Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan mata pada diabetes adalah penyebab utama kebutaan dan


gangguan penglihatan pada penduduk Amerika berusia 20–74 tahun. Gangguan
penglihatan umumnya disebabkan retinopati diabetik, glaukoma, dan katarak.
Gangguan penglihatan pada penderita diabetes lebih banyak (11%) dibanding
bukan penderita diabetes (5,9%). Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu
kelainan metabolik yang ditandai dengan adanya hiperglikemia karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.

Akibat hiperglikemia terjadi berbagai proses biokimia dalam sel yang


berperan dalam terjadinya komplikasi pada diabetes melitus, seperti katarak,
retinopati, nefropati, neuropati dan arterosklerosis. Kelainan neuro-oftalmologi
pada diabetes melitus dapat terjadi bukan hanya akibat kelainan intracranial akan
tetapi dapat juga terjadi pada daerah yang lebih luas didalam bidang neuro-
oftalmologi. Kelainan neuro-oftalmologi akibat diabetes melitus walaupun
mempunyai etiologi yang sama tetapi mempunyai bentuk klinik yang sangat
bervariasi. Kelainan tersebut sering tidak hanya berhubungan dengan kemunduran
tajam penglihatan akan tetapi dapat juga berhubungan dengan gangguan
penglihatan lain.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

Tempat : POLIKLINIK MATA

Dokter muda : Putri Karlina

Jam : 10 : 20 WIB

Hari/Tanggal : 07 APRIL 2018

STATUS PASIEN

ANAMNESIS PRIBADI

Nama : M. Aji

Umur : 65 Tahun

Jenis Kelamin : Laki - laki

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Bebesan

No. MR : 126045

Tgl. Masuk RS : 07 April 2018

ANAMNESIS PENYAKIT

Keluhan Utama : Penglihatan abu-abu dan mengeluh tertutupih


bayangan hitam bergaris garis.

Telaah : Pasien mengeluhkan ada banyangan hitam garis


garis putih semakin lama semakin memberat
sehingga mengalami kesulitan dalam melihat.
Banyangan hitam diawali dengan munculnya titik
hitam pada penglihatan pasien. Dan melihat kilatan
cahaya.

2
RPT : Pasien menyangkal pernah mengalami penyakit
seperti ini sebelumnya tetapi pasien mempunyai
penyakit sistemik yaitu diabetes mellitus dan
hipertensi dan pasien merupakan perokok aktif.

RPK : Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang


sama.

RPO : Injeksi insulin dan obat hipertensi.

A.VOD : 1/300 A.VOS : 1/300


Kor. Sph :- Kor. Sph :-
Cyl :- Cyl :-
Menjadi :- Menjadi :-
KMB :- KMB :-
TOD :- TOS :-

STATUS PRESENT

Sensorium : Compos Mentis Anemis : ( - )


Tekanan Darah : 140 / 90
Ikterik : ( - )
mmHg
Frekuensi Nadi : 70 x/menit Dyspneu : ( - )
Frekuensi Nafas : 18 x/menit Sianosis : ( - )
Temperatur : 36,2 ̊C Edema : ( - )

3
STATUS OPHTALMIKUS

OCULI DEXTRA OCULI SINISTRA


Visus 1/300 1/300
Posisi Orthoforia Orthoforia
Palpebra Hiperemis ( - ), Edema ( - ), Hiperemis ( - ), Edema ( -
Superior Laserasi ( - ) ), Laserasi ( - )
Hiperemis ( - ), Edema ( - ), Hiperemis ( - ), Edema (
Palpebra Inferior
Laserasi (- ) ), Laserasi (
Conj. Tars. Hiperemis ( - ), Edema ( - ), Hiperemis ( - ), Edema ( - ),
Superior Sekret ( - ) Sekret ( - )
Conj. Tars. Hiperemis ( - ), Edema (-), Hiperemis ( - ), Edema ( - ),
Inferior Sekret (- ) Sekret ( - )
Inj. Siliar ( - ), Inj. Inj. Siliar (- ), Inj.
Conj. Bulbi Konjungtiva ( - ), Konjungtiva ( - ), Kemosis(-
Kemosis(-) )
Keruh, sikatrik (-) benda Permukaan licin,jernih,
Cornea
asing (-) sikatrik (-) benda asing (-)
COA Hifema (-) Hifema (-)

Pupil Bulat, RC ( + ), ø 3-4.. Mm Bulat, RC ( + ), ø 3-4.. Mm

Iris Warna coklat, regular Warna coklat, regular

Lensa Keruh Tdk terlihat

Corpus Vitreum Dlm batas normal Dlm batas normal


Sulit dinilai krn kekeruhan
Fundus Oculi Perdarahan retina
lensa.

