Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Campak adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, lemas, batuk, konjungtivitis
(peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan bintik merah di kulit (ruam kulit).
Penyebab
Penyebabnya virus morbili (paramiksovirus).
Virus ini terdapat dalam darah dan sekret (cairan) nasofaring (jaringan antara tenggorokan dan hidung) pada masa
gejala awal (prodromal) hingga 24 jam setelah timbulnya bercak merah di kulit dan selaput lendir.
Cara penularan melalui droplet dan kontak, yakni karena menghirup percikan ludah (droplet) dari hidung, mulut
maupun tenggorokan penderita morbili/campak.
Artinya, seseorang dapat tertular Campak bila menghirup virus morbili, bisa di tempat umum, di kendaraan atau di
mana saja. Penderita bisa menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit dan selama ruam
kulit ada. Masa inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala muncul.
Sebelum vaksinasi campak digunakan secara meluas, wabah campak terjadi setiap 2-3 tahun, terutama pada anak-anak
usia pra-sekolah dan anak-anak SD. Jika seseorang pernah menderita campak, maka seumur hidupnya dia akan kebal
terhadap penyakit ini.
Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir
ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1 tahun).
Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah:
• bayi berumur lebih dari 1 tahun
• bayi yang tidak mendapatkan imunisasi
• remaja dan dewasa muda yang belum mendapatkan imunisasi kedua.
PATOFISIOLOGI
Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet lewat udara, menempel dan berbiak pada epitel nasofaring. Tiga hari
setelah invasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi viremia yang pertama. Virus
menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya
giant cells dan proses keradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronchial paru. Juga terdapat
udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi dan penyebaran pada epitel dan kulit
menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3 C : coryza, cough and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi.
Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak
dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.Virus dapat berbiak juga pada susunan
saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik encefalitis. Setelah masa konvelesen pada turun dan hipervaskularisasi
mereda dan menyebabkan ruam menjadi makin gelap, berubah menjadi desquamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini
disebabkan karena pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit.
Gejala
Gejala mulai timbul dalam waktu 7-14 hari (referensi lain menyebutkan sekitar 10-20 hari) setelah terinfeksi, yaitu
berupa: – nyeri tenggorokan – hidung meler – batuk – nyeri otot – demam – mata merah – fotofobia (rentan terhadap
cahaya, silau). Namun, gejala ini tidak semuanya terjadai pada tiap penderita tergatnung dari stamina masing-masing.
Gejala klinis dibagi menjadi 3 stadium, yakni:
• Stadium awal (prodromal)
• Stadium timbulnya bercak (erupsi)
• Stadium masa penyembuhan (konvalesen)
Stadium awal (prodromal)
Pada umumnya berlangsung sekitar 4-5 hari, ditandai dengan: panas, lemas (malaise), nyeri otot, batuk, pilek, mata
merah, fotofobia (takut cahaya), diare karena adanya peradangan saluran pernapasan dan pencernaan.
Pada stadium ini, gejalanya mirip influenza.
Namun diagnosa ke arah Morbili dapat dibuat bila 2-4 hari kemudian muncul bintik putih kecil di mulut bagian dalam
(bintik Koplik).di dinding pipi bagian dalam (mukosa bukalis) dan penderita pernah kontak dengan penderita morbili
dalam 2 minggu terakhir.
Stadium timbulnya bercak (erupsi)
Ruam (kemerahan di kulit) yang terasa agak gatal muncul terjadi sekitar 2-5 hari setelah stadium awal. Ditandai dengan:
demam meningkat, bercak merah menyebar ke seluruh tubuh, disertai rasa gatal. Ruam ini bisa berbentuk makula
(ruam kemerahan yang mendatar) maupun papula (ruam kemerahan yang menonjol). Pada awalnya ruam tampak di
wajah, yaitu di depan dan di bawah telinga serta di leher sebelah samping. Dalam waktu 1-2 hari, ruam menyebar ke
batang tubuh, lengan dan tungkai, sedangkan ruam di wajah mulai memudar. Selanjutnya gejala tersebut akan
menghilang sekitar hari ketiga.
Kadang disertai diare dan muntah.
Pada puncak penyakit, penderita merasa sangat sakit, ruamnya meluas serta suhu tubuhnya mencapai 40° Celsius. 3-5
hari kemudian suhu tubuhnya turun, penderita mulai merasa baik dan ruam yang tersisa segera menghilang.
Demam, kecapaian, pilek, batuk dan mata yang radang dan merah selama beberapa hari diikuti dengan ruam jerawat
merah yang mulai pada muka dan merebak ke tubuh dan ada selama 4 hari hingga 7 hari.
