Anda di halaman 1dari 8

*Syatahat Sufiyah:

Ada Apa Dengan Cinta Kaum Sufi ?


**Oleh : M.Mukhlisin Abdul Chalim

Pendahuluan
Sebelum kita membahas masalah syubuhat tasawuf alangkah baiknya kita mengenal
apa itu tasawuf. Karena pengenalan terhadap subyek yang kita bahas adalah sangat
menentukan hasil dari pembahasan. Oleh karena itu penulis mulai tulisan ini dengan
pengenalan terhadap tasawuf.

Tasawuf secara umum adalah kecenderungan spiritual yang alami dan ada pada diri
manusia sejak zaman dulu, yang dasarnya adalah zuhud fi el-dunia dan puncaknya adalah
el-wushul bi el-mala`il a`la. Di lihat secara umum tasawuf tidak hanya ada pada agama
islam tapi yahudi dan nasrani juga punya tasawuf, yang tentunya istilah mereka berbeda
dengan istilah yang kita pakai.1

Tasawuf secara lughawi atau etimologi, para ulama` berbeda pendapat tentang hal
itu. Ada yang berpendapat dari shuf (bulu), ada yang bilang dari shafa (jernih, bersih),
sebagian lagi berpendapat tasawuf berasal dari kata el-shaf (barisan), dan banyak lagi
pendapat lainnya. Untuk masalah ta`rif tasawuf secara lughawi saya cendrung mengambil
pendapat dari Abdul Karim bin Muhammad el-Qusyairi (376 H – 465 H) seorang tokoh
sufi yang terkenal dengan karyanya ar-risalah, kata beliau bahwa kalimat tasawuf tidak
memerlukan pembahasan lebih dalam, karena sudah menjadi seperti ilmu. Dan yang jelas
bahwa tasawuf itu adalah sebuah nama.2

Sedangkan ta`rif tasawuf secara terminologi sampai sekarang belum ada istilah
yang bisa mengidentifikasi tasawuf secara menyeluruh (jami` mani`), karena memang hal
itu sangat sulit. Karena maudhu`nya (tema pembicaraannya) adalah Dzat Allah swt. Yang
Maha Ghaib. Sedangkan kata-kata tidak akan dapat memuat atau melukiskan-Nya.

Namun demikian bukan berarti tidak ada definisi taswuf secara terminologi, justru
karena sulitnya itu banyak sekali definisi tasawuf yang keluar dari para pemerhati
tasawuf. Di sini saya ungkapkan beberapa contoh:
- Abu muhammad al-jaziry berpendapat tasawuf adalah melaksanakan
akhlaq yang baik dan meninggalkan akhlaq yang buruk.
- Menurut Muhammad Zaki Ibrahim, tasawuf adalah taqwa.3
- Menurut Abu bakar al-Katani tasawuf adalah akhlaq. Barang siapa
bertambah baik akhlaqnya maka bertambah jernih dan bersih hatinya.4
- Junaid bin muhammad ,” kebersamaanmu dengan Allah tanpa
persengketaan.
Kalau kita merujuk pada sosiolog muslim Ibnu Kholdun, beliau menyatakan secara
definitif bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu syar'i kontemporer dalam agama yang asal-
usulnya dari para sahabat, tabi`in dan para ulama` setelahnya. Sedang menurut DR.
Taftazani ilmu tasawuf adalah ilmu syar'i yang awal pembentukan konsepnya bersumber
kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

1
Fauzi Hajjaj M, Tasawuf Islam dan Akhlaq hal 7
2
Abdul Halim Mahmud, Qadhiyah tasawwuf munqidz mina dholal hal 31 atau lihat Risalah al-Qusyairiah
hal 385
3
abjadiyah al-tasawuf al-islami Zaki Ibrahim hal 13
4
Mahmud H A, Qadhiyah tasawwuf Madrasah Syadziliyah hal 425
Tasawuf adalah tata krama kesopanan yang tinggi lagi sempurna. Ilmu yang tidak
memendam keraguan, bahkan menjadi cahaya petunjuk, taat dan iman.

