Anda di halaman 1dari 20

BAB I

KLARIFIKASI ISTILAH

1. Kematian
Keadaan fungsi sistem jantung – sirkulasi dan sistem pernafasan
terbukti telah terhenti secara permanen atau apabila kematian batang otak
telah dapat dibuktikan (UU No. 36 Tahun 2009).

2. Gantung diri
Gantung diri didefinisikan sebagai seluruh atau sebagia dari berat
tubuh seseorang ditahan dibagian leher oleh suatu benda dengan permukaan
yang relative sempit dan panjang (tali) sehingga daerah tersebut mengalami
tekanan (Budiyanto, 1997).

1
BAB II

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Sebut dan jelaskan macam - macam dan cirri – cirri gantung diri!
2. Jelaskan perbedaan gantung karena bunuh diri dan pembunuhan!
3. Jelaskan mekanisme kematian akibat bunuh diri!
4. Sebut dan jelaskan jenis – jenis otopsi!

2
BAB III

ANALISIS MASALAH

1. Macam – macam gantung diri.


Terdapat 2 macam gantung diri :
a. Gantung diri tipikal: simpul penjerat terletak pada tengkuk bagian
belakang leher. Tipe gantung diri ini jarang terjadi.
b. Gantung diri atipikal: simpul penjerat terletak di bagian lain leher
selain pada bagian tengkuk leher. Lokasi simpul bisa terletak pada
sudut mandibula, di dekat mastoid, atau di bawah pipi (Pradhan,
2012).
Tipe lain gantung diri:

a. Gantung diri lengkap


Seluruh berat badan korban disangga oleh leher karena seluruh
bagian tubuh tergantung tidak menyentuh tanah.
b. Gantung diri tidak lengkap
Tidak seluruh berat badan korban disangga oleh leher karena
ada bagian tubuh korban yang menyentuh tanah (Pradhan, 2012).
c. Typical hanging
d. Titik gantung terletak diatas oksiput dan tekanan pada arteri carotis
paling besar.
e. Atypical hanging
Titik penggantungan terdapat disamping, sehingga leher dalam
posisi sangat miring, yang akan mengakibatkan hambatan pada
arteri carotis dan arteri vetebralis.
f. Kasus dengan titik gantung didepan atau dagu

3
2. Hasil pemeriksaan dan TKP untuk membedakan bunuh diri dan gantung
diri
Pembunuhan Bunuh Diri

Alat Penjerat :
- Simpul Simpul mati Simpul hidup
- Jumlah lilitan Satu Satu atau lebih
- Arah Mendatar Sering ke atas
- Jarak titik tumpu
Dekat Jauh
– simpul
Korban :
- Jejas jeratan Berjalan mendatar Meninggi ke arah
- Luka perlawanan + simpul
- Luka lain Ada, daerah leher -
- Jarak dari lantai
Jauh Tidak ada
Dekat

TKP :
- Lokasi Bervariasi Tersembunyi
- Kondisi Tidak teratur Teratur

3. Mekanisme kematian akibat bunuh diri gantung diri


Gantung diri merupakan peristiwa dimana seluruh atau sebagian dari
berat tubuh seseorang ditahan dibagian lehernya oleh benda dengan
permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah
tersebut mengalami tekanan. Mekanisme kematian pada kasus gantung diri :
1) Asfiksia (Terhambarnya aliran udara pernapasan)
2) Kerusakan pada batang otak dan medulla spinalis (Dislokasi atau
fraktur vetebra ruas leher)
3) Iskemik otak (Terhambatnya aliran arteri leher)
4) Refleks vagal