Komplikasi
Pada anak yang sehat dan gizinya cukup, campak jarang berakibat serius. Namun komplikasi dapat terjadi karena
penurunan kekebalan tubuh sebagai akibat penyakit Campak. Beberapa komplikasi yang bisa menyertai campak:
1. Infeksi bakteri : Pneumonia dan Infeksi telinga tengah
2. Kadang terjadi trombositopenia (penurunan jumlah trombosit), sehingga pendeita mudah memar dan mudah
mengalami perdarahan
3. Ensefalitis (radang otak) terjadi pada 1 dari 1,000-2.000 kasus.
4. Bronkopnemonia (infeksi saluran napas)
5. Otitis Media (infeksi telinga)
6. Laringitis (infeksi laring)
7. Diare
8. Kejang Demam (step)
Diagnosa
Untuk mendiagnosa dapat dilakukan dengan:
• Secara klinis, yakni berdasarkan riwayat timbulnya penyakit (anamnesa) dan pemeriksaan fisik (physic diagnostic)
seperti berdasarkan gejala dan ruam kulit yang khas.
• Pemeriksaan Penunjang, antara lain: pemeriksaan darah, serologis dan biakan virus (mahal).
LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
Adanya demam tinggi terus menerus 38,5 0 C atau lebih disertai batuk, pilek, nyeri menelan, mata merah dan silau bila
kena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti diare. Pada hari ke 4-5 demam, timbul ruam kulit, didahului oleh suhu yang
meningkat lebih tinggi dari semula. Pada saat ini anak dapat mengalami kejang demam. Saat ruam timbul, batuk dan
diare bertambah parah sehingga anak mengalami sesak nafas atau dehidrasi.
Pemeriksaan fisik
Gejala klinis terjadi setelah masa tunas 10-12 hari, terdiri dari tiga stadium :
� Stadium prodromal, berlangsung 2-4 hari, ditandai dengan demam yang diikuti dengan batuk, pilek, farings merah,
nyeri menelan, stomatitis, dan konjungtivitis. Tanda patognomonik timbulnya enantema mukosa pipi di depan molar
tiga disebut bercak Koplik.
� Stadium erupsi, ditandai dengan timbulnya ruam makulo-papular yang bertahan selama 5-6 hari. Timbulnya ruam
dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher, dan akhirnya ke ekstrimitas.
� Stadium penyembuhan (konvalesens), setelah 3 hari ruam berangsur-angsur menghilang sesuai urutan timbulnya.
Ruam kulit menjadi kehitaman dan mengelupas yang akan menghilang setelah 1-2 minggu.
� Sangat penting untuk menentukan status gizi penderita, untuk mewaspadai timbulnya komplikasi. Gizi buruk
merupakan risiko komplikasi berat.
Diagnosa Banding
Artinya, kemungkinan penyakit lain yang mirip dengan Campak, diantaranya:
• German measles
• Eksantema subitum
• Infeksi virus lain
• Infeksi Stafilokokus, dan lain-lain.
Px
Laboratorium
� Darah tepi : jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada komplikasi infeksi bakteri
- Pemeriksaan antibodi IgM anti campak
PENATALAKSANAAN
� Tatalaksana medik
i. Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari :
1. Pemberian cairan yang cukup
2. Kalori yang sesuai dan jenis makanan yang disesuaikan dengan tingkat kesadaran dan adanya komplikasi
3. Suplemen nutrisi
4. Antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder
5. Anti konvulsi apabila terjadi kejang
6. Pemberian vitamin A.
ii. Indikasi rawat inap : hiperpireksia (suhu > 39,0 0 C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau adanya komplikasi.
iii. Campak tanpa komplikasi :
1. Hindari penularan
2. Tirah baring di tempat tidur
3. Vitamin A 100.000 IU, apabila disetai malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari
4. Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan disesuaikan dengan tingkat kesadaran pasien dan ada
tidaknya komplikasi
iv. Campak dengan komplikasi :
1. Ensefalopati/ensefalitis
a. Antibiotika bila diperlukan, antivirus dan lainya sesuai dengan PDT ensefalitis
b. Kortikosteroid, bila diperlukan sesuai dengan PDT ensefalitis
c. Kebutuhan jumlah cairan disesuaikan dengan kebutuhan serta koreksi terhadap gangguan elektrolit
2. Bronkopneumonia :
a. Antibiotika sesuai dengan PDT pneumonia
b. Oksigen nasal atau dengan masker
c. Koreksi gangguan keseimbangan asam-basa, gas darah dn elektrolit
3. Enteritis : koreksi dehidrasi sesuai derajat dehidrasi (lihat Bab enteritis dehidrasi).
4. Pada kasus campak dengan komplikasi bronkhopneumonia dan gizi kurang perlu dipantau terhadap adanya infeksi TB
laten. Pantau gejala klinis serta lakukan uji Tuberkulin setelah 1-3 bulan penyembuhan.
