Anda di halaman 1dari 14

BAHAN

MODEL PEMBELAJARAN KONSEP JIHAD DI KALANGAN


MAHASISWA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Pada sintaks I (Pengumpulan dan Penyajian Data Konsep Jihad), Sintaks II (Pengujian
Data), Sintaks III (Klasifikasi Pertama Mandiri oleh Mahasiswa), dan Sintaks IV
(Klasifikasi lanjutan, Elaborasi Mahasiswa dan Dosen)

A. Konsep Jihad dalam Islam


1. Pengertian Jihad
Dalam Islam, konsep jihad menempati posisi yang sangat penting. Dengan konsep ini,
Islam sebagai sebuah agama dapat mempertahankan eksistensinya lebih dari 14 abad
lamanya hingga saat ini. Kata jihad yang secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah
“upaya bersungguh-sungguh,” adalah kunci kesuksesan dan kejayaan Islam di panggung
sejarah umat manusia. Karena posisinya yang sangat sentral ini, Dawam Rahardjo sampai
mengatakan, “jika saja rukun Islam ada enam, maka rukun yang keenam itu adalah jihad.”
(Rahardjo, 1996: 525).
Konsep jihad sesungguhnya memiliki arti yang sangat luas, yaitu segala macam
aktivitas yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Hal ini berlaku dalam segala aspek
kehidupan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Khaled Abou el-Fadl mengatakan bahwa
konsep jihad telah menjadi simbol bagi semangat, ketekunan, kerja keras dan kesuksesan
dalam segala aktifitas umat, seperti terlihat dalam sejarah Islam (Fadl, 2007: 221).
Akan tetapi sayangnya, konsep jihad ini seringkali disalahpahami dan disalahgunakan,
baik oleh oursider (non-Muslim), maupun insider (Muslim). Banyak dari kalangan Sarjana
Barat yang mengartikan kata jihad dengan “holy war” (perang suci) dan mengaitkan istilah
jihad ini dengan sejarah kelam perang antara kaum Kristiani dan umat Islam, yang terkenal
dengan istilah perang Salib.
Robin Wright, misalnya mengidentikkan jihad dengan Perang Salib versi Islam.
Menurutnya, kata jihad adalah slogan bagi umat Islam dalam menyeru orang-orang kafir
untuk memeluk agama Islam dengan ancaman pedang (Johnson, 1997: 64). Begitu juga
dengan Bernard Lewis yang mengatakan bahwa mayoritas mutakallimīn, fuqahā dan
muhaddithsīn klasik memahami konsep jihad sebagai kewajiban militer bagi umat Islam
(Lewis, 1988: 72).

0
Di sisi lain, dari kalangan muslim sendiri ada yang memaknai kata jihad secara sempit
atau dalam makna spesifik, yaitu perang atau usaha memerangi kaum kafir. Pemaknaan
sepert ini, tidak jarang di antara mereka ada yang terlibat dalam aksi-aksi radikalisme dan
terorisme.
Memang, kata jihād (bahasa Arab) banyak digunakan dalam al-Quran dalam konteks
perang (Darwazah, 1996: 389), akan tetapi sejatinya kata jihād ini memiliki makna yang
luas, yang mencakup aspek lahir (eksoteris) dan batin (esoteris). Bagaimana pun, seperti
dikatakan Yusuf Al-Qardhawi, peperangan (qital, harb) itu berbeda dengan jihād. Hal ini
karena Islam tidak menyukai peperangan dan tidak akan menyerukan peperangan, kecuali
jika terpaksa, seperti tercantum dalam QS [2]: 216 (Qardhawi, 2010: xxvii). Pengertian ini
diamini oleh Michael Bonner bahwa arti kata jihād bukanlah perang suci seperti yang
sering dikatakan orang, tetapi ia adalah “usaha dan kerja keras.” Inilah makna
sesungguhnya dari kata jihād (Bonner, 2008: 2-3).
Kata “jihad” berasal dari bahasa Arab. Secara leksikal, ia adalah bentuk (ism) masdar
dari kata “jāhada –yujāhidu –mujāhadah wa jihād” yang berarti berjuang, bekerja keras,
dan berusaha dengan mengoptimalkan segenap daya dan potensi. Dari penelusuran
terhadap kamus bahasa Arab, didapatkan informasi bahwa kata jihād berasal dari dua akar
kata, yaitu: pertama, jahd, yang artinya kesukaran dan kesulitan (Faris, 1981: 486), dan
kedua, juhd yang artinya kemampuan, kesungguhan dan kerja keras (Manzhur, 1990: 132).
Sementara, Louis Ma’luf mengatakan bahwa kata jihād berasal dari kata jahada yang
artinya “bertindak dengan hati-hati.” Selanjutnya, ketika kata jihād disambungkan dengan
kalimat fī sabīlillāh, maka ia mengandung arti “perjuangan di jalan Allah SWT.” (Ma’luf,
1986: 105-106).
Dari ketiga makna akar kata jihād itu maka dapat dipahami bahwa kata jihād secara
bahasa (etimologis) adalah “upaya dengan sungguh-sungguh dan hati-hati mengerahkan
segala kemampuan dalam rangka menghadapi dan mengatasi kesukaran dan kesulitan.
Terkait makna bahasa ini seorang ahli Tafsir Indonesia, Quraish Shihab, menjelaskan
bahwa kata jihād yang berasal dari kata jahd (letih atau sukar) dan juhd (kemampuan) ini
artinya adalah mengerahkan segala kemampuan untuk mengatasi segala bentuk kesulitan
atau semua usaha menuju kepada kebaikan dan kemaslahatan (Shihāb, 1996: 501).
Dalam ilmu sharf (ilmu yang membahas tentang perubahan kata), kata jihād yang
merupakan ism mashdar dari kata “jāhada” mengandung arti musyārakah (partisipasi,
saling atau melibatkan pihak lain). Dari hal ini maka dapat dipahami bahwa konsep jihād
ini menghendaki adanya partisipasi, kerjasama dan keterlibatan pihak lain. Selain intu,

