Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada masa remaja, hubungan sosial mengambil peran yang penting,
khususnya dalam masyarakat modern yang mengalami perubahan yang
memunculkan banyak masalah. Mereka mulai memperluas pergaulan sosial dengan
teman-teman sebayanya. Menurut Santrock (2003:219), teman sebaya adalah
seseorang dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Salah satu
fungsi utama dari kelompok teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai
informasi mengenai dunia di luar keluarga. Dari kelompok teman sebaya inilah,
remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka.
Usaha adaptasi atau penyesuaian diri untuk remaja yang menjadi bagian
masyarakat modern yang sangat kompleks menjadi tidak mudah. Kesulitan dalam
beradaptasi menyebabkan banyak kebimbangan, kebingungan, kecemasan, dan
konflik. Baik konflik internal seperti pengambilan keputusan tentang cita-cita
maupun konflik eksternal seperti konflik dengan teman atau keluarga.
Interaksi sosial merupakan hubungan antara seorang individu dengan
individu lain, karena adanya sebuah kepentingan yang dimiliki seorang individu
untuk bisa memenuhi kebutuhan tanpa adanya pertolongan dari individu lain.
Sejalan dengan pendapat Gerungan (2004:62) Pada dasarnya, pribadi manusia tidak
sanggup hidup seorang diri tanpa lingkungan psikis atau rohaniyahnya walaupun
secara biologis-fisiologis ia mungkin dapat mempertahankan dirinya pada tingkat
kehidupan vegetatif. Di sisi lain manusia juga sebagai individu yang unik, yang
artinya setiap manusia memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Sehingga dalam
hubungan sosial antar manusia memungkinkan timbulnya perbedaan individu
manusia yang satu dengan yang lain dan bahkan memicu konflik, khususnya
konflik interpersonal.
Keadaan manusia sebagai individu yang unik, serta memiliki kepribadian
yang berbeda dengan individu lain, membuat antar individu rentan terhadap
timbulnya permasalahan sosial. Permasalahan tersebut umumnya terjadi pada
individu saat usia remaja. Menurut Sarwono (2012:81) dalam perkembangan
manusia sendiri, tahap remaja merupakan masa tahapan yang dikenal sebagai masa
tahapan yang penuh dengan permasalahan yang muncul. Bukan saja permasalahan

1
2

bagi individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi orang tuanya, guru, serta
masyarakat.
Hal tersebut disebabkan karena masa remaja merupakan masa transisi antara
masa kanak-kanak dan masa dewasa. Oleh sebab itu proses peralihan
perkembangan yang membuat remaja rentan dengan konflik perbedaan pendapat,
perbedaan persepsi, perbedaan tujuan. Seperti pendapat ahli psikologi Shants dan
Hartup (1995:7) yang berpendapat bahwa masa remaja sangat rentan terhadap
munculnya konflik, oleh karena itu remaja harus memiliki kemampuan dalam
mengatasi konflik interpersonal. Konflik tidak pernah lepas dari kehidupan yang
dinamis dan terus mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan
manusia merupakan sumber munculnya sebuah konflik interpersonal.
Menurut Miller (2012:12) konflik interpersonal merupakan hal tidak
terhindarkan dalam hubungan sosial. Konflik terjadi saat motif, tujuan,
kepercayaan, pendapat, atau perilaku seseorang sebenarnya menghambat atau
menghalangi orang lain. Konflik tidak bisa dihindari karena dua alasan. Pertama,
suasana hati dan preferensi dua orang kadang berbeda. Kedua, konflik tidak dapat
dihindari karena ada ketegangan tertentu yang cepat atau lambat, selalu
menyebabkan beberapa ketegangan yang lebih besar (Miller, 2012:14).
Konflik interpersonal yang terjadi pada remaja umumnya adalah adanya
perbedaan pendapat, tujuan, kebutuhan, keinginan, dan harapan diri yang terjadi
antara remaja satu dengan yang lain. Apabila konflik ini terjadi pada individu yang
masih remaja, maka akan banyak dijumpai disekolah. Seperti mengikuti pelajaran
dikelas terdapat siswa yang berbeda pendapat dengan temannya, perbedaan tujuan
antar siswa yang mengikuti OSIS atau kegiatan ekstrakurikuler, dan perbedaan
kebutuhan dan keinginan dalam hal suka terhadap lawan jenis yang sama. Hal
tersebut dapat menjadi sebab munculnya konflik interpersonal pada siswa. seperti
diungkapkan oleh Hurlock (1980:212-213) bahwa tingginya emosi remaja
dikarenakan mereka berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondidi baru,
sedangkan selama masa kanak-kanak dia kurang mempersiapkan diri untuk
menghadapi keadaan tersebut. Artinya bahwa penyebab yang menggerakkan
timbulnya konflik interpersonal adalah bisa disebabkan sesuatu yang tidak
menyenangkan seperti: kemarahan, kejengkelan, perasaan terluka hatinya, dsb.
Menurut Rahyuwinata (2009) Konflik Interpersonal bisa saja berkembang
apabila terus dibiarkan. Pada tahap pertama, konflik Interpersonal yang terjadi
3