5. Pantau keadaan gizi untuk gizi kurang/buruk.
� Tatalaksana Epidemiologik
Langkah Preventif
1. Imunisasi campak termasuk dalam program imunisasi nasional sejak tahun 1982, angka cakupan imunisasi menurun <
80% dalam 3 tahun terakhir sehingga masih dijumpai daerah kantong risiko tinggi transmisi virus campak.
2. Strategi reduksi campak terdiri dari :
a. Pengobatan pasien campak dengan memberikan vitamin A
b. Imunisasi campak
i. PPI : diberikan pada umur 9 bulan.
ii. Imunisasi campak dapat diberikan bersama vaksin MMR pada umur 12-15 bulan
iii. Mass campaign, bersamaan dengan Pekan Imunisasi nasional
iv. Catch-up immunization, diberikan pada anak sekolah dasar kelas 1-6, disertai dengan keep up dan
strengthening.
c. Survailans
Pencegahan
Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk
kombinasi/campuran dengan gondongan dan campak Jerman (vaksin MMR/mumps/gondongan, measles, rubella),
disuntikkan pada otot paha atau lengan atas. Dalam bentuk MMR, dosis pertama diberikan pada usia 12-15 bulan, dosis
kedua diberikan pada usia 4-6 tahun.
Jika hanya mengandung campak, vaksin campak untuk bayi diberikan pada usia 9 bulan. imunisasi campak termasuk
dalam program imunisasi nasional sejak tahun 1982, angka cakupan imunisasi menurun <80% dalam 3 tahun terakhir
sehingga masih dijumpai si daerah kantong risiko tinggi transmisi virus campak. strategi reduksi campak terdiri dari:
pengobatan pasien campak dengan memberikan vitamin A
imunisasi campak
bayi mendapat imunitas lewat plasenta dari ibu yang pernah mengalami campak atau sudah mendapat
imunisasi campak sebelumnya. imunitas ini biasanya sudah lengkap pada usia 3-4 bulan dan semakin
berkurang sampai akhirnya hilang. walaupun antibodi maternal biasanya sudah tidak terdeteksi setelah
usia 9 bulan, perlindungan terhadap anak tetap bertahan tapi sebaiknya pada usia 12 bulan anak sudah
diimunisasi campak. anak yang lahir dari ibu yang rentan terhadap campak dapat terjangkit campak
bersama ibunya sebelum dan setelah melahirkan.
program pengembangan imunisasi (PPI) diberikan pada umur 9 bulan
imunisasi campak dapat diberikan bersama vaksin MMR pada umur 12-15 bulan
mass campaign, bersamaan dengan pekan imunisasi nasional
catch up immunization, diberikan pada anak sekolah dasar kelas 1-6
rubella
Rubella atau Campak Jerman merupakan penyakit anak menular yang lazim biasanya ditandai dengan
gejala?gejala utama ringan, ruam serupa dengan campak (rubeola) ringan atau demam skarlet, dan pembesaran
serta riveri limfonodi pascaoksipital, retroaurikuler, dan servikalis posterior. Campak Jerman atau rubela ini biasanya
hanya menyerang anak-anak sampai usia belasan tahun. Tapi, bila penyakit ini menyerang anak yang lebih tua dan
dewasa, terutarna wanita dewasa, infeksi kadang?kadang dapat berat, dengan manifestasi keterlibatan sendi dan
purpura. Dan bila bila penyakit ini menyerang ibu yang sedang mengandung dalam tiga bulan pertama, bisa
menyebabkan cacat bayi waktu dilahirkan.
Rubella pada awal kehamilan dapat menyebabkan anomali kongenital berat. Sindrom rubella kongenital
adalah penyakit menular aktif dengan keterlibatan multisistem, spektrum ekspresi klinis luas, dan periode infeksi
aktif pascalahir dengan pelepasan virus yang lama
II. INSIDENS
Anak laki?laki dan wanita sama?sama terkena. Pada populasi yang rapat seperti institusi dan Asrama
tentara, hampir 100% dari individu yang rentan dapat terinfeksi. Pada keLompok keluarga penyebaran virus kurang:
50?60% anggota keluarga yang rentan mendapat penyakit. Banyak infeksi yang subklinis, dengan rasio 2:1 antara
penyakit yang tidak tampak dengan penyakit yang tarnpak. Rubella biasanya terjadi selama inusim semi.
Pemeriksaan serologis sebelum penggunaan vaksin rubella rnenunjukkan bahwa sekitar 80% populasi
dewasa di Amerika Serikat dan benua lain mempunyai antibodi terhadap rubella. Di populasi pulau, seperti populasi
Trinidad dan Hawaii, hanya 20% dari orang dewasa yang diperiksa dapat dideteksi antibodi.
