Pembimbing :
Dr. Juono Prabowo, Sp. B
Oleh :
Fitria Shirley Melinda, S. Ked
J510170103
Oleh :
J510170103
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim pembimbing stase Ilmu Penyakit Bedah
Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing
Dipresentasikan dihadapan
JURNAL
abstrak
Pendahluan
Baru-baru ini peneliti percaya bahwa kanker pada dasarnya dapat diobati
dengan menggunakan kombinasi dan urutan yang sama dari perawatan lokoregional
(pembedahan dan / atau radioterapi) dan sistemik (kemoterapi) pada semua pasien.
Namun, kita sekarang berada dalam masa transisi di mana kita merangkul pendekatan
yang lebih personal untuk manajemen kanker. Sifat kanker yang heterogen berarti
bahwa obat yang dipersonalisasi (yaitu terapi yang disesuaikan untuk setiap pasien)
adalah pendekatan yang menjanjikan untuk memaksimalkan kemanjuran dan
meminimalkan toksisitas pengobatan. Ini juga memfasilitasi pemberian layanan
kesehatan yang efisien dan menghasilkan penghematan biaya karena perawatan hanya
diberikan kepada mereka yang mungkin mendapat manfaat dan dengan demikian
biaya yang terkait dengan pemborosan obat, pemanfaatan sumber daya rumah sakit,
dan manajemen efek samping berkurang. Untuk berhasil memberikan obat yang
dipersonalisasi, perlu memiliki pemahaman yang jelas tentang patologi dan dasar-
dasar molekuler suatu penyakit, serta karakteristik klinis terkait yang menentukan
sub-populasi pasien yang berbeda dengan hasil yang berbeda dalam kaitannya dengan
pengobatan yang diberikan. Mengidentifikasi strategi perawatan yang optimal juga
melibatkan pemahaman tentang riwayat medis pasien, status penyakit, dan kadang-
kadang, situasi sosial ekonomi mereka, dan pertimbangan kerangka kerja perawatan
kesehatan yang lebih luas, seperti ketersediaan sumber daya rumah sakit dan
penggantian biaya.
Prinsip terapi bertarget pertama kali diusulkan oleh Paul Ehrlich lebih dari
100 tahun yang lalu, ketika ia menciptakan istilah 'peluru ajaib'.1 Immunohistokimia
(IHC) memberikan salah satu peluang pertama untuk mempersonalisasikan obat dan
secara efektif digunakan dalam kanker payudara untuk mengidentifikasi pasien
dengan tumor yang mengekspresikan reseptor estrogen dan / atau progesteron, yang
merupakan kandidat untuk terapi hormon 'target' seperti tamoxifen (AstraZeneca,
Delaware, USA). Lebih jauh, sejak penemuannya lebih dari 30 tahun yang lalu, 2
teknologi hybridoma telah memungkinkan produksi sejumlah besar antibodi
monoklonal (mAbs) yang ditargetkan untuk antigen tumor spesifik, dan telah
menyebabkan beragam pilihan diagnostik dan terapi baru. Kemajuan ini sudah
merevolusi skrining kanker, pengembangan obat dan pemilihan pengobatan, dan
merupakan faktor utama dalam mempersonalisasikan obat di abad ke-21. Konsep ini
telah mendapatkan momentum dalam beberapa tahun terakhir dengan pengembangan
terapi sukses lainnya seperti imatinib mesylate (Novartis, New Jersey, USA) 3 untuk
leukemia myeloid kronis (CML) dan tumor stroma gastrointestinal (GIST) dan
trastuzumab (Genentech, San Francisco, USA) 4 untuk kanker payudara dan
lambung. Agen-agen ini menargetkan perubahan molekuler spesifik (aktivitas protein
tirosin kinase abnormal untuk imatinib, ekspresi berlebih reseptor faktor pertumbuhan
epidermal manusia-2 [HER-2] untuk trastuzumab), yang sekarang digunakan sebagai
biomarker prediktif respons, dengan demikian memungkinkan obat ini menjadi
sasaran untuk individu dengan karakteristik tumor yang sesuai.
Secara global, CRC adalah kanker ketiga yang paling sering didiagnosis pada
laki-laki dan yang kedua pada wanita5 dan merupakan penyebab utama kedua
kematian akibat kanker di Amerika Serikat, terhitung 9% dari semua kematian akibat
kanker.6 Sekitar seperempat pasien CRC memiliki metastasis saat diagnosis dan 33-
50% mengembangkan metastasis selama perjalanan penyakit mereka.5,7 Reseksi
bedah menawarkan kemungkinan penyembuhan bagi sebagian kecil pasien dengan
mCRC dan metastasis terisolasi.8 Manajemen oleh tim multidisiplin termasuk,
misalnya, ahli bedah , ahli onkologi, ahli radiologi intervensi, ahli radioterapi, dan
perawat, meningkatkan jumlah pasien yang dapat menjalani pengobatan yang
berpotensi menyembuhkan dan akibatnya telah meningkatkan kelangsungan hidup
pasien. Bersama-sama, kemajuan dalam terapi lokal dan sistemik telah mengarah
pada peningkatan dalam kelangsungan hidup10 dengan kelangsungan hidup rata-rata
di mCRC meningkat dari sekitar 8-24 bulan9,11, selama 20 tahun terakhir.
Gambar. 1. Kelangsungan hidup keseluruhan rata-rata untuk pasien dengan kanker
kolorektal metastatik yang dirawat di MD Anderson Cancer Center dan Mayo Clinic
berdasarkan tahun diagnosis (bar kesalahan adalah interval kepercayaan 95%) .12
Dicetak ulang dengan izin 2009 American Society of Clinical Oncology: Kopetz S, et
al. J Clin Oncol 2009; 27 (22): 3677–3683. Seluruh hak cipta.
Ketika terapi yang lebih efektif tersedia, kebutuhan biomarker prediktif untuk
memungkinkan pemilihan pengobatan yang optimal untuk setiap pasien meningkat.
Penanda tersebut sangat penting dalam mCRC karena heterogenitas respon antara
tumor usus besar dan toksisitas dan biaya yang terkait dengan terapi yang tersedia.