4
a. Asfiksia
Asfiksia berawal dari hypoxemia kemudian terjadi hipoksia
yang dapat menyebabkan anoksia. Anoksia akan menyebabkan
terjadinya asfiksia. Berikut mekasnisme terjadinya asfiksia:
1) Ketika suplai oksigen berkurang maka darah kekurangan
oksigen. Kekurangan oksigen dalam darah membuat tubuh
mengkompensasi dengan mempercepat pernafasan
(takipneu). bila tubuh masih kekurangan oksigen maka
tubuh akan memakai otot bantu pernafasan sehingga terjadi
dispneu. Penggunaan otot bantu pernafasan maka banyak
darah ke organ vital (vasodilatasi) dan untuk
menyeimbangkan maka tubuh akan melakukan
vasokontriksi pada pembuluh darah perifer. Vasokontriksi
pembuluh darah perifer mengakibatkan pembuuh darah
pecah yang menimbulkan bintik bintik perdarahan. Selain
itu adanya vasokontriksi di perifer menyebabkan
penimbunan carbon dioksida di perifer. Penimbunan
carbon dioksida menyebabkan sianosis perifer sehingga
tampak biru di organ perifer.
2) Bila tubuh masih kekurangan oksigen maka tubuh akan
melakukan metabolism tubuh secara anaerob. Metabolism
anaerob terjadi dengan memecah glikogen yang akan
menghasilka asam laktat. Asam laktat akan menumpuk di
sitoplasma yang menyebabkan hiperosmosis seluler. Bila
terjadi penumpukan cairan di otak maka gyrus otak tampak
melebar dan sulkus tampak menyempit karena adanya
cairan di sela-sela. Cairan di otak menyebabkan tekanan
otak meningkat dan terjadi gangguan neurotransmitter.
Gangguan neurotransmitter ini menyebabkan terjadinya

5
kejang kemudian terjadi hipotonik. Hipotonik pada otot
menyebabkan rahang mengigit dan lidah keluar karena
terjadi vasokonstriksi. Adanya vasokontriksi otot otot polos
di kelenjar juga menyebabkan hi[ersekresi sehingga dapat
terjadi keluar buih, urin, feses ataupun cairan mani
tergantung dimana letak terjadinya vaokonstriksi otot
polos. Jika masih tidak tercukupi oksigen maka akan terjadi
apneu yang menyebabkan meninggal dunia. (Dahlan,
Sofwan, 2007)
Jenis ketiadaan oksigen dalam tubuh atau anoksia. 4 golongan
Anoksia :

1) Anoksia Anoksik
Oksigen tidak dapat mencapai ke darah sebagai akibat dari
kurangnya oksigen yang masuk ke paru.
2) Anoksia Anemik
Darah tidak dapat menyerap O2, seperti pada keracunan CO
3) Anoksia Stagnan
Darah tidak mampu membawa O2 ke jaringan seperti pada
Heart Failure atau embolism.
4) Anoksia Histotoksik
Jaringan tidak mampu menyerap O2, seperti pada keracunan
sianida.
Tanda klasik asfiksia :
 Ptekie hemoragik pada konjungtiva bilbi dan palpebrae
 Kongesti dan edema serebri
 Sianosis
 Hipersekresi
 Konvulsi

6
 Lebam mayat warna merah kebiruan
4. Otopsi
Otopsi berasal dari bahasa Yunani. Auto → sendiri, opsis → melihat.
Otopsi merupakan pemeriksaan terhadap tubuh jenazah menyeluruh,
pemeriksaan terhadap bagian luar dan dalam serta pemeriksaan tambahan
lainnya. Otopsi bertujuan untuk menemukan adanya cedera atau proses
penyakit yang menjadi sebab kematian.
a. Macam-macam otopsi
1) Otopsi Anatomis, untuk keperluan pendidikan mahasiswa
2) Otopsi Forensik, untuk kepentingan peradilan
3) Otopsi Klinik
b. Dasar Hukum Otopsi
1) Otopsi klinis → Pasal 119 UU No 36/ 2009 Tentang Kesehatan
2) Otopsi anatomis → Pasal 120 UU No 36/ 2009 Tentang
Kesehatan
3) Otopsi forensik/ medikolegal → Pasal 122 UU No 36/2009
Tentang Kesehatan, Pasal 133 dan 134 KUHAP, Pasal 222
KUHP
c. Hal-hal yang terkait otopsi
1) Riwayat medis dan keadaan yang berhubungan dengan jenazah
2) Pengumpulan dan pendokumentasian barang bukti
3) Fotografi dan pencatatan luka
4) Pemeriksaan luar
5) Pemeriksaan dalam
6) Pemeriksaan histopatologi
7) Pemeriksaan toksikologi
8) Temuan positif dan negatif sebab kematian dan mekanisme
kematian

