PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertambahan populasi penduduk dan peningkatan kebutuhan manusia
seiring dengan berkembangnya zaman, mengakibatkan meningkatnya kebutuhan
akan energi yang tidak dapat diperbarui. Selama ini sebagian besar sumber energi
menggunakan bahan bakar fosil yang jumlahnya semakin menipis. Hal ini
mendorong kita mencari berbagai cara untuk menghemat penggunaan minyak
bumi serta menciptakan energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar fosil
(Hasan dkk., 2012).
Bahan bakar minyak bumi merupakan salah satu kebutuhan utama yang
banyak digunakan di berbagai negara. Saat ini kebutuhan akan bahan bakar
semakin meningkat seiring semakin meningkatnya populasi dan semakin
berkembangnya teknologi, akan tetapi cadangan sumber daya minyak bumi yang
berasal dari fosil semakin menipis karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui.
Menurut data Automotive Diesel Oil, konsumsi bahan bakar Indonesia telah
melebihi produksi sejak tahun 1995, dan diperkirakan cadangan minyak Indonesia
akan habis dalam waktu 10-15 tahun mendatang (Hambali, 2006).
Salah satu alternatif sumber energi adalah Fatty Acid Metil Ester (biodiesel)
sebagai produk untuk menggantikan proteleum diesel dari sumber minyak nabati.
Bahan dasar yang biasa digunakan untuk pembuatan biodiesel diantaranya minyak
dari kedelai, minyak sawit, minyak biji jarak, minyak biji bunga matahari dan lain
sebagainya. Bila dibandingkan dengan bahan bakar diesel atau solar, biodiesel
bersifat lebih ramah lingkungan, dapat diperbarui (renewable), dapat terurai
(biodegradable), memiliki sifat pelumasan terhadap mesin piston karena termasuk
kelompok minyak tidak mengering (non-drying oil), mampu mengeliminasi efek
rumah kaca, dan kontinuitas ketersediaan bahan baku terjamin. Biodisel bersifat
ramah lingkungan karena menghasilkan emisi gas buang yang jauh lebih baik
dibandingkan diesel atau solar, yaitu bebas sulfur, bilangan asap (smoke number)
rendah, dan angka setana (cetane number) bekisar antara 57-62 sehingga efisiensi
1
pembakaran lebih baik, terbakar sempurna (clean burning) ,dan tidak menghasil-
kan racun (nontoxic) (Hambali, 2006).
Minyak sawit adalah suatu sumber energi yang potensial. Sebagai negara
yang tanahnya subur, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk
berperan dalam industri kelapa sawit. Terlebih lagi pada 2007 Indonesia tercatat
sebagai penghasil dan pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Sampai
dengan 2010, luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 7,8 juta
hektar. Dalam kurun waktu sekira 15 tahun terakhir produksi minyak kelapa sawit
meningkat hampir lima kali lipat, dari 4,8 juta ton minyak sawit mentah (CPO)
pada 1996 menjadi 19,8 juta ton pada 2010 (Departemen Agribisnis, 2013).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
merupakan campuran beberapa trigliserida. Asam-asam lemak yang menyusun
lemak juga dapat dibedakan berdasarkan jumlah atom hidrogen yang terikat
kepada atom karbon.
Minyak goreng adalah minyak yang telah mengalami proses pemurnian
yang meliputi degumming, netralisasi, pemucatan, dan deodorisasi. Secara umum
komponen utama minyak sangat menentukan mutu minyak adalah asam
lemaknya, karena asam lemak menentukan sifat kimia maupun stabilitas minyak.
Minyak goreng yang dihasilkan dari bahan yang berbeda mempunyai stabilitas
yang berbeda pula, karena stabilitas minyak goreng dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain derajat ketidakjenuhan asam lemak yang dikandungnya,
penyebaran ikatan rangkap, dan bahan-bahan pembantu yang dapat mempercepat
atau menghambat proses kerusakan, dimana bahan pembantu tersebut terdapat
secara alami ataupun sengaja ditambahkan (Djatmiko dan Enie,1985).
Kandungan minyak goreng dibalik warnanya yang bening kekuningan,
minyak goreng merupakan campuran dari berbagai senyawa. Komposisi
terbanyak dari minyak goreng yang mencapai hampir 100% adalah lemak.
Sebagian besar lemak dalam makanan (termasuk minyak goreng) berbentuk
trigliserida. Jika terurai, trigliserida akan berubah menjadi satu molekul gliserol
dan tiga molekul asam lemak bebas. Semakin banyak trigliserida yang terurai
maka semakin banyak pula asam lemak bebas yang dihasilkan.Pada proses
oksidasi lebih lanjut, asam lemak bebas ini akan menyebabkan lemak atau minyak
menjadi bau tengik. Biasanya untuk menghilangkan atau memperlambat oksidasi
yang menyebabkan bau tengik ini, minyak goreng ditambah dengan vitamin A, C,
D atau E (Ketaren, 1986).
Selama penggorengan, minyak goreng akan mengalami pemanasan pada
o
suhu tinggi 1700–1800 C dalam waktu yang cukup lama. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya proses oksidasi, hidrolisis, dan polimerisasi yang
menghasilkan senyawa-senyawa hasil degradasi minyak, seperti keton, aldehid,
dan polimer yang merugikan kesehatan manusia. Proses-proses tersebut
menyebabkan minyak mengalami kerusakan. Kerusakan utama adalah timbulnya
bau dan rasa tengik, sedangkan kerusakan lain meliputi peningkatan kadar asam
4
lemak bebas (FFA), bilangan iodin (IV), timbulnya kekentalan minyak,
terbentuknya busa, hanya kotoran dari bumbu yang digunakan dan bahan yang
digoreng (Ketaren, 1986).
Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan
minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan
rasa gatal pada tenggorokan, hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak
jenuh atau akrolein tersebut. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak
goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas.
Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena
telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Oleh karena itu, untuk menekan terjadinya
hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan pada suhu yang
tidak terlalu tinggi dari seharusnya (Winarno, 2004).Adapun syarat mutuminyak
gorengdapat dilihatpada Tabel 1.1 berikut ini.
Tabel 2.1 Syarat mutu minyak goreng
No. Kriteria Uji Persyaratan
1 Bau Normal
2 Rasa Normal
3 Warna Muda jernih
4 Cita rasa Hambar
5 Kadar air Max 0,3%
6 Asam lemak bebas Max 0,3%
7 Titik asap Max 200
8 Bilangan iodine 45-51
Sumber: BSN (2013)
5
Tipe minyak hewani, yaitu minyak babi, minyak ikan paus, salmon, sarden,
menhaden jap, herring, hiu, anjing laut, lumba-lumba, dan minyak purpoise.
2. Minyak nabati setengah mengering (semi drying oil), misalnya minyak biji
kapas, minyak biji bunga matahari, kapok, gandum, dan jagung.
3. Minyak nabati mengering (drying oil), misalnya minyak kacang kedelai, biji
karet, safflower, argemone, hemp, walnut, biji poppy, biji karet, perilla,
tung, linseed, dan candle nut.
6
meningkatkan kadar kolesterol jahat, menurunkan kadar kolesterol baik, dan
menyebabkan bayi-bayi lahir prematur.
b. Sifat-sifat Minyak Goreng
Sifat-sifat minyak goreng dibagi menjadi sifat fisik dan sifat kimia
(Ketaren, 1986), yakni:
Sifat Fisik
1. Warna; terdiri dari 2 golongan, golongan pertama yaitu zat warna alamiah,
yaitu secara alamiah terdapat dalam bahan yang mengandung minyak dan
ikut terekstrak bersama minyak pada proses ekstrasi. Zat warna tersebut
antara lain α dan β karoten (berwarna kuning), xantofil (berwarna kuning
kecoklatan), klorofil (berwarna kehijauan), dan antosianin (berwarna
kemerahan). Golongan kedua yaitu zat warna dari hasil degradasi zat warna
alamiah, yaitu warna gelap disebabkan oleh proses oksidasi terhadap
tokoferol (vitamin E), warna cokelat disebabkan oleh bahan untuk membuat
minyak yang telah busuk atau rusak, dan warna kuning umumnya terjadi
pada minyak tidak jenuh.
2. Odor dan flavor, terdapat secara alami dalam minyak dan juga terjadi karena
pembentukan asam-asam yang berantai sangat pendek.
3. Kelarutan, minyak tidak larut dalam air kecuali minyak jarak (castor oil)
dan minyak sedikit larut dalam alkohol,etil eter, karbon disulfida, dan
pelarut-pelarut halogen.
4. Titik cair dan polymorphism, minyak tidak mencair dengan tepat pada suatu
nilai temperatur tertentu. Polymorphism adalah keadaan dimana terdapat
lebih dari satu bentuk kristal.
5. Titik didih (boiling point), titik didih akan semakin meningkat dengan
bertambah panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut.
6. Titik lunak (softening point), dimaksudkan untuk identifikasi minyak
tersebut.
7. Sliping point, digunakan untuk pengenalan minyak serta pengaruh kehadiran
komponen-komponennya.
7
8. Shot melting point, yaitu temperatur pada saat terjadi tetesan pertama dari
minyak atau lemak.
9. Bobot jenis, biasanya ditentukan pada temperatur 25 ºC dan juga perlu
dilakukan pengukuran pada temperatur 40 ºC.
10. Titik asap, titik nyala, dan titik api, dapat dilakukan apabila minyak
dipanaskan. Merupakan kriteria mutu yang penting dalam hubungannya
dengan minyak yang akan digunakan untuk menggoreng.
11. Titik kekeruhan (turbidity point), ditetapkan dengan cara mendinginkan
campuran minyak dengan pelarut lemak.
Sifat Kimia
1. Hidrolisa, dalam reaksi hidrolisa, minyak akan diubah menjadi asam lemak
bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat menyebabkan kerusakan
minyak atau lemak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak
tersebut.
2. Oksidasi, proses oksidasi berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah
oksigen dengan minyak. Terjadinya reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau
tengik pada minyak dan lemak.
3. Hidrogenasi, proses hidrogenasi bertujuan untuk menumbuhkan ikatan
rangkap dari rantai karbon asam lemak pada minyak.
4. Esterifikasi, proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam-asam lemak
dari trigliserida ke dalam bentuk ester. Dengan menggunakan prinsip reaksi
ini hidrokarbon rantai pendek dalam asam lemak yang menyebabkan bau
tidak enak, dapat ditukar dengan rantai panjang yang bersifat tidak
menguap.
2.1.2 Metanol
Senyawa alkohol yang paling sederhana dan umum digunakan adalah
metanol. Metanol merupakan cairan polar yang dapat bercampur dengan air,
alkohol-alkohol lain, ester, keton, eter, dan sebagian besar pelarut organik.