Meskipun banyak penelitian 35-40 dan aplikasi bevacizumab yang luas pada banyak
pasien, masih kurang dipahami pasien mana / karakteristik tumor paling baik diobati
dengan anti-angiogenik, dan saat ini tidak ada penanda prediktif respons / resistensi
yang valid.41 Baru-baru ini, VEGF-A, TS, dan penghambat jaringan
metalloproteinase 3 diidentifikasi sebagai faktor yang secara berbeda dinyatakan
dalam merespons atau pasien yang tidak merespons.39 Model yang menggunakan
ketiga gen ini tampaknya secara akurat memprediksi respons terhadap
bevacizumab39 tetapi perlu evaluasi lebih lanjut dalam jumlah pasien yang lebih
besar. Selain itu, data terbaru dari percobaan AGITG MAX menunjukkan bahwa
VEGF-Dexpression yang tinggi dapat menjadi prediksi resistensi terhadap
bevacizumab.40 Hasil penelitian kedua menunjukkan bahwa tingkat tinggi dari varian
sambatan anti-angiogenik VEGF-A (VEGF165b) dapat memiliki efek yang serupa.42
Diperlukan investigasi lebih lanjut mengenai dampak dari penanda potensial aktivitas
bevacizumab ini. Beberapa tumor menunjukkan resistensi intrinsik terhadap
bevacizumab dan, ketika hal itu terjadi, respons seringkali bersifat sementara dengan
pasien yang menunjukkan pemulihan pertumbuhan tumor karena resistensi yang
mengelak.43 Selanjutnya, dalam beberapa studi praklinis, pengobatan anti-
angiogenik telah terbukti memunculkan perkembangan ganas dari tumor dan untuk
meningkatkan invasi lokal dan metastasis jauh.44 Berbagai mekanisme tampaknya
terlibat dalam konteks tumor yang berbeda43 seperti upregulasi pensinyalan
proangiogenik alternatif, 45 rekrutmen sel progenitor vaskular dan monosit pro-
angiogenik46 dan peningkatan cakupan pericyte ketat pada pembuluh darah tumor.
47 Namun, ini belum terbukti terjadi pada pasien dengan mCRC yang menjalani
pengobatan anti-angiogenik. Meskipun demikian, pengamatan praklinis ini harus
memotivasi studi tambahan dan harus divalidasi, dapat mengarah pada strategi
pengobatan kombinatorial mengintegrasikan anti-angiogenik dengan obat yang
menargetkan mekanisme resistensi yang tepat. Berdasarkan hasil studi praklinis baru-
baru ini, 44 penting untuk secara klinis mengevaluasi strategi menggabungkan obat
anti-invasif dan anti-metastasis dengan anti-angiogenik, dengan tujuan menghasilkan
kemanjuran yang lebih bertahan lama.
Kontroversi G13D
Dalam gen KRAS, sebagian besar mutasi terjadi pada kodon 12 dan 13 dan
tujuh mutasi umum di wilayah ini menyumbang 98% dari semua mutasi KRAS yang
diamati di CRC.72 Analisis asli dari respon dengan status KRAS tumor selama terapi
mAb yang ditargetkan EGFR dikelompokkan KRAS kodon 12 dan 13 mutasi
bersama, dan tidak melihat dampak mutasi individu. Namun, baru-baru ini, laporan
menunjukkan bahwa mutasi KRAS yang berbeda mungkin memiliki karakteristik
biologis yang berbeda sehubungan dengan sensitivitas pengobatan. Tumor yang
menyimpan mutasi glisin menjadi aspartat pada KRAS codon 13 (G13D) telah
disarankan untuk mempertahankan sensitivitas cetuximab dan beberapa studi
retrospektif kecil melaporkan hasil yang lebih baik pada beberapa pasien yang
menyimpan mutasi ini selama terapi cetuximab.73-77 Sebaliknya, dalam sebuah
kelompok, analisis post-hoc data dari pasien yang menerima pengobatan
panitumumab dalam tiga percobaan fase III, tidak ada mutasi tunggal KRAS yang
secara konsisten memprediksi hasil PFS atau OS.78 Memang, dalam salah satu studi
ini, mutasi G12V lebih baik terkait dengan OS (tetapi tidak PFS) sementara G13D
dikaitkan dengan OS dan PFS di lengan panitumumab. Meskipun demikian, tren ke
arah manfaat diamati pada penambahan panitumumab ke FOLFIRI pada pasien
dengan tumor bermutasi G13D, yang diambil bersama dengan data untuk
cetuximab73 menunjukkan manfaat potensial ketika mAbs yang ditargetkan EGFR
digunakan bersamaan dengan terapi berbasis irinotecan pada pasien tersebut. Namun,
sampai ada hubungan antara mutasi KRAS spesifik dan respons dikonfirmasi dalam
studi prospektif termasuk populasi pasien yang telah ditentukan (misalnya, AGITG
ICE CREAM trial79), tampaknya bijaksana untuk membatasi penggunaan mAbs
yang ditargetkan EGFR untuk populasi berlisensi (yaitu mereka yang memiliki
KRAS- tumor tipe liar). Menariknya, sebuah penelitian retrospektif baru-baru ini
menyarankan bahwa kodon KRAS kodon 12 dan 13 yang bermutasi dapat juga
memiliki dampak yang berbeda pada prognosis, dengan mCRC bermutasi 13 yang
bermutasi sebagai penyakit yang lebih agresif yang sering dikaitkan dengan
metastasis lokal dan jauh pada saat diagnosis.
Tabel 1 Biaya dan efektivitas data yang terkait dengan pengujian KRAS di Amerika
Serikat dan Jerman.69 Dicetak ulang dengan izin dari John Wiley and Sons:
Vijayaraghavan A, et al. Int J Cancer 2012; 131 (2): 438-445, hak cipta 2012
Tes tumor KRAS untuk mutasi kodon 12/13 sekarang menjadi prasyarat
sebelum menjalani pengobatan mAb yang ditargetkan EGFR, 84–86 tetapi haruskah
kita mempertimbangkan pengujian status panel biomarker lain pada pasien mCRC
pada saat ini? Meskipun ada banyak penelitian tentang biomarker potensial lainnya,
banyak hasil yang tidak konsisten dan ada juga kurangnya tes yang divalidasi,
sehingga saat ini sebagian besar tidak secara rutin digunakan dalam praktik klinis.
Sebagai contoh, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa mutasi pada kodon
KRAS 61 dan 146 (terdapat pada 2% tumor kolorektal) memiliki dampak yang
serupa dengan mutasi pada kodon 12 dan 1387 seperti halnya mutasi pada NRAS.88
Namun, penelitian tambahan dalam kelompok yang lebih besar dari pasien diperlukan
jika kita ingin memasukkan mutasi ini ke dalam praktik klinis rutin.
