Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

“DISTOSIA”

Pembimbing :

dr. Edy Priyanto, Sp.OG. M. Kes

Di susun oleh :

Indah Annisa Dearizti G1A212099

Lucky Mariam G1A212100

Fauziah Rizki Ismaulidiya G1A212101

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
RSUD PROF MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2013
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

”Distosia”

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan
Rumah Sakit Umum Daerah Prof. DR.Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan pada


8 Juli 2013

Disusun oleh:
Indah Annisa Dearizti G1A212099
Lucky Mariam G1A212100
Fauziah Rizki Ismaulidiya G1A212101

Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan


Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto, 8 Juli 2013


Dosen Pembimbing,

dr. Edy Priyanto, Sp.OG. M.Kes


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat ini disusun untuk
memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagi CoAss Universitas Jenderal Soedirman
yang sedang menjalani program kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Kandungan dan
Kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. Margono Soekarjo.
Dengan bekal pengetahuan, pengarahan, serta bimbingan yang diperoleh
sebelum dan sesudah menjalani kepaniteraan ini, penulis mencoba membahas
mengenai referat yang berjudul “Distosia”.
Penulis juga berkeinginan untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Edy Priyanto,Sp.OG. M.Kes selaku pembimbing kami yang
telah banyak memberikan arahan dan masukan yang berarti, serta terima kasih bagi
teman-teman atas kerjasama yang baik.
Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan memiliki
banyak keterbatasan. Oleh sebab itu, penulis menerima dengan senang hati segala
kritik dan saran yang membangun demi kebaikan penulis. Akhir kata semoga
pembahasan referat ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca sekalian.

Purwokerto, Juli 2013

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Persalinan normal suatu keadaan fisiologis, normal dapat berlangsung
sendiri tanpa intervensi penolong. Kelancaran persalinan tergantung 3 faktor ”P”
utama yaitu kekuatan ibu (power), keadaan jalan lahir (passage) dan keadaan
janin (passanger). Faktor lainnya adalah psikologi ibu (respon ibu ), penolong
saat bersalin, dan posisi ibu saat persalinan.
Dengan adanya keseimbangan atau kesesuaian antara faktor-faktor "P"
tersebut, persalinan normal diharapkan dapat berlangsung. Bila ada gangguan
pada satu atau lebih faktor “P” ini, dapat terjadi kesulitan atau gangguan pada
jalannya persalinan.
Kelambatan atau kesulitan persalinan ini disebut distosia. Salah satu
penyebab dari distosia karena adalah kelainan janin. Distosia berpengaruh
buruk bagi ibu maupun janin. Pengenalan dini dan penanganan tepat akan
menentukan prognosis ibu dan janin.

B. TUJUAN
Tujuan penyusunan referat ini adalah :
1. Mengetahui jenis distosia yang terjadi pada persalinan
2. Mengetahui penyebab dari distosia yang terjadi pada persalinan
3. Mengetahui penatalaksanaan dari distosia yang terjadi pada persalinan
BAB II
ISI

A. Distosia
1. Definisi
Distosia berasal dari bahasa Yunani, Dys atau dus berarti buruk atau
jelek, tosia berasal dari tocos yang berarti persalinan, sehingga distosia
merupakan persalinan yang sulit, tidak ada kemajuan dalam persalinan atau
merupakan persalinan yang membawa satu akibat buruk bagi janin maupun
ibu (Winkjosastro et al, 2006).
2. Etiologi
Distosia terjadi karena beberapa faktor, yaitu kelainan power, passage,
dan passanger :
a) Kelainan Power
Power adalah kekuatan ibu mendorong janin, yaitu kekuatan his dan
kekuatan ibu dalam mengejan. His normal yaitu his yang timbul dominan
pada fundus uteri, simetris, kekuatannya semakin lama semakin kuat dan
sering serta mengalami fase relaksasi yang baik. Kelainan his ini dapat
berupa inersia uteri hipertonik atau inersia uteri hipotonik. Kontraksi
uterus atau his secara normal terjadi pada awal persalinan yakni pada kala
1, pada awal kala 1 his yang timbul masih jarang yaitu 1 kali dalam 15
menit dengan kekuatan 20 detik, his ini semakin lama akan timbul
semakin cepat dan sering yakni interval 2 sampai 3 kali dalam 10 menit
dengan kekuatan 50 sampai 100 detik. Apabila kontraksi tidak adekuat,
maka serviks tidak akan mengalami pembukaan, sehingga pada kondisi
tersebut dilakukan induksi persalinan, dan apabila tidak ada kemajuan
persalinan maka dilakukan seksio sesaria, namun pada persalinan kala II
apabila ibu mengalami kelelahan maka persalinan dilakukan dengan
menggunakan vacum ekstraksi (Cuningham et al, 2010).
Persalinan kala III yaitu melahirkan plasenta, apabila placenta belum
lahir dalam waktu 30 menit maka hal ini terjadi karena tidak ada kontraksi
uterus atau karena adanya perlengketan sehingga merangsang uterus maka
di berikan pemberian induksin dan melakukan massage uterus
(Cuningham et al, 2010).
b) Kelainan Passage
Distosia karena adanya kelainan Passage yaitu karena adanya
kelainan pada jalan lahir, jalan lahir sendiri terbagi atas jalan lahir lunak
dan jalan lahir keras. Jalan lahir keras atau tulang panggul dapat berupa
kelainan bentuk panggul, dan kelainan ukuran panggul. Sedangkan jalan
lahir lunak yang sering dijumpai karena adanya tumor ovarium yang
menghalangi jalan lahir dan adanya edema pada jalan lahir yang
dipaksakan (Winkjosastro et al, 2006).
Jenis kelainan pada jalan lahir keras berupa kelainan bentuk yaitu
bentuk panggul yang tidak normal, diantaranya gynecoid, antropoid,
android, dan platipeloid. Terutama pada panggul android distosia sulit
diatasi, selain itu terdapat kelainan panggul yang disertai dengan
perubahan bentuk karena pertumbuhan intrauterine yaitu panggul Naegele,
robert, split pelvis dan panggul asimilasi. Perubahan bentuk panggul juga
dapat terjadi karena adanya penyakit seperti rakhitis, osteomalasia,
neoplasma, fraktur, atrifi, karies, nekrosis maupun penyakit pada sendi
sakroiliaka dan sendi sakrokoksigea. Penyakit tulang belakang seperti
kifosis, skoliosis dan spondilolistesis serta penyakit pada kaki seperti
koksiis, luksasio koksa dan atrofi atau kelumpuhan satu kaki merupakan
termasuk penyulit dalam proses persalinan pervaginam (Winkjosastro et
al, 2006).
c) Kelainan Passanger
Kelainan passanger merupakan kelainan pada letak, ukuran ataupun
bentuk janin, kelainan letak ini termasuk dalam kelainan presentasi dan
kelainan posisi, pada kondisi normal, kepala memasuki pintu atas panggul
dengan sutura sagitalis dalam keadaan melintang atau oblik sehingga
ubun-ubun kecil berada dikanan atau dikiri lintang atau dikanan atau kiri
belakang, setelah kepala memasuki bidang tengah panggul (Hodge III),
kepala akan memutar ke depan akibat terbentur spina ischiadika sehingga
ubun-ubun kecil berada didepan (putaran paksi dalam), namun terkadang
tidak terjadi putaran sehingga ubun-ubun kecil tetap berada dibelakang
atau melintang, keadaaan ini disebut dengan deep transvere arrest,
oksipitalis posterior persisten atau oksipitalis transversus persisten,
keadaan ini akan mempersulit persalinan (Winkjosastro et al, 2006).
Presentasi muka merupakan salah satu kelainan janin, diagnosis
presentasi muka berdasarkan pemeriksaan luar yakni dada akan teraba
seperti punggung, bagian belakang kepala berlawanan dengan bagian
dada, dan daerah dada ada bagian kecil denyut jantung janin terdengan
jelas, dan berdasarkan pemeriksaan dalam umumnya teraba mata, hidung,
mulut dan dagu atau tepi orbita. Pada presentasi dahi pada umumnya
merupakan kedudukan sementara sehingga biasanya dapat menjadi
presentasi belakang kepala dan presentasi muka (Cuningham et al, 2010).
Letak sungsang merupakan keadaan dimana letak janin memanjang
dengan kepala dibagian fundus uteri dan bokong dibagian bawah cavum
uteri hal ini pula merupakan penyulit dalam persalinan. Selain letak
sungsang, letak lintang pula cukup sering terjadi, presentasi ini merupakan
presentasi yang tidak baik sama sekali dan tidak mungkin dilahirkan
pervaginam kecuali pada keadaan janin yang sangat kecil atau telah mati
dalam waktu yang cukup lama (Cuningham et al, 2010).
Beberapa kelainan dalam bentuk janin yaitu karena adanya
pertumbuhan janin yang berlebihan, berat neonatus pada umunya adalah
4000 gram, makrosomia atau bayi besar apabila lebih dari 4000 gram,
umumnya hal ini karena adanya faktor genetik, kehamilan dengan diabetes
mellitus, kehamilan post matur atau pada grande multipara. Hidrocephalus
pula merupakan kelainan bentuk janin, hal ini merupakan keadaan dimana
cairan serebrospinal dalam ventrikel janin berlebih sehingga kepala janin
menjadi besar dan keadaan ini dapat menyebabkan cephalo pelvic
disproportion (Winkjosastro et al, 2006).