Metanol sedikit larut dalam lemak dan minyak. Metanol yang juga dikenal
sebagai metil alkohol, wood alcohol atau spiritus, adalah senyawa kimia yang
8
dapat disusun dari tiga unsur kimia, yaitu unsur oksigen, karbon, dan hidrogen
dengan rumus kimia CH3OH. Metanol diproduksi secara alami dari metabolisme
anaerobik oleh bakteri. Hasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah
kecil) di udara. Setelah beberapa hari, uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh
oksigen dengan bantuan sinar matahari menjadi karbon dioksida dan air (Hikmah
dan Zuliyana, 2010).
Pada keadaan atmosfer, metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah
menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan bau yang khas
(berbau lebih ringan daripada etanol). Ia digunakan sebagai bahan pendingin anti
beku, pelarut, bahan bakar, dan sebagai bahan additif bagi etanol industri. Api dari
metanol biasanya tidak berwarna. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati bila
berada dekat metanol yang terbakar untuk mencegah cedera akibat api yang tak
terlihat. Karena sifatnya yang beracun, metanol sering digunakan sebagai bahan
additif bagi pembuatan alkohol untuk penggunaan industri (Mittelbach dan
Remschmidt, 2004).
Metanol kadang juga disebut sebagai wood alcohol karena merupakan
produk samping dari distilasi kayu. Saat ini metanol dihasilkan melalui proses
multi tahap. Secara singkat, gas alam dan uap air dibakar dalam tungku untuk
membentuk gas hidrogen dan karbon monoksida. Kemudian, gas hidrogen dan
karbon monoksida ini bereaksidalam tekanan tinggi dengan bantuan katalis untuk
menghasilkan metanol. Tahap pembentukannya adalah endotermik dan tahap
sintesisnya adalah eksotermik (Mittelbach dan Remschmidt, 2004). Pada Tabel
2.1 berikut ini dapat dilihat sifat-sifat fisika dan kimia dari metanol.
Tabel 2.1 Sifat-sifat fisika dan kimia metanol
Massa molar 32,04 g/mol
Wujud Cairan tidak berwarna
Specific gravity 0,7918
Titik leleh -97 oC. -142,9 oF (176 K)
Titik didih 64,7 oC. 148,4 oF (337,8 K)
Kelarutan dalam air Sangat larut
Keasaman (pKa) ~15,5
Sumber : Perry(1984)
9
Metanol juga digunakan sebagai pelarut,antifreeze, dan fluida pencuci kaca
depan mobil. Penggunaan metanol terbanyak adalah sebagai bahan pembuat
bahan kimia lainnya. Sekitar 40% metanol diubah menjadi formaldehyde, dan dari
sana menjadi berbagai macam produk, seperti plastik, plywood, cat, peledak, dan
tekstil. Dalam beberapa pabrik pengolahan air limbah, sejumlah kecil metanol
digunakan ke air limbah sebagai bahan makanan karbon untuk denitrifikasi
bakteri, yang mengubah nitrat menjadi nitrogen. Bahan bakar direct-methanol
unik karena suhunya yang rendah dan beroperasi pada tekanan atmosfer, ditambah
lagi dengan penyimpanan dan penanganan yang mudah dan aman membuat
metanol dapat digunakan dalam perlengkapan elektronik (Mittelbach dan
Remschmidt, 2004).
10
Tabel 2.2 Sifat-sifat fisika dan kimia kalium hidroksida
Berat molekul 56,11 g/mol
Wujud Padat
Warna Putih
pH 13,5 (0,1 M larutan)
Titik didih 1384 oC (2523,2 oF)
Titik lebur 380 oC (716 oF)
Specific gravity 2,044
Sumber:ScienceLab(2005)
11
Esterifikasi pada dasarnya adalah reaksi yang bersifat reversibel dari asam
lemak dengan alkil alkohol membentuk ester dan air yang dapat dilihat pada
Gambar 2.1 berikut ini.
12
berlebih (biasanya lebih besar dari 10 x nisbah stoikiometrik) dan air produk
ikatan reaksi harus dihilangkan dari fase reaksi, yaitu fase minyak.
Penghilangan air ini dapat ditempuh dengan berbagai cara alternatif, yaitu:
1. Menguapkan fase akuatik atau alkohol, mengadsorpsi uap air, serta
kemudian mengembunkan uap metanol kering untuk dikembalikan ke dalam
bejana reaksi.
2. Mengabsorpsi air yang terbentuk dengan garam-garam anhidrat yang
membentuk padatan berhidrat (misalnya CaCl 2 atau CaSO4), mengekstrak
air yang terbentuk dengan suatu cairan „penyeret‟ (entraining agent), seperti
gliserol, etilen glikol, atau propilen glikol.
Biodiesel mentah (kasar) yang dihasilkan proses transesterifikasi minyak
(atau esterifikasi asam-asam lemak) biasanya masih mengandung sisa-sisa katalis,
metanol, dan gliserol atau air. Untuk memurnikannya, biodiesel mentah tersebut
bisa dicuci dengan air sehingga pengotor-pengotor tersebut larut ke dalam dan
terbawa oleh fase air pencuci yang selanjutnya dipisahkan. Porsi pertama dari air
yang dipakai mencuci disarankan mengandung sedikit asam/basa untuk
menetralkan sisa-sisa katalis. Biodiesel yang sudah dicuci kemudian dikeringkan
pada kondisi vakum untuk menghasilkan produk yang jernih (pertanda bebas air)
dan bertitik nyala ≥ 100 oC (pertanda bebas metanol).