Ketika wabah rubela merebak di Amerika Serikat pada tahun 1967-1965, lebih 20,000 bayi telah dilahirkan
cacat. Wabah Rubela juga dikatakan menyebabkan sekurang-kurangnya 10,000 kasus keguguran dan bayi yang lahir
mati saat dilahirkan. Diperkirakan 25 % bayi yang terinfeksi rubela pada tiga bulan pertama usia kandungan
dilahirkan dengan satu jenis atau lebih kecacatan.
Pada tahun 1989 – 1990 sejumlah kasus rubella menyerang lebih banyak pada anak remaja di atas umur 15
tahun dan dewasa diperkirakan karena kegagalan vaksinasi pada setiap individu. Resiko terserang rubella kembali
menurun untuk semua umur dan dilaporkan kasus di Amerka Serikat pada tahun 1999 sebanyak 267.
III. ETIOLOGI
Rubella disebabkan oleh virus yang mengandung RNA pleomorfik, yang sekarang didaftar pada famili
Togaviridae, genus Rubivirus. Virus ini sferis, berdiameter 50-60 nm, dan berisi asam ribonukleat helai-tunggal. Virus
biasanya diisolasi pada biakan jaringan, dan keberadanya diperagakan oleh kemampuan sel ginjal kera hijau Afrika
(African green monkey kidney) [AGMK] terinfeksi rubella menahan tantangan dengan enterovirus. Selama penyakit
klinis virus berada dalam sekresi nasofaring, darah, tinja, dan urin. Virus telah ditemukan dari nasofaring 7 hari
sebelum eksantem, dan 7?8 hari sesudah menghilangnya. Penderita dengan penyakit subklinis juga infeksius.
IV. PATOFISIOLOGI
Daerah utama yang terinfeksi oleh rubella adalah nasofaring kemudian menyebar ke kelenjar getah bening
secara cepat dan viremia. Ruam nampak akibat titer serum antibody meningkat dan mempengaruhi antigen-
antibodi dan berinteraksi di kulit. Virus telah dapat ditemukan diseluruh kulit baik yang terlibat maupun yang tidak
selama masa infeksi, dan penyebarannya karena factor lain yang mungkin berperan dalam patogenesis eksantem.
Antibody HAI mencapai puncaknya pada hari 12 – 14 setelah timbulnya ruam dan akan kembali stabil setelah kira-
kira 2 minggu kemudian.
Virus rubella mempunya 3 polipeptida mayor yang mencakup 1 kapsid protein dan 2 amplop glikoprotein E1
dan E2. Antibodi anti-E1 mungkin memegang peranan utama dalam respon serologik.
Masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya virus rubella kedalam tubuh sampai timbulnya
gejala penyakit berkisar antara 14-21 hari. Biasanya gejala bersifat ringan berupa demam. Nyeri sendi dapat terjadi
pada anak perempuan yang sudah besar dan orang orang dewasa. Tanda yang paling khas adalah pembesaran
kelenjar getah bening di daerah belakang kepala, belakang telinga, dan leher bagian belakang.
Umumnya pembesaran kelenjar getah bening ini disertai dengan rasa nyeri. Keadaan ini kemudian diikuti
dengan munculnya ruam yang dimulai pada daerah muka dan menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh dalam
waktu 1 hari. Ruam dan demam biasanya menghilang dalam waktu 3 hari.
V. GEJALA KLINIS
Keluhan yang dirasakan biasanya lebih ringan dari penyakit campak. Bercak-bercak mungkin juga akan
timbul tapi warnanya lebih muda dari campak biasa. Biasanya, bercak timbul pertama kali di muka dan leher, berupa
titik-titik kecil berwarna merah muda. Dalam waktu 24 jam, bercak tersebut menyebar ke badan, lengan, tungkai,
dan warnanya menjadi lebih gelap. Bercak-bercak ini biasanya hilang dalam waktu 1 sampai 4 hari.
Masa inkubasi adalah 14?21 hari. Tanda yang paling khas adalah adenopati retroaurikuler, servikal
posterior, dan di belakang oksipital. Enantem mungkin muncul tepat sebelum mulainya ruam kulit. Ruam ini terdiri
dari bintik?bintik merah tersendiri pada palatum molle yang dapat menyatu menjadi warna kemerahan jelas pada
sekitar 24jam sebelum ruam.
