Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DI MEDIA SOSIAL
ABSTRAK
Pembentukan identitas manusia berlangsung terus sepanjang hidup.
Namun, fase paling penting terjadi saat remaja. Dalam pembentukan
identitas tersebut, remaja memanfaatkan berbagai cara agar
keberadaannya diakui oleh lingkungannya. Salah satunya
menggunakan media sosial yang menyediakan berbagai fitur atau
fasilitas yang memberikan kesempatan bagi remaja untuk dapat
mendokumentasikan dan mempublikasikan setiap aspek hidupnya.
Adanya keinginan untuk mempublikasikan diri tersebut menyebabkan
remaja menggunakan identitas-identitas tertentu dalam akun media
sosialnya yang kadang tidak sesuai dengan identitas mereka yang
sesungguhnya. Hal inilah yang disebut dengan krisis indentitas.
Bentuk krisis bahasa yaitu (1) menggunakan bahasa asing, dan (2)
mencapuradukkan bahasa tertentu. Sementara itu, krisis identitas
diwujudkan dalam bentuk (1) mengganti atau memodifikasi nama asli,
(2) memalsukan asal daerah, tempat tinggal, sekolah/lembaga
pendidikan, tempat bekerja, dan pekerjaan, dan (3) menggunakan foto
orang lain sebagai foto profil. Krisis bahasa dan krisis identitas yang
terjadi pada remaja menjadi penting untuk dibahas karena remaja
adalah penerus bangsa. Remaja yang malu dengan bahasa dan
identitas aslinya akan berimplikasi pula pada krisis identitas bangsa
sehingga identitas-identitas kebangsaan lama-kelamaan juga tidak
akan dikenali.
Kata kunci: krisis, remaja, bahasa, identitas
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
kualitatif. Sementara itu, ancangan yang relevan dengan penelitian ini adalah
ancangan penelitian deskriptif karena penelitian ini berupaya untuk
mendeskripsikan sejumlah krisis bahasa dan krisis identitas remaja di media
sosial.
Dalam penelitian ini, peneliti terlibat secara pasif dalam kegiatan
pengumpulan data. Artinya, peneliti hanya bertugas sebagai pengunduh dan
pengumpul data. Untuk mendapatkan data yang sahih, peneliti melakukan
verifikasi identitas asli pemilik akun. Cara mengenali identitas asli pemilik akun
yaitu (1) membaca berulang-ulang identitas pemilik akun yang ditulis di fitur
Profil, (2) mencocokkan identitas yang tertulis dengan foto dan atau dengan
percakapan yang dilakukan, dan (3) bertanya langsung kepada teman atau kepada
pemilik akun. Untuk kepentingan itu, data yang diambil adalah akun dari remaja
yang terdaftar sebagai teman peneliti atau temannya teman peneliti yang identitas
aslinya dapat dikenali oleh peneliti di media sosial.
Data utama dalam penelitian ini berasal dari akun media sosial remaja,
baik berupa status, komentar, kicauan, balasan kicauan, dan profil pemilik akun
media sosial (Facebook dan Twitter). Untuk mendapatkan data yang
komprehensif dan terpercaya, dilakukan dua kegiatan, yaitu mengamati data
percakapan dengan seksama dan membandingkan data diri pemilik akun yang
tertera di bagian profil dengan isi percakapan. Pengamatan percakapan digunakan
untuk menjaring data tentang krisis bahasa. Sementara itu, pembandingan data diri
di fitur profil dengan isi percakapan digunakan untuk menjaring data tentang
krisis identitas pada diri remaja.
HASIL PENELITIAN
Bentuk Krisis Bahasa pada Remaja di Media Sosial
Salah satu cara yang paling mendasar untuk menentukan identitas
seseorang adalah melalui bahasa. Seringkali orang mendayagunakan bahasa untuk
membentuk identitas diri maupun identitas kelompok serta menggunakan bahasa
sebagai cara untuk mengidentifikasi diri atau anggota kelompok mereka dan
menentukan batas-batas kelompok mereka (Thornborrow, 1999:223).
Bahasa mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan
identitas diri maupun identitas kelompok. Oleh karena itu, orang biasanya akan
menggunakan kebiasaan berbahasa kelompok tertentu untuk menunjukkan kepada
masyarakat bahwa ia adalah anggota kelompok tertentu tersebut.
Di media sosial, krisis bahasa dapat ditemukan dalam dua bentuk, yaitu
menggunakan bahasa asing dan mencampuradukkan bahasa tertentu.
Menggunakan bahasa asing
Bentuk krisis bahasa yang pertama adalah menggunakan bahasa asing
dalam komunikasi di media sosial. Berikut ini adalah contoh datanya.
Gambar 2 merupakan contoh penambahan nama lain pada nama asli. Pada
akun Twitter tersebut, tertulis nama pemilik akun adalah Nina Cesteria Elisabeth.