13
Reaksi antara minyak atau lemak dengan alkohol merupakan reaksi yang
bersifat bolak‐balik. Oleh sebab itu, alkohol harus ditambahkan berlebih untuk
membuat reaksi berjalan ke arah kanan. Proses transesterifikasi dapat dilakukan
tanpa bantuan katalis, tetapi yield yang dihasilkan pada suhu 350 oC sangat rendah
dan karena itulah diperlukan suhu yang tinggi. Dari kebanyakan proses
transesterifikasi, hanya proses alkali (basa) yang digunakan dalam industri karena
lebih efektif dan sangat efisien.Jadi, di sebagian besar dunia ini, biodiesel praktis
identik dengan ester metil asam-asam lemak (Fatty Acids Metil Ester, FAME).
Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa adanya
katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan dengan lambat
(Mittelbachdan Remschmidt,2004). Katalis yang biasa digunakan pada reaksi
transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi.
Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester dapat dilihat pada Gambar
2.3.
14
Produk yang diinginkan dari reaksi transesterifikasi adalah metil ester asam-
asam lemak. Terdapat beberapa cara agar kesetimbangan lebih ke arah produk,
yaitu:
a. Menambahkan metanol berlebih ke dalam reaksi.
b. Memisahkan gliserol.
c. Menurunkan temperatur reaksi (transesterifikasi merupakan reaksi
eksoterm).
Tahapan reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel selalu menginginkan
agar didapatkan produk biodiesel dengan jumlah yang maksimum. Freedman dkk.
(1984) menyatakan bahwa ada beberapa kondisi reaksi yang memengaruhi
konversi serta perolehan biodiesel melalui transesterifikasi, yakni adalah sebagai
berikut.
a. Pengaruh air dan asam lemak bebas
Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka asam
yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan asam
lemak bebas lebih kecil dari 0,5% (<0,5%). Selain itu, semua bahan yang akan
digunakan harus bebas dari air. Karena air akan bereaksi dengan katalis sehingga
jumlah katalis menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak dengan
udara agar tidak mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida.
b. Pengaruh perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah
Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3
mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol
gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4,8:1 dapat menghasilkan
konversi 98% (Bradshaw dan Meuly, 1944). Secara umum ditunjukkan bahwa
semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan maka konversi yang diperoleh
juga akan semakin bertambah. Pada rasio molar 6:1, setelah 1 jam konversi yang
dihasilkan adalah 98-99%, sedangkan pada 3:1 adalah 74-89%. Nilai
perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang
maksimum.
15
c. Pengaruh jenis alkohol
Pada rasio 6:1, metanol akan memberikan perolehan ester yang tertinggi
dibandingkan dengan menggunakan etanol atau butanol.
d. Pengaruh jenis katalis
Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila
dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer untuk reaksi
transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH) dan kalium hidroksida
(KOH). Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida).
Reaksi transesterifikasi akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan
jumlah katalis 0,5-1,5%-b minyak nabati. Jumlah katalis yang efektif untuk reaksi
adalah 0,5%-b minyak nabati untuk natrium metoksida dan 1%-b minyak nabati
untuk natrium hidroksida.
e. Metanolisis crude dan refined minyak nabati
Perolehan metil ester akan lebih tinggi jika menggunakan minyak nabati
refined. Namun, apabila produk metil ester akan digunakan sebagai bahan bakar
mesin diesel, cukup digunakan bahan baku berupa minyak yang telah dihilangkan
getahnya dan disaring.
f. Pengaruh temperatur
Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada temperatur 30–65 °C (titik
didih metanol sekitar 65 °C). Semakin tinggi temperatur, konversi yang diperoleh
akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat.
16
(biodegradable), memiliki sifat pelumasan terhadap mesin piston karena termasuk
kelompok minyak tidak mengering (non drying oil), mampu mengeliminasi efek
rumah kaca, dan kontinuitas ketersediaan bahan baku terjamin. Biodiesel bersifat
ramah lingkungan karena menghasilkan emisi gas buang yang jauh lebih baik
dibandingkan diesel/solar, yaitu bebas sulfur, bilangan asap (smoke number)
rendah, dan angka setana (cetane number) berkisar antara 57-62 sehingga efisiensi
pembakaran lebih baik, terbakar sempurna (clean burning), dan tidak
menghasilkan racun (nontoxic) (Hambali, 2006). Adapun syarat mutu biodiesel
dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut ini.
Tabel 2.3 Syarat mutu biodiesel
Parameter Uji Satuan Nilai Metode Uji
Densitas (40oC) kg/m3 850-890 ASTM D 1298
Viskositas kinematik (40oC) mm2/s (cSt) 2,3-6 ASTM D 445
Angka setana - min. 51 ASTM D 613
o
Titik nyala (mangkok tertutup) C min. 100 ASTM D 93
Angka asam mg-KOH/gr max. 0,5 AOCS Cd 3d-63
Kadar ester metal %-mass min. 96,5 -
Angka iodium %-mass max. 115 AOCS Cd 1-25
Sumber : BSN (2015)
Biodiesel dapat diperoleh melalui reaksi transesterifikasi trigliserida dan
atau reaksi esterifikasi asam lemak bebas tergantung dari kualitas minyak nabati
yang digunakan sebagai bahan baku. Transesterifikasi adalah proses yang
mereaksikan trigliserida dalam minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol
rantai pendek seperti metanol atau etanol (pada saat ini sebagian besar produksi
biodiesel menggunakan metanol) menghasilkan metil ester asam lemak atau
biodiesel dan gliserol (gliserin) sebagai produk samping. Katalis yang digunakan
pada proses transeterifikasi adalah basa/alkali, biasanya digunakan natrium
hidroksida (NaOH) atau kalium hidroksida (KOH). Namun, proses pembuatan
biodiesel secara konvensional ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya
terbentuknya produk samping berupa sabun dan rumitnya pemisahan produk
biodiesel yang dihasilkan dengan katalis. Esterifikasi adalah proses yang
mereaksikan asam lemak bebas (FFA) dengan alkohol rantai pendek (metanol
atau etanol) menghasilkan metil ester asam lemak (FAME) dan air. Katalis yang
17
digunakan untuk reaksi esterifikasi adalah asam, biasanya asam sulfat (H2SO4)
atau asam fosfat (H2PO4). Berdasarkan kandungan FFA dalam minyak nabati
maka proses pembuatan biodiesel secara komersial dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Transesterifikasi dengan katalis basa (sebagian besar menggunakan kalium
hidroksida) untuk bahan baku refined oil atau minyak nabati dengan
kandungan FFA rendah.
