Anda di halaman 1dari 15

BAGIAN ILMU PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MINI REFERAT
DESEMBER 2018

ASPEK LABORATORIUM DASAR SLE

Disusun Oleh:

Cindy P. Gumalangit C014172115


UmmyAulia M C014172118
Muhamad Azrul Bin Awaluddin C014172216
Ave Winny P. Paisey C11114809

PembimbingResiden :
dr. Yunita Rapa

Supervisor :
dr. UlengBahrun, Sp.PK(K),PhD

BAGIAN ILMU PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

LEMBAR PENGESAHAN

i
Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Cindy P. Gumalangit C014172115


UmmyAulia M C014172118
Muhamad Azrul Bin Awaluddin C014172216
Ave Winny P. Paisey C11114809

Judul Referat : Aspek Laboratorium Dasar SLE

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
PatologiKlinis Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Desember 2018

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

dr. UlengBahrun, Sp.Kk(K),PhD dr. Yunita Rapa

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL
PENGESAHAN........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
2.1 Definisi........................................................................................................................2
2.2 Epidemiologi...............................................................................................................2
2.3 Etiologi........................................................................................................................2
2.4 Patofisiologi.................................................................................................................4
2.5 Diagnosis.....................................................................................................................7
2.6 Penatalaksanaan.........................................................................................................10
2.7 Pencegahan................................................................................................................11
2.8 Komplikasi.................................................................................................................11
2.9 Prognosis...................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang kompleks


ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ
dalam tubuh. Peristiwa imunologi yang tepat yang memicu timbulnya manifestasi klinis SLE
belum diketahui secara pasti. Berbagai sitokin pro dan anti inflamasi seperti TGF-β, IL-10,
BAFF, IL-6, IFN-α, IFN-g, IL-17, dan IL-23 memainkan peran patogenik yang penting.1
SLE diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi
genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan penting dalam predisposisi
penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadik tanpa identifikasi faktor genetik,
berbagai faktor lingkungan diduga terlibat.1
Interaksi antara jenis kelamin, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal
(HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam
mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks
imun merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya
toleransi imun, meningkatnya beban antigenik (antigenicload), bantuan sel T yang
berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke Th2
menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik. Respon imun
yang terpapar faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet (UV) atau infeksi virus
dalam periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Systemic Lupus Erythematosus(SLE)merupakan penyakit inflamasi kronis dengan


etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis
yang sangat beragam.2

2.2 Epidemiologi

Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang
cukup tinggi. Insiden tahunan SLE di Amerika sekitar sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan
rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14 : 1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang
mencangkup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo
(RSCM) jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien
dipoliklinikReumatologi Penyakit Dalam, Sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat
291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama
tahun 2010.2

2.3 Etiologi

Etiologi dari penyakit Lupus Eritematosus sistemik ini terdapat tiga yaitu :

2.3.1 Faktor Genetik

Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigot (25%) dibandingkan
dengan kembar dizigot (3%), peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE
dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok
etnik tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam patogenesis
SLE.1

Banyak gen yang berkontribusi terhadap kepekaan penyakit ini. Pada sebagian
kecil pasien (5%), hanya gen tunggal yang bertanggungjawab, sebagai contoh pasien

2
dengan defisiensi homozigot dari kompenen awal komplemen mempunyai risiko
terkena SLE atau penyakit yang menyerupai lupus (lupus like-disease). Tetapi pada
sebagian besar pasien memerlukan keterlibatan banyak gen. Diperikirakan paling
sedikit ada empat susceptibilitygenes yang terlibat dalam perkembangan penyakit ini.
Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap SLE pada manusia
adalah gen dari Mayor Histocompatibility Complex (MHC).1

2.3.2 Faktor Hormonal

SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan. Serangan


pertama kali SLE jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopause.
Predileksi perempuan menjadi kurang nyata diluar rentang usia produktif.
Metabolisme esterogen yang abnormal ditunjukkan pada kedua jenis kelamin, dimana
peningkatan hidroksilasi 16αhidroksiestron. Metabolit 16α lebih kuat dan merupakan
feminisingestrogen. Perempuan dengan SLE juga mempunyai androgen plasma yang
rendah, termasuk testosteron, dehidrotestosteron, dehidroepiandosteron (DHEA) dan
dehidroepiandosteron sulfat (DHEAS) abnormalitas ini mungkin disebabkan oleh
peningkatan oksidasi testosteron pada C-17 atau peningkatan aktivitas
enzimaromatase jaringan yang merupakan pengatur biosintesis esterogen.1