7
9) Memperbaiki tubuh jenazah sebelum diserahkan kepada
keluarga
10) Pembuatan laporan
11) Menjadi saksi ahli dipersidangan
(Dahlan, 2007)

8
BAB IV
KERANGKA KONSEP

Iqmal usia 24 tahun,


wiraswasta ditemukan
tergantung dengan tali tambang

Ditemukan dibawahnya terdapat kursi dan


ditemukan pula surat berisikan permintaan maaf
dan ketidak sanggupan hidup.

Tetangga melaporkan ke polisi


setempat

Penyidik meminta dilakukan


visum

Penyebab kematian

Asfiksia
- Penyebab
- Mekanisme
- Fase

Macam Asfiksia
- Smothering (pembekapan)
- Gagging & chocking (Penyumbatan)
- Strangulation (penjeratan)
- Pencekikan
- Gantung

Perlu dilakukan otopsi


- Prosedur permintaan otopsi
- Biaya

9
BAB V
LEARNING OBJECTIVE
1. Mahasiswa dapat menjelaskan mekanisme terjadinya asfiksia
2. Mahasiwa dapat menjelaskan macam atau bentuk dari asfiksia

10
BAB VI

BELAJAR MANDIRI

11
BAB VII
BERBAGI INFORMASI
1. Mahasiswa dapat menjelaskan mekanisme terjadinya asfiksia
Asfiksia berawal dari hypoxemia kemudian terjadi hipoksia yang dapat
menyebabkan anoksia. Anoksia akan menyebabkan terjadinya asfiksia. Berikut
mekasnisme terjadinya asfiksia:
Ketika suplai oksigen berkurang maka darah kekurangan oksigen.
Kekurangan oksigen dalam darah membuat tubuh mengkompensasi dengan
mempercepat pernafasan (takipneu). bila tubuh masih kekurangan oksigen maka
tubuh akan memakai otot bantu pernafasan sehingga terjadi dispneu. Penggunaan
otot bantu pernafasan maka banyak darah ke organ vital (vasodilatasi) dan untuk
menyeimbangkan maka tubuh akan melakukan vasokontriksi pada pembuluh
darah perifer. Vasokontriksi pembuluh darah perifer mengakibatkan pembuuh
darah pecah yang menimbulkan bintik bintik perdarahan. Selain itu adanya
vasokontriksi di perifer menyebabkan penimbunan carbon dioksida di perifer.
Penimbunan carbon dioksida menyebabkan sianosis perifer sehingga tampak biru
di organ perifer.
Bila tubuh masih kekurangan oksigen maka tubuh akan melakukan
metabolism tubuh secara anaerob. Metabolism anaerob terjadi dengan memecah
glikogen yang akan menghasilka asam laktat. Asam laktat akan menumpuk di
sitoplasma yang menyebabkan hiperosmosis seluler. Bila terjadi penumpukan
cairan di otak maka gyrus otak tampak melebar dan sulkus tampak menyempit
karena adanya cairan di sela-sela. Cairan di otak menyebabkan tekanan otak
meningkat dan terjadi gangguan neurotransmitter. Gangguan neurotransmitter ini
menyebabkan terjadinya kejang kemudian terjadi hipotonik. Hipotonik pada otot
menyebabkan rahang mengigit dan lidah keluar karena terjadi vasokonstriksi.
Adanya vasokontriksi otot otot polos di kelenjar juga menyebabkan hipersekresi