Masih banyak lagi definisi tasawuf yang tidak tercantum di sini. Dan dari banyak
definisi yang ada bisa disimpulkan bahwa keseluruhannya itu dikembalikan kepada satu
dasar yaitu keseriusan dalam menghadap kepada Allah swt (shidqu at-tawajjuh illa Allah
Ta`la) kata Imam Ibnu `Ajibah salah satu pensyarah Hikam li Ibnu `Atha`ilah as-
Sakandari (iqadhul himam). Dan banyaknya definisi itu di sebabkan karena perbedaan
maqamat dan ahwal serta tajribah masing-masing mutasawwif.

Diantara ribuan ta`rif tasawuf yang ada, penulis lebih condong kepada madzhab
yang dibangun oleh Rabi`ah al-Adawiyah5, yang terkenal dengan ajaran mahabbah
Ilahiyah, sebagai ganti dari ajaran khouf dari hasan basri (21-110 H). Jadi tasawuf
menurut penulis adalah seni beribadah dan menjalani hidup ini dengan cinta dan mesra
kepada Yang Mahaindah.

Dan yang jelas kesimpulannya adalah bahwa Tasawuf adalah dunia sempurna. Di
dalamnya terdapat ilmu, akhlak, pengetahuan, filsafat, fiqh, usul, kisah-kisah serta segala
macam yang diperlukan pada pendalaman ilmu, budi pekerti, kabahagiaan, kelezatan,
ketentraman, kebahagiaan yang harum. Darinya mengalir cinta dan sukacita.

Sejarah tasawuf
Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari prinsip-prinsip Islam sejak
awal. Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk hidup
bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama dalam
kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah
kedisiplinan beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk mendapatkan ridla-
Nya), dan upaya membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi,
sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawi lainnya.
Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan
pertama. Pada angkatan berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya.

Adapun tokoh yang pertama kali menyebarkan tasawuf islam, menurut pendapat
yang mu`tabar adalah Abu Yazid al-Busthami (w.261H./ 875 M) seorang Sufi besar yang
terkenal dengan madzhab fana` dan wahdatul wujud6 dan populer dengan syathahatnya
(celoteh / latah) “Mahasuci daku, alangkah agungnya perihalku”, yang kemudian di
teruskan oleh muridnya al-Junaid.

Tetapi banyak dari kalangan kaum orientalis yang berasumsi bahwa tasawuf adalah
ajaran yang di adopsi dari unsur-unsur agama lain (yahudi, nasrani atau pun hindu
budha). Dan ada juga yang berasumsi bahwa tasawuf islam bersumber dari Ajaran Persi
kuno, sebagai contoh, misalnya Duzy seorang oreintalis Belanda mengklaim bahwa
tasawuf Islam berasal dari Persi kuno jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Pada
saat itu di Persi berkembang pemikiran adanya segala sesuatu yang bertolak dari Tuhan
dan semuanya juga akan kembali kepada Tuhan dan juga sebenarnya dunia ini tidakada
secara dzatiyah, yang ada hanyalah Tuhan. Pemikiran-pemikiran inilah yang menurut
Dozy telah diadopsi oleh tasawuf Islam. Dan penemuan Duzy tentang pemikiran persi
kuno itu memang ada persamaan dengan ajaran tasawuf “wihdatul wujud” yang di
bangun oleh Abu Yazid al-Bushtami.

5
Salah seorang Penyair Sufi perempuan dari Basrah, Iraq.( W 135 H)
6
Kamus Munjid hal 22
Sebenarnya berasal dari manakah tasawuf islam itu? Mari kita teliti melalui
pendekatan islami untuk menolak asumsi utopian yang di lancarkan oleh kebanyakan
orientalis. Dalam bukunya “al-Tasawuf al-Islami”, Dr.M. Abdullah asy-Syarqawi telah
memberikan beberapa poin pendekatan untuk menguji keaslian tasawuf islam sebagai
produk risalah islamiah. Pendekatan itu antara lain, adalah spesialisasi tasawuf sebagai
etika dan moral dalam Islam. Pembatasan ini juga telah di dukung oleh Abu Bakar al-
Kattani dengan stetmennya, "Tasawuf Islam adalah etika. Jika etikamu bertambah
(bagus), maka bertambahlah kebersihan jiwamu." Seiring dengan zaman yang selalu
bergulir, para sufi telah merumuskan etika agama ini menjadi suatu disiplin ilmu yang
berdiri sendiri yaitu tasawuf.7