B. Distosia Karena Kelainan Tenaga


1. Hypotonic uterine contraction
a) Definisi
Inersia uteri hipotoni atau hipotonic uterine contraction merupakan
suatu keadaan dimana kontraksi uterus terkoordinasi namun tidak adekuat
dalam membuat kemajuan dalam persalinan, biasanya his yang muncul
kurang kuat, terlalu lemah, pendek dan jarang. Inersia uteri terbagi menjadi
dua macam, yakni inersia uteri primer dan inersia uteri sekunder. Inersia
uteri primer adalah ketika his yang timbul sejak awal lemah, sedangkan
inersia uteri sekunder his lemah timbul setelah sebelumnya mengalami his
yang kuat (Cuningham et al, 2010).
b) Etiologi
Penyebab inersia uteri umumnya belum diketahui secara pasti,
namun ada beberapa yang menyebutkan penyebab terjadinya inersia uteri
karena ibu merupakan primi tua, psikis ibu dalam kondisi ketakutan,
peregangan uterus yang berlebih umumnya pada kondisi gemeli dan
hidramnion, herediter, uterus bikornis, atau karena bagian janin tidak
merapat pada segmen bawah rahim dalam hal ini kelainan letak atau CPD
(cephalo-pelvic disproportion) (Winkjosastro et al, 2006).
Secara normal his muncul sejak memasuki persalinan kala 1, his
yang timbul dominan pada bagian fundus uterus, terjadi secara simetris,
kekuatan his semakin lama semakin sering dan mengalami fase relaksasi,
sehingga his yang baik akan memberikan kemajuan persalinan. Apabila
sejak awal his yang timbul bersifat lemah, atau kurang kuat, pendek serta
jarang, maka hal ini disebut dengan inersia uteri primer hal ini umumnya
terjadi pada kala 1 fase laten. Namun apabila sebelumnya his baik, lalu
menjadi lemah, kurang kuat, pendek serta jarang, biasanya terjadi pada
kala 1 dan 2 serta saat pengeluaran placenta, maka hal ini dinamakan
inersia uteri sekunder (Winkjosastro et al, 2006).
c) Diagnosis
Dalam membantu melihat kelainan his dapat didukung dengan
pemeriksaan CTG dan USG, pada inersia uteri hipotoni, his yang timbul
tetap dominan pada fundus, namun kontraksi yang terjadi biasanya lebih
singkat dari biasanyanya, keadaan umum pasien pada umumnya baik, rasa
nyeri yang timbul tidak terlalu sakit. Apabila ketuban masih utuh, keadaan
ini tidak berbahaya baik bagi ibu maupun bagi janin, kecuali apabila
persalinan berlangsung lama (Winkjosastro et al, 2006).
d) Penatalaksanaan
Penanganan kasus inersia uteri hipotoni yaitu dilakukan pengawasan
yang meliputi tekanan darah, denyut jantung janin, dehidrasi serta tanda-
tanda asidosis, diberikan diet cair sebagai persiapan operasi, infus D5%
atau NaCl dan apabila nyeri diberikan pethidine 50 mg, serta dilakukan
pemeriksaan dalam di analisa apakah ada CPD menggunakan pelvimetri
atau MRI (Winkjosastro et al, 2006).
Apabila pasien inersia uteri dengan CPD maka dilakukan seksio
sesaria, apabila tidak ditemukan CPD maka perbaiki terlebih dahulu
keadaan umum pasien, apabila kepala atau bokong sudah masuk panggul
maka pasien di edukasi untuk aktivitas berjalan, lakukan pemecahan
ketuban, berikan oksitosin drip 5 IU per D5% dimulai 8 tetes permenit
sampai dengan 40 tetes permenit, pasien harus diawasi terus menerus
mengenai kekuatan interval his dan denyut jantung janin dan apabila
oksitosin drip gagal, maka dilakukan seksio sesaria (Winkjosastro et al,
2002).
2. Hypertonic uterine contraction
a) Definisi
His terlampau kuat atau juga disebut hypertonic uterine contraction.
Walaupun pada golongan incoordinated hypertonic uterine contraction
bukan merupakan penyebab distosia, namun hal ini dibicarakan di sini
dalam rangka kelainan his. His yang terlalu kuat dan yang terlalu efisien
menyebabkan persalinan selesai dalam waktu yang singkat. Partus yang
sudah selesai kurang dari tiga jam, dinamakan partus presipitatus: sifat his
normal, tonus otot di luar his juga biasa, kelainannya terletak pada
kekuatan his. Bahaya partus presipitatus bagi ibu ialah terjadinya
perlukaan luas pada jalan lahir, khususnya serviks uteri, vagina dan
perineum, sedangkan bayi bisa mengalami perdarahan dalam tengkorak
karena bagian tersebut mengalami tekanan kuat dalam waktu yang singkat
(Winkjosastro et al, 2006).
Batas antara bagian atas dan segmen bawah atau lingkaran retraksi
menjadi sangat jelas dan meninggi. Dalam keadaan demikian lingkaran
dinamakan lingkaran retraksi patologik atau lingkaran Bandl. Ligamentum
rotundum menjadi tegang secara lebih jelas teraba, penderita merasa nyeri
terus menerus dan menjadi gelisah. Akhirnya, apabila tidak diberi
pertolongan, regangan segmen bawah uterus melampaui kekuatan
jaringan; terjadilah ruptura uteri (Winkjosastro et al, 2006).
b) Etiologi
Kelainan his pertama kali ditemukan pada primigravida, khususnya
primigravida tua. Sampai seberapa jauh faktor emosi mempengaruhi
kelainan his, belum ada persesuaian paham antara para ahli. Hipertonic
uterine contraction dan incoordinate uterine contraction sering terjadi
bersama-sama yang ditandai dengan peningkatan tekanan uterus, kontraksi
yang tidak sinkron dan peningkatan tonus otot di segmen bawah rahim
serta frekuensi kontraksi yang menjadi lebih sering. Hal ini pada umumnya
berhubungan dengan solutio plasenta, penggunaan oksitosin yang
berlebihan, disproporsi sefalopelvik dan malpresentasi janin (DeCherney,
2007).
c) Diagnosis
Kelainan his dapat didukung oleh pemeriksaan :
1. KTG
2. USG
d) Penatalaksanaan
Dalam menghadapi persalinan lama oleh sebab apapun, keadaan
wanita yang bersangkutan harus diawasi dengan seksama. Tekanan darah
diukur tiap empat jam, pemeriksaan ini perlu dilakukan lebih sering
apabila ada gejala preeklampsia. Denyut jantung janin dicatat dalam
setengah jam dalam kala I dan lebih sering kala II. Kemungkinan dehidrasi
dan asidosis harus mendapat perhatian sepenuhnya. Karena pada
persalinan lama selalu ada kemungkinan untuk melakukan tindakan
pembedahan dengan narkosis, hendaknya wanita jangan diberi makanan
biasa melainkan dalam bentuk cairan. Sebaiknya diberikan infus larutan
glukosa 5% dan larutan NaCl isotonik secara intravena berganti-ganti.
Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberi pethidin 50 mg yang dapat
diulangi; pada permulaan kala I dapat diberi 10 mg morfin. Pemeriksaan
dalam perlu diadakan, akan tetapi harus selalu disadari bahwa tiap
pemeriksaan dalam mengandung bahaya infeksi. Apabila persalinan
berlangsung 24 jam tanpa kemajuan yang berarti, perlu diadakan penilaian
yang seksama tentang keadaan. Selain penilaian keadaan umum, perlu
ditetapkan apakah persalinan benar-benar sudah mulai atau masih dalam
tingkat false labour, apakah ada inersia uteri atau incoordinate uterine
action dan apakah tidak ada disproporsi sefalopelvik biarpun ringan.
Untuk menetapkan hal terakhir ini, jika perlu dilakukan pelvimetri
roentgenologik atau MRI (Magnetis Resonence Imaging). Apabila serviks
sudah terbuka sedikit-dikitnya 3 cm, dapat diambil kesimpulan bahwa
persalinan dapat dimulai.1 Dalam menentukan sikap lebih lanjut perlu
diketahui apakah ketuban sudah atau belum pecah. Apabila ketuban sudah
pecah, maka keputusan untuk menyelesaikan persalinan tidak boleh
ditunda terlalu lama berhubung dengan bahaya infeksi. Sebaiknya dalam
24 jam setelah ketuban pecah sudah dapat diambil keputusan apakah perlu
dilakukan seksio sesaria dalam waktu singkat, atau persalinan dapat
dibiarkan berlangsung terus (Winkjosastro et al, 2006).
His terlalu kuat. Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat
dilakukan karena biasanya bayi sudah lahir tanpa ada seorang yang
menolong. Kalau seorang wanita pernah mengalami partus presipitatus,
kemungkinan besar kejadian ini akan berulang pada persalinan berikutnya.
Karena itu sebaiknya wanita dirawat sebelum persalinan, sehingga
pengawasan dapat dilakukan dengan baik. Pada persalinan keadaan
diawasi dengan cermat, dan episiotomi dilakukan pada waktu yang tepat
untuk menghindarkan terjadinya ruptura uteri. Dalam keadaan demikian
janin harus segera dilahirkan dengan cara yang memberikan trauma
sedikit-sedikitnya bagi ibu dan anak (Winkjosastro et al, 2006).
3. Incoordinate uterine action
Tonus uterus otot meningkat, juga di luar his, dan kontraksinya tidak
berlangsung seperti biasa karena tidak ada sinkronisasi antara kontraksi
bagian-bagiannya. Tidak adanya koordinasi antara kontraksi bagian atas,
tengah dan bawah menyebabkan his tidak efisien dalam mengadakan
pembukaan. Di samping itu tonus otot uterus yang meningkat
menyebabkan rasa nyeri yang lebih keras dan lama bagi ibu dan
menyebabkan hipoksia dalam janin. His jenis ini juga disebut sebagai
uncoordinated hypertonic uterine contraction. Kadang-kadang dalam
persalinan lama dengan ketuban yang sudah lama pecah, kelainan his ini
menyebabkan spamus sirkuler setempat, sehingga terjadi penyempitan
kavum uteri pada tempat itu. Ini dinamakan lingkaran kontraksi atau
lingkaran konstriksi (Winkjosastro et al, 2006).
Secara teoritis lingkaran ini dapat terjadi dimana-mana, akan tetapi
biasanya ditemukan pada batas antara bagian atas dan bagian segmen
uterus. Lingkaran konstriksi tidak dapat diketahui dengan pemeriksaan
dalam, kecuali pembukaan sudah lengkap, sehingga tangan dapat
dimasukkan ke dalam kavum uteri. Oleh sebab itu jika pembukaan belum
lengkap, biasanya tidak mungkin mengenal kelainan ini dengan pasti.
Adakalanya persalinan tidak maju karena kelainan pada serviks yang
dinamakan distosia servikalis. Kelainan ini bisa primer atau sekunder.
Distosia servikalis dinamakan primer kalau serviks tidak membuka karena
tidak mengadakan relaksasi berhubungan dengan incoordinate uterin
action. Penderita biasanya seorang primigravida. Kala I menjadi lama, dan
dapat diraba jalan serviks yang kaku. Kalau keadaan ini dibiarkan, maka
tekanan kepala uterus terus menerus akan menyebabkan nekrosis jaringan
serviks dan dapat mengakibatkan lepasnya bagian tengah serviks secara
sirkuler. Distosia servikalis sekunder disebabkan oleh kelainan organik
pada serviks, misalnya karena jaringan parut atau karena karsinoma.
Dengan his kuat serviks bisa robek, dan robekan ini dapat menjalar
kebagian bawah uterus. Oleh karena itu setiap wanita yang pernah
mengalami operasi pada serviks, selalu diawasi persalinannya di rumah
sakit (Winkjosastro et al, 2006).