12
sehingga dapat terjadi keluar buih, urin, feses ataupun cairan mani tergantung
dimana letak terjadinya vaokonstriksi otot polos. Jika masih tidak tercukupi
oksigen maka akan terjadi apneu yang menyebabkan meninggal dunia (Dahlan,
Sofwan, 2007).
2. Mahasiswa dapat menjelaskan macam atau bentuk dari asfiksia
Terdapat beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia
mekanik, yakni :
a) Suffocation
Peristiwa suffokasi dapat terjadi jika oksigen yang ada di udara lokal kurang
memadai, seperti misalnya di dalam satu ruang kecil tanpa ventilasi cukup
berdesak-desakan dengan banyak orang, pertambangan yang mengalami
keruntuhan, ataupun terjebak di dalam ruang yang tertutup rapat. Kematian
dalat terjadi dalam beberapa jam, tergantung dari luasnya ruangan serta
kebutuhan oksigen bagi orang yang berada di dalamnya. Sebab kematian
pada peristiwa sufokasi, biasanya merupakan kombinasi dari hipoksia,
keracunan CO2, hawa panas dan kemungkinan juga cedera yang terjadi,
misalnya pada saat peristiwa kebakaran gedung.
b) Smothering
Smothering (pembekapan) adalah bentuk safiksia yang disebabkan oleh
penutupan lubang hidung dan mulut. Penutupan dpat dilakukan dengan
mengguankan tangan atau suatu benda yang lunak, misalnya bantal atau
selimut yang dilipat. Peristiwa pembekapan dapat terjadi karena
pembunuhan, kecelakaan atau bunuh diri. Kecelakaan dapat terjadi ketika
anak-anak bermain dengan memasukkan kepala ke dalam kantong plastik
dan mengikatnya di leher, meskipun cara ini juga dapat digunakan oleh
orang dewasa untuk melakan pembunuhan atau bunuh diri.
c) Gangging & choking
Keduanya merupakan jenis asfiksia yang disebabkan blokade jalan nafas
oleh benda asing yang datangnya dari luar ataupun dari dalam tubuh,

13
misalnya seperti inhalasi mutahan (aspirasi), tersedak makanan, tumor,
jatuhnya lidah ke belakang ketika dalam keadaan tidak sadar, bekuan darah
atau lepasnya gigi palsu. Gejalanya sangat khas, yakni dimulai dengan
batuk-batuk yang terjadi secara tiba-tiba, kemudian disusul sianosis dan
akhirnya meninggal. Peristiwa ini dapat karena bunuh diri (meskipun sulit
untuk memasukkan benda asing ke dalam mulutnya sendiri, karena akan ada
reflek batuk atau muntah), pembunuhan (umumnya korban adalah bayi,
orang dengan fisik lemah atau tak berdaya) dan kecelakaan (misalnya
tersedak makanan hingga menyumbat saluran nafas).
Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau refleks vagal
akibat rangsangan pada reseptor nervus vagus di arkus faring yang
menimbulkan inhibisi kerja jantung dengan akibat cardiac arrest dan
kematian. Pada gangging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan
pada choking sumbatan terdapat lebih dalam, yakni pada laringofaring.
d) Stranggulation
Penjeratan, adalah penekanan benda asing yang permukaannya relatif sempit
dan panjang, dapat berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, dan sebagainya,
melingkari atau mengikat leher yang makin lama makin kuat di mana
kekauatan jeratan berasal dari tarikan keua ujungnya, sehingga secara
berturutan pembuluh darah balik, arteri superfisial dan saluran nafas tertutup.
Biasanya arteri vertebralis tetap paten, hal ini disebabkan karena kekuatan
atau beban yang menekan pada penjeratan biasanya tidak besar. Mekanisme
matinya bisa karena tertutupnya jalan nafas hingga terjadi asfikisa, atau
tertutupnya vena hingga anoksia otak, atau refleks vagal atau karena
tertutupnya arteri karotis sehingga otak kekurangan darah. Penjeratan
biasanya merupakan peristiwa pembunuhan, meskipun dapat karena bunuh
diri maupun kecelakaan (misalnya selendang yang dililitkan di leher tertarik
roda saat mengendari motor).