Dari pendekatan tersebut bisa di simpulkan bahwa tasawuf islam adalah warisan
Nabi Muhammad saw dalam rangka memberikan petunjuk. Sebagaimana sabdanya :
“Yang paling sempurna keimanan orang-orang mu'min adalah yang paling bagus etika
mereka”. (al-hadis). Jadi kalau menilik sejarah kita akan menemukan bahwa tasawuf
memang belum muncul pada zaman Rasulullah saw. walaupun demikian, tetapi secara
tidak langsung beliau telah menanamkan benih-benih ajaran tasawuf.

Dalam buku filsafat Islam, Edward Ross mengatakan,"Munculya kelompok sufi


yang menyebar di dalam Islam, adalah karena adanya pemahaman hubungan rindu yang
kuat dengan Tuhan yang Pengasih dan Penyayang, yang mengalirkan cinta."

Sangat tepat apa yang di katakan oleh Edward Ross. Karena tasawuf merupakan
media yang mengajarkan kepada manusia tentang cinta, menunjukkan hati akan adanya
rindu, serta setia kepada Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Adalah suatu yang
ganjil apabila melupakan budaya tasawuf yang nyata-nyata mempersembahkan nilai
positif yang tinggi. Tasawuf merupakan pengisi sisi kosong kalbu muslim, mengajarkan
cinta, membentangkan kemurnian, dan melarutkan kesucian dalam kehidupan.

Perkembangan sejarah tasawuf memang demikian, dari awal munculnya sampai


sekarang. Bahkan maraknya aktivitas yang bernuansa ketasawufan di kota-kota besar di
Indonesia juga masih sama. Penyebabnya adalah kejenuhan masyarakat terhadap gebyar
kehidupan yang serba gelamor, jenuh pada ibadah-ibadah yang hanya mengejar legalisme
dan formalisme, ketidak inginan mereka hidup dalam kehampaan spiritual, kehilangan
visi keilahian, dan kerusakan moralitas. Di samping itu juga karena Tidak puas akan
kenikmatan yang temporer dan palsu, maka mereka mencari kebahagiaan hakiki,
kenikmatan dan keindahan yang mutlak bersama Tuhan. Bertolak dari kondisi semacam
itu, masyarakat mencoba mencari hakikat kebenaran, menghayati agama melalui tasawuf,
kata Dr. Amin Syukur, dosen tasawuf di IAIN Wali Songo Semarang yang juga Direktur
Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (Lembkota).

Syatahat Shufiyah8
Seorang Sufi pada hakekatnya adalah seorang penyair dalam arti luas, seorang
seniman. Maka dikatakan setiap sufi pasti seorang penyair, meskipun tidak disebut
sebaliknya. Seorang jatuh cinta dan terpikat oleh keindahan Yang Mahaindah. Sebab itu,
apresiasi seorang Sufi terhadap keindahan dan getaran-getaran keruhanian lainnya begitu
tajam dan peka. Ia tidak hanya seorang yang cerdas, melainkan juga intuisi dan kalbunya
7
lihat: http://www.iiman.co.id/artikeldetail.cfm?ArtikelID=133
8
Ucapan/celoteh seorang Sufi yang mengalir dari rasa sukacitanya dan di tandai dengan pengakuan.
Namun dia tetap dalam keadaan sadar (terjaga).Dr.anwar fuadabi hazm. Mu`jam al-musthalahat as-
Shufiyah. Hal 104
selalu sigap serta awas. Dan akhlaqnya pun akhlaq yang mulia dan tinggi, karena ia selalu
berusaha meniru akhlak Rasulullah saw.

