Suatu konflik/permasalahan akan selesai jika dilakukan dengan penyelesaian yang benar,
satu hal yang harus diutamakan adalah komunikasi. Komunikasi yang baik ialah komunikasi
yang efektif mampu menyelesaikan konflik/permasalaahan dengan cepat, ketika didapati suatu
masalah maka dilakukanlah diskusi, saling bertukar pendapat, ide, yang menghasilkan suatu
perubahan menjadi sebuah hubungan yang baik antar individu, dan efektifitas dari suatu proses
komunikasi dapat dilihat dari tercapainya suatu tujuan dari putusan bersama yang kemudian
dijadikan sebagai sebagai kebijakan.
Seperti pada kasus yaitu, adanya aksi buruh perempuan yang menuntut manajemen untuk
membatalkan penentuan kebijakan rencana mencabut hak cuti haid dan menolak kebijakan tidak
ada pembayaran selama cuti. Terjadi konflik berupa aksi para buruh terjadi karena adanya
penentuan suatu kebijakan dari perusahaan dinilai sebagai suatu langkah menghapus hak pekerja
wanita. Konflik tersebut terjadi karena kurangnya hubungan komunikasi antara pihak perusahaan
dengan para buruh. Dalam konflik yang terjadi penyelesaian yang dilakukan pihak perusahaan
adalah dengan cara pertama mengendalikan konflik yang terjadi dengan cara berkomunikasi
yang baik, lalu bertemu dengan pihak buruh mendiskusikan/musyawarahkan beberapa hal berupa
keinginan serta alasan perusahaan menentukan kebijakan “pencabutan hak cuti haid dan tidak
adanya pembayaran selama cuti”. Begitu juga dengan aksi para buruh yang menolak penentuan
kebijakan tersebut. Dari komunikasi yang baik, diskusi/musyawarah yang baik tercapailah suatu
putusan bahwa pencabutan hak cuti haid dan tidak adanya pembayaran cuti bagi kaum buruh
perempuan, penentuan kebijakan tersebut dicabut dan di batalkan.
Konflik terjadi karena perusahaan menentukan suatu kebijakan yang dianggap tidak adil
bagi kaum buruh perempuan sehingga muncullah kejadian berupa aksi menuntut dan protes dari
buruh kaum wanita ini memberikan suatu dampak negative bagi perusahaan. Terjadi gangguan
kinerja produksi serta terganggunya proses perkembangan produksi dari perusahaan tersebut.
Sebagai suatu pegangan bagi para buruh perempuan, dalam UU No. 13 tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan Pasal 81 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pekerja atau buruh
perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak
wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
Dapat diartikan bahwa pada setiap bulan/siklus perempuan memiliki jatah cuti haid
dengan catatan merasakan sakit pada saat haid di hari pertama dan kedua. Jadi selayaknya
perusahaan untuk melakukan pemenuhan hak dasar bagi perempuan dan dilaksanakan dengan
bijaksana yang mana hal demikian merupakan bagian dari rasa kemanusiaan (HAM) bagi para
buruh perempuan.