4
DIAGNOSIS : Katarak Senilis Imatur (OD) + Retinopati Diabetik (OS)

ANJURAN : -Mengontrol kadal gula darah

-Rutin memakai obat tetes untuk memperlambat


pertumbuhan katarak pada mata kanan.

TERAPI : Cendo lenticular 4x1

Cendo liteers MD 4x1

5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI KATARAK SENILIS IMATUR

Katarak berasal dari yunani katarrhakies, inggeris cataract, dan latin


cataracta yang berarti air terjun. Dalam Bahasa Indonesia disebut bular dimana
penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah
setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat kedua
duanya.

berdasarkan usia katarak dapat diklasifikasikan dalam :

1. katarak kongenital, katarak yang sudah terlihat pada usia dibawah 1 tahun
2. katarak juvenil, katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun.
3. katarak senilis, katarak usia setelah usia 50 tahun.

6
 Katarak senilis imatur adalah katarak yang belum mengenai seluruh lapis
lensa. Pada katarak imatur akan dapat bertambah volume lensa akibat
meningkatnya tekanan osmotic bahan lensa yang degeneratif.

3.2 Epidemiologi

Faktor-faktor yang dikaitkan dengan katarak yaitu umur, jenis


kelamin, penyakit diabetes mellitus (DM), pajanan kronis terhadap sinar
ultraviolet (sinar matahari), merokok, tingkat sosial ekonomi, tingkat
pendidikan, paparan asap, riwayat penyakit katarak, dan pekerjaan.
Pekerjaan yang dilakukan di luar gedung merupakan faktor risiko untuk
terjadinya katarak. Pekerjaan yang dilakukan di luar gedung lebih dari
empat jam mempunyai risiko untuk terjadi katarak dibandingkan dengan
pekerjaan yang dilakukan kurang dari empat jam di luar gedung.
Prevalensi katarak berdasarkan status pekerjaan menurut Riskesdas 2013
didapatkan kelompok pekerjaan petani, nelayan, buruh merupakan
kelompok pekerjaan yang paling banyak menderita katarak, yaitu katarak
unilateral sebanyak 0,9% sementara katarak bilateral sebanyak 4,8 %.

Berdasarkan data organisasi kesehatan dunia (WHO), saat ini


diseluruh dunia ada sekitar 135 juta penduduk dunia memiliki penglihatan
lemah dan 45 juta orang menderita kebutaan. Dari jumlah tersebut 90%
diantaranya berada dinegara berkembang dan sepertigannya berada di Asia
tenggara. Indonesia memiliki jumlah penderita kebutaan akibat katarak
selalu bertambah 210.000 orang pertahun, 16% diantaranya diderita usia
produktif.

3.3 Patofisiologi

Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih,


transparan, berbentuk seperti kancing baju dan mempunyai kekuatan
refraksi yang besar. Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada
zona

7
sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yang mengelilingi
keduanya adalah kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambahnya usia,
nukleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan.
Disekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior
nukleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang
paling bermakna, nampak seperti kristal salju pada jendela. Perubahan
fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi.
Perubahan pada serabut halus multipel (zunula) yang memanjang dari
badan silier ke sekitar daerah diluar lensa, misalnya dapat menyebabkan
penglihatan mengalami distorsi. Perubahan kimia dalam protein lensa
dapat menyebabkan koagulasi, sehingga mengabutkan pandangan dengan
menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori menyebutkan
terputusnya protein lensa normal terjadi disertai influks air ke dalam lensa.
Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu
transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai
peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan
menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien
yang menderita katarak.