1
pemaknaan ini juga dikuatkan oleh kenyataan bahwa penggunaan kata jihād dalam al-
Qurān kebanyakan (lihat misalnya QS. al-Hajj [22]:78 dan al-Anfāl [8]: 72) menggunakan
bentuk jama’ (plural) dan merujuk pada mukhātab jama’ (plural) pula, seperti bi
amwālikum (dengan harta benda kalian) dan bi anfusikum (dengan jiwa/diri kalian). Ini
menjunjukkan bahwa jihad harus dilakukan secara bersama-sama.
Sejalan dengan pemaknaan ini, menurut Chamsah, dalam konteks sosial, konsep jihād
ini dapat diterjemahkan sebagai “semangat kebersamaan, gotong-royong, tolong-
menolong, peduli kemanusiaan, di samping mengandung makna nilai-nilai spiritual”
(Chamsah, 2002: 5). Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa jihād adalah upaya
kolektif yang bertujuan untuk mewujudkan misi Islam dan piranti lunak untuk
menyelesaikan berbagai persoalan umat Islam.
Dilihat dari susunan hurufnya, kata jihād ini terdiri dari huruf ‫( ج‬jim), ‫( ھ‬ha) dan ‫د‬
(dal), di mana ia satu akar kata dengan kata ijtihād dan mujāhadah. Maka tidak heran
apabila ketiganya memiliki makna yang kurang lebih sama. Tetapi, seiring dengan
perkembangan sejarah (ruang dan waktu), pemahaman atas makna ketiga kata tersebut
berkembang dan mengkristal menjadi relatif berbeda satu dengan yang lainnya. Dimana
kata jihād dimaknai secara eksoterik, yaitu usaha fisik (perang), sementara dua kata
terakhir, ijtihād dan mujāhadah, dimaknai secara esoterik, yaitu kata mujāhadah dimaknai
sebagai suatu upaya sungguh-sungguh dalam mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah
SWT (istilah mujāhadah ini lebih populer dalam displin ilmu Tasawuf), dan kata ijtihād
sebagai upaya maksimal untuk mengambil sebuah keputusan hukum syari'ah (instinbaṭ)
(istilah ijtihād ini lebih sering dipakai dalam terminologi Fikih) (Umar, 2006, hlm. v).
Beragamnya makna dan praktik jihad ini terjadi bukan hanya karena perbedaan
pemahaman umat Islam dalam memahami kata jihad yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
Hadits, akan tetapi karena pada kenyataannya memang Rasulullah SAW sendiri telah
menggunakan istilah ini dalam berbagai konteks pemaknaan. Dengan kenyataan seperti ini
maka dapat dipastikan tidak akan ada pengertian (makna terminologis) yang seragam
tentang konsep jihad ini.
Selain itu, dari penelusuran sejarah, dapat kita pahami bahwa konsep jihad mengalami
dinamikanya sendiri sesuai dengan situasi dan kebutuhan umat. Pada masa Rasulullah
SAW misalnya, konsep jihad yang dikembangkan pada periode Mekah dan periode
Madinah tampak berbeda. Apabila pada periode Mekah jihad lebih dimaknai sebagai
bersabar dan bertahan dalam keimanan, maka pada periode Madinah jihad sering dimaknai
dalam konteks perintah berperang dalam rangka mempertahankan diri dan keimanan. Pada