2.3.3 Faktor Lingkungan

Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan predisposisi untuk


SLE, tetapi insiasi penyakit ini diduga merupakan hasil dari bebrapafaktoreksogen
dan lingkungan. Agen infeksi seperti virus Epstein-Bar (EBV) mungkin menginduksi
respon spesifik melalui kemiripan molekular dan gangguan terhadap regulasi imun.
Radiasi UV bisa mencetuskan dan mengeksaserbasi ruam fotosensitivitas pada SLE,
juga ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang
menyebabkan terbentuknya autoantibodi.1

2.3 Patofisiologi

3
2.3.2 Gangguan Respons Imun
SLE ditandai oleh banyaknya gangguan dalam sistem imun yang
meliputi sel B, sel T, dan turunan dari sel-sel monositik, yang mengakibatkan aktivasi
sel B poliklonal, peningkatan jumlah sel yang memproduksi antibodi,
hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun.
Bantuan sel T yang berlebihan dan tidak terkontrol terhadap diferensiasi dan aktivasi
sel B pembentuk autoantibodi adalah hasil akhir dari jalur ini.Aktivasi sel T dan sel B
memerlukan stimulasi gen yang spesifik. Bahan kimia yang iritatif seperti pristine,
DNA bakteri, dan fosfolipid dinding sel, serta antigen virus dapat menginduksi
antibodi anti-DNA pada tikus. Selain itu self antigen seperti kompleks protein-DNA
dan protein-RNA dapat menginduksi produksi autoantibodi.

Antigen dari luar (environmental antigen) dan self antigen ditangkap


oleh antigen presentingcell (APC) profesional atau terikat pada permukaan sel B
sehinggga menginduksi produksi antibodi. APC profesional dan sel B akan
memproses antigen menjadi peptida untuk dipresentasikan kepermukaan sel melalui
molekul HLA (Human Leukocyte Antigen). Peptida yang dipresentasikan oleh
molekul HLA akan diikat oleh reseptor sel T (TCR). Untuk menstimulasi sel T,
dibutuhkan molekul tambahan (costimulatorymolecule) seperti CD40 CD40L dan B7-
CD28 untuk mengaktivasisignal kedua.Molekul cytotoxic T-lymphocyte-associated
protein 4 (CTLA-4) dapat menghalangi interaksi antara CD28 dengan B7 sehingga
dapat menghambat respons imun (Gambar 1).Sel T yang teraktivasi mengeluarkan
sitokin seperti TNF-a, IL-10 dan interferon-γ, yang akan menstimulasi sel B
memproduksi autoantibodi patogenik (Gambar 2). Aktivasi sel B terjadi secara
abnormal pada penderita SLE. Pada darah perifer penderita SLE yang aktif, terjadi
peningkatan jumlah sel B pada semua tingkat aktivasi. Abnormalitas sel B ini dapat
mendahului perkembangan SLE. Sel B lupus yang teraktivasi mempunyai respon
kalsium trasitoplasmik yang lebih tinggi dibandingkan kontrol sehat.Ditemukan juga
bukti bahwa sel B pada penderita SLE lebih sensitif terhadap efek stimulasi dari
sitokin seperti IL-6 dibandingkan dengan sel B bukan SLE.

4
Gambar 1. Interaksi antara sel T dengan Antigen-Presenting Cell (APC) 1

Gambar 2. Interaksi sel T dengan Sel1

Jadi, sel B pada penderita SLE lebih peka terhadap aktivasipoliklonal


seperti antigen, sitokin dan rangsang lainnya.Sel T regulator pada manusia dan tikus
menekan aktivasi dari sel T helper (Th) dan sel B. Ada tiga subset dari sel T
regulator (sel supresor CD4) yaitu sel T regulator, sel Th3 dan sel T CD4 CD25.
Beberapa penelit melaporkan adanya penurunan jumlah dan/atau fungsi dari sel T
regulator pada penderita SLE. Terjadi penurunan kemampuan supresi sel T regulator
terhadap sel Th pada penderita SLE yang aktif dibandingkan dengan penderita SLE
yang tidak aktif atau kontrol sehat. Abnormalitas fungsi sel T juga ditemukan pada
penderita SLE.Bantuan sel T yang berlebihan terhadap sel B mengakibatkan
peningkatan produksi antibodi.