3.4 Manifestasi Klinis

Gejala katarak yang sering dikeluhkan adalah silau, diploplia


monokuler atau polypia, halo, distorsi, penurunan tajam penglihatan,
sensitivitas kontras, dan myopic shift.

 Silau, pasien katarak sering mengeluh silau, yang bisa bervariasi


keparahannya mulai dari penurunan sensitivitas kontras dalam lingkungan
yang terang hingga silau pada saat siang hari atau sewaktu melihat lampu
mobil atau kondisi serupa di malam hari. Keluhan ini khususnya dijumpai
pada tipe katarak posterior subkapsular. Pemeriksaan silau (tes glare)
dilakukan untuk mengetahui derajat gangguan penglihatan yang
disebabkan oleh sumber cahaya yang diletakkan di dalam lapang pandang
pasien.

8
 Diplopia monokular atau polypia, terkadang perubahan nuklear terletak
pada lapisan dalam nukleus lensa, menyebabkan daerah pembiasan
multipel di tengah lensa. Daerah ini dapat dilihat dengan refleks merah
retinoskopi atau oftalmoskopi direk.
 Halo, hal ini bisa terjadi pada beberapa pasien oleh karena terpecahnya
sinar putih menjadi spektrum warna oleh karena meningkatnya kandungan
air dalam lensa.
 Distorsi, katarak dapat menyebabkan garis lurus kelihatan bergelombang.
Sering dijumpai pada stadium awal katarak.
 Penurunan tajam penglihatan, katarak menyebabkan penurunan
penglihatan progresif tanpa rasa nyeri. Umumnya pasien katarak
menceritakan riwayat klinisnya langsung tepat sasaran, dan pasien
menceritakan kepada dokter mata, aktivitas apa saja yang terganggu.
Dalam situasi lain, pasien hanya menyadari adanya gangguan penglihatan
setelah dilakukan pemeriksaan. Setiap tipe katarak biasanya mempunyai
gejala gangguan penglihatan yang berbeda-beda, tergantung pada cahaya,
ukuran pupil, dan derajat miopia. Setelah didapat riwayat penyakit, maka
pasien harus dilakukan pemeriksaan penglihatan lengkap, dimulai dengan
refraksi. Perkembangan katarak nuklear sklerotik dapat meningkatkan
dioptri lensa, sehingga terjadi miopia ringan hingga sedang.
 Sensitivitas kontras mengukur kemampuan pasien untuk mendeteksi
variasi tersamar dalam bayangan dengan menggunakan benda yang
bervariasi dalam hal kontras, luminance, dan frekuensi spasial. Sensitivitas
kontras dapat menunjukkan penurunan fungsi penglihatan yang tidak
terdeteksi dengan Snellen chart. Namun hal tersebut bukanlah indikator
spesifik hilangnya tajam penglihatan oleh karena katarak.
 Myopic shift, perkembangan katarak dapat terjadi peningkatan dioptri
kekuatan lensa, yang umumnya menyebabkan miopia ringan atau sedang.
Umumnya, pematangan katarak nuklear ditandai dengan kembalinya
penglihatan dekat oleh karena meningkatnya miopia akibat peningkatan
kekuatan refraktif lensa nuklear sklerotik, sehingga kacamata baca atau
bifokal tidak diperlukan lagi. Perubahan ini disebut ”second sight”.

9
3.5 PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaaan visus dengan koreksi terbaik.
2. Pemeriksaan segmen anterior
3. TIO ( tekanan intra okuli ) diukur dengan tonometer non contact,
aplanasi atau schiotz. Jika TIO dalam batas normal (< 21mmHg)
dilakukan dilatasi pupil dengan tetes mata tropicanamide 0,5%.
Setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan dengan sltlamp
untuk melihat derajar kekeruhan lensa apakah sesuai dengan visus
pasien.
4. Funduskopi

3.6 Pemeriksaan Penunjang


1. USG untuk menyingkirkan adanya kelainan lain pada mata selain
katarak
2. Keratometer untuk mengukur kelengkungan dan refleksi dari
permukaan anterior kornea.

10
3. Biometri untuk mengukur power IOL jika pasien akan dioperasi
katarak dan retinometri untuk mengetahui prognosis tajam
penglihatan setelah dioperasi.