C. Distosia Karena Kelainan Letak dan Bentuk Janin


1. Posisi Oksipitalis Posterior Persisten (POPP)
a) Definisi
Secara normal pada presentasi belakang kepala, kepala yang pertama
sampai kedasar panggul adalah bagian oksiput, sehingga oksiput berputar
kedepan karena panggul luas didepan, pada POPP, oksiput ini tidak
berputar kedepan sehingga tetap dibelakang (Cuningham et al, 2010).
b) Etiologi
POPP ini dapat disebabkan karena beberapa hal, diantaranya bentuk
panggul antropoid, panggul android karena memiliki segmen depan yang
sempit, otot panggul yang sudah lembek biasanya hal ini terjadi pada
multipara, dan karena kepala janin yang kecil dan bulat (Crowin, 2009).
c) Penatalaksanaan
Proses persalinan pada kasus POPP ini apabila dengan presentasi
kepala dan panggung longgar, maka dapat dilahirkan dengan spontan
namun dengan proses yang lama sehingga perlu adanya pengawasan ketat
dengan harapan janin dapat dilahirkan spontan pervaginam. Tindakan baru
dilakukan apabila kala II terlalu lama atau adanya tanda-tanda kegawatan
pada janin. Pada persalinan dapat terjadi robekan perineum yang teratur
atau ekstensi dari episiotomi karena mekanisme persalinan pervaginam
pada POPP yaitu ketika kepala sudah sampai pada dasar panggul, ubun-
ubun besar dibawah symphisis sebagai hipomoklion oksiput lahir
melewati perineum, jalan lahir dengan Sirkum Farensia Frontooksipitalis
lebih besar dari Sirkum Suboksipito Bregmatika sehingga kerusakan
perineum atau vagina lebih luas. Sebelumnya periksa ketuban pasien,
apabila masih intake maka pecahkan terlebih dahulu ketubannya, apabila
penurunan kepala sudah lebih dari 3/5 diatas PAP atau diatas 2 maka
sebagiknya dilakukan seksio sesaria, apabila pembukaan serviks belum
lengkap dan tidak ada tanda obstruksi maka diberikan oksitosin drip, bila
pembukaan lengkap dan tidak ada kemajuan pada fase pengeluaran,
dipastikan kembali tidak adanya obstruksi kemudian apabila tidak ada
tanda obstruksi diberikan oksitosin drip, namun bila pembukaan lengkap
dan kepala masuk tidak kurang dari 1/5 PAP atau pada kala II bila kepala
turun sampai dengan Hodge III dan atau UUK lintang sudah dipimpin
namun tak ada kemajuan sehingga menyebabkan deep transvered arrest
maka dilakukan vacum ekstraksi atau forceps, namun apabila ada tanda
obstruksi serta gawat janin maka akhiri kehamilan dengan seksio sesaria
(Cuningham et al, 2005).
Prognosis persalinan dengan POPP ini persalinan menjadi lebih lama
dan kerusakan jalan lahir lebih besar, selain itu kematian perinatal lebih
besar pada POPP dari pada presentasi kepala dengan UUK di bagian depan
(Cuningham et al, 2005).
2. Presentasi Puncak Kepala
a) Definisi
Presentasi puncak kepala adalah keadaan dimana puncak kepala
janin merupakan bagian terendah, hal ini terjadi apabila derajat
defleksinya ringan atau kepala dengan defleksi/ekstensi minimal dengan
sinsiput merupakan bagian terendah. Presentasi puncak kepala adalah
bagian terbawah janin yaitu puncak kepala, pada pemeriksaan dalam
teraba UUB yang paling rendah, dan UUB sudah berputar ke depan
(Muchtar, 2002).
Pada umumnya presentasi puncak kepala merupakan kedudukan
sementara yang kemudian berubah menjadi presentasi belakang kepala.
Mekanisme persalinannya hampir sama dengan posisi oksipitalis posterior
persistens, sehingga keduanya sering kali dikacaukan satu dengan yang
lainnya. Perbedaannya pada presentasi puncak kepala tidak terjadi fleksi
kepala yang maksimal, sedangkan lingkaran kepala yang melalui jalan
lahir adalah sirkumferensia frontooksipitalis dengan titik perputaran
(Cuningham et al, 2005).
b) Etiologi
Letak defleksi ringan dalam buku synopsis Obstetri Fisiologi dan
Patologi (2002) biasanya karena adanya kelainan panggul (panggul picak),
kepala bentuknya bundar, janin kecil atau mati, kerusakan dasar panggul
atau karena penyebab lain yaitu keadaan – keadaan yang memaksa terjadi
defleksi kepala atau keadaan yang menghalangi terjadinya fleksi kepala,
hal ini sering ditemukan pada janin besar atau panggul sempit,
multiparitas, perut gantung, anensefalus, tumor leher bagian depan
(Muchtar, 2002).
c) Diagnosis
Untuk menentukan diagnosis presentasi puncak kepala, pada
pemeriksaan lokalis abdomen biasanya didapatkan pada bagian fundus
uteri teraba bokong dan diatas panggul teraba kepala, punggung terdapat
pada satu sisi, bagian-bagian kecil terdapat pada sisi yang berlawanan,
oleh karena tidak ada fleksi maupun ekstensi maka tidak teraba dengan
jelas adanya tonjolan kepala pada sisi yang satu maupun sisi lainnya. Pada
auskultasi denut jantung janin terdengar paling keras di kuadran bawah
perut ibu, pada sisi yang sama dengan punggung janin. Pemeriksaan dalam
didapatkan sutura sagitalis umumnya teraba pada diameter transversa
panggul, kedua ubun-ubun sama-sama dengan mudah diraba dan dikenali,
keduanya sama tinggi dalam panggul. Pemeriksaan radiologis akan
membantu dan menegakkan diagnosis kedudukan dan menilai panggul
(Cuningham et al, 2005).
d) Penatalaksaan
Mekanisme persalinan pada presentasi puncak kepala, putaran paksi
dalam ubun-ubun besar (UUB) berputar ke simfisis, UUB lahir kemudian
dengan glabella sebagai hipomoglion, kepala fleksi sehingga lahirlah
oksiput melalui peineum. Lingkaran kepala yang melewati panggul adalah
circum fronto-occiput sebesar kurang lebih 34cm, oleh karena itu partus
akan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan persalinan normal
dimana diameter yang melewati panggul adalah cirkum
suboksipitobregmatikus (32cm). Kepala masuk panggul paling sering pada
diameter transversa PAP. Kepala turun perlahan-lahan, dengan ubun-ubun
kecil dan dahi sama tingginya (tidak ada fleksi maupun ekstensi) dan
dengan sutura sagitalis pada diameter transversa panggul, sampai puncak
kepala mencapai dasar panggul. Sampai di sini ada beberapa kemungkinan
penyelesaiannya, sering kali kepala mengadakan fleksi, ubun-ubun kecil
(UUK) berputar ke depan dan kelahiran terjadi dengan kedudukan
occipitoanterior, atau kepala mungkin tertahan pada diameter transverse
panggul, diperlukan pertolongan operatif untuk deep transverse arrest, atau
pada keadaan kepala mungkin berputar ke belakang dengan atau tanpa
fleksi, UUK menuju ke lengkung sacrum dan dahi ke pubis, mekanisme
pada kondisi ini adalah kedudukan UUK belakang menetap dan kelahiran
dapat spontan atau dengan seksio sesaria (Cuningham et al, 2005).
Presentasi puncak kepala dapat ditunggu hingga memungkinkan
kelahiran spontan, namun bila 1 jam dipimpin mengejan bayi tidak lahir
dan kepala bayi sudah didasar panggul maka dilakukan ekstraksi forceps,
umunya persalinan pada presentasi puncak kepala dilakukan episiotomi
(Winkjosastro et al, 2006).
Prognosis pada persalinan ini cukup baik baik bagi ibu maupun bagi
janin meskipun sedikit lebih lama dan lebih sukar daripada persalinan
normal. Umumnya terjadi fleksi dan melanjut ke persalinan normal
(Winkjosastro et al, 2006).
3. Presentasi Muka
a) Definisi
Pada presentasi muka, kedudukan kepala mengalami defleksi
maksimal, sehingga oksiput tertekan pada punggung dan muka merupakan
bagian terendah menghadap ke bawah. Presentasi muka dikatakan primer
apabila sudah terjadi sejak masa kehamilan sedangkan presentasi muka