Di sini penulis kutipkan kata-kata teofani dari al-Hallaj9 yang banyak disalah
mengerti oleh sebagian orang. Ungkapkan itu di tulis dalam bentuk puisi.
Aku adalah Engkau, tanpa ragu
Mahasuci Dikau, mahasuci daku
Tauhid-Mu adalah tauhidku
Memaksiati-Mu adalah memaksiatiku
Membuat marah-Mu adalah membuat marahku
Dan ampunan-Mu adalah ampunanku

Manunggaling kawula gusti? Sama sekali bukan! Sebagaimana ucapannya, “Akulah


al-Haq,” yang tak lain karena kedekatan dan cinta yang begitu dalam kepada Allah,
begitu pulalah sajak-sajak tersebut di atas. Dan al-Hallaj sendiri secara tegas menolak
pendapat orang yang mengatakan, bahwa makhluk bisa menyatu dengan Khalik. Katanya
tegas, “siapa mengira bahwa ketuhanan dapat menyatu dengan kemanusiaan,atau
kemanusiaan bisa menyatu dengan ketuhanan, maka ia telah kafir. Sesungguhnya Allah
bersendiri dalam Dzat dan sifat-sifat-Nya. Maka tak ada kesamaan dalam bentuk apapun
serta kesamaan dengan sesuatu pun. Bagaimana bisa di bayangkan persamaan antara
yang qadim dengan yang baru? Siapa yang berpendapat bahwa Sang Pencipta ada di
suatu tempat, di atas suatu tempat, berhubungan dengan suatu tempat, terbayang pada
kata ganti, terkhayalkan dalam ilusi, atau masuk dalam gambaran dan sifat, maka
sungguh ia telah menyekutukan-Nya.”10

Simaklah sajak berikut ini yang menyatakan betapa dahsyatnya goncangan cinta dan
rindu, sampai-sampai melenyapkan serta memupuskan kesadaran dirinya dan lupa akan
namanya. Inilah yang barangkali sering disebut oleh al-Ghozali sebagai sukr atau mabuk,
atau keadaan trance.
Cinta telah mencap kalbuku
Dengan gambat dan cap rindu
Dan pupuslah diriku
penyaksian akan diriku
dari dekat
sampai aku lupa namaku
Dan katanya lagi:
Kuleburkan ruh-Mu dengan ruhku
Seperti leburnya khamr dalam air murni
Apabila sesuatu menyentuh-Mu
Ia pun menyentukku
Maka tiba-tiba Engkaulah aku
Dalam setiap kondisi dan situasi
itulah keadaan fana yang kadang-kadang menimpa seorang Sufi. Keadaan dimana
seseorang hidup di alam yang penuh keindahan, kebaikan dan kebenaran mutlak, alam di
mana tirai-tirai rahasia jadi tersingkap dan hakikat tampil dalam sosoknya di hadapan
mata kalbu.

9
Al-Hallaj atau Husayn ibn Manshur (244-309/957-922) adalah seorang
sufi Persia yang dilahirkan di Thus yang dituduh musyrik oleh
khalifah dan oleh pakar-pakar Abbasiyyah di Baghdad dan karenanya ia
dihukum mati..lihat munjid hal 223.
10
Said Abdul Fattah, Akhbar al-Hallaj hal 14
Kita simak sekarang bagaimana al-Hallaj menggambarkan ragam pengalamannya dan
tahap-tahap perjalanan ruhaninya dalam mendekatkan diri dan mencintai Allah.
Diam, sunyi, kemudian sepi
Tahu, temu, kemudian tunggu
Tanah, api, kemudian cahaya
Kelu, naung, kemudian mentari
Susah, gampang, kemudian gersang
Sungai, segara, kemudian samudera
Mabuk, jaga, kemudian mesra
Genggam, rentang, kemudian hilang
Pisah, temu, kemudian padu
Ambil, kembali, kemudian sentakan
Bayang, singkap, kemudian senyawakan

Betapa beragam hubungan al-Hallaj dengan Tuhannya. Kadang-kadang dari diam,


jadi sunyi, kemudian sepi. Kadang dari tanah, jadi api, kemudian cahaya. Dari kelu, jadi
naung, kemudian mentari. Dari sungai, jadi segara, kemudian samudera. Dari dekat, jadi
jauh, kemudian mesra. Dari pisah, jadi temu, kemudian padu. Itulah ragam situasi
keruhaniannya. Itulah yang memberinya kekuatan, kenikmatan dan kemesraan dalam
hidupnya.