Eksantemnya lebih bervariasi daripada eksantem rubeola. Eksantem pada muka dan menyebar dengan
cepat. Evolusinya begitu cepat sehingga dapat menghilang pada muka pada saat ruam lanjutannya muncul pada
badan. Makulopapula tersendiri ada pada sejumlah kasus; ada juga daerah kemerahan yang luas yang menyebar
dengan cepat ke seluruh badan, biasanya dalam 24 jam. Ruam dapat menyatu, terutama pada muka. Selama hari
kedua ruam dapat mempunyai gambaran sebesar ujung jarum, terutama di seluruh tubuh, menyerupai ruam
demam scarlet. Dapat terjadi gatal ringan. Erupsi biasanya jelas pada hari ke 3.
Mukosa faring dan konjungtiva sedikit meradang. Berbeda dengan rubeola, tidak ada fotofobia. Demam
ringan atau tidak selama ruam dan menetap selama 1, 2 atau kadang?kag 3 hari. Suhu jarang melebihi 38 oC (101oF).
Anoreksia, nyeri kepala, dan malaise tidak biasa. Limpa. sering sedikit membesar. Angka sel darah putih normal atau
sedikit menurun, trombositopeni jarang, dengan atau tanpa purpura. Terutama pada wanita yang lebih tua dan
wanita dewasa, poliartritis dapat terjadi dengan artralgia, pembengkakan, nyeri dan efusi tetapi biasanya tanpa sisa
apapun. Setiap sendi dapat terlibat, tetapi sendi?sendi kecil tangan paling sering terkena. Lamanya biasanya
beberapa hari; jarang artritis ini menetap selama berbulan?bulan. Parestesia juga telah dilaporkan. Pada satu
epidemi orkidalgia dilaporkan pada sekitar 8% orang laki-laki usia perguruan tinggi yang terinfeksi.
VI. DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosa pasti suatu rubella, dapat dilakukan dengan isolasi virus, hanya saja ini sulit dilakukan
dan biayanya juga mahal atau dapat pula dengan titer antibodi. Tes yang biasa dilakukan adalah tes ELISA untuk
antibodi IgG dan IgM. Antibodi rubella dapat ditemukan pada hari kedua ruam dan mengalami peningkatan pada
hari 10 – 21. biopsy jaringan atau darah dan CSF dapat pula digunakan untuk menunjukkan adanya antigen rubella
dengan antibodi monoklonal dan untuk mendeteksi RNA rubella dengan hibridisasi dan reaksi polymerase berantai
dari tempat asal.
VIII. PENGOBATAN
Jia tidak terjadi komplikasi bakteri, pengobatan adalah simptomatis. Adamantanamin hidroklorida
(amantadin) telah dilaporkan efektif in vitro dalam menghambat stadium awal infeksi rubella pada sel yang
dibiakkan. Upaya untuk mengobati anak yang sedang menderita rubella congenital dengan obat ini tidak berhasil.
Karena amantadin tidak dianjurkan pada wanita hamil, penggunaannya amat terbatas. Interferon dan isoprinosin
telah digunakan dengan hasil yang terbatas.
Pencegahan
Pada orang yang rentan, proteksi pasif dari atau pelemahan penyakit dapat diberikan secara bervariasi
dengan injeksi intramuskuler globulin imun serum (GIS) yang diberikan dengan dosis besar (0,25?0,50 mL/kg atau
0,12?0,20 mL/lb) dalam 7?8 hari pasca pemajanan. Efektiviias globulin imun tidak dapat diramalkan. Tampaknya
tergantung. pada kadar antibodi produk yang digunakan dan pada faktor yang belum diketahui. Manfaat GIS telah
dipertanyakan karena pada beberapa keadaan ruam dicegah dan manifestasi klinis tidak ada atau minimal walaupun
virus hidup dapat diperagakan dalam darah. Bentuk pencegahan ini tidak terindikasi, kecuali pada wanita hamil
nonimun.
Program vaksinasi atau imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap rubella. Di Amerika
Serikat mengharuskan untuk imunisasi sernua laki?laki dan wanita umur 12 dan 15 bulan serta pubertas dan wanita
pasca pubertas tidak hamil. Imunisasi adalah efektif pada umur 12 bulan tetapi mungkin tertunda sampai 15 bulan
dan diberikan sebagai vaksin campak?parotitis?rubella (measles?mumps?rubella [MMR]). Imunisasi rubella harus
diberikan pada wanita pasca pubertas yang kemungkinan rentan pada setiap kunjungan perawatan kese hatan.
Untuk wanita yang mengatakan bahwa mereka mungkin hamil imunisasi harus ditunda. Uji kehamilan tidak secara
rutin diperlukan, tetapi harus diberikan nasehat mengenai sebaiknya menghindari kehamilan selama 3 bulan
sesudah imunisasi. Kebijakan imunisasi sekarang telah berhasil memecahkan siklus epidemic rubella yang biasa di
Amerika Serikat dan menurunkan insiden sindrom rubella kongenital yang dilaporkan pada hanya 20 kasus pada
tahun 1994. Namun imunisasi ini tidak mengakibatkan penurunan presentase wanita usia subur yang rentan
terhadap rubella.