sekunder apabila terjadi saat persalinan (Cuningham et al, 2005).
Pada presentasi muka, kepala berada dalam posisi hiperekstensi
sehingga oksiput menempel pada punggung bayi dan dagu (mentum)
menjadi bagian terbawah janin. Muka janin dapat tampil sebagai dahu
anterior atau posterior, relatif terhadap simfisis pubis. Pada janin aterm,
kemajuan persalinan biasanya terhalang oleh presentasi muka mentum
posterior atau dagu belakang karena dahi janin akan tertekan untuk
membuka jalan lahir. Posisi ini menghambat fleksi kepala janin yang
diperlukan untuk membuka jalan lahir. Namun berlawanan dengan hal ini,
fleksi kepala dan partus pervaginam sering dijumpai pada presentasi dagu
depan, banyak presentasi dagu posterior yang berubah spontan menjadi
presentasi dagu depan bahkan pada akhir persalinan (Cuningham et al,
2005).
b) Etiologi
Presentasi muka umumnya terjadi karena keadaan-keadaan yang
memaksa terjadinya defleksi kepala atau karena keadaan yang
menghalangi terjadinya fleksi kepala. Oleh karena itu presentasi muka
dapat ditemukan pada kondisi panggul sempit atau janin besar. Pada
multiparitas dan perut gantung juga merupakan faktor yang memudahkan
terjadinya presentasi muka. Selain itu juga kondisi kelainan janin seperti
anencephalus dan pada tumor leher dapat mengakibatkan presentasi muka
(Crowin, 2009).
c) Diagnosis
Diagnosis presentasi muka tubuh janin berada dalam keadaan
ekstensi sehingga pada periksa luar didapatkan dada teraba seperti
punggung, bagian belakang kepala berlawanan dengan dada, bagian dada
ada bagian kecil dan DJJ terdengan lebih jelas. Sedangkan pada periksa
dalam, teraba dagu, mulut, hidung, tepi orbita, bila ada caput maka sulit
dibedakan dengan bokong, apabila ragu, maka sebaiknya dilakukan
pemeriksaan radiologis , rontgen atau MRI (Cuningham et al, 2005).
d) Penatalaksaan
Proses persalinan presentasi muka kepala turun dengan
sirkumfarensia trakelo parietalis dengan dagu lintang atau miring, setelah
muka sampai dasar panggul terjadi putaran paksi dalam, dagu ke depan di
bawah arkus pubis, kemudian dengan submentum menjadi hipomoklion
kepala lahir dengan fleksi sampai dahi, UUB, belakang kepala lewati
perineum, kemudian putaran paksi luar dan badan lahir. Terkadang dagu
tidak dapat diputar ke depan, posisi ini merupakan mentoposterior
persistens maka pada situasi ini dilakukan seksio sesaria (Winkjosastro et
al, 2006).
Pada kondisi dagu belakang prognosis persalinan kurang baik dan
tidak dapat pervaginam, kematian perinatal pada presentasi muka pencapai
2,5 hingga 5%. Apabila pada kondisi presentasi muka tidak disertai CPD
dan posisi dagu depan maka dilahirkan secara spontan. Dagu belakang
memiliki kesempatan berputar menjadi dagu depan bila kala II posisi
mentoposterior persistens, dagu diputar kedepan, bila berhasil maka
lahirkan secara spontan dan apabila gagal maka dilakukan seksio sesaria
(Winkjosastro et al, 2006).
Presentasi muka dapat dicoba diubah menjadi prsentasi belakang
kepala dengan cara tangan dimasukkan ke vagina, tekan bagian muka dan
dagu keatas, apabila tidak berhasil lakukan dengan perasat THORN,
bagian belakang kepala dipegang dengan tangan yang masuk vagina
kemudian tarik kebawah tangan yang lain tekan dada dari luar. Hal ini
dilakukan dengan syarat dagu belakang dan kepala belum turun. Indikasi
persalinan dengan seksio sesaria pada presentasi muka yaitu posisi
mentoposterior persistence dan panggul sempit (Muchtar, 2002).
4. Presentasi Dahi
a) Definisi
Presentasi dahi pada umumnya merupakan kedudukan sementara,
posisi ini dapat berubah menjadi presentasi belakang kepala atau
presentasi muka, kejaidan presentasi dahi ini 1:400 (Winkjosastro et al,
2006).
b) Etiologi
Etiologi atau penyebab terjadinya presentasi dahi adalah presentasi
muka (Winkjosastro et al, 2006).
c) Diagnosis
Diagnosis presentasi dahi berdasarkan pemeriksaan luar seperti pada
presentasi muka namun bagian belakang kepala tidak begitu menonjol,
DJJ akan jelas terdengar pada bagian dada. Pemeriksaan dalam akan teraba
sutura frontalis, ujung yang satu akan teraba UUB dan ujung yang lainnya
akan teraba pangkal hidung dan tepi orbita (Winkjosastro et al, 2006).
d) Penatalaksaan
Persalinan pada presentasi dahi, apabila terjadi defleksi lagi dan
berubah menjadi presentasi muka maka persalinan menjadi lama dan
hanya 15% lewat persalinan spontan. Kematian perinatal pada presentasi
muka sebesar 20% (Cuningham et al, 2005).
Prognosis persalinan dengan presentasi dahi ditentukan oleh
janinnya, jika janin kecil maka persalinan mungkin terjadi spontan karena
bisa jadi janin berubah menjadi presentasi belakang kepala atau presentasi
muka, namun jika janin berat atau besarnya normal maka persalinan tidak
dapat pervaginam sehingga dilakukan seksio sesaria oleh karena
sirkumfarensia maksilo parietalis lebih besar dari lingkaran pintu atas
panggul. Pada kala I persalinan dilakukan prasat THORN, apabila gagal
maka janin tetap dilahirkan perabdominam yaitu seksio sesaria
(Cuningham et al, 2005).
5. Letak Sungsang
a) Definisi
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak
memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian
bawah kavum uteri. Tipe letak sungsang yaitu: Frank breech (50-70%)
yaitu kedua tungkai fleksi ; Complete breech (5-10%) yaitu tungkai atas
lurus keatas, tungkai bawah ekstensi ; Footling (10-30%) yaitu satu atau
kedua tungkai atas ekstensi, presentasi kaki (Cunningham, 2005).
b) Etiologi
Faktor predisposisi dari letak sungsang adalah prematuritas,
abnormalitas uterus (malformasi, fibroid), abnormalitas janin (malformasi
CNS, massa pada leher, aneploid), overdistensi uterus (kehamilan ganda,
polihidramnion), multipara dengan berkurangnya kekuatan otot uterus,
dan obstruksi pelvis (plasenta previa, myoma, tumor pelvis lain). Dengan
pemeriksaan USG, prevalensi letak sungsang tinggi pada implantasi
plasenta pada cornu-fundal. Lebih dari 50 % kasus tidak ditemukan faktor
yang menyebabkan terjadinya letak sungsang (Schiara et al, 1997).
c) Diagnosis
Diagnosis letak bokong dapat ditentukan dengan persepsi gerakan
janin oleh ibu, pemeriksaan Leopold, auskultasi denyut jantung janin di
atas umbilikus, pemeriksaan dalam, USG dan Foto sinar-X (Schiara et al,
1997).
d) Penatalaksanaan
Untuk memilih jenis persalinan pada letak sungsang Zatuchni dan
Andros telah membuat suatu indeks prognosis untuk menilai apakah
persalinan dapat dilahirkan pervaginam atau perabdominan. Jika nilai
kurang atau sama dengan 3 dilakukan persalinan perabdominan, jika nilai
4 dilakukan evaluasi kembali secara cermat, khususnya berat badan janin;
bila nilai tetap dapat dilahirkan pervaginam, jika nilai lebih dari 5
dilahirkan pervaginam (Setjalilakusuma, 2000). ALARM memberikan
kriteria seleksi untuk partus pervaginam yaitu jenis letak sungsang adalah
frank atau bokong komplit, kepala fetus tidak hiperekstensi dan taksiran
berat janin 2500-3600 gram serta tindakan augmentasi dan induksi
persalinan diperbolehkan pada janin letak sungsang (Wiknjosastro, 2005).
Zatuchni dan Andros telah membuat suatu indeks prognosis untuk
menilai lebih tepat apakah persalinan dapat dilahirkan pervaginam atau
perabdominan, sebagai berikut (Cunningham, 2005).