3.7 Penatalaksanaan

Terapi obat obatan yang diberikan pada katarak imatur adalah


cendo caterlent obat tetes mata yang mengandung CaCl2 anhidrat, kalium
lodida, natrium tiosulfat, fenilmerkuri nitrat. Cendo lenticular MD yang
mengandung pirenixine.

Ada dua teknik pembedahan katarak, menurut Vaughan 2005 yaitu:

1. Intra-Capsular Cataract Extraction (ICCE) Pengambilan lensa


dilakukan secara in toto sebagai satu potongan utuh, dimana nukleus
dan korteks diangkat didalam kapsul lensa dengan menyisakan vitreus
dan membrana Hyaloidea. Kapsula posterior juga diangkat sehingga
IOL tidak dapat diletakkan di bilik mata posterior. IOL dapat
diletakkan di bilik mata anterior dengan risiko infeksi kornea. Selain
itu tidak ada lagi batasan antara segmen anterior dan posterior yang
dapat meningkatkan kemungkinan komplikasi lainnya seperti vitreus
loss, cystoid macular edema, dan endophtalmitis. Teknik ini
digunakan dalam kasus tertentu antara lain bila terjadi subluksasio
lensa atau dislokasi lensa.

2. Extra-Capsular Cataract Extraction (ECCE) Nukleus dan korteks


diangkat dari kapsul dan menyisakan kapsula posterior yang utuh,
bagian perifer dari kapsula anterior, dan zonula zein. Teknik ini selain
menyediakan lokasi untuk menempatkan intra ocular lens (IOL), juga
dapat dilakukan pencegahan prolaps vitreus dan sebagai pembatas
antara segmen anteror dan posterior. Sebagai hasilnya, teknik ECCE
dapat menurunkan kemungkinan timbulnya komplikasi seperti
vitreusloss, edema kornea.

11
Ada 3 teknik operasi ECCE, yaitu :
a. Incision
b. Mobilitation of nucleus
c. Removal of the nucleus

3.8 Definisi Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik adalah kelainan retina yang merupakan


salah satu komplikasi mikrovaskular pada penderita diabetes mellitus
tipe 1 dan 2 yang terjadi akibat proses hiperglikemia dalam jangka
waktu yang lama. Retinopati diabetik diklasifikasikan atas non
proliferative diabetic retinopathy (NPDR) dan proliferative diabetic
retinopathy (PDR). Non proliferative diabetic retinopathy merupakan
tahap awal dari retinopati diabetik yang terdiri dari mild, moderate,
severe dan very severe NPDR. Proliferative diabetic retinopathy yang
merupakan tahap lanjut dari retinopati diabetik terdiri atas early, high
risk dan advanced PDR.

Prevalensi retinopati diabetik pada pasien diabetes melitus tipe


1 setelah 10-15 tahun sejak diagnosis ditegakkan berkisar antara 25-
50%. Sesudah 15 tahun prevalensi meningkat menjadi 75-95% dan
setelah 30 tahun mencapai 100%. Pasien diabetes tipe 2 ketika
diagnosis diabetes ditegakkan sekitar 20% diantaranya telah
ditemukan retinopati diabetik. Setelah 15 tahun kemudian prevalensi
meningkat menjadi lebih dari 60-85%.

3.9 Patogenesis dan Patofisiologi


Hiperglikemia kronik merupakan faktor utama terjadinya
retinopati diabetika. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) menunjukkan
bahwa pasien yang mendapat terapi insulin dengan kadar HbA1c
dibawah 7% lebih jarang terjadi retinopati yang progresif
dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi insulin. Beberapa

12
proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia dan menimbulkan
terjadinya retinopati diabetika antara lain:

1. Aktivasi jalur poliol

Pada hiperglikemik terjadi peningkatan enzim aldose


reduktase yang meningkatan produksi sorbitol. Sorbitol adalah
senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat melewati membran
basalis sehingga tertimbun di sel dan menumpuk di jaringan
lensa, pembuluh darah dan optik. Penumpukan ini menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik yang menimbulkan gangguan
morfologi dan fungsional sel. Konsumsi NADPH selama
peningkatan produksi sorbitol menyebabkan penigkatan stress
oksidatif yang akan mengubah aktivitas Na/K-ATPase, gangguan
metabolisme phopathydilinositol, peningkatan produksi
prostaglandin dan perubahan aktivitas protein kinase C isoform.

