Anda di halaman 1dari 26

REFERAT Februari 2019

“DEMAM TIFOID”

Nama : Dita Aridhatamy

No. Stambuk : N 111 18 042

Pembimbing : dr. Kartin Akune, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

PALU

2018
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel
fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch.
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid
dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah
sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya
disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai
baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.
Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai
pada penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
Pada tahun 1896 Widal mendapatkan salah satu metode untuk diagnosis
penyakit demam tifoid. Pada tahun yang sama Wright dari Inggris dan Pfeifer dari
jerman mencoba vaksinasi terhadap demam tifoid. Pada era 1970 dan 1980 mulai
dicoba vaksin oral yang berisi kuman hidup yang dilemahkan dan vaksin suntik
yang berisi Vi kapsul polisakarida.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam
tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap
tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi
pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam
tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir
semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19
tahun.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Demam tifoid


adalah penyakit demam sistemik akut generalisata yang disebabkan oleh
Salmonella typhi, biasanya menyebar melalui ingesti makanan dan air yang
terkontaminasi, ditandai dengan bakteremia berkepanjangan serta invasi oleh
patogen dan multifikasinya dalam sel-sel fagosit mononuklear pada hati, limpa,
kelenjar getah bening, dan plak Peyeri di ileum.1

Demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi


sistemik terutama mengenai sistem retikuloendotelial, jaringan limfoid intestinal,
dan kantung empedu, yang disebabkan oleh kuman basil gram negatif Salmonella
typhi maupun Salmonella paratyphi.

Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang


disebabkan oleh Salmonella typhi.1

2.2 Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan
terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi
600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid
dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan
sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan
rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh
propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di
daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta
kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19
tahun pada 91% kasus.3

2
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia
dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau
kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat
hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan
klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral
fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-
fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada
bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1

2.3 Etiologi dan predisposisi


Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S.
paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S.
Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-
negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik.1

3
Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi

` Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram
negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari
polisakarida. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella
typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik. Bakteri Salmonella typhi mempunyai beberapa
komponen antigen yaitu :
1. Antigen dinding sel (o) merupakan polisakarida dan bersifat spesifik grup
2. Antigen flagella (H) yg merupakan kompnen protein berada dlm
flagella,bersifat spesifik spesies.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida,berada di kapsul.Berhubungan
dengan daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin. Endotoksin merupakan
bagian terluar dinding sel terdiri dari :
a. antigen O yg sdh dilepaskan
b. lipopolisakarida
c. lipid A.

Ke tiga antigen tadi di tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.


4. Outer Membran Protein :

4
a. Antigen ini merupakan bagian dari dinding sel terluar
b. Fungsinya sebagai barier fisik yg mengendalikan masuknya zat dan
cairan ke dlm membran sitoplasma
c. Sebagai reseptor untuk bakteriofag & bakteriosid

2.4 Patofisiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti


ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial
3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas
membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk
dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja
meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria,
post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan
Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman
akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang
melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-
sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam

5
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang
sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia
kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental
ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari
berturut- turut.1,4
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel
di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui

6
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang
tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis.1,4

Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid

7
2.5 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi
bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala
atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada
anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital
ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi
terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi
mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status
gizi serta status imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar
gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
a. Demam satu minggu atau lebih.
b. Gangguan saluran pencernaan
c. Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai
ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise
pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula
bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan
tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian
belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila
penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih
prominen.

8
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm,
berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan
emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama
didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian
fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu
pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran
limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran
1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan
punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak
Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari

2.6 Penegakan Diagnosis


1. Anamnesis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Mas tunas rata-rata 10-20 hari.
Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan,sedangkan
yang terlamasampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa
inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian
menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat
febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama,
suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun
pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam
minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali
pada kahir minggu ketiga

9
b. Gangguan saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap. Bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung. Hati dan limfa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula
normal, bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan gelisah.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5–40 hari dengan
rata-rata antara 10–40 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal
tersebut dapat terjadi disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi dan
imunologik penjamu, serta lama sakit di rumahnya. Penampilan demam pada
kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature
chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara
bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama.
Setelah itu demam akan bertahan tinggi. Pada minggu ke-4, demam turun
perlahan secara lisis. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan
dengan pagi harinya.
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di perut,
batuk, dan epistaksis.Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas, yaitu berupa
demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti dengan
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput, hepatomegali,
splenomegali, meteroismus, ganguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, dan psikosis.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu:

10
a. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia
dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin
didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.
Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan
jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas,
spesifisitas dan nilai perkiraan yang cukup tinggi untuk dipakai dalam
membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya
leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam
tifoid.
a. Identifikasi kuman mekakui isolasi / biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan
duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit,
maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum
tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di
dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam
tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid,
karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil biakan meliputi
(1) jumlah darah yang diambil
(2) perbandingan volume darah dari media empedu
(3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak
kecil dibutuhkan. 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1mL.Bakteri dalam sumsum
tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada
bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan

11
darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat
meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang
dapat tumbuh pada media tersebut Biakan darah terhadap Salmonella juga
tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa
peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga.4,9 Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita
yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume
darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.6 Bakteri dalam
feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas
karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat
untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur
darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat
dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan
memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas
karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian
pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan
duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh
keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika,
jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang
tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai

12
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi
bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode
diagnosis baku dalam pelayanan penderita
b. Identifikasi kuman melalui uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S.
typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang
diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke
dalam tabung tanpa antikoagulan.. Metode pemeriksaan serologis
imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik
demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas
dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi
oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa,
teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)
Berikut adalah macam-macam uji serologis yang dapat membantu
menegakan diagnosis demam tifoid :
1) Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin
digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi
antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami
pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H)
yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan
titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan
menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji
hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur
penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih
rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.

13
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40
dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif
sebesar 99.2%.14 Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak
dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji
Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%. Interpretasi dari
uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status
imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan
antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah
endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang
digunakan. Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan
spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi
penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan
tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada
tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).3 Saat ini walaupun
telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari
standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer)
pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti
Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-
anak sehat. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman.
Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap
pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang ence1.
a. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili
S. typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H
phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini

14
tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian
alkohol atau asam.
b. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. Typhi (kapsul) yang melindungi
kuman dari fagositosisn dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak
biladipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam
dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.
c. OuterMembrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel
terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu
protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama
OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan
saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000.
Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–
100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan
lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih
belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen
OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa.
2) Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas
ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat
dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi
IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji
Widal.4 Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas

15
100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas
sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi
pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.
3) Metode Enzim Immuniassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut
sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan
tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan
deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi
dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan
memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis
non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh
karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal
positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal
bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis
demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya
reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan
antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang
khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya
mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana
biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran
lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap

16
stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
4) Metode Enzime-Linked Immunirbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,
antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap
antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada
sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada
darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada
satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas
100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel. urine
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100%
pada deteksi antigen. Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen
O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup
menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah
panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga
pada kasus dengan Brucellosis.
5) DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen
LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang
mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM
antihuman immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat
yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai
fasilitas laboratorium yang lengkap. Penelitian oleh Gasem dkk (2002)
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan

17
kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah
dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar
94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita
demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002)
mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat
pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada
penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya
cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada
penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak
tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
c. Identifikasi kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah
dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang
spesifik untuk S. typhi. Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan
spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik
daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL
darah. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum
memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih
terbatas dalam laboratorium penelitian
4. Gold Standart Diagnosis
Diagnosis pasti demam tifoid ditegakkan dengan ditemukannya kuman
Salmonella typhi dari biakan darah, urin, tinja, sumsum tulang atau dari
aspirat duodenum. Tetapi pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu yang
lama sehingga secara klinik tidak menjadi patokan untuk memberikan
terapi. Dengan demikian secara praktis diagnosis klinis demam tifoid telah
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan darah tepi, dan

18
pemeriksaan serologis. Macam-macam spesimen yang digunakan untuk
kultur :
a. Kultur & Identifikasi S.typhi dalam darah
1) Baku emas (mahal, waktu lama)
2) Waktu pengambilan: mg I demam
3) Prosedur pem  isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes
serologik
4) (-) palsu : waktu tdk tepat, pemakaian antimikroba, spesimen
sedikit
b. Kultur Kultur & Identifikasi S.typhi dalam tinja
1) Waktu pengambilan: mg II & III demam
2) Spesimen : tinja segar, tdk tercampur urin, wadah steril, px < 2 jam
3) Prosedur pem  isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes
serologik
4) Hasil (+)  mendukung dx jika gejala klinis (+)
c. Kultur & Identifikasi S.typhi dalam urin
1) Waktu pengambilan: mg II & III demam
2) Spesimen : urin porsi tengah, pagi, wadah steril
3) Prosedur pem  isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes
serologik
2.7 Diagnosis banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis,
bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik,
shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat,
sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis
banding
2.8 Panatalaksanaan
Medikamentosa