0 1 2
Paritas Primigravida Multigravida
Umur >39 minggu 38 minggu < 37 minggu
Kehamilan
Taksiran >3630 gr 3629 gr -3176 gr < 3176 gr
berat janin
Pernah letak Tidak 1x >2x
sungsang
Pembukaan <2 cm 3 cm >4cm
serviks
Station <3 <2 1 atau lebih
rendah

Arti nilai :
< 3 : persalinan perabdomen
4 : evaluasi kembali secara cermat, khususnya berat badan janin bila
nilainya tetap maka dapat dilahirkan pervaginam
> 5 : dilahirkan pervaginam
Prosedur persalinan sungsang secara spontan :
a. Tahap lambat : mulai lahirnya bokong sampai pusar merupakan fase yang
tidak berbahaya.
b. Tahap cepat : dari lahirnya pusar sampai mulut, pada fase ini kepala janin
masuk PAP, sehingga kemungkinan tali pusat terjepit.
c. Tahap lama : lahirnya mulut sampai seluruh bagian kepala, kepala keluar
dari ruangan yang bertekanan tinggi (uterus) ke dunia luar yang
tekanannya lebih rendah sehingga kepala harus dilahirkan perlahan-lahan
untuk menghindari pendarahan intrakranial (adanya tentorium
cerebellum).
Teknik persalinan
a. Persiapan ibu, janin, penolong dan alat yaitu cunam piper.
b. Ibu tidur dalam posisi litotomi, penolong berdiri di depan vulva saat
bokong mulai membuka vulva, disuntikkan 2-5 unit oksitosin
intramuskulus. Dilakukan episiotomi.
c. Segera setelah bokong lahir, bokong dicengkram dengan cara Bracht,
yaitu kedua ibu jari penolong sejajar sumbu panjang paha, sedangkan
jari-jari lain memegang panggul. Saat tali pusat lahir dan tampak
teregang, tali pusat dikendorkan terlebih dahulu.
d. Penolong melakukan hiperlordosis badan janin untuk menutupi gerakan
rotasi anterior, yaitu punggung janin didekatkan ke perut ibu, gerakan ini
disesuaikan dengan gaya berat badan janin. Bersamaan dengan
hiperlordosis, seorang asisten melakukan ekspresi kristeller. Maksudnya
agar tenaga mengejan lebih kuat sehingga fase cepat dapat diselesaikan.
Menjaga kepala janin tetap dalam posisi fleksi, dan menghindari ruang
kosong antara fundus uterus dan kepala janin, sehingga tidak teradi
lengan menjungkit.
e. Dengan gerakan hiperlordosis, berturut-turut lahir pusar, perut, bahu,
lengan, dagu, mulut dan akhirnya seluruh kepala.
f. Janin yang baru lahir diletakkan diperut ibu.
Prosedur manual aid (partial breech extraction) :
Indikasi : jika persalinan secara bracht mengalami kegagalan misalnya
terjadi kemacetan saat melahirkan bahu atau kepala.
Tahapan :
a. Lahirnya bokong sampai pusar yang dilahirkan dengan tenaga ibu
sendiri.
b. Lahirnya bahu dan lengan yang memakai tenaga penolong dengan cara
klasik (Deventer), Mueller, Louvset, Bickenbach.
c. Lahirnya kepala dengan cara Mauriceau (Veit Smellie), Wajouk, Wid and
Martin Winctel, Prague Terbalik, Cunan Piper.