2
masa Khulafa al-Rāsyidīn, Daulah Umayyah, dan Daulah Abbasiyah jihad kemudian
dimaknai dalam konteks memerangi para pemberontak (bughat) dan berjuang
menyebarkan Islam ke daerah lain. Pada masa Abbasiyah ini khususnya, konsep jihad
sudah mulai menjadi bahan kajian para ulama, baik ulama tafsir, hadits, fiqih, filsafat,
maupun tasawuf.
Berbeda lagi dengan pada masa Turki Usmani (Daulah Usmaniyah) di abad
pertengahan, konsep jihad selain sebagai upaya defensif mempertahankan diri dari
serangan tentara Salib, tetapi juga dalam rangka untuk memperluas daerah Islam. Begitu
juga pada masa modern dan kontemporer, konsep jihad dikembangkan oleh para ulama
dalam rangka membangkitkan semangat umat dalam merebut kembali kejayaan umat,
melawan imperialisme dan kolonialisme Barat, selain dalam arti spritual, etis dan moral.
Konsep jihad ini mengalami pemaknaan yang beragam sesuai dengan kebutuhan pragmatis
umat.
Seiring dengan perkembangan dan sesuai dengan konteks zaman, maka para ulama
kontemporer lebih memahami kata jihad sebagai “berusaha dan berjuang dengan sungguh-
sungguh” (Fatoohi, 2002: 49), termasuk di dalamnya Yusuf Al-Qaradhawi yang
mengartikan kata jihad sebagai usaha mengerahkan segenap kemampuan, potensi dan
kekuatan (Qardhawi, 2010: 29). Jihad mencakup segala usaha sungguh-sungguh untuk
mendapatkan hasil yang maksimal dalam berbagai aspek kehidupan, baik dengan hati,
lisan, maupun dengan perbuatan.
Beberapa peneliti yang concern terhadap persoalan jihad, mengemukakan beberapa
pengertian jihad yang tentunya didasarkan kepada fokus penelitiannya. Berikut pengertian
jihad yang dikemukakan para peneliti tentang jihad:
a. Jihad adalah berjuang secara bersungguh-sungguh dengan mengerahkan segala
kemampuan untuk tujuan kemasalatan umat manusia melalui cara-cara yang tidak
bertentangan dengan kemanusiaan (Arsyad, 2010).
b. Jihad adalah berjuang bersungguh-sungguh untuk menjaga, melindungi, dan
mempertahankan agama dan ummat (Khairah, 2008).
c. Dalam konteks kebangsaan, jihad adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa,
membudayakan musyawarah, memperjuangkan keadilan dan menjaga prinsip
kebebasan (Mustaqim, 2011).

Di tangan para Fuqaha, konsep jihad mengalami kristalisasi makna dimana ia


kemudian dipahami sebagai perang melawan musuh Islam (Perwira, 2009: 164). Hal ini

3
juga dikatakan oleh Abdulaziz A Sachedina seperti dikutip James Turner Johnson, bahwa
walaupun Al-Quran memberikan justifikasi moral untuk membela diri dan membalas
serangan lawan, akan tetapi sesungguhnya konsep jihad sebagai perang baru muncul
belakangan, yaitu di tangan para ulama fiqih klasik (Johnson, 1997: 65).
Hampir semua ulama fiqih klasik membahas tentang jihad. Bahkan mereka
menjadikan pembahasan jihad ini sebagai pembahasan (bab) khusus dalam karya-
karyanya. Jihad bahkan kini menjadi ilmu atau buku tersendiri yaitu Fikih Jihad, seperti
ditulis oleh Yusuf Qardhawi. Isi fikih jihad ini tampaknya tidak jauh dari pembahasan
tentang perang, seperti tentang kaidah-kaidah perang, syarat menjadi mujahid, keutamaan
jihad dan syahid, tujuan perang, teknik perang, jizyah, rampasan perang, tawanan perang,
ghanimah, al-fāi, dan perjanjian damai (Nahrawi, 2009: 68).
Para ulama Madzhab mengidentikkan jihad dengan perang. Ulama Madzhab Hanafi
misalnya mengatakan bahwa jihad secara literal artinya pengerahan seluruh kemampuan.
Sedangkan menurut pengertian syariat, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan
dalam berperang di jalan Allah baik dengan harta, jiwa, maupun yang lain (Nahrawi, 2009:
121). Jihad adalah dakwah kepada Islam. Siapa saja yang menolak dakwah tersebut, maka
mereka harus diperangi (Zuhaili, 1997: 5846). Walaupun menurut Ibnu Taymiyyah dalam
Qā’idah fī Qitāl al-Kuffār, sebab memerangi orang kafir di sini bukan semata-mata karena
kekufuran, tetapi karena al-hirāb, yaitu peperangan dan pembunuhan yang mereka
lancarkan terhadap orang Muslim (Qardhawi, 2010: 245-246).
Begitu juga dengan ulama Madzhab Maliki. Mereka berpendapat bahwa jihad adalah
perang melawan orang kafir, menjunjung tinggi kalimat Allah SWT, dan hukumnya adalah
fardu kifāyah, bahkan ia menjadi fardu ‘ain jika musuh sudah menyerang dan imam
(pemimpin) sudah memerintahkan (Banna, 2006, hlm. 148). Tidak berbeda dengan ulama
Hanafiyah dan Malikiyah, ulama Madzhab Syafi’i mendefinisikan jihad sebagai berperang
di jalan Allah. Jihad adalah memerangi (qital) orang kafir untuk membela Islam (Syāfi’ī,
1983: 376; Banna, 2006: 150).
Ulama Mazhab Hambali bahkan sampai berkesimpulan bahwa jihad tidak memiliki
makna lain selain dari perang. Hukum jihad ini adalah farḍu kifayah. Hukum ini berubah
menjadi farḍu ‘ain karena tiga sebab: pertama jika dua kubu telah saling berhadapan di
medan perang; kedua, bila musuh (orang kafir) sudah menduduki negeri Muslim; dan
ketiga, jika imam (pemimpin) sudah memerintahkan (Hanbali, t.t.: 206).