IX. PROGNOSIS
Kornplikasi relatif tidak lazim pada anak. Neuritis dan artritis kadang?kadang terjadi. Resistensi terhadap
infeksi bakteri sekunder tidak berubah. Ensefalitis serupa dengan ensefalitis yang ditemukan pada rubeola yang
terjadi pada sekitar 1/6.000 kasus. Prognosis rubella anak adalah baik; sedang prognosis rubella kongenital
bervariasi menurut keparahan infeksi. Hanya sekitar 30% bayi dengan ensefalitis tampak terbebas dari defisit
neuromotor, termasuk sindrom autistik.
Kebanyakan penderitanya akan sembuh sama sekali dan mempunyai kekebalan seumur hidup terhadap
penyakit ini. Namun, dikhawatirkan adanya efek teratogenik penyakit ini, yaitu kemampuannya menimbulkan cacat
pada janin yang dikandung ibu yang menderita rubella.
Cacat bawaan yang dibawa anak misalnya penyakit jantung, kekeruhan lensa mata, gangguan pigmentasi
retina, tuli, dan cacat mental. Penyakit ini kerap pula membuat terjadinya keguguran.
Varisela zoster
Cacar air adalah salah satu penyakit yang umum ditemui pada anak-anak. 90% kasus cacar air terjadi pada anak di
bawah sepuluh tahun.1 Dan lebih dari 90% orang telah mengalami cacar air pada saat mereka berusia 15 tahun. 2
Insidens penyakit ini paling tinggi terlihat pada usia 5 – 9 tahun. Cacar air terjadi akibat infeksi primer (pertama kali)
Varicella Zoster Virus (VZV). Karena disebabkan virus, penyakit ini sembuh dengan sendirinya. Namun setelah sembuh,
VZV tidak benar-benar hilang dari tubuh. Virus ini akan menetap di bagian saraf tertentu dan nantinya dapat terakivasi
kembali dalam bentuk herpes zoster (cacar ular atau shingles).2,3 Herpes zoster ini umumnya terjadi pada usia di atas 60
tahun dan pada sebagian besar kasus hanya terjadi sekali. PERJALANAN PENYAKIT
Virus Varicella zoster masuk ke dalam tubuh penderita melalui saluran pernapasan bagian atas (mulut juga),
memperbanyak diri (multiplikasi) dan menyebar (viremia primer) ke jaringan setempat melalui aliran darah dan aliran
getah bening. Selanjutnya virus memperbanyak diri lagi untuk kemudian menyebar (viremia sekunder) ke seluruh tubuh
(terutama kulit dan mukosa).
Epidemilogi
Insiden terbanyak varisela terjadi pada usia 1-6 tahun dan hanya terjadi 10% pada usia lebih dari 14 tahun. Pada usia 1-
14 tahun angka mortalitas varisela adalah 2 per 100.000 kasus. Angka mortalitas pada anak dengan
immunocompromised lebih besar. Kejadian varisela dapat menjadi lebih berat pada neonatus, tergantung periode
infeksi pada ibu (Mehta, 2006).
Etiologi
Varisela merupakan penyakit infeksi akut, disebabkan oleh varicella zoster virus (VZV). VZV adalah virus DNA yang
tergolong dalam group herpesvirus, subfamily Alphaherpesvirinae. VZV mempunyai DNA sekuens sendiri dan amplop
glikoprotein. VZV sulit diisolasikan pada kultur sel dan tumbuh paling baik tetapi lambat pada human diploid fibroblast
cells (Mehta, 2006; Fox & Sande, 2001, CDC, 2005).
Patofisiologi
Varisela sangat menular, penularannya mencapai 80-90% pada kontak serumah. Transmisi virus varisela zoster dapat
terjadi melalui droplet respirasi yang mengandung virus, serta kontak langsung dengan lesi dimana pada papula dan
vesikel terdapat populasi yang tinggi dari virus. Varisela infeksius mulai 2 hari sebelum lesi pada kulit muncul dan
berakhir ketika muncul krusta, umumnya 5 hari setelahnya. Varisela maternal dengan viremia dapat menyebar secara
transplasenta menuju fetus dan menyebabkan varisela neonatus (Mehta, 2006).
VZV masuk melewati traktus respiratorik dan konjungtiva. Kemudian virus bereplikasi di daerah masuknya (nasofaring)
dan limfonodi regional di sekitarnya. Viremia primer terjadi 4-6 hari setelah infeksi dan menyebarkan virus ke seluruh
organ, seperti liver, limpa, dan ganglia sensori. Replikasi selanjutnya muncul pada visera, diikuti dengan viremia
sekunder, dengan infeksi virus pada kulit (CDC, 2005).