Cara klasik :
a. Prinsip-prinsip melahirkan lengan belakang lebih dahulu karena lengan
belakang berada di ruangan yang lebih besar (sacrum), baru kemudian
melahirkan lengan depan di bawah simpisis tetapi jika lengan depan sulit
dilahirkan maka lengan depan diputar menjadi lengan belakang, yaitu
dengan memutar gelang bahu ke arah belakang dan kemudian lengan
belakang dilahirkan.
b. Kedua kaki janin dilahirkan dan tangan kanan menolong pada
pergelangan kakinya dan dielevasi ke atau sejauh mungkin sehingga
perut janin mendekati perut ibu.
c. Bersamaan dengan itu tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam jalan
lahir dan dengan jari tengah dan telunjuk menelusuri bahu janin sampai
fossa cubiti kemudian lengan bawah dilahirkan dengan gerakan seolah-
olah lengan bawah mengusap muka janin.
d. Untuk melahirkan lengan depan, pegangan pada pergelangan kaki janin
diganti dengan tangan kanan penolong dan ditarik curam ke bawah
sehingga punggung janin mendekati punggung ibu.
e. Dengan cara yang sama lengan depan dilahirkan.
f. Jika lengan depan sukar dilahirkan, maka harus diputar menjadi lengan
belakang. Gelang bahu dan lengan yang sudah lahir dicengkram dengan
kedua tangan penolong sedemikian rupa sehingga kedua ibu jari tangan
penolong terletak di punggung dan sejajar dengan sumbu badan janin
sedang jari-jari lain mencengkram dada. Putaran diarahkan ke perut dan
dada janin sehingga lengan depan terletak di belakang kemudian lengan
dilahirkan dengan cara yang sama.
Cara Mueller
a. Prinsipnya : melahirkan bahu dan lengan depan lebih dahulu dengan
ekstraksi, baru kemudian melahirkan bahu dan lengan belakang.
b. Bokong janin dipegang secara femuro-pelviks, yaitu kedua ibu jari
penolong diletakkan sejajar spina sacralis media dan jari telunjuk pada
crista illiaca dan jari-jari lain mencengkram paha bagian depan. Badan
janin ditarik curam ke bawah sejauh mungkin sampai bahu depan tampak
dibawah simpisis, dan lengan depan dilahirkan dengan mengait lengan di
bawahnya.
c. Setelah bahu depan dan lengan depan lahir, maka badan janin yang masih
dipegang secara femuro-pelviks ditarik ke atas sampai bahu ke belakang
lahir. Bila bahu belakang tak lahir dengan sendirinya, maka lengan
belakang dilahirkan dengan mengait lengan bawah dengan kedua jari
penolong.
Cara louvset :
a. Prinsipnya : memutar badan janin dalam setengah lingkaran bolak-balik
sambil dilakukan traksi awam ke bawah sehingga bahu yang sebelumnya
berada dibelakang akhirnya lahir dibawah simpisis.
b. Badan janin dipegang secara femuro-pelviks dan sambil dilakukan traksi
curam ke bawah, badan janin diputar setengah lingkaran, sehingga bahu
belakang menjadi bahu depan. Kemudian sambil dilakukan traksi, badan
janin diputar lagi ke arah yang berlawanan setengah lingkaran. Demikian
seterusnya bolak-balik sehingga bahu belakang tampak di bawah
simpisis dan lengan dapat dilahirkan.
Cara Mauriceau (Veit-Smellie) :
a. Tangan penolong yang sesuai dengan muka janin dimasukkan ke dalam
jalan lahir. Jari tengah dimasukkan ke dalam mulut dan jari telunjuk dan
jari ke 4 mencengkram fossa kanina, sedangkan jari lain mencengkeram
leher. Badan anak diletakkan di atas lengan bawah penolong, seolah-olah
janin menunggang kuda. Jari telunjuk dan jari ke 3 penolong yang lain
mencengkeram leher janin dari arah punggung.
b. Kedua tangan penolong menarik kepala janin curam ke bawah sambil
seorang asisten melakukan ekspresi kristeller. Tenaga tarikan terutama
dilakukan oleh tangan penolong yang mencengkeram leher janin dari
arah punggung. Jika suboksiput tampak di bawah simpisis, kepala janin
diekspasi ke atas dengan suboksiput sebagai hipomoklion sehingga
berturut-turut lahir dagu, mulut, hidung, mata, dahi, ubun-ubun besar dan
akhirnya lahir seluruh kepala janin.
Cara cunam piper :
Pemasangan cunam pada after coming head tekniknya sama dengan
pemasangan lengan pada letak belakang kepala. Hanya pada kasus ini,
cunam dimasukkan pada arah bawah, yaitu sejajar pelipatan paha belakang.
Hanya pada kasus ini cunam dimasukkan dari arah bawah, yaitu sejajar
pelipatan paha belakang. Setelah suboksiput tampak dibawah simpisis,
maka cunam dielevasi ke atas dan dengan suboksiput sebagai hipomoklion
berturut-turut lahir dagu, mulut, muka, dahi dan akhirnya seluruh kepala
lahir.
6. Letak Lintang
a) Definisi
Letak lintang adalah bila dalam kehamilan atau dalam persalinan
sumbu panjang janin melintang terhadap sumbu panjang ibu (termasuk di
dalamnya bila janin dalam posisi oblique). Letak lintang kasep adalah
letak lintang kepala janin tidak dapat didorong ke atas tanpa merobekkan
uterus (Winkjosastro et al, 2006). Letak lintang dapat dibagi menjadi 2
macam, yang dibagi berdasarkan:
a. Letak kepala
1. Kepala anak bisa di sebelah kiri ibu
2. Kepala anak bisa di sebelah kanan ibu
b. Letak punggung
1. Jika punggung terletak di sebelah depan ibu, disebut dorso-anterior
2. Jika punggung terletak di sebelah belakang ibu, disebut dorso-
posterior
3. Jika punggung terletak di sebelah atas ibu, disebut dorso-superior
4. Jika punggung terletak di sebelah bawah ibu, disebut dorso-inferior
b) Etiologi
Penyebab dari letak lintang sering merupakan kombinasi dari berbagai
faktor, sering pula penyebabnya tetap merupakan suatu misteri. Faktor –
faktor tersebut adalah :
1) Fiksasi kepala tidak ada karena panggul sempit, hidrosefalus,
anesefalus, plasenta previa, dan tumor pelvis
2) Janin sudah bergerak pada hidramnion, multiparitas, atau sudah mati.
3) Gemeli
4) Pelvic kidney dan rectum penuh
5) Multiparitas disertai dinding uterus dan perut yang lembek
c) Diagnosis
1) Inspeksi
Perut membuncit ke samping
2) Palpasi
Fundus uteri lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan
Fundus uteri kosong dan bagian bawah kosong, kecuali kalau bahu
sudah masuk ke dalam pintu atas panggul
Kepala (ballotement) teraba di kanan atau di kiri
3) Auskultasi
Denyut jantung janin setinggi pusat kanan atau kiri.
4) Pemeriksaan dalam (vaginal toucher)
Teraba tulang iga, skapula, dan kalau tangan menumbung teraba
tangan. Untuk menentukan tangan kanan atau kiri lakukan dengan cara
bersalaman.
Teraba bahu dan ketiak yang bisa menutup ke kanan atau ke kiri. Bila
kepala terletak di kiri, ketiak menutup ke kiri.
Letak punggung ditentukan dengan adanya skapula, letak dada dengan
klavikula.
Pemeriksaan dalam agak sukar dilakukan bila pembukaan kecil dan
ketuban intak, namun pada letak lintang biasanya ketuban cepat pecah.
d) Penatalaksanaan
Pada permulaan persalinan dalam letak lintang, pintu atas panggung
tidak tertutup oleh bagian bawah anak seperti pada letak memanjang. Oleh
karena itu seringkali ketuban sudah lebih dulu pecah sebelum pembukaan
lengkap atau hampir lengkap. Setelah ketuban pecah, maka tidak ada lagi
tekanan pada bagian bawah, sehingga persalinan berlangsung lebih lama.
His berperan dalam meluaskan pembukaan, selain itu dengan kontraksi
yang semakin kuat, maka anak makin terdorong ke bawah. Akibatnya
tubuh anak menjadi membengkok sedikit, terutama pada bagian yang
mudah membengkok, yaitu di daerah tulang leher. Ini pun disebabkan
karena biasnaya ketuban sudah lekas pecah dan karena tak ada lagi air
ketuban, maka dinding uterus lebih menekan anak di dalam rahim. Dengan
demikian bagian anak yang lebih rendah akan masuk lebih dulu ke dalam
pintu atas panggul, yaitu bahu anak. Karena pada letak lintang pintu atas
panggul tidak begitu tertutup, maka tali pusat seringkali menumbung, dan
ini akan memperburuk keadaan janin.
Bila pembukaan telah lengkap, ini pada awalnya tidak begitu jelas
tampaknya. Karena tidak ada tekanan dari atas oleh bagian anak pada
lingkaran pembukaan, makan lingkaran ini tidak dapat lenyap sama sekali,
senantiasa masih berasa pinggirnya seperti suatu corong yang lembut.
Penting untuk diketahui, bahwa tidak ada pembukaan yang benar-benar
lengkap pada letak lintang seperti halnya pembukaan lengkap pada letak
memanjang.
Tandanya pembukaan itu sudah lengkap adalah lingkaran
pembukaan itu mudah dilalui oleh kepalan tangan pemeriksa, sedangkan
pada pembukaan yang belum lengkap, kepalan tangan pemeriksa sukar
untuk memasuki lingkaran tersebut. Lain halnya dengan letak memanjang,
pada letak lintang setelah pembukaan lengkap, karena his dan tenaga
mengejan, badan anak tidak dapat dikeluarkan dari rongga rahim, akan
tetapi sebagian besar masih di dalam uterus, meskipun tubuh anak menjadi
semakin membengkok.. Jika ini terjadi terus menerus, maka akan terjadi
suatu letak lintang kasep, dimana tubuh anak tidak dapat lagi didorong ke
atas. Letak lintang kasep terjadi bukanlah karena lamanya persalinan,
namun faktor yang penting ialah karena faktor kuatnya his. Pada letak
lintang kasep, biasanya anak telah mati, yang disebabkan karena kompresi
pada tali pusat, perdarahan pada plasenta, ataupun cedera organ dalam
karena tubuh anak terkompresi dan membengkok.
7. Kehamilan Multipel
a) Definisi
Kehamilan kembar atau kehamilan multipel ialah suatu kehamilan
dengan dua janin atau lebih. Kehamilan multipel dapat berupa kehamilan
ganda atau gemelli (2 janin), triplet ( 3 janin ), kuadruplet ( 4 janin ),
Quintiplet ( 5 janin ) dan seterusnya (Cunningham, 2005).