2. Esterifikasi dengan katalis asam (umumnya menggunakan asam sulfat)
untuk minyak nabati dengan kandungan FFA tinggi yang dilanjutkan
dengan transesterifikasi dengan katalis basa.
Proses pembuatan biodiesel dari minyak dengan kandungan FFA rendah
secara keseluruhan terdiri dari reaksi transesterifikasi, pemisahan gliserol dari
metil ester, pemurnian metil ester (netralisasi, pemisahan metanol, pencucian, dan
pengeringan/dehidrasi), pengambilan gliserol sebagai produk samping (asidulasi
dan pemisahan metanol), serta pemurnian metanol tak bereaksi secara
destilasi/rectification. Proses esterifikasi dengan katalis asam diperlukan jika
minyak nabati mengandung FFA di atas 5%. Jika minyak berkadar FFA tinggi
(>5%) langsung ditransesterifikasi dengan katalis basa maka FFA akan bereaksi
dengan katalis membentuk sabun. Terbentuknya sabun dalam jumlah yang cukup
besar dapat menghambat pemisahan gliserol dari metil ester dan berakibat
terbentuknya emulsi selama proses pencucian. Jadi, esterifikasi digunakan sebagai
proses pendahuluan untuk mengkonversikan FFA menjadi metil ester sehingga
mengurangi kadar FFA dalam minyak nabati dan selanjutnya ditransesterifikasi
dengan katalis basa untuk mengkonversikan trigliserida menjadi metil ester
(Hikmah dan Zuliyana, 2010).
2.5 Gliserol
Gliserol adalah salah satu bahan kimia yang penting di dalam industri obat-
obatan, bahan makanan, kosmetik, bahan peledak, dan lain-lain. Penggunaan
gliserol yang beragam tersebut mengharuskan produksi gliserol dibuat dalam
skala besar agar mampu memenuhi kebutuhan pasokan dalam berbagai industri.
Salah satu bahan baku pembuatan gliserol adalah minyak, yang terdiri atas
18
minyak nabati dan lemak hewani. Gliserol jarang ditemukan dalam bentuk lemak
bebas, tetapi biasanya terdapat sebagai trigliserida yang tercampur dengan
bermacam-macam asam lemak, misalnya asam stearat, asam oleat, asam palmitat
dan asam laurat. Wujud gliserol adalah jernih, tidak berbau, dan memiliki rasa
manis (Mitsui, 1997). Sifat-sifat fisika dari gliserol dapat dilihat pada Tabel 2.4
sebagai berikut.
Tabel 2.4 Sifat-sifat fisika gliserol
Berat molekul 92,09382 g/mol
Viskositas pada suhu 20 oC 1499 cP
Panas spesifik pada suhu 26 oC 0,5795 kal/g
Densitas 1,261 g/cm3
Titik leleh 18 oC
Titik didih 290 oC
Sumber : Kem (1966)
19
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
20
7. Reaksi esterifikasi dilakukan selama 2 jam.
8. Setelah 30 menit, reaksi dihentikan kemudian hasil reaksi dimasukkan
ke dalam corong pisah dan didiamkan sampai terbentuk 2 lapisan dan
dipisahkan.
9. Minyak dicuci dengan aquadest hangat.
3.3.2 Transesterifikasi Minyak Curah
1. Minyak diambil 406,5 gr dan katalis KOH 3 gr
2. Methanol diukur dengan nisbah molar 1:6
3. KOH dan methanol direaksikan terlebih dahulu. Minyak yang
digunakan untuk proses transesterifikasi dipanaskan di dalam reactor
pada suhu 60⁰.
4. KOH dan metanol yang sudah direaksikan kemudian dimasukkan
kedalam reaktor tangki berpengaduk yang berisi minyak dan
dipanaskan juga sampai temperatur 60oC
5. Reaksi transesterifikasi dilakukan selama waktu yang sudah ditentukan,
yaitu 2 jam.
6. Setelah selesai, sampel didinginkan. Kemudian dimasukkan kedalam
corong pisah. Lapisan atas dan lapisan bawahnya dipisahkan.
...............(2.1)
3.3.3 Analisa kadar asam lemak bebas Minyak Goreng (reaktan dan produk)
1. Sampel yang telah diperoleh ditimbang ± 3 gram, kemudian
dimasukkan kedalam erlenmeyer dan panaskan untuk menghilangkan
sisa methanol yang ada.
2. Ditambahkan 50 ml etanol 96%
3. Sampel dipanaskan agar etanol dan sampel saling melarutkan
4. Dinginkan larutan sampel, kemudian tambahkan 2 tetes indikator PP
5. Lakukan titrasi dengan larutan KOH 0,0938 N sampai berwarna merah
muda
6. Hitung kadar ALB dalam sampel dengan rumus:
21
.................................................... (2.2)
22
Buret
Klem
Statip
Erlenmeyer
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Pembahasan
Percobaan ini bertujuan untuk memahami proses pembuatan Metil Ester
Asam Lemak atau yang sering disebut dengan Biodiesel, dengan mereaksikan
turunan CPO dan metanol. Bahan utama yang digunakan pada percobaan ini
adalah minyak goreng curah dan metanol dengan nisbah molar 1 : 6. Metanol
digunakan karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan alkohol
lainnya. Metanol juga merupakan alkohol yang bereaksi lebih cepat dibandingkan
alkohol lain, karena metanol merupakan salah satu alkohol primer.