dapat diabaikan dan siswa yang mengalami konflik Interpersonal dapat melakukan
kegiatan tanpa merasa terganggu. Pada tahap kedua, konflik Interpersonal dirasakan
mengganggu dan diungkap secara verbal. Pada tahap ketiga, konflik interpersonal
sudah sangat mengganggu dan tidak lagi disuarakan secara verbal tetapi melalui
tindakan fisik seperti menampar, memukul, dan tindak kekerasan lainnya.
Konflik interpersonal mengandung dampak positif dan juga negatif.
Dampak positif dari konflik adalah menumbuhkan dorongan yang kuat untuk
menyelidiki suatu masalah dan berbuat yang mengarah pada penyelesaian masalah
tersebut. Sedangkan dampak negatifnya adalah dapat meningkatkan anggapan
negatif pada pihak lain dan hal ini dapat menciptakan masalah yang serius. Salah
satu masalah adalah kebanyakan konflik melibatkan suatu metode penanganan yang
tidak baik dan fokusnya sebagian besar untuk menyakiti yang lainnya (Dayakisni &
Hudaniah, 2009: 162).
Salah satu masalah adalah kebanyakan konflik melibatkan suatu metode
penanganan yang tidak baik dan fokusnya sebagian besar untuk menyakiti yang
lainnya, misalnya penggunaan kekerasan. Seperti yang diungkapkan Latipun
(2006:77) Penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik telah lama terjadi
dalam masyarakat Indonesia. Dan menurut Wirawan (2010:32) Konflik seperti ini
tidak hanya terjadi pada masyarakat awam, kalangan pelajar juga banyak berkonflik
dengan disertai tindakan agresif. Padahal pengelolaan konflik yang tepat dan benar
dapat diketahui melalui beberapa kemampuan antara lain kemampuan membuat
perencanaan analisis konflik, kemampuan mengevaluasi konflik, dan kemampuan
memilih strategi mengatasi konflik. Karena itu kemampuan mengatasi konflik
interpersonal sangatlah penting dan harus dimiliki oleh siswa. Dikarenakan
kemampuan seseroang akan turut serta menentukan sebuah perilaku dan
keputusannya.
Kemampuan sendiri menurut Robbins (2003:52) adalah suatu kapasitas
individu untuk melaksanakan tugas dalam pekerjaan terrtentu. Seluruh kemampuan
seorang individu pada hakekatnya tersusun dari dua perangkat factor yaitu
kemampuan intelektual dan kemampuan phisik. Sedangkan Sudjana (2009:12)
kemampuan adalah sifat yang dibawa lahir atau dipelajari yang memungkinkan
seseorang yang dapat menyelesaikan pekerjaannya, baik secara mental ataupun
fisik.
4

