Sperma telah ditemukan di daerah kranial ampula tuba hanya beberapa menit setelah
kawin atau inseminasi pada manusia (Settlage et al., 1973) dan beberapa spesies mamalia
lainnya (Overstreet dan Cooper, 1978; Hawk, 1983, 1987). Transpor sperma yang cepat ke tuba
Fallopii tampaknya berlawanan dengan model sperma yang berenang satu-per-satu melalui
uterotubal junction. Namun, ketika sperma kelinci ditemukan dari dareah kranial ampula tidak
lama setelah kawin dievaluasi oleh Overstreet dan Cooper (1978), mereka menemukan bahwa
sebagian besar imotil dan rusak. Mereka mengajukan bahwa gelombang kontraksi yang
dirangsang oleh inseminasi mengangkut beberapa sperma dengan cepat ke tempat fertilisasi,
tetapi sperma ini rusak parah oleh tekanan yang terkait dan tidak fertil. Kemudian, sperma motil
secara bertahap melewati uterotubal junction untuk membentuk populasi tuba yang
memungkinkan fertilisasi. Kontraksi dapat berfungsi terutama untuk menarik sperma ke dalam
serviks tetapi mengakibatkan overshooting (tertariknya sperma jauh dari yang diharapkan) dari
beberapa sperma. Seperti dijelaskan di atas, sperma manusia yang motil telah ditemukan dari
tuba Fallopii dalam waktu satu jam inseminasi; Namun, tidak diketahui apakah fungsinya normal
pada wanita ini (Rubenstein et al., 1951).
Saat sperma melewati uterotubal junction dan memasuki isthmus tuba, mereka mungkin
terperangkap dan ditahan di reservoir. Yanagimachi dan Chang (1963) pertama kali
mendeskripsikan reservoir sperma dalam isthmus tuba hamster. Sejak itu, bukti telah ditemukan
untuk pembentukan reservoir penyimpanan sperma di berbagai spesies [tikus (Suarez, 1987),
kelinci (Harper, 1973; Overstreet et al., 1978), sapi (Hunter dan Wilmut, 1984), babi (Hunter,
1981) dan domba (Hunter dan Nichol, 1983)]. Tuba Fallopi menyediakan tempat berlindung bagi
sperma. Berbeda dengan vagina, serviks dan uterus, tuba tidak berespon terhadap inseminasi
dengan masuknya leukosit (Rodriguez-Martinez et al., 1990).
Perangkap dan penyimpanan sperma di segmen awal tuba dapat berfungsi untuk
mencegah pembuahan polispermia dengan membiarkan hanya beberapa sperma pada satu
waktu untuk mencapai oosit di ampula. Sejumlah sperma telah secara artifisial meningkat di
lokasi pembuahan pada babi dengan inseminasi bedah secara langsung ke dalam lumen ampula
(Polge et al., 1970; Hunter, 1973), dengan mereseksi isthmus untuk memintasi (bypass)
reservoir (Hunter dan Leglise, 1971) atau dengan memberikan progesteron ke dalam muscularis
(otot) untuk menghambat penyempitan otot polos lumen (Day and Polge, 1968; Hunter, 1972).
Dalam setiap kasus ini, kejadian polispermia meningkat.
Terdapat bukti kuat dari berbagai spesies mamalia eutheria bahwa reservoir tuba
terbentuk ketika sperma berikatan dengan epitel yang melapisi tabung. Pada manusia, sperma
motil telah diamati mengikatkan kepala mereka ke permukaan apikal epitel endosalpingeal
secara in vitro (Gambar 1B dan 3; Pacey et al., 1995a;
Gambar 3. Scanning Electron Micrograph menunjukkan sperma manusia yang
melekat pada area siliata dari epitel tuba fallopii secara in vitro. Panah
menunjukkan sperma yang berhubungan dengan silia. Skala bar, 4 μm. Diproduksi
kembali dari Pacey et al. (1995b).