Anda di halaman 1dari 9

Nama : Reffy Shania Novianti

NIM : 131611133010
Kelas : A1

Nurse’s Caring for Patients and Their Families


RSUD Kelas B Cianjur merupakan rumah sakit satu-satunya yang dijadikan rumah
sakit rujukan di Kabupaten Cianjur. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan lama
rawat (hospitalisasi) anak dengan tingkat kecemasan orang tua. Metode penelitian yang
digunakan adalah observasional dengan sampel orang tua yang anaknya dirawat di RSUD
Kelas B Cianjur. Sebanyak 87 sampel terpilih secara consecutive sampling. Pengumpulan
data menggunakan kuesioner. Uji statistiknya adalah regresi linear sederhana. Hubungan
antara hospitalisasi anak dengan tingkat kecemasan orang tua tergolong sedang
(r=0287) dan berpola positif artinya semakin lama rawat anak, maka semakin tinggi
tingkat kecemasan orang tua. Hospitalisasi anak mempengaruhi tingkat kecemasan
orang tua sebesar 8.3% dan sisanya 91.7% tingkat kecemasan orang tua dipengaruhi
oleh variabel lain. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara
lama rawat anak dengan tingkat kecemasan orang tua (p=0.007). Perawat dapat
memberikan dukungan kepada orang tua, mengenaiinformasi, emosional, penilaian, dan
instrumental.
Sakit bukanlah suatu hal asing yang kita dengar. Setiap orang pasti pernah
mengalami sakit dan bahkan mungkin pernah dirawat di rumah sakit. Suasana saat
berada di tempat perawatan seperti rumah sakit tentu berbeda dengan suasana yang
biasanya seseorang rasakan. Suasana dengan dikelilingi orang-orang yang berbeda. Hal
ini tentu akan sangat dirasakan terutama bagi mereka yang baru pertama kalinya
merasakan suasana perawatan rumah sakit. Pengertian sakit berkaitan dengan gangguan
psikososial yang dirasakan seseorang dan bersifat subjektif, Sakit juga diartikan sebagai
persepsi seseorang bila merasa kesehatannya terganggu. Dirawat di rumah sakit bisa
menjadi sesuatu yang menakutkan dan pengalaman yang mengerikan bagi anak-anak.
Anak seringkali mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan selama di rumah sakit,
mulai dari lingkungan rumah sakit yang asing, serta pengobatan maupun pemeriksaan
yang kadang kala menyakitkan bagi si anak.
Hospitalisasi merupakan perawatan yang dilakukan dirumah sakit yang dapat
menimbulkan trauma dan stres pada klien yang baru mengalami rawat inap dirumah
sakit. Hospitalisasi dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan yang memaksa seseorang
harus menjalani rawat inap di rumah sakit untuk menjalani pengobatan maupun terapi
yang dikarenakan klien tersebut mengalami sakit. Menurut supartini, Hospitalisasi
merupakan suatu proses karena suatu alasan darurat atau berencana mengharuskan
anak tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali
ke rumah (Supartini, 2004). Pengalaman hospitalisasi tersebut dapat menghasilkan
dampak yaitu mengganggu psikologi seseorang terlebih bila seseorang tersebut tidak
dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya di rumah sakit. Pengalaman hospitalisasi
yang dialami klien selama rawat inap tersebut tidak hanya mengganggu psikologi klien,
tetapi juga akan sangat berpengaruh pada psikososial klien dalam berinteraksi terutama
pada pihak rumah sakit termasuk pada perawat. Hospitalisasi ini memiliki dampak
terhadap psikis pada pasien (anak) ataupun pada orang tua. Seperti pasien merasa
kehilangan privasi, otonomi, serta perubahan gaya hidupnya. Sedangkan pada orang tua,
seperti adanya rasa bersalah dan frustasi karena tidak dapat menjaga kesehatan
anaknya. Hospitalisasi dapat dianggap sebagai suatu pengalaman yang mengancam dan
merupakan sebuah stressor, serta dapat menimbulkan krisis bagi anak dan keluarga. Hal
ini mungkin terjadi karena anak tidak memahami mengapa di rawat, stres dengan