2.3.3 Gangguan Regulasi Imun

Pada penderita SLE terjadi ketidaksempurnaan (defective) pembersihan


kompleks imun oleh sel fagositik karena adanya penurunan jumlah reseptor

5
komplemen CR1 dan defect pada fungsi reseptor permukaan sel. Pembersihan yang
tidak sempurna ini mungkin juga akibat dari tidak adekuatnya fagositosis kompleks
imun yang mengandung lgG2 dan lgG3. Rendahnya kemampuan mengikat bagian
Fc dari lgG2 dan IgG3 sehingga tidak mampu membersihkan kompleks imun.
Ketidakmampuan pembersihan kompleks imun oleh sel fagosit merupakan
mekanisme patogenesis yang penting pada SLE. Fagositosis sel-sel apoptosis juga
mengalami gangguan pada SLE. Menetapnya sisa-sisa apoptosis dalam sirkulasi
merupakan imunogen yang akan menginduksi autoreaktif sel limfosit dan sebagai
antigen untuk membentuk kompleks imun. Aktivitas supresi dari sel T supresor
CD8+ dan sel NK terhadap aktivitas sel B mengalami gangguan, dimana mereka
tidak mampu melakukan downregulating sintesis imunoglobulin poliklonal dan
produksi antibodi. Gangguan terhadap supresi sel B merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan menetapnya penyakit ini, Pada subyek sehat produksi antibodi
yang berlebihan dicegah oleh jaringan idiotip (idiotypenetwork), sedangkan pada
penderita SLE jaringan ini mengalami gangguan sehingga terjadidisregulasi
produksi antibodi.1

Gambar 3. Imunopatogenesis SLE1


2.4 Diagnosis
2.5.1 Diagnosis SLE
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini
diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria
terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American
CollegeofRheumbatology (ACR) revisi tahun 1997. Namun, mengingat dinamisnya

6
keluhan dan tanda SLE dan pada kondisi tertentu seperti lupus
nefritis,neuropskiatrik lupus (NPSLE), maka dapat saja kriteria tersebut belum
terpenuhi. Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini
tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai
penyakit lain misalnya artritisreumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan
sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi
penting.2
Penegakan diagnosis LES dilakukan melalui kriteria yang ditetapkan
oleh American Collage of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997, yaitu5 :

1. Ruam malar;
2. Ruam diskoid;
3. Fotosensitivitas (ruam yang timbul akibat sinar matahari;)
4. Ulkus di mulut atau nasofaring (umumnya tidak nyeri);
5. Artritis non-erosif (pada dua atau lebih sendi perifer dengan tanda inflamasi yang
jelas);
6. Serositis, berupa pleuritis atau perikarditis;
7. Abnormalitas ginjal (proteinuria yang menetap . 0.5 g/hari atau .3+);
8. Abnormalitas neurologik (kejang atau psikosis tanpa etiologi yang jelas);
9. Abnormalitas hematologi (anemia hemolitik dengan retikulosis, leukopenia <
4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan, limfopenia <1500/mm3 pada 2 kali
pemeriksaan, atau trombositopenia< 100.000/mm3 tanpa etiologi yang jelas);
10. Abnormalitas imunologi ( anti ds-ANA; atau anti Sm yang positif; atau antibodi
antifosfolipid yang positif atas dasar: kadar serum antibodi antikardiolipin yang
abnormal, atau tes lupus antikoagulan positif, atau tes serologi sifilis positif palsu
minimal 6 bulan);
11. Antibodi antinuklear (ANA) yang positif dengan pemeriksaan imunofluoresensi.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki


sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.2

2.5.2 Pemeriksaan Laboratorium

7
Uji laboratorium bertujuan untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis;
mengikuti perkembangan penyakit; dan mengidentifikasi efek samping terapi. Pemeriksaan
darah rutin akan menunjukkan bukti inflamasi sistemik, seperti anemia
normositiknormokrom (anemia pada penyakit kronik) dan trombositosis. Pada SLE lebih
sering ditemukan leukopenia dan limfopenia. Pemeriksaan fungsi ginjal biasanya normal
pada awal penyakit, walaupun nefritis lupus telah terjadi, namun urinalisis dapat
menunjukkan proteinuria dan hematuriamikroskopik. Sedimen eritrosit merupakan tanda
glomerulonefritis berat. Pemeriksaan fungsi hati biasanya normal. Petanda inflamasi yang
sering dipakai adalah laju endap darah(LED) dan protein reaktif C (C-reactive protein, atau
CRP). LED dapat meningkat pada penyakit berat. Peningkatan CRP biasanya lebih ringan
pada SLE dibandingpada penyakit infeksi.6,7
Untuk kepentingan diagnostik, autoantibodi terpenting adalah ANA karena tes ini
positif pada > 95% pasien, biasanya pada awitan gejala. Kadar antibodi IgG terhadap DNA
untai ganda yang tinggi merupakan pemeriksaan yang spesifik untuk SLE. Antibodi terhadap
Sm juga spesifik untuk SLE dan mengarahkan diagnosis; antibodi anti-Sm biasanya tidak
berhubungan dengan aktivitas penyakit atau manifestasi klinis. Antifosfolipid (aPL) tidak
spesifik untuk SLE, namun keberadaannya memenuhi salah satu kriteria dan dapat
mengidentifikasi pasien dengan risiko penggumpalan vena atau arteri, trombositopenia, dan
kematian janin.6,7
Kadar komplemen rendah, khususnya C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik
total), penting untuk diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit. Kadar C4 yang rendah
dapat menggambarkan aktivitas penyakit, namun juga dapat menggambarkan defisiensi
produksi parsial, sedangkan C3 rendah menggambarkan aktivasi komplemen.6,7
Cairan serebrospinal dapat menunjukkan pleiositosis dan peningkatan kadar protein,
dan antibodi antiribosom P dan antineutron dapat ditemukan walaupun kadar dalam serum
negatif.7
Biopsi tidak bermakna untuk evaluasi kulit dan ginjal. Biopsi kulit menunjukkan
gambaran deposisi kompleks imun dan produk komplemen pada perhubungan dermis-
epidermis dengan pola granular. Biopsi ginjal menunjukkan derajat keparahan penyakit dan
dapat digunakan untuk panduan pengobatan..6,7
2.5.2.1 Pemeriksaan Darah Rutin

8
Pada tes darah rutin pasien ini ditemukan kelainan hematologi, seperti anemia
normositiknormokrom (anemia pada penyakit kronik). Petanda inflamasi yang sering dipakai
yaitu laju endap darah (LED) yang biasanya meningkat pada penyakit berat juga ditemukan
meningkat pada pasien ini. Autoantibodi yang terpenting untuk diagnosis SLE yaitu
antinuclearantibody juga adalah positif pada pasien ini.6,7
2.5.2.2 Pemeriksaan Serologi
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes
ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien
dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang
positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain
yang mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis (tuberkulosis),
penyakit autoimun (misalnya Mixedconnectivetissuedisease(MCTD), artritis rematoid,
tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal. Jika hasil tes ANA negatif,
pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik
termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA
pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan.
Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan
gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan. Beberapa tes
lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibody terhadap antigen
nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB),Scl-70 dan anti-Jo.
Pemeriksaan ini dikenal sebagai pro il ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes
spesifik untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%.
Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan
titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan
SLE. Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang diagnosis
SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-
Sm didapatkan pada 15% -30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau
orang normal. Tes anti-Sm relatif spesiik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis
SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang
negatif tidak menyingkirkan diagnosis.2
- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE

9
- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak menyingkirkan
diagnosis SLE.2
2.5.4.Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan
Monitoring
 Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*
 Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
 kreatininurin.
 Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)*
 PT, aPTT pada sindromaantifosfolipid
 Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4))
 Foto polos thorax
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu
pemeriksaanuntuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.2

2.5 Penatalaksanaan

Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan
secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan
upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter
konsultan, terutama ahli reumatologi. Penatalaksanaan untuk SLE meliputi edukasi dan
konseling, program rehabilitasi dan pengobatan medikamentosa seperti OAINS,
kortikosteroid, klorokuin/hidroksiklorokuin, azatrioprin, siklofosfamid, metotrexat,
sikosplorin A dan mikofenolat mofetil.