4
2. Landasan Hukum Jihad
Dalam melaksanakan jihad, tentu harus berpedoman pada Quran (Nur, 2011) dan juga
contoh nabi Muhammad Saw. Di dalam Quran, terma jihad lebih banyak turun pada Islam
periode Madinah dari pada periode Mekah. Oleh karena itu, maka cakupan jihadnya tidak
hanya terbatas pada ajaran jihad saja tetapi juga membahas persoalan-persoalan lain yang
membutuhkan kesungguhan, seperti kesungguhan bersumpah yang termaktub dalam Quran
Surat al-Maidah/5: 53, al-An’am/6: 109, al-Nahl/16: 38, al-Nur/24: 53, dan Fathir/35: 42,
kesungguhan orang tua untuk mendidik anaknya agar selalu memantapkan akidah mereka
yang termaktub dalam al-Ankabut/29: 8 dan Luqman/31: 15, dan memberikan sesuatu
dengan kesempurnaannya yang termaktub dalam al-Taubah/9: 79 (Widayat, 2013). Selain
dalam Quran, banyak hadis Nabi Muhammad Saw. yang mengungkapkan makna jihad,
tetapi tidak ditemukan di dalam hadis yang secara eksplisit menjelaskan perintah berjihad
dengan menggunakan senjata melawan orang kafir, atau musuh-musuh Islam. Jihad dalam
kebanyakan hadis justru lebih berorientasi kepada makna berjihad terhadap kedua orang
tua, kebodohan, kemiskinan, dan berjuang mendapatkan haji mabrur (Kamarudin, 2008).
Di dalam Quran dan Sunnah, terdapat banyak sekali keterangan mengenai keutamaan
jihad dan mujahidin, kewajiban berjihad, larangan meninggalkan jihad, dan lain
sebagainya. Di bawah ini terdapat beberapa keterangan mengenai landasan hukum
mengenai jihad, yakni:
1) Keutamaan berjihad dan mujahidin
Abu Hurairah ra. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Barang siapa mati, sedangkan dia belum pernah berperang dan belum pernah
tergerak hatinya untuk keinginan ikut perang, maka kematiannya itu berada pada
salah satu cabang kemunafikan. (HR. Imam Muslim) (Asqalani, 1996).”
2) Kewajiban berjihad
“Dan pergilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah:190) (Departemen Agama RI., 1983).
3) Larangan meninggalkan jihad
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang
kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka
(mundur).” (QS. Al-Anfǎl:15) (Departemen Agama RI., 1983).

5
Rasulullah SAW sendiri tidak selalu memakai kata jihad dalam konteks perang, tetapi
seringkali dalam arti lain yang lebih luas. Dalam beberapa kesempatan misalnya
Rasulullah SAW ditanya oleh para sahabat tentang jihad, kemudian Rasulullah SAW
menjawab bahwa “menyampaikan kebenaran kepada penguasa zalim, berbakti kepada
orang tua, menuntut ilmu, mengembangkan pendidikan, membantu fakir miskin, dan haji
mabrur adalah jihad (yang paling mulia)” (Nahrawi, 2009, hlm. 65-68).