adanya perubahan akan status kesehatan, lingkungan dan kebiasaan sehari-hari dan
keterbatasan mekanisme koping. Dampak hospitalisasi pada anak berbeda-beda
tergantung oleh perkembangaan usia, pengalaman sakit dan dirawat di rumah sakit,
support system, serta keterampilan koping dalam menangani stres. Kecemasan dan
ketakutan sangat mempengaruhi proses pengobatan anak. Apabila anak mengalami
kecemasan tinggi saat dirawat di rumah sakit maka besar sekali kemungkinanan anak
akan mengalami disfungsi perkembangan. Anak akan mengalami gangguan, seperti
gangguan somatik, emosional dan psikomotor. Reaksi terhadap penyakit atau masalah
diri yang dialami anak seperti perpisahan, tidak mengenal lingkungan atau lingkungan
yang asing, hilangnya kasih sayang, body image maka akan bereaksi seperti regresi
yaitu hilangnya control, agresi, menarik diri, tingkah laku protes, serta lebih peka dan
pasif seperti menolak makanan dan lain-lain.
Pada umumnya anak yang dirawat di rumah sakit akan timbul rasa takut, karena
mereka berfikir bahwa mereka akan disakiti. Anak yang dirawat di rumah sakit sering
mengalami reaksi hospitalisasi dalam bentuk anak rewel, tidak mau didekati oleh petugas
kesehatan, ketakutan, tampak cemas, tidak kooperatif, bahkan tamper tantrum. Anak
yang mengalami sakit dan menjalani perawatan di rumah sakit, terpaksa harus berpisah
dari lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan,
yaitu rumah, permainan, dan teman sepermainannya. Seorang anak di masa
pertumbuhan dan perkembangan di saat sehat tampak begitu aktif dan harus terganggu
karena dirawat di rumah sakit. Perawatan di rumah sakit juga membuat anak kehilangan
kontrol terhadap dirinya. Selama proses hospitalisasi anak dan orang tua dapat
mengalami beberapa pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan kecemasan,
hal ini dapat berdampak negatif bagi anak. Proses hospitalisasi pada anak usia
prasekolah berdampak sangat serius. Menurut Ball dan Bindler (2003), anak yang
dirawat di rumah sakit berada pada lingkungan asing yang tidak diketahuinya, dikelilingi
orang-orang asing, peralatan, dan pemandangan sekitar menakutkan sehingga
menimbulkan reaksi hospitalisasi.
Dampak hospitalisasi menyebabkan kecemasan dan stres pada semua tingkat
usia termasuk anak. Pasien anak akan merasa nyaman selama perawatan dengan
adanya dukungan sosial keluarga, lingkungan perawatan yang terapeutik, dan sikap
perawat serta komunikasi yang terapeutik yang mempercepat proses penyembuhan
(Nursalam, 2005). Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi seorang perawat untuk
memfasilitasi anak agar anak merasakan aman dan nyaman selama perawatan sehingga
anak lebih kooperatif dalam menerima tindakan keperawatan. Cara yang mungkin bisa
dilakukan adalah dengan membangun kerjasama dengan orang tua dalam komunikasi
maupun tindakan keperawatan.
Dampak hospitalisasi salah satunya adalah stres. Stres merupakan bagian
kehidupan yang memiliki efek positif dan negatif yang disebabkan karena perubahan
lingkungan. Secara sederhana stres itu adalah kondisi dimana adanya respon tubuh
terhadap perubahan mencapai keadaan normal, seperti halnya anak yang dirawat,
karena itu perawat harus dituntut memiliki komunikasi yang baik pada anak yang
berefek pada proses penyembuhan. Stres merupakan keadaan atau kondisi dari tubuh
terhadap situasi yang menakutkan, mengejutkan, membingungkan, membahayakan, dan
merisaukan seseorang. Berbicara mengenai stres, kita cenderung menggambarkannya
menurut apa yang kita rasakan atau apa akibatnya bagi kita. Stres itu diawali dengan
adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki oleh semua
individu, semakin tinggi kesenjangan terjadi semakin tinggi pula tingkat stres yang