b) Etiologi
Terjadinya kehamilan kembar atau multipel umumnya disebabkan
oleh adanya pembuahan satu atau lebih ovum yang berbeda. Pada
kehamilan ganda sepertiganya berasal dari satu ovum yang mengalami
pembuahan kemudian membelah menjadi dua struktur yang serupa.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya kehamilan multipel
antara lain (Cunningham, 2005) :
1) Ras
Kehamilan multipel terjadi pada 1 dari 100 kehamilan pada orang kulit
putih dan 1 dari 80 kehamilan pada orang kulit hitam.
2) Hereditas
Memiliki riwayat keturunan dari ibu lebih banyak mempengaruhi
dibanding riwayat keturunan dari ayah.
3) Usia ibu dan paritas
Kehamilan multijanin umunya terjadi pada ibu dengan usia mulai dari
pubertas hingga usia 37 tahun karena adanya aktivitas ovulasi ganda
yang cukup tinggi pada usia reproduksi aktif yang dipengaruhi oleh
peningkatan kadar hormon FSH. Kehamilan multipel lebih sering
terjadi pada ibu nullipara dibandingkan dengan ibu yang sudah pernah
melahirkan sebelumnya.
4) Faktor Gizi
Kehamilan kembar 20 sampai 30 persen lebih sering terjadi pada ibu
yang memiliki ukuran lebih tinggi dan lebih berat dibandingkan dengan
ibu yang memiliki ukuran tubuh yang lebih pendek dan kecil. Selain itu
tingginya asupan gizi sebelum kehamilan dan suplementasi asam folat
perikonsepsi dapat meningkatkan terjadinya kehamilan kembar.
5) Terapi Kesuburan
Induksi ovulasi dengan menggunakan obat-obatan hormonal
gonadotropin dapat meningkatkan terjadinya kehamilan multipel
karena adanya peningkatan secara mendadak hormon gonadotropin
dapat memicu adanya ovulasi ganda.
c) Diagnosis
Penegakan diagnosa pada kehamilan kembar dapat ditegakkan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
(Cunningham, 2005).
1) Anamnesis
Anamnesis yang dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis kehamilan
kembar adalah riwayat adanya kehamilan kembar sebelumnya atau
keturunan kembar dalam keluarga, telah mendapat pengobatan
infertilitas, adanya uterus yang cepat membesar dari amenorea, gerakan
janin yang terlalu sering dan adanya penambahan berat badan ibu
menyolok yang tidak disebabkan obesitas atau edema (Cunningham,
2005).
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan palpasi abdomen didapatkan adanya dua kepala janin yang
berada di kuadram uterus yang berbeda, banyak didapatkan bagian
bagian kecil janin, teraba dua atau lebih bagian besar, dan teraba dua
ballotemen. Tinggi fundus uteri lebih besar dari kehamilan pada
umumnya. Denyut jantung janin yang terdengar lebih dari satu di
tempat yang berbeda dengan perbedaan 10 atau lebih (Cunningham,
2005).
3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan USG dapat menunjukkan adanya 2 bayangan janin atau
lebih dengan 1 atau lebih kantong amnion. Diagnosis menggunakan
USG yang dilakukan pada trimester pertama masih sulit untuk
mendiagnosis jumlah janin pada uterus, jumlah kantong gestasional
yang terlihat, dan posisi dari janin di dalam uterus (Cunningham, 2005).
d) Penatalaksanaan
Penyulit dalam persalinan pada kehamilan kembar diantaranya
persalinan preterm, disfungsi uterus, kelainan presentasi, prolaps tali
pusat, dan perdarahan post partum. Sepanjang persalinan pasien harus
sudah diberikan infus dengan cairan RL, penyediaan transfusi darah,
ampisilin 2 gram untuk pencegahan infeksi, dan disiapkannya alat USG
untuk mengevaluasi setelah janin pertama lahir. Sebagian besar janin
kembar dalam presentasi kepala-kepala, kepala-bokong, bokong-bokong,
kepala-melintang, dan lain-lain. Presentasi kepala-kepala merupakan
presentasi paling stabil selama persalinan dan memungkinkan untuk
terjadinya persalinan pervaginam. Apabila presentasi janin pertama
bokong , dapat menyebabkan terjadinya penyulit dalam persalinan apabila
janin terlalu besar, janin terlalu kecil, adanya prolapsus tali pusat. Apabila
ditemui keadaan seperti ini sebaiknya dilakukan persalinan per
abdominam (Cunningham, 2005).
8. Makrosomia (Distosia Bahu)
a) Definisi
Makrosomia dimana janin diperkirakan memiliki berat > 4000 gram.
Faktor resiko terjadinya makrosomia yaitu riwayat melahirkan bayi besar
sebelumnya, obesitas pada ibu, multiparitas, kehamilan postterm, dan ibu
dengan diabetes mellitus. Makrosomia dapat menyebabkan terjadinya
penyulit pada persalinan diantaranya distosia bahu dan chepalo pelvic
disproportion (CPD) (Cunningham, 2005).
Distosia bahu adalah suatu keadaan dimana diperlukannya tambahan
manuver obstetrik oleh karena terjadi impaksi bahu depan diatas simphisis
sehingga dengan tarikan ke arah belakang pada kepala bayi tidak bisa
untuk melahirkan bayi (Prawirohardjo, 2009).
b) Etiologi
Penyebab terjadinya distosia bahu antara lain :
1) Makrosomia ( bayi yang dikandung oleh seorang ibu dengan diabetes
mellitus, obesitas, dan kehamilan postterm).
2) Kelainan bentuk panggul.
3) Kegagalan bahu untuk melipat kedalam panggul.
c) Diagnosis
Penegakan diagnosis pada kondisi terjadinya persalinan dengan
distosia bahu antara lain (Prawirohardjo, 2009) :
1) Kepala janin telah lahir namun masih menekan vulva dengan kencang.
2) Dagu tertarik dan menekan perineum.
3) Turtle sign : suatu keadaan dimana kepala sudah dilahirkan gagal
melakukan putaran paksi luar dan tertahan akibat adanya tarikan yang
terjadi antara bahu posterior dengan kepala.
4) Traksi pada kepala tidak berhasil melahirkan bahu.
d) Penatalaksanaan
Penanganan persalinan dengan distosia bahu dikenal dengan
“ALARM“ (Ask for help, Lift the legs and buttocks, Anterior shoulder
disimpaction, Rotation of posterior shoulder, Manual remover posterior
arm).
1) Ask for help
Meminta bantuan asisten untuk melakukan pertolongan persalinan.
2) Lift the legs and buttocks
Melakukan manuver McRoberts yang dimulai dengan memposisikan
ibu dalam posisi McRoberts yaitu ibu terlentang, memfleksikan kedua
paha sehingga posisi lutut menjadi sedekat mungkin dengan dada, dan
merotasikan kedua kaki ke arah luar. Manuver ini dapat menyebabkan
terjadinya pelurusan relatif dari sakrum terhadap vertebra lumbal
disertai dengan rotasi simphisis phubis ke arah kepala ibu serta
pengurangan sudut kemiringan panggul. Mintalah asisten untuk
melakukan penekanan suprasimphisis ke arah posterior menggunakan
pangkal tangan (Manuver Massanti). Penekanan ini bertujuan untuk
menekan bahu anterior agar mau masuk ke simphisis. Sementara itu
lakukanlah tarikan pada kepala janin ke arah posterokaudal
(Cunningham, 2005).

3) Anterior shoulder disimpaction


Melakukan disimpaksi bahu depan dengan menggunakan dua cara yaitu
eksternal dan internal. Disimpaksi bahu depan secara eksternal dapat
dilakukan dengan menggunakan manuver massanti, sedangkan
disimpaksi bahu depan secara internal dapat dilakukan dengan
menggunakan manuver rubin. Manuver Rubin dilakukan dengan cara
(masih dalam manuver McRoberts) masukkan tangan pada bagian
posterior vagina, tekanlah daerah ketiak bayi sehingga bahu berputar
menjadi posisi obliq atau transversa dan dengan bantuan penekanan
simphisis maka akan membuat bahu bayi semakin abduksi sehingga
diameternya mengecil (Prawirohardjo, 2009).
4) Rotation of posterior shoulder
Melakukan rotasi bahu belakang dengan manuver Woods. Manuver ini
dilakukan dengan cara memasukkan tangan penolong sesuai dengan
punggung bayi (jika punggung kanan gunakan tangan kanan, dan
sebaliknya) ke vagina dan diletakkan di belakang bahu janin. Bahu
kemudian diputar 180 derajat ke anterior dengan gerakan seperti
membuka tutup botol (Cunningham, 2005).