Namun, di bawah nama tersebut terdapat nama lain, yaitu Isna Sadipun. Setelah
ditelusur lebih lanjut, nama asli dari pemilik akun tersebut adalah nama yang
kedua. Meski demikian, yang dijadikan sebagai nama utama adalah nama yang
pertama yang bukan nama aslinya. Hal ini menandakan bahwa sengaja
menambahkan nama lain untuk menggantikan nama aslinya demi maksud
tertentu, misalnya untuk menyamarkan diri atau membuat namanya dimaknai
“lain” oleh orang lain. Akan tetapi, pemilik akun masih tetap menyertakan nama
asli agar orang-orang yang mengenal pemilik akun tersebut masih dapat
mengenalinya di Twwitter.
Selain penggantian nama, ditemukan pula pemodifikasian nama.
Modifikasi yaitu upaya untuk menambah, mengurangi, atau menggabungkan
nama asli dengan nama atau kata lain. Nama atau kata lain itu dapat berupa nama
orang lain, nama daerah, atau nama komunitas. Berikut ini adalah contoh
pemodifikasian nama.
Gambar 9 adalah contoh penggunaan foto artis sebagai foto profil. Pada
fitur identitas tersebut, tertulis bahwa nama pemilik akun adalah Bella Mayrivda
yang berjenis kelamin perempuan. Namun, di foto profilnya, ia menggunakan foto
laki-laki yang bernama Kim Soo-Hyun, seorang aktor dari Korea Selatan.
Contoh lain penggunaan foto orang lain sebagai foto profil dapat dicermati
pada data berikut.
Gambar 10 adalah contoh penggunaan foto artis sebagai foto profil. Pada
fitur identitas tersebut, tertulis bahwa nama pemilik akun adalah Ardians Bintang.
Namun, pemilik aku menggunakan foto Che Guevara sebagai foto profilnya di
samping fotonya sendiri di bagian foto sampul.
PEMBAHASAN
Bentuk Krisis Bahasa dan Krisis Identitas pada Remaja di Media Sosial
Sajian data menunjukkan bahwa terdapat krisis bahasa dan krisis identitas
remaja di media sosial. Terkait hal itu dapat dikemukakan pandangan berikut ini.
Cara orang berpakaian, berperilaku, dan berbahasa merupakan cara
seseorang untuk menunjukkan siapa dirinya kepada orang lain dan bagaimana
identitas orang tersebut. Oleh karena itu, orang akan cenderung terus-menerus
mengubah cara berpakaian, berperilaku, dan berbahasa dalam rangka membentuk
identitasnya.
Thornborrow (1999) menyebutkan bahwa salah satu sarana linguistik yang
paling banyak dan paling mencolok penggunaannya untuk membentuk identitas
seseorang adalah nama. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa seseorang
akan dibedakan dari orang lainnya dari nama. Nama membuat seseorang berbeda
dengan orang lainnya. Bahkan, nama sekaligus menandakan diterimanya
seseorang pada komunitas atau agama tertentu. Misalnya, jika seseorang diberi
nama Muhammad, maka orang tersebut diterima sebagai orang yang beragama
Islam. Sementara itu, pemberian nama Nasution merupakan penanda bahwa orang
itu adalah bagian dari komunitas suku Batak.
Pertimbangan tersebut menunjukkan bahwa nama merupakan hal penting
dalam hidup seseorang. Nama kadang-kadang mempunyai arti tertentu. Itulah
sebabnya, dalam tradisi tertentu, pemberian nama dilakukan dengan disertai ritual
khusus.
Dalam memberikan nama, orang tua berpikir untuk memberikan nama
beserta arti yang baik yang melekat pada nama yang dipilih untuk anaknya.
Namun, tidak semua anak memandang bahwa nama yang diberikan orang tua
sudah baik dan sesuai dengan perkembangan zaman. Itulah sebabnya, banyak
remaja yang sedang dalam fase pencarian jati diri mengubah nama mereka
menjadi nama tertentu yang dianggap lebih baik, lebih menarik, atau lebih
modern. Dengan mengubah nama, remaja berharap agar dirinya terkesan lebih
menarik dan lebih mudah diterima dalam komunitasnya.
Nama kadangkala juga tidak sesuai dengan perilaku atau kebiasaan
seseorang. Bagi remaja yang merasa namanya tidak sesuai dengan perilakunya,
bisa jadi dia akan mengubah namanya menjadi nama lain sehingga nama dan arti
namanya akan berbeda dengan nama baru yang ia ciptakan. Selain itu, remaja juga
bisa mengubah namanya agar sesuai dengan komunitas tertentu yang sedang
disukai atau diikutinya, misalnya memodifikasi namanya dengan kesukaan
tertentu seperti yang tertera pada gambar 4.