dialami oleh individu tersebut. Anak yang belum pernah mengalami hospitalisasi lebih
tinggi tingkat stresnya dibanding dengan anak yang sudah pernah mengalami
hospitalisasi beberapa kali. Stres pada hospitalisasi akan menimbulkan perasaan tidak
nyaman baik pada anak maupun keluarga, sehingga diperlukan proses penyesuaian diri
untuk mengurangi, meminimalkan stres supaya tidak berkembang menjadi krisis. Stres
hospitalisasi dapat di artikan sebagai keadaan atau respon tubuh yang terjadi ketika
seseorang menjalani perawatan di rumah sakit. Sakit dan dirawat di rumah sakit
merupakan krisis utama yang tampak pada anak, karena anak mengalami stres akibat
perubahan lingkungan, perubahan status kesehatannya. Ketika di rumah sakit anak
paling takut dengan lingkungan asing, perasaan ditinggalkan, nyeri dan keterbatasan
pada diri sendiri. Anak juga dapat takut kepada para perawat yang merawat mereka.
Anak usia prasekolah sering merasa terkekang selama dirawat di rumah sakit. Hal ini
disebabkan adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan
kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan sebagai hukuman
sehingga anak akan merasa malu, bersalah dan cemas. Anak yang sangat cemas
biasanya seringkali bereaksi marah dan memberontak. Kecemasan pada anak muncul
karena berbagai hal yang berubah disekelilingnya, baik fisik maupun emosional.
Kecemasan dapat juga muncul akibat kurangnya dukungan yang ada disekitarnya. Pada
saat dirawat, anak usia pra sekolah menginginkan kebebasan seperti sewaktu di rumah.
Anak lebih senang berjalan-jalan di sekitar ruang rawat dibandingkan dengan harus diam
di atas tempat tidur atau berada di ruang rawat inap. Adanya pembatasan gerak
terhadap anak membuatnya kehilangan kemampuan untuk mengontrol diri dan akan
menjadi tergantung pada lingkungannya.
Keluarga merupakan unsur penting dalam perawatan, khususnya perawatan pada
anak. Anak biasanya akan meminta dukungan kepada orang terdekat misalnya orang tua
atau saudaranya. Perilaku ini biasanya ditandai dengan permintaan anak untuk ditunggui
selama di rumah sakit, didampingi, minta dipeluk saat merasa takut dan cemas bahkan
saat merasa kesakitan. Keluarga perlu menyadari pentingnya beberapa jenis tindakan
keperawatan yang memerlukan dukungan orang tua sehingga perawat dapat
meningkatkan kualitas pelayanan. Oleh karena anak merupakan bagian dari keluarga,
maka perawat harus mampu mengenal keluarga sebagai tempat tinggal atau konstanta
tetap dalam kehidupan anak. Sebagai perawat, kita dalam memberikan pelayanan
keperawatan harus mampu memfasilitasi keluarga dalam berbagai bentuk pelayanan
kesehatan baik berupa pemberian tindakan keperawatan langsung, maupun pendidikan
kesehatan bagi anak. Selain itu, perawat harus memperhatikan kehidupan sosial,
budaya, dan ekonomi keluarga yang dapat menentukan pola kehidupan anak
selanjutnya. Faktor-faktor tersebut sangat menentukan perkembangan anak dalam
kehidupan. Kehidupan anak juga sangat ditentukan keberadaannya bentuk dukungan
dari keluarga, hal ini dapat terlihat bila dukungan keluarga yang sangat baik maka
pertumbuhan dan perkembangan anak relatif stabil, tetapi apabila dukungan keluarga
anak kurang baik, maka anak akan mengalami hambatan pada dirinya yang dapat
mengganggu psikologis anak. Keluarga yang kurang mendapat informaasi tentang
kondisi kesehatan anak saat dirawat di rumah sakit, yang terlalu khawatir atau stres
akan menyebabkan anak menjadi semakin stres dan takut. Selain itu, pola asuh keluarga
yang terlalu protektif dan selalu memanjakan anak juga dapat mempengaruhi reaksi
takut dan cemas anak ketika dirawat di rumah sakit.
Pengalaman orang tua ketika anak harus dirawat di rumah sakit tentu saja
merupakan pengalaman yang menegangkan. Hal itu terjadi karena adanya perubahan