Biomarker yang muncul untuk aktivitas mAb yang ditargetkan EGFR dan
tahap perkembangannya ditinjau secara singkat di bawah ini dan hubungan antara
biomarker dan respons pengobatan tersebut dirangkum dalam Gambar. 3.
Setelah mutasi KRAS, mutasi BRAF V600E saat ini memiliki bukti terkuat
untuk mendukung penggunaannya sebagai biomarker prediktif untuk aktivitas mAb
yang ditargetkan EGFR. Secara keseluruhan, mutasi pengaktifasi BRAF V600E
terjadi pada sekitar 10–15% dari tumor CRC dan umumnya eksklusif satu sama lain
dengan mutasi KRAS.13 Sebagian besar tetapi tidak semua bukti yang ada
mengaitkan mutasi BRAF V600E dengan resistensi terhadap terapi mAb yang
ditargetkan EGFR, 89-94 bagaimanapun juga , dampak status BRAF tumor pada
kemanjuran perawatan ini belum secara definitif ditangani karena jumlah pasien yang
relatif sedikit dengan mutasi BRAF.
Selain prognosis yang lebih buruk, BRAF bermutasi dikaitkan dengan pola
karakteristik ekspresi gen.96,97 Selanjutnya, dalam satu studi, beberapa tumor
bermutasi tipe liar / KRAS BRAF dan tumor tipe liar ganda menunjukkan BRAF
bermutasi- seperti profil ekspresi gen dan prognosis yang buruk, 97 menunjukkan
biologi umum yang tidak akan terdeteksi oleh tes BRAF saja. Menariknya, prevalensi
mutasi BRAF V600E nampak jauh lebih tinggi pada wanita yang lebih tua dengan
kanker kolon sisi kanan tipe liar (50%) dibandingkan dengan pasien yang tidak
dipilih (10%). 96 Ini menunjukkan bahwa fitur-fitur klinis dan klinis tertentu
mungkin bermanfaat untuk mengidentifikasi pasien mCRC dengan prevalensi mutasi
BRAF V600E yang lebih tinggi atau prognosis yang lebih buruk. Tes yang divalidasi
baru-baru ini diluncurkan untuk mutasi BRAF V600E, 98 tetapi tes yang divalidasi
untuk mutasi BRAF lainnya belum tersedia. Pengujian status BRAFV600E pada
pasien dengan penyakit tipe KRASwild dikaitkan dengan biaya dimuka tambahan.
Meskipun demikian, sebuah studi Eropa baru-baru ini menggunakan pendekatan ini
untuk menentukan pasien mana yang harus menerima pengobatan cetuximab
menemukan itu menjadi strategi yang paling hemat biaya dibandingkan dengan
berbagai skenario alternatif termasuk di mana hanya status tumor KRAS yang
ditentukan. 99 Tes BRAF V600E sekarang mulai menjadi digunakan dalam praktik
klinis, tetapi belum dianggap sebagai penanda yang sepenuhnya divalidasi untuk
aktivitas mAb yang ditargetkan EGFR dan tidak secara rutin digunakan dalam
pengambilan keputusan pengobatan di sebagian besar pusat.
Analisis mutasi sampel biopsi tumor tunggal juga dapat meremehkan beban
mutasi tumor heterogen, 114,115 sehingga sulit untuk secara akurat menentukan
kemungkinan resistensi dan juga untuk memvalidasi biomarker respons baru.
Rekonstruksi filogenetik arsitektur klon tumor mengungkapkan pertumbuhan evolusi
bercabang, tetapi meyakinkan, mutasi umum pada batang pohon filogenetik secara
konsisten dinyatakan dan karenanya dapat memberikan penanda yang kuat dan target
terapi.115 Heterogenitas intratumoural dari status KRAS dan BRAF telah dilaporkan
dalam banyak blok diambil dari tumor primer yang sama. Dalam satu penelitian,
penulis menyarankan bahwa pengujian DNA hanya dari satu blok tumor tunggal
dapat menyebabkan status tumor KRAS menjadi salah pada 10% pasien.114 Namun,
menyiapkan 'koktail DNA' dari dua atau lebih blok dapat meningkatkan deteksi
minimal biaya tambahan.
Status mutasi juga dapat berubah selama terapi karena resistensi berkembang,
memunculkan pertanyaan apakah pengujian mutasi serial dapat bermanfaat.
Sementara biopsi tumor berulang pada perkembangan penyakit mungkin merupakan
pendekatan yang berharga untuk memahami resistensi yang muncul, strategi ini tentu
saja membebani pasien. Dari sudut pandang etis, biopsi serial dapat diterima jika jelas
bahwa ini dapat bermanfaat bagi pasien dengan memandu tindakan yang efektif untuk
mengatasi resistensi. Dua laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa munculnya
mutasi KRAS atau amplifikasi KRAS selama pengobatan cetuximab atau
panitumumab mungkin sering menjadi pendorong resistensi.116.117 Menariknya,
mutasi ini dapat dideteksi secara non-invasif dalam serum pasien setelah 5-6 bulan
pengobatan, beberapa bulan sebelum perkembangan radiologis. Pemodelan
matematika menunjukkan bahwa klon resisten yang membawa mutasi ini sangat
mungkin hadir pada tingkat yang sangat rendah pada tumor pasien sebelum
pengobatan dimulai, dan bahwa klon ini berkembang dengan cepat setelah
dimulainya pengobatan.116 Yang penting, tumor mutan KRAS ditemukan sensitif.
untuk menggabungkan pengobatan dengan penghambat mAb / MEK yang
ditargetkan EGFR.117 Pemantauan untuk mutasi KRAS dalam serum selama terapi
yang ditargetkan EGFR dapat, oleh karena itu, memungkinkan inisiasi awal
pengobatan kombinasi yang dapat mencegah atau menunda perkembangan, tanpa
perlu pengambilan sampel tumor yang lebih invasif. Selain itu, munculnya mutasi
EGFR telah dikaitkan dengan pengembangan resistensi cetuximab selama
pengobatan, yang jika terdeteksi, dapat memicu perubahan terapi menjadi agen yang
lebih efektif. Menariknya, tumor dengan mutasi ektodomain EGFR yang diperoleh
(S492R) yang mencegah pengikatan cetuximab dan, oleh karena itu, menghasilkan
resistensi cetuximab dapat mempertahankan sensitivitas terhadap panitumumab,
118.119 yang menunjukkan bahwa masing-masing agen ini dapat berinteraksi dengan
EGFR sedikit berbeda.