Sekali lagi ini bukan ittihad (persatuan) atau al-hulul (persenyawaan)antara makhluk
dengan Khalik. Yang terjadi hanyalah seolah-olah terwujud ittihad atau al-hulul itu,
padahal sebenarnya tidak. Perasaan dan penghayatan yang begitu dalam dan kental telah
membuat hal tersebut seolah-olah terjadi.

Memang banyak para fuqoha yang menyatakan, bahwa al-Hallaj telah zindiq atau
kafir di karenakan ucapan-ucapannya dan sajak-sajaknya itu. Namun, berhadapan dengan
karya sastra-apalagi sastra Sufi-orang tidak boleh hanya mengartikanya secara harfiyah
saja, tanpa menyelami lebih dalam lagi. Di perlukan ketajaman persepsi dan kepekaan
apresiasi untuk bisa menghayatinya, selain pemahaman latar belakang hidup seorang
penyair Sufi. Pendekatan formal dan tekstual saja akan selalu gagal untuk menangkap
makna yang sebenarnya. Dan itulah yang biasanya dilakukan oleh sementara fuqoha
tersebut. Di samping itu sastra Sufi memang sarat dengan simbol-simbol dan isyarat-
isyarat yang tidak mudah untuk dipahami, sebagaimana di lakukan oleh Imam Ibnu
`Arabi 11dalam syair-syairnya.
Penulis ambil contoh dari syairnya, sebagai berikut :
Demi Yang punya kebanggaan
kebesaran dan keperkasaan
Tak ada di alam semesta ini
kecuali Allah, Yang wajib al-wujud
Yang Mahasatu dengan dzat-Nya
dan dengan hukum-hukum-Nya
itulah yang kemudian disimpulkan oleh pengmat sebagi wahdat al-wujud (satunya
wujud), pertamakali oleh musuh bebuyutannya, yaitu Ibnu Taimiyah dalam Majmuat ar-
Rasa`il wal-Masa`il (Kumulan Risalah-risalah dan Masalah-masalah).

11
Muhammad ibnu Ali ibnu Muhammad Muhyiddin ibnu ‘Arabi ath-Tha’i al-Haitimi, lahir di
di Murcia, Spanyol Tenggara, 17 Ramadhan 560 H/1164 M wafat di damaskus 28 Rabi`ul
Akhir 634 H./1240 M dalam usia 78 tahun. Beliau hidup sezaman dengan para Sufi besar
lainnya seperti Suhrawardi, Najmuddin ar-Razi, Muslihuddin Sa`adi, Abu al-Hasan al-
Maghribi asy-Syadzili, Jalaluddin ar-Rumi dan Ibnu Faridh.
Apakah wahdat al-wujud sebenarnya?12 Menurut Ibnu `Arabi, wahdat al-wujud
bukanlah wahdah madiah (satunya materi), bukan satunya makhluk dengan Sang Khaliq,
hingga mengorbankan adanya Dzat Tuhan. Yang dimaksud adalah bahwa wujud yang
sesungguhnya, wujud yang hakiki, hanyalah Wujud Allah semata, sedangkan wujud
salain-Nya atau wujud makhluk tak lain hanyalah wujud relatif yang sepenuhnya
bergantung pada wujud yang hakiki tadi.