peran orang tua ketika anak dirawat oleh tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit.
Keluarga sering merasa cemas dengan perkembangan anaknya, pengobatan, peraturan,
dan keadaan di Rumah Sakit, serta biaya perawatan. Semakin lama perawatan anak,
semakin besar biaya yang dikeluarkan orang tua. Sehingga orang tua menjadi stres.
Pengalaman stres yang terjadi pada orang tua mungkin diakibatkan karena kurangnya
informasi tentang kondisi anak. Meskipun dampak tersebut tidak berlangsung pada anak,
secara psikologis anak akan merasakan perubahan perilaku dari orangtua yang
mendampinginya selama perawatan. Anak akan semakin stres dan hal ini berpengaruh
terhadap proses penyembuhan yaitu menurunnya respon imun. Hal ini telah dibuktikan
bahwa pasien yang mengalami kegoncangan jiwa akan mudah terserang penyakit,
karena pada kondisi stres terjadi penekanan sistem imun. Respon kecemasan merupakan
perasaan yang paling umum yang dialami oleh orang tua ketika ada masalah kesehatan
pada anaknya. Hal itu dapat disebabkan oleh beberapa sebab, seperti penyakit kronis,
perawatan yang kurang menyenangkan, tingkat ekonomi keluarga, yang semua itu dapat
berdampak pada proses penyembuhan. Kecemasan ini dapat meningkat apabila orang
tua merasa kurang informasi terhadap penyakit anaknya dari rumah sakit terkait
sehingga dapat menimbulkan reaksi tidak percaya apabila mengetahui tiba-tiba penyakit
anaknya serius. Reaksi cemas yang timbul akibat hospitalisasi berbeda pada setiap
orang, karena tinggal di rumah sakit bukanlah suatu pengalaman yang menyenangkan,
dimana klien harus mengikuti peraturan serta rutinitas ruangan. Beberapa orang tua
merasa cemas terhadap hospitalisasi ini dapat
berkembang menjadi perasaan yang tidak nyaman dan cenderung menakutkan (Ibrahim,
2002).
Perpisahan dan pengalaman anak yang dirawat inap menunjukkan bahwa pada saat
anak dirawat di rumah sakit akan mengalami banyak perubahan status emosional, begitu
juga pada orang tua. Fenomena perpisahan tersebut menyebabkan anak berperilaku
kurang baik. Anak yang dirawat di rumah sakit sering mengalami reaksi hospitalisasi
dalam bentuk anak rewel, tidak mau didekati oleh petugas kesehatan, ketakutan,
tampak cemas, tidak kooperatif, bahkan tamper tantrum. Banyaknya stressor yang
dialami anak ketika menjalani hospitalisasi menimbulkan dampak negatif yang
mengganggu perkembangan anak. Sejalan dengan peningkatan jumlah anak yang
dirawat di rumah sakit akhir-akhir ini, beresiko terjadi peningkatan populasi anak yang
mengalami gangguan perkembangan. Ketakutan dan kecemasan anak sangat
dipengaruhi oleh peran perawat, dalam hal ini perawat harus dapat memberikan
pelayanan keperawatan dan mampu menfasilitasi keluarga dalam berbagai bentuk
pelayanan kesehatan baik berupa pemberian tindakan keperawatan langsung maupun
pendidikan kesehatan pada anak. Selain itu perawat dapat memberikan kenyamanan dan
dukungan pada anak baik dengan mempertahankan kehidupan sosial, budaya, dan
ekonomi keluarga yang dapat menentukan pola kehidupan anak.
Perawat dapat memberikan penyuluhan/pendidikan kesehatan pada orang tua anak
atau dengan menolong orang tua/anak dalam memahami pengobatan dan perawatan
anaknya. Anak selama dihospitalisasi memerlukan peran dan partisipasi orang tua dalam
perawatan. Bentuk partisipasi tersebut adalah orang tua diharapkan untuk tinggal
dengan anak, berperilaku baik dan terlibat dalam perawatan. Ketika orang tua tidak
dapat berpartisipasi dalam perawatan, maka asuhan keperawatan yang diberikan oleh
perawat mungkin tidak dapat optimal. Keterlibatan orang tua yaitu senantiasa
mendampingi anak, memberikan dukungan fisik maupun emosional adalah suatu hal
yang penting dalam proses perawatan. Oleh karena itu, perawat dan orang tua sebaiknya