14
e) Manual strangulation/throttling
Pencekikkan adalah penekanan leher dengan tangan yang menyebabkan
dinding saluran nafas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran
nafas, sehingga udara pernafasan tidak dapat lewat. Mekanisme matinya
adalah karena asfiksia ataupun refleks vagal yang terjadi akibat rangsang
pada reseptor nervus vagus pada corpus caroticus di percabangan arteri
karotis interna dan eksterna. Cekikkan merupakan jenis strangulasi yang
hampir selalu disebabkan oleh pembunuhan. Dapat disebabkan kecelakaan,
misal pada saat latihan bela diri atau pembuatan film, meskipun sangat
jarang dan tidak mungkin digunakan untuk bunuh diri, sebab cekikkan akan
lepas begitu orang yang melakukan bunuh diri itu muali kehilangan
kesadaran.
f) Hanging
Penggantungan / peristiwa gantung adalah peristiwa di mana seluruh atau
sebagian dari berat tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh sesuatu
benda dengan permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali)
sehingga daerah tersebut mengalami tekanan. Kasus ini hampir sama dengan
penjeratan, bedanya adalah asal tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil
jeratan. Pada penjeratan, tenaga datang dari luar, sedangkan pada
penggantungan, tenaga bersal dari berat badan korban sendiri, meskipun
tidak perlu seluruh berat badan digunakan. Pada penggantungan tidak harus
seluruh tubuh berada di atas lantai, sebab dengan tekanan berkekuatan 10
pon pada leher sudah cukup menghentikan aliran darah di daerah itu.
Sehingga tindakan gantung diri dapat saja dilakukan dengan sebagian tubuh
tetap berada/menempel lantai. Peristiwa penggantungan tidak identik dengan
bunuh diri, karena bisa saja karena pembunuhan maupun kecelakaan.
Mekanisme kematian pada peristiwa penggantungan bisa karena asfiksia,
gangguan sirkulasi darah ke otak (akibat terhambatnya aliran arteri-arteri

15
leher), refleks vagal ataupun karena kerusakan medulla spinalis akibat
dislokasi/fraktur vertebra cervicalisd (bisa pada sendi atlantoaxial).
g) Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
Terjadi akibat penekanan dari luar pada dinding dada yang menyebabkan
dada terfiksasi, kadang hingga perut, hingga menimbulkan gangguan gerak
pernafasan, misalnya saat dada atau seluruh badan tertimbun pasir, tanah,
runtuhan tembok, tergencet saat saling berdesakan, ataupun tergencet stir
mobil. Akibatnya gerakan pernafasan tidak mungkin terjadi sehingga tubuh
mengalami asfiksia. Istilah lain untuk asfiksia jenis ini adalah crush
asphyxia.
h) Saluran pernafasan terisi air (tenggelam/drowning)
Kematian karena tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian akibat
mati lemas disebabkan masuknya cairan ke dalam saluran pernafasan. Istilah
tenggelam sebenarnya harus pula mencakup proses yang terjadi akibat
terbenamnya korban dalam air yang menyebabkan kehilangan kesadaran dan
mengancam jiwa, meskipun pada peristiwa tenggelam tidak seluruh tubuh
harus masuk dalam air. Asalkan lubang hidung dan mulut berada di bawah
permukaan air, maka hal itu sudah cukup memenuhi kriteria peristiwa
tenggelam. Berdasarkan pengertian tersebut, maka peristiwa tenggelam tidak
hanya terjadi di laut atau sungai tetapi juga dapat terjadi di dalam watafel
atau ember berisi air (Jong, 2005)
3. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang otopsi
Otopsi berasal dari bahasa Yunani. Auto → sendiri, opsis → melihat. Otopsi
merupakan pemeriksaan terhadap tubuh jenazah menyeluruh, pemeriksaan
terhadap bagian luar dan dalam serta pemeriksaan tambahan lainnya. Otopsi
bertujuan untuk menemukan adanya cedera atau proses penyakit yang menjadi
sebab kematian.
Macam-macam otopsi :
1) Otopsi Anatomis