Mendukung penelitian dasar dan translasi adalah kunci untuk memajukan revolusi
'omics' dan akan memastikan identifikasi berkelanjutan target obat baru dan
biomarker. Integrasi teknologi optimal seperti throughput tinggi, sequencing generasi
berikutnya dan protein dan microarray DNA sudah merevolusi program penemuan
biomarker, namun, memindahkan penemuan tersebut dari bangku ke klinik tetap
menjadi proses yang mahal dan memakan waktu yang melibatkan banyak cabang
ilmu pengetahuan dan medicine.121 Mendorong komunikasi terbuka dan kolaborasi
antara akademisi (penelitian dasar dan klinis), industri, pasien dan regulator, oleh
karena itu, sangat penting. Penting juga bagi perusahaan farmasi untuk menerapkan
pengobatan khusus dalam program pengembangan klinis mereka, mungkin dengan
menerapkan program penemuan biomarker khusus. Dengan mengingat hal ini,
Program Pengajuan Data Genomik Sukarela Institut Nasional bertujuan untuk
mendorong perusahaan untuk mengintegrasikan genomik ke dalam program
pengembangan mereka dengan mengizinkan diskusi informasi genetika dengan Food
and Drug Administration (FDA) dalam sebuah forum yang terpisah dari review
produk proses.121 Diskusi tersebut dapat memfasilitasi optimalisasi desain
percobaan, sehingga membantu memastikan studi biomarker ditentukan sebelumnya
dalam uji klinis besar (sebagian besar data saat ini berasal dari analisis retrospektif
atau seri kasus kecil) 122,123 dan bahwa strategi kombinasi bertarget baru dievaluasi
secara efektif. Skema uji coba fase III yang telah diusulkan untuk digunakan dalam
mengevaluasi potensi penanda prediktif baru ditunjukkan pada Gambar 4. 123
Meskipun studi prospektif biomarker tidak diragukan lagi akan menjadi lebih umum,
bank jaringan dan sampel darah dari uji coba yang lengkap akan terus memberikan
kesempatan berharga untuk secara retrospektif menghubungkan karakteristik tumor /
penanda yang ditularkan melalui darah ke hasil klinis. Studi epidemiologi genetik
seperti GWAS, 124 juga penting dalam mengidentifikasi potensi target obat baru.
Karena studi tersebut menghasilkan hasil, penting untuk memastikan bahwa semua
data genom, transkriptom, dan proteomik yang relevan disimpan ke dalam basis data
yang dapat diakses secara bebas, sehingga data dapat diakses dan diproses secara
global.125
Gambar 4. Skema uji coba untuk mengevaluasi biomarker prediktif baru yang
potensial. Pasien dengan kanker kolorektal metastatik (mCRC) akan diacak (dalam
rasio 2 banding 1) untuk stratifikasi oleh biomarker atau untuk menerima pengobatan
berbasis populasi / tidak dipilih. Ketiga kelompok pasien akan menerima pengobatan
yang sama, memberikan potensi untuk menguji tiga hipotesis dan menghubungkan
data hasil klinis dengan parameter kesehatan dan ekonomi (bahwa pengobatan A
sama dengan pengobatan B sama dengan terapi standar). Atas dasar ini beberapa
hipotesis dapat diuji. Yang pertama adalah bahwa kelompok biomarker-positif
memiliki hasil klinis yang unggul dibandingkan dengan kelompok negatif-biomarker
setelah perawatan yang identik. Hipotesis kedua adalah bahwa kelompok berbasis
populasi konvensional memiliki hasil klinis yang unggul dibandingkan dengan
kelompok negatif-biomarker setelah pengobatan yang identik. Hipotesis ketiga adalah
bahwa kelompok biomarker-positif memiliki hasil klinis yang unggul dibandingkan
dengan kelompok berbasis populasi konvensional setelah pengobatan yang identik.
Jika bukti yang cukup telah terakumulasi untuk penanda prediktif tertentu, perlakuan
A dan B dapat berbeda untuk menguji hipotesis bahwa perawatan berbeda
menghasilkan hasil yang sama tergantung pada status penanda.123 Dicetak ulang
dengan izin dari Macmillan Publishers Ltd: Walter E, et al. Nat Rev Cancer 2009; 9
(7): 489-499.
Setelah identifikasi awal, mengembangkan biomarker baru untuk penggunaan
klinis adalah proses multi-langkah yang memakan waktu, melibatkan pengujian
ekstensif, optimasi, dan validasi. Ada juga kebutuhan untuk menunjukkan bahwa
penanda baru menawarkan manfaat dibandingkan metode yang tersedia saat ini yaitu
bahwa ia memiliki utilitas klinis. Untuk biomarker baru, pengujian harus
distandarisasi dan tes diagnostik harus divalidasi dengan protokol jaminan kualitas
eksternal. Dalam beberapa kasus mungkin diperlukan pengujian untuk dilakukan di
laboratorium pusat khusus untuk memastikan kualitas. National Comprehensive
Cancer Network (NCCN) telah menerbitkan laporan tepat waktu yang membahas
pentingnya validasi dan utilitas klinis dari penanda tumor dalam onkologi.126
Laporan ini menyoroti pentingnya kedua validasi analitik (menentukan seberapa
akurat / andal sebuah tes mengukur karakteristik dari minat) dan validasi klinis
(menilai kekuatan hubungan antara hasil uji dan hasil yang menarik dalam studi
biomarker). Yang penting, validasi analitik juga bertujuan untuk membakukan
penanganan, persiapan, dan penyimpanan spesimen praanalitik. Laporan ini
memuncak dalam serangkaian rekomendasi yang memberikan panduan bermanfaat
bagi siapa pun yang terlibat dalam proses pengembangan tumor biomarker.
Sementara laporan NCCN fokus pada mengoptimalkan pelaksanaan studi biomarker,
pedoman sekarang juga tersedia dalam bentuk pedoman REMARK127,128 tentang
bagaimana data biomarker harus dilaporkan dalam literatur, tetapi saat ini fokusnya
hanya pada studi pelaporan. penanda prognostik potensial. Menariknya, sebuah
artikel baru-baru ini oleh salah satu penulis pedoman REMARK menyoroti bahwa
literatur tentang biomarker terus diganggu oleh isu-isu bias non-publikasi, pelaporan
selektif dan pelaporan tidak lengkap dan menyarankan agar pengembangan registry
marker tumor dapat membantu mengatasi beberapa masalah ini.129
Setelah tes diagnostik yang valid tersedia, tes ini harus segera digunakan
secara klinis. Untuk alasan ini, program pengembangan bersama menjadi lebih
umum, di mana tes diagnostik dikembangkan bersama terapi baru yang ditargetkan.