bekerja sama dalam meminimalkan dampak hospitalisasi pada anak. Perawat berperan
ketika anak dan keluarganya mempunyai kebutuhan psikologis berupa dukungan atau
motivasi. Maka sebagai konselor perawat dapat memberikan konseling keperawatan
ketika anak dan orang tuanya membutuhkan dengan cara mendengarkan segala
keluhan, melakukan sentuhan, dan hadir secara fisik. Perawat dapat saling bertukar
pikiran dan pendapat dengan orang tua anak tentang masalah anak dan keluarganya,
dan membantu mencari alternatif pemecahannya. Keluarga perlu menyadari pentingnya
beberapa jenis tindakan keperawatan yang memerlukan dukungan orang tua sehingga
perawat dapat meningkatkan kualitas pelayanan. Perawat terus meningkatkan
pengetahuan khususnya tentang jenis komunikasi dengan keluarga dan dalam
memberikan dukungan untuk peran orang tua. Dukungan orang tua sangat bermakna
untuk menurunkan kecemasan anak yang sedang dirawat. Bentuk peran serta orang tua
selama anak dirawat di rumah sakit diwujudkan dengan adanya keterlibatan orang tua
dalam perawatan, memberikan support emosional kepada anak, ikut terlibat pada
tindakan yang sederhana, menjelaskan kepada anak tentang kondisi anak dan memenuhi
kebutuhan anak selama dirawat. Bentuk keterlibatan orang tua dalam perawatan mulai
dari komunikasi antara anak dengan perawat, membantu dan mendampingi anak selama
prosedur perawatan. Hal ini membuat anak merasa nyaman dan tidak takut menghadapi
perawat atau dokter.
Untuk dapat mengambil sikap sesuai dengan peran perawat dalam usahanya,
perlu adanya pengetahuan sebelumnya tentang dampak hospitalisasi, karena
keberhasilan suatu asuhan keperawatan sangat tergantung dari pemahaman dan
kesadaran mengenai makna yang terkandung dalam konsep-konsep keperawatan serta
harus memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam menjalankan tugas sesuai
dengan perannya. Setiap tenaga kesehatan dituntut dapat berkomunikasi dengan baik
agar pelayanan kesehatan tidak mengalami hambatan dan tujuan pelayanan kesehatan
dapat tercapai. Perawat adalah tenaga medis yang memiliki waktu terlama untuk
berinteraksi dengan pasien dibandingkan dengan tenaga medis lainnya. Oleh karena itu,
perawat harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik terutama kepada pasien.
Tak hanya pada pasien, perawat juga harus bisa berkolaborasi dengan paramedis yang
lain agar dapat memerankan perannya sebagai juru rawat yang baik, sehingga pasien
merasa nyaman dan kebutuhan kesehatannya terpenuhi. Perawat tidak akan mampu
melaksanakan pelayanan keperawatan yang baik tanpa kemampuan komunikasi yang
memadai baik pada pasien maupun tenaga medis lainnya. Kemampuan komunikasi yang
harus dimiliki seorang perawat tak hanya dapat berkomunikasi secara verbal, namun
lebih baik jika perawat juga mempunyai kemampuan komunikasi nonverbal dengan baik.
Bentuk komunikasi nonverbal tersebut diantaranya perawat mengerti dan peka terhadap
kondisi pasien. Misalnya ketika perawat melihat pasien duduk termenung dengan raut
muka gelisah, maka dapat disimpulkan bahwa pasien mungkin sedang sedih atau
memikirkan sesuatu. Seorang perawat juga diharuskan memiliki sensitivitas terhadap
masalah-masalah yang dialami oleh pasien yang ditunjukkan melalui respons nonverbal
serta penafsiran lainnya yang rasional. Saat berkomunikasi dengan pasien, hal yang
diucapkan perawat harus sesuai dengan gerak yang dilakukan atau diperlihatkan. Hal ini
dilakukan agar tidak terjadi kesalahan penafsiran isi pesan. Demikian juga ketika
perawat berbicara dengan pasien hendaknya memperhatikan tempat dan waktu proses
komunikasi itu berlangsung serta kondisi fisik dan psikologis pasien pun perlu
diperhatikan agar pasien tetap merasa nyaman. Keramahan, sopan santun, dan tata