Faktor Resiko
Faktor resiko yang mendukung terjadinya varisela berat, meliputi (Mehta, 2006):
1. Neonatus, terutama pada ibu yang seronegatif.
2. Usia dewasa
3. Terapi steroid
4. Keganasan
5. Kondisi immunocompromised
6. Kehamilan
Manifestasi Klinis
Inkubasi : Berlangsung selama 10-14 hari
Prodromal :
1. Terjadi pada hari 1 hingga hari ke 3
2. Berupa nyeri perut, sakit kepala, anoreksia, batuk dan coryza, sakit tenggorokan, perasaan lemah (malaise)
3. Kadang-kadang terdapat kelainan scarlatinaform atau morbiliform
Erupsi (rash):
1. Pada anak yang sehat terdapat sekitar 250-500 lesi.
2. Dimulai dengan gejala-gejala sistemik ringan diikuti dengan munculnya makula-makula merah (seperti embun di
atas mahkota mawar merah) yang kemudian dengan cepat berubah menjadi vesikel kecil dengan tepi yang
eritema, berisi cairan jernih, tidak memperlihatkan cekungan di tengah (unumbilicated). Kemudian menjadi
pustula, dan terakhir menjadi krusta.
3. Isi vesikel berubah menjadi keruh dalam 24 jam.
4. Biasanya vesikel menjadi kering sebelum isinya menjadi keruh.
5. Dalam 3-4 hari erupsi tersebar. Ruam pada umumnya muncul di kepala dan telinga, kemudian menyebar secara
sentrifugal ke wajah, leher, badan dan ekstremitas.
6. Erupsi ini disertai perasaan gatal.
7. Pada suatu saat terdapat bermacam-macam stadium erupsi; ini merupakan tanda khas penyakit varisela.
8. Vesikel tidak hanya terdapat di kulit melainkan juga di selaput lendir mulut, dan beberapa terlihat di orofaring.
Konvalescen:
Lesi biasanya pecah membentuk krusta setelah 6 hari (2-12 hari) dan sembuh sempurna dalam 16 hari (7-34 hari). Erupsi
yang berkepanjangan atau lamanya pembentukan krusta dan penyembuhan dapat terjadi pada imunitas seluler yang
tidak cocok.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dibutuhkan untuk diagnosis karena varisela dapat terlihat dari gejala klinis. Kebanyakan
pada anak-anak dengan varisela terjadi leukopeni pada 3 hari pertama, kemudian diikuti dengan leukositosis.
Leukositosis mengindikasikan adanya infeksi bakteri sekunder, tetapi tidak selalu. Kebanyakan pada anak-anak dengan
infeksi bakteri sekunder tidak terjadi leukositosis.
Pemeriksaan serologi digunakan untuk mengkonfirmasi infeksi yang lalu untuk menentukan status kerentanan pasien.
Hal ini berguna untuk menentukan terapi pencegahan pada dewasa yang terekspos dengan varisela. Identifikasi virus
varisela zoster secara cepat diindikasikan pada kasus yang parah atau penyakit belum jelas yang membutuhkan
pengobatan antiviral dengan cepat. Metode yang paling spesifik yang digunakan adalah Indirect Fluorescent Antibody
(IFA), Fluorescent Antibody to Membrane Antigen (FAMA), Neutralization Test (NT), dan Radioimmunoassay (RIA). Tes
serologis tidak diperlukan pada anak, karena infeksi pertama memberikan imunitas yang pasti pada anak.
Radiologi
Foto toraks : Anak-anak dengan suhu yang tinggi dan gangguan respirasi seharusnya dilakukan foto toraks untuk
mengkonfirmasi atau menyingkirkan adanya pneumonia.
Diagnosa Banding
Beberapa penyakit mempunyai ruam yang sama dengan varisela antara lain (William, 2002; Mehta, 2006):
1. Small pox/ cacar (ruam terkonsentrasi pada ekstremitas dan muncul pada fase yang sama)
2. Infeksi coxsackie virus (lebih sedikit ruam dan tidak menyebabkan krusta)
3. Impetigo (lebih sedikit ruam, tidak ada vesikel klasik, pewarnaan gram positif, respon terhadap agen
antimikroba, lesi perioral atau periferal)
4. Papular urtikaria (riwayat gigitan serangga, ruam nonvesikuler)
5. Skabies (tidak ada vesikel yang khas)
6. Parapsoaris (jarang terjadi pada anak di bawah 10 tahun, kronik atau rekuren, sering terdapat riwayat varisella
sebelumnya)
7. Ricketsialpox (bekas gigitan kutu, ruam yang lebih kecil, tidak berkrusta), dermatitis herpetiformis (urtikaria
kronis, pigmentasi residual)
8. Dermatitis kontak
9. Infeksi enterovirus
10. Infeksi Herpes Simplex Virus
Komplikasi
Resiko komplikasi varisela bervariasi berdasarkan umur. Komplikasi jarang terjadi pada anak-anak yang sehat, namun
sering mengenai orang-orang dewasa di atas 15 tahun dan bayi di bawah 1 tahun (CDC, 2005).