Sulit memang memahami bahasa penyair Sufi ahli ma`rifat, karena mereka berusaha
mengungkapkan pengalaman spiritual dalam bentuk kata-kata. Dan dalam hal ini kata-
kata tidak mampu membahasakan atau mengungkapkan pengalaman spiritual mereka.
Dan memang benar apa yang dikatakan oleh An-Naffiri13,
“Tiap kali meluas penglihatan
Tiap kali menyempit ungkapan”
Begitulah, tiap kali bertambah luas penglihatan dan pengalaman, jadi bertambah
sempitlah ugkapan. Tiap kali bertambah luas dan dalam pengetahan serta ma`rifat, jadi
bertambah gagaplah kata-kata dan ucapan. Saat itu kita akan hanya banyak diam, tertegun
dan terpesona oleh keindahan serta kebesaran Sang Hakikat. Kita seperti telah begitu
terpengaruh, mulut kita seolah-olah tiba-tiba jadi kaku dan tak mampu mengeluarkan
kata-kata. Kita seolah-olah telah jadi bisu. Lidah serasa begitu kelu. Kalaupun masih bisa
mengeluarkan kata-kata, mungkin hanya terbata-bata. Atau, paling hanya dengan bahasa-
bahasa serupa isyarat yang penuh dengan lambang-lambang dan simbol-simbol.
Barangkali itulah perwujudan lirik dan puisi. Dan selebihnya adalah bisu. Namun,
bukankah diam dan kebisuan sebenarnya juga kata-kata, meskipun dalam bentuk yang
berbeda?.

Penutup
Sebenarnya tuduhan-tuduhan kepada kaum Sufi tentang hulul, ittihad dan sejenisnya
itu adalah tidak tepat. Karena seperti penulis utarakan di atas bahwa kaum Sufi adalah
kaum pecinta Allah swt. Hidup mereka di dasari dengan cinta yang berarti juga ibadah
mereka berdasarkan cinta.

Dan menurut as-Sarry as-Saqathi: “Cinta tidak membenarkan keadaan dua pihak,
hingga salah satunya berseru kepada yang lain, ‘Hai aku!’ 14. Dan menurut al-Bakri, Cinta
menjadikan sang pecinta lebur dalam Yang ia cintai, hingga memberikan ilusi bahwa
telah terjadi persatuan (ittihad) antara hamba dengan Tuhan-Nya. Yang demikian itu
sebenarnya keliru, karena “mestinya hal itu antara dua unsur, sedang maqam al-jam`u
(penggabungan) tidak demikian, sebab yang disaksikan hanyalah Dia, tanpa satu makhluk
pun. Namun manakala karena maqam al-jam`u di katakan seperti demikian, maka
diungkapkanlah dengan ittihad. Sebenarnya tidak ada ittihad, juga hulul (persenyawaan),
ittishal (penghubungan) dan infishal (keterputusan), meskipun kata-kata sebagian Sufi
mengilusikan seperti itu. Tak lain hal tersebut karena begitu sempitnya ibarat (ungkapan),
sementara tasawuf adalah ilmu isyarat.15

Jadi untuk memahami syatahat sufiah kita tidak boleh mengartikannya secara
harfiyah karena itu bisa menyesatkan pemahaman kita. Sebagaimana di lakukan oleh
12
Untuk lebih jelasnya lihat buku ibnu faridh wal hub al-Ilahi karya Dr. Muhammad Musthafa Hilmi hal
307. dar el-ma`arif
13
Muhammad ibnu Abd al-Jabbar an-Niffari, penyair Sufi yang menyendiri, lahir di daerah Basrah,
iraq (w. 354 H.) terkenal dengan karyanya al-mawaqif wal mukhathabat.
14
Sulaiman Sami Mahmud. Al-hub al-illahi hal 211
15
Muhammad fudhali zaini, Sepintas sastra sufi. Atau lihat bukunya sulaiman Sami mahmud hal 173
fuqaha agung Imam Ibnu taimiyah yang salah memahami kata-kata teofani yang keluar
dari kaum Sufi, sampai akhirnya beliau bertemu dengan al-Arif billah Ibnu `Atha`illah
as-Sakandari di masjid azhar, kemudian mengakui kebenaran aqidah kaum Sufi.
Sebagai penutup makalah sederhana ini, penulis mengambil sebuah cerita sebagai
bahan renungan / kontemplasi kita bersama.