Minyak goreng curah memiliki kadar ALB yang lebih dari 2%, maka proses
pembuatan metil ester asam lemak atau biodiesel pada percobaan ini dilakukan
melalui dua tahap. Tahap pertama adalah reaksi esterifikasi antara minyak goreng
curah dan metanol, dengan katalis asam yang digunakan adalah H2SO4. Tahap
yang kedua yaitu reaksi transesterifikasi yang dilakukan dengan menggunakan
katalis basa KOH. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pembentukan
sabun selama proses pembuatan biodiesel.
24
Pada tahap esterifikasi, asam lemak bebas yang dikandung oleh minyak
goreng curah akan dikonversi menjadi metil ester dalam campuran metil ester dan
trigliserida, dengan produk samping air. Campuran metil ester dan trigliserida
yang dihasilkan pada tahap esterifikasi inilah yang akan digunakan pada tahap
transesterifikasi. Pada percobaan ini, reaksi esterifikasi dilakukan selama 2 jam
dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi yang dilakukan selama 3 jam. Sebelum
memulai tahap transesterifikasi, terlebih dahulu dilakukan proses standarisasi
larutan KOH dengan larutan Asam Oksalat untuk mengetahui konsentrasi pasti
larutan KOH yang akan digunakan.
25
terjadi eliminasi air yang diikuti oleh penarikan H+ oleh H2O hingga
menghasilkan ester.
Reaksi esterifikasi pada percobaan ini menghasilkan 2 lapisan campuran
dalam ketel reaksi. Dimana lapisan atas adalah metil ester hasil reaksi esterifikasi,
berwarna kuning keruh. Sedangkan lapisan bawah dimetil eter berwarna coklat.
Reaksi esterifikasi antara minyak dan metanol akan menghasilkan metil ester dan
air. Namun pada percobaan ini, hasil yang didapatkan dari reaksi esterifikasi ini
adalah metil ester dan dimetil eter. Pembetukan dimetil eter dapat disebabkan
karena berlebihnya katalis H2SO4 yang digunakan dalam reaksi esterifikasi ini.
Menurut Ramadhas dkk. (2005) yang dikutip oleh Yuliana dkk. (2008), kelebihan
katalis asam (excess H2SO4) yang digunakan dalam reaksi esterifikasi, akan
menyebabkan terjadinya reaksi antara H2SO4 dengan metanol membentuk dimetil
eter yang larut dalam air. Reaksi ini juga dapat memperlambat dan menghambat
pengurangan kadar ALB dalam minyak, karena berkurangnya jumlah metanol
yang dapat bereaksi dengan asam lemak bebas. Hal ini dapat dilihat dari kadar
ALB metil ester, yang dapat dikatakan masih relatif tinggi, yaitu sekitar 1,8955%.
Lapisan metil ester dan dimetil eter ini kemudian dimasukkan ke dalam
corong pisah untuk dilakukan pemisahan. Metil ester yang telah dipisahkan dari
dimetil eter kemudian dicuci menggunakan aquades panas. Pencucian ini
bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa dimetil eter dan katalis H2SO4 yang
digunakan selama reaksi esterifikasi, sebelum dilanjutkan pada reaksi
transesterifikasi. Kelebihan katalis yang terikat pada produk metil ester akan
menyebabkan yield produk transesterifikasi berkurang, karena adanya reaksi
antara katalis asam (H2SO4) dari reaksi esterifikasi dengan katalis KOH pada
reaksi transesterifikasi (Ramadhas dkk., 2005).
26
Fessenden (1999), reaksi transesterifikasi antara metanol dan minyak atau metil
ester adalah reaksi yang dapat balik, dimana penambahan reaktan dalam jumlah
berlebih selama reaksi, akan membuat keseimbangan bergeser ke arah kanan.
Berdasarkan teori ini, reaksi transesterifikasi pada percobaan ini dilakukan dengan
memperbesar nisbah metanol terhadap metil ester agar dapat mendorong reaksi ke
arah produk, sehingga produk reaksi yang dihasilkan semakin banyak. Reaksi
dipercepat dengan bantuan katalis basa, dimana pada percobaan ini digunakan
katalis KOH. Reaksi dilakukan dengan mencampurkan metil ester hasil
esterifikasi dan metanol yang sudah direaksikan dengan KOH terlebih dahulu.
Metanol dan KOH direaksikan terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya reaksi
penyabunan antara meil ester dan KOH.
Setelah reaksi transesterifikasi selesai, produk yang terbentuk dalam ketel
reaksi terdiri dari tiga lapisan, dimana lapisan paling atas berwarna kuning keruh,
lapisan tengah berwarna coklat dan lapisan paling bawah berwarna kuning
kecoklatan. Menurut Setiadji dkk. (2017), lapisan paling atas adalah biodiesel
yang dihasilkan dari reaksi transesterifikasi dan lapisan paling bawah adalah
gliserol yang merupakan produk samping reaksi, sedangkan lapisan tipis berwarna
coklat yang berada di tengah merupakan dimetil eter. Produk yang didapat ini
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa, reaksi transesterifikasi antara
minyak dan metanol, menghasilkan metil ester asam lemak atau biodiesel dengan
gliserol sebagai produk sampingnya. Dimetil eter yang terdapat pada lapisan tipis
di bagian tengah, merupakan sisa-sisa hasil reaksi esterifikasi yang terbawa pada
proses ini. Ketiga lapisan tersebut kemudian dimasukkan kedalam corong pisah
untuk dilakukan proses pemisahan dan pencucian dengan aquades panas.