2. Glikasi Nonenzimatik

Kadar glukosa yang berlebihan dalam darah akan berikatan


dengan asam amino bebas, serum atau protein menghasilkan
Advanced gycosilation end product (AGE). Interaksi antara AGE
dan reseptornya menimbulkan inflamasi vaskular dan reactive
oxygen species (ROS) yang berhubungan dengan kejadian
retinopati diabetika proliferatif.

3. Dialsilgliserol dan aktivasi protein C


Protein kinase C diaktifkan oleh diasilglierol dan
mengaktifkan VEGF yang berfungsi dalam proliferasi pembuluh
darah baru. Pada hiperglikemik terjadi peningkatan sintesis
diasilgliserol yang merupakan regulator protein kinase C dari
glukosa.

13
Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati diabetika
terletak pada kapiler retina. Dinding kapiler terdiri dari 3 lapisan
dari luar ke dalam yaitu sel perisit, membrana basalis dan sel
endotel, perbandingan jumlah sel perisit dan sel endotel kapiler
retina adalah 1 : 1. Sel perisit berfungsi untuk mempertahankan
struktur kapiler, mengatur kontraktibilitas, mempertahankan
fungsi barier, transportasi kapiler dan proliferasi sel endotel.
Membrana basalis berfungsi untuk mempertahankan
permeabilitas, sel endotel bersama dengan matriks ekstra sel dari
membrana basalis membentuk pertahanan yang bersifat elektif
terhadap beberapa jenis protein dan molekul termasuk fluoroscein
yang digunakan untuk diagnosis kapiler retina.

Perubahan histopatologi pada retinopati diabetika dimulai


dari penebalan membrana basalis, dilanjutkan dengan hilangnya
sel perisit dan meningkatnya proliferasi sel endotel, sehimgga
perbandingan sel endotel dan sel perisit menjadi 10 : 1,7.

Patofisiologi retinopati diabetika melibatkan 5 proses yang


terjadi di tingkat kapiler yaitu:

1. Pembentukan mikroaneurisma

2. Peningkatan permeabilitas

3. Penyumbatan

4. Proliferasi pembuluh darah baru (Neovaskular) dan


pembentukan jaringan fibrosis

5. Kotraksi jaringan fibrosis kapiler dan vitreus.

14
15
3.10 Manifestasi klinis

Retinopati diabetik biasanya asimtomatis untuk jangka waktu


yang lama. Hanya pada stadium akhir dengan adanya keterlibatan
macular atau hemorrhages vitreus maka pasien akan menderita
kegagalan visual dan buta mendadak. Gejala klinis retinopati diabetik
proliferatif dibedakan menjadi dua yaitu gejala subjektif dan gejala
obyektif.

-
Gejala Subjektif yang dapat dirasakan :

· Kesulitan membaca

· Penglihatan kabur disebabkan karena edema macula

· Penglihatan ganda

· Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata

· Melihat lingkaran-lingkaran cahaya jika telah terjadi


perdarahan vitreus

· Melihat bintik gelap & cahaya kelap-kelip

-
Gejala objektif pada retina yang dapat dilihat yaitu :

 Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler


terutama daerah vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil
yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus posterior.
Mikroaneurisma terletak pada lapisan nuclear dalam dan
merupakan lesi awal yang dapat dideteksi secara klinis.
Mikroaneurisma berupa titik merah yang bulat dan kecil,
awalnya tampak pada temporal dari fovea. Perdarahan dapat
dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak
dekat mikroaneurisma dipolus posterior.

16
Mikroaneurisma dan hemorrhages pada backround diabetic
retinopathy

FA menunjukkan titik hiperlusen yang menunjukkan mikroaneurisma


non trombosis.

17
 Perubahan pembuluh darah berupa dilatasi pembuluh darah
dengan lumennya ireguler dan berkelok-kelok seperti sausage-
like.

Gambar 12: Dilatasi Vena

 Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina.


