Anda di halaman 1dari 7

AGAMA DAN BUDAYA:

RELASI KONFRONTATIF ATAU KOMPROMISTIK?

Roibin

Fakultas Syariah UIN Maliki Malang


Tlp. 08179604562
Email:roibinuin@gmail.com

Abstrak
Persoalan agama dan budaya adalah salah satu persoalan krusial yang melahirkan berbagai
penilaian dalam masyarakat. Sebagian masyarakat menganggap bahwa agama harus steril dari
budaya . sementara sebagaian lain menganggap bahwa agama bisa berdialog dengan budaya
dengan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka menjaga kemurnian agama. Hal ini
terkait erat dengan fenomena perubahan pola pemahaman keagamaan dan perilaku keberaga-
maan pemeluk agama (Islam). Tulisan ini mencoba mendiskusikan fenomena dialog agama
dan budaya di masyarakat sekaligus memaparkan berbagai corak Islam lokal.

Problem on religion and culture is one crucial problem which generates various assessments
within society. Some people think that religion must be sterilized from culture. While, some
other point out that religion is able to dialogue with culture under some considerable aspects to
maintain religion's purity. It is closely related to the phenomenon of pattern changing of reli-
gious understanding and Muslim religious behavior. This paper tries to discuss the phenome-
non of religion and culture dialogue within society and to describe various local Islam pattern.

Kata Kunci: Keberagamaan, Mitos, Budaya

Dialektika agama dan budaya di mata masyara- tion) misalnya, melahirkan berbagai corak Islam
kat muslim secara umum banyak melahirkan lokal, antara lain Islam Sunni, Islam Shi’i, Islam
penilaian subjektif- pejoratif. Sebagian berseman- Mu’tazili, dan Islam Khawariji (low tradition).[3]
gat untuk mensterilkan agama dari kemungkinan Dari tradisi Islam Sunni ala Indonesia, muncul Is-
akulturasi budaya setempat, sementara yang lain lam Sunni Muhammadiyah, Islam Sunni Nahdlatul
sibuk dan fokus membangun pola dialektika an- al-Ulamā, Islam Sunni Persis, dan Islam Sunni al-
tar keduanya. Terlepas bagaimana keadaan keya- Wasliyah. Lebih menyempit lagi, dari Islam Sunni
kinan masing-masing pemahaman, dalam fak- NU, memanifestasi menjadi Islam Sunni-NU-
tanya potret keberagamaan semakin menunjuk- Santri, Islam Sunni- NU- Priyayi, dan Islam Sunni-
kan suburnya pola akulturasi, bahkan sinkretisasi NU- Abangan. Tidak menutup kemungkinan, akan
lintas agama. Indikasi terjadinya proses dialek- tampil berbagai corak keberagamaan baru yang
tika antara agama dan budaya tersebut, dalam lainnya, yaitu Islam ortodok, Islam moderat, dan
Islam terlihat pada fenomena perubahan pola
pemahaman keagamaan dan perilaku keberaga- [2]Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis: Kritik Atas
maan[1] dari tradisi Islam murni[2] (high tradi- Nalar Islam Murni (Yogyakarta: ar-Ruzz, 2004),129-
136.
[3]Bassam Tibi, Islam and The Cultural Accommoda-
[1]Amin Abdullah, Pendekatan Kajian Islam dalam
tion of Social Change, Translated by Clare Krojzl
Studi Agama (Jakarta: Muhammadiyah University
(Boulder, Sanfrancisco, and Oxford: Westview
Press, 2001), iii.