Program semacam itu telah mengarah pada pengembangan trastuzumab dan
Herceptest (Genentech, San Francisco, USA) untuk kanker payudara dan lambung
HER-2-positif dan, baru-baru ini, vemurafenib (Genentech, San Francisco, AS) dan
Cobas 4800 BRAF V600 uji mutasi (Roche, Pleasanton, USA) untuk melanoma
positif BRAF V600E. Setelah divalidasi, diagnostik 'pendamping' ini dapat
dilisensikan bersama dengan agen yang ditargetkan, yang berarti bahwa perawatan
dapat dengan cepat diimplementasikan ke dalam praktik klinis karena sudah ada
metode yang tersedia untuk mengidentifikasi pasien yang paling mungkin
mendapatkan manfaat. Sejalan dengan ini, pada tahun 2011 FDA mengeluarkan draft
pedoman yang menjelaskan bahwa, dalam kasus di mana diagnostik pendamping
sangat penting untuk penggunaan terapi yang aman dan efektif, kedua produk harus
disetujui bersama-sama.130 Contoh terbaru dari ini adalah untuk crizotinib ( Pfizer,
New York, AS), penghambat tirosin kinase multitargeted, yang disetujui oleh FDA
untuk pengobatan anaplastik limfoma kinase (ALK) menata ulang kanker paru-paru
sel non-kecil (NSCLC) bersama diagnostik pendampingnya - Vysis ALK Break
Apart FISH Probe Kit (Abbott, Illinois, USA) .131 Khususnya, crizotinib disetujui
berdasarkan program percepatan persetujuan lembaga; tidak ada data OS yang
diajukan dan persetujuan didasarkan pada ORR yang dicapai dalam dua uji coba satu
lengan.132 Ini juga merupakan contoh bagaimana program pengembangan bersama
dapat mempercepat pergerakan penemuan dari bangku ke samping ranjang - butuh
waktu 4 tahun yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak penemuan penataan ulang
ALK di NSCLC dengan persetujuan crizotinib.132
Meskipun investasi awal mungkin tinggi, pada akhirnya harus mengarah pada
manfaat jangka panjang yang besar dan masa depan yang efektif biaya dan
bermanfaat untuk manajemen kanker. Pada akhirnya, langkah pertama akan selalu
menggabungkan penemuan dan validasi biomarker ke dalam desain uji klinis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Usus besar terdiri dari 6 bagian, yaitu caecum, colon ascenden, colon
transversum, colon descenden, colon sigmoid dan rectum. Berbeda dengan mukosa
usus halus, pada mukosa colon tidak dijumpai vili dan kelenjar biasanya lurus-lurus
dan teratur. Permukaan mukosa terdiri dari pelapis epitel tipe absorptif diselang-
seling dengan sel goblet. Pada lamina propria dan basis kripta secara sporadik
terdapat nodul jaringan limfoid1.
a. Caecum
Merupakan kantong yang terletak di bawah muara ileum pada usus besar.
Panjang dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Caecum terletak pada fossa
iliaca kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinale. Biasanya
caecum seluruhnya dibungkus oleh peritoneum sehingga dapat bergerak bebas,
tetapi tidak mempunyai mesenterium; terdapat perlekatan ke fossa iliaca di
sebelah medial dan lateral melalui lipatan peritoneum yaitu plica caecalis,
menghasilkan suatu kantong peritoneum kecil, recessus retrocaecalis1.
b. Colon ascenden
Bagian ini memanjang dari caecum ke fossa iliaca kanan sampai ke
sebelah kanan abdomen. Panjangnya 13 cm, terletak di bawah abdomen sebelah
kanan, dan di bawah hati membelok ke kiri. Lengkungan ini disebut fleksura
hepatica (fleksura coli dextra) dan dilanjutkan dengan colon transversum1.
c. Colon Transversum
Merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling dapat
bergerak bebas karena tergantung pada mesocolon, yang ikut membentuk
omentum majus. Panjangnya antara 45-50 cm, berjalan menyilang abdomen dari
fleksura coli dekstra sinistra yang letaknya lebih tinggi dan lebih ke lateralis.
Letaknya tidak tepat melintang (transversal) tetapi sedikit melengkung ke bawah
sehingga terletak di regio umbilicali1s.
d. Colon descenden
Panjangnya lebih kurang 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri,
dari atas ke bawah, dari depan fleksura lienalis sampai di depan ileum kiri,
bersambung dengan sigmoid, dan dibelakang peritoneum.1
e. Colon sigmoid
Disebut juga colon pelvinum. Panjangnya kurang lebih 40 cm dan
berbentuk lengkungan huruf S. Terbentang mulai dari apertura pelvis superior
(pelvic brim) sampai peralihan menjadi rectum di depan vertebra S-3. Tempat
peralihan ini ditandai dengan berakhirnya ketiga teniae coli, dan terletak + 15 cm
di atas anus. Colon sigmoideum tergantung oleh mesocolon sigmoideum pada
dinding belakang pelvis sehingga dapat sedikit bergerak bebas (mobile).2
f. Rectum
Bagian ini merupakan lanjutan dari usus besar, yaitu colon sigmoid
dengan panjang sekitar 15 cm. Rectum memiliki tiga kurva lateral serta kurva
dorsoventral. Mukosa dubur lebih halus dibandingkan dengan usus besar.3
Rectum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3
bagian distal rectum terletak di rongga pelvic dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian
proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflectum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal,
dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur
pasase isi rectum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling: atas,
medial dan depan. 1
2.2 Ca Colorectal
2.2.1 Definisi
Kanker colorectal merupakan tumor ganas yang berasal dari mukosa
colon atau rectum. Kebanyakan kanker colorectal berkembang dari polip, oleh
karena itu polypectomy colon mampu menurunkan kejadian kanker colorectal.