Dahulu zaman Nabi Musa, hidup seorang pengembala yang bersemangat bebas. Ia
tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah
hati yang lembut penuh keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan.
Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan
jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, “Duhai Pangeran tercinta, di manakah
Engkau, supaya aku bisa persembahkan seluruh hidupku pada-Mu? Di manakah
Engkau, supaya aku bisa menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku
hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku
ke hadapan kemuliaan-Mu.”
Suatu hari, Nabi Musa as melewati padang gembalaan tersebut dalam perjalanannya
menuju kota. Ia memperhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya
dengan kepala yang mendongak ke langit.. Sang gembala menyapa” Tuhan, “Ah, di
manakah Engkau, supaya aku bisa menjahit baju-Mu, memperbaiki sepatu-Mu, dan
mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku bisa menyisir rambut-Mu
dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku bisa mengilapkan sepatu-Mu
dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?” Nabi Musa mendekati gembala itu dan
bertanya, “Dengan siapa kamu berbicara?” Gembala menjawab, “Dengan Dia yang
telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan
malam, bumi dan langit.”
Musa murka mendengar jawaban gembala itu, “Betapa beraninya kamu bicara
kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus
menyumpal mulutmu dengan kapas supaya kamu bisa mengendalikan lidahmu. Atau
paling tidak orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan
kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti
itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini
akibat dosa-dosamu! Sang gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang
mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia bergetar ketakutan. Dengan air mata yang
mengalir membasahi pipinya, ia mendengarkan Musa yang terus berkata, “Apakah kau
kira Tuhan adalah seorang manusia biasa, sehingga Ia harus memakai sepatu dan kaus
kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil, yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh
besar? Tentu saja tidak. Tuhan Mahasempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak
memerlukan siapa pun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau
lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tapi kau juga merendahkan
seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan
minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!” “Sejak ini –kata penggembala-
aku berjanji akan mengatupkan mulutku untukselamanya.” Lantas ia berangkat
meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.
Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Nabi Musa
as melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba Allah Yang Mahakuasa
menegurnya, “Mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang
setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintainya? Kami telah mengutus
engkau supaya engkau bisa menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan
memisahkan ikatan di antaranya.” Musa mendengarkan kata-kata langit itu dengan
penuh kerendahan dan rasa takut. Tuhan berfirman, “Kami tidak menciptakan dunia
supaya Kami memperoleh keuntungan daripadanya. Seluruh makhluk di ciptakan untuk
kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak membutuhkan pujian atau sanjungan. Kami
tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang
mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah bahwa di dalam
cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak
memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan
adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami
mengetahui ketulusan makhluk Kami, walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang
indah. Buat mereka yang dibakar dengan cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.”
Tuhan kemudian mengajarkan Musa rahasia cinta.
Setelah Musa memperoleh pelajaran itu, ia mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun
merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari
gembala itu untuk meminta maaf. Setelah berhari-hari maka ketemulah ia dengan
gembala itu. Nabi Musa berkata, “Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah
berfirman kepadaku, bahwa tidak diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin
berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apa pun yang
kamu sukai, dengan kata-kata apa pun yang kamu pilih. Karena apa yang aku duga
sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang
menyelamatkan dunia.” Sang gembala hanya menjawab sederhana, “Aku sudah
melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya.
Aku tak dapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak bisa melukiskan
pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku.” Kemudian ia bangkit dan meninggalkan
Musa16.

Marilah kita isi hidup ini dengan cinta, karena tanpa cinta hidup terasa hampa tiada
guna. Dan akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi saya sendiri khususnya dan
bagi teman-teman pada umumnya. AMIN

* Dipresentasikan dalam diskusi mingguan Rabbani di sekretariat PCNU Mesir 18


juli 2002, sebagai pembanding
** Mahasiswa fakultas Ushuludin tingkat I Universitas al-Azhar
 wisma nusantara, Wahran st. Rabi`ah al-adawiyah Nasr City Cairo

16
Ceramah KH. Jalaluddin Rakhmat dalam acara Percik Cahaya Ilahi, di Radio Ramako, Jakarta, pada
tanggal 7 November 1997. Ditranskripsi oleh Ilman Fauzi Rakhmat.

Anda mungkin juga menyukai