3. Pembagian dan Bentuk Jihad


Menurut Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah r.a. (Jawaz, 2007), jihad memiliki pembagian
sebagai berikut:
a. Jihad al-Nafs (Jihad melawan hawa nafsu). Jihad ini ada empat kategori:
1) Berjihad untuk mempelajari ilmu dan petunjuk, yaitu mempelajari agama yang
haq. Seseorang tidak akan dapat mencapai kejayaan serta kebahagiaan di dunia
dan akhirat melainkan dengan ilmu dan petunjuk. Apabila dia tidak mau
mempelajari ilmu yang bermanfaat, maka dia akan celaka dunia akhirat.
2) Berjihad untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya. Bila hanya semata-
mata berdasarkan ilmu saja tanpa amal, maka bisa jadi ilmu itu akan
mencelakainya bahkan tidak bermanfaat baginya.
3) Berjihad untuk mendakwahkannya dengan mengajarkannya kepada orang yang
belum mengetahuinya. Apabila dakwah ini tidak dilakukannya, maka hal ini
termasuk menyembunyikan ilmu yang telah Allah turunkan, baik berupa petunjuk
maupun keterangan-keterangan. Ilmunya tidak akan bermanfaat dan tidak pula
menyelamatkannya dari azab Allah.
4) Berjihad untuk sabar terhadap kesulitan-kesulitan dalam berdakwah di jalan Allah
dan juga sabar terhadap gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan
dakwah itu semata-mata karena Allah. Apabila terpenuhi keempat tingkatan
tersebut maka ia akan termasuk sebagai manusia Rabbani. Para Salafal-Salih
bersepakat bahwa seseorang tidak dapat disebut sebagai manusia Rabbani sampai
ia dapat mengetahuhi kebenaran, mengamalkannya, dan mengajarkannya. Oleh
karena itu orang yang berilmu, mengamalkannya, dan mengajarkannya, maka ia
akan disanjung di sisi para Malaikat-Nya.
b. Jihad al-Syaithan (Jihad melawan Syetan). Jihad ini ada dua kategori:
1) Berjihad untuk membentengi diri dari serangan syubhat dan keraguan yang dapat
merusak imam.

6
2) Berjihad untuk membentengi diri dari serangan keinginan-keinginan yang
merusak syahwat.
c. Jihad al-Kuffar wa al-Munafiqiin (Jihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang
munafik). Pada Jihad ini terdapat empat kategori: Jihad dengan hati, Jihad dengan
lisan, Jihad dengan harta, dan Jihad dengan jiwa.
d. Jihad al-Arbabizh Zulm wal Bida’ wal Munkaraat (jihad melawan tokoh-tokoh yang
zalim, pelaku bid’ah, dan kemungkaran).
Berikut ini bentuk-bentuk jihad menurut para ahli lain:
a. Bentuk jihad dengan menangkis serangan dan menghadapi musuh, baik yang tidak
tampak, seperti hawa nafsu dan setan, maupun yang tampak, seperti orang kafir dan
musyrik (Ashfahāny, t.t.: 101).
b. Rasulullah SAW sendiri tampaknya lebih cenderung memaknai kata jihad ini dalam
konteks non-kekerasan (bukan perang). Pada periode Mekah, Rasulullah SAW
menafsirkan ayat-ayat jihad dalam konteks mengajak manusia kepada aqidah yang
benar serta menahan diri dan bersabar dari segala penindasan yang dilakukan kaum
kafir. Begitu pula pada periode Madinah, walau pun umat Islam sudah memiliki
cukup kekuatan untuk menghadapi kaum kafir, tetapi jihad tetap dimaknai sebagai
usaha membela diri dan mempertahankan aqidah Islam, atau dalam kata lain lebih
bersifat defensif (Banna, 2006: xxiv-xxv).
c. Rasulullah SAW ditanya oleh para sahabat tentang jihad, kemudian Rasulullah
SAW menjawab bahwa “menyampaikan kebenaran kepada penguasa zalim,
berbakti kepada orang tua, menuntut ilmu, mengembangkan pendidikan, membantu
fakir miskin, dan haji mabrur adalah jihad (yang paling mulia)” (Nahrawi, 2009:
65-68).
d. Dalam konteks sosial, konteks jihād lebih kepada bentuk semangat kebersamaan,
gotong-royong, tolong-menolong, peduli kemanusiaan, di samping mengandung
makna nilai-nilai spiritual” (Chamsah, 2002: 5).
e. Kalangan sufi lebih memandang bentuk jihad kepada sebuah latihan spiritual dalam
mengarahkan jiwa dari kecenderungan keinginan duniawi (Darojat, 2014: 54). Bagi
al-Ghazalī (1059-1111 M), seorang sufi besar yang digelari Hujjah al-Islām,
misalnya, jihad dibutuhkan untuk melepaskan dan memisahkan diri dari
kecenderungan dunia. Perjuangan melawan nafsu rendah dan untuk mensucikan
jiwa adalah jihad besar. Oleh karena itu baginya, jihad adalah bagian terpenting
dari proses memperoleh pencerahan spiritual (Baidhawy, 2012: 88).

7
4. Hukum Jihad
a. Jihad Fardhu Kifayah
Jihad bukanlah merupakan kewajiban yang berlaku bagi setiap pribadi muslim, tetapi fardu
kifayah yang apabila dilaksanakan oleh sebagian dan musuh dapat dihalau serta sukses,
kewajiban itu gugur bagi lainnya. Allah berfirman:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.” (QS. Al-Taubah: 122) (Departemen Agama RI., 1983).