Individu yang memiliki kemauan untuk mengatasi konflik yang


dihadapinya, meskipun dimotivasi dengan baik tetapi jika tidak memiliki
kemampuan dalam mengatasi konflik maka hasil atau upaya yang dilakukan
tidaklah maksimal. Kemampuan dan keterampilan memainkan peranan utama
dalam perilaku dan kinerja individu. Karena kemampuan mengatasi konflik
interpersonal adalah kecakapan yang berhubungan dengan tugas yang dimiliki dan
dipergunakan oleh seseorang pada waktu yang tepat, yakni pada saat menghadapi
bahkan menyelesaikan konflik interpersonal yang terjadi.
Namun kenyataannya, masih banyak ditemui fenomena yang menunjukkan
rendahnya kemampuan mengatasi konflik interpersonal. Seperti banyaknya kasus
tentang konflik antar individu. Hasil survey dinas pendidikan Jawa Timur
(Metropolis, Jawa Pos, Edisi: Selasa, 15 November 2016) menunjukkan prevalensi
remaja yang mengalami konflik dengan teman sebaya sebanyak 21%, dan sebanyak
81% dari 141 remaja yang menjadi sampel menyatakan pernah mengalami
perselisihan dan konflik dengan teman sebaya di sekolah. Konflik seperti ini tidak
hanya terjadi pada masyarakat awam, kalangan pelajar juga banyak berkonflik
dengan disertai tindakan agresif berupa kekerasan fisik (Latipun, 2006:11). Bahkan
salah satu masalah sosial sangat genting yang dihadapi Indonesia saat ini adalah
maraknya aksi kekerasan di berbagai lapisan kehidupan bermasyarakat, termasuk di
kalangan remaja dan pelajar sebagai akibat dari konflik interpersonal yang terjadi
(Khisbiyah, 2000: 18).
Bukti maraknya konflik interpersonal di kalangan pelajar yakni
diungkapkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat
jumlah kasus tawuran antar pelajar pada tahun 2015 meningkat dibandingkan
dengan tiga tahun kebelakang. Sepanjang enam bulan pertama tahun 2015 ada 139
kasus tawuran pelajar, lebih banyak dibanding tahun 2014 yang jumlahnya 128
kasus. Sebanyak 12 kasus 139 kasus diantaranya menyebabkan kematian.
Harian Kompas (Edisi Senin, 03 Oktober 2016) juga melansir berita konflik
yang terjadi dikalangan pelajar yaitu antara SMAN 70 dan SMAN 6 Jakarta.
Konflik tersebut telah menelan korban jiwa yaitu Alawy Yusianto Putra (15) siswa
SMAN 6 Jakarta dan juga 5 pelajar SMA Negeri 6 dan 2 pelajar SMA Negeri 70
mengalami luka-luka. Tidak hanya itu, tawuran pun juga telah merenggut nyawa
Deni Januar (17), siswa kelas XII SMA Yayasan Karya 66 (YK), Kampung Melayu,
5

Jakarta Timur, yang terkena sabetan senjata tajam pelajar SMK Kartika Zeni (KZ).
Di Indonesia sendiri, tercatat sepanjang tahun 2012, telah terjadi perkelahian pelajar
sebanyak sebelas kali.
Dari sebelas kejadian, ada 5 korban jiwa. Dari data tersebut maka dapat
diambil kesimpulan yang pertama, bahwa kasus konflik antar pelajar tidak hanya
terjadi dalam satu lingkup sekolah saja, konflik antar pelajar juga terjadi dengan
pelajar dari sekolah lain. Kedua, jumlah kasus konflik antar pelajar tersebut terus
meningkat. Ketiga, kasus konflik yang terjadi tersebut berawal dari konflik antar
pribadi atau interpersonal hingga meluas sebagai akibat penanganan yang buruk
terhadap konflik.
Diperkuat pula dengan studi pendahuluan Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Dharma Wanita, kelas X Busana, untuk mengetahui konflik interpersonal
dengan menyebarkan DCM 39 siswa. Penggunaan DCM untuk need assessment
dikarenakan akurasi data yang diperoleh melalui DCM memiliki validasi dan
realibilitas tinggi mengingat siswa dapat langsung melakukan pengecekan sendiri,
kesesuaian masalah yang dialami, serta yang paling penting adalah sistemasi jenis
masalah yang sudah dikelompokkan dalam berbagai bidang sehingga memudahkan
melakukan analisis data. Didapatkan hasil bahwa masalah yang paling banyak
dialami oleh siswa adalah masalah pergaulan sebanyak 41%, yaitu konflik dengan
temannya di sekolah. Hasil angket tersebut sesuai dengan keterangan dari guru
bimbingan konseling (BK) sekolah bahwa siswa yang terlibat konflik dengan
temannya (perang mulut), diam-diaman selama berhari-hari, bahkan ada beberapa
siswa yang sampai berkelahi.
Konflik Interpersonal yang pernah terjadi di SMK Dharma Wanita yaitu
berawal dari pertengkaran adu mulut yang terjadi antara dua siswi yang berdampak
pada ketidakharmonisan hubungan keduanya, image negatif pada diri keduanya
karena disaksikan banyak siswa lainnya dan bahkan membuat keduanya menerima
point pelanggaran. Pertengkaran tersebut dilatarbelakangi oleh kesalahpahaman
dikarenakan menganggap bahwa salah satu telah merebut pacar. Selain itu konflik
interpersonal juga pernah terjadi antar dua siswa laki-laki yang berupa perkelahian
fisik. Perkelahian itu yang diawali dengan celotehan ejekan tentang orang tua
seperti : “dasar anaknya jual ayam, bau ayam” yang berbuntut panjang hingga salah
satu siswa mengeluh nyeri pada perut yang mendapat tendangan dari lawan, akibat
6