krama ketika mengajak berbicara dengan pasien pun perlu dijaga. Sebagai perawat kita
tidak boleh mengesampingkan hal-hal tersebut. Akan terasa lebih komunikatif ketika
perawat mengawali pembicaraan pada pasien dengan menunjukkan raut muka
bersahabat, menyapa pasien dengan panggilan yang tepat, berbicara dengan
menunjukkan keramahan, serta tidak membicarakan sesuatu yang kurang berkenan bagi
pasien. Cara tersebut dapat membuat pasien nyaman dan akan membuat pasien tenang
dalam berbicara dengan perawat.
Perawat dalam melakukan asuhan pada anak yang dihospitalisasi dapat
melakukan beberapa hal yang bisa membuat anak menjadi nyaman dalam proses
perawatan, seperti mengajak anak berkeliling di rumah sakit, menunjukkan cara
perawatan dengan menggunakan boneka dan permainan yang menggunakan miniatur
peralatan rumah sakit yang nanti akan dijumpai anak pada saat pemberian perawatan.
Bermain adalah suatu aktivitas yang tidak bisa ditinggalkan anak. Bermain sangat
penting untuk perkembangan mental, emosional dan kesejahteraan sosial anak.
Kebutuhan bermain tidak dapat dihentikan sewaktu anak mendapat perawatan di rumah
sakit. Permainan disesuaikan dengan kondisi anak dan tingkat perkembangannya. Selain
itu, perawat diharuskan mendorong partisipasi orang tua. Mencegah dan meminimalkan
perpisahan merupakan tujuan utama keperawatan dengan mempertahankan kontak
antara orang tua dengan anak. pendekatan terbaik adalah menganjurkan orang tua
untuk tetap bersama anak dan berpartisipasi dalam perawata. Kehadiran orang tua
setiap saat dapat membantu mengurangi kecemasan anak. Orang tua diharapkan terlibat
dalam aktivitas perawatan sehingga orang tua dapat berpartisipasi terhadap perawatan.
Perawat selalu memberikan informasi tentang kondisi anak dan orang tua slalu
memberikan dukungan terhadap anak. Orang tua sangat berperan dalam pemuluhan
kondisi anak.
Beberapa orang berpikir bahwa hospitalisasi hanya menyebabkan dampak negatif
terhadap status psikologis. Pada kenyataannya ada manfaat psikologis dari penyakit dan
hospitalisasi yaitu dapat meningkatkan perkembangan yang aktual dari keterampilan
koping anak dan meningkatkan harga diri. Anak lebih percaya diri dalam mengurangi
kecemasan selama dihospitalisasi dan lebih mampu untuk melakukan perawatan diri
sendiri. Dampak positif hospitalisasi juga berasal dari peran serta orang tua, semakin
baik peran serta orang tua semakin positif juga dampak hospitalisasi yang terjadi pada
anak. Orang tua mampu berperan sebagai pelindung bagi anak.
Apabila anak pernah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan saat
dirawat di rumah sakit sebelumnya, akan menyebabkan anak takut dan trauma.
Sebaliknya apabila saat dirawat di rumah sakit anak mendapatkan perawatan yang baik
dan menyenangkan maka anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter
(supartini,2004). Anak sakit dan dirawat di rumah sakit paling takut dengan lingkungan
asing, nyeri dan merasa ditinggalkan. Perawat dalam memberikan asuhan sebaiknya
menggunakan prinsip perawatan anti traumatik sehingga anak yang dirawat tidak
mengalami trauma.
Oleh karena itu, betapa pentingnya seorang perawat memahami konsep
hospitalisasi agar dampaknya pada anak/pasien dan orang tua/keluarga dapat
diminimalisir sehingga dapat dijadikan dasar dalam pemberian suatu tindakan asuhan
keperawatan yang kompeten, etik dan aman (Dalami, dkk, 2010). Perawatlah yang
selalu berinteraksi dengan pasien, menemami, dan melayani pasien sepenuh hati supaya
pasien cepat sembuh. Dalam melayani pasien perawat harus sabar dan harus bisa
menyesuaikan sikap yang baik kepada pasien kita, Karena itu berpengaruh dalam
kesembuhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Apriany, D. (2013). HUBUNGAN ANTARA HOSPITALISASI ANAK DENGAN TINGKAT