Jika semua muslim diwajibkan untuk berjihad (perang) semuanya, niscaya akan rusak
kemaslahatan di dunia, maka sudah seharusnya hanya dilakukan oleh sebahagian saja.
b. Jihad Fardhu ‘Ain
Jihad bisa menjadi fardhu ‘ain apabila terjadi dalam situasi dan kondisi seperti berikut ini:
1) Apabila mukallaf atau seorang berada dalam pasukan yang berperang. Firman Allah:
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang
sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” (QS.
Al-Anfǎl: 15) (Departemen Agama RI., 1983).
2) Apabila musuh mendatangi tempat atau negara dimana kaum muslimin tinggal, pada
waktu itu seluruh penduduk wajib turun tangan untuk melawan musuh. Tidak
dibenarkan ada yang tidak turut ikut campur melaksanakan kewajiban ini. Musuh tidak
mungkin dapat dipatahkan tanpa kebersamaan. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu
itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah,
bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At-Taubah: 123)
(Departemen Agama RI., 1983).
3) Apabila Hakim menugaskan seseorang mukallaf untuk berjihad, maka dia tidak boleh
menolaknya.
Diriwayatkan oleh Ibn Abbas, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak ada hijrah lagi sesudah futuh, tetapi ada jihad dan niat. Apabila kamu diberi
tugas, maka wajib kamu melaksanakannya.” (HR. Bukhari) (Asqalani, 1996).

Jihad hukumnya wajib bagi setiap orang muslim, laki-laki, berakal, telah baligh,
tidak cacat fisik dan yang memiliki persiapan materi untuk bekal hidupnya, keluarganya,
sehingga ia dapat dengan leluasa melaksanakan tugas jihad. Oleh karena itu, jihad tidak

8
wajib bagi non muslim, wanita, anak kecil, orang gila, dan orang sakit. Bagi mereka, tidak
berdosa jika tidak ikut serta karena memiliki kelemahan dan tak berkekuatan di medan
perang; bahkan bisa menjadi bahaya yang lebih besar ketimbang manfaatnya.
Dalam kaitan ini Allah berfirman:
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-
orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka
nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rosul-Nya. Tidak ada
jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik, dan Allah Maha
Pegampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 91) (Departemen Agama RI.,
1983).

Dalam suatu riwayat Ahmad dan Al-Bukhari, Aisyah pernah berkata kepada
Rasulullah:
“Wahai Rasulullah, adakah jihad bagi kaum wanita? Jawab Rasul: Jihad yang tidak
ada pertempurannya, yakni haji dan umah.” (Asqalani, 1996).

5. Jihad Kontemporer
Kondisi dunia, baik secara geografis, sosiologis, agama, ras, budaya, dan lain sebagaimnya
sungguh heterogen. Bagi muslim, keadaan seperti ini harus dipahami secara baik, terutama
dalam mengamalkan jihad. Role model tepat untuk berjihad dalam Islam adalah Rasulullah
SAW. Islam disebarkan olehnya dengan jalan persuasif bukan dengan paksaan (Roded,
2007).
Namun demikian, sekarang ini pemaknaan dan pengamalan jihad telah mengalami
penyempitan dan bahkan distorsi oleh sekelompok muslim sehingga radikal dan ekstrim
(Adnan, 2006). Pemaknaan dan pengamalan tersebut harus segera diatasi, karena pluralitas
tidak hanya dalam bentuk banyak wajah agama, tapi juga dalam bentuk agama itu sendiri
(Habiburahman, 2010).
Dalam konteks negara Indonesia modern, reaktualisasi jihad dapat dilakukan dalam
ranah politik, ekonomi, hukum dan pendidikan. Keempat hal ini, sesungguhnya saling
berkaitan satu sama lain, dan menjadi agenda dan proyek jihad kolektif umat Islam
bersama dengan masyarakat Indonesia lainnya (Chirzin, 2006). Persoalan ummat dan
bangsa yang cukup menantang untuk dijadikan lahan jihad adalah masalah kemiskinan dan
keterbelakangan. Kedua aspek kehidupan tersebut berada dalam ambang cukup
memprihatinkan yang dapat menjauhkan umat muslim dan bangsa dari keutuhan
eksistensial sebagai manusia. Kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan telah menjadi
musuh yang nyaris tak terlawan yang selalu mengintai untuk menghancurkan kehidupan

9
bangsa (Nizar, t,t). Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, membudayakan musyawarah,
memperjuangkan keadilan dan menjaga prinsip kebebasan (Mustaqim, 2011).

