Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMABAHASAN
Penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an tidak turun sekaligus, ayat-ayat al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22
tahun 2 bulan 22 hari. Para ulama membagi masa turunnya ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu
periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa
kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat
Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai seja peristiwa hijrah berlangsung
selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. Ilmu
Al-Qur'an yang membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa
ayat al-Qur'an diturunkan disebut Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya (suatu ayat).

Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam

Sumber hukum ajaran Islam ada tiga. Yakni; Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijtihad. Al-
Qur’an adalah firman Allah, dan hadist merupakan sabda Rasulullah Muhammad saw.
Sedangkan ijtihad didapatkan dari hasil pemikiran para ulama mujtahid (yang berijtihad),
dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
Isi Al-Quran meliputi segala hal, mulai soal keimanan atau akidah hingga fenomena
alam. Al-Quran mengajari manusia bersikap ilmiah atau berdasarkan ilmu (Q.S. 17:36),
mendorong manusia melakukan penelitian untuk menyibak tabir alam (Q.S. 10:101),
menaklukkan angkasa luar (Q.S. 55:33), mengabarkan prediksi ilmiah tentang rahim ibu
(Q.S. Az-Zumar:6), gaya berat atau gravitasi (Q.S. Ar-Rahman:7), pemuaian alam semesta
atau expanding universe (Q.S. Adz-Dzariyat:47, Al-Anbiya: 104, Yasin:38), tentang ruang
hampa di angkasa luar (Q.S. Al-An’am:125), tentang geologi, gerak rotasi, dan revolusi
planet bumi (Q.S. An-Naml:88) dan masih sangat banyak lagi.

1. Peranan dan Fungsi Al-Qur’an

Secara garis besar, fungsi atau peranan Al-Quran yang sangat penting untuk dipahami
seorang Muslim ada tiga. Yakni Al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat bagi Rasulullah
Muhammad saw (QS 17:88; QS 10:38), sebagai pedoman hidup bagi setiap Muslim (QS
4:105; QS 5:49-50; QS 45:20), serta sebagai korekter atau penyempurna terhadap kitab-kitab
yang pernah Allah Swt. turunkan sebelumnya (QS 5:48,15; QS 16:64), dan ini bernilai abadi
atau berlaku sepanjang zaman.
Subhi Sholih mengemukakan bahwa Al-Qur'an berarti bacaan. Ia merupakan kata
turunan dari kata qara'a dengan arti ism al-maf'ul, yaitu maqru' yang artinya dibaca.
Pengertian ini merujuk pada firman Allahk :
“Sesungguhnya atas tangguhan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuat
kamu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya, maka ikutilah bacaan
itu.” (QS al-Qiyamah: 17-18)
Selanjutnya kata al-Qur'an digunakan untuk menunjukkan kalam Allah yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad , adapun kalam Allah yang diwahyukan kepada para
Nabi selainnya, maka tidak dinamakan al-Qur'an.
Fath Ridwan menyebutkan ikhtilaf ulama' tentang penamaan al-Qur'an: Pertama, al-
Qur'an adalah nama khusus untuk wahyu Allahkyang diberikan kepada nabi
Muhammad n. Kedua, nama diambil dari kata qoro'in(petunjuk atau indikator) atau dari
kata al-qor'u (kumpulan). Ketiga, ulama' yang memberikan nam-nama lain bagi al-Qur'an,
seperti al-kitab, an- nur, ar- rohmah dll.
Adapun Abu Hasan al-Haroli dan Abd al-Ma'ali Syizalah masing-masing memberikan
nama bagi al-Quran sebanyak 90 dan 55 macam. Menurut Shubhi Sholih penamaan yang
begitu banyak akan menimbulkan pencampuradukan antara nama-nama dan sifat-sifat al-
Qur'an sehingga ia kurang setuju dengan hal itu.
Fungsi al-Qur'an sesungguhnya telah tersirat pada nama-nama tersebut, diantaranya:
A. al-Huda (petunjuk). Dalam fungsi ini ada tiga kategori, pertama, al-Qur'an sebagai
petunjuk manusia secara umum (al-Baqoroh:185). Kedua, al-Qur'an petunjuk bagi orang -
orang yang bertakwa (al-Baqoroh:2). Ketiga, petunjuk bagi orang-orang yang beriman
(Fushilat: 44 dan Yunus: 57).
b. al-Furqon (pembeda). Disebutkan dalam al-Qur'an bahwa ia adalah pembeda antara
yang hak dengan yang batil (QS. al-Baqoroh :185)
c. al-Syifa (obat). Al-Qur'an juga sebagai obat penyakit dalam dada/psikologis (QS.
Yunus:57)
d. al-Mauidzoh (nasihat). Al-Qurann juga sebagai nasihat bagi orang-orang yang
bertakwa (QS.Ali Imron: 138)
Demikian fungsi al-Quran yang diambil dari al-Quran itu sendiri, adapun fungsi al-
Quran yang diambil dari penghayatan seseorang, maka itu tergantung dengan kualitas
ketakwaan orang itu sendiri.
a. Al-Quran sebagai Mu’jizat