16
Untuk keperluan pendidikan mahasiswa
2) Otopsi Forensik
Untuk kepentingan peradilan
3) Otopsi Klinik
Untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisakesesuain ant
ar diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, pathogenesis penyakit dan seb
againya.
Dasar Hukum Otopsi
4) Otopsi klinis → Pasal 119 UU No 36/ 2009 Tentang Kesehatan
5) Otopsi anatomis → Pasal 120 UU No 36/ 2009 Tentang Kesehatan
6) Otopsi forensik/ medikolegal → Pasal 122 UU No 36/2009 Tentang
Kesehatan, Pasal 133 dan 134 KUHAP, Pasal 222 KUHP (Hoediyanto,
2010).

17
BAB VIII

PENUTUP

1. Kesimpulan
Dalam skenario 2 ini dibahas mengenai seorang laki laki yang ditemukan
meninggal secara tidak wajar di kamar apartemennya. Atas permintaan penyidik
maka dilakukan proses otopsi. Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat
meliputi pemeriksaan bagian luar maupun bagian dalam dengan tujuan untuk
menemukan proses penyakit atau adanya cedera, intrepretasi atas penemuan serta
mencari hubungan sebab akibat antara kelainan kelainan yang ditemukan dengan
penyebab kematian.

Berdasarkan fakta fakta yang didapatkan dari pemeriksaan atas jenazah


tersebut maka dapat diketahui bahwa jenazah adalah seorang laki laki berusia
empat puluh dua tahun.Pada pemeriksaan luar dan dalam didapatkan jejas gantung
di leher, resapan darah di kulit leher bagian dalam dan tanda tanda mati lemas.
Sebab kematian adalah mati lemas akibat gantung.

2. Saran
Dalam tutorial skenario 2 ini, pelaksanaan diskusi kelompok sudah cukup
baik. Namun masih terdapat beberapa anggota kelompok yang belum
menyampaikan pendapat dengan baik dan belum disertai referensi yang jelas.
Ketua diskusi sebaiknya dapat mengatur jalannya diskusi agar diskusi bisa berjalan
lancar. Selain itu, ketua juga harus bisa menyimpulkan setiap pendapat yang
diajukan oleh anggota lain Diharapkan untuk tutorial-tutorial selanjutnya para
mahasiswa dapat lebih meningkatkan kualitas diskusi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abraham. 2012. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.

Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S., 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dahlan, Sofwan. 2007. Ilmu Kedokteran Forensik. Pedoman Bagi Dokter dan
Penegak Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

De Jong, Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Dix Jay. 2000. Color Atlas of Forensic Pathology. Asphyxia (Suffocation) and
Drowning. USA: LLC

Hoediyanto, H. A., 2010. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Idries, A.,M., 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: PT. Binarupa
Aksara.

Leonardo. 2008. Asfiksia Forensik. Cited May 9th.

Pradhan A, Mandal BK, Tripathi CB. 2012. Nature of Ligature Material Applied and
Type of Hanging According to Point of Suspension. Nepal Med Coll J.
14(2):103-106.

Saukko P, Knight B. 2004. Knight’s Forensic Pathology.Great Britain: Edward


Arnold Ltd.

19
20

Anda mungkin juga menyukai