1. Infeksi Bakteri Sekunder. Varisela menyebabkan pasien lebih mudah menderita infeksi bakteri sekunder.
2. Komplikasi pada CNS (sistem saraf pusat)
3. Pneumonia. Pneumonia biasa terjadi pada penderita yang imunocompremised, wanita hamil, atau dewasa dan
sering menjadi fatal. Batuk, dyspnea, tacyphnea, rales, dan sianosis muncul 3-4 hari setelah onset dari ruam.
4. Herpes zoster. Merupakan komplikasi yang lambat terjadi pada varisela, yaitu beberapa bulan sampai tahun
setelah infeksi primer. Terjadi pada 15% pasien varisela. Disebabkan oleh adanya virus yang menetap di
ganglion sensoris. Gejalanya rash vesikular unilateral, terbatas pada 1-3 dermatom. Rash ini menimbulkan rasa
nyeri pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa.
5. Otitis media (5%)
6. Hepatitis
7. Hepatitis berat dengan manifestasi klinis jarang terjadi pada anak-anak sehat dengan varisela.
8. Glomerulonefritis
9. Haemorrhagic varicella
Terapi
Terapi yang diberikan pada varisela bersifat suportif, meliputi (Mehta, 2006; William, 2002):
1. Penjagaan hidrasi pada anak diperlukan, karena saat anak sakit nafsu makan berkurang. Pada anak yang
mendapat pengobatan Ancyclovir, obat akan mengkristal di tubulus renalis, sehingga perlu hidrasi yang adekuat.
2. Kebersihan menyeluruh tetap harus dijaga (memotong kuku dan membersihkan badan). Melarang anak
menggaruk ruam untuk menghindari skar pada kulit. Memotong kuku, memakaikan sarung tangan dan kaos kaki
saat tidur dapat menghindarkan garukan pada ruam.
3. Pemberian makanan yang sehat dan bergizi, tanpa pembatasan makanan.
4. Tidak ada pembatasan aktivitas pada anak-anak dengan varisela tanpa komplikasi.
5. Kompres dingin, mandi yang teratur untuk mengurangi gatal
6. Obat antiviral
7. Obat antihistamin
8. Obat antipiretik
Prognosa
Anak-anak sehat dengan varisela mempunyai prognosa baik. Sedangkan anak-anak yang imunocompremise mempunyai
resiko yang lebih besar untuk menjadi parah dan meninggal. Angka mortalitas pada varisela neonatus mencapai 30%.
Episode ulangan varisela jarang terjadi oleh karena imunitasnya yang bertahan seumur hidup
PENGOBATAN :
Istirahat. Untuk anak sekolah sebaiknya gak usah masuk sekolah sekitar seminggu, mengingat masa penularan
diperkirakan berlangsung 1 minggu sejak mulai timbulnya plentingan.
Penurun panas (bila panas), misalnya Parasetamol (dosis anak: 10 mg/kg berat badan/dosis, diberikan 4 kali
sehari). Contoh: BB anak 12 kg, maka dosisnya 10×11= 110 mg (1 sendok takar atau 1/4 tablet parasetamol 500
mg) setiap kali minum. Lho, koq ga pas gitu, kan 1 sendok takar = 120 mg dan 1/4 tablet = 125 mg ? Ga papa, 10
mg tuh dosis minimal dan boleh diberikan 15 mg/KgBB setiap kali minum.
Acyclovir. Dosis dewasa: 5×800 mg selama 7-10 hari. Dosis Anak: 20 mg/kg BB/dosis (koreksi oleh Mas Rizal,
maturnuwun Mas), max 800mg, pemberian 4 kali sehari selama 5 hari, pemberian 4 kali sehari selama 5 hari.
Antibiotika diberikan jika ada infeksi sekunder, misalnya Eritromisin (dosis anak: 30-50 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3-4 dosis), selama sedikitnya 4 hari.
Jika gatal, dapat digunakan antihistamin misalnya: loratadine 10 mg, diminum 1×1. Boleh juga pake CTM, murah
meriah, tapi ngantuk poll.
Obat lokal (luar): Bedak Salisil 1% dan sejenisnya.