Polip colon dan kanker pada stadium dini terkadang tidak menunjukkan gejala.8
Secara histopatologis, hampir semua kanker usus besar adalah adenokarsinoma
(terdiri atas epitel kelenjar) dan dapat mensekresi mukus yang jumlahnya
berbeda-beda. Tumor dapat menyebar melalui infiltrasi langsung ke struktur
yang berdekatan, seperti ke dalam kandung kemih, melalui pembuluh limfe ke
kelenjar limfe pericolon dan mesocolon, dan melalui aliran darah, biasanya ke
hati karena colon mengalirkan darah ke sistem portal.7
2.2.2 Etiologi
Perkembangan kanker kolorektal merupakan interaksi antara faktor
lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan multipel beraksi terhadap
predisposisi genetik atau defek yang didapat dan berkembang menjadi kanker
kolorektal. Terdapat 3 kelompok kanker kolorektal berdasarkan
perkembangannya yaitu: 1) kelompok yang diturunkan (inherited) yang
mencakup kurang dari 10% dari kasus kanker kolorektal; 2) kelompok sporadik,
yang mencakup sekitar 70%; 3) kelompok familial, mencakup 20%. 7
a. Umur
Kanker colorectal sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 90% penyakit
ini menimpa penderita di atas usia 40 tahun, dengan insidensi puncak
pada usia 60-70 tahun (lansia). Kanker colorectal ditemukan di bawah
usia 40 tahun yaitu pada orang yang memiliki riwayat colitis ulseratif
atau polyposis familial.7
b. Faktor Genetik
Meskipun sebagian besar kanker colorectal kemungkinan disebabkan
oleh faktor lingkungan, namun faktor genetik juga berperan penting. Ada
beberapa indikasi bahwa ada kecenderungan faktor keluarga pada
terjadinya kanker colorectal. Risiko terjadinya kanker colorectal pada
keluarga pasien kanker colorectal adalah sekitar 3 kali dibandingkan pada
populasi umum. Banyak kelainan genetik yang dikaitkan dengan
keganasan kanker colorectal diantaranya sindrom poliposis. Namun
demikian sindrom poliposis hanya terhitung 1% dari semua kanker
colorectal. Selain itu terdapat Hereditary Non-Poliposis Colorectal
Cancer (HNPCC) atau Syndroma Lynch terhitung 2-3% dari kanker
colorectal.8
c. Faktor Lingkungan
Kanker colorectal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor
genetik dan faktor lingkungan. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa
lingkungan berperan penting pada kejadian kanker colorectal. Risiko
mendapat kanker colorectal meningkat pada masyarakat yang bermigrasi
dari wilayah dengan insiden kanker colorectal yang rendah ke wilayah
dengan risiko kanker colorectal yang tinggi. Hal ini menambah bukti
bahwa lingkungan sentrum perbedaan pola makanan berpengaruh pada
karsinogenesis.7
d. Faktor Makanan
Makanan mempunyai peranan penting pada kejadian kanker colorectal.
Mengkonsumsi serat sebanyak 30 gr/hari terbukti dapat menurunkan
risiko timbulnya kanker colorectal sebesar 40% dibandingkan orang yang
hanya mengkonsumsi serat 12 gr/hari. Orang yang banyak mengkonsumsi
daging merah (misal daging sapi, kambing) atau daging olahan lebih dari
160 gr/hari (2 porsi atau lebih) akan mengalami peningkatan risiko kanker
colorectal sebesar 35% dibandingkan orang yang mengkonsumsi kurang
dari 1 porsi per minggu.12 Waktu transit yang pendek, menyebabkan
kontak antara zat-zat iritatif dengan mukosa colorectal menjadi singkat,
sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di colon dan rectum. Di
samping menyerap air, serat makanan juga menyerap asam empedu
sehingga hanya sedikit asam empedu yang dapat merangsang mukosa
colorectal, sehingga timbulnya karsinoma colorectal dapat dicegah.4
e. Polyposis Familial
Polyposis Familial diwariskan sebagai sifat dominan autosom. Insiden
pada populasi umum adalah satu per 10.000. Jumlah total polip bervariasi
100-10.000 dalam setiap usus yang terserang. Bentuk polip ini biasanya
mirip dengan polip adenomatosun bertangkai atau berupa polip sesil, akan
tetapi multipel tersebar pada mukosa colon. Sebagian dari poliposis ini
asimtomatik dan sebagian disertai keluhan sakit di abdomen, diare,
sekresi lendir yang meningkat dan perdarahan kecil yang mengganggu
penderita. Polip cenderung muncul pada masa remaja dan awal dewasa
dan risiko karsinoma berkembang di pasien yang tidak diobati adalah
sekitar 90% pada usia 40 tahun.7
f. Polip Adenoma
Polip Adenoma sering dijumpai pada usus besar. Insiden terbanyak pada
umur sesudah dekade ketiga, namun dapat juga dijumpai pada semua
umur dan laki-laki lebih banyak dibanding dengan perempuan. Polip
adenomatosum lebih banyak pada colon sigmoid (60%), ukuran bervariasi
antara 1-3 cm, namun terbanyak berukuran 1 cm. Polip terdiri dari 3
bagian yaitu puncak, badan dan tangkai. Polip dengan ukuran 1,2 cm atau
lebih dapat dicurigai adanya adenokarsinoma. Semakin besar diameter
polip semakin besar kecurigaan keganasan. Perubahan dimulai dibagian
puncak polip, baik pada epitel pelapis mukosa maupun pada epitel
kelenjar, meluas ke bagian badan dan tangkai serta basis polip. Risiko
terjadinya kanker meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran dan
jumlah polip.8
g. Adenoma Vilosa
Adenoma vilosa jarang terjadi, berjumlah kurang dari 10% adenoma
colon. Terbanyak dijumpai di daerah rectosigmoid dan biasanya berupa
massa papiler, soliter, tidak bertangkai dan diameter puncak tidak jauh
berbeda dengan ukuran basis polip. Adenoma vilosa mempunyai insiden
kanker sebesar 30-70%. Adenoma dengan diameter lebih dari 2 cm, risiko
menjadi kanker adalah 45%. Semakin besar diameter semakin tinggi pula
insiden kanker.8
h. Colitis Ulserosa
Perkiraan kejadian kumulatif dari kanker colorectal yang berhubungan
dengan colitis ulserosa adalah 2,5% pada 10 tahun, 7,6% pada 30 tahun,
dan 10,8% pada 50 tahun.Colitis ulserosa dimulai dengan mikroabses
pada kripta mukosa colon dan beberapa abses bersatu membentuk ulkus.
Pada stadium lanjut timbul pseudopolip yaitu penonjolan mukosa colon
yang ada diantara ulkus. Perjalanan penyakit yang sudah lama, berulang-
ulang, dan lesi luas disertai adanya pseudopolip merupakan resiko tinggi
terhadap karsinoma. Pada kasus demikian harus dipertimbangkan
tindakan kolektomi. Tujuannya adalah mencegah terjadinya karsinoma
(preventif) dan menghindari penyakit yang sering berulang-ulang.