lainnya adalah perpecahan antar kelompok pertemanan yang tidak bisa harmonis
seperti sedia kala. Menurut keterangan guru BK, bahwa cara paling umum atau
yang sering digunakan oleh untuk menyelesaikan konflik siswanya adalah dengan
memberikan sanksi dan ancaman namun tidak ada upaya khusus untuk
meningkatkan kemampuan mengatasi konflik interpersonal itu sendiri.
Survei yang telah dilakukan di berbagai propinsi di Indonesia mengenai hal-
hal yang dilakukan sekolah terhadap siswa yang terlibat dalam konflik, yaitu
dengan memberikan tindakan yang tegas kepada siswa, mulai dari peringatan
hingga pemberian sanksi, namun hal tersebut belum mampu mengurangi tingginya
fenomena konflik interpersonal remaja (Latipun, 2006: 43).
Menurut Robbin dan Judge (dalam Robbins, 2003:101) menyebutkan bahwa
ada tiga faktor yang dapat memicu munculnya konflik interpersonal atau bisa
disebut sumber konflik yaitu: 1) komunikasi, komunikasi yang terlalu banyak atau
terlalu sedikit dapat menjadi dasar terjadinya konflik; 2) Struktur, tugas yang tidak
dapat diselesaikan atau dijelaskan dengan baik akan mengarahkan pada pengelolaan
konflik yang bersifat merusak; 3) Kepribadiann, emosi, kondisi psikologis, dll. Dari
sumber konflik tersebut akhirnya memicu konflik interpersonal yang berdampak
negatif bagi pelaku konflik tersebut. Dampak negatif dari konflik interpersonal
adalah dapat meningkatkan anggapan negatif pada pihak lain dan hal ini dapat
menciptakan masalah yang serius hingga adanya usaha secara emosional untuk
menyakiti yang lainnya dimana perilaku yang ditujukan untuk menyakiti pihak lain
baik secara fisik maupun secara mental disebut perilaku agresif (dayaksini &
hudaniah, 2009: 162).
Selain itu rendahnya kemampuan mengatasi konflik interpersonal
dilatarbelakangi oleh berbagai hal salah satunya 1) perbedaan pendirian dan
perasaaan masing-masing individu, 2) perbedaan latar belakang individu seperti
pola asuh orang tua yang membentuk pribadi dengan karakter yang berbeda, 3)
perubahan nilai yang cepat dalam masyarakat, 4) mulai berkurangnya rasa empati
individu terhadap orang lain.
Menurut Hendricks (2012:36) kemampuan mengatasi konflik interpersonal
sangatlah penting, baik secara preventif, kuratif, maupun pengembangan. Preventif
dalam arti mampu sebagai pencegahan adanya konflik interpersonal ketika siswa
memiliki kemampuan mengatasi konflik interpersonal yang tinggi. Mengingat
bahwa remaja adalah makhluk sosial yang saling ketergantungan dengan individu
7