Gambarannyakhusus yaitu iregular, kekuning-kuningan. Pada
permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung. Eksudat
ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.

Hard Exudates

18
FA Hard Exudates menunjukkan hipofluoresens

 Soft exudate yang sering disebut cotton wool


patches merupakan iskemia retina. Pada pemeriksaan
oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat
difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi
daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.

Cotton Wool Spots pada oftalmologi dan FA

 Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina


terutama daerah makula (macula edema) sehingga sangat
mengganggu tajam penglihatan. Edema retina awalnya terjadi
antara lapisan pleksiform luar dan lapisan nucleus dalam.

19
 Pembuluh darah baru ( Neovaskularisasi ) pada retina
biasanya terletak dipermukaan jaringan. Tampak sebagai
pembuluh yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok dan
ireguler. Mula–mula terletak dalam jaringan retina, kemudian
berkembang ke daerah preretinal kemudian ke badan kaca.
Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat
menimbulkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid
(preretinal) maupun perdarahan badan kaca.

NVD severe dan NVE severe

Retinopati Diabetik Resiko tinggi yang disertai perdarahan vitreous

20
Perbedaan antara NPDR dan PDR

NPDR PDR

Mikroaneurisma (+) Mikroaneurisma (+)

Perdarahan intraretina (+) Perdarahan intraretina (+)

Hard eksudat (+) Hard eksudat (+)

Oedem retina(+) Oedem retina (+)

Cotton Wool Spots (+) Cotton Wool Spots (+)

IRMA (+) IRMA(+)

Neovaskularisasi (-) Neovaskularisasi (+)

Perdarahan Vitreous (-) Perdarahan Vitreous (+)

Pelepasan retina secara traksi (-) Pelepasan retina secara traksi (+)

3.11 Pemeriksaan penunjang


1. Angiografi Fluoresein
Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan sirkulasi darah retina
serta penyakit-penyakit yang mengenai retina dan khoroid.
Pemeriksaan ini akan menunjukkan aliran darah yang khas dalam
pembuluh darah saat cairan fluoresein yang disuntikkan intra
vena mencapai sirkulasi darah di retina dan khoroid. Angiongrafi
fluoresein akan merekam gambaran rinci yang halus dari fundus
pada bagian yang berukuran lebih kecil dari kemampuan daya
pisah ( minimum separable ) penglihatan mata masih dapat
diperiksa dengan pembesaran rekaman angiografi fluoresein.

Gambaran retinopati diabetika dengan angiografi fluoresein :


a. Retinopati Background, bentuk juvenile

21
Disini ditemukan proliferasi dan hipertrofi venula retina
disertai pelebaran cabang-cabang vena berbentuk kantong dan
aneurisma kapiler. Terdapat area iskemik terbatas.
b. Retinopati Background terlihat mikroaneuris
perdarahan bentuk bintik-bintik. Endapan lemak pada polus
posterior, kadang tersusun dalam bentuk rangkaian bunga (
retinopati circinata ), biasanya pembuluh darah retina beraneka
ragam dan dindingnya terlihat menebal ( sklerosis ).

Pada retinopati background terlihat mikroaneurisma,


perdarahan bentuk bintik-bintik dan bercak, eksudat keras
berwarna kuning yang terdiri atas protein dan lipid yang terdapat di
lapisan pleksiform luar yang dikemudian hari juga terjadi
makulopati. Jika pasien mengidap hipertensi kardiovaskular,
bercak yang mirip kapas timbulnya akan lebih awal.

c. Retinopati proliferatif
Pada stadium ini terdapat pembentukan pembuluh darah baru
yang mengakibatkan neovaskularisasi yang tumbuh menonjol di
depan retina terutama pada permukaan belakang badan kaca yang
mengalami ablasi.

2. Elekroretinografi
Pada pemeriksaan ini dilakukan perekaman kegiatan listrik retina
yang sangat berguna untuk memperoleh gambaran yang tepat
mengenai fungsi retina yang masih tersisa.