Karsinoma yang timbul sebagai komplikasi colitis ulserosa sifatnya lebih
ganas, cepat tumbuh dan metastasis.8
2.2.4 Patofisiologi
Pada umumnya, dalam perjalanan penyakit, pertumbuhan
adenokarsinoma usus besar sebelah kanan dan kiri berbeda. Adenokarsinoma
usus besar kanan (caecum, colon ascenden, transversum sampai batas flexura
lienalis), tumor cenderung tumbuh eksofitik atau polipoid. Pada permulaan,
massa tumor berbentuk sesil, sama seperti tumor colon kiri. Akan tetapi
kemudian tumbuh progresif, bentuk polipoid yang mudah iritasi dengan simptom
habit bowel: sakit di abdomen yang sifatnya lama. Keluhan sakit, sering
berkaitan dengan makanan/minuman atau gerakan peristaltik dan kadang-kadang
disertai diare ringan. Berat badan semakin menurun dan anemia karena adanya
perdarahan kecil tersembunyi. Konstipasi jarang terjadi, mungkin karena volum
colon kanan lebih besar. Suatu saat dapat dipalpasi massa tumor di rongga
abdomen sebelah kanan.4
Karsinoma usus besar kiri (colon transversum batas flexura lienalis, colon
descenden, sigmoid dan rectum) tumbuh berbentuk cincin menimbulkan napkin-
ring. Pada permulaan, tumor tampak seperti massa berbentuk sesil, kemudian
tumbuh berbentuk plak melingkar yang menimbulkan obstipasi. Kemudian
bagian tengah mengalami ulserasi yang menimbulkan simtom diare, tinja campur
lendir dan darah, konstipasi dan tenesmus mirip dengan sindrom disentri. 7
3) Karsinoma Rectum
Sering terjadi gangguan defekasi, misalnya konstipasi atau diare. Sering
terjadi perdarahan yang segar dan sering bercampur lendir, berat badan menurun.
Perlu diketahui bahwa rasa nyeri tidak biasa timbul pada kanker rectum. Kadang-
kadang menimbulkan tenesmus dan sering merupakan gejala utama.7
Indikasi, secara umum deteksi dini dilakukan pada dua kelompok yaitu
populasi umum dan kelompok risiko tinggi. Deteksi dini pada populasi dilakukan
kepada individu yang berusia di atas 40 tahun. Deteksi dini dilakukan pula pada
kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi menderita kanker kolorektal
yaitu: 1) penderita yang telah menderita kolitis ulserativa atau Crohn >10 tahun;
2) penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal; 3)
individu dengan adanya riwayat keluarga penderita kanker kolorektal. 10
Individu dengan riwayat keluarga memiliki risiko menderita kanker
kolorektal 5 kali lebih tinggi dari pada individu pada kelompok usia yang sama
tanpa riwayat penyakit tersebut. Terdapat dua kelompok pada individu dengan
keluarga penderita kanker kolorektal, yaitu: 1) individu yang memiliki riwayat
keluarga dengan hereditery non-polyposis colorectal cancer (HNPCC); 2)
individu yang didiagnosis secara klinis menderita familial adenomatous
polyposis (FAP). 10
Macam-macam deteksi dini pada kanker kolorektal adalah sebagai
berikut: 10
2.2.7 Diagnosis
Gejala dan tanda yang menunjukkan nilai prediksi tinggi terhadap akan
adanya kanker kolon dan rektum.
a) Keluhan utama dan pemeriksaan fisik. 7
Perdarahan peranum disertai peningkatan frekuensi defekasi dan
atau diare selama minimal 6 minggu (semua umur)
Perdarahan peranum tanpa gejala anal (diatas 60 tahun)
Peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal6 minggu
(diatas 60 tahun)
Massa teraba pada fosa iliaca dextra (semua umur)
Massa intraluminal didalam rektum
Tanda-tanda obstruksi mekanik usus (ileus obstruksi)
Setiap penderita dengan anemia defisiensi Fe (Hb <11 gr% pada
pria dan Hb <10 gr % pada wanita pasca menopause)
c) Pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan bukti sampai dengan saat ini, terdapat tiga macam
pemeriksaan penunjang yang efektif di dalam diagnosis kanker kolon dan
rektum, yaitu: enema barium, endoskopi dan CT-pneumokolon. Tingkat
akurasi pemeriksaan tersebut sangat tergantung pada persiapan kolon
yang baik.6
Pemeriksaan laboratorium
Meliputi pemeriksaan tinja apakah ada darah secara
makroskopis/mikroskopis atau ada darah samar (occult blood) serta
pemeriksaan CEA (carcino embryonic antigen). Kadar yang
dianggap normal adalah 2,5-5 ngr/ml. Kadar CEA dapat meninggi
pada tumor epitelial dan mesenkimal, emfisema paru, sirhosis
hepatis, hepatitis, perlemakan hati, pankreatitis, colitis ulserosa,
penyakit crohn, tukak peptik, serta pada orang sehat yang merokok.
Peranan penting dari CEA adalah bila diagnosis karsinoma
colorectal sudah ditegakkan dan ternyata CEA meninggi yang
kemudian menurun setelah operasi maka CEA penting untuk tindak
lanjut.7
Enema barium dengan kontras ganda
Pemeriksaan ini mempunyai keuntungan sebagai berikut:
Sensitivitas untuk KKR 65-95%
Tidak memerlukan sedasi
Keberhasilan prosedur sangat tinggi
Tersedia hampir diseluruh rumah sakit
Cukup aman
Kelemahan enema barium adalah:
Lesi T1 sering tidak terdiagnosa
Lesi direktosigmoid dengan divertikulosis dan caecum ,
akurasinya rendah
Akurasinya rendah untuk lesi dengan tipe datar
Untuk polip dengan ukuran < 1 cm, sensitivitasnya hanya 70-
95%.
Mendapat paparan radiasi
Endoskopi
Jenis endoskopi yang dapat digunakan adalah sigmoidoskopi rigid,
sigmoidoskopi fleksibel, dan kolonoskopi. Sigmoidoskopi fleksibel
lebih efektif dibandingkan dengan yang rigid untuk visualisasi
kolon dan rektum. Dapat mendeteksi polip yang berukuran < 9mm.