Identitas seseorang dalam sebuah konteks tidak hanya terbentuk lewat
nama. Lebih dari itu, identitas juga dapat dibentuk dari pilihan bahasa yang
digunakan. Pada bagian pendahuluan telah disebutkan bahwa pada bangsa yang
pernah dijajah, kebanggaan jika mampu menggunakan bahasa asing merupakan
hal yang sudah melekat kuat dalam diri masyarakatnya. Itulah sebabnya, sebagian
masyarakat dari bangsa yang pernah terjajah merasa bahwa dirinya memiliki
status sosial dan prestise yang lebih tinggi jika mampu menggunakan bahasa
asing. Hal ini pulalah yang menyebabkan remaja menggunakan bahasa asing
dalam komunikasinya dalam rangka meningkatkan prestise individu. Namun,
penggunaan bahasa asing ini justru menunjukkan bahwa dalam diri remaja
tersebut terjadi krisis bahasa.
Penggantian lembaga pendidikan, daerah asal, daerah tempat tinggal,
jabatan, dan tempat bekerja juga merupakan bentuk krisis yang terjadi pada diri
remaja. Penggantian tersebut mengindikasikan bahwa remaja tidak percaya diri
dengan lembaga pendidikan, daerah asal, daerah tempat tinggal, jabatan, dan
tempat bekerja. Ketidakpercayadirian itu membuat remaja mengganti komponen-
komponen tersebut sehingga ia akan terlihat lebih menarik dan memiliki prestise
yang lebih tinggi.
Dalam kaitannya dengan pengubahan identitas atau bahasa, Thornborrow
(1999:247) menjelaskan sebagai berikut.
Seorang penutur bisa jadi ingin menyamakan dirinya dengan
berbagai jenis kelompok pada waktu yang berbeda-beda, sehingga
pola-pola linguistik yang mereka hasilkan akan berubah-ubah….
Masalah afiliasi kelompok dan identitas dapat menentukan pilihan
yang diambil penutur tentang bagaimana ia akan berbicara, atau—
untuk mereka yang menguasai dua bahasa atau lebih—bahasa mana
yang akan mereka gunakan.
PENUTUP
Berdasarkan paparan data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
terdapat dua bentuk krisis bahasa, yaitu (1) menggunakan bahasa asing, dan (2)
mencapuradukkan bahasa tertentu. Sementara itu, krisis identitas diwujudkan
dalam bentuk (1) mengganti atau memodifikasi nama asli, (2) memalsukan asal
daerah, tempat tinggal, sekolah/lembaga pendidikan, tempat bekerja, dan
pekerjaan, dan (3) menggunakan foto orang lain sebagai foto profil. Penyebab
utama terjadinya krisis bahasa dan krisis identitas adalah adanya budaya
konsumerisme dan budaya populer yang menyebabkan remaja mengkonstruksi
identitasnya sesuai dengan citra yang dikembangkan oleh produsen. Berdasarkan
kenyataan itu, upaya-upaya untuk meminimalkan terjadinya krisis bahasa dan
krisis identitas perlu dilakukan oleh berbagai pihak.
DAFTAR RUJUKAN
Azra, A. 2015. Identitas dan Krisis Budaya Membangun Multikulturalisme
Indonesia, (Online), (http://snb.or.id/article/14/identitas-dan-krisis-
budaya-membangun-multikulturalisme-indonesia), diakses 20 Oktober
2015.
Erikson, E,H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia; Bunga Rampai 1.
Terjemahan oleh Agus Cremers. Jakarta: PT Gramedia.
Fajar, Y. Tanpa Tahun. Negosiasi Identitas ‘Pribumi’ dan Belanda dalam Sastra
Poskolonial Indonesia Kontemporer, (Online),
(https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/1819072011_33.pdf), diakses
20 Oktober 2015.
Heryanto, A. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia.
Terjemahan oleh Eric Sasono. Jakarta: PT Gramedia.
Piliang, Y.A. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas
Kebudayaan. Bandung: Matahari.
Santoso, A. 2012. Studi Bahasa Kritis: Menguak Bahasa Membongkar Kuasa.
Bandung: CV Mandar Maju.
Soesilowindradini.1994. Psikologi Perkembangan (Masa Remaja). Surabaya:
Usaha Nasional.
Susilowati, N.E. 2015. Optimalisasi Pemberdayaan Bahasa Indonesia dalam
Menyukseskan Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN di Indonesia.
Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Seni
di Era Industri Kreatif oleh Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, 14
November.
Tornborrow, J. 1999. Bahasa dan Identitas. Dalam Thomas, L. & Wareing, S.
(Eds.), Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. Terjemahan oleh Sunoto,
dkk. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Wedon, C. 2004. Identity and Culture. New York: Open University Press.