Biodiesel yang telah dipisahkan dari gliserol dan dicuci kemudian dilakukan
pengujian mutu. Pengujian mutu ini dimaksudkan untuk membandingkan
biodiesel yang didapatkan pada percobaan ini dengan biodiesel yang sesuai
dengan SNI. Setelah dilakukan pengujian mutu didapatkan bahwa biodiesel yang
dihasilkan pada percobaan ini memiliki kadar ALB sebesar 0,8984%, densitas
sebesar 0,8388 gr/ml, bilangan asam sebesar 0,7407 dan kadar air sebesar 2,03%.
Mengacu pada SNI, biodiesel yang dihasilkan pada percobaan ini memiliki
27
kualitas relatif lebih rendah, karena memiliki kadar air yang jauh lebih tinggi
dibanding dengan SNI. Hal ini juga dapat dilihat dari rentang konversi pada
percobaan ini, yang bahkan belum menyentuh angka 80%, yakni sebesar
78,2591%. Hal ini dapat disebabkan karena banyaknya excess H2SO4 yang terikat
dalam metil ester sebagai bahan baku reaksi transesterifikasi, sehingga
menyebabkan reaksi antara H2SO4 dan KOH dalam reaksi transesterifikasi. Reaksi
ini dapat menurunkan yield dan kualitas biodiesel yang didapatkan. Tingginya
kadar air dan bilangan asam dalam biodiesel yang didapatkan juga disebabkan
karena adanya reaksi antara H2SO4 dan KOH.
28
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan ini didapat hasil :
1. Berat biodiesel yang dihasilkan adalah 236,8 gram dengan berat bahan baku
(minyak curah) yang digunakan sebanyak 412 gram, serta hasil konversi
berdasarkan kadar ALB adalah sebesar 78,2591%.
2. Kadar ALB minyak curah yang digunakan adalah 4,1323%. Oleh sebab itu,
dilakukan proses esterifikasi terlebih dahulu. Kadar ALB yang diperoleh
setelah proses esterifikasi adalah 1,8955%.
3. Kadar ALB produk dengan waktu proses transesterifikasi selama 3 jam
adalah 0,8984%.
4. Kadar air biodiesel yang diperoleh melalui reaksi transesterifikasi adalah
2,03%.
5. Rendemen biodiesel yang dihasilkan yaitu sebesar 57,4757%
5.2 Saran
1. Pada proses standarisasi dan titrasi harus teliti dalam melihat perubahan
warna pada larutan agar data yang dihasilkan tidak keliru.
2. Praktikan selanjutnya dapat mencoba variasi waktu proses transesterifikasi
dan membandingkan jumlah produk yang diperoleh.
29
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, A.A. 2006. Karakterisasi Fisika Kimia dan Mekanisme Kelobot Jagung
sebagai Bahan kemasan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Bogor.
Bogor.
Bradshaw, G.B. dan Meuly, W.C. 1944. Preparation of Detergent. US Patent
Office: 2,360,844.
BSN. 2013. SNI 3741:2013 tentang Minyak goreng. Jakarta: Badan Standardisasi
Nasional.
BSN. 2015. SNI 7182:2015 tentang Biodiesel. Jakarta: Badan Standardisasi
Nasional.
Canacki, M., Van Gerpen, J. 1999. ”Biodiesel Production via Acid Catalysis”.
Trans ASAE 42(5) : 1203- 1210.
Djatmiko, B. dan Enie, A.B. 1985. Proses Penggorengan dan Pengaruhnya
terhadap Sifat Fisiko-Kimia Minyak dan Lemak. Bogor: Agro-industri
Press.
Fessenden, J.R. & Fessenden, J.S. 1999. Kimia Organi. Edisi Ke 3. Erlangga.
Jakarta.
Freedman, B., Prede, E.H., dan Mounts, T.L. 1984. Variables Affecting the Yields
of Fatty Esters from Transesterfied Vegetable Oils. JAOCS. 61(10): 1640-
1642.
Hambali, E. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Hasan, M.H., Mahlia, T.M.I., Nur, H. (2012). “A Review on Energy Scenario and
Sustainable Energy in Indonesia”, Renewable and Sustainable Energy
Reviews, 16, hal. 2316 – 2328.
Hikmah, M.N. dan Zuliyana. 2010. Pembuatan Metil Ester (Biodiesel) dari
Minyak Dedak dan Metanol dengan Proses Esterifikasi dan
Transesterifikasi. Skripsi, Universitas Diponegoro.
Kem, J. 1966. Glycerol. Encyclopedia of Chemical Technology Vol 10.
Interscience Publisher, New York.
30
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI
Press.
Mitsui, T. 1997. New Cosmetic Science. Elseveir Science B. V. Amsterdam,
Netherlands.
Mittelbach, M. dan Remschmidt, C. 2004.Biodiesel - The Comprehensive
Handbook.Graz: Karl Franzens University.
Perry, R.H. dan Green, D.W. 1984.Perry’s Chemical Engineering Handbook, 6th
ed. New York: Mc Graw Hill Book Company, Inc.
Prastyo, H.S., dkk. 2011. Transesterifikasi Minyak Kelapa Sawit dengan
Menggunakan Katalis Padat dari Cangkang Keong Mas (Pomacea sp.).