Dalam bahasa Arab, mukjizat berasal dari kata ‘ajz yang berarti lemah, kebalikan dari
qudrah (kuasa). Sedangkan i’jaz berarti membuktikan kelemahan. Mu’jiz adalah sesuatu yang
melemahkan atau membuat yang lain menjadi lemah, tidak berdaya. Setiap mukzijat biasanya
turun untuk memberikan tantangan bagi situasi zaman itu. Ketika pada zaman Nabi Musa
para tukang sihir sangat berkuasa dan mereka mencapai puncak kemampuannya dalam ilmu
sihir, Nabi Musa datang dengan membawa mukjizat yang mampu melumpuhkan tipu daya
para tukang sihir tersebut. Bukankah mukjizat berarti yang melumpuhkan atau yang membuat
lemah? Rasulullah saw. pun hadir pada suatu zaman ketika sastra Arab mencapai puncak
ketinggiannya. Beliau datang dengan Al-Quran yang memiliki gaya bahasa tingkat tinggi
yang mampu melumpuhkan seluruh penyair yang ada pada zaman itu.
Selain keindahan gaya bahasanya, ada petunjuk-petujuk sangat jelas lainnya yang
memperlihatkan bahwa Al-Quran datang dari Allah Swt. dengan segala kemukjizatannya.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan misalnya, dapat meyakinkan setiap
orang yang mau berpikir bahwa Al-Quran adalah firman-firman Allah Swt., tidak mungkin
ciptaan manusia apalagi ciptaan Nabi Muhammad saw. yang ummi (QS 7:158) yang hidup
pada awal abad keenam Masehi (571-632 M). Di antara ayat-ayat tersebut umpamanya: QS
39:6; QS 6:125; QS 23:12,13,14; QS 51:49; QS 41:11-41; QS 21:30-33; QS 51:7,49, dan
lain-lain.
Ada pula ayat-ayat yang berhubungan dengan sejarah seperti tentang kekuasaan di
Mesir, Negeri Saba’. Tsamud, ’Aad, Nabi Adam, Nabi Yusuf, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman,
Nabi Musa, dan sebagainya. Ayat-ayat ini dapat memberikan keyakinan kepada kita bahwa
Al-Quran adalah wahyu Allah bukan ciptaan manusia. Ayat-ayat yang berhubungan dengan
ramalan-ramalan khusus yang kemudian dibuktikan oleh sejarah seperti tentang bangsa
Romawi, berpecah-belahnya Kristen, dan lain-lain juga menjadi bukti lagi kepada kita bahwa
Al-Quran adalah wahyu dari Allah Swt. yang disampaikan melalui lisan utusan-Nya.
b. Al-Quran sebagai Pedoman Hidup

Sebagai pedoman hidup, Al-Qur’an banyak mengemukakan pokok-pokok serta


prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam hubungan antara manusia dengan Allah dan
mahluk lainnya. Di dalamnya terdapat peraturan-peraturan seperti: beribadah langsung
kepada Allah Swt, berkeluarga, bermasyarakat, berdagang, utang-piutang, kewarisan,
pendidikan dan pengajaran, pidana, dan aspek-aspek kehidupan lainnya yang oleh Allah
Swt. dijamin dapat berlaku dan dapat sesuai pada setiap tempat dan setiap waktu.
Setiap Muslim diperintahkan untuk melakukan seluruh tata nilai tersebut dalam
kehidupannya. Sikap memilih sebagian dan menolak sebagian tata nilai itu dipandang Al-
Quran sebagai bentuk pelanggaran dan dosa. Melaksanakannya dinilai ibadah,
memperjuangkannya dinilai sebagai perjuangan suci, mati karenanya dinilai sebagai mati
syahid, hijrah karena memperjuangkannya dinilai sebagai pengabdian yang tinggi, dan tidak
mau melaksanakannya dinilai sebagai zalim, fasiq, dan kafir.
c. Al-Quran sebagai Korektor

Sebagai korektor, Al-Quran banyak mengungkapkan persoalan-persoalan yang


dibahas oleh kitab-kitab suci sebelumnya, semacam Taurat dan Injil yang dinilai tidak lagi
sesuai dengan ajaran yang telah diturunkan oleh Allah Swt. Ketidaksesuaian tersebut
menyangkut sejarah orang-orang tertentu, hukum-hukum, prinsip-prinsip ketuhanan, dan
sebagainya.
Ada beberapa contoh koreksian yang diungkapkan oleh Al-Quran terhadap kitab-kitab
terdahulu tersebut, antara lain:
 Tentang ajaran Trinitas (QS 5:73)

 Tentang Nabi Isa (QS 3:49,59; QS 5:72,76)

 Tentang peristiwa penyaliban Nabi Isa (4:157-158)

 Tentang Nabi Luth (QS 29:28-30; QS 7:80-84) perhatikan (Genesis, 19:33-36)

 Tentang Nabi Harun (QS 20:90-94) perhatikan (Keluaran, 37:2-4)

 Tentang Nabi Sulaiman (QS 2:102; QS 27:15-44) perhatikan (Raja-Raja, 21:4-5) dan
sebagainya.

2. Pendekatan Memahami Al-Qur’an


Dalam upaya menggali dan memahami maksud dari ayat-ayat Al Qur’an, terdapat dua
term atau istilah, yakni Tafsir dan Takwil.
Imam al-Alusi berpendapat, bahwa menurutnya tafsir adalah pejelasan makna Al
Qur’an yang zahir (nyata), sedangkan takwil adalah penjelasan para ulama dari ayat yang
maknanya tersirat, serta rahasia-rahasia ketuhanan yang terkandung dalam ayat Al Qur’an.
Dapat juga dipahami bahwa Takwil mempunyai beberapa arti yang mendalam, yaitu berupa
pengertian-pengertian tersirat yang di istinbathkan (diproses) dari ayat-ayat Al Qur’an, yang
memerlukan perenungan dan pemikiran serta merupakan sarana membuka tabir. Apabila
mendapati ayat yang mempunyai kemungkinan beberapa pengertian, para mufassir
menentukan pengertian yang lebih kuat, lebih jelas dan gamblang. Namun hal tersebut
sifatnya tidak pasti, sebab kalau makna atau arti tersebut dipastikan berarti mufasir tersebut
telah menguasai Al Qur’an, sedangkan hal tesebut tidak dibenarkan sebagaimana dijelaskan
dalam Al Qur;an (Q.S Ali Imran : 7).
Secara garis besar istilah antara tafsir dengan takwil tidak terdapat perbedaan yang
mendasar, kedua-duannya mempunyai semangat untuk menggali, mengkaji dan memahami
maksud dari ayat-ayat Al Qur’an guna dijadikan sebagai pedoman dan rujukan umat Islam
tatkala mengalami berbagai macam persoalan dalam kehidupan di dunia.
Sebagai upaya untuk menjelaskan maksud dari ayat Al Qur’an, obyek yang dijadikan
kajian dalam menafsirkan Al Qur’an adalah kalam Allah, maka dalam konteks ini Ia tidak
perlu diragukan dan diperdebatkan kembali mengenai kemuliaannya. Kandungannya meliputi
aqidah-aqidah yang benar, hukum-huikum syara’ dan lain-lain. Tujuan akhirnya adalah dapat
diperolehnya tali yang amat kuat dan tidak akan putus serta akan memperoleh kebahagiaan
baik di dunia ataupun di akhirat. Dan oleh karenanya, ilmu tafsir merupakan pokok dari
segala ilmu agama, sebab ia diambil dari Al Qur’an, maka ia menjadi ilmu yang sangat
dibutuhkan oleh manusia.
Metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode menafisirkan Al Qur’an dan
pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran Al Qur’an, pembahasan yang
berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat Al Qur’an disebut Metodik,
sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni
penafsiran. Metode penafsiran Al Qur’an, secara garis besar dibagi dalam empat macam
metode, namun hal tersebut tergantung pada sudut pandang tertentu :
 Metode Penafsiran ditinjau dari sumber penafsirannya.

 Metode penafsiran ditinjau dari cara penjelasannya.

 Motede penafsiran ditinjau dari keleluasan penjelasan.

 Metode penafsiran ditinjau dari aspek sasaran dan sistematika ayat-ayat yang ditafsirkan.

Ayat-ayat Al Qur’an yang sangat banyak ini sejatinya dapat menjawab semua
persoalan yang terjadi pada masyarakat. Namun kesan yang ada pada saat ini seakan-akan
ayat Al Qur’an masih mengandung misteri, sehingga belum mampu menjawab semua
persoalan yang ada. Kesan dan pemahaman yang keliru ini adalah akibat dari ”miskin”nya
cara, metode dan pendekatan dalam memahami dan menafsirkan ayat Al Qur’an. Metodologi
tafsir Al Qur’an adalah salah satu cara untuk mengkaji, memahami dan menguak lebih jauh
maksud dan kandungan dari ayat-ayat Al Qur’an. Metode tafsir yang adapun sangat beragam
model, bentuk dan pendekatannya.
Adalah suatu hal yang sangat penting bagi kita untuk mengetahui dan memahami
macam-macam metode tafsir ayat Al Qur’an yang ada dengan berbagai macam
pendekatannya, jika hal ini telah kita ketahui, maka ayat-ayat Al Qur’an semakin hidup dan
mampu untuk menjawab segala persoalan masyarakat yang berkembang begitu cepat. Hal ini
semakin mempertegas bahwa Al Qur’an adalah wahyu Allah yang menjadi rujukan dan
sumber utama semua umat Islam.
Metode dan pendekatan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan satu sama
lainnya dalam melakukan kajian atau penelitian. Kedua-duanya saling melengkapi.
Pendekatan adalah upaya untuk menafsirkan, memahami dan menjelaskan sebuah
ayat atau obyek tertentu sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh seseorang.

Metode Penafsiran Al Qur’an


Terdapat dua bentuk penafsiran yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dengan
empat metode, yaitu;
1. Metode Ijmali (Global)
Ijmali secara etimologi berarti global, sehingga dapat diartikan tafsir al-ijmali adalah
tafsir ayat al Qur’an yang menjelaskannya masih bersifat global. Secara termiologis, menurut
Al Farmawi adalah penafsiran Al-Qur’an berdasarkan urut-urutan ayat dengan suatu urutan
yang ringkas dan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dikonsumsi oleh semua
kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang intelek.
2. Metode Tahlili
Tahlili adalah akar kata dari hala, huruf ini terdiri dari huruf ha dan lam, yang berarti
membuka sesuatu. Secara terminologi, metode Tahlily adalah menafsirkan ayat-ayat Al
Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan dengan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan
keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat terebut; ia menjelaskan
dengan pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surat-
suratnya, asbabun nuzulnya hadis-hadis yang berhubungan dan pendapat para mufasir
terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.
3. Metode Maqarin (Komparatif atau Perbandingan)
Secara etimologis kata maqarin adalah merupakan bentuk isim al-fa’il dari kata
qarana, maknannya adalah membandingkan antara dua hal. Jadi dapa dikatakan tafsir
maqarin adalah tafsir perbandingan. Secara terminologis adalah menafsirkan sekelompok
ayat Al Qur’an atau suatu surat tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan
ayat, atau antara ayat dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan
aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.
4. Metode Maudhu’i (Tematik)
Kata maudhu’iy ini dinisbahkan kepada kata al-mawdhu’i, artinya adalah topik atau
materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara semantik. Jadi tafsir mawdhu’i adalah
tafsir ayat Al Qur’an berdasarkan tema atau topik tertentu. Jadi para mufasir mencari tema-
tema atau topik-topik yang berada di tengah-tengah masyarakat atau berasal dari Al Qur’an
itu sendiri atau dari yang lain-lain.

Sumber Utama Rujukan Tafsir Al-Qur’an

Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam
menafsirkan Al-Qur'an :
1) Al-Qur'an itu sendiri karena kadang-kadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu
tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.

2) Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau
SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham
tentangnya.

3) Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri, karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang
sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang
berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama, karena
disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah asbabun nuzul. Sedangkan pada
hal yang dapat dimasuki ra’yi maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak
disandarkan pada Rasulullah SAW.

Macam Tafsir Al-Qur'an

Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar
belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari
mufassir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak.
Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut:
“Ayat-ayat Al-Qur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda
dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita
mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa
yang kita lihat.”
Di antara berbagai corak itu antara lain adalah :
Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang
memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga
dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti
kandungan Al-Qur'an di bidang ini.

Corak Filsafat dan

Corak Penafsiran Ilmiah

Corak Fikih

Corak Tasawuf

Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan

Perkembangan ilmu Tafsir


Ilmu tafsir Al Qur'an terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman.
Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur'an dapat bermakna bagi umat
Islam. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi
tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan
untuk membaca teks Al-Qur'an maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-
Qur'an. Di antara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode
Tafsir Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika.
Ilmu yang terkait dengan Ilmu Tafsir

1. Lughat (fitologi), yaitu ilmu untuk mengetahui setiap arti kata Al-Qur'an. Mujahid
rah.a., berkata, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia tidak layak
berkomentar tentang ayat-ayat Al-Qur'an tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit
pengetahuan tentang ilmu lughat tidak cukup karena kadangkala satu kata
mengandung berbagai arti. Jadi hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup.
Dapat terjadi, yang dimaksud kata tersebut adalah arti yang berbeda.
2. Nahwu (tata bahasa). Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja
i'rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan
pengetahuan tentang i'rab hanya di dapat dalam ilmu nahwu.
3. Sharaf (perubahan bentuk kata)
4. Isytiqaq (akar kata)
5. Ma'ani (susunan kata)
6. Bayaan
7. Badi'
8. Qira'at
9. Aqa'id
10. Ushul Fiqih
11. Asbabun Nuzul adalah sebuah ilmu yang menerangkan tentang latar belakang
turunnya suatu ayat. Atau bisa juga keterangan yang menjelaskan tentang keadaan
atau kejadian pada saat suatu ayat diturunkan, meski tidak ada kaitan langsung dengan
turunnya ayat. Tetapi ada konsideran dan benang merah antara keduanya. Seringkali
peristiwa yang terkait dengan turunnya suatu ayat bukan hanya satu, bisa saja ada
beberapa peristiwa sekaligus yang menyertai turunnya suatu ayat. Atau bisa juga ada
ayat-ayat tertentu yang turun beberapa kali, dengan motivasi kejadian yang berbeda.
12. Nasikh Mansukh
13. 'Fiqih
14. Hadits
15. Wahbi

Pembuktian Al-Qur’an sebagai Wahyu dalam Persepketif Sains :

Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur;an yang berisi informasi tentang alam semesta
yang dapat dijadikan bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bukan karya
manusia, beberapa di antaranya adalah :
• Tentang awal kejadian langit dan bumi. Di dalam QS. 21 : 30 Allah menegaskan
: “Apakah orang-orang lafir tidak mengetahui, sesungguhnya langit dan bumi
dahulunya adalah satu yang padu, maka kemudian kami lontarkan. Dan Kami
jadikan semua makhluk hidup dari air, apakah mereka tidak mau beriman”.
• Tentang pergerakan gunung dam lempengan bumi. QS :”Dan kamu melihat
gunung, kamu menyangka gunung itu diam. Tidak gunung itu bergerak
sebagaimana geraknya awan”.
• “Nabi Yusuf berkata : Ya ayahku ada sebelas planet yang bersujud kepadaku”.
Allah sebagai pencipta alam ini menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa planet itu
ada sebelas. Padahal para ahli astronomi berpendapat hanya ada sembilan planet.
Siapa yang benar ? Allah sebagai penciptanya atau manusia yang hanya mencari
dan menemukannya. Pasti Allah yang benar. Baru pada tahun-tahun terakhir ini
para ahli astronomi menemukan bahwa planet itu ada sebelas.
Mana mungkin Al-qur’an mampu memberi informasi tentang alam yang menjadi
ilmu pengetahuan modern, seandainya Al-Qur’an bukan karya Allah. Ayat-ayat di
atas membuktikan bahwa dilihat dari perspektif sains, Al-Qur’an pasti karya Allah,
firman Tuhan bukan karya nba Muhammad SAW.

Bahasa Al-Qur’an:
Allah menegaskan “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab”. Ini
penegasan dari Allah SWT, bahwa Al-Qur’an adalah bahasa Arab, bahasa yang dipakai oleh
nabi Muhammad dan oleh masyarakat Arab. Tujuannya sudah pasti agar Al-Qur’an mudah
difahami.
Akan tetapi, menurut Isa Bugis, Al-Qur’an bukan bahasa Arab tetapi bahasa wahyu.
Alasannya adalah karena Muhammad adalah keturunan nabi Ismail dari isteri kedua,
sehingga Muhammad berdarah Babylon, bukan berdarah Arab asli dengan demikian maka
bahasa nabi Muhammad adalah bukan bahasa Arab tetapi serumpun dengan bahasa Arab,
itulah yang disebut "bilisáni qaumih" (berbicara dengan bahasa kaumnya).
Menurut penulis, pendapat di atas tidak tepat. Alasan pertama, sebagaimana dijelaskan oleh
Ismail al-Faruqi adalah bahwa, suku Arab asli (al-‘Aribah) ialah suku Qanaan, Ya‘rub,
Yasyjub dan Saba'. Kemudian datanglah suku Arab Musta‘ribah I (Pendatang I), yakni suku
‘Adnan, Ma’ad dan Nizar. Lantas datang pula suku Arab Musta‘ribah II (Pendatang II) yakni
suku Fihr atau Quresy. Jadi suku Quresy adalah bagian dari Suku Arab, bukan suku
lain. Suku-suku pendatang lantas berbaur dan mempelajari bahasa yang ada yakni bahasa
Arab, bukan mempelajari bahasa Babylon.
Alasan kedua, Bangsa Arab termasuk bangsa Semit. Dewasa ini yang disebut dikatagorikan
bahasa Semit adalah setengah kawasan bagian Utara, bagian Timurnya berbahasa Akkad atau
Babylon dan Assyiria, sedangkan bagian Utara adalah bahasa Aram, Mandaera, Nabatea,
Aram Yahudi dan Palmyra. Kemudian di bagian Baratnya adalah Foenisia, Ibrani Injil. Di
belahan Selatan, yakni di bagian utaranya berbahasa Arab sedangkan sebelah selatan
berbahasa Sabe atau Hymyari, dan Geez atau Etiopik. Hampir semua bahasa di atas telah
punah , hanya bahasa Arab yang masih hidup".
Apakah ada bahasa selain Arab yang serumpun dengan bahasa arab dapat dilihat antara lain
dari bentuk hurufnya. Huruf Arab ternyata berbeda sekali dengan dengan huruf bahasa
Foenesia, Aramaea, Ibrani, Syiria Kuno, Syiria Umum, Kaldea dan Arab. Para pembaca bisa
melihat perbedaan huruf-huruf tersebut pada buku "Atlas Budaya" karya Ismail Al-Faruqi
bersama isterinya.
Al-Qur'an menggunakan huruf Arab bukan huruf lainnya, dengan demikian maka bahasa dan
tulisan Al-Qur'an memang mutlak bahasa Arab bukan bahasa yang serumpun bahasa Arab.
Kalau mau dikatakan serumpun maka harus dikatakan serumpun dengan bahasa Semit bukan
serumpun bahasa Arab. Sebagai tambahan penjelasan, menurut Ismail Al-Faruqi, bahasa
Semit yang masih hidup sampai saat ini adalah bahasa Arab. Dengan demikian maka bahasa
Al-Qur'an adalah bahasa Arab, bahasanya orang Arab bukan serumpun dengan bahasa Arab.
Hujjah lain dari kelompok Isa Bugis adalah bahwa jika Al-Qur’an berbahasa Arab maka
semua orang Arab pasti mengerti Al-Qur’an, tetapi pada kenyataannya tidak semua orang
Arab mengerti Al-Qur’an, kalau begitu Al-Qur’an bukanlah bahasa Arab.
Hujjah inipun lemah. Mengapa demikian? Keadaan ini sama saja dengan orang Indonesia.
Tidak semua orang Indonesia mampu memahami karya sastera berbahasa Indonesia, ini
karena buku-buku sastera itu menggunakan bahasa Indonesia kelas tinggi.
Pada umumnya orang-orang Arab dalam percakapan mereka sehari-hari menggu-nakan
bahasa Arab Yaumiyah sedangkan Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab Fushá. Di samping
itu untuk dapat memahami suatu teks tidak cukup dengan mengetahui kosa kata (mufradat)
tetapi harus berbekal ilmu pengetahuan tentang isi teks. Sarjana sastera Indonesia misalnya,
tidak otomatis dapat memahami teks buku-buku Ilmu Kimia. Begitu pun sarjana Kimia tidak
otomatis memahami teks tentang filsafat. Untuk mampu memahami teks ilmu pengetahuan,
harus memiliki syarat-syarat, antara lain memahami substansi materi, memiliki frame of
reference yang teratur, serta memiliki paradigma berfikir yang menunjang.
Ketidakmengertian sebahagian orang Arab terhadap teks-teks Al-Qur’an tidak menunjukkan
bukti bahwa Al-Qur’an bukan bahasa Arab.
Hujjah ketiga Isa Bugis adalah bahwa kata ‘Arabiyyan dengan doble ya merupakan ya nisbat
yang menunjukkan serumpun dengan bahasa Arab tetapi bukan bahasa Arab. Sepengetahuan
penulis, kata ‘arabiyyan berarti bahasa yang dinisbahkan kepada orang Arab, atau bahasanya
orang Arab, yakni bahasa Arab.
Wahbah Zuhayly, ketika menafsirkan ayat tersebut menyataklan bahwa kata ‘arabiyyan
bermakna “nuzila bilisánin ‘arabiyyin mubân, yaqra-u bi lugah al-‘arabi”, yang artinya al-
Qur’an diturunkan dengan lisan orang Arab, di baca dengan bahasa Arab. Senada dengan itu,
Muhammad Ibn Muhammad Abu Syahbah dalam bukunya: ”Al-Madkhal li Dirásah Al-
Qur’án al-Karâm” menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab ‘arabiyyah al-akbar atau
kitab berbahasa Arab yang maha besar.
Kelompok Isa Bugis pun lantas beralih dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an bahasa Quresy
bukan bahasa Arab. Pendapat demikian ditentang oleh Ahmad Satori sebagai doktor dalam
sastra Arab. Ia menegaskan bahwa bahasa orang Arab adalah bahasa Arab. Perbedaan bahasa
Quresy dengan bahasa suku Tamim dan lain-lainnya hanyalah dalam dialek bukan dalam
makna.
Dengan demikian hujjah Isa Bugis yang menyatakan al-Qur'an bukan bahasa Arab,
seluruhnya tertolak.

3. Al-Qur’an sebagai Kalamullah


Kalam (perkataan) Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui Malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur’an sebagai kitab Allah
menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam dan berfungsi
sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat.
Al-Qur’an menurut bahasa berarti “Bacaan”. Di dalam al-Qur’an sendiri ada
pemakaian kata “quran” dalam arti demikian sebagai tersebut dalam ayat 17-18 surat 75 Al-
Qiyamah:

Artinya: (17) “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. (18) Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka
ikutilah bacaannya itu.”

Iman Jalaludin As-Sayuthy, di dalam bukurrya yang bernama “Itmam al-Dirayah”,


menyebutkan definisi Al-Qur’an:
Artinya: “AI-Qur’an ialah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW untuk melemahkan pihak-pihak yang menentangnya, walaupun hanya dengan satu
surat saja dari padanya.
Unsur-unsur penting yang disebutkannya dalam definisi sifat Al-Qur’an itu sebagai:
a. Firman Allah
b. Diturunkan kepada Nabi Muhammad
c. Berfungsi sebagaai mukjizat

Wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya adalah suatu ilnu yang
dikhususkan untuk mereka dengan tidak dipelajari. Kumpulan wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW disebut al-Qur’an, yang merupakan pembawa rahmat bagi
alam semesta dan petunjuk bagi manusia dalam hidup dan kehidupannya.
Wahyu turun dalam berbagai cara seperti ; Malaikat Jibril langsung atau menyerupai
manusia, berupa suara atau gemuruh, atau lonceng.’

4. Sumbangan Al-Qur’an untuk Memahami Kitab Suci Lain


Secara garis besar islam memang dapat memahami kitab suci lain, walaupun
kebanyakan orang pada umumnya tidak menyukai agama lain, misalnya: Kristen, budha,
hindu, dan sebagainya. Akan tetapi manusia itu cuman salah arah dan kita sebagai umat islam
wajib memberitahukan mana yang benar dan mana yang salah, karena islam selalu
mendepankan kejujuran, kebaikan, dan sebagainya.
Memang seharusnya tidak perlu mengherankan, bahwa islam selaku agama besar
terakhir, mengklaim sebagai agama yang memuncaki proses pertumbuhan dan perkembangan
agama-agama dalam garis kontinuitas tersebut. Karena itu agama tidak boleh di paksakan
(QS Al-Baqarah, 2:256). Bahkan Al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa para penganut
berbagai agama, asalkan percaya kepada tuhan dan hari kemudian serta berbuat baik
semuanya akan selamat. (QS Al-Baqarah, 2:62; Al-Maidah, 5:26).

5. Ulumul Qur’an
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua
kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang
berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan
pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan
Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman
terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya.
Ulumul Qur’an menurut Assuyuthi dalam kitab itmamu al-Dirayah :
“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya
makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan
dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan
yang luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik
berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab. Disamping itu,
masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya.
Secara garis besar Ilmu alQur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas
tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan
sebab-sebabnya.
2. Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan
penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui
makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Pertumbuhan dan perkembangan Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu
melalui proses secara bertahap dan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk
membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya.

Anda mungkin juga menyukai