2.6 Pencegahan
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan
penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik,
melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya,
payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila
mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau
terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik
berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan.2
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik akibat
adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak

10
berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat dimengerti oleh pihak
keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan kesehariannya.2

2.7 Komplikasi
Lupus eritematosus sistemik akan menyebabkan komplikasi serius yang
mempengaruhi fungsi seluruh tubuh. Laporan ini adalah gagal ginjal, sistem saraf pusat
seperti sakit kepala, ilusi, kejang, pembengkakan saraf atau sumsum tulang belakang, yang
menyebabkan kelumpuhan atau mati rasa pada anggota badan, penyakit pembuluh darah
seperti anemia, pendarahan atau pembekuan darah. Ada kemungkinan memiliki vaskulitis,
yang membuat pembuluh darah menyempit sehingga menyebabkan kematian.
Komplikasinya bisa juga seperti serositis dan pneumonia interstisial, lupus
erythematosus akan menyerang otot jantung, arteri atau membran jantung, sehingga
menyebabkan myocarditis, endocarditis, penyakit jantung koroner, dan perikarditis, yang
meningkatkan risiko timbulnya penyakit jantung, pasien dengan lupus erythematosus sangat
rentan terhadap infeksi, dan ini disebabkan oleh penyakit itu sendiri dan obat-obatan yang
digunakan dalam perawatan, yang menyebabkan sistem kekebalan pasien menjadi sangat
rapuh. Dapat meningkatkan risiko kanker, terutama limfoma non-Hodgkin. Menggunakan
obat imunosupresif untuk perawatan juga dapat meningkatkan kemungkinan terkena kanker.
Lupus erythematosus atau penggunaan steroid dosis tinggi untuk perawatan dapat
mengurangi suplai darah ke tulang, yang menyebabkan nekrosis avaskular. Sendi panggul
adalah yang paling sering terkena. Kehamilan dapat menyebabkan lupus eritematosus
memburuk, dan juga dapat menyebabkan wanita hamil menderita hipertensi (preeklampsia),
yang meningkatkan risiko kelahiran prematur atau bahkan keguguran.

2.8 Prognosis
Beberapa studi menyatakan bahwa SLE dengan keterlibatan SSP menunjukkan prognosis
yang buruk dan meningkatkan resiko kerusakan system saraf atau kematian lebih awal. Dari
observasi prospektif penderita SLE selama lebih dari 5 tahun memperlihatkan bahwa riwayat
neuropsikiatrik berkaitan dengan outcome klinis yang jelek dimana sekitar 21-47% dari
penderita NP-SLE memperlihatkan kejadian rekurensi atau munculnya onset baru sindroma
NP-SLE dan 10% dari kematian SLE berkaitan dengan keterlibatan SSP. Disfungsi kognitif
yang dialami populasi penderita SLE memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
kemampuan fungsi mereka. Frekuensi disabilitas yang semakin meningkat telah dilaporkan

11
pada penderita SLE dengan kelainan neuropsikiatrik bila disbanding dengan penderita SLE
tanpa kelainan neurospikiatrik dan populasi umum.4

DAFTAR PUSTAKA

1. Suarjana, I Nyoman. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2015. InternaPublishing :


Jakarta
2. Perhimpunan Reumatologi Indonesia .2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
EritematossusSistemik. Jakarta.
3. Kasjmir, Yoga I, etc. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus EritematosusSistemik.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
4. Kiki Mohammad Iqbal.2012.Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus.The
Journal of Medical School, University of Sumatera Utara.Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan.
5. Arif, M. 2008. Kapita Selekta kedokteran. Jilid 2. Edisi IV. Jakarta: Penerbitan Media
Aesculapius FKUI.
6. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauseer SL, Jameson JL.
Harrison’sprinciplesof internal medicine. 17 th ed. USA: McGraw-Hill; 2005.
7. Rahman A, Isenberg DA.2008.MechanismsofDiseaseSystemic Lupus Erythematosus.
N Eng J Med;358:929-39

12

Anda mungkin juga menyukai