1
2 Jurnal Hukum dan Syariah, Volume I No.1, 2010, hlm. 01-120

liberal. keyakinan mitis itu. Demikian juga sebaliknya,


mereka yang tidak mematuhi ajaran adat senantiasa
Proses Negosiasi Agama dan Budaya; Dari Puri- dihadapkan pada ancaman-ancaman psikologis.
tanisasi Agama Menuju Akulturasi Budaya Praktik keberagamaan kompromistik itu, suatu
contoh perpaduan dua hukum perkawinan lokal
Warna-warni ekspresi keberagamaan sebagaima- dan Islam, dalam realitasnya seringkali
na dilihat di atas mengindikasikan bahwa mengundang perdebatan serius di kalangan
sedemikian kuatnya tradisi lokal (low tradition) masyarakat muslim. Sebagian komunitas menga-
mempengaruhi karakter asli agama formalnya takan bahwa perilaku seperti ini adalah
(high tradition), demikian juga sebaliknya. Sal- syirik, khurafat, takhayul, karena dalam praktiknya
ing mempengeruhi itulah dalam bahasa sosio- mereka selalu meyakini adanya kekuatan selain dan
antropologinya dikenal dengan istilah proses di- di luar ajaran Islam, yaitu Tuhan. Kegiatan tersebut
alektika agama dan budaya. Fenomena acapkali diklaim sebagai perilaku bid’ah, karena
demikian, di mata para ilmuwan antropologi di- perilaku spiritual yang demikian tidak ada landasan
anggap sebagai proses eksternalisasi, objektivasi, yang jelas dari Islam. Lebih dari itu komunitas ini
maupun internalisasi. Siapa membentuk apa, dan semakin memperkokoh komitmen keagamaannya
sebaliknya apa mempengaruhi siapa. Bagaimana untuk memberantas praktik ritual maupun praktik
masyarakat memahami agama hingga bagaima- mitis senada. Komunitas inilah yang seringkali
na peran-peran lokal mempengaruhi perilaku disebut dengan kelompok muslim puritanis.[5]
sosial keberagamaan mereka.[4] Dengan begitu, Namun demikian, terdapat juga komunitas lain
mengkaji, meneliti, maupun menelaah secara yang mementahkan pandangan di atas, yang
empirik fenomena tersebut, jauh lebih penting mengatakan bahwa praktik seperti itu dianggap sah
dan punya kontribusi akademis dari pada hanya -sah saja dalam agama. Sebab untuk sampainya
melakukan penilaian-penilaian normatif-teologis komunikasi kepada Tuhan bagi komunitas ini di-
semata. perlukan adanya perantara, yang dalam bahasa Is-
Fenomena dialektika di atas, secara em- lam dikenal dengan istilah wasilah (perantara).
pirik tampak subur dalam tradisi keberagamaan Menurut keyakinan kelompok ini, wasilah tersebut
masyarakat muslim lokal, terutama pada pola seringkali terdapat di tempat-tempat suci, sakral
relasi antara nilai-nilai sosial budaya perkawinan yang mereka datangi.[6] Sementara itu muncul
lokal dengan nilai-nilai budaya perkawinan pula kelompok lain yang lebih ekstrem yang
mainstream Islam. Secara umum karakteristik mengatakan bahwa perilaku seperti itu, menurut
nilai-nilai sosial budaya lokal tersebut memiliki komunitas ini hanya akan membuat umat Islam
banyak keunikan dan daya tarik tersendiri. Unik
dalam arti adanya kompleksitas dan pluralitas [5]Maftuh Ebigebriel dan Ibida
ekspresi keberagamaan yang bernuansa mitis, Syitaba, “Fundamentalisme Islam: Akar Teologis dan
terutama dalam praktik budaya perkawinan adat Politis”, dalam Negara Tuhan : The Thematic Ency-
yang dianggap sakral, kramat maupun suci, dan clopaedia (Yogyakarta: SR- Ins Publising, 2004), 449
diyakini bahwa budaya ritual itu sangat berpoten- -555. Sebagai bahan bacaan baca juga Ulil Absar
si memberikan berkah kepada siapa saja yang Abdalla dkk, Islam Liberal dan Fundamental
berniat mencari keutamaan dari upacara atau (Yogyakarta: El-saq Press, 2003), 14.
[6]Imam Khumaini, Nahdlah ‘Asyura (Teheran:
Press,1991), 8.
Muassasah Tanzim wa al-nasyr Turath al-Imam al-
[4]Malcolm Waters, Modern Sociological Theory Khumaini, 1995). Isi dari buku ini berbicara tentang
(London: Sage Publication, 1994), 35. Dia dalam penghayatan dan pengungkapan rasa emosi keaga-
buku ini menjelaskan ada tiga macam dialektika, maan dan spiritual yang mendalam dengan cara mitis,
yaitu Society is Human Product, Society is an megis dan mistik yang penuh dengan kesakralan,
Obyektive Reality, and Man is Social Product. kesyahduan dan kesucian.
Roibin aa an baa Rasi onrona aa orois 3

tersesat, karena nalar berpikirnya senantiasa kepercayaan keagamaan, hubungan logis dan his-
cenderung pada pola penalaran irrasional.[7] toris antara mitos, kosmos dan ritus.[8] Hal yang
Keragaman ekspresi keberagamaan di sama juga diungkapkan oleh Frazer, baginya aga-
atas, baik yang muncul dari komunitas masyara- ma adalah sistem kepercayaan,[9] yang senantiasa
kat muslim lokal itu sendiri maupun dari subjek- mengalami perubahan dan perkembangan sesuai
tifitas penilaian keagamaan yang datang dari luar dengan tingkat kognisi seseorang.
komunitasnya, pada hakikatnya menunjukkan Dalam literatur lain, Tylor lebih menegaskan
adanya perbedaan cara pandang tentang tarik- bahwa agama manapun pada hakikatnya selalu
menarik pola relasi agama dan budaya dimak- mengajarkan kepercayaan terhadap spirit. Dengan
sud. Melalui cara ini, sebagian di antara mereka kata lain mengajarkan kepercayaan terhadap pem-
optimis bahwa Islam akan lebih berkembang beri inspirasi dalam kehidupan, baik melalui agama
secara efektif. Sementara yang lainnya justru formal maupun non formal. Baginya keduanya
sebaliknya. Islam akan terkontaminasi dengan tidak ada perbedaan yang signifikan, yang mem-
kompleksnya budaya luar, dan secara perlahan bedakan adalah pengkonstruknya. Agama dengan
akan menggeser keaslian Islam itu sendiri. seperangkat tata aturan ajarannya adalah hasil kon-
struk penciptanya, sementara mitos adalah hasil
Perspektif Para Antropolog tentang Dialektika konstruksi kognisi manusia. Jika melalui agama
Agama dan Budaya formal, maka seseorang harus meyakini konsepsi-
konsepsi, kiasan-kiasan ajaran teks keagamaan
Berangkat dari pemikiran subjektif di atas, be- masing-masing. Sementara jika melalui agama non
berapa antropolog muslim maupun non muslim formal maka seseorang dikonstruk untuk meyakini
akan memahami bagaimana keterkaitan di antara hasil imajinasi kognisi seseorang yang terkonsepsi-
keduanya. Mungkinkah manusia sebagai repre- kan secara sistematis, filsofis, yang memiliki mak-
sentasi pembawa misi agama memisahkan na dalam realitas, yang disebut dengan mitos.
dirinya dengan ajaran-ajaran budaya lokal yang Dia merasakan bahwa karakteristik semua agama,
bernuansa mitis? Edward B. Tylor, dalam kar- baik kecil maupun besar, kuno maupun modern,
yanya yang berjudul Primitive Culture menga- formal maupun non formal senantiasa mengajarkan
takan bahwa kognisi manusia dipenuhi dengan kepercayaan kepada spirit itu. Ia menyebutkan
mentalitas agama, terbukti bahwa tema-tema
kajian yang menjadi bahan perbincangan di an- melakukan gerakan TBC sebagaimana yang dilakukan
tara mereka ketika itu adalah sifat dan asal-usul oleh kalangan Islam Puritanis. Termasuk memelihara
pesugihan, percaya danyang, memberi sesaji adalah
[7]Nur Kholik Ridwan, Agama Borjuis : Kritik atas khurafat. Sementara khurafat adalah syirik. Orang
Nalar Islam Murni (Yogyakarta: Al-Ruzz, 2004), ingin kaya menurut aliran ini harus kerja keras dan
129-136. Pada halaman ini dikatakan bahwa nalar berdo’a kepada Allah.
Islam murni selalu dapat dijumpai kredo-kredo ten-
[8]Tylor, E.B., Primitive Culture (London: J. Murray,
tang sikap seorang muslim menghadapi budaya
1891), 135., Baca juga Nuruddin, dkk., Agama Tradi-
sekuleritas, modernitas. Sikap kemandirian Islam
sional : Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan
selalu menawarkan pada nilai-nilai yang otentik
Tengger (Yogyakarta : LkiS, 2003), 126.
atau otentisitas, ketika berhadapan dengan entitas-
entitas budaya lain, mereka selalu mengklaim bah- [9]Frazer, J.G., The Golden Bough (New York: Mac-
wa Islam memiliki corak nilai-nilainya millan, 1911) 420. Baca juga Nuruddin, dkk., Agama
sendiri. Baca juga Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Tradisional : Potret Kearifan Hidup Masyarakat
Mitos Selamat Datang Realitas, 95-96 tentang dem- Samin dan Tengger (Yogyakarta : LkiS, 2003), 126-
itologisasi. Beliau mengatakan bahwa untuk terhin- 127. Sebagai bahan tambahan baca juga James. P
dar dari mitologisasi maka orang harus mengenal Spradley, Metode Etnografi, terj. Misbach Zulfa Alis-
teknologi, sekalipun tidak serta merta teknologi itu abet ( Yogyakarta : Pt Tiara Wacana IKAPI, 1997),
bisa meniadakan secara drastis. Kedua dengan cara XVI. Dalam buku tersebut mengatakan bahwa
4 Jurnal Hukum dan Syariah, Volume I No.1, 2010, hlm. 01-120

bahwa dalam agama telah terjadi hubungan in- kematian dan disintegrasi,[15] serta berbagai perso-
tens antara ritual dan kepercayaan,[10] antara alan yang mengarah kepada chaos
ritual dan mitos. Keadaan inilah yang menyebab- (ketidakteraturan). Sekalipun demikian kuatnya
kan perjumpaan religi (agama), mitos dan magis pola relasi agama dan mitos dalam faktanya ia tetap
dalam tataran empiris terjalin begitu kuat.[11] kurang memperoleh respon positif dari komunitas
Dengan kata lain, mitos acapkali menjadi bagian Islam puritanis.[16]
yang tak terpisahkan dari agama, karena agama Sementara itu perspektif Clifford Geertz, juga men-
manapun dalam realitasnya senantiasa sarat guatkan logika pemikiran di atas. Agama menurut-
dengan hadirnya praktik mitos itu.[12] Sementa- nya bukan hanya masalah spirit, melainkan telah
ra itu, menurut Peurson, mitos juga berfungsi terjadi hubungan intens antara agama sebagai sum-
sebagai layaknya fungsi agama formal, yaitu se- ber nilai dan agama sebagai sumber kognitif. Per-
bagai alat pembenaran (pedoman) dari suatu per- tama: agama merupakan pola bagi tindakan manu-
istiwa tertentu atau arah bagi kelompok pen- sia (pattern for behaviour). Dalam hal ini agama
dukungnya,[13]selain juga menjadi alat legiti- menjadi pedoman yang mengarahkan tindakan
masi kekuasaan bagi pihak-pihak yang manusia. Kedua: agama merupakan pola dari tinda-
berkepentingan.[14] Selanjutnya Jamhari kan manusia (pattern of behaviour). Dalam hal ini
menambahkan bahwa mayoritas agama senanti- agama dianggap sebagai hasil dari pengetahuan dan
asa memuat eksplanasi mitos, utamanya dalam pengalaman manusia, yang tidak jarang telah
hal asal mula jagad raya, kelahiran, penciptaan, melembaga menjadi kekuatan mitis. Karena itu
agama dalam perspektif yang kedua ini seringkali
keduanya, baik Tylor maupun Frazer adalah tokoh dipahami sebagai bagian dari sistem kebudayaan,
ilmuan yang terbangun dari satu aliran kerangka [17]yang tingkat efektifitas fungsi ajarannya ka-
paradigma antropologi. Keduanya adalah tokoh dang tidak kalah dengan agama formal. Itulah
utama peneliti etnografi beraliran antropologi. sebabnya mitos menjadi suatu keniscayaan adanya,
sebagaimana keniscayaan agama itu sendiri bagi
[10]Daniel L. Pall, Seven Theories of Religion
manusia.
(New York, mac Millon, 1970), 20.
Tidak hanya dari kalangan antropolog, dari ka-
[11]Jacob Vredenbregt, Bawean Dan Islam langan Islamolog yang menaruh respon pemaham-
(Jakarta: INIS,Jilid VIII, 1990), 26. an agama secara kontekstual dan liberal,[18] juga
[12]Frazer, The Golden, 420-421. memiliki pemahaman serupa, bahwa agama yang
tampil di tengah kehidupan masyarakat
[13]Djunaidi Ghony, “Mitos dan Praktik Mistik di (keberagamaan) akan senantiasa beradaptasi
Makam KH. Hasan Syaifurrizal Desa Karangbong dengan zamannya. Ia tidak lagi merupakan repre-
Pajarakan Probolinggo”, Jurnal Pendidikan Islam, sentasi wahyu murni yang terpisah dari subjektifitas
Volume I, No.2 ( IAIN Sunan Ampel Malang: penafsiran manusia. Melainkan ia telah menyatu
Tarbiyah Press, 1996), 86.
[14]Sebuah kisah tentang Kanjeng Ratu Kidul bagi [15]Djunaidi Ghony, “Mitos dan Praktik Mistik di
kalangan masyarakat Jawa yang tinggal di sepan- Makam KH. Hasan Syaifurrizal Desa Karangbong
jang pantai selatan pulau Jawa adalah contoh dari Pajarakan Probolinggo”, Jurnal Pendidikan Islam,
mitos semacam ini. Mitos ini perspektif politik san- Volume I, No.2 ( IAIN Sunan Ampel Malang: Tarbi-
gat menguntungkan bagi kekuasaan tertentu. Baca yah Press, 1996), 86.
juga Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos dan [16]Nur Kholik Ridwan, Agama Borjuis : Kritik atas
Selamat Datang Realitas (Bandung : Mizan, 2002), Nalar Islam Murni ( Yogyakarta: Al-Ruzz, 2004), 49-
40. Menurut Kuntowujoyo dalam buku ini bahwa 214.
dalam rangka melakukan legitimasi kekuasaan raja,
Airlangga mempunyai Arjunawiwaha, Majapahit [17]Nursyam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005),
mempunyai Pararaton dan mataram mempunyai 1.
babad Tanah Jawi. [18]Leonard Binder, Islamic Liberalsm : A Qritique of
Roibin aa an baa Rasi onrona aa orois 5

dan bersinergi dengan kehidupan manusia yang Hamid Abu Zaid dengan strukturalismenya, Hasan
plural. Dengan demikian praktik keberagamaan Hanāfi dengan oksidentalismenya,[21] dan M.
di masyarakat merupakan hasil perjumpaan Shahrur dengan marxismenya, termasuk juga ka-
kompromistik antara ajaran Tuhan dan penalaran langan muda Islam belakangan dengan liberal-
subjektif manusia yang disebut mitos. Logika itu ismenya.
bisa diilustrasikan bahwa pada saat kita meyakini
kebenaran hasil tafsir ulama tertentu, berarti kita Kesimpulan
telah meyakini mitos dari mufasir tertentu pula.
Tafsir bukanlah murni wahyu Tuhan melainkan Implikasi metodologis pemahaman keagamaan di
di dalamnya telah terdapat perpaduan pan- atas, menurut Fazlur Rahman telah melahirkan
dangan, yaitu pandangan pencipta yang melekat pemahaman bahwa agama dianggap sebagai tinda-
pada maksud teks tersebut dengan pandangan kan untuk mengikuti shara’[22] yang subjeknya
manusia terhadap objek ajaran teks. adalah manusia.[23] Dengan kata lain, agama ada-
Para pemerhati keislaman yang dimaksud itu lah otoritas subjektif manusia yang dikomunikasi-
antara lain Fazlur Rahman dengan neomodern- kan melalui shara’. Hal ini sama artinya bahwa
ismenya, Muhammad Abed al-Jabiri, dengan agama adalah tindakan manusia yang sangat
post-tradisionalismenya (pendekatan historisitas, subjektif untuk mengikuti shara’.[24] Agama ada-
objektivitas dan kontinyuitas),[19] Muhammad lah hasil dialektika kompromistik dari wahyu dan
Arkoun dengan post-modernismenya,[20] Nasr pengalaman subjektif manusia.
Potret pemikiran di atas, menggambarkan
Development Ideologies (Chicago & London: The pemikiran yang cenderung meletakkan dan me-
University of Chicago Press, tt), 243-244. Liberal mahami teologi dalam kerangka kepentingan hu-
dalam pandangan Fazlur Rahman hampir senada manis.[25]Pemikiran yang bukan semata-mata dia-
dengan Leonard Binder dalam buku ini. Menurut rahkan pada keprihatinan vertical-teosentris, tetapi
Binder sikap liberal dan demokratis adalah sesuai lebih dialamatkan pada tataran moral-horisontal-
dengan spirit/ ruh Islam. antroposentris. Dengan begitu agama sesuai
dengan konteks zamannya, lebih bersifat terbuka,
[19]Historisitas dan objektivitas dalam artian ketika
adaptif, fungsional dan applicable (terpakai) dalam
Abid Al-Jabiri dihadapkan pada Turath, ia belajar
memahaminya secara historis dan objektif dengan
pendekatannta yang popular disebut dengan faslu al Shaqi, tt), 329-349. Baca juga Zainul Mu-
-qari’ ani al-maqru’, yaitu Al-Jabiri berusaha untuk nasichin, “Teologi Tanpa Kaki : Jangkar Sosial Studi
memisahkan antara pembaca dan yang terbaca, agar Islam di Indonesia”, dalam Gerbang : Jurnal Studi
tidak terjadi rasa empati yang berlebihan sehingga Agama dan Demokrasi, 13.5 ( Surabaya: LSAD,
bisa menghilangkan daya nalar kritis terhadap tu- 2003), 86-87.
rath tersebut. Disinilah objektifitas dan daya kritis
[21]Muhammad Arkoun, Al-Fikru, 329-349
dalam membaca turath akan terlihat. Sementara
pendekatan kontinyuitasnya adalah waslu al-qari’ [22]Tindakan menuju jalan air, atau sumber kebenaran
ani al-maqru’, artinya menghubungkan antara sang (al-Qur’an) yang dijadikan pedoman dalam Islam
pembaca dengan yang bterbaca, artinya kalau [23]Roibin, Pemikiran Hukum Islam di Tengah Peru-
sekiranya turath itu masih relevan dengan sikonnya bahan Sosial dan Budaya: Telaah Sosio-Historis Qaul
maka tidak ada salahnya jika ia bisa hadir kembali Qadim dan Qaul Jadid Imam Syafi’i, (Tesis, UNIS-
dalam suasana kekinian. Baca lebih dalam Muham- MA, 2002), 16. Sebagai tambahan informasi baca juga
mad Al-Jabiri, Post-Tradionalisme Islam , terj Ah- Yusuf Musa, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Mesir, tt, Jilid
mad Baso ( Yogyakarta: LkiS, 2000), V-LIV. I), 10.
[20]Muhammad Arkoun, Al-Fikru al-Usuli Wasti- [24]Roibin, Pemikiran, 10.
halatu al-Tta’sili Nahwa Tarikhin Akharin Li-
alFikri al-Islami, terj. Hasyim Shaleh (Daru al- [25]Abd. A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liber-
6 Jurnal Hukum dan Syariah, Volume I No.1, 2010, hlm. 01-120

menangani persoalan kemanusian secara riil, nya saja, melainkan agama juga dipotret dari per-
sekalipun aspek otentisitas agama juga tetap ia ilaku dan pengalaman sosial keberagamaannya,
pertahankan.[26] yaitu agama yang sudah banyak dipengaruhi oleh
Karena itu, agama oleh para ilmuwan tradisi kecil (low tradition). Ernest Gellner menga-
muslim yang berbasis ilmu-ilmu antropologi tid- takan bahwa dalam setiap wilayah tradisi besar
ak jarang dianggap sebagai bagian dari sistem (high tradition) pasti disertai dengan tradisi kecil
budaya (sistem kognisi). Selain agama juga di- (low tradition).[27] Demikian juga M. Arkoun
anggap sebagai sumber nilai (sistem nilai) yang mengatakan bahwa Islam dengan huruf I besar
tetap harus dipertahankan aspek otentisitasnya. selalu disertai dengan Islam dengan huruf I kecil.
Di satu sisi agama dalam perspektif ini, dipahami [28]
sebagai hasil dari tindakan manusia, baik berupa Agama, sebagaimana yang dipahami oleh
budaya maupun peradaban. Pada sisi lain agama para ilmuwan di atas seakan telah melegalkan aga-
tampil sebagai sumber nilai yang mengarahkan ma bersentuhan dengan budaya kearifan lokal
bagaimana manusia berperilaku. setempat, bahkan pola relasi di antara keduanya
Agama tidak dipotret dari tradisi besarnya (high dipandang sebagai suatu keniscayaan adanya.
tradition), yaitu dengan melalui pedoman nash-

al: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di [27]Ernest Gellner, Post-modernism, Reason and Re-
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2003), 16. ligion (London: Routledge, 1992), 11.
[26]Abd. A’la, Dari, 16. [28]Muhammad Arkoun, Al-Fikru al-Usuli Wa Isti-
halatu al-Ta’sili Nahwa Tarikhin Akharin li al-Fikri
al-Islami, Terj. Hasyim Shaleh (Daru al-Shaqi, t.t),
301.

DAFTAR PUSTAKA Islami, terj. Hasyim Shaleh. Daru al-


Shaqi.
A’la, Abd. 2003. Dari Neomodernisme ke B., Tylor, E. 1891. Primitive Culture. Lon-
Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman don: J. Murray.
dalam Wacana Islam di Indonesia. Binder, Leonard. tt. Islamic Liberalsm: A
Jakarta: Paramadina. Qritique of Development Ideologies.
Abdalla, Ulil Absar dkk. 2003. Islam Lib- Chicago & London: The University of
eral dan Fundamental. Yogyakarta: Chicago Press.
El-SAQ Press. Ebigebriel, Maftuh dan Ibida Syitaba. 2004.
Abdullah, Amin. 2001. Pendekatan Kajian Fundamentalisme Islam: Akar Teologis
Islam dalam Studi Agama. Jakarta: dan Politis dalam Negara Tuhan: The
Muhammadiyah University Press. Thematic Encyclopaedia. Yogyakarta:
Al-Jabiri, Muhammad. 2000. Post- SR- Ins Publising.
Tradionalisme Islam. terj Ahmad Ba- G., Frazer, J. 1911. The Golden Bough. New
so. Yogyakarta: LKiS. York: Macmillan.
Arkoun, Muhammad. tt. Al-Fikru al-Usuli Gellner, Ernest. 1992. Post-modernism, Rea-
Wastihalatu al-Tta’sili Nahwa son and Religion. London: Routledge.
Tarikhin Akharin Li-alFikri al- Ghony, Djunaidi. 1996. Mitos dan Praktik
Islami, terj. Hasyim Shaleh. Daru al- Mistik di Makam KH. Hasan Syaifurri-
Shaqi. zal Desa Karangbong Pajarakan
Arkoun, Muhammad. tt. Al-Fikru al-Usuli Probolinggo. Jurnal Pendidikan Islam.
Wa Istihalatu al-Ta’sili Nahwa Volume I, No. 2; IAIN Sunan Ampel
Tarikhin Akharin li al-Fikri al- Malang: Tarbiyah Press.
Roibin aa an baa Rasi onrona aa orois 7

Khumaini, Imam. 1995. Nahdlah ‘Asyura. Pall, Daniel L. 1970. Seven Theories of Reli-
Teheran: Muassasah Tanzim wa al- gion. New York: mac Millon.
nasyr Turath al-Imam al-Khumaini. Ridwan, Nur Khalik. 2004. Agama Borjuis:
Kuntowijoyo. 2002. Selamat Tinggal Mitos Kritik Atas Nalar Islam Murni. Yogya-
dan Selamat Datang Realitas. Ban- karta: Ar-Ruzz.
dung: Mizan. Roibin. 2002. Pemikiran Hukum Islam di
Munasichin, Zainul. 2003. Teologi Tanpa Tengah Perubahan Sosial dan Budaya:
Kaki : Jangkar Sosial Studi Islam di Telaah Sosio-Historis Qaul Qadim dan
Indonesia”, dalam Gerbang : Jurnal Qaul Jadid Imam Syafi’i. Tesis: UNIS-
Studi Agama dan Demokrasi. Suraba- MA.
ya: LSAD. Spradley, James. P. 1997. Metode Etnografi,
Musa, Yusuf. tt. Tarikh al-Fiqh al-Islami. terj. Misbach Zulfa Alisabet. Yogya-
Jilid I; Mesir. karta : PT Tiara Wacana IKAPI.
Nursyam. 2005. Islam Pesisir. Yogyakar- Tibi, Bassam. 1991. Islam and The Cultural
ta: LkiS. Accommodation of Social Change,
Nuruddin, dkk., 2003. Agama Tradisional : Translated by Clare Krojzl. Boulder,
Potret Kearifan Hidup Masyarakat Sanfrancisco, and Oxford: Westview
Samin dan Tengger. Yogyakarta: Press.
LkiS. Vredenbregt, Jacob. 1990. Bawean Dan Is-
Nuruddin, dkk., 2003. Agama Tradisional : lam. Jilid VIII; Jakarta: INIS.
Potret Kearifan Hidup Masyarakat Waters, Malcolm. 1994. Modern Sociologi-
Samin dan Tengger. Yogyakarta : cal Theory. London: Sage Publ
LKiS.

Anda mungkin juga menyukai