19
Obat terpilih untuk penderita demam tifoid adalah kloramphenikol
dengan dosis 50-100 mg/kgBb/ hari maksimal 2 gr/hari. Obat diberikan
sampai 7 hari bebas panas, minimal diberikan selama 10 hari. Bila dalam
10 hari pemberian kloramphenikol panas tidak turun maka obat diganti
ampicilin 200mg/kgBb/hari diberkan secara Iv selama 10-14 hari.
Demikian juga bila ditemukan Hb<8 g/dl, dan atau leukosit <2000/mm3
obat diganti dengan ampicilin.
Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 80 mg/kg
BB/kali dan diberikan sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari.
Pada ensefalopati tifoid diberikan juga dexamethason dengan dosis
awal 3 mg/kgBB/kali, dilanjutkan 1 mg/kgBB/6 jam, sebanyak 8 kali
(selama 48 jam), lalu di stop tanpa tapering off, reduksi cairan 4/5
kebutuhan, lakukan pemeriksaan elektrolit, dan dilakukan Lumbal Punksi
bila tidak terdapat kontraindikasi.
 Indikasi rawat
Klinis ringan dapat dirawat jalan dengan control poli teratur. Jika klinis
disertai hiperpireksia, muntah-muntah, intake tidak adekuat, dehidrasi,
keadaan umum lemah, maka harus di rawat inapkan.
 Perawatan
Penderita harus tirah baring 5-7 hari bebas panas, kemudian secara
bertahap mulai mobilisas. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun
harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi
demam tifoid yang lain termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu
mendapat perhatian
 Diet
Pemberian diet tahap awal pada penderita demam tifoid harus
mengutamakan lunak, mudah dicerna, tidak merangsang, bebas serat, dan
tidak menimbulkan gas. Pemberian makan dalam porsi kecil tetapi sering.
Biasanya disajikan dalam bentuk bubur saring.

20
Non medikamentosa

Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum


dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah
peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi
saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih,
pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan
menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar
Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu
pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah
vaksin yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi.
Yang kedua adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan
secara oral. Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin
tifoid atau harus menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid
diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi yang
berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh
mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh
mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang
mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak
boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas
yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya
boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah
penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas,
orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang
mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu
atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan
kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh
diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik.
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan
problem serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang

21
menyebabkan bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem
serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid
yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1
orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau
pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin
tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam atau
sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak.
2.9 Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.thypi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang
mereka konsumsi, salmonella thypi di dalam air akan mati apabila dipanasi
setinggi 57oC untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Vaksin Demam Tifoid dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam
tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen
Vi dari Salmonella Thypi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella Thypi,
S.Parathypi A, S.Parathypi B yang dimatikan (TAB Vaccine) telah puluhan
tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan, namun vaksin ini
hanya memberikan daya kekebalan terbatas, disamping efek samping lokal
pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman
Salmonella Thypi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral tiga
kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6
tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur di atas 2 tahun. Vaksin
yang berisi komponen Vi dari Salmonella Thypi diberikan secara
intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.

2.10 Prognosis

Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat


kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya
pengobatan. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka
mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%,
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan.

22
Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas
dan mortalitas yang tinggi. Angka kematian pada anak-anak adalah 2,6%
dan pada orang dewasa adalah 7,4 %. Sehingga rata-ratanya adalah 5,7%.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan
S.ser.Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis.
Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia.
Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens
penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan
populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini
jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.
2.11 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
 Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
 Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi
intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis,
polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia
Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang
terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan
kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang sempurna.

23
BAB III

KESIMPULAN

Demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi sistemik


terutama mengenai sistem retikuloendotelial, jaringan limfoid intestinal, dan
kantung empedu, yang disebabkan oleh kuman basil gram negatif Salmonella
typhi maupun Salmonella paratyphi.
Utama dari manifetasi klinik demam tifoid adalah : adanya demam lebih dari 7
hari, gangguan gastrointestinal dan gangguan kesadaranPenegakan diagnosis dari
demam tifoid adalah didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Gold standar dalam penegakan diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan
kultur. Penatalaksanaan kasus demam tifoid memerlukan upaya medikamentosa
dan non medika mentosa. Komplikasi demam tifoid dibagi menjadi 2, komplikasi
intestinal dan ekstraintestinal.
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,
angka mortalitasnya >10%, mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan
kemungkinan komplikasi dan waktu pemulihan

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidabutar S, Satari HI. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak:
Kloramfenikol atau Seftriakson?. Sari Pediatri. 2010; 11 (6): 434-439.
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak Infeksi Dan Penyakit Tropis. Edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Hal 367-75.
3. Rampengan TH. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008. Hal 46-62.
4. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi 1.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2004. Hal 91-4.
5. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: 2007. Hal. 1186-1190.
6. Bambang WT. Kajian Faktor Pengaruh Terhadap Penyakit Demam Tifoid
pada Balita Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2009; 12 (4).
7. Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG. Update
Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2012.
8. Lubis R. Faktor Resiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid Penderita yang
Dirawat di RSUD dr. Soetomo Surabaya. Tesis; 2008.
9. Tumbelaka AR. Typhoid Fever in Children. Division of Infectious Diseases
& Tropical Pediatrics, Department of Child HealthFMUI – Cipto
Mangunkusumo General Hospital. Jakarta: 2010.
10. Septiawan, 2013. Pemeriksaan Immunoglobulin M Anti Salmonella Dalam
Diagnosis Demam Tifoid. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah . Denpasar : 2013.

25

Anda mungkin juga menyukai