B. Varian-varian dalam Pembacaan Ajaran Islam


Qardhawi (2010: xxxv-vvvvi) mengemukakan tiga varian dalam pembacaan ajaran Islam
yakni: konservatif, liberal, dan moderat. Pertama, Kelompok Konservatif. Kelompok ini
memandang Islam sebagai agama yang eksklusif, ummatnya tidak bisa hidup
bergandengan dengan pemeluk agama lain, dan menolak segala sesuatu yang datang dari
budaya-budaya luar Islam (baca: Barat), dialog antar agama adalah sesuatu yang absurd,
Barat sebagai musuh ummat, dan Islam harus ditegakkan di muka bumi ini dengan cara
apapun. Pada gilirannya kelompok konservatif ini memandang Barat sebagai pihak yang
bertanggung jawab atas segala tragedi kemanusiaan, sehingga wajib diperangi. Dalam
sudut pandang mereka, semua yang berasal dari Barat adalah musuh Islam yang harus
disingkirkan demi tegaknya agama Allah.
Kedua, Kelompok Liberal. Kelompok ini menganggap bahwa Islam tidak memiliki
kesesuaian dengan realitas modern, kaku terhadap perubahan zaman, dan kurang peka
terhadap kebutuhan masyarakat. Mereka tak segan-segan mengatakan bahwa beberapa
syariat Islam yang kurang menghargai rasa kemanusiaan tidak boleh diberlakukan dan
harus dihapus ketentuannya. Salah satunya adalah jihad.
Ketiga, Kelompok Moderat. Kelompok ini mencerminkan semangat dan ruh ummat
Islam sebagai ummatan wasathan (ummat moderat), sebagaimana digambarkan dalam al-
Quran. Kelompok ini menganggap Islam sebagai ajaran universal (rahmatan lil ‘alamiin).
Pandangan kelompok ini bahwa ajaran-ajaran Islam sangat sesuai dengan segala bentuk
realitas kehidupan. Tidak ada sesuatu apapaun dalam syariat Islam kecuali di dalamnya
adalah kebaikan. Perang dalam pandangannya bukanlah satu-satunya bentuk jihad, baik
kepada pihak-pihak yang berdamai maupun memiliki konflik dengan mereka. Bagi
kelompok ini konflik kemanusiaan tidak perlu diselesaikan dengan langkah kekerasan.
Dengan kata lain kelompok ini tidak menyetujui adanya radikalisme.

10
DAFTAR PUSTAKA

Adnan, P., 2006. Pemaknaan Jihad dan Problem Aplikasinya dalam Tataran Sosial,
Ulumuna, Vol 10, No 1. (June), pp. 37-41.
Arends, Richard I., 2008. Learning to Teach (Belajar untuk Mengajar), Edisi Ketujuh,
Cetakan I, Terj. Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Arsyad, A., 2010. Jurnal Ilmu Hukum, Vol 2, No 4 (2010). pp. 74-79.
Ashfahāni, Al-Rāghib, t.t. al-, al-Mufradāt fi Gharîb al-Qur`ān, Beirut: Dār al-Ma`rifah.
Asqalani, ibnu Hajar, 1996. Bulughul Maram. Bandung: Trigenda Karya.
Baidhowy, Zakiyudin, 2012. The Concept of Jihad and Mujahid of Peace (Jakarta: Dirjen
Dikti Kemenag.
Banna, Gamal, 2006. Jihad. Jakarta: Mata Air Publishing.
Bonner, Michael, 2008. Jihad in Islamic History: Doctrine and Practice (New Jersey:
Princeton University
Chamsah, Bachtiar, 2002. Jihād Sosial dalam Masyarakat Global, (Jakarta: BPPS Depsos
Chirzin, M., 2006. Reaktualisasi Jihad fî Sabîl al-Lâh dalam Konteks Kekinian dan
Keindonesiaan, Ulumuna, Vol. X No. 1 (Januari-Juni 2006), pp 59-80.
Darojat, Zakiya, 2014. Jihad dalam Sejarah Islam Kontemporer 1945-2005; Kajian atas
Wacana dan Praksis Gerakan Jihad Sosial, (Disertasi. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Darwazah, Muh. Izzah, 1996. Ad-Dustur Al-Qur'an fi Syu'uni al-Hayat (Kairo: Dar Ihya
al-Kutubi al-‘Arabiyah
Departemen Agama RI. 1983. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta : PT. Intermasa.
Fadl, Khaled Abou el-, 2007. The Great Theft; Wrestling Islam from Extremist (New York:
Harper San Fransisco
Fatoohi, Louay, 2002. Jihad in The Qur’an; The Truth from The Source. Kuala Lumpur:
AS Noordeen.
Faris, Ahmad Ibn, 1981. Mu’jam Maqayis al-Lughah, Kairo: al-Khaniji.
Habiburahman, 2010. Kekerasan Sosial dan Konflik Agama (Teladan Rasulullah Saw
dalam Menyikapi Pluralisme Agama), Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 15 No. 2.
Hamalik, Oemar. 2011. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Hanbali, Ibnu Qudamah, t.t. al-, Mu‘jam al-Mughni fi al-Fiqh al-Hanbali. Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, Vol. I
Hergenhahn, BR. dan Olson, Matthew H., (2010), Theories of Learning (Teori Belajar),
Edisi Ketujuh, Terj. Tri Wibowo B.S., Jakarta: Kencana.
Huda, Miftahul, 2014. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran: Isu-Isu. Metodis dan
Paradigmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jawaz, Yazid bin Abdul Qadir, 2007. Keutamaan Jihad, Tujuan Disyari’atkan Jihad,
Tingkatan Jihad, Pembagian Jihad. [online].
Tersedia:http//www.almanhaj.or.id/content/////2179/slash/0. Diakses 2 September
2009.