yang lainnya. Semakin bertambahnya usia maka semakin kompleks konflik yang
dialami oleh siswa. Sehingga apabila seorang siswa tidak memiliki kemampuan
mengatasi konflik interpersonal dengan baik maka akibatnya mereka tidak terampil
dalam mengatasi ataupun menyelesaikan konflik yang terjadi secara mandiri.
Dari berbagai layanan bimbingan dan konseling yang diaplikasikan dalam
pelayanan bantuan kepada siswa, salah satu layanan yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kemampuan mengatasi konflik interpersonal kepada siswa ialah
layanan bimbingan kelompok, karena permasalahan tersebut sering terjadi kepada
sekelompok siswa, meskipun penyebab atau pemicu munculnya konflik tiap siswa
tidaklah sama.
Menurut Prayitno (1995: 178), Bimbingan kelompok adalah suatu kegiatan
yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan memanfaatkan dinamika kelompok.
Artinya, semua peserta dalam kegiatan kelompok saling berinteraksi, bebas
mengeluarkan pendapat, menanggapi, memberi saran, dan lain sebagainya; apa
yang dibicarakan itu semuanya bermanfaat untuk diri peserta yang bersangkutan
sendiri dan untuk peserta lainnya. Selain itu menurut Sukardi (dalam Rai Indrayasa,
2012:12) layanan bimbingan kelompok adalah layanan yang memungkinkan
sejumlah peserta didik secara bersama-sama memperoleh bahan dari narasumber
tertentu (terutama guru pembimbing atau konselor) yang berguna
untuk menunjang kehidupan sehari-hari baik individu sebagai pelajar, anggota
keluarga, dan masyarakat serta untuk mempertimbangkan dalam pengambilan
keputusan.
Rusmana (2009:15-16) menggambarkan bahwa bimbingan kelompok : 1)
Bertujuan dan berfungsi untuk pencegahan masalah dan pengembangan diri; 2)
jumlah anggota 2-15 orang; 3) karakteristik anggota hitrogen-homogen; 4) bentuk
kegiatan permainan- intruksiona; 5) peranan pembimbing sebagai vasilitator; 6)
perang anggota, aktif membahas topik dan bermaafaat bagi pencegahan masalah
atau pengembangan diri; 7) suasana kelompok, interaksi multiarah dan aktif
bernuansa intelektual pencegahan dan pengalaman; 8) teknik yang digunakan;
sosio-edukasional; 9) sifat dan materi pembicaraan; masalah umum (melebar) dan
tidak memuat rahasia pribadi; 10) lama dan frekuwensi kegiatan; sesuai dengan
tingkat anggota tentang topik masalah; 11) evaluasi; keterlibatan, isi dan dampak
terhadap anggota kelompok.
8