KECEMASAN ORANG TUA. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal
of Nursing), Volume 8, No.2, Juli 2013, 92-102.

Febriana, D., & Wahyuningsih, A. (2011). KAJIAN STRES HOSPITALISASI TERHADAP


PEMENUHAN POLA TIDUR ANAK USIA PRASEKOLAH DI RUANG ANAK RS BAPTIS
KEDIRI. Jurnal STIKES RS. Baptis Kediri Volume 4, No. 2, Desember 2011, 1-7.

Kaluas, I., Ismanto, A. Y., & Kundre, R. M. (2015). PERBEDAAN TERAPI BERMAIN
PUZZLE DAN BERCERITA TERHADAP KECEMASAN ANAK USIA PRASEKOLAH (3-5
TAHUN) SELAMA HOSPITALISASI DI RUANG ANAK RS TK. III. R. W. MONGISIDI
MANADO. eJournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2 Mei 2015, 1-8.

Murniasih, E., & Rahmawati, A. (2007). HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN


TINGKAT KECEMASAN. JURNAL KESEHATAN SURYA MEDIKA YOGYAKARTA, 2-13.

Solikhah, U. (t.thn.). EFEKTIFITAS LINGKUNGAN TERAPETIK TERHADAP REAKSI


HOSPITALISASI PADA ANAK, 1-9.

Suryanti, Sodikin, & Yulistiani, M. (2012). PENGARUH TERAPI BERMAIN MEWARNAI DAN
ORIGAMI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN SEBAGAI EFEK HOSPITALISASI PADA
ANAK USIA PRA SEKOLAH DI RSUD dr. R. GOETHENG TARUNADIBRATA
PURBALINGGA. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Kesehatan, Vol. X No. 1 APRIL 2012, 38-
43.
Tewuh, N. R., Wahongan, G. J., & Onibala, F. (2013). HUBUNGAN KOMUNIKASI
TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN STRES HOSPITALISASI PADA ANAK USIA
SEKOLAH 6 -12 TAHUN DI IRINA E BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO.
ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 1. Nomor 1. Agustus 2013, 1-7.

Utami, Y. (2014). DAMPAK HOSPITALISASI TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK. Jurnal


Ilmiah WIDYA Volume 2 Nomor 2 Mei-Juli 2014, 10-19.

Anda mungkin juga menyukai