3. Pemeriksaan tajam penglihatan.


4. Pemeriksaan kejernihan lensa.
5. Pemeriksaan tekanan bola mata.

22
3.12 Tatalaksana
Dilakukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
 Non-proliferatif derajat ringan hanya perlu dievaluasi
setahun sekali.
 Non-proliferatif derajat ringan-sedang tanpa edema
macula yang nyata harus menjalani pemeriksaan rutin
setiap 6-12 bulan. Non-poliferatif derajat ringan-sedang
dengan edema macula signifikan merupakan indikasi
laser photocoagulation untuk mencegah perburukan.
Setelah dilakukan laser photocoagulation, penderita perlu
dievaluasi setiap 2-4 bulan.
 Non-proliferatif derajat berat dianjurkan untuk menjalani
panretinal laser photocoagulation, terutama apabila
kelainan beresiko tinggi untuk berkembang menjadi
retinopati DM proliferaif. Penderita harus dievaluasi
setiap 3-4 bulan pasca tindakan.
 Panretinal laser photocoagulation harus segera dilakukan
pada penderita retinopati DM proliferatif. Apabila terjadi
retinopati DM proliferatif disertai dengan edema makula
signifikan, maka kombinasi focal dan panretinal laser
photocoagulation menjadi terapi pilihan.
Farmakologi
 inhibitor protein kinase C (PKC)
 inhibitor vascular endothelial growth factors (VEGF)
 reductase aldose
 ACE inhibitor
 Antioksidan (seperti vitamin E

Steroid intravitreal, untuk mengurangi edema makula.

 Implant intravitreal flucinolone acetonide atau injeksi


intravitreal triamcinolone (2 sampai 4 mg)

23
3.13 Prognosis
Prognosis untuk penglihatan pasien pada kasus ini adalah Dubia
ad malam.

3.14 Kesimpulan
Pasien laki-laki, usia 65 tahun dengan keluhan ada bayangan
bitnik hitam yang bergaris putih dan pandangan abu-abukadang
kadang melihat kilatan cahaya. Keluhan ini sudah di alami
semenjak 3 bulan yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik, visus ODS 1/300. Pada funduskopi
ditemukan perdarahan (+) OS, kekeruhan lensa (+) OD. pasien
adalah penderita diabetes mellitus dan hipertensi. Pasien di
diagnosis dengan retinopati diabetic (OS) + katarak senilis imatur
(OD).

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas.Sidarta. 2015. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kelima. Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Medical mini notes. Edisi 2016. Makassar.
3. Indraswati, Djiwatmo. 2010. Correlation Between Blood Glucose Level
and HbA1C with Lens Thickness in Type 2 Diabetes Mellitus Patients.
Jurnal Oftalmologi Indonesia JOI. Vol 7. No.4 Desember 2010.
4. Septadina. 2015. Perubahan Anatomi Bola Mata pada Penderita Diabetes
Mellitus. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang, 30126.
MKS, Th. 47, No. 2.
5. DiabeticRetinopaty,http://www.kellog.umich.edu/patientcare/contions/dia
betic.retinopaty.html.
6. DiabeticRetinopaty,http://www.eyemdling.com.condition.asp?contionID
7. Arti Lukitasari. 2011. Katarak Diabetes. Jurnal kedokteran syiah kuala
Volume 11 Nomor 1 April 2011
8. Ilyas.Sidarta. 2007. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Vaughan, Asburi, dkk. 2010. Oftalmologi umum. Jakarta:EGC
10. Ophthobook.Introduction to the lens and cataract surgery.
http://Ophthobook.com. Diakses tanggal 15 juni 2010
11. Snell, Richard S. Anatomi klinik. Jakarta EGC.2005
12. American academy of ophthalmology. Lens and cataract section 11. San
fransisco. 2007.
13. Salsabil,Dava.2010.Katarak.(http://daya.blogspot.co.id/2010/06/katarak.ht
ml).
14. Ilham.2009.epidemiologi
katarak.http://www.scribd.com0283414pidemiologi katarak diakses pada
tanggal 1112 april 2018.
15. Wijana, Nasa. SD. Ilmu penyakit mata cetakan ke-6. Penerbit: abadi tegal.
Jakarta.

Dokter Pembimbing

dr. T. Siti Harilza. Z M. Ked (Oph), Sp.M

25
26

Anda mungkin juga menyukai