanpa disadari waktu duduk
juga menjadi sangat kurang. Bicara menjadi lambat dan monoton dan volume

9
suara berkurang (hipofonia).
4. Hilangnya refleks postural
Meskipun sebagian peneliti memasukan sebagai gejala utama, namun pada
awal stadium PP gejala ini belum ada. Hanya 37% penderita PP yang sudah
berlangsung selama 5 tahun mengalami gejala ini. Keadaan ini disebabkan
kegagalan integrasi dari saraf propioseptif dan labirin dan sebagian kecil impuls
dari mata, pada level talamus dan ganglia basalis yang akan mengganggu
kewaspadaan posisi tubuh. Keadaan ini mengakibatkan penderita mudah jatuh.
5. Wajah Parkinson
Seperti telah diutarakan, bradikinesia mengakibatkan kurangnya ekspresi muka
serta mimik. Muka menjadi seperti topeng, kedipan mata berkurang, disamping
itu kulit muka seperti berminyak dan ludah sering keluar dari mulut.
6. Mikrografia
Bila tangan yang dominan yang terlibat, maka tulisan secara graduasi menjadi
kecil dan rapat. Pada beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini.

7. Sikap Parkinson
Bradikinesia menyebabkan langkah menjadi kecil, yang khas pada PP. Pada
stadium yang lebih lanjut sikap penderita dalam posisi kepala difleksikan ke dada,
bahu membongkok ke depan, punggung melengkung kedepan, dan lengan tidak
melenggang bila berjalan.
8. Bicara
Rigiditas dan bradikinesia otot pernafasan, pita suara, otot faring, lidah dan
bibir mengakibatkan berbicara atau pengucapan kata-kata yang monoton dengan
volume yang kecil dan khas pada PP. Pada beberapa kasus suara berkurang
sampai berbentuk suara bisikan yang lamban.
9. Disfungsi otonom
Disfungsi otonom pada pasien PP memperlihatkan beberapa gejala seperti
disfungsi kardiovaskular (hipotensi ortostatik, aritmia jantung), gastrointestinal
(gangguan dismotilitas lambung, gangguan pencernaan, sembelit dan regurgitasi),
saluran kemih (frekuensi, urgensi atau inkontinensia), seksual (impotensi atau

10
hypersexual drive), termoregulator (berkeringat berlebihan atau intoleransi panas
atau dingin). Prevalensi disfungsi otonom ini berkisar 14-18% .
10. Gerakan bola mata
Mata kurang berkedip, melirik kearah atas terganggu, konvergensi menjadi sulit,
gerak bola mata menjadi terganggu.
11. Tanda Myerson
Dilakukan dengan jalan mengetok di daerah glabela berulang-ulang.Pasien
Parkinson tidak dapat mencegah mata berkedip pada tiap ketokan. Disebut juga
sebagai tanda “Myerson”
12. Demensia
Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif
yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga
mengakibakangangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktifitas sehari-hari
(Asosiasi AlzaimerIndonesia, 2003). Kelainan ini berkembang sebagai
konsekuensi patologi PP disebut kompleks parkinsonism demensia. Demensia
pada PP mungkin baru akan terlihat pada stadium lanjut, namun pasien PP telah
memperlihatkan perlambatanfungsi kognitif dan gangguan fungsi eksekutif
pada stadium awal. Gangguanfungsi kognitif pada PP yang meliputi
gangguan bahasa, fungsi visuospasial, memori jangka panjang dan fungsi
eksekutif ditemukan lebih berat dibandingkan dengan proses penuaan normal.
Persentase gangguan kognitif diperkirakan 20%.
13. Depresi
Sekitar 40% penderita PP terdapat gejala depresi. Hal ini dapat terjadi
disebabkan kondisi fisik penderita yang mengakibatkan keadaan yang
menyedihkan seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan harga diri dan
merasadikucilkan. Hal ini disebabkan keadaan depre.si yang sifatnya
endogen.Secaraanatomi keadaan ini dapat dijelaskan bahwa pada penderita
Parkinson terjadi degenerasi neuron dopaminergik dan juga terjadi degenerasi
neuron norepineprinyang letaknya tepat dibawah substansia nigra dan
degenerasi neuron asetilkolin yang letaknya diatas substansia nigra (Hermanowicz,
2001; Wolters , 2007).

11
Gambar 5. Derajat penyakit parkinson
Staging klinis (derajat penyakit) penderita penyakit parkinson, yaitu :
 Stage 1 = unilateral
 Stage 2 = bilateral
 Stage 3 = gangguan keseimbangan; jarang terjatuh
 Stage 4 = gangguan keseimbangan lebih nyata; cenderung jatuh
 Stage 5 = hanya terbaring di tempat tidur, bergantung pada kursi roda (Zorniak
M, 2017)

2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis PP berdasarkan klinis dengan ditemukannya gejala motorik utama
antara lain tremor pada waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia dan hilangnya refleks
postural. Kriteria diagnosis yang dipakai di Indonesia adalah kriteria Hughes
(PERDOSSI, 2013) :
 Possible : didapatkan 1 dari gejala-gejala utama
1. Tremor istirahat
2. Rigiditas
3. Bradikinesia
4. Kegagalan refleks postural
 Probable : Bila terdapat kombinasi dua gejala utama (termasuk kegagalan
refleks postural) alternatif lain: tremor istirahat asimetris, rigiditas asimetris atau
bradikinesia asimetris sudah cukup.

12
 Definite : Bila terdapat kombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala dengan satu
gejala lain yang tidak asimetris (tiga tanda kardinal), atau dua dari tiga tanda
tersebut, dengan satu dari ketiga tanda pertama, asimetris.
Bila semua tanda-tanda tidak jelas sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulangan
beberapa bulan kemudian. Untuk kepentingan klinis diperlukan adanya penetapan berat
ringannya penyakit dalam hal ini digunakan stadium klinis berdasarkan Hoehn dan Yahr
(PERDOSSI, 2013) yaitu:
* Stadium 1
Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan, terdapat gejala yang
mengganggu tetapi menimbulkan kecacatan, biasanya terdapat tremor pada satu anggota
gerak, gejala yang timbul dapat dikenali orang terdekat (teman) .
* Stadium 2
Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/cara berjalan terganggu.
* Stadium 3
Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat berjalan/berdiri,
disfungsi umum sedang .
*Stadium 4
Terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak tertentu, rigiditas
dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor dapat berkurang dibandingkan
stadium sebelumnya.

13
* Stadium 5
Stadium kakhetik (cachcactic stage), kecacatan total, tidak mampu berdiri dan berjalan
walaupun dibantu.(Joesoef, 2001; Kelompok Studi Movement Disorder PERDOSSI,
2013)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi umumnya digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain.
Jika pemberian Levodopa tidak ada perbaikan maka untuk memastikan perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang lain seperti EEG, CTscan kepala dan pemeriksaan laboratorium
sesuai dugaan. Pemeriksaan MRI juga dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi
diagnosis banding lain seperti stroke, lesi desak ruang (tumor, abses), hidrosefalus
tekanan normal, dan penyakit lain. Pemeriksaan CT dan MRI terkadang juga dapat
membantu membedakan penyakit parkinson idiopatik dengan parkinsonisme tipe lain.

14
Hal ini relevan jika keluhan pada pasien unilateral. Pemeriksaan pencitraan menunjukan
penyakit atherosklerotik otak atau tekanan normal hidrosefalus dan jarang menunjukan
lesi struktural. MRI terkadang menunjukan tanda dari atropi sistem multipel (perubahan
sinyal infratentorial, putaminal atrofi, hot cross bun sign) (Purba JS, 2012).
Sejauh ini belum ada pemeriksaan penunjang yang dapat memastikan penyakit
parkinson, lebih banyak digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain yang
menimbulkan gejala parkinsonisme yang mirip dengan penyakit parkinson, atau pada
pasien yang setelah terapi levodopa tidak menunjukan perbaikan (Purba JS, 2012).
A. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hanya bersifat dukungan pada hasil klinis, karena tidak
memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk penyakit Parkinson. Pengukuran
kadar NT dopamine atau metabolitnya dalam air kencing, darah maupun cairan otak akan
menurun pada penyakit Parkinson dibandingkan kontrol. Lebih lanjut, dalam keadaan
tidak ada penanda biologis yang spesifik penyakit, maka diagnosis definitive terhadap
penyakit Parkinson hanya ditegakkan dengan otopsi. Dua penelitian patologis terpisah
berkesimpulan bahwa hanya 76% dari penderita memenuhi kriteria patologis aktual,
sedangkan yang 24% mempunyai penyebab lain untuk parkinsonisme tersebut (Price SA,
Wilson LM, Hartwig MS, 2006).
B. EEG (biasanya terjadi perlambatan yang progresif)
C. CT Scan kepala (biasanya terjadi atropi kortikal difus, sulki melebar, hidrosefalua
eks vakuo)
D. Magnetik Resonance Imaging (MRI)
Baru-baru ini dalam sebuah artikel tentang MRI, didapati bahwa hanya pasien yang
dianggap mempunyai atropi multi sistem memperlihatkan signal di striatum.
E. Positron Emission Tomography (PET)
Ini merupakan teknik imaging yang masih relatif baru dan telah memberi kontribusi
yang signifikan untuk melihat kedalam sistem dopamine nigrostriatal dan peranannya
dalam patofisiologi penyakit Parkinson. Penurunan karakteristik pada pengambilan
fluorodopa, khususnya di putamen, dapat diperlihatkan hampir pada semua penderita
penyakit Parkinson, bahkan pada tahap dini. Pada saat awitan gejala, penderita penyakit
Parkinson telah memperlihatkan penurunan 30% pada pengambilan fluorodopa putamen.
Tetapi sayangnya PET tidak dapat membedakan antara penyakit Parkinson dengan

15
parkinsonisme atipikal. PET juga merupakan suatu alat untuk secara obyektif memonitor
progresi penyakit, maupun secara obyektif memperlihatkan fungsi implantasi jaringan
mesensefalon fetus (Price SA, Wilson LM, Hartwig MS, 2006).

Gambar 7. PET pada penderita Parkinson pre dan post transplantasi

F. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)


Sekarang telah tersedia ligand untuk imaging sistem pre dan post sinapsis oleh
SPECT, suatu kontribusi berharga untuk diagnosis antara sindroma Parkinson plus dan
penyakit Parkinson, yang merupakan penyakit presinapsis murni. Penempelan ke striatum
oleh derivat kokain [123]beta-CIT, yang juga dikenal sebagai RTI-55, berkurang secara
signifikan disebelah kontralateral sisi yang secara klinis terkena maupun tidak terkena
pada penderita hemiparkinson. Penempelan juga berkurang secara signifikan
dibandingkan dengan nilai yang diharapkan sesuai umur yang berkisar antara 36% pada
tahap I Hoehn dan Yahr sampai 71% pada tahap V. Marek dan yang lainnya telah
melaporkan rata-rata penurunan tahunan sebesar 11% pada pengambilan [123]beta-CIT
striatum pada 34 penderita penyakit Parkinson dini yang dipantau selama 2 tahun.
Sekarang telah memungkinkan untuk memvisualisasi dan menghitung degenerasi sel
saraf nigrostriatal pada penyakit Parkinson (Price SA, Wilson LM, Hartwig MS, 2006).
Dengan demikian, imaging transporter dopamin pre-sinapsis yang menggunakan
ligand ini atau ligand baru lainnya mungkin terbukti berguna dalam mendeteksi orang

16
yang beresiko secara dini. Sebenarnya, potensi SPECT sebagai suatu metoda skrining
untuk penyakit Parkinson dini atau bahkan presimptomatik tampaknya telah menjadi
kenyataan dalam praktek. Potensi teknik tersebut sebagai metoda yang obyektif untuk
memonitor efikasi terapi farmakologis baru, sekarang sedang diselidiki (Price SA, Wilson
LM, Hartwig MS, 2006).

2.8 DIAGNOSIS BANDING


a. Progresif supranuclear palsy
b. Multiple System Atrophy
c. Corticobasal degeneration.
d. Esential Tremor
e. Lewy Body Dementia
f. Vascular parkinsonism
g. Normal pressure Hidrocephalus
h. Drug induced parkinsonism
(Lingor P, Liman J, Kallenberg K, Sahlmann CO, Bahr M, 2017)

2.9 PENATALAKSANAAN
Penyakit Parkinson adalah suatu penyakit degeneratif yang berkembang progresif
dan penyebabnya tidak diketahui, oleh karena itu strategi penatalaksanaannya adalah 1)
terapi simtomatik, untuk mempertahankan independensi pasien, 2) neuroproteksi dan 3)
neurorestorasi, keduanya untuk menghambat progresivitas penyakit Parkinson. Strategi
ini ditujukan untuk mempertahankan kualitas hidup penderitanya.17
1. Terapi farmakologik
a. Obat pengganti dopamine (Levodopa, Carbidopa)
Levodopa merupakan pengobatan utama untuk penyakit parkinson. Di dalam
otak levodopa dirubah menjadi dopamine. Levodopa mengurangi tremor, kekakuan otot
dan memperbaiki gerakan. Penderita penyakit parkinson ringan bisa kembali menjalani
aktivitasnya secara normal. Obat ini diberikan bersama carbidopa untuk meningkatkan
efektivitasnya & mengurangi efek sampingnya.
Banyak dokter menunda pengobatan simtomatis dengan levodopa sampai
memang dibutuhkan. Bila gejala pasien masih ringan dan tidak mengganggu, sebaiknya
terapi dengan levodopa jangan dilakukan. Hal ini mengingat bahwa efektifitas levodopa
berkaitan dengan lama waktu pemakaiannya. Levodopa melintasi sawar-darah-otak dan

17
memasuki susunan saraf pusat dan mengalami perubahan ensimatik menjadi dopamin.
Dopamin menghambat aktifitas neuron di ganglia basal.
Efek samping levodopa dapat berupa:
1) Nausea, muntah, distress abdominal
2) Hipotensi postural
3) Sesekali akan didapatkan aritmia jantung, terutama pada penderita yang berusia
lanjut. Efek ini diakibatkan oleh efek beta-adrenergik dopamine pada system
konduksi jantung. Ini bisa diatasi dengan obat beta blocker seperti propanolol.
4) Diskinesia yang paling sering ditemukan melibatkan anggota gerak, leher atau
muka. Diskinesia sering terjadi pada penderita yang berespon baik terhadap terapi
levodopa. Beberapa penderita menunjukkan gejala on-off yang sangat mengganggu
karena penderita tidak tahu kapan gerakannya mendadak menjadi terhenti, membeku,
sulit. Jadi gerakannya terinterupsi sejenak.
5) Abnormalitas laboratorium. Granulositopenia, fungsi hati abnormal dan ureum
darah yang meningkat merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada terapi
Levodopa (Widjaja D. 2003).
Efek samping levodopa pada pemakaian bertahun-tahun adalah diskinesia yaitu
gerakan motorik tidak terkontrol pada anggota gerak maupun tubuh. Respon penderita
yang mengkonsumsi levodopa juga semakin lama semakin berkurang. Untuk
menghilangkan efek samping levodopa, jadwal pemberian diatur dan ditingkatkan
dosisnya, juga dengan memberikan tambahan obat-obat yang memiliki mekanisme kerja
berbeda seperti dopamin agonis, COMT inhibitor atau MAO-B inhibitor.
b. Agonis Dopamin
Agonis dopamin seperti Bromokriptin (Parlodel), Pergolid (Permax), Pramipexol
(Mirapex), Ropinirol, Kabergolin, Apomorfin dan lisurid dianggap cukup efektif untuk
mengobati gejala Parkinson. Obat ini bekerja dengan merangsang reseptor dopamin, akan
tetapi obat ini juga menyebabkan penurunan reseptor dopamin secara progresif yang
selanjutnya akan menimbulkan peningkatan gejala Parkinson. Obat ini dapat berguna
untuk mengobati pasien yang pernah mengalami serangan yang berfluktuasi dan
diskinesia sebagai akibat dari levodopa dosis tinggi. Apomorfin dapat diinjeksikan
subkutan. Dosis rendah yang diberikan setiap hari dapat mengurangi fluktuasi gejala

18
motorik. Efek samping obat ini adalah halusinasi, psikosis, eritromelalgia, edema kaki,
mual dan muntah.(Syamsuddin T, 2004).
c. Antikolinergik
Obat ini menghambat sistem kolinergik di ganglia basal dan menghambat aksi
neurotransmitter otak yang disebut asetilkolin. Obat ini mampu membantu mengoreksi
keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin, sehingga dapat mengurangi gejala tremor.
Ada dua preparat antikolinergik yang banyak digunakan untuk penyakit parkinson, yaitu
thrihexyphenidyl (artane) dan benztropin (congentin). Preparat lainnya yang juga
termasuk golongan ini adalah biperidon (akineton), orphenadrine (disipal) dan
procyclidine (kamadrin).
Efek samping obat ini adalah mulut kering dan pandangan kabur. Sebaiknya obat
jenis ini tidak diberikan pada penderita penyakit Parkinson usia diatas 70 tahun, karena
dapat menyebabkan penurunan daya ingat.
d. Penghambat Monoamin oxidase (MAO Inhibitor)
Selegiline (Eldepryl), Rasagaline (Azilect). Inhibitor MAO diduga berguna pada
penyakit Parkinson karena neurotransmisi dopamine dapat ditingkatkan dengan
mencegah perusakannya. Selegiline dapat pula memperlambat memburuknya sindrom
Parkinson, dengan demikian terapi levodopa dapat ditangguhkan selama beberapa waktu.
Berguna untuk mengendalikan gejala dari penyakit Parkinson yaitu untuk mengaluskan
pergerakan. Selegilin dan rasagilin mengurangi gejala dengan dengan menginhibisi
monoamine oksidase B (MAO-B), sehingga menghambat perusakan dopamine yang
dikeluarkan oleh neuron dopaminergik. Metabolitnya mengandung L-amphetamin and L-
methamphetamin. Biasa dipakai sebagai kombinasi dengan gabungan levodopa-
carbidopa. Selain itu obat ini juga berfungsi sebagai antidepresan ringan. Efek
sampingnya adalah insomnia, penurunan tekanan darah dan aritmia.
e. Amantadin
Berperan sebagai pengganti dopamine, tetapi bekerja di bagian lain otak. Obat ini
dulu ditemukan sebagai obat antivirus, selanjutnya diketahui dapat menghilangkan gejala
penyakit Parkinson yaitu menurunkan gejala tremor, bradikinesia, dan fatigue pada awal
penyakit Parkinson dan dapat menghilangkan fluktuasi motorik (fenomena on-off) dan
diskinesia pada penderita Parkinson lanjut. Dapat dipakai sendirian atau sebagai

19
kombinasi dengan levodopa atau agonis dopamine. Efek sampingnya dapat
mengakibatkan mengantuk.
f. Penghambat Catechol 0-Methyl Transferase/COMT
Entacapone (Comtan), Tolcapone (Tasmar). Obat ini masih relatif baru, berfungsi
menghambat degradasi dopamine oleh enzim COMT dan memperbaiki transfer levodopa
ke otak. Mulai dipakai sebagai kombinasi levodopa saat efektivitas levodopa menurun.
Diberikan bersama setiap dosis levodopa. Obat ini memperbaiki fenomena on-off,
memperbaiki kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari. Efek samping obat ini berupa
gangguan fungsi hati, sehingga perlu diperiksa tes fungsi hati secara serial. Obat ini juga
menyebabkan perubahan warna urin berwarna merah-oranye.
g. Neuroproteksi
Terapi neuroprotektif dapat melindungi neuron dari kematian sel yang diinduksi
progresifitas penyakit. Yang sedang dikembangkan sebagai agen neuroprotektif adalah
apoptotic drugs (CEP 1347 and CTCT346), lazaroids, bioenergetics, antiglutamatergic
agents, dan dopamine receptors. Adapun yang sering digunakan di klinik adalah
monoamine oxidase inhibitors (selegiline and rasagiline), dopamin agonis, dan complek I
mitochondrial fortifier coenzyme Q10. (Widjaja D. 2003).

2. Non medikamentosa
Deep Brain Stimulation (DBS)
Pada tahun 1987, diperkenalkan pengobatan dengan cara memasukkan elektroda
yang memancarkan impuls listrik frekuensi tinggi terus-menerus ke dalam otak. Terapi ini
disebut deep brain stimulation (DBS). DBS adalah tindakan minimal invasif yang
dioperasikan melalui panduan komputer dengan tingkat kerusakan minimal untuk
mencangkokkan alat medis yang disebut neurostimulator untuk menghasilkan stimulasi
elektrik pada wilayah target di dalam otak yang terlibat dalam pengendalian gerakan.
Terapi ini memberikan stimulasi elektrik rendah pada thalamus. Stimulasi ini digerakkan
oleh alat medis implant yang menekan tremor. Terapi ini memberikan kemungkinan
penekanan pada semua gejala dan efek samping, dokter menargetkan
wilayah subthalamic nucleus (STN) dan globus pallidus (GP) sebagai wilayah stimulasi

20
elektris. Pilihan wilayah target tergantung pada penilaian klinis. (Sidharta P, 1999).
Selain terapi obat yang diberikan, pemberian makanan harus benar-benar
diperhatikan, karena kekakuan otot bisa menyebabkan penderita mengalami kesulitan
untuk menelan sehingga bisa terjadi kekurangan gizi (malnutrisi) pada penderita.
Makanan berserat akan membantu mengurangi ganguan pencernaan yang disebabkan
kurangnya aktivitas, cairan dan beberapa obat.
 Terapi Fisik
Sebagian terbesar penderita Parkinson akan merasa efek baik dari terapi fisik. Pasien
akan termotifasi sehingga terapi ini bisa dilakukan di rumah, dengan diberikan petunjuk
atau latihan contoh diklinik terapi fisik. Program terapi fisik pada penyakit Parkinson
merupakan program jangka panjang dan jenis terapi disesuaikan dengan perkembangan
atau perburukan penyakit, misalnya perubahan pada rigiditas, tremor dan hambatan
lainnya.
Latihan fisik yang teratur, termasuk yoga, taichi, ataupun tari dapat bermanfaat
dalam menjaga dan meningkatkan mobilitas, fleksibilitas, keseimbangan, dan range of
motion. Latihan dasar selalu dianjurkan, seperti membawa tas, memakai dasi, mengunyah
keras, dan memindahkan makanan di dalam mulut.
 Terapi Suara
Perawatan yang paling besar untuk kekacauan suara yang diakibatkan oleh penyakit
Parkinson adalah dengan Lee Silverman Voice Treatment ( LSVT ). LSVT fokus untuk
meningkatkan volume suara. Suatu studi menemukan bahwa alat elektronik yang
menyediakan umpan balik indera pendengar atau frequency auditory feedback (FAF)
untuk meningkatkan kejernihan suara.
 Terapi gen
Pada saat sekarang ini, penyelidikan telah dilakukan hingga tahap terapi gen yang
melibatkan penggunaan virus yang tidak berbahaya yang dikirim ke bagian otak yang
disebut subthalamic nucleus (STN). Gen yang digunakan memerintahkan untuk
mempoduksi sebuah enzim yang disebut glutamic acid decarboxylase (GAD) yang
mempercepat produksi neurotransmitter (GABA). GABA bertindak sebagai penghambat
langsung sel yang terlalu aktif di STN.
Terapi lain yang sedang dikembangkan adalah GDNF. Infus GDNF (glial-derived
neurotrophic factor) pada ganglia basal dengan menggunakan implant kateter melalui
operasi. Dengan berbagai reaksi biokimia, GDNF akan merangsang pembentukan L-
dopa.

21
 Pencangkokan saraf
Cangkok sel stem secara genetik untuk memproduksi dopamine atau sel stem yang
berubah menjadi sel memproduksi dopamine telah mulai dilakukan. Percobaan pertama
yang dilakukan adalah randomized double-blind sham-placebo dengan pencangkokan
dopaminergik yang gagal menunjukkan peningkatan mutu hidup untuk pasien di bawah
umur (Sidharta P, 1999).

22
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan umumnya terjadi akibat pengobatan jangka panjang
dengan levodopa. Beberapa pasien pada awalnya mengeluhkan mual, walaupun hal ini
dapat ditanggulangi dengan meminum obat setalah makan. Mual biasanya menghilang
setelah beberapa minggu walaupun obat terus diberikan, atau dapat juga diberikan
kemoreseptor spesifik dopaminergik antagonis domperidon. Pada beberapa pasien dapat
ditemukan gejala hipotensi ortostatik ringan (Ropper AH, 2014).
Walaupun levodopa merupakan obat paling efektif untuk penyakit parkinson namun
dengan waktu terbatas 3 – 7 tahun dapat timbul komplikasi motorik dan non – motorik.
Komplikasi motorik
a. Fluktuasi motorik
 Wearing off
Ini adalah suatu keadaan dimana efek levodopa menjadi pendek dari semula 4 jam
menjadi, misalnya, 2 jam.
 On-off
Adalah perubahan yang cepat dan terkadang tidak dapat diprediksikan. Efek
levodopa bisa naik (“on”) turun (”off”). Pada keadaan pasien bebas dari gejala, secara
tiba – tiba dapat terjadi imobilitas hampir komplit. Komplikasi ini umumnya
ditanggulangi dengan peningkatan frekuensi pemberian obat, dan diikuti pengurangan
dosis.
b. Diskinesia
Berupa gerakan – gerakan tak terkendali seperti:
 Khorea
Salah satu contohnya gerakan berupa tarikan cepat pada anggota gerak.
 Distonia
Gerakan konstan seperti melintir yang mengubah postur bagian tertentu.
Komplikasi ini dapat ditanggulangi dengan penggunaan levodopa dosis rendah dengan
preparat long acting.
Komplikasi non – motorik
a. Gangguan otonomik
Banyak liur, keringatan, hipotensi ortostatik, konstipasi, disfungsi seksual.
b. Gangguan psikiatrik
Insomnia, halusinasi, depresi, demensia (Ropper AH, 2014).

2.11 Pencegahan

23
Pencegahan penyakit parkinon ditujukan bagi setiap orang sepanjang hayat sebelum
timbulnya gejala klinis. Pola hidup dengan konsumsi makanan sehat, melkukan aktifitas
fisik yang teratur. Untuk itu perlu diperhatikan hal – hal seperti dibawah ini :
 Menghindari kontak dalam jangka waktu lama dengan faktor risiko seperti zat
kimia khususnya pestisida dan herbisida.
 Menghidari pemakaian obat – obatan dalam jangka waktu lama seperti
pemakaian obat psikoterapi dan obat anti muntah.
 Pemberian terapi hormonal esterogen tunggal secara dini kepada permpuan
pre-menopause (konsultasi dengan ahli kebidanan), dan khususnya bagi
perempuan yang telah melakukan operasi histerektomi (Purba JS, 2012).

2.12 Prognosis
Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson, sedangkan
perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena parkinson,
maka penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya. Tanpa perawatan, gangguan yang
terjadi mengalami progress hingga terjadi total disabilitas, sering disertai dengan
ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat menyebabkan kematian. Dengan
perawatan, gangguan pada setiap pasien berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon
terhadap medikasi. Perluasan gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat
bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang dapat sangat parah (Ganong, William F,
2011).
Penyakit parkinson sendiri tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi
berkembang sejalan dengan waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien penyakit
parkinson pada umumnya lebih rendah dibandingkan yang tidak menderita penyakit
parkinson. Pada tahap akhir, penyakit parkinson dapat menyebabkan komplikasi seperti
tersedak, pneumoni, dan memburuk yang dapat menyebabkan kematian. Progresifitas
gejala pada penyakit parkinson dapat berlangsung 20 tahun atau lebih. Namun demikian
pada beberapa orang dapat lebih singkat. Tidak ada cara yang tepat untuk
memprediksikan lamanya penyakit ini pada masing-masing individu. Dengan treatment
yang tepat, kebanyakan pasien penyakit parkinson dapat hidup produktif beberapa tahun
setelah diagnosis (Ganong, William F, 2011).

24
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis progresif,


merupakan suatu penyakit/sindrom karena gangguan pada ganglia basalis akibat
penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia nigra ke globus
palidus/ neostriatum (striatal dopamine deficiency). Insides dan prevalens meningkat
seiring bertambahnya usia dan umur rata – rata pasien saat awitan awal adalah sekitar 60
tahun. Pemyakit ini lebih sering mempengaruhi laki – laki daripada perempuan dengan
perbandingan 3 : 2.
Diagnosis ditegakkan secara klinis melalui pemeriksaan fisik dan anamnesis dengan
ditemukannya dua dari empat tanda kardinal, yaitu tremor saat istirahat, rigiditas,
bradikinesia, dan instabilitas postural. Penyakit Parkinson merupakan penyakit kronis
yang membutuhkan penanganan secara holistik meliputi berbagai bidang. Pada saat ini
tidak ada terapi untuk menyembuhkan penyakit ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat
mengatasi gejala yang timbul . Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-
gejala parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat
ini. Sekali terkena parkinson, maka penyakit ini akan terus dialami sepanjang hidupnya.
Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami perkembangan hingga
terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan
dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien berbeda-
berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi, perluasan gejala berkurang,
dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Namun akibat penggunaan obat jangka

25
panjang dalam terapi parkinson menimbulkan komplikasi pada beberapa pasien.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topik neurologi DUUS. Ed 4. Jakarta : EGC; 2016.


2. Ganong, William F, Mcphee, Stephen J. Patofisiologi Penyakit Edisi 5. Penyakit
Parkinson. Jakarta. EGC; 2011.
3. Jankovic. J, Tolosa. E. Parkinson’s Disease And Movements Disorders 4th.
Philadelpia : Lippincott &Wilkins;2002.
4. Jankovic J. Parkinson’s disease: clinical features and diagnosis. USA: J Neurol
Neurosurg Psychiatry; 2008; 79:368-376.
5. Lingor P, Liman J, Kallenberg K, Sahlmann CO, Bahr M. Diagnosis and differential
diagnosis of Parkinson, diagnosis and tratment of parkinson disease. Available at:
http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/20327.pdf Access on March 9th 2017
6. Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi
Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Vol 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2006.
7. Purba JS. Penyakit parkinson. Jakarta : Balai penerbit FKUI; 2012.
8. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and victor’s principle of neurology. 10 th
ed. USA : McGraw Hill; 2014.
9. Sidharta Priguna. 1999. Neurologi Klins Dalam Praktek Umum. Dian Rakyat. Jakarta
10. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Ed 4. Jakarta
: Media Aesculapius; 2014.
11. Widjaja D. 2003. Pathophysiology and Pathogenesis of Parkinson′s Disease . Disampaikan pada
Simposium A New Paradigm in The Management of Parkinson′s Disease.
12. Standar Pelayanan Medik. PERDOSSI
http://medicanieblog.com/penatalaksanaanparkinson/htm

26
27

Anda mungkin juga menyukai