Sedangkan salah satu teknik yang digunakan dalam layanan ini adalah
teknik sosiodrama. Melalui sosiodrama siswa akan memerankan peran dan
memposisikan dirinya menjadi orang lain. Ia akan merasakan pengalaman baru baik
dari peran yang harus dia hayati, juga dari alur cerita yang dibuat sehingga siswa
memahami cara-cara untuk menangani masalah dari akhir cerita yaitu penemuan
solusi dimana dapat menguntungkan semua pihak. Menurut Willis (dalam Lubis,
2013:182) teknik sosiodrama yaitu sandiwara singkat yang menjelaskan masalah-
masalah di kehidupan sosial. Diharapkan teknik sosiodrama ini dapat membantu
siswa dalam meningkatkan kepercayaan diri dalam bersosialisasi. Sosiodrama
adalah permainaan peran yang ditunjukkan untuk memecahkan masalah sosial yang
timbul dalam hubungan antara manusia. Konflik-konflik sosial yang
disosiodramakan adalah konflik-konflik yang tidak mendalam yang tidak
menyangkut gangguan kepribadian (Romlah,2006:104).
Digunakannya teknik sosiodrama dalam penelitian ini karena teknik
sosiodrama merupakan teknik dalam bimbingan kelompok untuk memecahkan
masalah-masalah sosial yang dialami oleh individu melalui kegiatan bermain peran.
Misalnya pertengkaran antar kelompok sebaya, perbedaan nilai individu dengan
nilai lingkungan dan sebagainya. Dalam penelitian ini teknik sosiodrama dijadikan
alat untuk mengatasi siswa yang memiliki kemampuan interaksi sosial yang rendah,
dikarenakan teknik sosiodrama memiliki kelebihan yaitu dapat membantu siswa
dalam memahami seluk-beluk kehidupan dan suatu permasalahan khususnya
permasalahan sosial atau konflik-konflik sosial (Romlah, 2006: 104).
Dari pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut, bisa diketahui
kelebihan sosiodrama bahwa layanan bimbingan kelompok teknik sosiodrama,
mampu meningkatkan kemampuan mengatasi konflik interpersonal siswa melalui.
Karena sosiodrama merupakan teknik yang dapat digunakan dalam membantu
memecahkan masalah siswa melalui drama yang ditampilkan. Pemecahan masalah
individu akan dapat diperoleh melalui penghayatan peran tentang situasi masalah
yang dihadapinya. Dari pementasan peran, barulah kemudian diadakan diskusi
mengenai cara-cara pemecahan masalah konflik interpersonal.
Melalui metode sosiodrama ini dapat membuat siswa lebih paham tentang
suatu permasalahan sosial, khususnya konflik interpersonal serta cara mengtasinya.
Hal tersebut dikarenakan pemahaman yang dilakukan berulangkali sebelum
9

maupun dalam dramatisasi peran sehingga nantinya pemahaman tersebut


diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan metode sosiodrama disini
menggambarkan suatu bentuk peristiwa aktif yang didramatisasikan menggunakan
garis besar skenario. Dari peristiwa aktif tersebut maka akan timbul penghayatan
dan pemahaman siswa tentang peristiwa tersebut.
Setelah pemahaman dilakukan berulang-ulang maka akan timbul reaksi
yang merupakan suatu bentuk ungkapan berpikir siswa yang merasa telah mendapat
kejelasan dari hasil pemahaman drama tersebut. Kemudian, melihat bahwa siswa di
SMK Dharma Wanita mayoritas memiliki gaya belajar kinestetik, yaitu
kecenderungan belajar melalui gerak tubuh. Oleh karena itu teknik sosiodrama
sangat cocok untuk tipe tersebut, karena dalam sosiodrama terdapat pemeragaaan
adegan langsung melalui gerakan dan dialog sehingga siswa dapat merasakan
langsung peran yang dibawakannya . Sehingga pemahaman yang mendalam
tersebut mampu mengembangkan suatu kemampuan siswa dalam mengatasi konflik
interpersonal yang terjadi.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka disusunlah penelitian yang berjudul
“Penerapan Teknik Sosiodrama Untuk dalam Bimbingan Kelompok untuk
Meningkatkan Kemampuan Mengatasi Konflik Interpersonal Pada Siswa Kelas X
Busana di SMK Dharma Wanita”. Adapun yang menjadikan penelitian ini berbeda
dari penelitian lain yang memilih teknik sosiodrama adalah pada pemilihan cerita
yang mengkhususkan pada contoh kasus konflik interpersonal yang terjadi serta
cara penyelesaiannya. Sehingga siswa dapat merasakan suatu pengalaman ketika
memainkan peran dalam konflik tersebut, dari sanalah muncul sudut pandang lain
yang lebih luas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dikemukakan rumusan masalah
sebagai berikut “Apakah Penerapan Teknik Sosiodrama dalam Bimbingan
Kelompok Dapat Meningkatkan Kemampuan Mengatasi Konflik Interpersonal
Pada Siswa Kelas X Busana di SMK Dharma Wanita?”.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah penerapan teknik
sosiodrama dalam bimbingan kelompok dapat meningkatkan kemampuan
mengatsi konflik interpersonal pada siswa kelas X Busana di SMK Dharma
Wanita.
D. Manfaat Penelitian
10

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:


1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini, yakni secara umum mampu
mengembangkan ilmu khususnya bidang Bimbingan dan Konseling
sedangkan secara khusus dalam bidang belajar mengenai kemampuan
mengatasi konflik interpersonal siswa serta dalam penerapan layanan
bimbingan kelompok sekaligus sebagai bahan bagi penelitian lain yang lebih
lanjut, dalam upaya membantu siswa meningkatkan kemampuan mengatasi
konflik interpersonal siswa.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Dapat memberi pengetahuan kepada peneliti mengenai penggunaan
bimbingan kelompok teknik sosiodrama untuk membantu siswa yang
memiliki kemampuan mengatasi konflik interpersonal yang rendah.
b. Bagi pihak sekolah
Sebagai referensi yang dapat digunakan oleh pihak sekolah, jika ada
masalah yang serupa dapat menggunakan layanan bimbingan
kelompok dengan teknik sosiodrama. Sehingga permasalahan yang
dihadapi dapat segera diatasi. Selain itu penelitian ini juga dapat
digunakan pihak sekolah sebagai referensi layanan yang bersifat
preventif untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan munculnya
konflik interpersonal dengan meningkatkan kemampuan siswa dalam
mengatasi konflik interpersonal.
c. Bagi konselor
Konselor lebih memiliki banyak cara atau teknik yang dapat
digunakan untuk membantu siswa yang mengalami konflik
interpersonal ketika muncul kasus atau masalah demikan. Selain itu
untuk mengembangkan penguasaan teknik dan strategi penanganan
bimbingan dan konseling dalam memberikan pelayanan pada siswa
yang memiliki kemampuan mengatasi konflik interpersonal yang
rendah agar lebih meningkat. Sehingga siswa akan mampu secara
mandiri mengatasi konflik interpersonal yang kapanpun bisa dihadapi.
d. Bagi peneliti lain
Dapat dijadikan sebagai sumber penelitian, jika peneliti lain juga
ingin meneliti hal yang serupa atau yang berbeda sehingga dapat
membantu penelitian ilmiah.
11

E. Definisi, Asumsi, dan Keterbatasan


Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas dan kesalahpahaman
dalam menafsirkan judul penelitian, maka perlu menyebarkan definisi, asumsi,
dan keterbatasan.
1. Definisi Istilah
a. Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok adalah suatu layanan bimbingan dan konseling
yang dapat digunakan untuk membantu peserta didik dalam
pengembangan keterampilan diri pribadi dan sosial melalui dinamika
kelompok.
b. Teknik Sosiodrama
sosiodrama merupakan suatu cara dalam bimbingan kelompok untuk
membantu memecahkan masalah siswa melalui bermain peran, dimana
masalah yang didramakan adalah masalah-masalah sosial, sehingga
pemecahan masalah individu diperoleh melalui penghayatan peran
tentang situasi masalah yang dihadapinya.
c. Kemampuan mengatasi Konflik Interpersonal
konflik interpersonal adalah sebuah kesanggupan dalam menghadapi
situasi atau kondisi pertentangan antar satu individu dengan individu
lain atau satu kelompok dengan kelompok lain dimana menimbulkan
ketidaknyamanan pada keduanya, sehingga mampu melewati situasi
tersebut melalui menyikapan secara efektif.
2. Asumsi
a. 41%, dari 39 siswa memiliki konflik interpersonal dengan teman
sebaya.
b. Tingginya kasus kekerasan dan tawuran menjadi dampak serius dari
rendahnya kemampuan mengatasi konflik interpersonal siswa.
c. Kemampuan mengatasi konflik interpersonal dapat diukur melalui
angket yang telah melalui uji validasi dan realibilitas.
d. Belum efektifnya layanan yang dilaksanakan oleg guru BK dalam
meningkatkan kemampuan mengatasi konflik interpersonal terbukti
dari masih adanya kasus perkelahian antar siswa di sekolah.
3. Keterbatasan
a. Penelitian ini terbatas pada kemampuan mengatasi konflik
interpersonal yang terjadi pada siswa kelas X Busana Butik di SMK
Dharma Wanita
12

b. Penelitian ini terbatas pada penerapan layanan bimbingan kelompok


dengan teknik Sosiodrama.
c. Metode pengumpulan data yang diperoleh dalam penelitian ini hanya
terbatas pada angket.

Anda mungkin juga menyukai