5) Manual remover posterior arm


Pelahiran bahu belakang secara manual dapat dilakukan dengan
menggunakan manuver Shwartz. Manuver ini dilakukan dengan cara
memasukkan tangan ke vagina sepanjang humerus posterior janin yang
dipisahkan ketika lengan disapukan ke arah dada, namun tetap terfleksi
pada siku. Tangan janin digenggam dan ditarik sepanjang sisi wajah
dan kemudian lengan belakang dilahirkan dari vagina (Cunningham,
2005).
9. Hidrosefalus
a) Definisi
Hidrosefalus adalah suatu kondisi dimana terjadi penumpukan
cairan serebrospinal yang berlebihan di ventrikel dan mengakibatkan
terjadinya pembesaran dari kranium. Volume cairan biasanya 500 – 1500
ml namun bisa juga mencapai 5000 ml. Lingkar kepala bayi aterm normal
berkisar antara 32 hingga 38 cm, namun pada hidrosefalus dapat mencapai
50 cm. Pada presentasi apapun umumnya hidrosefalus dapat
mengakibatkan terjadinya cephalo pelvic disproportion yang berat
(Cunningham, 2005).
b) Etiologi
Hidrosefalus sebagian besar disebabkan oleh tidak lancarnya aliran
serebrospinalis atau berlebihannya produksi cairan serebrospinal pada
janin.
c) Diagnosis
Hidrosefalus pada janin dapat didiagnosis melalui (Cunningham, 2005):
1) Pada letak kepala dapat ditemukan kepala lebih besar dari biasanya
sehingga menonjol diatas simphisis.
2) Djj terletak lebih tinggi dari biasanya.
3) Pada pemeriksaan VT dapat diraba adanya sutura dan ubun-ubun yang
melebar tegang dan tulang kepala tipis.
4) Pada pemeriksaan USG didapatkan adanya BPD lebih besar dari usia
kehamilannya.
d) Penatalaksanaan
Persalinan pada janin dengan hidrosefalus upaya yang pertama kali
dilakukan adalah pengecilan ukuran kepala bayi dengan menggunakan
sefalosintesis sehingga bayi dapat dilahirkan pervaginam atau
perabdominam. Namun, sefalosintesis dapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan intrakranial pada janin sehingga sebaiknya teknik ini
digunakan pada janin dengan kelainan yang sudah cukup parah. Pada
kehamilan dengan janin hidrosefalus sebaiknya dilakukan pelahiran secara
perabdominam (Cunningham, 2005).

D. Distosia Karena Kelainan Tulang Panggul


1. Definisi
Distosia karena kelainan panggul adalah persalinan yang sulit yang
disebabkan oleh adanya kelainan dari bentuk panggul atau ukuran panggul.
Menurut Caldwell dan Moloy bentuk panggul di bagi dalam empat jenis, yaitu
(Cunningham, 2005):
a) Panggul Ginekoid
Pintu panggul yang bundar dengan diameter transversa yang sedikit lebih
panjang daripada diameter anteroposterior dan panggul tengah serta pintu
bawah panggul yang cukup luas. Dinding samping panggul lurus, spina
tidak menonjol, dan diameter transversa spina ischiadika 10 cm atau lebih.
b) Panggul Antropoid
Panggul jenis ini memiliki diameter anteroposterior yang lebih panjang
daripada diameter transversa dan dengan arkus pubis menyempit. Spina
ischiadika pada panggul jenis ini cenderung menonjol dan dinding
samping panggul cenderung berbentuk konvergen.
c) Panggul Android
Panggul android memiliki ciri pintu atas panggul berbentuk segitiga
dengan spina ischiadika menonjol kedalam dan arkus pubis menyempit.
Dinding samping biasanya konvergen, spina ischiadika menonjol, dan os
sakrum tidak melengkung tetapi lurus dan maju ke depan.
d) Panggul Platipelloid
Panggul dengan diameter anteroposterior yang lebih pendek daripada
diameter transversa pada pintu atas panggul dan dengan arkus pubis yang
luas. Sudut panggul anterior sangat lebar dan kelengkungan os sakrum
biasanya cukup.

Dari keempat jenis panggul diatas panggul ginekoid merupakan jenis panggul
dengan prognosa persalinan paling baik, sedangkan ketiga jenis panggul
lainnya dapat menyebabkan terjadinya distosia persalinan.
Distosia karena kelainan ukuran panggul (disproporsi fetopelvik) dapat
disebabkan karena berkurangnya ukuran panggul, ukuran janin yang terlalu
besar, atau kombinasi diantara keduanya. Setiap penyempitan pada diameter
panggul baik pintu atas panggul, pintu tengah panggul, maupun pintu bawah
panggul dapat menyebabkan terjadinya distosia pada persalinan.
a) Penyempitan pintu atas panggul
Pintu masuk panggul dianggap menyempit apabila diameter
anteroposterior terpendeknya kurang dari 10 cm atau diameter transversa
terbesarnya kurang dari 12 cm.
b) Penyempitan pintu tengah panggul
Pintu tengah panggul dikatakan menyempit apabila jumlah diameter
intraspinarum ditambah diameter sagitalis posterior panggul tengah
kurang dari atau sama dengan 13,5 cm.
c) Penyempitan pintu bawah panggul
Pintu bawah panggul menyempit didefinisikan sebagai pemendekan
diamter intertuberosum hingga 8 cm atau kurang (Cunningham, 2005).
2. Diagnosis
Penegakan diagnosis pada distosia akibat adanya kelainan ukuran
panggul dapat ditegakkan dengan melakukan pengukuran pengukuran
kapasitas panggul (Cunningham, 2005).
a) Pintu atas panggul
Dilakukan pemeriksaan dalam untuk menentukan konjugata diagonalis
yang diukur dari tepi bawah simphisis phubis hingga ke promomtorium os
sacrum. Pintu atas panggul berukuran cukup apabila promontorium tidak
menonjol dan ukuran konjugata diagonalis lebih besar dari 11,5 cm.
b) Pintu tengah panggul
Dilakukan pemeriksaan dalam untuk mengetahui kapasitas pintu tengah
panggul, pintu tengah dikatakan tidak menyempit apabila spina ischiadika
tidak menonjol, dinding samping tidak teraba melengkung, dan
kecekungan os sacrum tidak dangkal.
c) Pintu bawah panggul
Dilakukan pengukuran diameter intertuberosum dengan meletakkan
tangan terkepal pada perineum diantara kedua tuberositas ischii. Ukuran
normal apabila lebih dari 8 cm.
3. Penatalaksanaan
Persalinan dengan distosia akibat adanya kelainan ukuran panggul atau
kelainan bentuk panggul sebaiknya dilakukan melalui perabdominam.
Persalinan pervaginam dapat dilakukan tetapi memiliki resiko kegagalan
yang cukup besar dan dapat menimbulkan terjadinya cedera pada kepala janin
(Cunningham, 2005).

BAB III
KESIMPULAN
1. Distosia merupakan persalinan yang sulit, tidak ada kemajuan dalam persalinan
atau merupakan persalinan yang membawa satu akibat buruk bagi janin maupun
ibu.
2. Distosia terjadi karena beberapa faktor, yaitu :
a. Kelainan Power
b. Kelainan Passage
c. Kelainan Passanger
3. Penanganan distosia tergantung dari jenis distosianya, dapat dilakukan manuver
obsteterik tambahan agar dapat dilahirkan secara pervaginam atau melakukan
persalinan perabdominam.

DAFTAR PUSTAKA
.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Sistem Reproduksi. Dalam : Buku Saku Patofisiologi.
Jakarta :EGC, 784-785.
Cuningham F G, Norman F, Kenneth J, Larry C, John C, Katharine D, et al.
Abnormal Labor. In. Williams Obstetrics 23rd Edition. Thw Mc Graw-Hill
Companies, New York. 2010
Cuningham F G, Norman F, Kenneth J, Larry C, John C, Katharine D, et al..
Williams Obstetrics 22nd Edition. Thw Mc Graw-Hill Companies, New York.
2005
DeCherney,Alan. 2007. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics &
Gynecology,Ed 10. McGraw-Hill Companies.

Muchtar R. Bentuk dan Kelainan Panggul. Dalam. Sinopsis obstetri. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta: 2002: 315-330.
Schiara J, et al. 1997. Breech Presentation. Gynecology and Obstetric 6th edition,
Lippincot-Raven Publisher, Chicago.

Setjalilakusuma L. 2000. Induksi Persalinan, dalam Ilmu Bedah Kebidanan,


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.

Winkjosastro, Hanifa, 2006. “Ilmu kebidanan” Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai