Anda di halaman 1dari 14

PEMBAHASAN

A. TAX PLANNING PENGELOMPOKKAN JENIS PENGHASILAN UNTUK


MENGHITUNG ANGSURAN MASA PPH PASAL 25

Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak atas penghasilan yang diterima/diperoleh


Wajib Pajak (WP) dalam satu tahun pajak. Berdasarkan sifat self assessment system yang
dianut oleh sistem Pajak Penghasilan yang diterapkan di Indonesia, membuat beban
perhitungan dan pembuktian kebenaran pajak terutang menurut SPT berada pada WP sebagai
pihak yang paling mengetahui atas kebenaran jumlah Penghasilan Kena Pajak dan
kelengkapan berkas data serta informasi perpajakannya.
Pasal 1 UU Nomor 10 Tahun 1994 menjelaskan bahwa WP dikenakan pajak atas
penghasilan yang diterima/diperoleh selama satu tahun pajak, sehingga jumlah penghasilan
dan PPh terutang sebenarnya baru diketahui setelah tahun pajak berakhir. Perhitungan
besarnya penghasilan dan besarnya PPh yang terhutang tersebut baru dapat diketahui pada
saat WP membuat SPT Tahunan PPh. WP diwajibkan untuk mengangsur atau mencicil
pembayaran PPh selama tahun pajak berjalan, sebelum membuat dan melaporkan SPT
Tahunan PPh. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.
Peraturan perundang-undangan terkait dengan PPh Pasal 25 antara lain sebagai
berikut:

1. KEP-537/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran


Pajak dalam Tahun Pajak Berjalan dalam Hal-hal Tertentu.
2. PMK-255/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 tentang Penghitungan Besarnya
Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri
oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak Lainnya
yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
3. PMK-208/PMK.03/2009 tanggal 10 Desember 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran
Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib
Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak Lainnya yang

1
Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
4. PER-22/PJ/2008 tanggal 21 Mei 2008 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 25.

Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan
tahun sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan
penghasilan tahun sebelumnya, sehingga nantinya akan ada perbedaan dengan kondisi
sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih kekurangan bayar akhir tahun
ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi
ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah
dilakukan.
Menurut Pasal 25 UU Nomor 36 Tahun 2008 Ayat 1, disebutkan bahwa besarnya
angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk setiap
bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal
23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan
dalam bagian tahun pajak.

Contoh:

Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak


Penghasilan tahun 2009 sebesar Rp 50.000.000,00. Data kredit pajak tahun 2009 adalah:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi kerja (PPh Pasal 21) Rp 15.000.000,00
b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (PPh Pasal 22) Rp 10.000.000,00
c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (PPh Pasal 23) Rp 2.500.000,00

d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri (PPh Pasal 24) Rp 7.500.000,00


Penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2010 adalah:

2
Jawab:

Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat


Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2009 Rp 50.000.000,00
Dikurangi:
PPh Pasal 21 Rp 15.000.000,00
PPh Pasal 22 Rp 10.000.000,00
PPh Pasal 23 Rp 2.500.000,00
PPh Pasal 24 Rp 7.500.000,00 (+)
Jumlah Kredit Pajak Rp 35.000.000,00 (-)
Pajak Penghasilan yang harus dibayar Rp 15.000.000,00
Maka, besarnya angsuran PPh 25 yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010
adalah: Rp. 15.000.000,00 / 12 = Rp. 1.250.000,00.

Pengelompokan jenis penghasilan yang berkaitan dengan PPh Pasal 25, antara lain
sebagai berikut.

Berdasarkan dari tambahan kemampuan ekonomis (sumbernya) yang bersifat


teratur/tidak teratur:
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan
sebagainya;
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga,
dividen, royalty, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan
untuk usaha; dan
4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Berdasarkan objek pajak dan non objek:


1. Penghasilan Objek Pajak (Pasal 4 Ayat 1)
a. Bersifat Tidak Final: Pembayaran dimuka atau dapat dikreditkan
b. Bersifat Final (Pasal 4 Ayat 2): Pelunasan Pajak atau tidak dapat dikreditkan
Objek pajak dari PPh Pasal 4 Ayat 2 tersebut meliputi:
1) Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi;
2) Penghasilan berupa hadiah undian;

3
3) Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura;
4) Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan;
dan;
5) Penghasilan tertentu lainnya.
2. Penghasilan Non Objek (Pasal 4 Ayat 3)
a. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah; dan
Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
b. Warisan;
c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat 1 huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
modal;
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak
secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus
(deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi
beasiswa;
f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
daerah dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat:

4
(1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
(2) Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang
disetor;
g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan;
i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. Dihapus
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
(1) Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan; dan
(2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

l. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut; yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan; dan
n. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Contoh:

5
Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang dalam tahun 2013 adalah Rp.
48.000.000,- dan penghasilan tidak teratur dari mengontrakkan rumah selama 3 tahun yang
dibayar secara sekaligus di tahun 2013 adalah Rp 72.000.000. Mengingat penghasilan yang
tidak teratur sekaligus diterima di tahun 2013, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar
penghitungan angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun 2014 adalah hanya berdasarkan
penghasilan teratur tersebut.
Perencanaan pajak dalam hal perhitungan angsuran masa PPh Pasal 25 terkait juga
dengan pemisahan antara Penghasilan Teratur dan Penghasilan Tidak Teratur. Perhitungan
angsurannya sedikit berbeda terkait dengan kondisi adanya Penghasilan Tidak Teratur, karena
atas penghasilan tidak teratur tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu dari perhitungan
angsuran PPh Pasal 25. Terkait dengan penghasilan teratur dan tidak teratur, maka
perhitungan angsuran pajak dalam tahun, maka perhitungan PPh Pasal 25 bagi WP yang
memperoleh penghasilan tidak teratur adalah sebagai berikut:

((Penghasilan Netto menurut SPT Tahun PPh Tahun Pajak yang Lalu – Penghasilan Tidak
Teratur) x Tarif Pasal 17) – PPh 22, 23, dan 24

12

B. FOREIGN EXCHANGE REVENUE

Perlakuan perpajakan atas selisih kurs harus sesuai dengan Undang-Undang No 36


Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1) huruf l dan pasal 6 ayat (1) huruf e.
Pada Pasal 4 ayat (1) huruf l dijelaskan bahwa keuntungan karena selisih kurs mata uang
asing merupakan penghasilan yang menjadi obyek pajak penghasilan dan Pasal 6 ayat (1)
huruf e menjelaskan kerugian dari selisih kurs mata uang asing merupakan unsur pengurang
penghasilan bruto.

Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf 1 Undang-Undang PPh, keuntungan karena selisih kurs
mata uang asing termasuk penghasilan yang menjadi Objek Pajak Penghasilan. Pengenaan
pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak dengan syarat
dilakukan secara taat asas, Oleh karena itu, keuntungan selisih kurs yang diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi maupun badan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
Pasal 6 ayat (1) huruf e, kerugian karena selisih kurs mata uang asing merupakan
unsur pengurang penghasilan bruto. Kerugian selisih kurs mata uang asing akibat fluktuasi
kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak dan

6
dilakukan secara taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan
berdasarkan:

1. Kurs tetap, pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi perkiraan
mata uang asing tersebut.
2. Kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun,
pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank
Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun (per tanggal neraca)
dan saat realisasi.

Berdasarkan UU PPh, keuntungan dan kerugian yang diperoleh karena fluktuasi kurs
mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat
asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia, saat ini mengacu
pada PSAK 10 tentang Transaksi dalam Mata Uang Asing.

Terdapat berbagai jenis kurs valuta asing yang sering digunakan. Kurs-kurs valuta
asing tersebut adalah:

1. Kurs Menteri Keuangan (Kurs Pajak)


Kurs Menteri Keuangan adalah kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.Mulai 1
Oktober 1997 dimana kurs Menteri Keuangan ditetapkan setiap minggu. Pajak-pajak yang
terutang dalam valuta asing harus terlebih dahulu dinilai ke dalam mata uang rupiah. Untuk
kepentingan tersebut, perlu ditetapkan keputusan tentang nilai kurs sebagai dasar pelunasan.
Oleh karena itu, Kurs Menteri Keuangan digunakan untuk:
a. Perhitungan pelunasan Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPN-Impor, PPh Pasal 22
sesuai dengan tanggal Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai (PIUD);
b. Perhitungan PPN dan PPnBM sesuai tanggal Faktur Pajak, apabila pembayaran, Harga
Jual, atau Nilai Penggantian dilakukan dengan mata uang asing.
c. Perhitungan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 apabila penghasilan diterima dalam mata
uang asing;
d. Perhitungan Pajak Ekspor;
e. Perhitungan Pajak-Pajak Final yang dibayarkan dalam valuta asing.

Contoh:
Pada tanggal 4 Mei 2010, PT ABC menjual BKP seharga USD 1.000. Diketahui, kurs
tengah BI = 9.200, kurs pajak = 9.150. Faktur pajak diterbitkan pada tanggal 4 Mei 2010.

7
Pelunasan dilakukan pada tanggal 18 Juni 2010 dan diketahui kurs tengah BI = 9.000, maka
jurnal yang dibuat adalah:

Piutang diperoleh dengan cara:

DPP = USD 1.000 x 9.150

= Rp 9.150.000

Rp. 9.150.000 x 10% (Tarif PPN) = Rp. 915.000

Jurnal penjualan BKP secara kredit dengan valuta asing:

4/5/2010 Piutang Usaha Rp. 10.115.000

PPN Keluaran Rp 915.000

Penjualan Rp 9.200.000

Jurnal pelunasan piutang:

18/6/2010 Kas/Bank Rp. 9.915.000

Rugi Selisih Kurs Rp. 200.000

Piutang Usaha Rp.10.115.000

2. Kurs Realisasi
Kurs realisasi yaitu kurs yang sebenarnya terjadi pada waktu perusahaan merupiahkan
valas atau pada waktu perusahaan membeli valas.

3. Kurs Bank Indonesia (kurs BI)


Kurs BI digunakan untuk mencatat hutang piutang serta transaksi dalam valuta asing.
Kurs BI terdiri dari kurs beli Bank dan kurs jual Bank. Kurs BI yang digunakan sebagai dasar
pembukuan yaitu kurs tengahnya yang merupakan rata-rata antara kurs jual dan kurs beli BI.
Kurs Tengah BI digunakan oleh perusahaan yang pembukuannya dengan rupiah untuk
membukukan transaksi-transaksi yang nilainya dalam valuta asing. Perbedaan selisih kurs BI

8
yang terjadi pada saat membukukan hutang piutang valas dengan kurs BI pada saat realisasi
menimbulkan laba atau rugi selisih kurs.

C. REKONSILIASI PEREDARAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA


DENGAN DPP PPN KELUARAN DAN DPP PPH YANG
DIPOTONG/DIPUNGUT

Dalam melakukan perencanaan pajak, Wajib Pajak perlu melakukan rekonsiliasi


peredaran usaha dan penghasilan lainnya dengan omzet PPN. Ini merupakan salah satu cara
untuk mendeteksi adakah PPN yang kurang setor atau PPh yang justru kurang bayar. Pada
pemeriksaan pajak, rekonsiliasi antara penghasilan yang dilaporkan pada SPT Badan dan
Dasar Pengenaan Pajak untuk Pajak Keluaran pada SPM PPN adalah suatu hal yang lazim.
Oleh karena itu, Wajib Pajak sebaiknya melakukan rekonsiliasi peredaran usaha secara rutin.
Selain itu, rekonsiliasi ini juga berguna untuk mengurangi besarnya pinalti jika terdapat
kesalahan.
Frekuensi melakukan rekonsiliasi ini sangat bergantung kepada kondisi dan
kebutuhan Wajib Pajak. Wajib Pajak yang rutin mengalami lebih bayar (misalnya Wajib Pajak
yang rutin melakukan ekspor atau melakukan transaksi terhadap pemungut PPN) akan lebih
rutin melakukan rekonsiliasi dibandingkan Wajib Pajak yang lebih banyak melakukan
transaksi di dalam negeri dan bukan kepada pemungut PPN. Penyusunan rekonsiliasi secara
rutin akan memudahkan Wajib Pajak menemukan akar permasalahan dari rekonsiliasi dan
solusi untuk menuntaskan permasalahan tersebut.

Rekonsiliasi Penghasilan secara konsep dapat dijelaskan sebagai berikut:


Peredaran Usaha sebagaimana tercantum pada SPT Badan = xxx
Peredaran Usaha sebagaimana tercantum pada SPM PPN = xxx
Selisih xxx

1) Peredaran Usaha pada SPT Badan Lebih Besar Dibandingkan Peredaran Usaha
pada SPM PPN
Dalam hal peredaran usaha sebagaimana tercantum pada PPh Badan lebih besar
dibandingkan peredaran usaha sebagaimana tercantum pada SPM PPN, maka terdapat
kemungkinan bahwa terdapat penyerahan BKP dan JKP yang belum dipungut PPNnya.
Atas kekurangan pungut PPN ini adalah merupakan objek PPN kurang bayar 2% per

9
bulan, maksimal 24 bulan. Selain atas penalty bunga 2%, atas penyerahan yang kurang
pungut tersebut juga terutang penalti 200% dari DPP penyerahan yang belum dipungut
PPN karena Wajib Pajak belum menerbitkan Faktur Pajak.

2) Peredaran Usaha pada SPT Badan Lebih Kecil Dibandingkan Peredaran Usaha
pada SPM PPN
Dalam hal peredaran usaha sebagaimana tercantum pada PPh Badan lebih kecil
dari penyerahan BKP dan/atau JKP sebagaimana tercantum pada SPM PPN, maka
terdapat kemungkinan bahwa terdapat penghasilan yang belum dilaporkan di PPN. Atas
kekurangan lapor penghasilan ini adalah merupakan objek PPh Badan dengan tarif pasal
17 (untuk penghasilan yang melebihi 50 milyar per tahunnya) atau pasal 31 E (untuk
penghasilan yang melebihi 4,8 milyar namun kurang dari 50 milyar per tahunnya) dan
penalti 2% per bulan, maksimal 24 bulan.
Hal-hal yang menyebabkan perbedaan pencatatan peredaran usaha pada SPT
badan dan penyerahan BKP dan JKP SPM adalah sebagai berikut:
a. Terdapat penghasilan yang diakui pada PPh Badan namun bukan objek PPN. Contoh:
bunga, dividen, pendapatan selisih kurs.
b. Terdapat nota retur pajak keluaran yang beda waktu.
c. Selisih kurs atas penggunaan mata uang asing, dimana biasanya penjualan yang
dicatat pada buku besar menggunakan kurs yang ditetapkan perusahaan, dan nilai
penyerahan BKP dan JKP pada SPM PPN menggunakan Keputusan Menteri
Keuangan.
d. Terdapat penghasilan yang diakui sebagai penyerahan BKP dan/atau JKP namun
bukan objek PPh melainkan merupakan biaya. Contoh: pemakaian sendiri,
penyerahan antar cabang, pemberian cuma-cuma.
e. Terdapat penjualan aset yang dikenakan PPN (PPN Pasal 16 D), namun dicatat
laba/rugi atas penjualan aset pada Laporan Keuangan Laba Rugi Wajib Pajak.
f. Uang muka penjualan yang telah diakui sebagai objek PPN namun masih dilaporkan
di neraca pada SPT PPh Badan.
g. Terdapat penyerahan BKP dan JKP yang dicatat pada penghasilan lain-lain pada SPT
Badan.

D. BERBAGAI PENGUJIAN UNTUK MENGUJI KEBENARAN


PERHITUNGAN PEREDARAN USAHA

10
Dalam pemeriksaan pajak, terdapat beberapa cara untuk menguji kebenaran
perhitungan peredaran usaha selain rekonsiliasi peredaran usaha yang dilaporkan pada SPM
PPN dan pada SPT Badan. Dalam hal Wajib Pajak akan diperiksa, ada baiknya Wajib Pajak
mempersiapkan pengujian standar, kertas kerja terkait dan dokumen tambahan sehingga dapat
mengetahui terlebih dahulu jika terdapat kesalahan yang dapat dikoreksi dan mengkoreksinya
sebelum pemeriksaan pajak berlangsung. Tujuan akhirnya adalah untuk meminimalisir
penalti jika memang terdapat kesalahan Wajib Pajak yang mengakibatkan terdapat pajak
kurang bayar.

1. Pengujian dokumen
Dalam hal ini, Pemeriksa melakukan pengecekan dokumen secara sampling untuk
mengetahui dan mengecek kebenaran nilai uang dan barang.

2. Uji Arus Uang


Uji arus uang dilakukan dengan melakukan rekonsiliasi antara penerimaan pada bank
atau kas dengan penjualan atau peredaran usaha Wajib Pajak. Namun perlu diingat bahwa
nilai penerimaan mungkin tidak akan sama dengan nilai peredaran usaha karena nilai
penerimaan telah dikurangi atau ditambahkan dengan biaya administrasi bank atau nilai pajak
terutang/dipungut. Perbedaan juga dapat terjadi jika penjualan Wajib Pajak tidak murni
berbasis cash basis. Selain melakukan rekonsiliasi, Wajib Pajak juga perlu melampirkan
dokumen terkait seperti bank voucher, rekening koran dan lain-lain.

Pengeluaran kas/bank : xxx


Saldo akhir kas/bank : xxx (+)
Total : xxx
Saldo awal/kas : xxx (-)
Penerimaan kas/bank : xxx
Peredaran Usaha Menurut SPT Badan : xxx

Selisih : xxx

3. Uji Arus Piutang


Pengujian arus piutang dilakukan utnuk mendapatkan jumlah pelunasan piutang usaha
dalam suatu kurun waktu dalam rangka mendukung pengujian kebenaran penghasilan bruto
yang dilaporkan Wajib Pajak secara akrual (accrual basis). Pengujian arus piutang dapat
dilakukan dengan 2 (dua) cara:

11
a. Hanya menggunakan mutasi kredit akun piutang usaha untuk mendapatkan penjualan
secara akrual (non tunai). Jika ingin mendapatkan penjualan secara total tunai dan non
tunai, maka harus ditambahkan dengan hasil penghitungan penjualan tunai; atau
b. Menggabungkan hasil pengujian arus uang dan utang-piutang sekaligus, untuk
mendapatkan penghasilan bruto baik dari tunai maupun non tunai. Hal ini dilakukan
dengan cara menggunakan penerimaan uang/tunai dan non tunai (seperti offset utang-
piutang, bukti potong, bukti pungut) sebagai unsur pelunasan piutang usaha, dan juga
memperhatikan saldo-saldo uang muka pelanggan ataupun pendapatan ditangguhkan.

Penyesuaian-penyesuaian yang harus juga diperhitungkan terkait dengan pengujian


arus piutang antara lain:
1) Ditambah penghapusan piutang;

2) Dikurangi retur penjualan;

3) Dikurangi PPN dipungut sendiri yang ada dalam penerimaan kas/bank;

4) Saldo-saldo uang muka penjualan;

5) Saldo-saldo pendapatan yang ditangguhkan;

6) Penyesuaian lain yang tidak ada hubungan dengan penerimaan dan penghasilan.

Formula:

Pelunasan : xxx (+)


Piutang Akhir : xxx (+)
Piutang Awal : xxx (-)
Penyesuaian : xxx (+/-)
Peredaran Usaha Menurut Uji Arus Piutang : xxx
Peredaran Usaha Menurut SPT Badan : xxx
Selisih : xxx

4. Uji Arus Barang

Pengujian arus barang dilakukan untuk meyakini kebenaran unit barang yang keluar
dari gudang/digunakan/dijual ataupun yang masuk ke gudang, baik berupa bahan baku, bahan
pembantu, barang dalam proses, maupun barang jadi. Pemeriksa Pajak harus memastikan
bahwa unit tersebut telah memperhitungkan pemakaian sendiri, barang rusak (spoiled goods),
sampel, pemberian cuma-cuma, retur pembelian, barang dalam pengiriman (FOB
Destination)/perjalanan (intransit).

12
Formula:

Pembelian (unit) : xxx (+)


Saldo Awal Persediaan (unit) : xxx (+)
Saldo Akhir Persediaan (Unit) : xxx (-)
Penjualan per-unit menurut Uji Arus Barang : xxx
Nilai rata-rata penjualan per-unit : xxx (x)
Total Penjualan menurut Uji Arus Barang : xxx
Peredaran Usaha Menurut SPT Badan : xxx
Selisih : xxx

E. PENGENDALIAN ATAS BEA KELUAR (PAJAK EKSPOR) ATAS


PENJUALAN EKSPOR YANG TERUTANG BEA KELUAR

1. Bea Keluar

Berdasarkan PMK No. 67/PMK.011/210 jo PMK No. 128/PMK.011/2011, yang


dimaksud dengan Bea Keluar adalah pungutan negara berdasrkan Undang-Undang
Kepabeanan yang dikenakan terhadap baarang ekspor. Perhitungan Bea Keluar adalah
sebagai berikut:

a. Dalam hal tarif bea keluar ditetapkan berdasarkan persentase dari harga ekspor
(advalorum), bea keluar dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

Tarif Bea Keluar x Jumlah Satuan Barang x Harga Ekspor per Satuan Barang x Nilai
Tukar Mata Uang

b. Dalam hal tarif bea keluar ditetapkan secara spesifik, bea keluar dihitung berdasarkan
rumus sebagai berikut:

Tarif Bea Keluar per Satuan Barang dalam Satuan Mata Uang Tertentu x Jumlah Satuan
Barang x Nilai Tukar Mata Uang
Informasi mengenai jenis barang yang dikenakan bea keluar dapat dilihat dalam
lampiran I,II, dan III PMK No. 67/PMK.011/210 jo PMK No. 128/PMK.011/2011.

2. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan WP Terkait Bea Keluar


Hal-hal yang harus diperhatikan oleh Wajib Pajak terkait dengan bea keluar adalah
sebagai berikut:

13
a. Memastikan jenis barang yang diekspor apakah dikenakan bea keluar atau tidak.

b. Memastikan tarif bea keluar yang relevan untuk jenis barang yang diekspor.

c. Jika terdapat ketidakjelasan mengenai pengenaan bea keluar, Wajib Pajak dapat mencoba
untuk mengajukan permohonan penegasan kepada instansi terkait dalam hal ini dapat
diajukan kepada Dirjen Bea Cukai.

DAFTAR PUSTAKA

Hutagalung, Dhaniel dan Yulianti, Linda. 2015. Pengaruh Selisih Kurs dalam Perhitungan
Penghasilan Kena Pajak pada PT CSP. Journal Of Communication Education
(JOCE). 9(2), hal: 231- 245.

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). 2015. Modul Manajemen Perpajakan. Jakarta Pusat: IAI.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

14

Anda mungkin juga menyukai