11
Jihad, Asep dan Haris, Abdul, 2010. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Pressindo.
Johnson, J James Turner, 1997. The Holy War Idea in Western and Islamic Traditions,
U.S.A: The Pennsylvania State University.
Joyce, Bruce, et.al., 2011, Models of Teaching. New Jersey: Practice-Hall Inc. Englewood
Cliffs.
Kamarudin. 2008. Jihad dalam Perspektif Hadits, Jurnal Hunafa, Vol. 5 No. 1 (2008),
pp.101-116.
Khairah, M., 2008. Jihad dan Perang dalam Hukum Islam. Al-Qanun: Issue. Vol 11 No. 2
(2008).
Komalasari, Kokom, 2011. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung:PT
Refika Aditama.
Lang, H.R., dan Evans, D.N., 2006. Models, Strategies, and Methodes for Effective
Teaching. United States : Pearseon Education, Inc.
Lewis, Bernard, 1988. The Political Language of Islam. Chicago: The University of
Chicago Press.
Manzhur, Ibn, 1990. Lisān al-`Arab, Juz III, Beirut: Dār al-Shādir. Cet. I.
Ma’luf, Louis, 1986. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq
Ma’ruf Amin, Agustus 2014, dalam Press Release: Pernyataan Sikap FU-MUI tentang
ISIS, [online]: Tersedia: Liputan6.com.Jakarta, Diakses 25 Februari 2016.
Moghadam, A., 2007. Terrorism and Political Violence Mayhem, Myths, and Martyrdom:
The Shi â€TM a Conception of Jihad Mayhem , Myths , and Martyrdom : The Shi ’ a
Conception of Jihad. , (December 2014), pp.37–41.
Mustaqim, A., 2011. Bela Negara dalam Perspektif Al-qurân (sebuah transformasi makna
jihad), Jurnal Analisis, Vol 11, No 1 (2011), pp. 109-130.
Nahrawi, Muhammad Nahar, 2009. Perkembangan Pemaknaan Jihad dalam Islam, dalam
Harmoni Jurnal Multikultural & Multireligius, (Jakarta: Litbang Depag RI.
Nizar, M.C. et al., Kontekstualisasi Jihad Perspektif Keindonesiaan. 16 (1), pp.21–44.
Nur, ME., 2011. Hukum Jihad dan Terorisme: Perspektif Al-Qur’an, Jurnal Maslahah, Vol
1 No. 1, pp. 21-39.
Perwira, Reza, 2009. Dinamika Pemaknaan Jihad di Kota Solo, dalam Harmoni, Jurnal
Multikultural & Multireligius, Vol. VII, No. 32
Qardhawi, Yusuf, 2010, Fiqih Jihad, Penerjemah: Irfan Maulana Hakim, dkk., Bandung:
Mizan Media Utama.
Rahardjo, M. Dawam, 1996. Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsîr Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina
Roded, R., 2007. Lessons by a Syrian Islamist from the life of the Prophet Muhammad,
(October 2014), pp.37–41.
Sagala, Syaiful. 2012. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: CV. Alfabeta.
Suprijono, Agus, 2009. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Shihab, M. Quraish, 1996. Wawasan al-Qurān: Tafsîr Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizān, cet I.

12
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta.
Sudrajat - Online)(http://smacepiring. wordpress. com), 2008 - academia.edu
http://ariplie.blogspot.co.id/2015/03/pengertian-dan-ciri-ciri-model.html. Diakses 25
Februari 2016.
Syafi’i, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Idris, 1983. al-Umm. Beirut: Da r al-Fikr al-
Mu‘ashir, 1403/ 1983, VIII.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, edisi 4, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Umar, Nazaruddin, 2006. Mengurai Makna Jihad (kata pengantar dalam al-Jihad), Jakarta:
Mata Air Publishing.
Widayat, PA., 2013. Argumentasi Makna Jihad dalam Al-Quran Ditinjau dari Perspektif
Masyarakat Kosmopolitan, Jurnal Akademika, Vol 18, No 2 (2013), pp. 1-24.
Zuhaili, Wahbah, 1997. Al-Fiqh al-Islami wa ‘Adilatuhu (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘ashir,
1418 H/1997), VIII.

13

Anda mungkin juga menyukai