Sensitivitas dan spesifitas kolonoskopi akan semakin tinggi bila
persiapan kolon, sedasi dan kompetensi operator semakin baik.4
Keuntungan kolonoskopi sebagai berikut:
Sensivitas untuk polip dan adenokarsinoma kolorektal 95%
Dapat langsung digunakan sebagai biopsi untuk diagnostik
Untuk lesi synchronous polip dapat dilakukan reseksi
Tidak ada paparan radiasi
2.2.8 Penatalaksanaan
Terapi kanker kolon dan rektum merupakan terapi multimodalitas dengan
andalan utama adalah terapi pembedahan. Modalitas terapi pada kasus kanker
kolon dan rektum terdiri dari: operasi kuratif dan operasi palliatif, kemoterapi
adjuvan dan neoadjuvan, kemoradioterapi dan pre dan pasca operasi, dan
immunoterapi.
1. Terapi pembedahan
Tindakan yang paling sering dilakukan adalah hemikolektomi kanan,
kolektomi transversal, hemikolektomi kiri atau reseksi anterior, dan reseksi
abdominoperineal. Pembedahan sangat berhasil bila dilakukan pada pasien yang
tidak mengalami metastasis. Pemeriksaan tindak lanjut dengan antigen embrionik
adalah penanda yang sensitif untuk rekurensi tumor yang tidak terdeteksi. Daya
tahan hidup 5 tahun adalah sekitar 50%.9
Indikasi untuk hemikolektomi adalah tumor di caecum, colon ascenden,
colon transversum, tetapi lesi di fleksura lienalis dan colon descenden di atasi
dengan hemikolektomi kiri. Tumor di sigmoid dan rectum proksimal dapat
diangkat dengan tindakan LAR (Low Anterior Resection). Angka mortalitas
akibat operasi sekitar 5% tetapi bila operasi dikerjakan secara emergensi maka
angka mortalitas menjadi lebih tinggi. Reseksi terhadap metastasis di hati dapat
memberikan hasil 25-35% rata-rata masa bebas tumor (disease free survival
rate).9
2. Terapi adjuvan
a) Radioterapi
Radiasi pra bedah hanya diberikan pada karsinoma rectum. Sementara itu,
radiasi pasca bedah diberikan jika sel karsinoma telah menembus tunika
muscularis propria, ada metastasis ke kelenjar limfe regional, atau apabila masih
ada sisa-sisa sel karsinoma yang tertinggal akan tetapi belum ada metastasis
jauh.7 Radiasi pada kanker rektum dapat diberikan sebagai radiasi eksterna pasca
operasi; pre operasi dan kemoradiasi. Selain itu dapat juga dilakukan Brakiterapi:
intracavitary brachitherapy dan interstitial brachitherapy.
b) Kemoterapi
Kemoterapi diberikan apabila ada metastasis ke kelenjar regional (Dukes
C), tumor telah menembus muskularis propria (Dukes B), atau tumor setelah
dioperasi kemudian residif kembali.9 Kemoterapi yang biasa diberikan pada
penderita kanker colorectal adalah kemoterapi ajuvan. Sepertiga pasien yang
menjalani operasi kuratif akan mengalami rekurensi. Kemoterapi ajuvan
dimaksudkan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker colorectal setelah
operasi. Pasien Dukes A jarang mengalami rekurensi sehingga tidak perlu terapi
ajuvan. Pasien kanker colorectal Dukes C yang mendapat levamisol dan 5 FU
secara signifikan meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas tumor
(disease free interval). Kemoterapi ajuvan tidak berpengaruh pada kanker
colorectal Dukes B.7
Indikasi pemberian kemoterapi untuk mencegah kekambuhan dengan
kriteria:
Derajat keganasan III,IV
Invasi tumor ke limfatik dan pembuluh darah
Adanya obstruksi usus
Kelenjar yang diperiksa kurang dari 12 buah
Stadium T4N0M0 atau
T3 dengan perforasi terlokalisasi
Tepi sayatan dengan positif untuk tumor
Tepi sayatan dengan penentuan batas yang terlalu dekat dengan tumor
atau sulit ditentukan.
2.2.9 Komplikasi
Komplikasi primer yang dihubungakan dengan kanker kolorektal
adalah10:
1. Obstruksi usus diikuti dengan penyempitan lumen usus akibat lesi
2. Perforasi dinding usus oleh tumor, diikuti kontaminasi dari rongga
peritoneal oleh isi usus
3. Perluasan langsung tumor ke organ-organ yang berdekatan
Komplikasi yang timbul setelah pembedahan (reseksi usus besar) dibagi
menjadi 2 berdasarkan perkiraan waktu munculnya komplikasi, yaitu komplikasi
segera dan komplikasi lambat. Komplikasi segera meliputi: kardiorespirasi,
kebocoran anastomosis, infeksi luka, retensi urin, impoten. Komplikasi lambat
meliputi: kekambuhan, sistemik, lokal.
2.2.10 Prognosis
Prognosis dari pasien kanker colorectal tergantung pada stadium penyakit
saat terdeteksi dan penanganannya. Sebanyak 75% pasien kanker kolorektal
mampu bertahan hisup selama 5 tahun. Daya tahan buruk/lebih rendah pada usia
dewasa tua7.
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah
sebagai berikut7:
a) Stadium I – 72%
b) Stadium II – 54%
c) Stadium III – 39%
d) Stadium IV – 7%
50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa
kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering
terjadi. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama
setelah operasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi
termasuk kemampuan ahli bedah, stadium kanker, lokasi dan kemampuan untuk
memperoleh batas-batas negatif tumor.7
Rekurensi lokal setelah operasi reseksi dilaporkan mencapai 3-32%
penderita. Beberapa faktor seperti letak tumor, penetrasi dinding usus,
keterlibatan kelenjar limfe, perforasi rektum pada saat diseksi dan diferensiasi
tumor diduga sebagai faktor yang mempengaruhi rekurensi lokal.7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kanker colorectal ditujukan pada tumor ganas yang berasal dari mukosa colon
atau rectum. Hampir semua kanker usus besar adalah adenokarsinoma (terdiri atas
epitel kelenjar) dan dapat mensekresi mukus yang jumlahnya berbeda-beda. Tumor
dapat menyebar melalui infiltrasi langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke
dalam kandung kemih, melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe pericolon dan
mesocolon, dan melalui aliran darah, biasanya ke hati karena colon mengalirkan
darah ke sistem portal. Keluhan dan gejala tergantung dari lokasi dan besarnya tumor.