Prosiding Seminar Nasional Fundamental dan Aplikasi, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.
Puspita, A. 2008. Kinetika Reaksi dalam Proses Pembuatan Biodiesel dari CPO
dengan Proses Esterifikasi. Unpublished Tugas Akhir S1, Universitas
Diponegoro.
Ramadhas, A.S., Jayaraj, S., Muraleedharan, C., 2005. “Biodiesel production from
high FFA rubber seed oil”. Fuel 84 : pp.335-340.
Rustamaji, H. 2010. Kinetika Reaksi Transesterifikasi Minyak Jarak Pagar
dengan Katalisator Zirkonia Tersulfatasi. Tesis Pascasarjana, UGM.
ScienceLab. 2005. Material Safety Data Sheet (Potassium Hydroxide MSDS).
Setiadji, S., Tanyela, N., Sudiarti, T., dkk. 2017. Alternatif Pembuatan Biodiesel
Melalui Transesterifikasi Minyak Castor (Ricinus communis) Menggunakan
Katalis Campuran Cangkang Telur Ayam dan Kaolin. Jurnal Kimia
VALENSI: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Ilmu Kimia 3(1) : 1-10
Wade, A. dan Weller, P.J. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipients, second
edition. Washington D.C.: American Pharmaceutical Association.
Williams, D.F. dan Schmitt, W.H. 2002. Kimia dan Teknologi Industri Kosmetika
dan Produk-produk Perawatan Diri. Terjemahan. FATETA, IPB, Bogor.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia.
Yuliani, F., Primasari, M., Rachmaniah, O., Rachimoellah, M. 2008. Pengaruh
Katalis Asam (H2SO4) dan Suhu Reaksi pada Reaksi Esterifikasi Minyak
31
Biji Karet (Hevea brasiliensis) menjadi Biodiesel. Jurnal Teknik Kimia 3(1)
: 171-177.
LAMPIRAN A
PERHITUNGAN
0,5 mol =
3 mol =
Volume methanol =
= 121,2121 ml
3. Jumlah H2SO4 yang digunakan sebagai katalis pada esterifikasi
Massa H2SO4 = 2% x berat minyak
= 2% x 412 gram
= 8,24 gram
Volume H2SO4 =
32
=
= 4,48 ml
B. Persiapan Proses Transesterifikasi
1. Berat minyak yang digunakan untuk transesterifikasi
Data :
Hasil esterifikasi = 406,5 gram
Mr minyak = 824 gram/mol
mol =
= 0,5 mol
2. Perhitungan volume methanol yang digunakan untuk transesterifikasi
Data :
Mol methanol = 3 mol
Mr methanol = 32 gram/mol
Massa jenis methanol = 0,792 gram/ml
3 mol =
Volume methanol =
= 121,2121 ml
3. Perhitungan KOH yang digunakan sebagai katalis pada
transesterifikasi
Massa H2SO4 = 1,5% x berat minyak
= 1,5% x 406,5 gram
= 6,0975 gram
C. Proses Standarisasi Larutan
Data :
N Asam Oksalat = 0,1 N
V KOH = 10 ml
33
V Asam Oksalat = 8 ml
V1 x N1 = V2 x N2
10 ml x 0,1 N = 8 ml x N KOH
N KOH = 0,08 N
D. Perhitungan Kadar ALB
1. Minyak Curah
Data :
Massa sampel = 3,35 gram
V KOH = 2,1 ml
Mr sampel = 824 gram/mol
N KOH = 0,08 N
Kadar ALB =
= 4,1323%
2. Minyak Hasil Esterifikasi
Data :
Massa sampel = 3,13 gram
V KOH = 0,9 ml
Mr sampel = 824 gram/mol
N KOH = 0,08 N
Kadar ALB =
= 1,8955%
3. Biodiesel yang diperoleh
Data :
Massa sampel = 3,17 gram
V KOH = 0,4 ml
34
Mr sampel = 890 gram/mol
N KOH = 0,08 N
Kadar ALB =
= 0,8984%
E. Perhitungan Konversi Reaksi berdasarkan ALB
Data :
ALB reaktan = 4,1323%
ALB produk = 0,8984%
Konversi ALB =
= 78, 2591%
F. Menghitung Rendemen Biodiesel
Data :
Berat biodiesel yang diperoleh = 236,8 gram
Berat awal bahan = 412 gram
Rendemen biodiesel =
= 57,4757%
G. Perhitungan Densitas biodiesel yang diperoleh
Data :
Massa piknometer = 24,28 gram
Volume piknometer = 25 ml
Produk + piknometer = 42,25 gram
ρ =
35
= 0,8388 gram/ml
H. Perhitungan Bilangan Asam biodiesel yang diperoleh
Data :
Massa sampel = 3,03 gram
N KOH = 0,08 N
Mr KOH = 56,11 gram/mol
V KOH = 0,5 ml
Bilangan Asam =
= 0,7407
I. Perhitungan Kadar Air biodiesel yang diperoleh
Data :
Massa sebelum di oven = 241,7 gram
Massa setelah di oven = 236,8 gram
Kadar Air =
= 2,03%
36
LAMPIRAN B
DOKUMENTASI
37
Gambar 1.6 Penimbangan KOH
Gambar 1.5 Minyak dicuci dengan
untuk katalis transesterifikasi
aquades yang telah dipanaskan
Gambar 1.7 Pemisahan minyak dan Gambar 1.8 Minyak dicuci dengan
gliserol hasil transesterifikasi aquades yang telah dipanaskan
38